PRESS RELEASE
Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten:
Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko Bencana
Serang, 16 Februari 2016
Pengelolaan Lahan Basah secara Kolaboratif
Kondisi lahan basah (wetlands) di Indonesia terus menjadi sorotan dunia dan menjadi perhatian serius para
pemangku kepentingan di Indonesia dalam perbaikan pengelolaannya. Sebagai negara dengan lahan basah terluas di Asia setelah China, yaitu seluas 40.5 juta hektar, lahan basah di Indonesia dipandang memiliki arti sangat penting. Tidak hanya itu, Indonesia merupakan negara yang memiliki mangrove terluas di dunia, yaitu seluas 3.2 juta hektar. Oleh sebab itu, lahan basah di Indonesia harus dilestarikan karena berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, menjadi sumber air, sumber pangan, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, serta berperan sebagai pengendali iklim global dan pengurang risiko bencana. Begitu pula dengan ekosistem mangrove, harus dipertahankan dengan tidak dialihfungsikan keberadaannya.
Dalam rangka perayaan Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day / WWD), Wetlands International Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan serangkaian kegiatan pada 16 Februari 2017 di Teluk Banten, Desa Sawah Luhur, Serang, Banten. Acara ini melibatkan sekitar 200 orang dari berbagai unsur, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, akademisi, mahasiswa, siswa sekolah, serta masyarakat lainnya. Rangkaian kegiatan yang bertema "Lahan Basah untuk Pengurangan Risiko Bencana" ini terdiri dari: kunjungan ke lokasi rehabilitasi mangrove dengan teknik inovatif hybrid engineering berupa pembangunan pemerangkap lumpur / sediment trapping, pengamatan burung di Cagar Alam Pulau Dua (Pulau Burung), penelusuran jalur ekowisata mangrove dan pertambakan, penanaman mangrove, lomba menggambar siswa SD, pameran berbagai kegiatan dan produk
masyarakat setempat berbahan mangroveserta kegiatan lainnya.
Dalam sambutan pembukaannya, Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan
Hidup menyampaikan bahwa kondisi ekosistem lahan basah di Indonesia saat ini terus mengalami penurunan peran dan fungsi. Menyadari pentingnya peran dan fungsi lahan basah tersebut, maka perlu upaya pengelolaan lahan basah secara tepat dan terpadu. Diperlukan upaya
bersama dengan melibatkan secara aktif masyarakat, lembaga (instansi) pemerintahan, instansi keilmuan, serta pemangku kepentingan lainnya untuk mempertahankan dan merestorasi ekosistem lahan basah, tak terkecuali ekosistem lahan basah di wilayah pesisir Teluk Banten. Lebih lanjut Hilman Nugroho mengatakan, “Kami mengapresiasi kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Wetlands International bersama masyarakat serta pihak-pihak lain dalam pengelolaan lahan basah, baik melalui kegiatan rehabilitasi pesisir, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta pengembangan ekowisata di Teluk Banten,” Beliau juga menyampaikan komitmennya untuk mendukung kegiatan masyarakat di Desa Sawah Luhur.
“Kami akan berikan bantuan pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di Desa Sawah Luhur senilai 50 juta rupiah,” tambahnya. Beliau pun menekankan bahwa proses serta praktek-praktek rehabilitasi harapannya dapat mengikuti pola dan pendekatan yang telah diatur oleh pemerintah, seperti pola tanam sylvofishery yang ramah lingkungan.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Walikota Kota Serang, Sulhi Choir menyampaikan pentingnya kegiatan perbaikan ekosistem mangrove di Desa Sawah Luhur. “Kami
mengapresiasi seluruh pihak yang telah bekerja keras dalam rehabilitasi pesisir Teluk Banten, terutama di Kota Serang. Semoga kegiatan ini dapat direplikasi oleh masyarakat di sekitarnya, baik di Teluk Banten maupun di seluruh Indonesia”.
kawasan Teluk Banten. Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan pesisir di Desa Sawah Luhur, Banten, melalui kegiatan penanaman mangrove di lahan tambak. Kegiatan restorasi
dilaksanakan bekerja sama dengan masyarakat setempat, di mana masyarakat melakukan penanaman dan pada saat yang sama masyarakat memperoleh penghasilan dari tambak yang mereka pelihara. Berbagai kegiatan ini juga akan mendukung upaya pengurangan bencana di wilayah pesisir.
I Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, menyampaikan bahwa pola kerja kolaboratif tersebut terbukti telah memotivasi masyarakat untuk tidak hanya menanam, tetapi juga memelihara tanaman
mangrove dengan sangat baik. Dalam jangka panjang, selain mata pencaharian masyarakat yang meningkat, kegiatan restorasi juga diharapkan dapat memberikan kontribusi jasa lingkungan, seperti penyerapan dan penyimpanan karbon, menyediakan habitat yang memadai untuk hidupan liar dan menyediakan ruang bagi
masyarakat untuk berekreasi di tengah lahan tambak yang telah direstorasi.
Berdasarkan hasil kajian Wetlands International Indonesia, dari tahun 1970-an hingga saat ini teridentifikasi jangkauan abrasi dari garis pantai ke daratan mencapai satu
kilometer, dengan laju jangkauan maksimum 25 meter per tahun dan luas areal terabrasi mencapai 714,97 ha. I
Nyoman Suryadiputra mengatakan, “ Permasalahan di Teluk Banten, terlepas dari adanya abrasi, adalah kondisi hamparan pertambakan seluas 500-an hektar yang gersang. Perlu diupayakan agar tambak-tambak ini dihijaukan, misal melalui penerapan sylvofishery (tambak tumpang sari dengan tanaman mangrove). Untuk mencapai tujuan ini, penerapan sistem insentif dapat diberikan kepada pemilik tambak berupa
keringanan/pengurangan biaya PBB (Pajak Bumi Bangunan); tapi jika tambak dibiarkan gersang, kepada mereka dikenakan PBB lebih tinggi .”
Menanggapi dukungan berbagai pihak dalam pengelolaan ekosistem mangrove Teluk Banten, Kasrudin, Ketua Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua, mengatakan,
“Kami sangat berterimakasih atas pihak-pihak yang telah mendukung kegiatan di sini. Termasuk rencana bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar kami dapat memperluas kegiatan rehabilitasi mangrove dan meningkatkan pemberdayaan ekonomi di (Desa) Sawah Luhur””
Diperlukan Pendekatan yang Inovatif
Pada 2012, bangunan pemerangkap sedimen mulai dibangun oleh Wetlands International Indonesia bersama masyarakat untuk tujuan memperluas habitat tumbuh mangrove di Daerah Penyangga (depan pantai) Cagar Alam Pulau Dua, Desa Sawah Luhur, Serang, Banten. Awalnya, pemerangkap sedimen berskala kecil, dibangun dengan
membentangkan jaring bekas dan menggunakan
tumpukan karung sejauh 40 meter dari garis pantai yang terabrasi sepanjang 200 meter dan setinggi 1,5 meter.Di atas lumpur yang terperangkap ini kemudian ditumbuhi mangrove secara alami yang bibit-bibitnya berasal dari lantai hutan Cagar Alam Pulau Dua yang hanyut saat air surut. Bangunan ini ternyata berhasil sukses dan di atas lumpur kini telah tumbuh ribuan pohon Avicennia sp secara alami dengan ketinggian sekitar 2 – 6 meter, umur sekitar 4 tahun . Upaya ini dilakukan oleh Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua (KPAPPD) bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), serta beberapa pihak terkait lainnya.
Dengan dukungan program Mangrove for the Future, inovasi ini dikembangkan lebih jauh, yaitu dengan membangun struktur pemerangkap sedimen dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar lokasi kegiatan (seperti cerucuk bambu dan ranting/cabang pohon). Gabungan antara penggunaan jaring bekas dan tumpukan karung berisikan lumpur, ditambah dengan penggunaan cerucuk bambu, akhirnya akan menambah habitat mangrove di depan Cagar Alam Pulau Dua dan ini akan menjadikan sabuk hijau pantai desa sawah luhur bertambah luas, ujar Nyoman.
“Dengan kata lain, perluasan sabuk hijau (green belt), akan mendukung keanekaragaman hayati, melindungi kawasan Cagar Alam Pulau Dua, melindungi pertambakan serta meningkatkan ketahanan pemukiman pesisir Desa Sawah Luhur yang terletak di belakang cagar alam Pulau Dua dari adanya kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Upaya ini juga memiliki nilai strategis dalam kerangka kegiatan pengurangan risiko bencana di daerah pesisir”.
Kegiatan rehabilitasi di Teluk Banten juga mendukung keberlangsungan kawasan Cagar Alam Pulau Dua, yaitu kawasan yang bernilai penting bagi keberadaan burung air di dalamnya. Ribuan ekor burung dari sekitar 100 jenis burung sangat bergantung kehidupannya pada kawasan yang disebut pula sebagai Pulau Burung ini. Kondisi ini pun sangat potensial dikembangkan sebagai lokasi berbagai kajian pengembangan ilmu pengetahuan sehingga penting dipertahankan. Dalam rangkaian kegiatan pengamatan dan penghitungan burung air di Cagar Alam Pulau Dua bersama Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta), Yus Rusila Noor, Program Manajer Wetlands International Indonesia yang juga merupakan pakar burung air di Indonesia,
Pengarusutamaan Pengelolaan Risiko Terpadu
Sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana di tengah meningkatnya perubahan iklim dan semakin
terdegradasinya lingkungan, Wetlands Internasional Indonesia saat ini tengah menerapkan sebuah pendekatan inovatif untuk mengurangi risiko bencana dan
meningkatkan ketahanan masyarakat rentan bencana yang dikenal dengan pendekatan Integrated Risk Management (IRM)/Pengelolaan Risiko Terpadu. IRM merupakan pendekatan yang memadukan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Adaptasi Perubahan Iklim (API), serta Manajemen dan Restorasi Ekosistem (MRE) secara bersamaan. Delapan prinsip utama IRM: partisipatif, multidisiplin, kemitraan, pendekatan lanskap, penguatan sumber-sumber penghidupan, pembelajaran yang berkelanjutan, bekerja pada skala waktu yang beragam dan penguatan kelembagaan. Dalam penerapannya, pendekatan ini bekerjasama dengan masyarakat, sektor swasta dan pemerintah dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan, praktek investasi dan praktek pembangunan di Indonesia.
Programme Manager Resilience Projects, Yus Rusila Noor, menyampaikan bahwa penerapan IRM bukanlah hal yang baru. Antara tahun 2011-2015, WII melalui program Partners for Ressilience telah berhasil mengembangkan kegiatan di lapangan yang terbukti tahan terhadap risiko dan sesuai dengan prinsip-prinsip IRM, salah satunya
adalah kegiatan rehabilitasi pesisir dan penguatan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan di Kabupaten Ende dan Sikka, NTT. Yus Rusila Noor mengatakan, “Saat ini babak baru telah dimulai di mana program lanjutan dilakukan untuk mendorong aplikasi IRM yang lebih luas dalam agenda pembangunan di Indonesia, melalui kegiatan advokasi dan dialog kebijakan IRM. Untuk Wetlands International Indonesia, babak baru ini difokuskan pada program pengarusutamaan IRM dalam rencana pembangunan ekosistem dataran rendah khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.”
Pada kesempatan yang sama, Cherryta Yunia, Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, KLHK, juga menyampaikan pentingnya pendidikan dan
penyadartahuan lingkungan kepada masyarakat dan anak usia dini sebagai bagian dari pengarusutamaan IRM. Di sela kegiatan lomba menggambar siswa-siswa SD, Cherryta mengatakan, “Hubungan antara anak dengan alam sekitarnya merupakan landasan yang penting untuk membangun hubungan yang baik antara manusia dengan alam atau lingkungan hidup sekitarnya. Sehingga, kesadaran lingkungan tercermin dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat.”
*Informasi tambahan: Brosur Profil Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) 2017 disampaikan dalam lembar terpisah
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
I Nyoman Suryadiputra Cherryta Yunia
Direktur Wetlands International Indonesia Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial
nyoman@wetlands.or.id Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
cherrytays@yahoo.com
Kegiatan Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia ini memperoleh dukungan dari:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Pemerintah Provinsi Banten dan Kota Serang
Pemerintah Kecamatan Kasemen dan Kelurahan Sawah Luhur
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Serang
Asian Waterbird Census
Kemitraan Partners for Resilience
Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua