• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT ANALYSIS DECISION IN THE CASE JUDGE pretrial Corruption (Studies Pretrial Decision No. 14 Pid.Pra 2016 PN.Tjk) By: Wanda Rara Farezha, Eddy Rifa’i, Gunawan Jatmiko (wandararafarezhagmail.com)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ABSTRACT ANALYSIS DECISION IN THE CASE JUDGE pretrial Corruption (Studies Pretrial Decision No. 14 Pid.Pra 2016 PN.Tjk) By: Wanda Rara Farezha, Eddy Rifa’i, Gunawan Jatmiko (wandararafarezhagmail.com)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk)

Oleh

Wanda Rara Farezha, Eddy Rifa’i, Gunawan Jatmiko (wandararafarezha@gmail.com)

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka. Putusan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk atas nama Tersangka Mohammad Reza Pahlevi diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTS. Maka peneliti melakukan penelitian tentang pertimbangan putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan Praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dan akibat hukum dari Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, mentelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum melalui penelusuran kepustakaan terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan penulisan skripsi ini. Penelusuran bahan-bahan kepustakaan dilakukan dengan mempelajari asas-asas, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Hasil pembahasan dari Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk adalah dilaksanakannya penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi dengan alat bukti berupa keterangan saksi dan alat bukti surat hasil Audit BPKP serta alat bukti petunjuk. Hakim menolak alat bukti petunjuk sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 183 ayat (3) KUHAP. Dalam pengadilan, Hakim telah mempertimbangkan bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dengan demikian, maka upaya hukum lain dapat dilakukan dengan mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan pengecualian yang dimaksud dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Maret 2014. Menurut peneliti, proses Praperadilan akan lebih baik jika berdasarkan RUU KUHAP, karena pada prakteknya diharapkan Sistem Hakim Komisaris menjadi lembaga pengawasan aparat penegak hukum yang terbuka dan akuntabilitas serta mampu melakukan pengawasan secara baik.

(2)

ABSTRACT

ANALYSIS DECISION IN THE CASE JUDGE pretrial Corruption (Studies Pretrial Decision No. 14 / Pid.Pra / 2016 / PN.Tjk)

By:

Wanda Rara Farezha, Eddy Rifa’i, Gunawan Jatmiko (wandararafarezha@gmail.com)

Pretrial Court is authorized to examine and decide on whether or not a lawful arrest or detention at the request of the suspect or his family or other party or authority suspects. Decision No. 14 / Pid.Pra / 2016 / PN.Tjk on behalf of Mohammad Reza Pahlevi Suspect allegedly Corruption procurement projects disadvantaged students school supplies SD / MI / SMP / MTS. So the researchers conducted a study on consideration of a court decision which granted pretrial Pretrial in Decision No. 14 / Pid.Pra / 2016 / PN.Tjk and legal effect of Pretrial Decision No. 14 / Pid.Pra / 2016 / PN.Tjk. The research method used by the author in preparing this paper is using normative juridical approach and empirical juridical approach. Normative juridical done by seeing, and interpret things concerning the theoretical principles of the law through literature searches related directly or indirectly with this thesis. Search library materials is done by studying the principles, theories, concepts and regulations relating to the matter being investigated. Pretrial results of the discussion of the Decision No. 14 / Pid.Pra / 2016 / PN.Tjk is investigating the implementation of the Corruption cases with evidence such as witness testimony and documentary evidence BPK audit results and the proof instructions. The judge rejected the evidence of the instructions as described in Article 183 paragraph (3) Criminal Procedure Code. In court, the judge has to consider that the determination of the Applicant as a suspect is invalid by the Constitutional Court Decision No. 21 / PUU-XII / 2014. Thereby, the other legal remedies can be done by filing Reconsideration by the exception in question from the Supreme Court Circular No. 4 of 2014 dated March 28, 2014. According to investigators, the pretrial process would have been better if the bill is based on the Criminal Code, because in practice it is expected Judge System Commissioner into the supervisory board for law enforcement officers that is open and accountable and able to exercise good.

(3)

I. PENDAHULUAN

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Praperadilan merupakan salah satu lembaga hukum baru yang diciptakan dalam KUHAP. Secara tidak langsung, Praperadilan melakukan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkuatan dengan adanya pengawasan antara Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penyidik dalam hal penghentian penyidikan dan penuntutan.

Ruang lingkup praperadilan hanya mencakup penangkapan, penahanan, penghentian penyidikkan atau penghentian penuntutan, serta permasalahan penggantian kerugian atau rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014), Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan : “Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur oleh Undang-Undang, tentang:

1. Sah atau tidaknya penangakapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. Permintaan ganti kerugian atau

rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.”1

Mahkamah Konstitusi (MK) April 2015 lalu telah mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan objek praperadilan baru yaitu mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Mahkamah Konstitusi menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHAP.

Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu, Mahkamah konstitusi juga menyatakan bahwa

1

(4)

Pasal 77 KUHAP ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.2 Dengan kata lain, penetapan tersangka setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan; penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat, setelah putusan Mahkamah Konstitusi masuk ke dalam ruang lingkup praperadilan.

Lembaga praperadialan sejak semula dimasukan sebagai sarana hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan oleh tersangka, korban, penyidik, penuntut umum maupun pihak ketiga yang berkepentingan terhadap pelaksanaan kewenangan penegak hukum. Dengan adanya lembaga praperadilan ini, maka setiap tindakan sewenang-wenang terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh penegak hukum dalam melakukan upaya paksa dapat dikontrol. Namun dalam perjalanannya, lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi, karena fungsi pengawasan pranata praperadilan hanya bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan.

Pengajuan praperadilan yang seharusnya memiliki arti penting dalam rangka penegakan hukum,

2

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan /21_PUU-XII_2014 (diakses hari Kamis 3 November 2016, pukul 10.30 WIB)

melindungi pihak-pihak (tersangka, keluarga atau kuasanya) yang menjadi korban ketidaksewenang-wenangnya aparat penegak hukum baik dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga penetapan sebagai tersangka. Namun seringkali hakim praperadilan melakukan kekeliruan nyata, dimana judul perkaranya praperadilan, akan tetapi substansinya telah memasuki pokok perkara, karena materi pokok perkara bukan dalam jangkauan lembaga praperadilan yang semestinya menjadi pertimbangan hukum dan putusannya bersifat pembuktian administratif.

Hakim harus memperhatikan segala aspek dalam membuat putusannya, yaitu mulai dari kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan terknik dalam membuatnya.3 Anwar Usman salaku Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.4 Jika hal-hal negatif tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dapat dalam diri hakim adanya sikap atau sifat kepuasan moral. Penetapan tersangka

3

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya,

(5)

dibatasi secara limitatif oleh ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, padahal penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang didalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.

Salah satu perkara tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor : 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dengan Tersangka Mohammad Reza Pahlevi yang diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTS Tahun Anggaran 2012 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, sehingga mengakibakan Kerugian Negara sebesar Sehingga mengakibatkan Kerugian Negara sebesar Rp.1.453.365.189,- (satu miliar empat ratus lima puluh tiga juta tiga ratus enam puluh lima ribu seratus delapan puluh sembilan rupiah).

Jaksa Penuntut Umum menetapkan Mohammad Reza Pahlevi sebagai Tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: 25/N.8/Fd.1/08/2016 dan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Nomor: Print-27/N.8/Fd.1/08/2016 tanggal 29 Agustus 2016 untuk melaksanakan penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTS Tahun Anggaran 2012 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Menurut Jaksa Penuntut Umum, penetapan tersangka tersebut telah memenuhi minimal dua alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP, adapun penemuan alat bukti yang dimaksud oleh pihak Penyidik, yaitu:

a. Keterangan Saksi, yaitu telah dilakukan pemeriksaan terhadap 2 (dua) orang saksi (M. Irsan dan Jonisdar Ali).

b. Surat, yaitu berupa Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Laporan Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaaan Perlengkapan Sekolah Siswa Kurang Mampu SD/MI/SMP/MTs Pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2012 yang dikeluarkan oleh BPKP Nomor: SR-1001/D.6/01/2015 tanggal 23 Desember 2015. c. Petunjuk, yaitu perbuatan,

kejadian atau keadaan yang karena terdapat persesuaian antara keterangan saksi dan surat baik antara satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan telah terjadi suatu tindak pidana korupsi dan permohonan sebagai tersangka yang telah melakukannya.

(6)

telah memeriksa dan meneliti bahwa lampiran surat tersebut hanya berupa potokopi tanpa menunjukan aslinya dari instansi penerbit surat tersebut dalam persidangan, sebagaimana yang termuat dalam pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Selain itu, alat bukti petunjuk yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum berupa alat bukti petunjuk, sebagaimana termuat dalam pasal 183 ayat 3 KUHAP. Alat bukti petunjuk adalah alat bukti yang hanya dapat digunakan oleh Hakim, bukti petunjuk tersebut dibangun atas pengamatan Hakim dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian sesuai dengan hati nuraninya, bukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan pengembangan hukum yang dilakukan oleh pihak Penyidik sekaligus Jaksa Penuntut Umum yang telah menetapkan saudara Mohammad Reza Pahlevi sebagai tersangka atas dugaan Tindak Pidana Korupsi, Majelis Hakim akhirnya menjatuhkan putusan praperadilan terhadap Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Nomor: 25/N.8/Fd.1/08/2016 tanggal 29 Agustus 2016 atas nama tersangka Mohammad Reza Pahlevi dan Surat Perintah Penyelidikan yang dikeluarkan oleh Termohon Nomor : Print-27/N.8/Fd.1/08/2016, tanggal 29 Agustus 2016 dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTS Tahun Anggaran 2012 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung adalah tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti akan melakukan kajian dan penelitian tentang “Analisis Putusan Hakim Praperadilan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk)”.

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, mentelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum melalui penelusuran kepustakaan terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan penulisan skripsi ini. Penelusuran bahan-bahan kepustakaan dilakukan dengan mempelajari asas-asas, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

II. PEMBAHASAN

A.Dasar Pertimbangan Putusan Hakim yang mengabulka Permohonan Praperadila dalam Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk

(7)

maksud atau tujuan lain diluar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang.

Telah kita ketahui bahwa Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera yang diatur dalam Pasal 78 Ayat (2) KUHAP meskipun tidak dijelaskan secara rinci mengenai alasan mengapa praperadilan hanya dipimpin oleh hakim tunggal. Hal ini tetap berkaitan dengan prinsip pemeriksaan yang ditegaskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Novian Saputra, bahwa upaya agar dapat dipenuhi proses pemeriksaan yang cepat setelah dikabulkannya permohonan, Hakim harus melakukan pemeriksaan serta menjatuhkan putusan prapradilan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari dalam bentuk putusan berdasarkan asas peradilan cepat dan sederhana.5

Putusan Praperadilan sering muncul dimana hakim praperadilan cenderung mengakomodir untuk melakukan pemeriksaan mendalam atas subtansi pada alat bukti yang ditemukan penyidik. Seharusnya prosedur administratif yang dimaksud adalah hanya sebatas pemeriksaan terhadap kelengkapan surat dan memeriksa atas layak atau tidaknya saksi yang diajukan Termohon sebagai alat bukti, bukan kepada pemeriksaan lebih lanjut mengenai saksi dan alat bukti surat tersebut. Artinya, jika seluruh

5

Hasil wawancara dengan Novian Saputra, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Kamis 2 Maret 2017 pukul 08.30 WIB

kelengkapan administratif yang dibutuhan sudah terpenuhi, maka upaya paksa tersebut dapat dianggap sah oleh pengadilan dan dilanjutkan ke dalam tahap penuntutan atau ranah peradilan.

Berdasarkan uraian Bab 1 angka 10 KUHAP dikatakan bahwa Praperadilan merupakan wewewang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus suatu keputusan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Surat Permohonan Praperadilan tanggal 24 Oktober 2016 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tanjung Karang dibawah Register Perkara Pidana Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk telah menyampaikan permohonan pemeriksaan Praperadilan tentang sah atau tidaknya Penetapan Pemohon sebagai Tersangka dalam tindak korupsi atas proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu Tahun 2012 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.

(8)

Agustus 2016 tentang penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon, sebagaimna berdasarkan Surat Panggilan Nomor : SP-687/N.8.5/Fd.1/09/2016 tanggal 30 September 2016. Praperadilan mengabulkan permohonan mengenai sah atau tidaknya penetapan sebagai tersangka dalam Putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk. Saat memeriksa dan mengadili perkara, Prapeadilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan terhadap Pemohon atas nama Mohammad Reza Pahlevi. Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi menurut Yahya Harahap6, antara lain yaitu:

a) Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana, khususnya pada tahap penyidikan dan penuntutan;

b) Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap penyalahgunaan wewenang olehnya.

Hakim Praperadilan terlebih dahulu mempertimbangkan kapasitas Pemohon mengajukan Permohonan Praperadilan tentang sah atau tidaknya Penetapan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi atas proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu Tahun 2012 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Nomor : Print-27/N.8/Fd.1/08/2016 tertanggal 29 Agustus 2016 tentang penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh

6

M.Yahya Harahap, ibithlm. 3

Termohon, sebagaimana berdasarkan Surat Panggilan Nomor: SP-687/N.8/Fd.1/09/2016 tanggal 30 September.

Bukti surat P.1 yang diajukan Pemohon ini merupakan satu-satunya bukti surat yang dapat mendukung dalil ditetapkannya Pemohon sebagai Tersangka, sedangkan bukti P.2 sampai dengan P.8 setelah diperiksa Hakim Praperadilan teryata tidak relevan untuk mendukung dalil ini sehingga bernilai pembuktiian dan harus dikesampingkan. Bahwa disamping itu bukti P.1 yang dijukan adalah berupa fotokopi yang memiliki legalitas berupa tanda tangan dan cap stempel basah dari BPKP tanpa bisa Termohon menujukan Aslinya dipersidangan.

Mengenai alat butki yang pertama berupa keterangan saksi yang dikatakan Termohon telah memeriksa beberapa orang saksi di persidangan yaitu M Irsan dan Jonisdar Ali dan keterangan pejabat berwenang atau penyidik, hakim Praperadilan telah diperoleh fakta bahwa Termohon telah memeriksa 6 saksi yaitu Jonisdar Ali, Irhanna Yusuf, M Irsan, Ahmad Bastian, Eli Novianto, dan Koko Sunarto dengan demikian maka Hakim Praperadilan menyatakan bahwa Termohon telah memenuhi ketentuan 1 alat bukti berupa keterangan saksi sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP.

(9)

siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTs pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Tahun 2012 yang dikeluarkan oleh BPKP Nomor : SR/1001/D.8/01/2015 tanggal 29 Desember 2015 (Bukti T.16). dalam hal ini, Hakim Praperadilan telah menelitinya dan ternyata lampirannya hanya berupa fotokopi dari fotokopi tanpa bisa Termohon menujukkan Aslinya atau turunan aslinya atau tanda pengesahan dari Instansi penerbit surat tersebut di persidangan.

Hasil wawancara peneliti dengan Jaksa Elza Oriza7 di Kejaksaan Tinggi Lampung pada hari Rabu tanggal 08 Maret 2017 mengenai alat bukti surat yang diajukan oleh Termohon yang tidak dapat diajukan sebagai alat bukti di persidangan,

beliau menerangkan bahwa : “surat

yang dikeluarkan oleh BPKP berupa salinan fotokopi yang memiliki legalitas karena tanda tangan dan cap stempel dari surat tersebut adalah asli. Namun Jaksa tidak dapat menunjukkan keaslian surat tersebut karna dari BPKP hanya mengeluarkan print-out yang dilegalisir dengan tanda tangan dan

cap stempel basah”.

Aturan hukum pembuktian atas alat bukti surat di persidangan telah menentukan bahwa kekuatan pembuktian dengan suatu akta terletak pada akta aslinya. Bila akta aslinya ada, maka salinan serta kutipannya hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk

7

Hasil wawancara Jaksa, di Kejaksaan Tinggi Lampung, Rabu 22 Maret 2017 Pukul 10.30 WIB

ditunjukkan (kepada Hakim), sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1888 KUHPerdata, maka Hakim Praperadilan tidak dapat membuktikan kebenaran alat bukti surat.

Hasil Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk bahwa dalil Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka, tidak pernah dilakukan verifikasi kebenarannya oleh Termohon. Dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Lampung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka Nomor 25/N.8/Fd.1/08/2016 tertanggal 29 Agustus 2016. Realita prakteknya praperadilan di Indonesia telah terjadi perluasan objek sebagaimana dimaksud Pasal 77 KUHAP, yaitu sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi salah satu objek pemeriksaan permohonan dalam praperadilan. Alasan yang menjadi dasar permohonan praperadilan Pemohon adalah Surat Panggilan Kejati Lampung Nomor : SP-687/N.8.5/Fd.1/09/2016 tanggal 30 September 2016 yang ditunjukan kepada Harkat Meinarko untuk diperiksa sebagai saksi tanggal 6 Oktober 2016. Dalil ini diperkuat bukti surat Penggugat yang bertanda P.1 berupa surat Panggilan Kejati Lampung Nomor : SP-687/N.8.5/Fd.1/09/2016 tanggal 30 September 2016 yang ditunjukan kepada Harkat Meinarko, untuk diperiksa sebagai saksi tanggal 6 Oktober 2016.

(10)

diberlakukan bagi orang lain diluar amar putusan. Demikian juga terhadap pertimbangan hukum yang hanya didasarkan pada terungkapnya semua fakta dipersidangan dalam Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk. Oleh karena itu, alat bukti surat berupa putusan hakim hanyalah sekedar dapat digunakan oleh Termohon atau penyidik sebagai acuan petunjuk (bukan dalam pengertian alat bukti petunjuk yang dimaksud Pasal 187 Huruf d KUHAP) dalam rangka untuk mengumpulkan minimal 2 alat bukti diluar Putusan. Mengenai alat bukti petunjuk yang didalilkan oleh Termohon, seharusnya Termohon merujuk pada bunyi Pasal 183 yat 3

KUHAP yang berbunyi : “Penilaian atas kekuatan hukum pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arief dan bijaksana, setelah ia mengadakan dengan penuh kecermatan dan kesesamaan

berdasrkan hati nurani”. Maka jelas kewenangan alat bukti T.20 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dalam Putusan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk harus ditolak.

B.Akibat Hukum dari Putusan

Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk

Upaya hukum banding atas putusan praperadilan tidak di atur dalam KUHAP. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 tidak ada upaya hukum apapun yang dapat ditempuh atas putusan praperadilan, baik mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan maupun mengenai sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Dengan demikian,

hal ini tidak dapat melakukan pengajuan upaya hukum lain yaitu kasasi, maka dapat dikatakan bahwa Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk berakhir pada tingkat Pengadilan Negeri sehingga putusan praperadilan tersebut merupakan putusan tingkat akhir yang dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan (PERMA Nomor 4 Tahun 2016). Dalam konsiderans Mahkamah Agung mempertimbangkan beberapa faktor secara konperehensif, yaitu sebagai berikut :8

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memperluas kewenangan Praperadilan sebagaimana ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP, menjadi tidak hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan. Tetapi termasuk juga penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan. Secara yuridis, Mahkamah Agung tidak berwenang membuat norma hukum baru, namun sebagaimana Mahkamah Agung juga kerap membuat norma hukum baru, asas pragmatis yang tampil demi kepentingan yang luas.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi

8

http://www.hukumhukum.com/2016/08/put

(11)

Pengadilan. Kemungkinan diajukannya peninjauan kembali terhadap Putusan Praperadilan dalam hal ini ditemukan indikasi penyelundupan hukum, namun dengan demikian terdapat penafsiran yang berbeda-beda mengenai penyelundupan hukum, sehingga dapat mengakibatkan putusan yang saling bertentangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011 tentang Penghapusan Pemberian Hak Banding Kepada Penyidik dan Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, sehingga putusan praperadilan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum banding. 4. Pasal 45A Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan larangan diajukannya kasasi terhadap putusan Praperadilan.

5. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 memberikan kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua peradilan yang berada dibawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, termasuk Praperadilan.

6. Rapat Pleno Mahkamah Agung

pada tanggal 2 Februari 2016

menentukan Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali.

Termohon sebagai Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan Peninjauan Kembali dengan dasar menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Maret 2014 yang menyatakan bahwa Peninjauan Kembali terhadap praperadilan tidak diperbolehkan kecuali ditemukan indikasi penyelundupan hukum yaitu praperadilan yang melampaui kewenangannya sesuai pasal 77 KUHAP, meski tidak ada penjelasan dalam lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Maret 2014.

III. PENUTUP

A.Simpulan

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka. Putusan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk atas nama Tersangka Mohammad Reza Pahlevi diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTS.

(12)

tanda tangan dan cap stempel basah. Maka peneliti melakukan penelitian tentang pertimbangan putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan Praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dan akibat hukum dari Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk.

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, mentelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum melalui penelusuran kepustakaan terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan penulisan skripsi ini. Penelusuran bahan-bahan kepustakaan dilakukan dengan mempelajari asas-asas, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Hasil pembahasan dari Putusan

Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk adalah dilaksanakannya penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi dengan alat bukti berupa keterangan saksi dan alat bukti surat hasil Audit BPKP serta alat bukti petunjuk. Hakim menenyatakan bahwa Termohon telah melakukan pemeriksaan terhadap 6 (enam) orang saksi. Hakim mengabaikan alat bukti surat tersebut karena dianggap hanya salinan fotokopi tanpa membuktikan keasliannya dalam proses persidangan, sebagaimana termuat dalam pasal 1888 KHUPerdata. Hakim menolak alat bukti petunjuk

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 183 ayat (3) KUHAP.

Hakim telah mempertimbangkan bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Putusan praperadilan seharusnya berdasarkan pembuktian administratif, tidak boleh masuk ke dalam pokok perkara. Selanjutnya dalam dalil Termohon berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor 25/N.8/Fd.1/08/2016 atas nama Mohammad Reza Pahlevi sebelumnya telah diperiksa sebagai saksi dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Tauhidi pada Pengadilan Negeri kelas IA

Nomor :

11.PID.SUSTPK/2016/PNTK.

Berdasarkan uraian di atas, prosedur penetapan Pemohon sebagai Tersangka tidak dilakukan klarifikasi terlebih dahulu, sehingga menimbulkan adanya dugaan penyelundupan hukum dan tindak penyalahgunaan wewenang dalam Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk. Dengan demikian, maka upaya hukum lain dapat dilakukan dengan mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan pengecualian yang dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Maret 2014.

B.Saran

(13)

upaya hukum serta dapat dijadikan sebagai upaya kontrol peradilan. Menurut peneliti, proses Praperadilan akan lebih baik jika berdasarkan RUU KUHAP, karena pada prakteknya diharapkan Sistem Hakim Komisaris menjadi lembaga pengawasan aparat penegak hukum yang terbuka dan akuntabilitas serta mampu melakukan pengawasan secara baik.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Kufal, HMA. 2010. Penerapan KUHAP Dalam Praktek

Hukum, UMM Pres:

Malang, 2010.

Mulyadi, lilik. 2010. Putusan Hakim

dalam Hukum Acara

Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti: Bandung.

Harahap, M. Yahya. 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika: Jakarta.

Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20

tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR).

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan larangan diajukannya kasasi terhadap putusan Praperadilan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 memberikan kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan Peradilan.

(14)

Website

http://www.mahkamahkonstitusi.go.i d/putusan/21_PUU-XII_2014

http://mahkamahkonstitusi.go.id/Beri taSidang/MK:PenetapanTersangkaM asukLingkupPraperadi lan,

Lain-lain

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU/XII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011 tentang Penghapusan Pemberian Hak Banding Kepada Penyidik dan Penuntut Umum.

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung

Karang Nomor

14/Pid.Pra/2016/Tjk

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan (PERMA Nomor 4 Tahun 2016).

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Referensi

Dokumen terkait