• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENCANA EKOLOGIS DI PERKOTAAN PESISIR JA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BENCANA EKOLOGIS DI PERKOTAAN PESISIR JA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BENCANA EKOLOGIS DI PERKOTAAN PESISIR JAWA1 ) HENNY WARSILAH

Research Center for Society and Culture The Indonesian Institute of Sciences 1.Pengantar

Dalam konteks ekologi sesungguhnya Jawa berada dalam posisi Kebencanaan Ekologis. Tulisan pendek ini akan menyoroti kebencanaan di kawasan urban terutama terkait dengan ekologi di kota-kota pesisir Jawa .

Pertemuan WALHI se Jawa yang diselenggarakan di Yogjakarta pada bulan Febuari tahun 2016 melaporkan kondisi lingkungan di Pulau Jawa. Kondisi lingkungan di Jawa makin terancam karena keberlakuan Paradigma Pembangunan yang Jawa Sentris, melalui politik kebijakan pemerintah terutama pada sektor pembangunan ekonomi, dan infrasruktur. Kebijakan ekonomi yang mengedepankan pembangunana infrastruktur ini tercermin dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) dan proyek Masterpaln percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi indonesia (MP3EI). (Lihat Web.WALHI Jabar:http://www.walhijabar.org/2016/02/19/hentikan-membunuh-jawa-dengan-krisis-ekologi/).

Misal, ancaman linkungan di Jawa Barat semakin nyata dengan akan dibangunnya proyek-proyek baru seperti kereta api cepat Jakarta – Bandung yang akan memangkas kawasan tangkapan air yang menjadi sumber air di waduk Jati Luhur. Waduk Jatiluhur adalah penyuplai air di beberapa kota seperti di Bandung, Bekasi dan Jakarta. Disinyalir dalam proyek kereta api cepat ini banyak aturan

(2)

yang di langgar, salah satunya mengenai aturan UU no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup, PP 27 tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan, dan Permen LH no 16 thn 2012 tentang Pedoman penyusunan Dokument Amdal.

Kedua, problem lingkungan dan sosial atas beroperasinya PLTU di Cirebon sangat mempengaruhi kondisi lingkungan di wilayah pesisir pulau Jawa dan mengancan terhadap perekonomian serta kesehatan warga yang berdekatan dengan lokasi kegiatan. Ketiga, pembangunan Waduk Jatigede di Jawa Barat diprediksi dapat menghancurkan pulau Jawa, karena diduga diawali dengan praktik penghilangan hutan untuk areal waduk ini. Dampak lain yang terjadi ada sebanyak 900.000 pohon akan hilang karena di tebang serta hilngnya flora dan fauna di kawasan pembangunan Waduk Jatigede. Sekitar 70.000 jiwa akan kehilangan tempat tinggal dan 3.200 ha kawasan pertanian warga yang subur.

(3)

Di Semarang-Jateng sebagai titik sentra jalur utama Pantai Utara Jawa dengan panjang garis pantai mencapai 36,63 km, Semarang berkembang pesat sebagai kota besar dengan beragam aktivitas industri, perdagangan dan jasa. Kepesatan ini mendorong semakin tingginya tingkat populasi penduduk di kawasan pesisir kota Semarang, antara lain Tugu, Semarang Barat, Kamijen Semarang Timur dan Tambak Lorok Semarang Utara dan Genuk yang umumnya dimanfaatkan sebagai pusat pelabuhan, daerah industri maupun pemukiman penduduk. Kondisi ini pada akhirnya memicu suatu fenomena klasik di kota Semarang, salah satunya banjir rob.

Kota pesisir Surabaya juga mengalami kebencanaan ekologis, terutama terkait dengan hilangnya habitat laut dan hutan mangrove, akibat pengurukan atau reklamasi yang tidak bertanggung jawab. Reklamasi tidak hanya diakukan masyarakat pendatang, tetapi juga pihak swasta dan pengembang perumahan. Selain ada masalah krusial terkait dengan pencemaran limbah kerang hijau, yang hasil produksinya dieskpor ke berbagai Negara, namun utuk limbahnya tidak ada yang menangani.

(4)

yang sangat mencemaskan, misalnya kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, erosi pantai, maupun pencemaran.

Kerusakan Ekologi di Jawa

Penduduk Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, mencapai 257.516.167 jiwa. Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan pada 2035 mencapai mencapai 305,6 juta jiwa. Sekitar 50 persen berada di Pulau Jawa. Konsentrasi penduduk masih berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 54,7 persen. Tingginya rasio penduduk yang tinggal di Jawa didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi di pulau tersebut. Jawa Barat merupakan provinsi yang paling padat di Indonesia, yaitu 57,13 juta penduduk pada 2035. Tingginya jumlah penduduk di Jawa Barat didorong oleh migrasi yang terjadi di wilayah tersebut. Terutama di wilayah seperti Depok dan Bekasi.

Proyeksi Penduduk Indonesia dan Jabar, BPS, 2016.

(5)

kepadatan penduduk terbesar dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya. Berbagai factor mampu membuat Jawa menjadi pulau dengan penduduk terbesar di Indonesia dibandingkan dengan pulau lainnya. Pulau Jawa menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian negara sehingga banyak penduduk yang tertarik untuk tinggal di wilayah ini. Faktor yang menyebabkan kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa antara lain faktor geografis (khususnya faktor fsik berupa tanah yang lebih subur) dan faktor sejarah.

Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar enam persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen jumlah penduduk Indonesia.

Kepadatan populasi di Pulau Jawa berimplikasi pada besarnya tekanan terhadap sumber daya alam demi kelangsungan hidup sehari-hari. Tekanan ini terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan negara. Berdasarkan data BPKH Wilayah XI, Jawa-Madura (2012), dari 98 juta hektare kawasan hutan negara di Indonesia, hanya sekitar 3,38 persen yang tercatat berada di pulau ini.

Luas hutan Jawa 2.429.203 hektare atau 85,37 persen diserahkan pengelolaannya hanya pada Perum Perhutani. Luasan itu merupakan 19,8 persen dari luas total wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.

(6)

data Sensus Pertanian (1993), RACA Institute menyebutkan, penguasaan tanah petani di Jawa rata-rata 0,3 hektare/KK.

(7)

Bencana ekologis di pulau Jawa muncul dalam bentuk: banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah Indonesia. Selain topografi alami di suatu wilayah, potensi bencana ekologis Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi, praktik pertambangan, dan monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia. Selain itu, korban bencana ekologi terbesar juga berada di Jawa Tengah yang menelan korban jiwa sebanyak 152 orang. Kondisi wilayah dengan potensi bencana ekologis terparah lainnya, yakni Banten 62,5% dari keseluruhan luas wilayahnya, kemudian DKI Jakarta dengan 51,9%, lalu Jawa Barat dengan 48,0% .dari seluruh kawasan hutan di Indonesi, Pulau Jawa hanya memiliki hutan seluas 3,38%, sedangkan 85,37% nya dikuasai oleh Perum Perhutani (WALHI, Jabar).

Di Jawa Timur, pada tahun 2014 total ada 187 bencana ekologis di 804 desa atau kelurahan yang mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Timur.(Walhi Jatim dalam Tempo.co, 2016) https://m.tempo.co/read/news/2014/06/06/058582894/ada-187-bencana-ekologis-di-jawa-timur. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini juga terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan hutan Jawa setiap tahun. Pada 2000, luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan 2,2 juta hektare. Namun, pada 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800-an ribu hektare. Perubahan tutupan hutan ini karena kegagalan Perum Perhutani menjalankan reboisasi.

(8)

Selain persoalan ekologis dan sosial-ekonomis, permasalahan lainnya yang turut menambah daftar panjang kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir adalah konflik penggunaan lahan antar pemilik kepentingan. Di Kemijen Semarang Timur, konflik berkembang antara penduduk pendatang yang sudah bermukim lama dengan PT.KAI, karena mereka menduduki lahan PJKA. Lahan ini oleh pemerintah setempat akan dipergunakan untuk membangun kolam retensi yang menampung limpahan air banjir rob. Para pendatang ini telah diuntungkan oleh keriuhan pemilu era Suharto, yang membagikan sertifikat secara gratis, jadi secara formal kedudukan mereka di depan hokum kuat, meski tanah itu milik PJKA. Sementara di Kenjeran Surabaya, konflik muncul ketika Komplek TNI-AL memperluas kompleksnya dengan cara mereklamasi pantai. Penduduk yang sudah menetap terancam tergusur, dan pada posisi kekuasaan mereka kalah jika melawan TNI-AL, sehingga konflik berekembang liar. (Manajer Desk Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional Mukri Friatna di Jakarta, Selasa (22/1): sumber: www.metrotvnews.com.

Seperti dilaporkan oleh Ismail Al-habib Direktur Eksekutif WALHI, bahwa siklus lingkungan di Jawa sudah hampir tidak berfungsi, dan bencana ekologis ada didepan mata. Berdasarkan data tahun 2015 WALHI, bahwa setidaknya ada 1071 desa yang mengalami bencana seperti banjir, tanah longsor dan rob di Jawa Barat. Data ini mengkonfirmasi bahwa Propvinsi Jawa Barat adalah daerah paling rawan kedua setelah Aceh yang paling banyak mengalami bencana.

Beban Ekologis

(9)

berdampak kepada semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir, baik dari segi ekologis maupun sosial-ekonomis.

Misal, persoalan semakin tingginya angka kemiskinan yang berimplikasi terhadap tingginya kerusakan sumber daya alam, lunturnya nilai-nilai budaya lokal, rendahnya infrastruktur, rendahnya kesehatan lingkungan, dan rendahnya kemandirian organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Selain persoalan ekologis dan sosial-ekonomis, permasalahan lainnya yang turut menambah daftar panjang kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir adalah konflik penggunaan lahan antar pemilik kepentingan. Di Kemijen Semarang Timur, konflik berkembang antara penduduk pendatang yang sudah bermukim lama dengan PT.KAI, karena mereka menduduki lahan PJKA. Lahan ini oleh pemerintah setempat akan dipergunakan untuk membangun kolam retensi yang menampung limpahan air banjir rob. Para pendatang ini telah diuntungkan oleh keriuhan pemilu era Suharto, yang membagikan sertifikat secara gratis, jadi secara formal kedudukan mereka di depan hokum kuat, meski tanah itu milik PJKA. Sementara di Kenjeran Surabaya, konflik muncul ketika Komplek TNI-AL memperluas kompleksnya dengan cara mereklamasi pantai. Penduduk yang sudah menetap terancam tergusur, dan pada posisi kekuasaan mereka kalah jika melawan TNI-AL, sehingga konflik berekembang liar.

(10)

dari banjir akan terkepung tidak bisa mengalir ke laut dengan bebas. Belum lagi bencana banjir rob, amblesan tanah yang kian meningkat karena pembebanan bangunan-bangunan baru.

Konflik ini terjadi karena banyak pihak menganggap bahwa sumberdaya pesisir tanpa kepemilikan sehingga dapat dieksploitasi semaunya oleh siapapun. Padahal dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 tertera jelas bahwa ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’, maka setiap penggunaan lahan pesisir semestinya diarahkan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat pesisir, bukan mengeksploitasi sumber daya pesisir demi meraih keuntungan pribadi .

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani , bencana banjir mencakup 32,96% dari jumlah kejadian bencana, sementara tanah longsor merupakan 25,04% dari total kejadian bencana. Bahkan, di pesisir Jawa3, pada kurun waktu 1996 hingga 1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir tahun 2003, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa)- (Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, 2006).Walhi Jabar,

2007https://walhijabar.wordpress.com/2007/12/30/bencana-ekologis-dan-keberlanjutan-indonesia/

Pembangunan Berkelanjutan dan Resilient City

(11)

alinea pembuka artikel tersebut, beliau mengungkapkan tentang fenomena “Urban Suicide” atau “Bunuh Diri Perkotaan” yang terjadi di sebagian besar kota-kota di Indonesia. Disebut bunuh diri karena itu seringkali dilakukan oleh pengelola kota itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintah kota, yang dengan berbagai kebijakannya justru malah merusak keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan perkotaan baik yang masih alami maupun yang sudah terbentuk menjadi lingkungan binaan. Disebut bunuh diri juga karena sebagian besar kebijakan-kebijakan itu dibuat dalam keadaan sadar akan dampaknya. Sehingga beliau pun menyindir dengan menyatakan bahwa beliau akan sangat terkejut apabila mengetahui ada yang merasa terkejut akan terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana alam yang menimpa kota-kota di Indonesia.

Daerah kota hanya mencakup 2% dari permukaan bumi, akan tetapi setengah dari jumlah populasi di dunia tinggal di kota-kota. Dan kota, melalui aktivitas penghuninya, mengkonsumsi 80% energi yang dihasilkan dan mengeluarkan kurang lebih 50% emisi Greenhouse gas yang ada di bumi. Kota sejak awalnya didirikan sebagai pusat transaksi atau pertukaran antara konsumsi dan produksi. Hal ini terus berkembang sampai saat ini dimana kota-kota menjelma menjadi pusat-pusat ekonomi di setiap negara. Hanya saja “kekuatan” ekonomi suatu kota ini juga pada umumnya mengandung unsur ketidak-seimbangan dan sekaligus melupakan keterkaitannya dengan lingkungan alam sebagai asal muasal. Manusia begitu “serakah” dalam mengkondisikan kota demi keuntungan (ekonomi) semata sehingga seakan menganggap kota bukan lagi bagian dari bumi ini.

(12)

Kemiskinan juga disebabkan terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap hutan Jawa. Sesuai amanat konstitusi, kekayaan alam seharusnya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, melalui Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2010, pemerintah hanya memberikan hak pengelolaan hutan Jawa kepada Perum Perhutani.

Padahal di tahun 2000, luas tutupan hutan di Pulau Jawa masih 2,2 juta hektar. Tahun 2009, merosot sangat tinggi hanya menyisakan 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Pulau Jawa hanya 23,1%. Reforma agraria kehutanan dilakukan dengan dua opsi utama, yakni, pertama, tipologi fisik. Dalam hal ini bidikannya terdapat pada bentuk fisik lahan dan model tata kelolanya, misalnya, tanah datar menjadi lahan pertanian rakyat; tanah campuran (datar dan berbukit kecil) menjadi lahan kombinasi pertanian dan perkebunan (model hutan rakyat) dan tanah dengan kemiringan lebih dari 45 derajat menjadi hutan yang tata gunanya dibatasi penggunaannya sebagai fungsi lindung.

Akibatnya, 123 titik Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sub DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan. Maka, sekitar 10,7 juta hektar DAS dan sub DAS di Pulau Jawa akan makin terancam.

Jatim

(13)

Konflik sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur menjadi salah satu konflik ekologi yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan pada sebuah ekosistem. Dengan lepasnya sumber mata air di suatu tempat akan dapat menjadi preseden buruk hilangnya sumber mata air di tempat lain.

“Kasus yang mengemuka di konflik ekologi Jatim terbaru ya perjuangan masyarakat pada kasus mata air Umbul Gemulo, antara warga dengan pemilik hotel The Rayja di Batu,” kata Ahmad Rossul, anggota Divisi Advokasi dan Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur.

Rencana pembangunan hotel di atas sumber mata air itu menjadi penyebab aksi penolakan warga, yang berujung pada gugatan hukum di pengadilan antara warga dengan pemilik hotel.Dengan melihat karakteristik kerja Perhutani, alih-alih mengatasi krisis sosial, eksploitasi sumber daya hutan dan masyarakat perdesaan justru semakin tajam. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik kehutanan, 41 kasus terjadi di hutan Jawa yang melibatkan Perum Perhutani.

Pada skala produksi, laporan tahunan Perum Perhutani 2010 menunjukkan, dari kawasan hutan produksi seluas 1.767.304 hektare kini hanya mampu menghasilkan kayu 889.858 m3. Jumlah ini jauh di bawah produksi kayu dari hutan rakyat yang 18.523.433 m3/tahun.

(14)

besar dibandingkan produktivitas lahan hutan negara kelolaan Perhutani yang hanya mampu memproduksi 0,50 m3/hektare.

Atas kondisi ini, negara kehilangan potensi produktivitas lahan 6,04 m3/hektare. Salah urus hutan Jawa telah mengakibatkan krisis ekologi, sosial, dan ekonomi. Karena itu, diperlukan tindakan nyata pemerintah. Reforma agraria kehutanan di Jawa adalah sebuah jawaban.

Dalam konteks ini, reforma agraria kehutanan di Jawa diartikan sebagai perubahan bentuk atau wujud pengelolaan hutan Jawa ke arah lebih baik. Reforma agraria hutan Jawa ditujukan untuk melestarikan hutan, memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa serta perluasan ruang kelola rakyat terkait pengentasan kemiskinan masyarakat desa hutan.

2.KONSEP EKOLOGI SOSIAL

Definisi Ekologi Manusia, menurut Amos H Hawley (1950:67) dikatakan, Ekologi manusia, dengan demikian bisa diartikan, dalam istilah yang biasa digunakan, sebagai studi yang mempelajari bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia (“Human ecology may be defined, therefore, in terms that have already been used, as the study of the form and the development of the community in human population”).

(15)

people. This view differs from the environmental determinism of the early twentieth century”).

Menurut Gerald L Young (1994:339) dikatakan, Dengan demikian ekologi manusia, adalah suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara spesies manusia dan lingkungannya (“Human ecology, then, is “an attempt to understand the inter-relationships between the human species and its environment”). “Ekologi Manusia” merujuk pada suatu ilmu (oikos = rumah/tempat tinggal ; logos = ilmu) dan mempelajari interaksi lingkungan dengan manusia sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya.

“Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, serta di Gombong, Jawa Tengah mengindikasikan hal tersebut.

Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Padahal CAT tersebut merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegununungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. 10% di antaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya didistribusikan ke lahan pertanian”.

(16)

tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani sekitar seluas 484,96 hektar.

Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budi daya pertanian. Dengan produktivitas 6 ton padi/hektar/panen, pendapatan total dari satu kali panen di areal budidaya pertanian yang terkena proyek diperkirakan mencapai Rp 2.137.500.000. Pembangunan pabrik semen akan menurunkan pendapatan masyarakat di sana.

Tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar. Namun di tahun 2009 sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23, 1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.

“Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukanlah solusi yang tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat ini. Tukar-menukar itupun diduga dapat memicu konflik agraria karena belum adanya jaminan ‘clear and clean’ dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang ditukar,” ditambahkan Dr. Myrna Safitri dari Universitas Pancasila.

(17)

Bahan Bacaan

Ali, Syukron, (2015). Krisis Ekologi dan Sosial di Pulau Jawa Perlu Ditangani Segera

Dalam Majalah SWA.

Chamid, Riyadi, (2015). RATUSAN AKADEMISI SAMPAIKAN KEPRIHATINAN KRISIS EKOLOGI DAN SOSIAL PULAU JAWA KEPADA PRESIDEN, Dalam Blog Mina diakses 24 Januari 2017.

Ekologi Perkotaan: Pola, Proses, dan Aplikasi (Urban Ecology: Patterns, Processes, and Applications) By. Jari Niemelä, Jürgen H. Breuste, Thomas Elmqvist, Glenn Guntenspergen, Philip James, and Nancy E. McIntyre. http://lib.uin-suska.ac.id/? j=1459911216, di upload 26 april 2016, diakse 27 jan 2017.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dark_wright/pengelolaan-wilayah-

Referensi

Dokumen terkait

Semua siswa dan guru setuju jika dibuatkan suatu media pembelajaran fisika untuk materi fluida statis yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber belajar dalam

Sebagai contoh, anak yang jarang diajak bicara atau dibacakan buku, nantinya bayi akan mengalami kesulitan dalam perkembangan bahasanya, karena sel-sel otak yang mengendalikan

(2) Konversi lahan yang terjadi di Kecamatan Colomadu 2000-2005 seluas 92,4 Ha, tahun 2005-2010 konversi lahan yang terjadi meningkat dan lebih besar dibandingkan dengan

Penerapan Strategi Layanan Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa ……… 71.. BAB III METODE PENELITIAN

Bila ingin mengatur posisi cursor agar berada pada baris ke-2 kolom ke-5, maka setelah mengirimkan command Locate DDRAM diikuti dengan data kolom bernilai “04h” kemudian data

13.20 GUBERNUR, UNDANGAN VVIP DAN PARA RAJA MENUJU BANGSAL KERATON PROTOKOL KERATON KASEPUHAN BANGSAL KERATON 13.30 JAMUAN MAKAN SIANG DAN KLININGAN GAMELAN KERATON E

Kendala yang peneliti tangkap dari hasil wawancara dengan Bapak Purwanto selaku kabag operasional Perum DAMRI adalah “Singkatnya waktu pada saat parkir di terminal

The final species [M(DA)(Nac)]3- was formed at highly basic pH suggesting deprotonation on the meta-O– group and the species was formed from the binding through catecholate