• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Kondisi Multikultur pada Ma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Representasi Kondisi Multikultur pada Ma"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film “Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran”1

Oleh Rosida E. Irsyad

Beberapa waktu yang lalu, saya mempresentasikan hasil temuan tesis saya dalam sebuah diskusi informal di Cak Tarno Institute yang dihadiri oleh rekan-rekan dari berbagai kalangan. Saat itu, kami membicarakan politik kebudayaan pemerintah Prancis yang direpresentasikan oleh film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran

(François Dupeyron, 2003). Di balik manisnya representasi perayaan keberagaman yang ditawarkan oleh film tersebut yang oleh Joesana Tjahjani dalam salah satu artikelnya disebut “Dongeng Negeri Multikultur”, ada berbagai bias yang menyertai representasi tersebut. Dalam konteks politik kebudayaan Prancis, posisi film MI berada pada kutub yang berpihak pada kondisi multikultur Prancis dan secara optimis mempromosikan kondisi multikultur dan ideologi lintas batas sebagai salah satu metode memahami keberagaman. Film MI secara manis memberikan alternatif lain pada tampilan wajah Islam yang garang setelah peristiwa 11 September 2001. Pada saat memulai pengerjaan tesis saya mengenai film ini, saya paling tertarik dengan masalah strategi representasi dalam film tersebut dan juga ideologi yang melatari representasi tersebut. Saya akan menyampaikan beberapa hasil analisis yang menarik yang terkait dengan permasalahan yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Dalam makalah ini, saya menyoroti representasi kondisi multikultur pada masyarakat urban Paris dalam film MI. Saya memilih membahas film ini terutama karena wacana keberagamaan yang direpresentasikan di dalamnya. Walaupun para pembuat film ini mengatakan bahwa film ini bukan film relijius, paling tidak secara diskursif, masalah tersebut muncul. Lebih khas lagi, wacana keberagamaan tersebut diramu dalam kisah yang menampilkan keragaman budaya. Keberagamaan dalam keragaman, ini tema yang menarik hati bagi saya. Keragaman di dalam film ditampilkan melalui representasi kelompok pinggiran. Kelompok pinggiran yang saya maksudkan adalah agama Islam dan Yahudi, kaum imigran muslim dan kaum Yahudi di tengah dominasi masyarakat Prancis-Katolik. Dalam analisis yang saya lakukan terhadap film ini, saya melakukan analisis pada tingkat wacana dengan melihat berbagai tema yang direpresentasikan, kemudian memposisikan wacana

(2)

tersebut secara biner dan menganalisis dialektika antara berbagai wacana untuk membongkar berbagai ambiguitas yang muncul.

Film MI dianalisis dengan menggunakan kerangka teori kajian budaya, yaitu representasi dan identitas yang cair. Pembahasan pertama tentang gambaran kondisi multikultur akan memaparkan representasi ruang pada masyarakat urban dalam perjalanan melintas batas dalam pengertian denotatif juga simbolik. Di dalam

Monsieur Ibrahim, permasalahan-permasalahan tersebut muncul secara dinamis melalui aspek sinematografis dan dialog tokoh-tokohnya. Kedua adalah pembahasan mengenai representasi agama dan spiritualitas yang akan memaparkan pandangan keberagamaan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam Monsieur Ibrahim. Permasalahan ruang dan spiritualitas urban ini akhirnya menjadi salah satu pilihan strategis untuk menampilkan kondisi multikultur dalam MI.

Gambaran Kondisi Multikultur: Pusat dan Pinggiran

Monsieur Ibrahim merupakan sebuah representasi budaya yang berupa kisah-kisah hidup seseorang (personal life narratives), dalam hal ini Moïse Schmitt atau Momo- sang tokoh utama, yang ditampilkan dalam media film cerita. Sebagai sebuah representasi, kisah hidup Momo merupakan salah satu cara untuk membentuk “ self-definitions” dan identitas (Giles dan Middleton, 1999: 55). Apa yang ditampilkan di dalam film ini merupakan sebuah dunia yang dilihat melalui pandangan seorang Momo, remaja Yahudi-Prancis yang tinggal di kawasan urban di pinggiran Paris. Kondisi multikultur yang ditampilkan merupakan gambaran yang terikat pada kerangka berpikir Momo terhadap dunia.

(3)

lelaki yang lewat, wanita tersebut adalah salah seorang penjaja cinta di daerah rue Bleu (gambar 1). Di latar belakang terlihat seorang anak lelaki (Momo) mengenakan kaos singlet putih dan celana panjang hitam tengah memperhatikan aktifitas pelacur berkulit hitam itu dan rekan-rekannya dari teras kamarnya yang terletak berhadapan di seberang jalan. Adegan pembuka itu berlangsung sekitar 1 menit sebelum kemunculan judul Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran. Sejak awal, penonton sudah dipersiapkan untuk menikmati film yang akan menampilkan suatu kelompok masyarakat yang khusus dengan perbedaan kultural yang khas. Lagu pembuka Why Can’t We Live Together muncul secara nondiegetik sebagai lagu tematik film ini.

Di sebuah adegan yang lain, Momo melakukan pengutilan di toko milik seorang Arab, Ibrahim Dermidji. Dia menganggap si orang Arab pantas dicuri barangnya. Momo merasa dirinya sebagai orang Prancis yang memiliki kekuasaan untuk berbuat sekehendaknya terhadap etnis minoritas. Pada situasi tersebut, prasangka rasial terhadap orang Arab ditampilkan. Setelah menyimpan barang yang ia curi di kantongnya, sambil mengatakan pada dirinya sendiri melalui suara internal,”Je m’en fous, c’est un Arabe, un Arabe, un Arabe. S’il n’était pas, ce sera pareil” (Aku tak peduli, dia orang Arab, orang Arab, orang Arab. Kalaupun dia bukan Arab, sama saja), Momo menghampiri Ibrahim untuk membayar sebagian barang yang ia ambil. Ia memandang Ibrahim dengan tajam, tanpa menunjukkan rasa takut. Hanya karena disangka Arab maka Ibrahim pantas dijadikan sasaran tindakan Momo yang melanggar hukum.

Sejak awal, Monsieur Ibrahim mengangkat permasalahan-permasalahan kelompok marjinal dan mengisahkan tokoh-tokoh yang secara sosial politis dan sosial budaya adalah marjinal. Ibrahim adalah seorang tokoh keturunan Turki beragama Islam, sementara Momo adalah seorang remaja Prancis Yahudi. Keduanya merupakan representasi dari kelompok marjinal di Perancis yang didominasi oleh budaya Katolik. Tokoh-tokoh lain yang dimunculkan juga mewakili kelompok terpinggirkan tersebut, misalnya pelacur sebagai kelompok perempuan yang marjinal dalam wacana moral.

Ruang Pinggiran dan Pusat pada Masyarakat Urban Paris

Kondisi multikultur yang ditampilkan dalam Monsieur Ibrahim

(4)

membentang mulai daerah yang sangat kecil di rue Bleu kemudian lebih besar, yaitu Paris, dan keluar dari Prancis, yaitu Italia, Swiss, Yunani, Albania, dan Turki, kemudian ke tempat yang sangat terpencil dan jauh, yaitu desa Ibrahim, akhirnya kembali ke rue Bleu. Monsieur Ibrahim juga menampilkan ruang privat dan publik secara bergantian. Pergerakan tokoh-tokoh dari satu ruang ke ruang lain memiliki makna yang penting.

a. Perjalanan Kembali ke Asal: Tradisi Multikultur

Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo bertujuan untuk kembali ke tanah asal Ibrahim yang telah ia tinggalkan selama 15 tahun. Perjalanan kembali itu merupakan representasi dari kondisi multikultur pada masyarakat urban. Kondisi multikultur terjadi pada awalnya, karena perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dengan berbagai alasan berupa mendapatkan penghidupan yang lebih baik, pengusiran, genocide, bencana alam, kolonisasi, dll. Perpindahan tersebut terjadi secara berkelompok maupun per individu dan hasil dari perpindahan tersebut adalah diaspora, yaitu menyebarnya orang-orang ke berbagai wilayah. Perpindahan itu membuat demografi suatu wilayah berubah dan menciptakan kondisi-kondisi yang sebelumnya telah dijelaskan sebagai melting pot/ salad bowl/ pluriculture

(Prancis). Akibat meninggalkan tanah kelahiran, maka salah satu praktik budaya penting dalam kondisi multikultur pada masyarakat urban adalah perjalanan kembali ke tanah kelahiran. Dalam tradisi banyak agama, perjalanan itu dimaknai sebagai sesuatu yang sakral yang disebut dengan ziarah. Bagi para penganutnya, melakukan ziarah merupakan bagian dari ritual yang wajib dilakukan sebagai wujud ketaatan pada perintah Tuhan. Perjalanan kembali memiliki makna yang berbeda-beda tergantung faktor yang mendorong terjadinya migrasi.

(5)

yang ditampilkan melalui mobil merah yang ia beli dari hasil tabungannya selama 15 tahun.

b. Barat sebagai Pusat dan Timur sebagai Pinggiran

Ruang Barat (Prancis, Swiss dan Yunani) dan Timur (Turki) dimanfaatkan dengan sangat baik untuk menggambarkan wacana pusat dan pinggiran. Rue Bleu, bagian distrik Yahudi, terletak di daerah pinggiran Paris. Paris adalah pusat peradaban Prancis dan dikenal dengan berbagai kebesarannya sebagai salah satu pusat peradaban Eropa. Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo melanjutkan representasi pusat budaya, yaitu melalui Italia (pusat mode dunia), Swiss (pusat keuangan dunia) dan Yunani (pusat peradaban Eropa di jaman pertengahan yang hingga kini warisan budayanya masih terasa). Perjalanan mereka melintasi ruang yang membentang dari Barat menuju Timur. Setelah itu, mereka memasuki representasi pinggiran yaitu Albania (negara miskin di Asia Tengah yang baru melepaskan diri dari Rusia) dan Turki (negara Asia Tengah yang hingga kini masih memperjuangkan pengakuannya sebagai bagian dari Uni-Eropa) dan berakhir di wilayah yang sangat terpencil, yaitu desa Ibrahim (tidak disebutkan nama daerahnya).

Perjalanan melintasi batas tersebut sangat menarik dan simbolik. Arah perjalanan dari Barat ke Timur, melintas pinggiran menuju pusat kemudian kembali ke pinggiran. Perubahan ruang tersebut menjadi bermakna jika diinterpretasikan dengan Barat dan Timur sebagai dua wilayah dan dua wacana. Perjalanan menuju Timur dapat dikatakan representasi dari pergeseran paradigma Barat yang kini semakin Oriental-friendly atau simpatik terhadap Timur. Timur yang dulu dianggap sebagai pinggiran atau subordinat kini menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan pemerintah, perusahaan, pengobatan, perjodohan, membangun rumah, cara berhubungan seks, peruntungan sampai pada cara-cara untuk meningkatkan konsentrasi dan kecerdasan sejak usia dini. Kini Timur menjadi sumber pengetahuan yang sangat diperhitungkan. Timur bergerak dari pinggiran ke pusat2. Perubahan

(6)

paradigma itu secara simbolis ditampilkan dalam Monsieur Ibrahim melalui perjalanannya dari Barat ke Timur, dari pusat ke pinggiran.

Kini, perjalanan kembali dari Timur ke Barat, dari pinggiran ke pusat, memiliki makna baru yang berbeda, yaitu Barat yang telah bersentuhan dengan Timur. Monsieur Ibrahim menggambarkan bahwa perjalanan kembali Momo dari Turki ke Paris diakhiri dengan pembacaan wasiat yang ia terima dari Ibrahim. Momo kembali menghadapi keseharian di negerinya sendiri yang individualis dan birokratis3. Ia menerima surat wasiat Ibrahim yang isinya meninggalkan seluruh

hartanya kepada Momo sebagai anak angkatnya dan menitipkan Al Qur’an yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada Momo. Wasiat Ibrahim dapat diinterpretasikan bahwa ia mewariskan kebijakan yang ia dapatkan dari kitab sucinya kepada Momo. ‘Je sais ce qu’il y a dans mon Coran4 yang beberapa kali dikatakan Ibrahim secara

eksplisit merupakan kata kunci untuk memahami kebijakannya. Satu menit terakhir dari Monsieur Ibrahim merupakan akhir yang sangat penting. Akhir sebuah film mampu mengungkapkan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh para penciptanya. Gambar 7 menunjukkan bahwa Momo remaja kini telah dewasa dan bekerja menjaga toko Ibrahim yang diwariskan kepadanya. Ia juga bertemu dengan seorang anak lelaki yang masih sangat muda dengan nama yang sama: Momo. Dan Momo dewasa bertindak seperti Ibrahim dulu. Akhir cerita yang membuat alur menjadi siklik dapat diinterpretasikan sebagai perjalanan kembali dari Timur ke Barat. Perjalanan kembali itu secara simbolik menggambarkan hasil dari perjalanan yang dilakukan oleh Momo yaitu seorang warga negara di benua Eropa yang ‘menjadi’ seorang Timur (dalam hal ini Turki) di dalam jiwanya. Ia seorang remaja Eropa di permukaan (tampilan luar) yang mengalami perubahan paradigma di dalam dirinya. Penekanan yang dilakukan oleh para pembuat Monsieur Ibrahim bukan pada permasalahan perpindahan agama, karena informasi tentang perpindahan agama Momo dari Yahudi ke Islam tidak ada di dalam film. Akan tetapi, akhir yang membuat Momo ‘menjadi’ Ibrahim dengan menggunakan baju penjaga toko milik Ibrahim, di toko yang sama, dengan pengaturan toko yang tidak berubah mengesankan bahwa Ibrahim ‘terlahir kembali’ pada Momo dewasa.

3 Adegan ini memperlihatkan bahwa selama pembacaan wasiat terlihat si pengacara yang sibuk menerima telpon dari ibunya sedangkan Momo menanti-nanti kapan akan dibacakan surat tersebut sampai tuntas. Akhirnya ia mengambil surat tersebut dan membacanya sendiri.

(7)

Jika dikaitkan dengan wacana Barat-Timur, akhir alur yang siklis dapat dimaknai bahwa perjalanan kembali Barat ke Timur menghasilkan Barat (di permukaan atau di luar) yang ‘menjadi’ Timur (di dalam) dan bernuansa Timur. Perjalanan kembali dari Timur ke Barat membuat Timur ‘terlahir kembali’. Akhir alur yang bersifat siklis merupakan representasi dari luruhnya batas-batas pusat dan pinggiran. Makna dari perjalanan melintas batas-batas adalah perjalanan pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai budaya yang berbeda untuk mendapatkan wawasan diri yang lebih baik. Baik dalam konteks Momo-Ibrahim maupun dalam konteks Barat-Timur, perjalanan ‘menjadi’ dengan cara mengetahui dan mengalami budaya yang lain bahkan yang pernah dianggap rendah oleh ‘yang memandang’ merupakan perjalanan penemuan diri sendiri.

Perjalanan melintas batas itu hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang bersedia mengadopsi pandangan hidup anti-esensialis dan inklusif yang akan membantu para pelakunya lepas dari persangkaan budaya. Dalam konteks Monsieur Ibrahim, perjalanan melintas batas mungkin dilakukan karena keduanya lepas (melepaskan diri) dari hegemoni budaya komunal. Ibrahim adalah seorang Turki-Muslim yang hidup seorang diri, tidak memiliki komunitas yang membuatnya harus melakukan negosiasi. Demikian pula dengan Momo yang melakukan tindakan yang sangat berani dengan menolak kehadiran ibunya dan memilih bersama Ibrahim. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Muslim dan Yahudi di Prancis pada umumnya hidup di ghetto dan distrik yang merupakan batas paling jelas dalam pengkategorian identitas, sehingga budaya komunal masih terasa ketat. Baik Ibrahim maupun Momo terlepas dari hegemoni budaya kelompoknya masing-masing. Mereka adalah individu-individu yang ‘keluar’ dari kelompoknya dalam arti simbolis maupun praktis. Dalam hal itu, mereka menjadi individualis yang tidak dipengaruhi oleh budaya komunal.

Representasi ruang pusat dan pinggiran merupakan bagian penting dalam mengkonstruksi kondisi multikultur dalam Monsieur Ibrahim. Hal itu tidak hanya ditampilkan melalui perubahan ruang sebagai bagian dari framing dan mise en scene,

namun secara naratif memiliki makna penting untuk menyampaikan pesan tentang perjalanan melintasi batas-batas ruang sosial dan wacana.

(8)

Dalam sejarah Prancis-Katolik, posisi Islam dan Yahudi adalah agama dan kelompok minoritas agama yang marjinal. Secara konstitusional, semua orang punya hak yang sama di depan hukum, namun dalam kenyataan sehari-hari, kelompok minoritas tersebut merasakan perlakuan yang berbeda (Ramadhan, 2004: 715 dan

Silverman, 1999: 156). Kesamaan posisi marjinal keduanya ditampilkan dalam

Monsieur Ibrahim yang membuat film tersebut menjadi kisah tentang marjinalitas. Representasi agama di dalam film diperlihatkan terutama melalui identitas keagamaan para tokoh yaitu Momo yang Yahudi-Prancis dan Ibrahim yang Muslim-Turki. Identitas tersebut juga ditampilkan melalui beberapa ungkapan Ibrahim berikut ini.

Ibrahim: Je ne sais rien... Je sais juste ce qu’il y a dans mon Coran. Tu sais, le début, c’est bien devient un professionel. Mais après, quand tu es le maître, avec la complication des sentiments... Tu auras apprécié les novices.

Momo: Vous y allez, vous... À votre âge.

Ibrahim: Le ciel, il est à tout le monde, il n’est pas les affaires au mineur.

Ibrahim: Saya tidak tahu apa-apa... Saya hanya tahu apa yang ada di dalam Al Qur’an saya. Kamu tahu, pada awalnya sangat bagus menjadi seorang profesional. Tetapi setelah itu, ketika kamu memimpin, dengan keruwetan perasaan... Kamu akan menghargai para pemula.

Momo: Anda juga menjadi begitu... Di usia Anda.

Ibrahim: Akhirat itu milik semua orang, itu bukan permasalahan sekelompok orang saja.

Pada kutipan di atas terlihat beberapa kata yang terkait dengan agama seperti Coran

(Al Qur’an), les novices (para pemula) dan le ciel (akhirat). Dalam adegan di atas, Momo dan Ibrahim tengah membicarakan tentang kehidupan profesional yang berat dan akhirnya memiliki permasalahan spiritual. Ketika saatnya tiba, orang perlu mulai memikirkan tentang hal-hal yang lebih abstrak dan berada di luar dirinya sendiri yang diacu oleh Ibrahim dengan kata ‘le ciel’. Kata-kata yang mewakili agama tersebut berurutan mulai dari yang khusus, yaitu Coran sebagai kitab suci umat

5The fallout from political situations in Muslim countries and the active interests, and sometimes

manipulations, of governments cast a very negative light on Muslims living in the West and give rise to a whole range of prejudices and preconceived ideas about Islam and Muslims. The consequence is that laws, whose letter protects the rights of Muslims, are read, interpreted and used tendentiously because of the atmosphere of suspicion and so become the “official” and legitimate justification for obvious acts of discrimination.[…] Well before 11 September 2001 and the outrages in the United States, Muslims were already experiencing every day the reality of suspicion and discrimination.

6Jew and Judaism are perceived as ‘other’ to ‘Christian Europe’, ‘other’ to rationality, logocentrism

(9)

Islam, kemudian les novices yang lebih jamak digunakan untuk mengacu pada para calon pendeta Kristen, dan terakhir le ciel yang mengacu pada sebuah konsep yang lebih umum dan awam tentang agama, yang merupakan representasi dari hal-hal yang terkait dengan Tuhan.

Dalam adegan lain, Ibrahim membicarakan tentang peranan Tuhan dalam kehidupan. Ia mengatakan pada Momo bahwa “Si Dieu veut te révéler la vie, Il n’a pas besoin d’un livre”. Dalam hal ini, ia mengacu pada keinginan Momo, seorang Yahudi, untuk membaca Al Qur’an. Bagi Ibrahim, permasalahannya bukan pada ia membaca atau tidak membaca kitab suci tersebut, namun pada sifat ketuhanan sendiri yang akan membukakan petunjuk pada siapa pun yang dikehendaki.

Kutipan berikut ini memperlihatkan tentang kesamaan antara kedua agama yang dialami oleh Momo yaitu tentang permasalahan penyunatan.

Momo: Moi aussi, vous êtes circoncis.

Ibrahim: Les musulmans, comme les juives.

Momo: Donc, vous pourriez être un juif.

Ibrahim: C’est ma main, c’est ma bouche.

Momo: Je comprends pas.

Ibrahim: Peut être tu comprendrais avec ta tête.

Momo: Seperti saya, Anda juga disunat. Ibrahim: Muslim sama dengan Yahudi.

Momo: Kalau begitu, Anda bisa menjadi seorang Yahudi. Ibrahim: Ini tangan saya, ini mulut saya.

Momo: Saya tidak mengerti.

Ibrahim: Mungkin kelak kamu akan memahaminya dengan pikiranmu. Dalam hal praktik ibadah, kedua agama mengenal beberapa praktik yang sama, yang salah satunya adalah penyunatan bagi lelaki. Neusner, Sonn dan Brockopp (2000) menunjukkan bahwa kesamaan praktik tersebut juga terdapat dalam masalah berdoa, memberikan sumbangan, perkawinan, perceraian, berzakat, dan berpuasa. Sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim, bahwa orang Muslim juga seperti Yahudi. Ketika Momo menyatakan bahwa Ibrahim juga dapat menjadi Yahudi karena kesamaan tersebut, jawaban Ibrahim adalah ‘ini tanganku, ini mulutku’. Ungkapan itu menunjukkan bahwa permasalahan agama merupakan sebuah pilihan individu.

(10)

naratif besar Islam, Yahudi adalah kelompok yang di’kisah’kan sebagai kaum yang mengkhianati perjanjian dengan Tuhan, mengkhianati perjanjian dengan nabi-nabi, dan yang masih sangat relevan adalah mengkhianati perjanjian perdamaian dengan bangsa-bangsa mayoritas Muslim di dunia masa kini. Stigma itu melekat erat pada Yahudi dan Yudaisme. Bagi kaum muslim, menghilangkan stigma tersebut sangat sulit, karena telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif dan kesejarahan. Upaya menampilkan persahabatan antara dua pemeluk agama tersebut dalam Monsieur Ibrahim merupakan langkah untuk melintasi batas-batas tradisi yang berakar dari prasangka historis pada kedua agama.

Adegan lain yang memperlihatkan representasi agama dan menguatkan lintas batas-batas tradisi adalah perjalanan Momo dan Ibrahim ke tempat-tempat ibadah umat beragama yang lain, yaitu Kristen dan Islam. Perjalanan tersebut merupakan perjalanan untuk membentuk wawasan Momo terhadap dunia yang berada di luar dirinya dan rue Bleu. Adegan ini menunjukkan bahwa dalam film ini, representasi agama ditampilkan selain melalui Islam dan Yahudi juga melalui Kristen Ortodox dan Katolik. Wawasan Momo tentang agama-agama lain dibuka oleh Ibrahim melalui sensitifitas inderawi, yaitu mendengarkan dan mencium bau. Pendekatan Ibrahim memperkenalkan agama-agama bukan melalui logika dan argumentasi, sehingga dalam representasinya, agama dapat dimaknai sebagai bagian dari kehidupan yang dapat dirasakan, sama seperti merasakan tarian atau dansa (melalui pendengaran dan gerakan), atau mencium bau. Agama direpresentasikan sebagai sesuatu yang empiris dan praktis, bukan sebagai abstraksi kata-kata yang sukar dipahami melalui buku dan kitab-kitab suci. Cara Ibrahim memandang agama sebagai sebuah penghayatan sejalan dengan pandangan seorang pemikir Islam dari Prancis, Mohammad Arkoun, yang mempopulerkan pengkajian kembali terhadap teks-teks suci agama Islam, menggunakan metode yang lebih progresif agar Islam selalu sejalan dengan perkembangan jaman. Ia mengatakan bahwa „semua penyelidikan diarahkan untuk

Islam yang dihayati, bukan Islam yang ditulis“ (2000: x).

(11)

konsep yang selalu kontekstual dan fleksibel, karena ia selalu terikat pada ruang dan waktu (Armstrong, 2001:20). Tuhan Yahudi dan Tuhan Islam adalah Tuhan yang sama, namun Tuhan dipersepsi oleh orang Yahudi sebagai Tuhan yang terlibat dalam kehidupan keseharian mereka, ikut serta dalam berbagai peristiwa yang dialami oleh bangsa Israel (Armstrong, 2001:40). Sementara Tuhan orang Islam (yang ditampilkan oleh Al Qur’an) adalah Tuhan yang Satu, yang transenden, tidak langsung menyentuh, dan terlibat dalam realita kehidupan, namun selalu ada (Armstrong, 2001:203). Perbedaan persepsi tentang Tuhan tersebut memunculkan perbedaan dalam cara memuja Tuhan.

Menarik untuk dipertimbangkan bahwa Monsieur Ibrahim mengambil latar waktu cerita berkisar antara tahun 1960-an hingga 1990-an. Periode tersebut merupakan masa perubahan paradigma yang sangat signifikan dalam cara masyarakat Barat mempersepsi agama. Representasi agama yang ditampilkan oleh Monsieur Ibrahim memperlihatkan kontekstualitas yang sejalan dengan laju perkembangan jaman. Perspektif baru yang memunculkan wacana melintas batas tradisi masing-masing agama berkembang seiring pemikiran Barat yang semakin simpatik terhadap ajaran-ajaran Timur dan ajaran-ajaran tradisional yang mengajak manusia mengenal Tuhan. Sejak tahun 1960-an, wacana tersebut dipopulerkan melalui kelompok-kelompok studi yang membicarakan tentang Pencerahan yang didapat melalui eksplorasi terhadap Tuhan. Popularitas wacana tentang Pencerahan tersebut bergaung dengan munculnya istilah New Age7 (Sukidi, 2001). Saat ini, gerakan-gerakan yang

mencerminkan semangat New Age tersebut dapat dijumpai sebagai bagian dari spiritualitas urban8.

New Age mempopulerkan tradisi mistik dan mengetengahkan tradisi tersebut dalam kerangka berpikir rasional bahwa akal dan hati memiliki satu tujuan, yaitu mengenal Tuhan, mengenal diri sendiri. Penyatuan kembali antara akal dan intuisi ketuhanan memasuki wacana yang semakin meluas, hingga ke permasalahan gender, lingkungan, dan politik. Visi New Age adalah melintasi perbedaan-perbedaan untuk

7 Perkembangan New Age terkait erat dengan kemunculan aliran filsafat perennial yang mempopulerkan gagasan bahwa semua agama di dunia bertujuan mendapatkan kebijaksanaan (sophia). Lihat juga Emmanuel Wora, Perennialisme (2004) dan Komaruddin Nafis, Agama Masa Depan (2003).

(12)

mengenal inti kemanusiaan. Melintasi batas-batas merupakan mentalitas penganut

New Age.

Kemunculan film Monsieur Ibrahim pada tahun 2003 dengan menampilkan tokoh-tokoh Islam dan Yahudi, dan lebih spesifik lagi, wajah sufisme Islam. Gejala-gejala tersebut dapat dikaitkan dengan gerakan New Age yang terus mempopulerkan tradisi mistik agama-agama dan menguatkan asumsi bahwa tradisi spiritual dalam agama baik monotheis maupun pagan, dapat menjadi kunci untuk menyatukan agama-agama. Popularitas tradisi spiritual agama-agama monotheis di Prancis sendiri diawali oleh seorang filosof muslim perennialis, yang juga seorang Prancis keturunan Jerman dari Alsace, Fritjof Schuon. Secara akademis, uraian-uraian Schuon tentang doktrin metafisika dalam agama-agama monotheis secara mengagumkan dapat diterima oleh penganut semua agama yang ia bicarakan (Budhy Munawar-Rachman dalam Hidayat dan Nafis, 2003: 27). Selanjutnya akademisi Prancis lain yang juga mempopulerkan tradisi spiritual Islam di Prancis adalah René Guénon yang dianggap sebagai salah satu akademisi penting dalam kajian Barat atas sufisme Islam. Dapat disimpulkan bahwa film Monsieur Ibrahim dimungkinkan untuk diciptakan di Prancis dengan membawa pesan tentang perdamaian dan dialog antar budaya, karena adanya faktor-faktor eksternal secara budaya dan historis yang mendukung penciptaan tersebut.

b. Wisata Spiritual9: Melintasi Tradisi Agama

Pesan-pesan untuk melintas batas tradisi keagamaan dalam Monsieur Ibrahim

terlihat pada beberapa adegan yang mengisahkan perjalanan mereka ke gereja dan ke masjid. Ibrahim mengajak Momo untuk membuka pikirannya (pour ouvrir le sens10)

dengan melakukan wisata spiritual dalam perjalanan mereka ke Turki yang dimulai dari gereja Katolik, gereja Ortodoks, kemudian masjid, dan diakhiri dengan tarian darwis yang menjadi kekhasan sufisme Naqsyabandi.

Ibrahim dan Momo bersama-sama membuka pikiran terhadap apa yang dianggap asing bagi mereka. Ketika jalan untuk berdialog telah terbuka, maka identitas menjadi sesuatu yang dapat terus menerus dinegosiasikan. Perbedaan dan persamaan dapat didialogkan. Setelah berakhirnya wisata spiritual mereka, Momo mengatakan “je me sens soulagé, il n’y a plus de haine dedans”11. Komentar Momo

9 Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001. 10 Untuk membuka indera.

(13)

tersebut memperlihatkan optimisme terhadap semangat untuk melintasi batas tradisi dan menemukan kedamaian dengan cara tersebut.

Monsieur Ibrahim menekankan pentingnya spiritualitas sebagai aktifitas pengenalan Tuhan. Setiap agama memiliki tradisi dan kultus untuk meningkatkan spiritualitas. Oleh karena semua agama membicarakan hal yang sama dalam spiritualitas, maka melintasi tradisi agama untuk mengenal Tuhan diperkenalkan dalam Monsieur Ibrahim sebagai wacana yang dapat menjadi jalan mempertemukan perbedaan dan menghasilkan perdamaian.

Melintasi tradisi agama bukan berarti berpindah agama. Hal itu menjadi titik tekan dalam Monsieur Ibrahim. Konversi Momo ke Islam tetap menjadi tanda tanya, hingga film berakhir, karena bukan konversi atau ekspansi agama yang penting untuk mempromosikan perdamaian, akan tetapi upayanya untuk membuka akal dan memahami Tuhan melalui tradisi sufisme Islam, hingga berhasil membawanya ke kedamaian. Dalam salah satu adegan di Turki, setelah menikmati tarian darwis bersama Ibrahim, Momo mampu merasakan bahwa “Ma tête s’est vidée… Toute ma haine… C’est ça prier?” (Pikiran saya kosong… Semua kebencian saya… Apakah berdoa seperti itu?). Sambil mengatakan hal tersebut, Momo berbicara seperti merenung dan berjalan di samping Ibrahim yang mendengarkannya sambil tersenyum. Kalimat-kalimat yang diungkapkan oleh Momo memang tidak lengkap namun dari nada bicara yang sedikit heran dan bingung dapat disimpulkan bahwa ia merasakan perubahan dalam dirinya dan pertanyaannya kepada Ibrahim “apakah berdoa seperti itu?” menunjukkan betapa pengalaman itu sangat baru dan mengherankan baginya. Hal itu menunjukkan bahwa wisata spiritual dapat menjadi sebuah gagasan yang optimistik dalam mempromosikan kedamaian dan perdamaian.

c. Sufisme sebagai Tradisi Spiritual dalam Islam

Monsieur Ibrahim mengangkat masalah spiritualitas agama sebagai wacana dominan dan meminggirkan wacana hukum dalam agama. Hal itu terlihat pada perenungan Momo tentang legalisme dan sufisme. Sufisme dalam definisi yang ia baca adalah “courant mystique de l’Islam de 8e siècle, opposé au légalisme. Il met l’accent sur la réligion intérieure12. Selanjutnya definisi legalisme yang ia baca

adalah “soucis de la respect à la loi13. Dalam perenungannya, Momo berpikir

(14)

Ibrahim mewakili sufisme sedangkan ayahnya mewakili legalisme. Ia mengatakan dalam pikirannya (melalui voice-off),”Ça veut dire qu’il oppose à la loi, qu’il n’est pas toujours honnête. Si respecter la loi c’est comme lui, c’est trop triste14, sambil

melihat ayahnya yang sedang membaca koran dari belakang. “Je préfères contre légalisme. Réligion intérieure… C’est ennuyeux le dictionnaire, il y a toujours un mot qu’on ne comprends pas. Réligion intérieure…15 Ia menyimpulkan bahwa lebih

baik memilih sufisme daripada legalisme. Cara berpikir Momo yang naif tersebut dapat dikatakan sebagai kritik terhadap legalisme agama yang dalam praktiknya kerap kali kaku dan menimbulkan rasa takut. Perenungan Momo tersebut menegaskan keanehan Ibrahim yang di sepanjang film ditampilkan hanya sekali sedang berdoa ketika ia berada di masjid di Turki. Monsieur Ibrahim

merepresentasikan agama tidak dari aspek formal agama dengan ritus-ritus ibadah sehari-hari dan cara berpakaian, namun dari aspek spiritual, yaitu cara yang dilakukan oleh seorang penganut agama (dalam hal ini Ibrahim) untuk menghidupkan keyakinannya terhadap Tuhan dalam kesehariannya. Hal itu menjadikan Monsieur Ibrahim memasuki wilayah esoteris agama16.

Ibrahim tidak pernah mempermasalahkan perbedaan keyakinan antara dirinya dan Momo, karena ia tahu bahwa pada tingkat formal, perbedaan itu dapat menjadi sumber perselisihan. Ia membicarakan hal-hal yang dapat mereka alami bersama tanpa pretensi seperti mengajarkan tentang senyum, kebersamaan, keindahan, dan cinta. Ia tidak pernah menggunakan ayat-ayat Al Qur’an secara harafiah untuk membicarakan hal-hal tersebut kepada Momo. Ia menyampaikan makna-makna yang ia pahami dari Al Qur’an. Tentang senyum ia mengatakan pada Momo,”C’est sourire qui te rends heureux17. Pada bagian lain ia mengatakan,” La beauté, elle est partout, où tu regards, ça s’est dans mon Coran18. Sementara tentang cinta, Ibrahim

menjelaskan tentang pentingnya arti memberi dalam cinta,”Ce que tu donnes, c’est à toi pour toujours. Ce que tu gardes, ce serait disparu pour toujours19. Ia juga

membicarakan tentang memahami hidup dan mendapatkan kebahagiaan dan

14 Berarti dia (Ibrahim) berlawanan dengan syariat agama, dia tidak selalu jujur. Jika menghormati syariat berarti seperti dia (ayah Momo), itu terlalu menyedihkan.

15 Saya lebih suka bertentangan dengan legalisme. Kultus batin... Kamus memang menyebalkan, selalu ada kata yang tak dimengerti. Kultus batin...

16 Dalam kajian saya yang lain tentang aspek sinematografi film MI yaitu teknik pemilihan sound yang menimbulkan kesan misterius pada tokoh Ibrahim sangat mendukung nuansa penuh teka-teki dalam film Monsieur Ibrahim (lihat tesis Rosida Erowati di sub bab 3.2.1)

17 Senyuman-lah yang akan membuatmu bahagia.

(15)

kedamaian dalam hidup. Sekali lagi, dalam hal pelajaran-pelajaran tersebut, Ibrahim harus diposisikan sebagai seorang penganut agama yang menghayati agamanya. Hal itulah yang menyebabkan ia dapat menarik pelajaran dan makna dari ajaran-ajaran agamanya. Baginya, agama bukan sebuah keharusan, namun sebuah kebutuhan yang perlu dipenuhi.

Di dalam Islam sendiri, sufisme merupakan kecenderungan keagamaan yang pinggiran jika dibandingkan dengan tradisional dan salafi20. Sufisme dibicarakan

dalam Monsieur Ibrahim sebagai bagian dari kecenderungan keagamaan yang dipilih oleh si tokoh utama, Ibrahim. Kecenderungan tersebut dikenal secara luas tapi tidak terlalu populer di kalangan Muslim, dalam artian tidak dipraktikkan oleh sebagian besar kaum Muslim21. Pemilihan sufisme sebagai bagian dari karakter tokoh utama

tersebut sangat menarik dalam kaitannya dengan kondisi multikultur.

Pemilihan judul Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran juga dapat dikaitkan dengan pemilihan tradisi sufisme dalam film ini. Sebagai sebuah praktik penghayatan terhadap Islam, sufisme mengangkat simbol-simbol alam sebagai bagian dari analogi untuk menggambarkan cinta kepada Tuhan. Sufi-sufi terkenal seperti Al Hallaj dan Rumi menggunakan simbol-simbol alam dalam puisi-puisi sufistik mereka. Les Fleurs du Coran atau bunga-bunga Al Qur’an dapat dimaknai secara referensial sebagai ayat-ayat Al Qur’an. Penggunaan metafor bunga-bunga menunjukkan perbandingan antara Al Qur’an sebagai kitab suci dengan alam. Bunga secara umum memiliki konotasi keindahan, keharuman dan kecantikan. Ketiga konotasi tersebut inheren dalam film Monsieur Ibrahim yang sebagaimana dijelaskan sebelumnya membicarakan aspek esoteris dari agama. Monsieur Ibrahim berbicara tentang senyum sebagai sumber kebahagiaan, keindahan dalam semua aspek kehidupan dan sensitifitas inderawi yang bukan hanya penciuman, tetapi juga pendengaran. Konotasi-konotasi tersebut juga muncul dalam mise-en-scene yaitu melalui pemilihan gambar bunga serta langit dan panorama alam. Pemilihan-pemilihan tersebut membentuk pemaknaan tertentu terhadap les fleurs du Coran

yang dimaksudkan dalam film. Bunga-bunga Al Qur’an adalah pemaknaan metaforis

20 Lihat h. 24-28 tentang pembagian kecenderungan keagamaan dalam Islam (scholastic

(16)

terhadap sifat Al Qur’an sebagai kitab yang memberi petunjuk dan kebijakan hidup kepada para penganutnya. Jika dipahami dan dihayati secara mendalam, maka para penganutnya dapat merasakan dan menghayati Al Qur’an seperti merasakan dan menikmati harum dan indahnya bunga-bunga.

Pemilihan seorang sufi sebagai tokoh utama Monsieur Ibrahim menegaskan ideologi dalam film yang mengangkat marjinalitas. Monsieur Ibrahim

mendemokratisasi marjinalitas tradisi sufi, membuat sufi dapat dinikmati oleh lebih banyak orang melalui media film. Dengan menampilkan sufi, Monsieur Ibrahim

melepaskan kegarangan wajah Islam yang direpresentasikan dalam film-film Barat pasca WTC dan mempromosikan tradisi spiritual dalam Islam yang selama ini terpinggirkan. Monsieur Ibrahim menunjukkan bahwa kebaikan agama dapat dirasakan jika agama digunakan untuk memahami Tuhan.

d. Sufisme dan Eksotisme Timur

Dalam penokohan, Monsieur Ibrahim mengikuti sebuah pola representasi yang khas pandangan Perancis terhadap Islam, yaitu memandang agama yang dianut M. Ibrahim bukan sekedar sebagai agama, namun juga sebuah jalan hidup ‘oriental’, yang eksotik (Safran 1991: 33). Pola representasi tersebut khas jika dikaitkan dengan orientalisme Barat. Ibrahim tidak ditampilkan sebagai seorang muslim yang menjalankan agamanya secara kaku, namun secara fleksibel dan mempertimbangkan konteks. Bias tersebut terlihat pada representasi Ibrahim sebagai seorang penganut sufisme Turki yang unik, penuh misteri, tak terduga, dan memiliki daya tarik eksotisme Timur. Ibrahim yang berkarakter eksotis (secara naratif) menyatu dengan eksotisme pemerannya yaitu Omar Sharif.

Representasi Ibrahim lekat dengan ‘ketimuran’ bukan hanya ‘keislaman’. Ibrahim ditampilkan lekat dengan kode budaya yang khas timur seperti menikmati tarian darwis. Dikatakan khas timur karena jika Islam dipandang dari perspektif normatif maka tarian darwis tidak terdapat pada berbagai literatur utama agama Islam seperti Al-Qur’an dan Hadits. Maka dapat dikatakan bahwa tarian darwis merupakan salah satu corak lokal keberagamaan di Turki.

(17)

Melintas Batas: Wacana pada Masyarakat Urban

Pembahasan di atas yang terfokus pada masalah ruang dan spiritualitas dalam konteks pinggiran dan pusat pada masyarakat urban Paris menunjukkan optimisme untuk mempromosikan wacana lintas batas sebagai strategi untuk menghasilkan identitas yang cair, fleksibel, dan inklusif. Wacana lintas batas dalam masyarakat urban yang direpresentasikan dalam film Monsieur Ibrahim merupakan bagian dari pengalaman masyarakat urban yang sangat lekat dengan perpindahan, fleksibilitas, dan penemuan hal-hal baru yang dalam istilah Michel de Certeau disebut wandering

(berkelana)22.

Daftar Pustaka

Arkoun, M. 1984. Membedah pemikiran Islam. Diterjemahkan oleh Hidayatullah. Bandung: Pustaka.

Armstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.

Capra, Fritjof. 2000. Titik balik peradaban: sains, masyarakat, dan kebangkitan kebudayaan. Diterjemahkan oleh M. Thoyibi. Yogyakarta: Yayasan

22 Dalam artikelnya “Walking in the City” (dalam During, 2003: 126-132), de Certeau

menggambarkan bagaimana tata kota Paris membuat orang-orang Paris terkadang memilih melewati jalan yang berbeda-beda untuk menuju suatu tempat. Hal ini dilakukan lebih karena alasan

(18)

Bentang Budaya.

De Certeau, Michel. 2003. “Walking in the City” dalam Cultural Studies Reader (2nd

edition) ed. Simon During. London: Routledge.

Gildea, Robert. 2002. France since 1945. New York: The Oxford University Press.

Giles, Judy, dan Tim Middleton. 1999. Studying culture: A practical introduction. London: Blackwell.

Hall, Stuart, ed. 1997. Representation: cultural representations and signifying practices. London: Sage Publications dan The Open University.

Hargreaves, Alec C., dan Mark McKinney. 1997. Post-colonial cultures in France. London: Routledge.

Hidayat, Komarudin dan Nafis, Muhammad Wahyudi. 2003. Agama Masa Depan:Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Neusner, Jacob, Tamara Sonn dan Jonathan E. Brockopp. 2000. Judaism and

Islam in practice: a sourcebook. London: Routledge.

Ramadhan, Tariq. 2004. Western Muslims and the Future of Islam. New York: Oxford University Press.

Safran, William. 1991. The french polity. 3rd ed. New York: Longman.

Silverman, Max. 1999. Facing Postmodernity: Contemporary French thought on culture and society. London: Routledge.

Sukidi. 2001. New Age: wisata spiritual lintas agama. Jakarta: Gramedia.

Film:

Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran (François Dupeyron)

Jurnal:

Referensi

Dokumen terkait