• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK POLITIK KUMPULAN CERPEN BABI KARY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRITIK POLITIK KUMPULAN CERPEN BABI KARY"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK POLITIK

DALAM CERPEN “BABI” KARYA PUTU WIJAYA

SEBUAH TINJAUAN SEMIOTIK STRUKTURALISME

Disusun guna memenuhi tugas Kapita Selekta Sastra Bahasa Indonesia Dosen pengampu: Dra. Ambarini Asriningsari, M.Hum

Oleh :

Mohammad Nurofik 07410803

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

(2)

Cerpen pilihan dari “GRES” 17 cerita pendek karya Putu Wijaya

“BABI”

Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tanganya keseleo dan menulis kata “babi”.Ia jadi dongkol sekali. Ia telah mengunjungi seorang ahli ilmu jiwa, tetapi tak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang kedepan seorang ulama, tetapi Ia hanya dinasehati supaya beristirahat. Padahal Ia yakin benar bahwa mungkin sekali Ia sedang berubah untuk menjadi gila.

Akhirnya ia datang ke dokter bedah.

“Dokter”, ujarnya dengan terharu, “saya sudah memutuskan untuk berpisah dengan tangan ini. Ideologi kami tidak sama lagi. Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang.Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakanya.Saya minta dokter sudi memotong tangan ini”.

Dokter itu seorang yang penuh pengertian.Ia mendengarkan dengan tenang, seakan-akan ia sudah seringkali memotong tangan orang tanpa alasan-alasan medis. Ia hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan memotong yang kanan atau yang kiri. Pemilik tangan itu sendiri yakin bahwa tangan kananyalah yang telah berontak, karena itulah yang dipakai untuk menulis.

“jangan terburu nafsu”, kata dokter, “kita jangan melupakan faktor-faktor sampingan. Kalau tangan saudara ini memang telah nekat untuk menganut ideologi yang berbeda, tak akan mungkin ia bertindak dengan serampangan. Saya khawatir kalau ia hanya sekedar pancingan”.

Penderita itu tercengang. “Maksud Dokter?”.

“Maksud saya adalah bahwa, janganlah anda begitu cepat terpancing.Berpikirlah sejenak dan renungkan apa yang hendak anda lakukan. Jangan berkata-kata lagi.Anda relaks saja dahulu. Saya akan berikan waktu seperempat jam. Kemudian saya akan kembali lagi. Sesudah itu kita pastikan apa yang akan kita lakukan. Ketahuilah.Tak ada yang sulit untuk dilakukan.Saya sudah memotong ribuan tangan orang.Saya berani melakukan itu semua. Saya cuma tak kuat kalau pada akhirnya saya harus berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa yang saya katapkan?”.

Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut.

(3)

berpisah. Lalu dibukanya jam tanganya. Dibukanya cincinya.Semua barang-barang itu dipindahkanya ke tangan kiri.Sesudah itu ia duduk dengan tenang.

Waktu dokter datang, ia segera mengulurkan tangan kananya. “saya kira tak ada jalan lain harus dipotong dokter”, ujarnya. Dokter memandangi tangan itu dengan hati-hati.

“Ada sesuatu yang lain dari tangan ini sekarang”, ujarnya. Penderita itu tertawa.

“Tentu saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot”. “Kenapa ?” mengambil alat untuk memotongnya. Penderita itu tentu saja terkejut.

“Dokter mau memotong tangan kiri saya?”. saudara.Ini politik. Tangan kiri saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. Sementara saudara menulis ia menutup muka saudara, lalu menggosok tulisan itu menjadi, menjadi apa yang biasanya ia tulis?”.

“Babi”. “Ya babi”. “Tapi dokter”.

“Oke, mari kita coba sekarang!”.

Dokter itu kemudian mengambil kertas dan pulpen. “Sekarang coba tulis nama Anda”.

Penderita itu menggeleng.Dokter menepuk-nepuk pundaknya.

“Jangan takut, ini bukan eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga saudara rela untuk memotong tangan kiri itu. Ayo coba!”.

Ia segera menggenggamkan pulpen itu ditangan kanan penderita. “Tulislah sekarang nama Anda!”.

(4)

“Nggak mau!”

“Ayo coba dong, jangan seperti anak kecil!”.

Dokter itu membujuk-bujuk.Akhirnya orang itu mau juga menulis. Tapi ia kelihatan terpaksa sekali. Ia memejamkan matanya. Tanganya bergerak dengan lambat.Tetapi jari-jari tangan itu tampak kaku.Urat-uratnya keluar.Dokter itu memperhatikan dengan takjub.Ia seperti melihat sebuah pertempuran. Tetapi ia seorang yang sabar.

Hampir sepuluh menit lamanya, baru tangan itu berhasil menulis: ANWAR. Dokter itu menarik napas dengan lega sekali.Ia menoleh ke pasienya. Orang itu tampak berkeringat.Seluruh mukanya basah.Matanya masih terpejam.Dokter itu segera mengambil saputangan.Ia mengusap muka pasienya.

Ia sempat juga mengambil air dan memberi minum pasienya itu. Aneh sekali matanya masih tetap tertutup.Dokter kemudian menepuk-nepuk pundaknya.

“Sudah, sudah, semuanya sudah selesai.Sekarang buka matanya”.

Penderita itu membuka matanya perlahan-lahan.Ia tampak lelah sekali. Dokter itu mengambil kertas dan menunjukan kepada orang itu.Ia tersenyum simpul.

“Coba baca”, kata dokter dengan bangga. Pasien itu diam saja.

Dokter segera menyalakan lampu, sehingga kertas itu jadi lebih terang. “Cobabaca dong”, kata dokter dengan nada kemenangan.

Pasien itu masih diam-diam saja. “Ayo baca!”

Pasien itu tampak memusatkan pikiranya keatas kertas itu.Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat.Tubuhnya gemetar.Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek.

“Babi!”.

Kriktik Politik dalam Cerpen “Babi” Karya Putu Wijaya Sebuah Tinjauan Semiotik Strukturalisme

a. Perumusan Masalah

(5)

struktur dengan tanda-tanda bahasa yang tersirat dalam rangkaian peristiwa pada cerpen tersebut.

Refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan yang dimaksud diatas dapat berkaitan dengan pemikiran atas perpolitikan yang dampak dan akibatnya secara lansung maupun tidak langsung dialami oleh pengarang sebagai warga Negara.

Dengan demikian, makna yang terkandung dalam cerpen “Babi” Karya Putu Wijaya ini dapat diketahui maknannya secara optimal melalui tanda dan sistem tanda yang terdapat didalamnya. Anggapan awal pada cerpen “Babi” yang mengungkapkan suatu makian atas ketidak puasan pengarang terhadap serba-serbi politik di negeri ini.

b. Signifier Utama

Signifier atau penanda utama pada cerpen ini (yang mendukung dan menyatakan kaitan terhadap kriktik politik). Tafsiran “babi” sebagai makian terhadap perpolitikan dapat diperoleh dari menggabungkan bahasan politik dalam cerpen ini dengan ungkapan “Babi” sebagai ekspresi kekecewaan atas pemotongan tangan yang tidak sesuai keinginan tokoh penderita. Melainkan karena Ia telah dipengaruhi oleh dokter bedah.

“Kelihatanya saja tangan kanan saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri saudara. Ini politik. Tangan kiri saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase (Wijaya, 2000:13)”. ... “Pasien itu tampak memusatkan pikiranya keatas kertas itu.Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat.Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek. “Babi!” (Wijaya, 2000:14)”.

Kutipan diatas menunjukan bahwa, adanya aksi politik yang dilancarkan oleh sang dokter. Bahkan mampu membuat penderita mengikuti pengaruh sang dokter. Namun, karena keputusanya mengikuti kat-kata sang dokter malah membuatnya kecewa. Sehingga Ia menjadi benci setengah mati dengan politik.

(6)

Dalam tinjauan semiotik strukturalisme, tanda-tanda yang terdapat dalam cerpen dapat dimaknai secara optimal melaui tanda-tanda yang terdapat dalam unsur-unsur pemabangun cerpen itu sendiri. Maka, agar dapat memaknai tanda-tanda yang terdapat dalam cerpen “Babi” karya Putu Wijaya tersebut dengan optimal sesuia arah kritik politik sebagai pokok masalah. Secara terperinci dapat diuraukan melalui identifikasi unsur-unsur pembangunya sebagai berikut:

c. Identifikasi Tema

Dalam bahasa Jawa kata “Babi” = “Celeng” sering digunakan sebagai makian terhadap sesuatu yang membuat tidak puas atau makian terhadap seseorang yang tidak disukai. Ketidakpuasan muncul dari muali awal cerita.

“Ia telah mengunjungi ahli ilmu jiwa, tetapi tak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang kedepan seorang ulama, tetapi Ia hanya dinasehati supaya beristirahat. Padahal Ia yakin benar bahwa mungkin sekali Ia sedang berubah untuk menjadi gila (Wijaya, 2000:11)”.

Dapat dilihat betapa tidak kecawanya seseorang yang menganggap penting suatu persoalan, namun hanya diberi solusi yang tidak memuaskan. Bahkan, hanya mengulur permasalahan menjadi lebih panjang.

Seseorang yang berkali-kali mencoba menuliskan namanya namun malah keseleo menjadi “babi” (sebenarnya dalam cara pandangnya sendiri saja), makin kecewa. Karena tanganya telah menganut ideologi lain dan mengikuti ideologi kaum yang berkuasa. Hal ini terbukti dengan pembacaan hasil tulisanya setelah operasi. Bahwa sang dokter membacanya “Anwar”, namun ternyata si penderita masih membacanya “Babi” bahkan dengan suara yang menggetarkan. Itu adalah ekspresi kekecewaanya yang paling besar karena ia telah terjebak oleh politik sang dokter.

“Hampir sepuluh menit lamanya, baru tangan itu berhasil menulis: ANWAR. Dokter itu menarik napas dengan lega sekali.Ia menoleh ke pasienya. Orang itu tampak berkeringat.Seluruh mukanya basah.Matanya masih terpejam (wijaya, 2000:14)”.

(7)

membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek. “Babi!” (Wijaya, 2000:14)”.

Tafsiran “babi” sebagai makian dapat diketahui dari kutipan diatas. Ekspresi kekecewaan tokoh penderita yang telah mengikuti pengaruh Sang dokter. Yakni mengikuti untuk memotong tangan kiri, padahal yang menulis adalah tangan kanan. Ternyata hasilnya sama saja. Si penderita tetap saja membaca tulisan namanya dengan “babi” bahkan Ia baca dengan suara yang menggeledak, dapat membuktikan bahwa tema dalam cerpen “babi” karya Putu Wijaya ini adalah tentang ungkapan cemoohan atau makian dengan kata “babi”.

d. Identifikasi Latar

Latar yang lebih dominan berupa latar suasana bukan latar tempat. Membuat nuansa cerita seperti mengambang, namun pembaca terbawa suasana yang aneh diluar nalar manusia. Tetapi tetap mengandung realitas-realitas makna yang kuat dengan fakta kehidupan.

Suasana yang bisa dikatakan menjadi teka-teki dan secara tiba-tiba berubah sesuai alur. Sama dengan perpolitikan yang seperti teka-teki, karena banyak sekali para pihak yang memiliki kepentingan dan kekuasaan, menyembunyikan hal-hal atas hal tertentu. Menggiring masayarakat kedalam nuansa lain yang sedang popular. Padahal dibelakang itu semua, ada maksud untuk melancarkan suatu niat yang disembunyikan.

“Dokter itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya. Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil alat untuk memotongnya. Penderita itu tentu saja terkejut (Wijaya, 2000:12)”.

Kutipan diatas menunjukan adanya hal yang disembunyikan. Yaitu sebuah peristiwa pemotongan tangan, yang disembunyikan pada senyum sang dokter. Karena Ia merasa teorinya patut dan pantas untuk diikuti. Suasana yang seharusnya dapat menjadi mencekam karena terjadi pemotongan tangan, namun menjadi mengalir saja tanpa disadari, bahkan oleh tokoh dalam cerpen tersebut.

Hal-hal yang dapat ditemukan melalui tafsiran tanda yang terdapat dalam cerpen “Babi” ini. Serta suasana yang terjadi dalam cerpen tersebut sacara maknawi membuat pembaca dapat menginterpretasikanya sebagai suasana yang sama dengan percaturan politik di Indonesia.

(8)

Secara keseluruhan, alur dalam cerpen ini adalah maju. Mengalami pergeseran waktu atau peristiwa yang secara runtut mengalir ke depan.

“Selama seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah laku tanganya (Wijaya, 2000:13).”

Rangkaian peristiwa yang terjadi dalam cerpen “Babi” ini, sebenarya menggambarkan pertentangan ideologi atau pertentangan yang dipicu oleh perbedaan cara pandang. Tokoh penderita yang merasa tanganya telah memiliki ideologi lain, sehingga dapat mengantarkanya pada nuansa yang kental dengan kekuasaan.

“Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut (Wijaya, 2000:13). Kutipan tersebut menunjukan bahwa penderita telah terbawa arus, terbawa alur sang dokter. Peristiwa ini dapat ditafsirkan, bahwa sang dokter memiliki kekuasaan atas diri Si penderita.

Selain perbedaan pandangan atau ideologi yang terjadi pada penderita dan tanganya. Perbedaan cara pandang juga terjadi pada penderita dengan Sang dokter. Perbedaan cara pandang ini sangat terlihat setelah peristiwa pemotongan tangan.

“Hampir sepuluh menit lamanya, baru tangan itu berhasil menulis: ANWAR. Dokter itu menarik napas dengan lega sekali.Ia menoleh ke pasienya. Orang itu tampak berkeringat.Seluruh mukanya basah.Matanya masih terpejam.Dokter itu segera mengambil saputangan.Ia mengusap muka pasienya (Wijaya, 2000:14).” Peristiwa diatas menunjukan bahwa dokter itu membaca tulisan sang penderita dengan kata “Anwar” dalam kondisi mata Sang penderita tertutup. Peristiwa ini dapat menjadi tanda bahwa saat cara pandang Sang penderita tidak digunakan. Maka, yang terjadi tulisan itu dibaca “Anwar” (hanya pada cara pandang sang dokter saja).

Namun saat mata Sang penderita dibuka dan disuruh untuk membaca, yang terjadi tulisan tersebut tetap saja dibacanya “Babi”. Ini terjadi pada akhir cerita. (yang dikutip menjadi penanda dalam identifikasi tema).

Perbedaan cara pandang antara dokter dan penderita, ketika dikaitkan dengan yang terjadi pada tangan penderita yang memliki ideologi lain, maka akan timbul pertanyaan. Sebenarnya cara pandang siapa mengikuti cara pandang siapa?

(9)

“Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus berpisah. Lalu dibukanya jam tanganya. Dibukanya cincinya.Semua barang-barang itu dipindahkanya ke tangan kiri.Sesudah itu ia duduk dengan tenang(Wijaya, 2000:13)”.

Fakta lain adalah bahwa politik selalu berkaitan dengan idealisme dan cara pandang seseorang maupun kelompok. Saat cara pandang seseorang tidak sepaham dengan kelompok lain yang utamanya sedang berkuasa. Maka orang tersebut dianggap sebagai yang kekiri-kirian, sesuatu yang tidak baik. Seperti suatu organisasi tubuh tokoh utama diibaratkan memiliki satu orang yang mengikuti idealisme ketenaran kelompok lain yang sedang berkuasa.

f. Identifikasi tokoh

Dalam cerpen “Babi” tokoh-tokoh yang dominan muncul yaitu penderita, tangan penderita, dan dokter bedah. Sedangkan tokoh pendukung yaitu ahli jiwa dan ulama. Yang sebenranya, juga dapat ditafsirkan sebagai simbol orang yang memiliki kekuasaan. Ahli jiwa adalah orang yang berpengaruh dalam ilmu kejiwaan, ulama adalah orang yang berpengaruh dalam bidang agama. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa orang yang memiliki pengaruh adalah juga orang yang berkuasa atau memilki kekuasaan.

Tangan dalam cerpen ini menjadi tokoh penting yang mampu mengubah kondisi tokoh lain, alur dan latar dalam cerpen tersebut. Tangan kanan penderita yang dianggap telah memiliki ideologi lain sehingga saat menuliskan nama penderita malah kesleo menjadi menulis “Babi”.

“Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tanganya keseleo dan menulis kata ‘babi’.Ia jadi dongkol sekali (Wijaya, 2000:11)”.

(10)

Penderita bisa dianggap sebagai simbol pimpinan yang amat peduli terhadap anggotanya, akan bertindak bagaimana caranya agar permasalahan perbedaan ideologi yang ada dalam tubuh organisasinya teratasi. Ia bertanya kesana kemari, namun tak ada jawaban yang menurutnya sesuai. Sampai ia prustasi dan menetapkan untuk memutuskan tanganya (mengeluarkan salah satu anggotanya yang daianggap telah membutanya prustasi).

“Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang.Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakanya.Saya minta dokter sudi memotong tangan ini (Wijaya, 2000:11)”.

Mengapa harus dokter bedah sebagai pilihan akhir penderita untuk menyelesaikan masalahnya? Dokter bedah dapat kita tafsirkan sebagai hakim (pengadilan) yang sudah banyak memutuskan suatu perkara. Meski kadang tanpa satu alasan yang jelas. Bahkan sangat gampang dimasuki oleh unsur-unsur politik. Dan dapat saja mereka menjalankan politik atas kekuasaan yang mereka miliki.

“Ketahuilah.Tak ada yang sulit untuk dilakukan.Saya sudah memotong ribuan tangan orang.Saya berani melakukan itu semua (Wijaya, 2000:12)”.

Referensi

Dokumen terkait