• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asyhari Metodologi Kritik Tafsir Al Habsyi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asyhari Metodologi Kritik Tafsir Al Habsyi"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

METODOLOGI KRITIK TAFSIR:

AL-HABASYI (1910-2008 M)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar

Magister Agama dalam bidang Pengkajian Islam

Oleh

ASYHARI

NIM: 06.2.00.1.14.08.0073

Pembimbing

Dr. MUCHLISH M. HANAFI, MA

KONSENTRASI ULUM AL-QUR'AN

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Asyhari

Nomor Pokok Mahasiswa :06.2.00.1.14.08.0073

Tempat/ Tanggal Lahir : Kediri, 21 Juni 1979

Pekerjaan : Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (STIT &K) Dar Aswaja Rohil Riau

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul ”METODOLOGI KRITIK TAFSIR: AL-HABASYI (1910-2008 M)” adalah benar karya asli saya,

kecuali yang saya sebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari terdapat di dalamnya kesalahan, maka hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dengan konsekuensi pencabutan gelar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 23 Desember 2008 Yang Menyatakan

(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul ”METODOLOGI KRITIK TAFSIR: AL-HABASYI (1910-2008 M)”, yang ditulis oleh Asyhari, Nomor Induk Mahasiswa

06.2.00.1.14.08.0073, konsentrasi Ulum al-Qur'an telah disetujui untuk dibawa ke

dalam ujian tesis.

Pembimbing,

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul ”METODOLOGI KRITIK TAFSIR: AL-HABASYI (1920-2008 M)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Desember 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) Bidang Pengkajian Islam, Konsentrasi Ulum al-Qur'an.

Jakarta, 23 Desember 2008

Sidang Munaqosyah

1. Dr.Fuad Jabali, MA 1. ... Ketua Sidang

2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA 2. ... Penguji

3. Dr. Yusuf Rahman, MA 3. ... Penguji

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah ta'ala, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam Allah semoga tetap terlimpah pada nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat serta para pengikutnya. Amin

Penyelesaian penulisan tesis ini tidak dapat terlepas dari bantuan, dukungan dan partisipasi segenap pihak, baik secara langsung atau tidak, secara moril maupun materil. Karena itu dengan segala kerendahan hati dan kebesaran jiwa, penulis haturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, masing-masing sebagai Rektor dan Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk memberi kesempatan menempuh pendidikan di program magister Ilmu Agama. 2. Departemen Agama RI yang telah memberi bea siswa kepada penulis, selama dalam

pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Yusuf Rahman, MA, Dr. Mukhlis Hanafi, MA, masing-masing sebagai penanggung jawab program bea siswa konsentrasi Ulumul Qur'an dan pembimbing tesis yang telah memberi bimbingan dan motifasi penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Seluruh tenaga pengajar (dosen) pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah memberi warna pada diri penulis selama menempuh pendidikan.

5. Dr.Syekh Samir al-Qadi, Dr. Syekh Tarik al-Laham al-Husaini, Syekh Muhammad Aukal al-Husaini, Syekh Khairudin al-Abbas, seluruhnya adalah para murid syekh Abd Allah al-Harari al-Habasyi yang telah memberikan usulan dan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

(6)

7. Pemerintah Daerah (PEMDA) Riau yang telah memberikan bantuan dana penulisan tesis.

8. Para sahabat dari Syabab Ahlussunnah Wal Jama'ah (SYAHAMAH) yang juga banyak memberi sumbangan pemikiran demi terselesaikan penulisan tesis ini.

9. Para teman kuliah senasib sepenanggungan yang telah rela berbagi suka dan citanya dengan penulis selama menempuh pendidikan.

Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi para pemerhati pecinta ilmu-ilmu al-Qur'an dan tafsir dan umunya umat Islam yang haus akan penelitian-penelitian bernuansa pencerahan tafsir al-Qur'an. Amin

(7)

ABSTRAK

Asyhari:Metodologi Kritik Tafsir: al-Habasyi(1910-2008 M)

Terjadinya kesalahan dalam tafsir al-Qur'an adalah sesuatu yang logis, karena ia adalah hasil pemikiran manusia yangrelatif. Maka sebagai langkah antisipasi, para ulama tafsir telah mengembangkan tradisi kritik tafsir, agar tafsir yang menyimpang dapat terindentifikasi sedini mungkin. Menurut al-Habasyi, kriteria yang harus dikedepankan dalam aplikasi kritik tafsir adalah kesatuan dan keterpaduanusûl al-syari'ah. Kesimpulan ini muncul mengingat bahwa sebagai sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an tidak mungkin kontradiktif dengan sunnah sebagai bayan-nya dan ijma' sebagai penguatnya serta akal sebagai saksi kebenarannya.

Penelitian ini dilakukan untuk memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang kritik tafsir, yang telah berhasil membuktikan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir al-Qur’an. Penelitian tersebut antara lain seperti yang dilakukan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dengan "al-Ittijahât al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an al-Karîm", Abd Allâh al-Ghumâri dengan "Bida’ al-Tafâsir". Secara tidak langsung penelitian ini juga membantah kesimpulan sementara sarjana al-Qur'an kontemporer, semisal Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa tafsir al-Qur’an bersifatnisbiysecara mutlak, sehingga tidak selayaknya ada klaim salah dan benar dalam tafsir.

Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah semua buku karya Abd Allâh al-Habasyi sebagai sumber primer, dan buku-buku yang berkaitan dengan kritik tafsir secara umum sebagai sumber skunder. Data-data yang diperoleh, dibaca dengan menggunakan

(8)

ABSTRACT

Asyhari: A Methodology of Criticizing Tafsir: al-Habasyi (1910 – 2008 M)

To make wrong interpretations in makingtafsir of the Qur'an is something logic because

the humans' mind is relative. To anticipate this, the scholars who are knowledgeable in

making tafsir have developed the tafsir criticizing tradition, so that the deviated

interpretations can be identified as early as possible. According to al-Habasyi, the criteria

that have to be put upfront in applying the tafsircriticism is the unity ofusul al-syari'ah.

This is concluded so as the Qur'an, as the main source of the Islamic teaching, cannot be

contradictive with the sunnah as its bayan, ijma' as its strength, and the mind as the

witness of its truth.

This research is done to support previous researches in criticizing tafsir that have

successfully proven that there are deviations in makingtafsirof the Qur'an. The book "

al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur'an al-Karim" written by Muhammad Husain

al-Dzahabi and the book "Bida' al-Tafasir" written by Abd Allah al-Ghumari are two of

them. This research also indirectly rebuts the conclusion of contemporary Qur'an scholars

such as Nasr Hamid Abu Zayd, who stated that the tafsir of the Qur'an was absolute by

nature that there would be no right or wrong in makingtafsir.

The sources used in this research are all the works of Abd Allah al-Habasyi as the

primary source, and other books related to criticizing tafsir in general as the secondary

source. The data gathered are read using the content analysis. Firstly, the data spread in most of al-Habasyi's works, as the primary source, are traced and gathered. Secondly, is

to classify them into two groups: the object of cricizing tafsir and the criteria of

criticizing tafsir. And then all the data are analyzed by comparing them with the data

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... x

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah... 1

B. Permasalahan... 11

1. Identifikasi Masalah ... 11

2. Batasan Masalah... 11

3. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat / Signifikasi Penelitian ... 12

E. Studi Terdahulu yang Relefan ... 12

F. Metodologi Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan... 18

BAB II AL-HABASYI DAN PERDEBATAN SEPUTAR KRITIK TAFSIR A. Biografi al-Habasyi ... 20

1. Kelahiran danrihlah ilmiyah... 20

2. Karya tulis ... 25

3. Sosok al-Habasyi di mata para koleganya ... 31

B. Perdebatan Seputar Kritik Tafsir...35

(10)

2.Qat'iydanzanniydalam al-Qur'an ... 41

3.Relativismetafsir... 45

BAB IIIUSÛL AL-SYARÎ'AH SEBAGAI KRITIK TAFSIR A. Komparasi Tafsir denganUsûl al-Syarî'ah... 59

1. Al-Qur'an ... 59

a) Bahasa Arab... 61

b) Ayatmuhkamat ...65

2. Sunnah... 74

3. Ijma'... 84

B. Komparasi tafsir dengan Akal ... 95

BAB IV APLIKASI KRITIK TAFSIR AYAT-AYAT TEOLOGI A. Sifat Tuhan... 100

B. Kisah Nabi ... 109

1. Nabi Ibrâhim... 110

2. Nabi Yûsuf... 113

3. Nabi Dâwud... 116

4. Nabi Muhammad ... 118

C. Pluralisme Agama... 119

1. Kesatuan agama ... 120

2. Pengakuan dan keselamatan umat non muslim ... 128

3. Kebebasan beragama ... 134

BAB V APLIKASI KRITIK TAFSIR AYAT-AYAT HUKUM A. Jihâd/ perang... 150

B. Aplikasisyari’atIslam... 168

C. Mustahiqzakat... 181

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 190

(11)

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Huruf Arab

Huruf Latin Huruf Arab

Huruf Latin

ا …^…. ط T

ب B ظ Z

ت T ع ‘

ث Ts غ Gh

ج J ف F

ح H ق Q

خ Kh ك K

د D ل L

ذ Dz م M

ر R ن N

ز Z و W

س S ـھ H

ش Sy ء `

ص S ي Y

ض D

B. Vokal

Vokal tunggal : َـــــــ = a ـِـــــ = i ُـــــ = u Vokal Panjang : ﺎَــــــ = â ﻲـــــ= î ْﻮُـــــ = û Vokal Rangkap :ْﻲَـــــ = ai ْﻮـَــــ = aw

C. Lain-lain

-Transliterasisyaddahatautasydiddilakukan dengan menggandakan huruf yang sama -Transliterasi ta` marbutah adalah "h", termasuk ketika ia diikuti oleh kata sandang "al" (لا)

-Kata sandang "لأ" ditransliterasikan dengan "al" diikuti dengan kata penghubung "-", baik dengan hurufqamariyyahmaupunsyamsyiah

-Transliterasi kata " " yang tersambung dengan kata lain sebelumnya ditulis secaraﷲأ

terpisah.

(12)

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Kemungkinan akan munculnya penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir, khususnya dalam al-tafsir bi al-ra`yi telah diisyaratkan oleh Rasulullah, mufassir

resmi al-Qur'an. Terpecah belahnya umat Islam menjadi beberapa sekte dan aliran, baik dalam bidang teologi maupun fikih terbukti menjadi salah satu pemicu terbesar munculnya penyimpangan-penyimpangan tersebut. Panatisme madzhab telah menjadikan mereka tidak dapat bersikap obyektif dalam pembacaan al-Qur'an. Tafsir al-Qur'an digunakan sebagai justifikasi kebenaran madzhab yang dianutnya.

Keadaan seperti ini, menjadi keprihatianan para 'ulama al-Qur'an. Sehingga mereka merasa terpanggil untuk merumuskan kaidah-kaidah penafsiran, syarat-syarat

mufassir dan hal-hal yang wajib dijauhi oleh seorang mufassir. Dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kemudian mereka mengembangkan tradisi kritik tafsir, untuk mengidentifikasi tafsir-tafsir yang menyimpang. Namun tradisi yang berujung pada klaim benar dan salah tersebut dinilai oleh sebagian pihak belum memiliki kriteria dan standart yanguniversal, dan tidak dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk menjawab persoalan di atas, al-Habasyi menawarkan sebuah metodologi kritik tafsir berupa usûl al-syari'ah. Bahwa semua reinterpretasi terhadap al-Qur'an tidak boleh kontradiktif dengan satu kesatuan usûl al-syari'ah (al-Qur'an, hadits dan ijma'). Karena kebenaran ketiga sumber syari'at tersebut bersifat qat'iy/absolut,

sehingga tidak mungkin saling betentangan satu dengan lainnya.

Metodologi kritik tafsir al-Habasyi, secara umum lahir dari sebuah adagium yang mengatakan bahwa sebuah dalil yang muhtamal (mengandung kemungkinan salah dan benar) menjadi tidak mu'tabar(tidak bernilai), apabila bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Seperti orang yang mendengar berita kematian Zaid, kemudian ia secara lansung bertemu dengan Zaid dalam keadaan masih hidup.1 Atas dasar tersebut al-Habasyi berkesimpulan bahwa interpretasi manusia terhadap ayat yang

zanniy al-dilâlah yang bersifat muhtamal, harus tunduk pada pemahaman al-Qur'an yangqat'iy (absolut)kebenarannya (muhkam al-Qur'an, tafsir Nabi, dan tafsirmujma' 'alaihi).

(13)

Adapun aplikasiusûl al-syarî'ahdalam kritik tafsir adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman ayat muhkamat harus berdasarkan bahasa arab saat al-Qur'an

diturunkan.

2. Interpretasi ayat zanniy al-dilâlah/ mutasyâbihat harus disinkronkan dengan sunnah Nabi, tidak boleh kontradiktif dengannya.

3. Interpretasi ayat zanniy al-dilâlah/ mutasyâbihatjuga harus disinkronkan dengan pemahaman ayatmuhkamat.

4. Interperetasiayat zanniy al-dilâlah/ mutasyâbihattidak boleh kontradiktif dengan ajaran-ajaran yang telah disepakati(mujma' 'alaihi).

5. Kebenaran interpretasi al-Qur'an juga harus dapat dibuktikan secara akal, karena akal adalahsyâhid al-syara'.

Dasar pemikiran aplikasi usûl al-syarî'ah dalam kritik tafsir adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur'an diturunkan sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia dan diturunkan dengan menggunakan bahasa arab yang jelas, karenanya semua ayat al-Qur'an pasti dapat dipahami oleh manusia. Dengan doktrin al-Habasyi menolak pendapat kelompok wahhabi dan kelompok literalislainnya yang berpendapat bahwa tidak ada manusia yang mengetahui makna ayat mutasyâbihat. Sebab tidak ada yang mengetahui makna ayat mutasyâbihat kecuali hanya Allah. Menurut al-Habasyi, pendapat kelompok literais ini bertentangan dengan fungsi al-Qur'an sebagai petunjuk, juga bertentangan dengan kenyataan bahwa al-Qur'an diturunkan dengan memakai bahasa arab yang jelas. Lebih fatal lagi menurutnya, pendapat tersebut juga merupakan bentuk pelecehan terhadap nabi, bahwa nabi mengajak manusia pada sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahuinya.

(14)

3. Kebaikan adalah yang dipandang baik oleh syara' dan keburukan adalah yang dipandang buruk oleh syara'. Dari doktrin ini al-Habasyi melakukan kritik tafsir terhadap reinterpretasi al-Qur'an kontemporer yang berangkat dari sebuah usaha untuk membantah stigma buruk yang dilekatkan pada Islam seperti agama kekerasan dan teroris, agama biadab, agama yang disebarkan dengan pedang dan agama eksklusif. Padahal stigma tersebut bersumber dari akal manusia yang terkadang bercambur dengan emosi dan hawa nafsu.

B. Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Setiap orang yang melakukan reinterpretasi ayat al-Qur'an harus terlebih dahulu telah memahami dan menguasai syari'at Islam secarakomprehensif. Sehingga ia tidak menelorkan syari'at baru yang bertentangan dengan syari'at Islam yang telah mansûs

dan disepakati (mujma' 'alaihi) atau bahkan yang ma'lum min al-din bi al-darurah

(telah diketahui oleh semua umat Islam, baik yang'alimmaupun'awam).

2. Setiap ayat dalam al-Qur'an telah ditafsirkan oleh para mufassir dan dapat ditemukan dalam kitab-kitab tafsir mereka. Karena itu setiap orang yang akan melakukan reinterpretasi terhadap ayat al-Qur'an harus menjadikan kitab-kitab tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam penafsiran.

3. Hendaknya setiap orang tidak melakukan reinterpretasi ayat al-Qur'an tanpa didasari ilmu. Reinterpretasi ayat al-Qur'an dengan ilmu artinya melakukan aktifitas penafsiran ulang dengan berdasarkan sunnah atau atsar dari para sahabat,tabi'in dan

mufassir sebelumnya, atau berdasarkan ilmu-ilmu tafsir serta ilmu pendukungnya seperti ilmu bahasa danusul.

4. Pengkajian tafsir yang moderat, tidak liberal dan tidak literal, harus lebih dikembangkan di tengah ramainya kajian-kajian ilmu al-Qur'an dan tafsir.

(15)
(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Dalam diskursus keilmuan Islam, istilah kritik hadits terasa lebih akrab di telinga dibandingkan dengan istilah kritik tafsir. Padahal keduanya sama pentingnya untuk mengawal pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam. Karena al-Qur’ân dan hadits adalah pedoman utama umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Apabila tanpa kritik hadits tidak dapat diidentifikasi hadits yang maqbûl

(diterima) dari hadits yang mardûd (ditolak),1demikian juga tanpa kritik tafsir tidak dapat diidentifikasi tafsir yang menyimpang dari tafsir yang lurus.

Kesalahan dalam tafsir al-Qur’ân bukan sesuatu yangmustahîl, sebab ia bukan

wahyu, tetapi hasil pemikiran manusia yang selalu mengandung dua kemungkinan (muhtamal), salah dan benar. Tidak ada jaminan dari Allah, Nabi atau siapapun bahwa kebenaran tafsir bersifat mutlak, kecuali tafsir Nabi. Karena beliau adalah penafsir resmi al-Qur'an (Q.S al-Nisa`:105),2 yang segala ucapannya merupakan wahyu dari Allahta'ala(Q.S al-Najm: 3-4).3Dengan demikian, tafsir berbeda dengan al-Qur’ân yang keotentikannya telah dijamin oleh Allah ta'ala (Q.S al-Hijr: 9).4 Terbukti setiap usaha yang dilakukan untuk merubah, menambah atau mengurangi

1Hadits-hadits palsu mulai menyebar setelah generasi sahabat, khususnya ketika umat Islam telah terpecah belah menjadi beberapa sekte aliran. Sehingga umat Islam kesulitan untuk membedakan antara hadits yang asli dan yang palsu. Keadaan seperti ini memberikan motifasi kepada khalifah Umar bin Abd Aziz untuk memerintahkan kepada para ulama Hadits untuk membuat kaidah-kaidah pembeda antara hadits yangmaqbuldanmardud.Kaidah-kaidah tersebut kemudian dikenal dengan ilmu hadits

dirâyah atau ilmu Mustalah al-Hadits. Orang yang pertama kali menyusun ilmu ini adalah Abu Muhammad al-Ramahurmuzi dengan kitabnya" al-Muhaddits al-Fasil".Lihat: Abd. Allâh al-Harari al-Habasyi (selanjutnya disingkat dengan al-Habasyi),Syarah al-Baiquniyah, (makhtût), h. 11

2Maknanya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…"

3Maknanya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".

(17)

huruf-huruf al-Qur’ân selalu mengalami kegagalan (Q.S al- Isrâ: 88).5Karena itu pula dalam khazanah keilmuan Islam, tidak dikenal istilah kritik al-Qur'an.

Pada masa Rasulullah, belum terjadi penyimpangan tafsir, karena para sahabat dapat dengan mudah mengakses tafsir Nabi. Setiap kali menemukan kesulitan tentang makna ayat al-Qur'an, mereka dapat secara langsung bertanya kepada Nabi. Meskipun demikian, diduga Nabi telah melihat adanya gejala akan terjadinya penyimpangan dalam tafsir al-Qur'an, sehingga dalam sebuah haditsnya, beliau mengecam orang-orang yang menafsirkan al-Qur'an dengan hanya berdasarkanra’yu

(pendapat)nya, dan mengancam mereka dengan neraka”.6Sebagai tindakan prefentif, Nabi menegaskan bahwa meskipun hasil penafsirannya benar, seseorang yang menafsirkan al-Qur’ân denganra’yu(pendapat) nya, dia tetap dianggap telah berbuat salah”.7

Selain mengisyaratkan pengakuan Nabi terhadap akan adanya penyimpangan dalam tafsir al-Qur'an, hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa tafsir yang paling berpotensi menyimpang adalah al-tafsîr bi al-ra`yi.8 Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang maksud ra`yu dalam hadits tersebut, sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ra'yu dalam hadits tersebut adalah hawa nafsu.

Sedangkan sebagian 'ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah apabila seseorang menafsirkan al-Qur'an tanpa memandang pada pendapat para ulama dan tanpa menggunakan kaidah-kaidah ilmu seperti kaidah nahwu dan usûl.9

5

Maknanya: "Katakanlah: "sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

6Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalamSunan al- Tirmizi, kitab tafsir al-Qur'an, bab fî

mâ jâa fî al- ladzi yufassir al- Qur’ân bi Ra’yihi,(al-maktabah al-syamilah, vol. 2) h.45 7Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalam

Sunan al- Tirmizi, kitab tafsir al-Qur'an, bab fî mâ jâa fî al- lazi yufassir al- Qur’ân bi Ra’yihi,(al-maktabah al-syamilah, vol. 2)h.46

8Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir al-Qur'an yang didasarkan pada ijtihad. Lihat: Muhammad Husain al-Dzahabi,al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Maktabah Mush’ab bin Umair al-Islamiyah) juz 1, h.183.

9Al-Qurtubi,

(18)

Menyadari hal tersebut, maka para ulama mengklasifikasikan al-tafsir bi al-ra`yi

menjadi dua kelompok;mamdûh(terpuji) danmadzmûm(tercela).10

Sebagai langkah antisipasi terhadap penyebaran tafsirmadzmûm, para ulama al-Qur'an klasik telah merumuskan kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassirdan hal-hal yang harus dijauhi oleh seorang mufassir dalam kegiatan penafsiran. Sehingga apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh seorang mufassir, maka terjadinya penyimpangan tafsir sulit untuk dihindarkan. Al-Suyûtî (w.991 M) menulis bahwa setidaknya ada lima penyebab terjadinya penyimpangan tafsir al-Qur'an; pertama, apabila tafsir tidak dilengkapi dengan ilmu-ilmu pendukung, kedua, menafsirkan ayat mutasyâbih yang hanya diketahui oleh Allah, ketiga, mendasarkan tafsir pada madzhab tertentu yang rusak, keempat, tafsir yang memastikan sebagai maksud Allah pada ayat tertentu tanpa ada dalil, dan kelima, mendasarkan tafsir pada

hawa nafsu.11

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka para ulama tafsir kemudian melakukan kritik tafsir. Setiap tafsir yang tidak memenuhi ketentuan dianggap telah menyimpang dari kebenaran. Sehingga dari tradisi ini, kemudian muncul gairah para ulama tafsir untuk menulis kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam metode

(manhaj)12dan corak (laun)13, yang sebagian sengaja ditulis untuk mengcounter dan menanggapi kitab tafsir sebelumnya yang dianggap menyimpang. Ketika al-Zamakhsyari (w.538 H) menulis tafsiral-Kassyâf dengan nuansa akidah Muktazilah yang sangat kental, maka al-Râzi (w.606 H) menulis kitab tafsir serupa dan

10

Abd al-'Azim al-Zarqani,Manâhil al-'Irfân, (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1416 H/1996 M), juz 2, h.39

11Jalal al-Dîn Abd al-Rahmân al-Suyûti, al- Itqan fi ‘ulum al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Hadits 1427 H/ 2006 M) juz 4, h.464

12‘Abd al-Hayyi al-Farmâwî mengatakan bahwa secara umum penafsiran al-Qur’ân dilakukan melalui empat metode yaitu global (ijmâlî), analitis (tahlîlî), perbandingan (muqâran) dan tematik (maudû’î)Lihat: Abd al-Hayyi al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû’I, Dirâsât Manhajiyah Maudû’iyah(Kairo, Maktabah al-Hadarah al-‘Arabiyah, cet II, 1977 M), h. 23.

13Corak (laun) yang dikenal dalam diskursus tafsir adalah corak tafsir klasik (sunniy, i’tizalyi,

(19)

mengganti aroma Muktazilahnya dengan nuansa Asy'ariyah yang tidak kalah kentalnya. Dalam tafsir al-Kasyyâf sendiri, al-Zamakhsyari (w.538 H) banyak mengungkap beberapa tafsir yang ia anggap sebagaibida' al-tafâsirkelompokahl al-sunnahdansyi'ah.14

Tradisi kritik tafsir juga diikuti para ulama sesudahnya sampai pada masa sekarang, Muhammad Husain al-Dzahabi menulis sebuah buku berjudul al-Ittijahât al-Munharif fi Tafsîr al-Qur'an al-Karîm (trend penyimpangan dalam tafsir al-Qur'an), Abd Allâh al-Ghumâri (w.1413 H) menulis buku berjudul Bida' al-Tafâsir

(Bid'ah-bid'ah penafsiran) dan Abd Allâh al-Habasyi menulis buku berjudulSarîh al-Bayân fi al-Raddi 'ala man Khâlafa al-Qur'an (penjelasan yang gamblang untuk membantah orang yang menyalahi al-Qur'an).

Namun tradisi kritik tafsir sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama al-Qur'an klasik ini, mendapat sorotan tajam dari para sarjana al-al-Qur'an kontemporer. Berdasarkan metodehermeneutika falsafi yang mereka kembangkan dalam khazanah tafsir al-Qur'an, mereka berpendapat bahwa semua tafsir al-Qur'an bersifat nisbiy

secara mutlak, sehingga tidak sepantasnya bagi seseorang mengklaim bahwa tafsir tertentu salah dan tafsir lainnya benar. Salah satu tokoh pengembang hermenutika falsafi dalam Islam adalah Nasr Hâmid Abû Zayd, ia menegaskan bahwa dalam

hermeneutikatidak ada tafsir yang benar secara mutlak, semuanyarelatif, yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu.15 Karena itu, Abu Zayd menuduh syirik terhadap setiap orang yang mengkalim kebenaran untuk dirinya, dengan alasan ia telah menyamakan yang mutlak (Tuhan) dan yangrelatif(manusia) serta menyamakan antara maksud Tuhan dan pemahaman manusia, termasuk pemahaman Nabi. Menurutnya, hal itu merupakan dugaan yang berakibat pada

14Baca: Al-Zamakhsyari, Abd al-Qâsim Mahmûd bin Muhammad bin Umar,Tafsîr al-Kasysyâf

'an Haqâiq al-Tanzîl wa 'uyûn al-Aqâwil, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, cet.1, 1995 M) 15Nasr Hâmid Abû Zayd,

(20)

penuhanan nabi, atau menyakralkannya dengan menutupi realitas kedudukannya sebagai manusia”.16

Alasan lain yang sering dikemukakan adalah bahwa klaim salah dan benar terhadap suatu tafsir al-Qur'an, selalu menggunakan kriteria yang parsial, tidak

universal, sehingga tidak dapat diterima oleh semua pihak. Menilai tafsir kelompok lain dengan kriteria kelompok yang berbeda, kesimpulannya sudah dapat dipastikan, bahwa hanya tafsir kelompok tersebutlah yang benar, sedangkan tafsir kelompok lain menyimpang. Seorang yang beraliransunniakan menilai tafsir kelompok lain sebagai tafsir yang menyimpang, apabila dalam menilainya ia menggunakan kriteria sunni. Demikian juga kelompok lain, akan menilai menyimpang terhadap tafsir sunni,

apabila dalam menilainya ia menggunakan kriteria kelompoknya.

Sementara kalangan tradisionalis berpendapat bahwa apabila sebuah tafsir al-Qur'an telah didasari oleh argumen naqli (al-Qur'an dan hadits) yang tsâbit dan argumen rasio yangqâti' (tidak dapat dibantah lagi secara akal), maka tafsir tersebut boleh diklaim sebagai tafsir yang benar. Sebab menurut mereka, al-Qur'an yang diturunkan sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia, mustahil tidak dapat diketahui makna dan maksudnya yang pasti. Tanpa diketahui makna dan maksudnya yang pasti, maka petunjuk al-Qur'an tidak akan pernah didapatkan oleh manusia. Persoalan kriteria kritik tafsir, bukan persoalan siapa dan madzhab mana yang menggunakannya, tetapi yang terpenting adalah kekuatan dalil dan argument penggunaan kriteria tersebut. Setiap kelompok memang memiliki kriteria tersendiri, tetapi belum tentu mereka dapat mempertahankan kebenaran kriteria tersebut, baik secaranaqlmaupun akal.

Pemutlakan terhadap kenisbian tafsir al-Qur'an, pada hakikatnya hanya merupakan pintu untuk membuka pintu tafsir seluas-luasnya. Sehingga terbuka bagi siapa saja, termasuk orang yang tidak memiliki perangkat keilmuan pendukung untuk

(21)

melakukan interpretasi terhadap al-Qur’ân, dan dalam semua dimensi.17 Dengan begitu, terbukalah peluang bagi kalangan rasionalis untuk melakukan reinterpretasi

atau bahkan men-dekonstruksi al-Qur'an dengan pendekatan yang belum dikenal dalam tradisi Islam sebelumnya, karena dibangun di atas metodologi yang dikembangkan di dunia barat (non Islam).18

Namun dalam tahap aplikasi, reinterpretasi al-Qur’ân yang mereka lakukan selalu melahirkan penafsiran yang kontroversial di kalangan umat Islam. Sebagai contoh, penafsiran Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap al-Qur’ân surat al-Baqarah: 10219 yang menjelaskan tentangjin, syetan, sihir dan hasad. Dengan pendekatanhistoris, ia memahami ayat ini dengan bahwajin, syetan, sihir dan hasad adalah kata-kata yang terdapat dalam kerangka pemikiran yang terikat dengan periode tertentu dari perkembangan kesadaran manusia. Kemudian teks al-Qur’ân merombak makna

syetan sebagai kekuatan penghalang, dan menjadikan sihir sebagai salah satu alat untuk memperdaya manusia.20

17www.islamlib.com

18Pendekatan penafsiran yang paling mutakhir adalah pendekatan hermenetika dengan penekanan yang beragam, misalnya Nasr Hâmid Abû Zayd dengankritik sejarahdan Syahrûr dengan

strukturalisme linguistik. Lebih lanjut baca: Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dîniy, Muhammad Syahrûr,al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah( Damaskus: al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1990)

19Maknanya: "Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan-lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberimudharatdengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui".

(22)

Syahrûr dengan konsep strukturalisme linguistik menafsirkan kata al-Nisâ'

dalam Q.S Ali Imrân: 14,21dengan hal-hal yangmutakhir, bukan perempuan atau istri sebagaimana penafsiran para mufassir klasik. Syahrur beralasan bahwa kata-kata tersebut didahului dengan “zuyyina li al-nâs”, “al-nâs”berarti manusia yang meliputi laki-laki dan perempuan, apabila “al-nisâ’” berarti istri atau perempuan maka mestinya bunyi ayat itu adalah “zuyyina li al-rijâl”. Menurutnya jika “al-nisâ'”

dimaknai istri atau perempuan, maka membawa implikasi bahwa al-Qur’ân membolehkan biseksual, karena dalam kata “al- nâs”sudah terkandung laki-laki dan perempuan.22

Harus diakui bahwa metodologi kritik tafsir para ulama tradisional, secara umum masih lemah, sehingga sering menimbukankontroversi. Dalam kritik tafsirbi al-ma’tsûr,23mereka berbicara tentang haditsmaudû’dan isrâiliyat,dan dalam kritik tafsirbi al-ra’yi,mereka terfokus padamadzhab-madzhabpemikiran dalam Islam dan kajian bahasa al-Qur'an. Abd Allâh al-Harari atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Habasyi memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan kritik tafsir. Ia berpendapat bahwa kesatuan dan keterpaduanusûl al-syarî'ahharus menjadi kriteria utama dalam kritik tafsir. Menurutnya hanya dengan mengkomparasikan tafsir denganusûl al-syarî'ah dengan sendirinya akan dapat diidentifikasi tafsir-tafsir yang menyimpang.24

Usûl al-syarî’ah adalah sumber pengambilan syari'at (ajaran) Islam, meliputi

al-Qur'an, hadits, dan ijma'yang dipersaksikan kebenarannya oleh akal. Menurut al-Habasyi ketiga sumber ajaran Islam tersebut saling menjelaskan, menguatkan dan tidak saling bertentangan. Al-Qur'an ayat-ayatnya tidak saling bertentangan, ia juga

21

Maknanya: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: nisa`, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia…"

22Muhammad Syahrûr,al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âsirah, h.641-642

23Tafsirbi al-ma’tsuradalah tafsir yang dikutip dari al-Qur'an, Hadits, atsar sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al-Dzahabi,al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, h.112

24Lihat: Al-Habasyi,

(23)

tidak bertentangan dengan sunnah dan ijma'. Sunnah tidak ada yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an dan ijma'. Demikian juga ijma', tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an dansunnah. Sehingga setiap penafsiran ayat al-Qur'an tidak boleh bertentangan dengan ayat yang lain,sunnahdanijma'. Jadi satu kesatuan

usul al-syari'atitulah yang harus menjadi kriteria utama sebuah tafsir.

Al-Habasyi atau al-Harari adalah dua panggilan akrab seorang ulama kharismatik yang nama aslinya adalah Abu 'Abd al-Rahmân 'Abd Allâh Ibn Yûsuf Ibn Abd Allâh Ibn Jâmi' al-Harari al-Syaibi al-'Abdarî. Ia dilahirkan di Harar pada tahun 1339 H/1910 M dan wafat di Bairut pada 1429 H/ 2008 M. Selama hidupnya al-Habasyi telah menghasilkan puluhan karya tulis yang berharga bagi khazanah keilmuan Islam, yang meliputi seluruh disiplin ilmu agama; ilmu aqîdah, fikih, akhlâk, bahasa, Ilmu al-Qur’ân, mustalâh,dan lainnya.25Pengabdiannya dalam dunia keilmuan dan pendidikan telah melahirkan ribuan cendekiawan muslim yang tersebar lebih dari 40 negara, di timur dan di barat. Para muridnya ini, kemudian mendirikan sebuah organisasi keagamaan yang bermisikan penyebaran ilmu agama dan penjagaan terhadap dasar-dasar agama. Organisasi tersebut menjadikan Bairut Libanon sebagai pusat dengan nama "Jam'iyah Masyari' Khairiyah al-Islamiyah". Pada saat ini telah memiliki cabang pada lebih dari 40 negara, termasuk Amerika, Kanada, Ukraina, Australia, Malaysia dan Indonesia.

Namun al-Habasyi juga dikenal sebagai ulamakontroversialdi mata kelompok Islam yang bersebrangan pendapat dengannya, seperti Wahhâbi26, Hizb al-Ikhwân27 dan Hizb al-Tahrîr.28Karena dikenal sangat kritis terhadap ketiga kelompok tersebut. Kekeliruan kelompok Wahhâbi dinilai disebabkan oleh antipati mereka terhadap

ta`wil dan memilih untuk berpegang teguh pada zâhir ayat-ayat mutasyabihât.

25Lihat: www. Al Habashi.info, http://ar.wikipedia.org

26Wahhabiyahadalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi (W. 1206 H). 27

Hizb al-Ikhwânadalah para pengikut Sayyid Qutb al Mishri (W. 1387 H)

(24)

Sedangkan kekeliruanHizb al-IkhwândanHizb al-Tahrîrberawal dari penafsiran al-Qur’ân tanpa mempertimbangkankhitabdan konteks dari ayat.29

Dibandingkan dengan dua kelompok yang lain, kelompok Wahhâbi adalah kelompok yang paling merasa terancam eksistensinya dengan keberadaan dan sepak terjang al-Habasyi. Terbukti mereka telah menerbitkan karya tulis sebagai bantahan terhadap al-Habasyi. Indikasi tersebut juga dapat dengan mudah di temukan dalam beberapa website yang memiliki aliansi dengan kelompok tersebut.30

Penekanan pada usûl al-syarî’ah sebagai kriteria kritik tafsir, terlihat dalam aplikasi kritik tafsir yang dituangkan al-Habasyi dalam beberapa buku karyanya seperti al-Tahzîr al-Syar’i al-Wâjib, Sarîh al-Bayân li Man Khâlafa al-Qur’ân, al-Dalîl al-Qawîm ‘ala al-Sirât al-Mustaqîm, al-Syarh al-Qawîm fi Halli alfaz al-Sirât al-Mustaqim dan lainnya. Dalam beberapa karyanya tersebut, al-Habasyi melakukan kritik tafsir terhadap beberapa penafsiran seperti penafsiran ayat-ayat sifat Tuhan yangmutasyâbihat, ayat-ayat kisah para Nabi, ayat-ayat pluralisme agama, ayat-ayat perang dan ayat-ayat penerapan syari'at. Ia juga melakukan kritik tafsir terhadap beberapa kitab tafsir, seperti, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn Abbâs, tafsir Ibn Taimiyah, tafsiral-Kassyâf, tafsir fî Zilâl al-Qur’ân, tafsir Muhammad Mutawalli al-Sya’râwi,al-Tafsîr al-Farîddan beberapa penafsiran dalam tafsirJalâlain31.

Sebagai contoh, berdasarkan Q.S al-Hajj: 39 dan al-Baqarah: 190,32 sebagian besar intelektual muslim kontemporer berpendapat bahwa perang dalam Islam lebih bersifat difensif, sebagai upaya untuk mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Wahbah Zuhaili misalnya menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh memulai peperangan kecuali apabila orang kafir menyerang lebih dahulu. Karena menurutnya, penyebab peperangan dalam Islam bukan karena kekafiran orang-orang

29Al-Habasyi,

Risâlah al-Tahdzîr min al-Firaq al- Tsalâts(Bairut: Dar al-Masyari’, 2003 M) 30Lebih lanjut lihat: http://antihabashis.com , www.alrased.net

31Baca: al-Habasyi,al-Tahdzîr al-Syar'iy al-Wâjib, (Bairut: Dar al-Masyari, 2004 M), juz 1 32Maknanya: "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya…"

(25)

kafir, tetapi karena permusuhan dan serangan mereka.33Pendapat senada disampaikan oleh al-Qardâwi34dan Sayyid Sâbiq.35 Menurut al-Habasyi, pendapat tersebut kontradiktif dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lain, hadits,ijmâ'sahabat, fakta sejarah dan tujuan perang dalam Islam, yang seluruhnya menunjukkan bahwa perang dalam Islam bersifat difensif dan ofensif sekaligus. Meskipun menurutnya perang secara praktis tidak boleh lagi dilakukan pada masa sekarang, mengingat tidak ditemukannya alasan untuk melakukannya.36

Contoh lainnya adalah ketika wacana pluralisme agama digulirkan oleh para cendikiawan muslim kontemporer, dengan dalih beberapa ayat al-Qur'an seperti Q.S al-Baqarah: 256,37 Q.S Yûnus: 99,38 Q.S al-Kahfi: 2939 dan al-Kâfirun: 6,40dan Q.S Sajdah: 25.41 Al-Habasyi melontarkan kritik serius, bahwa penggunaan ayat-ayat tersebut sebagai dalil adanya pluralisme agama dalam Islam tidak tepat dan bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an, hadits serta ijma' umat Islam. Menurutnya al-Qur'an dan hadits justru menegaskan bahwa dalam masalah akidah atau agama seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih, tetapi mesti memilih Islam sebagai agamanya, sebab Islam adalah satu-satunya agama samawi dan satu-satunya agama yang benar. Begitu pula doktrin akidah yang selama berabad-abad disepakati oleh umat Islam secara keseluruhan. Namun dalam tataran praktis, dakwah kepada Islam

33Wahbah Zuhaili,Atsâr al-Harb fi al-Fiqh al-Islâmi(Bairut: Dar al-Fikr, t.t), h.106

34Yûsuf al-Qardâwi,Ghairu al-Muslimin fi al-Mujtama' al-Islami,(Kairo: Dar al-Syuruq, 2000 M), h.13

35Sayyid Sâbiq,

Anâsir al-Quwwah fi al-Islâm, terj. Muhammad Abday Ratami (Surabaya: Toko Nabhana, 1981 M) h. 272-274

36Al-Habasyi,al-Dalîl al-Qawîm 'ala al-Sirat al-Mustaqîm, (makhtût) h.207 37

Maknanya:"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)".

38Maknanya:"… Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?"

39Maknanya: Dan katakanlah: "kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".

40Maknanya:"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

(26)

harus dilakukan dengan hikmah, sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam dan manusia yang menjadi sasaran dakwah.42

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang muncul dapat diidentifikasi sebagai berikut :

a) Urgensi kritik tafsir

b) Sejarah perkembangan tradisi kritik tafsir c) Sebab-sebab penyimpangan tafsir

d) Perdebatan seputar hakikat tafsir e) Metodologi kritik tafsir klasik f) Metodologi kritik tafsir kontemporer g) Haditsmaudû’sebagai kritik tafsir h) Isrâiliyatsebagai kritik tafsir

i) Panatisme madzhab sebagai kritik tafsir j) Bahasa arab sebagai kriteria kritik tafsir k) Usûl al- syarî’ahsebagai kritik tafsir

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dalam penelitian tesis ini penulis hanya membatasi permasalahan padausûl al-syarî'ahsebagai metodologi kritik tafsir, sebagaimana dikembangkan oleh al-Habasyi dalam beberapa buku karyanya. Sebab metodologi kritik tafsir semacam itu, meskipun secara implisit sering disebutkan oleh para ulama tafsir, tetapi belum menjadi penekanan dalam tradisi kritik tafsir.

(27)

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan pada satu masalah pokok yaitu, bagaimana al-Habasyi menggunakanusûl al-syarî'ah

sebagai metodologi kritik tafsir ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1) Membuktikan pendapat adanya penyimpangan dalam tafsir al-Qur'an

2) Menguji argumen al-Habasyi dalam penggunaan usûl al-syarî'ah sebagai kriteria kritik tafsir

D. Manfaat / Signifikasi Penelitian

Realisasi penelitian ini akan bermanfaat/signifikan secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1) Menggugah kesadaran terhadap urgensi kritik tafsir

2) Mengingatkan pentingnya selektifitas dalam membaca buku tafsir 3) Memberi wacana yang berbeda seputar metodologi kritik tafsir

4) Memberi penjelasan tentang kritik al-Habasyi terhadap beberapa penafsiran Sedangkan secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1) Memberi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’ân dan tafsir 2) Memberikan arah bagi penelitian serupa yang lebihintensifdi belakang hari

E. Studi Terdahulu yang Relefan

Untuk menghasilkan tulisan yang terarah, tidak tumpang tindih dan komprehensif, maka sebagai langkah awal, penulis melakukan review terhadap beberapa studi terdahulu yang dianggap relefan. Obyek review dibagi menjadi dua

(28)

Pada variable pertama penulis menemukan beberapa tulisan, diantaranya sebuah buku berjudul "Bida' al-Tafâsir" karya Abd Allah Muhammad Siddîq al-Ghumâri (Kairo: Maktabah al-Qâhirah, 1994 M). Dalam buku ini, al-al-Ghumâri berusaha untuk mengungkap beberapa bid'ah dalam penafsiran yang dilakukan oleh beberapa kelompok seperti muktazilah dan syi'ah serta yang lainnya. Pembahasan disajikan secara berurut, surat persurat, sehingga lebih mudah untuk dipahami.

Buku kedua berjudul“al- Ittijâhât al-Munharifah fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm Dawafi’uha wa Daf’uha” karya Muhammad Husain Dzahabi (Kuwait: Dar al-I’tisam, 1398 H/ 1978 M). Dalam buku ini al-Dzahabi menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan munculnya penyimpangan dalam tafsir al-Qur’ân. Ia juga mengungkap penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir yang dilakukan oleh beberapa madzhab, seperti madzhab al-Qassash, al-Nahwiyah, Mu’tazilah, Syi’ah, Khawârij, Sûfiyah, tafsir Ilmi,pengklaimtajdîd.

Buku ketiga berjudul “al-Dakhîl fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm” karya ‘Abd al Wahhâb ‘Abd al-Wahhâb Fâyid (Kairo: Universitas al-Azhar, Fakultas Usûluddin, 1401 H/1980 M). Buku ini menjelaskan beberapa bentuk penyimpangan dalam tafsir, diantara yang diungkapkan adalah penafsiran yang disandarkan pada hadits maudu’, bid’ah tafsir kebahasaan, ta`wil aliran kebatinan, syatahat para ahli tasawuf, penyimpanganal-Bahaiyah dan Qadiyâniyah. Dalam buku ini, penulis menguraikan sebab-sebab adanya penyimpangan dalam tafsir dan contoh-contohnya.

Buku keempat berjudul“al-Asîl wa al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân wa Ta’wîluhu Riwâyatan wa Dirâyatan” karya Abd al-Ghafûr Mahmûd Mustafa Ja’far ( Kairo, Universitas al-Azhar, Fakultas Usuluddin, 1416 H/ 1995 M). Buku ini tidak berbeda dengan buku Abd al-Wahhab Fayid di atas, hanya cara penyajiannya yang berbeda.

(29)

Buku keenam berjudul “Methodologies of The Qur’anic Exegesis” karya Tamîm Usâma, telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Tafsir al-Qur'an, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif”(Jakarta: Riora Cipta, 2000 M). Dalam buku ini dijelaskan beberapa kekeliruan madzhab-madzhab penafsiran di abad-abad awal Islam, dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam penafsiran al-Qur’ân serta syarat-syarat menafsirkan al-Qur’ân.

Buku ketujuh berjudul “al-Isrâiliyat fî al-Tafsîr wa al-Hadîts” karya Muhammad Husain al-Dzahabi (Maktabah Wahbah, 1406 H/ 1986 M). Buku ini mengungkap beberapa riwayat Israiliyat yang terdapat dalam beberapa buku tafsir sepertiJâmi’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ânkarya al-Tabari,Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm

karya Ibnu Katsir,Tafsir Muqâtil bin Sulaiman, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al Qur’ânkarya Tsa’labi,Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni al-Tanzîlkarya al-Khazin,Ruh al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm wa al- Sab’ al- Matsânikarya al-Alusi,Tafsir al-Manâr karya M. Rasyid Ridha. Buku ini hanya membahas penyimpangan tafsir dalam tafsirbi al-ma’tsûr.

Buku kedelapan berjudul “Rasionalitas Al-Qur'an, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar” karya M.Quraisy Sihab (Jakarta: Lentera Hati,1428 H/ 2007 M). Buku ini selain memaparkan keistimewaan tafsir al-Manâr, juga mengungkap kekurangan-kekurangannya. Diantara kekurangan yang mendapat sorotan Quraisy Sihab adalah bahwa Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida masih belum mampu melepaskan akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qur’ân. Asumsi ini diketahui dari adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianaut mayoritas ulama, hanya dengan dalih bahwa tanpa penakwilan tersebut maka makna yang dikandung ayat itu tidak dipahami berdasarkan ukuran akal penafsirannya, bukan berdasarkan ukuran kekuasaan dankudratAllah.

(30)

dan studi Islam. Dalam buku ini penulis menguraikan dengan rinci beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’ân disertai dengan contoh-contohnya.

Buku kesepuluh berjudul “al-Aqwâl al-Syâdzdzah fî al-Tafsîr Nasy‘atuhâ wa Asbâbuhâ wa Atsaruhâ”karya Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaiman al-Dahsyi ( al-Hikmah, cet I 1425 /2004 M). Buku ini juga berasal dari sebuah disertasi pada Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Saudi Arabia. Dalam buku ini penulis menguraikan sejarah munculnya pendapat-pendapat penafsiran yang kontroversial

dari satu masa ke masa, sebab-sebab munculnya pendapat-pendapat tersebut dan pengaruhnya dalam ilmu tafsir.

Buku kesebelas berjudul “Ikhtilâf al-Mufassirîn” karya Ahmad Muhammad al -Syarqawi (Kairo: Universitas al-Azhar, Fakultas Usuluddin, 1425 H/ 2004 M). Buku ini menjelaskan perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam tafsir al-Qur’ân, diantara perbedaan itu ada yang madzmum (tercela) dan mamduh (terpuji). Perbedaan pendapat yang madzmum diakibatkan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir al-Qur’ân. Selanjutnya al-Syarqâwi menjelaskan beberapa tafsir yang menyimpang, seperti tafsir Mu’tazilah, Syi’ah, tafsir yang bertentangan dengan ahl al-sunnah, tafsir yang berpegang pada hadits maudû’ dan isrâiliyat, dan tafsir yang berpegang padazahirayat al-Qur’ân.

Buku kedua belas berjudul “al-Isrâiliyat wa al-Maudû’at fî Kutûb al-Tafsîr” karya Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H). Buku ini menjelaskan kritik tafsir terhadap buku-buku tafsir bil ma’tsur yang telah tercemar oleh hadits-haditsmaudû’danisrâiliyat.

(31)

Buku kempat belas berjudul “How do the Uniwise Interpret The Qur’an?” karya Harun Yahya, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Samson Abdurrahman dengan judul “Misinterpretasi Terhadap al-Qur'an, Mewaspadai Penyimpangan Dalam Menafsirkan Al-Qur'an” (Rabbani Press, 2003 M). Dalam buku ini dijelaskan sebab-sebab terjadinya misinterpretasi terhadap al-Qur’ân dan contoh-contohinterpretasiyang dianggapnya menyimpang.

Pada variabel kedua penulis hanya menemukan dua tulisan yang keduanya berbentuk tesis; pertama sebuah tesis yang ditulis oleh Khalilurrahman dengan konsentrasi hadits, berjudul “Kualitas Hadits Subhah; studi Komporatif Metode Tashih dan Tad’if hadits al-Habasyi dan al-Albani”, (Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005 M). Tesis ini berbeda dengan peneletian penulis, karena ia meneliti tokoh al-Habasyi dari sisi ketokohan al-Habasyi dalam bidang ilmu hadits, sedangkan penelitian ini meneliti al-Habasyi dari sisi ketokohan al-Habasyi dalam bidang tafsir, khususnya kritik tafsir.

Kedua, sebuah tesis yang ditulis oleh ‘Abd al ‘Aziz dengan konsentrasi dakwah, berjudul “Revitalisasi Dakwah Ahlussunnah wa al- Jama’ah perspektif al-Habasyi” ( Jakarta: Universitas Islam al-Syafi’iyah (UIA), 2006 M). Tesis ini berbeda dengan penelitian penulis, karena ia meneleti ketokohan al-Habasyi dalam bidang dakwah, sedangkan penelitian ini meneliti al-Habasyi dari sisi ketokohan al-Habasyi dalam bidang tafsir, khususnya kritik tafsir.

Darireviewpustaka diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Penelitian terdahulu, umumnya berbicara tentang kritik tafsir secara praktis. Kriteria yang dipergunankan juga cenderung sama, yaitu isrâiliyat, maudu', panatisme madzhab dan kajian bahasa, tidak satupun yang menjadikan usûl al-syarî'ahsebagai kriteria kritik tafsir.

(32)

F. Metodologi Penelitian

Berdasarkan judul tesis, obyek penelitian tesis ini adalah buku-buku karya al-Habasyi, karena itu penelitian tesis ini dilakukan melalui riset kepustakaan (library reseach). Data-data yang berhubungan dengan kritik tafsir al-Habasyi dan metodologi kritiknya ditelusuri dari buku-buku karya al-Habasyi sepertiTahdzîr Syar’î al-Wâjib, Sarîh Bayân fî Raddi ‘ala Man Khâlafa Qur’ân, Maqâlât Sunniyah fî Raddi ‘ala Ahmad ibn Taimiyah, Dalîl Qawîm ‘la Sirât al-Mustaqîm, al-Syarh al-Qawîm fî Halli Alfâdh al-Sirâth al-Mustaqîm dan lainnya. Buku-buku tersebut penulis jadikan sebagai sebagai sumber primer (primary resoueces).

Sedangkan data-data yang berkaitan dengan kritik tafsir dan metodologinya secara umum, ditelusuri dari buku-buku ‘ulum al-Qur'an, ilmu tafsir dan tafsir seperti

al- Burhân fî ‘Ulum al-Qur’ân, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Manâhil al-Irfân, tafsir al- Tabari, tafsir Ibnu Katsîrdan lainnya. Buku-buku tersebut penulis jadikan sebagai sumber skunder (secondary resoueces). Sumber skunder diperlukan untuk memperkuat sekaligus mengkritisi pemikiran al-Habasyi tentang kritik tafsir dan metodologinya, sehingga didapatkan suatu hasil penelitian yangkomprehensif.

Selain library reaseach, penulis juga menggunakaninternet reaseach terutama dalam pengumpulan data awal tentang sub topik yang akan dibahas dan dalam rangka

updatingdata.

(33)

bahasan yang kemudian penulis ungkapkan dalam bentuk konsepsional dan menyelidiki kandungannya menjadi satu rangkaian pengertian yang lurus, baik secara

deduktif maupun induktif43. Kritik tafsir al-Habasyi yang tertuang dalam beberapa bukunya seperti al- Tahzîr al- Syar’I al- Wâjib dan Sarîh al- Bayân fî al- Raddi ‘al-a Man Khâlafa al- Qur’ân, penulis analisis dari segi cara (metode) al-Habasyi dalam mengkritisi sebuah penafsiran. Sehingga penulis dapat merumuskan secara

konsepsional metodologi kritik tafsir al-Habasyi secara tepat dankomprehensif. Sedangkan dalam teknik penulisan dan transliterasi, penulis mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” karya Hamid Nasuhi, dan kawan-kawan ( Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, cet.2, 2007 M).

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu bentuk tulisan yang sistematis sehingga tampak adanya gambaran yang jelas, terarah, logis dan saling berhubungan antara satu bab dengan bab berikutnya, maka tesis ini penulis klasifikasikan menjadi enam bab, yang terdiri dari satu bab pendahuluan, satu bab kerangka teori dan tiga bab pembahasan serta satu bab penutup.

Bab pertama, merupakan landasan umum penelitian dari tesis ini. Bagian ini berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, studi terdahulu yang relefan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, penulis membangun kerangka teoritis dan konsepsional sebagai tempat bertolak dalam pembahasan tentang metodologi kritik tafsir al-Habasyi. Bab ini berisi pembahasan tentang perdebatan seputar kritik tafsir. Kelompok tradisionalis berpendapat bahwa ayat al-Qur'an terdiri dari dua bagianmuhkam-mutasyabihatatau

qat'iy-zanniy. Tafsir ayat al-Qur'an yang qat'iy bersifat absolut kebenarannya,

43Noeng Muhajir,

(34)

sedangkan tafsir ayat yangzanniybersifatrelatif kebenarannya. Sementara kelompok rasionalis berpendapat bahwa tafsir al-Qur’ân bersifat nisbiy/relatif secara mutlak. Pembahasan ini diperlukan untuk menjelaskan posisi kritik tafsir dan uregensinya, sehingga didapatkan dasar yang kuat untuk melakukan kritik tafsir. Pada awal bab ini, sekilas juga diuraikan mengenai kehidupan intelektual al-Habasyi

Bab ketiga, berisi pandangan al-Habasyi tentang usûl al-syarî'ah, dan latar belakang penggunaan usûl al-syarî'ah sebagai kriteria kritik tafsir al-Qur'an. Pembahasan akan difokuskan pada argumentasi al-Habasyi dalam penggunaan usûl al-syarî'ahuntuk menilai salah dan benar sebuah tasir al-Qur'an.

Bab keempat, berisi aplikasi penerapan usûl al-syarî'ah sebagai kriteria kritik tafsir. Pembahasan tentang hal ini, mesti diuraikan dalam bab ini, untuk membuktikan konsistensi al-Habasyi dalam penerapan metodologi kritik tafsir yang dipilihnya. Tema-tema yang diklasifikasikan berdasarkan urgensinya terhadap umat Islam pada masa sekarang, dan tema-tema yang sedang menjadi buah bibir dan peredebatan di kalangan cendekiawan muslim. Secara spesifik pada bab ini akan diuraikan aplikasi kritik tafsir al-Habasyi yang berkaitan dengan tema-tema teologi, yaitu tafsir ayat sifat Tuhan, tafsir ayat-ayat kisah al-Qur'an dan tafsir ayat pluralisme agama.

Bab kelima, bab ini adalah kelanjutan dari bab keempat, namun pada bab ini lebih spesifik pada tema-tema yang berkaitan dengan hukum. Tema-tema tersebut adalah tafsir ayat perang/ jihad, dan tafsir ayat penerapan syari’at serta ayatmustahik

zakat.

(35)

BAB II

AL-HABASYI DAN PERDEBATAN SEPUTAR KRITIK TAFSIR

Tradisi kritik tafsir tradisionalis masih kontroversial dalam pandangan kelompok rasionalis. Dalam pandangan mereka, klaim benar dan salah terhadap tafsir bertentangan dengan hakikat tafsir yang relatif. Karena itu, perdebatan antara dua kelompok tersebut perlu dipaparkan pada bab ini, agar pembahasan tesis ini secara umum menemukan urgensinya. Namun sebelumnya, perlu diungkap latar belakang al-Habasyi, agar didapatkan kesimpulan yang benar, tepat dan komprehensif tentang pokok-pokok pemikirannya. Sebab pemikiran seseorang selalu dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, politik dan terutama pendidikannya.

A. Biografi al-Habasyi1

1. Kelahiran DanRihlah Ilmiah

Nama lengkapnya adalah Abû 'Abd al-Rahmân 'Abd Allâh Ibn Yûsuf Ibn ‘Abd Allâh Ibn Jâmi' al-Harari2al-Habasyi3al-Syaibi4al-'Abdari.5Ia dilahirkan di kota Harar Somalia, pada tahun 1328 H. bertepatan dengan tahun 1910 M.

1

Secara panjang lebar biografi al-Habasyi bisa di baca di www. Al Habashi.info, http://ar.wikipedia.org, www.ahlussunnah.org, www. madeena.org

2Al-Harari dinisbatkan kepada daerah bernama Harar; terletak di daerah pedalaman Afrika. Sebelah timur berbatasan dengan negara Somalia, sebelah barat dengan Habasyah, sebelah selatan dengan Kenya dan sebelah timur laut dengan Negara Jibouti. Setelah dijajah, Somalia terbagi menjadi lima bagian. Daerah Somalia barat, yang di kenal dengan Harar masuk ke wilayah Habasyah. Kota Harar di wilayah Habasyah ini merupakan salah satu pusat perdagangan. Disamping dikenal dengan kota ulama yang memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam bagi daerah Habasyah secara keseluruhan. Harar tumbuh menjadi sebuah kota di sekitar abad tujuh masehi. Ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Nûr al-Dîn ibn Mujâhid, disekitar tahun 1550 M. Kota ini dikenal dengan sebutanal-Madinah al-Mahrûsah. Harar, terbagi kepada lima daerah, saat itu dibangun dengan tembok pagar yang mengelilinginya dengan lima pintu masuk. Nama nama pintu tersebut;Bâb Zaila’; pintu yang mengarah ke kiblat, Bâb al-Rahmah, Bâb al-Salâm, Bâb al-Hâkim dan Bâb al-Qasr. Lihat MajalahManâr al-Hudâ, Edisi 12 Rabî’ al-Awwal 1414/1993, cet. Jam’iyah al-Masyârî’ al-Khairiyah al-Islâmiyah, Bairût, Libanon. h. 46-47

(36)

Seperti kebiasaan para ulama salaf, al-Habasyi menganggap bahwa metode

talaqqi (belajar secara langsung pada para ulama) adalah satu-satunya cara yang terbaik untuk mendapatkan ilmu agama, sehingga meski dengan bersusah payah ia mengadakan perjalanan yang tidak sebentar demi tujuan tersebut. Petualangan al-Habasyi dalam menuntut ilmu, dimulai dengan bimbingan sang ayah, darinya ia mempelajari kitab al-Muqaddimah al-Hadramiah dan Mukhtasar al-Saghîr6 Pada umur 7 tahun, al-Habasyi sudah dapat menghafal al-Qur'ân dengan bacaan tartîl dan baik. Setelah itu, ia memperdalam berbagai disiplin ilmu agama dengan

Dakwah Islam ketika datang ke wilayah Habasyah ini, yang pertama kali dimasuki adalah daerah Harar. Maka tidak mengherankan bila wilayah Harar di kemudian hari menjadi pusat dakwah Islam dan pusat perkembangan ilmu-ilmu Islam itu sendiri. Majalah Manâr al-Hudâ, Edisi. 11 Rabî’ al-Awwal 1414/1993, h. 20. Lihat pula: Abû al-Fidâ’ ‘Isma’îl Ibn Katsir,al- Sîrah al-Nabawiyyah,tahqîq Musthafâ ‘Abd al-Wâhid (Bairût: Dâr al-Fikr, 1410 H-1990 M) juz 2, h.41-43

4Al-Syaibi dinisbatkan kepada Banî Syaibah; ialah keturunan 'Abd al-Dâr, salah satu kabilah Quraisy. ‘Abd al-Dâr memiliki dua anak; ‘Utsmân dan ‘Abd Manâf. Dari ‘Utsmân inilah Bani Syaibah turun temurun. Mereka adalah para pemegang kunci pintu ka'bah. Ayah ‘Abd al-Dâr; Qushay, membeli kunci-kunci ka'bah dari Abî Ghibsyan Al-Khuza'i, kemudian memberikan kunci-kunci tersebut kepada ‘Abd al-Dâr. Di kemudian hari kunci tersebut berada di tangansahabat‘Utsmân ibn Talhah ibn Abî Talhah ibn ‘Abd al-‘Uzza ibn ‘Utsmân ibn ‘Abd al-Dâr. Dari tangansahabatini, ketika

Fath Makkah, Rasulullah mengambil kunci-kunci tersebut, lalu memberikan kembali dengan amanat kepada keturunan-keturunannya untuk memegang kunci-kunci ka'bah tersebut hingga kiamat. Lihat Kamâl al-Hût,Jâmi’ al-Durar al-Bahiyyah Li Ansâb al-Qurasyiyyîn Fi al-Bilâd al-Syâmiyyah(Bairût: Dâr Masyârî’: 1424 H/2004 M) cet. 1, h. 32

5Banî 'Abd al-Dâr adalah anak dari Qusay; Ibn Kilab, kakek Rasulullah yang keempat. Banî ‘Abd al-Dâr termasuk salah satu suku Quraisy. Quraisy sendiri adalah satu kabilah besar yang berasal dari keturunan Kinânah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyâs ibn Mudlar ibn Nizâr ibn Ma’ad ibn ‘Adnân. Quraisy ini adalah Fihr ibn Mâlik ibn al-Nadr ibn Kinânah. Menurut satu pendapat para ahli nasab, kepada Fihr inilah seluruh suku Quraisy dinisbatkan. Pendapat kedua mengatakan, bahwa suku Quraisy dinisbatkan kepada al-Nadr ibn Kinanah. Pendapat ketiga mengatakan, bahwa yang berasal dari keturunan Fihr disebut dengan “Quraisyi”, dan yang berasal dari keturunan al-Nadr disebut dengan “Kinâni”. Para ulama nasab menyatakan bahwa Quraisy memiliki delapan suku keturunan. Kedelapan keturunan tersebut adalah (1) Banî ‘Abd Manâf ibn Qusai ibn Kilâb ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Luay ibn Ghâlib ibn Fihr ibn Mâlik ibn al-Nadr (2) Banî ‘Abd al-Dâr ibn Qusay (3) Banî Taim ibn Murrah (4) Banî Makhzûm ibn Yaqzhah ibn Murrah (5) Banî ‘Adi ibn Ka’ab (6) Banî Jumah ibn ‘Amr ibn Husaish ibn Ka’ab (7) Banî Sahm ibn ‘Amr ibn Hushaish ibn Ka’ab (8) Banî Zuhrah ibn Kilâb. Lihat: Kamâl al-Hût,Jâmi’ al-Durar al-Bahiyyah Li Ansâb al-Qurasyiyyîn Fi al-Bilâd al-Syâmiyyah.

Cet. I, h. 31-33

6Al-Muqaddimah al-Hadramiyyahdikenal juga denganal-Mukhtasar al-Kabîr. Kedua kitab ini;

al-Mukhtasar al-Kabîrdanal-Mukhtasar al-Saghîrkarya ‘Abdullâh ibn ‘Abd Rahmân Bâ Fadal al-Hadrami al-Syâfi’i. Di antarasyarahnya; karya Syihâb al-Dîn ibn Hajar al-Haitami al-Makki berjudul

(37)

memperbanyak menghafal berbagai matan ilmu agama pada para ulama yang ada di daerahnya. Sehingga ia berhasil menguasai dan dapat menghafal hadits-hadits al-Kutub al-Sittah,7baik matanmaupun sanad-sanad-nya. Berkat prestasinya ini, dalam usianya yang kurang dari 18 tahun, al-Habasyi sudah mendapat ijâzah (izin) untuk memberikan fatwa dan meriwayatkan hadits.8

Para ulama Habasyah yang tercatat pernah menjadi guru al-Habasyi adalah Abû Bakr Muhammad Sirâj Jabarti; mufti Habasyah, 'Abd Rahmân ‘Abd Allâh al-Habasyi, Muhammad al-Bâqir ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Kabîr al-Kittâni al-Idrîsi al-Hasani.9Dari mereka, ia belajar dan mendapatkan ijâzah hadits dan mustalah-nya. Sedangkan fiqh madzhab Syâfi'i dan usûl-nya serta perbedaan pendapat (khilâfiyât)

yang ada dalam mazhab tersebut, ia pelajari dari ulama Habasyah lainnya, yaitu Muhammad 'Abd al-Salâm al-Harari,10Muhammad 'Umar Jâmi' al-Harari, Muhammad Rasyâd al-Habasyi, Ibrâhîm Abû al-Ghauts al-Harari, Yûnus al-Habasyi, dan Abû Bakr Muhammad Sirâj al-Jabarti.11Di antara kitab-kitab induk yang ia

7Al-Kutub al-Sittah adalah kitab-kitab hadits yang ditulis oleh enam orang imam terkemuka dalam bidang hadits. Enam kitab tersebut adalah karya al-Bukhâri, Muslim, Abu Dâwud, al-Tirmidzi, al-Nasâ’i dan Ibn Mâjah. Para ulama menganggap enam kitab ini sebagai kitab-kitab standar dalam hadits. Posisi ke enam, menurut mayoritas ahli hadits adalah Ibn Mâjah, hanya saja menurut al-‘Alâ’i seharusnya al-Dârimi. Ulamaal- Mutaqaddimûnmenghitung kitab standar hanya lima. Yang pertama kali memasukan Ibn Mâjah denganSunan-nya dalam jajaran kitab-kitab standar adalah Abû al-Fadl Muhammad ibn Tâhir ibn ‘Ali ibn Ahmad al-Maqdisi. Di kalangan ulama hadits dikenal pulaal-Kutub al-Sab’ah; ialah enam orang di atas dengan ditambah satu orang pada posisi ke tujuh. Hanya saja posisi ke tujuh ini diperselisihkan, satu pendapat; Ahmad ibn Hanbal denganMusnad-nya (pendapat ini dipilih Ibn Hajar al-‘Asqalâni), pendapat lain mengatakan; Mâlik ibn Anas denganMuwata’-nya. Lihat: Diyâ’ al-Akram al-‘Umari, Buhûts Fi Târikh al-Sunnah al-Musyarrafah (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulûm Wa al-Hikam, 1984 M) cet 4, h. 124

8www.al Habashi.info 9

Dari Muhammad Bâqir ini, al-Habasyi mengambil sanad ‘ali dalam riwayat kitab Muwata’

karya Imam Mâlik, yang berasal dari jalur Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsi al- Andalusi. Muhammad Bâqir mengambil riwayat dari kakeknya; ‘Abd al-Kabîr dan Habîb al-Rahmân al-Hindi, yang keduanya mengambil riwayat dari ‘Abd al-Ghani al-Dahlawi. Lihat: al-Habasyi,Asânîd Kutub Sittah fi al-Hadits al-Syarif,(Bairut: Dar al-Masyari', 2001 M),h. 25-28

10‘Abd al-Salâm adalah di antara guru besar al-Habasyi. Ia adalah salah seorang

sufibesar yang dikenal dengan kewaliannya di wilayah Habasyah. Perjalanan ilmiyah al-Habasyi secara garis besar dipengaruhi bimbingannya. Dalam banyak majelis maw’izah dan nasihat, sering kali al-Habasyi menyampaikan atau mengutip pernyataan-pernyataan ‘Abd al-Salâm. www. Al Habashi.info

(38)

al-pelajari adalah Alfiyah al-Zubad, al-Tanbîh, al-Minhâj, Alfiyah ibn Mâlik, al-Luma'

dan kitab-kitab pokok lainnya. Adapun fiqih tiga madzhab, Mâliki, Hanafi dan Hanbali, ia pelajari dari Muhammad al-‘Arabi al-Fâsî,12dan ‘Abd al-Rahmân ‘Abd Allâh al-Habasyi.13

Ulama Habasyah lainnya yang juga menjadi gurunya adalah Ahmad al-Basîr, dan Ahmad Ibn Muhammad al-Habasyi serta Syarîf al-Habasyi. Dari dua ulama yang pertama, secara khusus al-Habasyi mempelajari bahasa Arab serta gramatikanya. Sedangkan dari ulama ketiga, ia belajar ilmu al-Qur'an dan tafsîr. Sementara ilmu

Qira`at, ia peroleh dari Ahmad ibn ‘Abd al-Mutalib al-Jabarti al-Habasyi (Imam dan pimpinanMasyâyîkh Masjid al-Harâm pada masa sultan ‘Abd al-Hamîd II), dan dari ulama Damaskus, Siria Dâwûd al-Jabarti, dan al-Muqri' Mahmûd Fâyiz al-Dir'atâni. Sehingga al-Habasyi dapat menguasai empat belas macamqirâ'at.

Selanjutnya al-Habasyi melakukan rihlah ilmiah ke sejumlah kota, antara lain Makkah, Madinah, Bait al-Maqdis, Damaskus, Bairût, Himsh, Hamah, Halab dan kota-kota lainnya. Di Mekkah, al-Habasyi berkenalan dengan para ulamanya, seperti 'Alawi ibn ‘Abbâs al-Mâliki,14 Amîn Kutbi dan Muhammad Yâsîn ibn ‘Îsâ al-Fâdâni.15Ia juga menghadiri majlis Muhammad al-'Arabi al-Tabbân, serta bertemu

Jabarti mengambil sanad secara‘aly pula dari ‘Umar ibn Abî Bakr Ba Junaid al-Hadrami, seorang pengajar terkemuka di al-Masjid al-Harâm pada masanya. Lewat jalur al-Jabarti ini pula, al-Habasyi mendapat sanad‘alydalam seluruh karya al-Tirmidzi, seperti Kitabal-Syamâ’il al-Muhammadiyyah, Kitab al-‘Ilaldan lainnya.www. Al Habashi.info

12Muhammad al-‘Arabi al-Fâsî adalah salah seorang ahli fiqih(faqîh)terkemuka dalam empat madzhab. Ia adalah di antara sedikit ulama yang menguasaikhilâfiyah dalam masalah furu’ empat madzhab. www. Al Habashi.info

13

Dari ‘Abd al-Rahmân ‘Abd Allâh ini al-Habasyi mengambil riwayatSunan al-Nasâ’idengan sanad yang‘aly, di mana ‘Abd al-Rahmân mengambilnya dari Habib Allâh al-Syanqîti al-Mâliki, seorang pengajar terkemuka di al-Masjid al-Harâm yang kemudian hingga akhir hayatnya menetap di Cairo. Dengan jalur sanad ini pula al-Habasyi meriwayatkan seluruh karya al-Nasâ’i, seperti Kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah, Kitâb Khashâ’ish ‘Ali, Kitâb Musnad Mâlik, Kitâb al- Tafsîr dan lainnya. www. Al Habashi.info

14‘Alawi ibn ‘Abbâs al-Mâliki adalah ayah dari al-Sayyid Muhammad (Ibn ‘Alawi). ‘Alawi pada masanya adalah salah seorang ulama besar di wilayah Hijâz. Ia termasuk ulama yang produktif, menghasilkan cukup banyak karya. www. Al Habashi.info

(39)

'Abd al-Ghafûr al-Afghâni al-Naqsyabandi, seorang mursyid tarikat al-Naqsyabandiyyah terkemuka, berasal dari Afganistân dan menetap di Mekah. Darinya, al-Habasyi mengambil ijazah tarîkat al-Naqsyabandiyyah.

Di Madinah, ia belajar hadits dan mendapatkanijâzahdari Muhammad Ibn ‘Ali al-Shiddîqi al-Bakri al-Hindi al-Hanafi.16 Selama di sana ia sering berkunjung ke perpustakaan 'Ârif Hikmat17 dan perpustakaan al-Mahmûdiyah untuk mempelajari dan meneliti beberapa kitab yang masih berupa tulisan tangan (manuskrip) dari sumber aslinya. Selama satu tahun berada di Madinah ia juga bertemu dengan Ibrâhim al- Khatny.18

Selanjutnya al-Habasyi mengadakan perjalanan ke Bait al-Maqdis pada sekitar akhir tahun 1940 M. Dari sana ia menuju Damaskus dan mendapat sambutan yang hangat dari penduduknya.19 Sambutan baik yang mereka berikan kepada al-Habasyi, adalah karena manhaj dan ajaran al-Habasyi sama dengan manhaj dan ajaran ulama mereka yang baru saja wafat, yaitu Badr al-Dîn al-Hasani (seorang muhaddits

kenamaan di daratan Syâm). Dari Damaskus, al-Habasyi melanjutkan rihlah ilmiyah

nya ke kota Bairût, Himsh, Hamah, Halab dan kota-kota lainnya. Sebelum kemudian menetap di masjid Jami' Qatat di daerah Qimariyah, Siria. Dari sini nama al-Habasyi mulai dikenal, banyak para ulama Syâm dan pelajar yang datang

Padang Sumatra Indonesia, menetap di Mekah, dan menjadi salah seorang ulama besar yang berpengaruh dalam dunia Islam. Ia adalah seorang yang cukup produktif dalam menulis. Di antara karya-karyanyaal-Maslak al-Jaliy Fî Asânid al-Syaikh Muhammad ‘Aly(sebuah kitab rangkaian sanad atau tsabat beliau), al-Fawâ’id al- Janiyyah Fî Furu’ al-Fiqh al-Syâfi’i dan lainnya. www. Al Habashi.info

16

Muhammad ibn ‘Ali A’zam Husain al-Shiddîqi al-Bakri al-Khairabadi al- Madani al-Hanafi adalah seorang muhadits terkemuka pada masanya yang menetap di Madinah. Ia berasal dari Khairabad India. Al-Habasyi mendapatkan sanad ‘alydarinya dalam riwayat Sâhih al-Bukhârijuga kitab hadits lainnya. Lewat sanad darinya al-Habasyi meriwayatkan seluruh karya al-Bukhâri, seperti

al-Adab al-Mufrad, Khalqu Af’âl al- ‘Ibâd, al-Târîkh al-Kabîr, al-Târîkh al-Saghîr dan al-Qirâ’ah Khlaf al-Imâm.

17Perpustakaan Arif Hikmat adalh sebuah perpustakaan umum. Nama perpustakaan ini dinisbatkan kepada pemiliknya, salah seorang ulama besar di masanya; yaitual-‘Allâmah‘Ârif Hikmat Bek, wafat 1257 H. Lihat: Hâjî Khalîfah,Kasyf al-Zhanûn,juz 6, h.342

18Al-MuhadditsIbrâhîm al-Khatny adalah salah seorang ulama hadits terkemuka di Madinah. Ia dalah murid darial-Muhaddits ‘Abd al-Qâdir Syalabi. www. Al Habashi.info

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa menurut Ibn Kathir dan Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan ayat 282 dari surat al-Baqarah yakni kewajiban menulis dalam

Maka dalam Alquran dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 233, pada ayat tersebut dijelaskan kadar susu yang bisa menyebabkan bayi tersebut dikatakan saudara sepersusuan

Ialah cara menafsirkan ayat-ayat al Qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad Ialah cara menafsirkan ayat-ayat al Qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran

To him Ibn Qayyim ber-mulazamah (close companion), discuss and deepen knowledge. Ibn Qayyim Al-Jauziyah often read various books in front of his teacher from 712 H

Seharusnya hadis itu disandarkan kepada pendeta bernama Ka‘b al-’Akhba>r (pendeta Yahudi yang masuk Islam di masa kekhalifahan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b) bukan kepada Nabi

Mengenai surah al-Baqarah ayat 262, Ibn Katsir menjelaskan bahwa Allah memberi pujian dan barakah bagi orang-orang yang telah menafkahkan hartanya di jalan

Hadis Abu Hurairah di atas dinilai sendirian (tafarrud) oleh para ulama. Menurut mereka, rawi Al-‘Ala ibn Abdurrahman meriwayatkannya secara sendiri dari ayahnya dari Abu

Tafsir al-Jabiri didasarkan pada sumber konteks situasi dan budaya saat mana suatu ayat diturunkan. Hal itu didasarkan pada prinsip bahwa pemaknaan ayat-ayat al-Qur`an harus