• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERUBAHAN KEBUDAYAAN AKIBAT PEMB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PERUBAHAN KEBUDAYAAN AKIBAT PEMB"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan pikirannya.

Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jatinangor, 13 Desember 2015

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...1

DAFTAR ISI...2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG...3 1.2 RUMUSAN MASALAH...4 1.3 TUJUAN PENULISAN...4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 SIAPAKAH SUKU TENGGER?...5 2.2 ASAL MULA DAN SEJARAH SUKU TENGGER...6 2.3 KEARIFAN LOKAL SUKU TENGGER...8 2.4 PERUBAHAN KEBUDAYAAN AKIBAT

PEMBANGUNAN DI SUKU TENGGER...13

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN...17 SARAN...17

(3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia adalah Negara yang sangat unik dimata dunia karena inonesia memiliki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh Negara lain, salah satunya adalah keadaan masyarakatnya yang majemuk yang teridiri dari bermacam-macam suku, ras, agama, bahasa maupun budaya. Namun hal ini sangat wajar karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor geografis dan faktor historis. Dari segi faktor geografis Indonesia terletak diantara dua benua. Yaitu benua Asia dan Australia. Dan juga antara dua samudra yaitu samudera pasifik dan samudera hindia. Akibat Indonesia dijadikan pusat perdagangan tempat transit nya kapal-kapal pedagang dari berbagai penjuru dunia sehingga mengakibatkan terjadinya asimilasi antara penduduk pribumi dan warga asing. Dan secara otomatis menjadikan masyarakat Indonesia menjadi heterogen dan majemuk. Selain itu pengaruh iklim akibat perbedaan garis lintang juga menentukan kemajemukan tersebut. Dilihat dari segi historisnya masyarakat Indonesia telah lama mengalami masa penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa jepang belanda, portugis dan prancis, sehingga secara tidak langsung budaya Negara penjajah tersebut mempengaruhi budaya Indonesia yang telah ada melalui perkawinan, asimilisi, maupun enkulturasi sehingga masyarakat Indonesia menjadi majemuk.

Salah satu kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari banyak nya suku-suku bangsanya. Seperti suku-suku batak, minangkabau, jawa, bugis, tengger dan lain-lain. Pada pembahasan ini dibatasi topiknya hanya pada suku tengger.

(4)

wisatawan mancanegara mengakibatkan beberapa pergeseran budaya, mata pencaharian, sistem pendidikan dan teknologi. Semakin berkembangnya teknologi membuat Suku Tengger pun tidak dapat menolak dan menutup diri dari perkembangan zaman. Walaupun masyarakat Tengger tetap terikat oleh aturan adat, namun mereka juga tidak dapat sepenuhnya menghindar dari pengaruh modernisasi karena pengaruh oleh wisatawan yang berkunjung. Seperti penggunaan alat-alat elektronik seperti handphone dan juga televisi. Pendidikan di sana juga sudah berkembang mengikuti sistem pendidikan pada masyarakat modern. Pembangunan inilah yang akan penulis bahas dalam makalah ini. Pembangunan yang menyebabkan ketidaksesuaian antara sudut pandang pihak pembangun dengan pihak yang dibangun.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Siapakah yang disebut dengan suku tengger itu? 2. Bagaimana asal mula dan sejarah suku tengger?

3. Apa saja kearifan lokal yang terdapat di Suku Tengger?

4. Perubahan apa saja yang terjadi pada suku tengger setelah masuknya pembangunan ke daerah mereka?

1.3 TUJUAN PENULISAN

(5)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 SIAPAKAH SUKU TENGGER?

Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Luas daerah Tengger kurang lebih 40 km dari utara ke selatan, 20-30 km dari timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m – 3675 m. Daerah Tengger terletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m. Suku tengger merupakan sub suku Jawa menurut sensus BPS tahun 2010.

Keadaan tanah di wilayah Tengger gembur seperti pasir, namun tingkat kesuburan tanah cukup tinggi. Hal ini cocok untuk ditanami bermacam tanaman. Maka dari itu, sebagian besar masyarakat Tengger bermata pencaharian sebagai petani.

(6)

Probolinggo), Desa Wanakersa, Ledokombo, Pandansari (Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo), Desa Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo (Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan), Desa Keduwung (Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan ), Desa Ngadirejo, Ledok Pring (Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan), Desa Ngadas (Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang), dan Desa Ranupani (Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang).

2.2 ASAL MULA DAN SEJARAH SUKU TENGGER

Menurut Samanhadi dalam Malik (2007:123) kata Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak. Ada juga yang mengartikan “tengger” dengan tengering budhi luhur, berarti tanda atau ciri yang memberi sifat khusus pada sesuatu, yaitu sifat-sifat budi pekerti luhur.

Ada pula legenda Rara Anteng dan Jaka Seger, sepasang suami-istri yang dikisahkan sebagai cikal bakal penghuni daerah Tengger. Legenda tersebut menceritakan sepasang suami istri yang memiliki 25 anak, namun salah satu diantaranya (Raden Kusuma) harus dikorbankan sebagai tumbal dengan dijerumuskan ke dalam kawah Gunung Bromo demi keselamatan saudara-saudaranya. Dalam kisah ini, Tengger merupakan singkatan dari kata “Teng” asal kata Anteng dan “Ger” dari kata Seger. Anteng mengandung arti sifat tak banyak tingkah dan tak mudah terusik. Makna dari istilah tersebut, seperti diyakini masyarakat setempat, tercermin pula pada kenyataan bahwa masyarakat Tengger hidup sederhana, tenteram, damai, bergotong-royong, bertoleransi tinggi, suka bekerja keras.

(7)

Raja Brawijaya bersama para pengikut yang masih rela, meneruskan perjalanan ke tempat yang aman di daerah Banyuwangi, menyeberang ke Pulau Bali, lalu menetap di situ, diikuti keluarga raja, pujangga, dan para pendeta. Sedang pengikutnya yang lain tetap tinggal di Pegunungan Tengger, yakni rakyat yang kebanyakan hidup bercocok tanam.

Selain itu, bukti nyata dari pernyataan Majapahit sebagai cikal bakal masyarakat Tengger adalah penggunaan alat prasen sebagai wadah air suci yang digunakan dalam setiap upacara keagamaan. Alat ini terbuat dari bahan kuningan, dengan gambar dewa dan zodiak Hindu pada bagian luarnya, Dalam prasen tersebut terdapat tulisan angka tahun 1243-1352 tahun saka atau 1321-1430 tahun Masehi. Tahun-tahun ini menurut Waluyo dalam Warouw dkk (2012:15) merupakan masa kejayaan kerajaan Majapahit sebelum pada periode selanjutnya diruntuhkan oleh kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Alat-alat ritual lain yang berasal dari Majapahit, antara lain: baju antrakusuma dan sampet.

Sementara itu, menurut Ayu Sutarto, prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929 M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang, yakni orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma.

(8)

Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara Hyang Wekas in Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada.

Nama Walandhit disebut juga oleh Prapanca, seorang pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama. Walandhit adalah nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Saiwa. Kemungkinan besar Walandhit pada waktu itu merupakan salah satu mandala yang dipimpin oleh seorang dewa guru. Dewa guru adalah seorang siddhapandita (pendeta yang sempurna ilmunya) yang memimpin sebuah mandala. Sebenarnya mandala adalah tempat tinggal pendeta di hutan atau di tempat yang sangat jauh dari keramaian, yang biasanya disebut wanasrama. Tempat seperti ini mungkin juga dihuni oleh para resi atau kaum pertapa yang hidup mengasingkan diri.

Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, pertama meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama mereka tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit pada umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-Budha. Kemungkinan kedua, orang Walandhit dengan suka cita menerima para pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak, terutama setelah Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh tentara Demak pada abad ke-16 M. Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut oleh tentara Demak

2.3 KEARIFAN LOKAL SUKU TENGGER

(9)

yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Gobyah (2003), menyatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Dengan demikian kearifan lokal (local wisdom) pada suatu masyarakat dapat dipahami sebagai nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.

Adapun beberapa kearifan lokal suku tengger dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan adalah sebagai berikut:

2.3.1 Perkiraan Musim Untuk Bercocok Tanam

Musim merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri, khususnya terkait dengan keberlangsungan sektor pertanian di wilayah tersebut. Sistem perhitungan perkiraan musim (pranoto mongso) pada masyarakat Desa Wonokitri didasarkan pada sistem kalender Suku Tengger yang membagi musim (mangsa) menjadi 12 mangsa, yaitu: 1) kasa, 2) karo, 3) ketiga, 4) kapat, 5) kelimo, 6) kanem, 7) kepitu, 8) kewolu, 9) kesanga, 10) kesepuluh, 11) dhesta, 12) kesada. Dari ke-12 mangsa tersebut kemudian dikelompokkan lagi menjadi 4 yaitu mareng, ketigo, rendheng, dan labuh.

Sistem kalender musim memperlihatkan pola kecenderungan kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri. Dalam kalender musim, terdapat dua bagian utama, yaitu:

1. Kalender musim faktor alamiah yang berpengaruh terhadap pola kegiatan musiman penduduk. Faktor alamiah tersebut meliputi jenis musim (hujan dan kemarau), angin, dan lain sebagainya yang berpengaruh terhadap musim tanam sektor pertanian.

(10)

.

Khusus untuk waktu penanaman jagung terdapat larangan dan pantangan yang harus dipatuhi yaitu pada hari kematian orang tua atau hari-hari naas berdasarkan perhitungan tertentu menurut adat masyarakat Suku Tengger.

2.3.2 Sistem Teknologi Tradisional Dalam Pengelolaan Ladang/Tegalan Pada dasarnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan ladang/tegalan di Desa Wonokitri dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. Sistem penanaman menggunakan sistem tumpang sari. Karena kontur lahan yang cukup curam, untuk menghindari tanah longsor dan erosi maka dibuat sistem terasering dengan membuat lahan berpetak-petak yang disebut bedengan. Setelah itu tanah dicangkul dan dibolak-balik baru kemudian dapat ditanami.

(11)

akarnya kuat kayunya juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis pupuk yang dipakai sangat mengutamakan penggunaan pupuk kandang/kompos yang menurut masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri termasuk ramah lingkungan dan tidak merusak tekstur dan kesuburan tanah. Pemberantasan hama menggunakan cara manual dengan mengambil hama langsung dari tanaman kemudian ditanam di tanah atau diinjak dan memakai obat pemberantas hama.

2.3.3 Sistem Pemeliharaan Hewan Ternak

Peternakan yang dibudidayakan di Desa Wonokitri adalah peternakan sapi dan babi. Sapi yang diternak adalah sapi jantan atas dasar karena sapi jantan tidak dapat memperbanya jenisnya sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Pemeliharaan ternak sapi dilakukan secara individu di ladang masing-masing. Tindakan pemeliharaan pada ternak sapi yaitu pemberian pakan, pemeliharaan dan perawatan ternak, pembersihan kandang secara teratur dan pemberian obat penyakit.

Tidak berbeda jauh dengan sistem pemeliharaan ternak sapi, pemeliharaan ternak babi juga dilakukan di ladang dengan pembuatan kandang khusus. Pemberian pakan ternak babi dapat berupa sisa hasil makanan yang dibuat di dapur atau makanan yang banyak mengandung protein, sumber energi dan bahan makanan hijauan.

Bentuk penerapan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam sistem pemeliharaan hewan ternak yaitu dengan peletakan kandang yang lokasinya jauh dengan permukiman penduduk. Peletakan kandang ternak yang jauh dari permukiman ini merupakan wujud tindakan tindakan yang arif lingkungan. Selain hal tersebut, masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri juga memanfaatkan kotoran ternak untuk dibuat pupuk kandang yang mampu menyuburkan tanpa merusak tekstur tanah namun juga ramah lingkungan.

2.3.4 Sistem Pengelolaan dan Perlindungan Hutan dan Sumber-Sumber Air

(12)

hutan lindung yang dikelola oleh pihak Perhutani. Hutan lindung ini berguna untuk menjaga keseimbangan struktur tanah dan melestarikan tanah. Masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan. Bukti keperdulian masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam kegiatan ikut serta memelihara hutan adalah dengan tidak menebang hutan secara sembarangan. Sikap dalam pengelolaan dan perlindungan hutan ini dilandasi oleh slogan yang dipatuhi, berbunyi “tebang satu tanam dua” yang artinya jika menebang satu pohon, maka harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama.

Penyediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal dari sumber mata air alami dari sumber air pegunungan, yaitu sumber mata air Tangor, Galingsari, Ngerong, Krecek, Muntur dan sumber mata air Blok Dengklik yang terletak di sebelah selatan desa. Pada tahun 1977 sistem pipanisasi diterapkan di Desa Wonokitri. Sistem pipanisasi ini bertujuan untuk mengalirkan air dari sumber mata air disalurkan menggunakan pipa sekitar 3 Km menuju ke bak-bak penampungan air/tandon air (jeding desa) di Desa Wonokitri. Saluran pipa yang ada terpisah pada 2 blok yaitu blok barat dan blok timur yang kemudian disalurkan ke masing-masing tandon air pada blok tersebut. Pendistribusian air dari tandon air menuju ke rumah-rumah warga juga menggunakan sistem pipanisasi. Hingga saat ini terdapat 3 buah tandon air dan 3 bilik bak air umum di Desa Wonokitri.

Sistem penyediaan air bagi lahan pertanian adalah dengan membuat aliran mellaui pipa plastik/slang. Sebagian masyarakat memanfaatkan limbah sisa hasil pembuangan rumah tangga untuk menyirami tanaman dengan cara menampung air limbah di tempat penampungan kemudian disalurkan melalui pipa plastik/slang ke arah tanaman yang akan disirami. Ada juga masyarakat yang membuat saluran tersendiri untuk air limbah, biasanya di samping rumah yang dilewatkan pipa terpendam.

(13)

dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk. Kegiatan pengelolaan sumber-sumber air ini juga menjadi salah satu kegiatan sosial yang merupakan kegiatan mingguan bagi masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah gotong-royong membersihkan bak penampungan air umum. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran yang dijadwal tiap RT atau lingkungan setiap seminggu sekali. Masyarakat RT atau lingkungan yang mendapatkan jadwal giliran menuju ke 2 lokasi bak penampungan air umum yang terdapat di Desa Wonokitri.

2.3.5 Tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang terdapat di Desa Wonokitri

Dalam upaya pemeliharaan lingkungan, masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri melakukan beberapa tradisi ritual berdasarkan adat dan kepercayaan mereka, yaitu melakukan Upacara Leliwet, Pujan, Munggah Sigiran (Among-among/ngamongi jagung), Wiwit, Hari Raya Kasad, Mayu (Mahayu) Desa, Mayu Banyu, Pujan Mubeng (Narundhung).

2.4 PERUBAHAN KEBUDAYAAN AKIBAT PEMBANGUNAN DI SUKU TENGGER

Tersedianya potensi sumberdaya, baik berupa potensi sumberdaya manusiawi, kelembagaan, kepemimpinan, ketrampilan laten dan sumberdaya alami yang berupa kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, belum merupakan jaminan dapat dikembangkan bagi kesejahteraan manusia. Hal itu antara lain disebabkan oleh kondisi suatu keadaan tertentu sehingga potensi sumberdaya yang tersedia belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan. Guna pengembangannya, bukan hanya semata diperlukan in-put baru pembangunan yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan harus memperhitungkan latar belakang budaya karena pada akhirnya akan menyentuh preferensi sistem nilai budaya setempat.

(14)

kebudayaan tersebut harus pula diperhitungkan karena sesungguhnya pranata-pranata kebudayaan terkait erat dan secara langsung menunjang proses sosial, ekonomi dan ekologis masyarakat secara mendasar dalam kehidupannya dan yang secara operasional telah mereka praktekkan sejak dahulu(Dove, 1988) Secara mendalam Mubyarto(1993) menyarankan bahwa untuk menerapkan berbagai program pembangunan dalam kehidupan masyarakat tradisional perlu mengenal terlebih dahulu masyarakat tradisional tersebut, terutama yang ada di pelosok-pelosok perdesaan di Indonesia. Alasannya karena setiap masyarakat tradisional tersebut memiliki potensi keswadayaannya sendiri yang dilandasi oleh latar belakang sosial-budayanya yang unik dan khusus. Oleh karenanya maka program pembangunan yang diperkenalkan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi masing-masing masyarakat tersebut (Budiono, 1994).

Dudley Sear. The Meaning of Development, menyatakan, bahwa pembangunan tidak salamanya berarti kemajuan bagi semua orang. Oleh karena itu, “kemajuan” sebaiknya selalu mengacu ke aspek manusiawi dari pembangunan, dan diukur dengan derajat kesadaran dari kemauan dan kemampuan sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan untuk hidup lebih nyaman dan sejahtera.

Akibat dari adanya pembangunan dari pemerintah sebagai jalan menuju kawasan wisata gunung Bromo, banyak terjadinya perubahan budaya pada masyarakat Tengger ini. Perubahan yang ada di masyarakat Tengger ada pada berbagai macam bidang. Ada perubahan yang secara cepat dan ada pula perubahan yang secara lambat. Perubahan yang ada pada masyarakat Tengger di sana seperti pada bidang:

1. Mata Pencaharian

(15)

Mereka banyak yang meninggalkan pekerjaan sebagai petani ladang, yang notabene itu adalah pekerjaan yang diwariskan secara turun temurun dari leluhur kepada masyarakat asli tengger untuk mengelola bumi mereka. 2. Pendidikan

Pendidikan bagi masyarakat disana awalnya kurang penting. Karena masyarakat Tengger beranggapan pendidikan sekolah bukanlah hal yang paling utama. Pendidikan moral yang di ajarkan oleh orang tua kepaada anak-anaknya sudah cukup sebagai bahan ajar. Para orang tua beranggapan percuma saja anak mereka di sekolahkan tinggi-tinggi namun moral anak mereka rusak, lebih baik para orang tua mendidik moral anaknya terlebih dahuulu. Karena seorang anak yang moralnya baik, walaupun mereka sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi mereka tetep memiliki moral yang baik pula.

Beberapa orang tua juga menentang anak mereka untuk disekolahkan karena melihat realita yang ada, bukannya menjadi semakin baik moral anak di sekolah tetapi sebaliknya. Karena pendidikan di sekolah itu bercampur menjadi satu dengan anak dari daerah lain dan akan membentuk karakter anaknya menjadi pribadi yang lain bukan seperti masyarakat Tengger pada umumnya.

3. Sarana Transportasi

Dahulu sebelum jalanan di desa mereka di aspal, masyarakat sangat senang berjalan kaki atau menaiki kuda ketika pergi, bahkan untuk perjalanan yang jauh dan kontur tanah yang tidak rata. Namun sekarang akibat jalan di desa mereka sudah di aspal, banyak warga yang enggan untuk berjalan jauh atau bahkan menaiki gunung, karena mereka tidak tidak terbiasa dengan permukaan jalan yang keras dan panas. Hal tersebut membuat masyarakat Suku Tengger menjadi malas untuk berjalan dan kini mereka lebih mengandalkan alat transportasi berupa kuda, sepeda motor atau mobil jeep sebagai alat transportasi utamanya, ada pula kendaraan umum yang melintas antar desa.

4. Alat Komunikasi

(16)

desa atau untuk mengumpulkan warga. Semakin banyak dan intensif masuknya budaya dari luar ke masyarakat Tengger membuat perubahan yang signifikan, kini warga di sana untuk berkomunikasi atau memberi informasi kepada kerabatnya sudah menggunakan teknologi maju berupa HP dan internet, hal ini membuat mereka ketergantungan dengan alat tersebut dan mengurangi intensitas bertatap muka dengan kerabat mereka yang akibatnya berkurangnya keeratan hubungan mereka.

(17)

BAB III PENUTUP KESIMPULAN

Pembangunan tidak salamanya berarti kemajuan bagi semua orang. Oleh karena itu, “kemajuan” sebaiknya selalu mengacu ke aspek manusiawi dari pembangunan, dan diukur dengan derajat kesadaran dari kemauan dan kemampuan sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan untuk hidup lebih nyaman dan sejahtera.

Pembangunan tidak serta merta bertolak ukur dengan apa yang ada di lingkungan kita sendiri atau yang ada pada lingkungan orang lain yang menurut kita lebih baik pembangunannya, namun lebih mengacu pada kebutuhan masyarakat yang bersangkutan, khususnya pada masyarakat yang masih memgang teguh adat istiadat. Apabila pembangunan tidak mengacu pada aspek tersebut maka dapat mengakibatkan kegagalan capaian kemajuan itu sehingga menimbulkan sikap anti pembangunan.

SARAN

(18)

2. Pergunakan kebijakan Traditional community development approach (Pendekatan pembangunan masyarakat yang tradisional), pembangunan yang memperhatikan sumberdaya lokal, kepemimpinan lokal, serta kemandirian masyarakatnya sendiri. Dan Facilitative assistance approach (Pendekatan bantuan) berdasarkan gagasan bahwa para agen perubahan hanya memberi modal dan teknologi untuk memudahkan pembangunan yang dikembangkan dengan sumberdaya lokal (dari bawah), kepemimpinan lokal, dan dengan kemandirian yang besar dari warga.

DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Antariksa. Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger Dalam Pemanfaatan Ruang Dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan. Universitas Brawijaya, 2011.

https://www.academia.edu/7013793/Kearifan_Lokal_Masyarakat_Suku_Tengger _Dalam_Pemanfaatan_Ruang_dan_Upaya_Pemeliharaan_Lingkungan_Studi_ka sus_Desa_Wonokitri_Kecamatan_Tosari_Kabupaten_Pasuruan (diakses pada tanggal 11 Desember 2015, pukul 20.00 WIB)

Tri Bambang. Karangan Etnografi Kebudayaan Suku Tengger. Universitas Negeri Semarang, 2014.

https://www.academia.edu/12099543/Karangan_Etnografi_Kebudayaan_Suku_T engger (diakses pada tanggal 12 Desember 2015, pukul 10.30 WIB)

Prof.Drs. Widen Kumpiady, M.A., Ph.D. Peranan Kebudayaan Dalam Pembangunan: Perspektif Antropologi. Universitas Palangka Raya, 2006.

http://kumpiadywiden.com/2013/01/22/peranan-kebudayaan-dalam-pembangunan-perspektif-antropologi/ (diakses pada tanggal 12 Desember 2015, pukul 11.00 WIB)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat,

Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan berupa pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan rawat darurat yang

Adapun hasil survei yang dilakukan terhadap jumlah keluarga di daerah distribusi air PDAM Kota Dumai sebagai berikut, Mayoritas jumlah anggota keluarga sampel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) konsep pendidikan karakter yang dikembangkan di SMP Islam Al-Azhar 18 Kota Salatiga adalah berkonsep kepada nilai dan ajaran

[r]

dapat dikembalikan apabila ada ketentuan khusus yang dibuat oleh perusahaan atas nama dan disepakati para peserta, seperti kesediaan untuk mengembalikan sebagian

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI PADA DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA DAN PEMATUSAN

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Tahun 2008.. Dinas Kesehatan dan