• Tidak ada hasil yang ditemukan

VOX POPULI VOX DEI BUAH DARI TEORI KONT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "VOX POPULI VOX DEI BUAH DARI TEORI KONT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

“VOX POPULI, VOX DEI” BUAH DARI

TEORI “KONTRAK SOSIAL” J J ROUSSEAU

Pendahuluan

Istilah “Vox populi, vox Dei” merupakan istilah yang kerap kita dengar. Ungkapan dalam bahasa Latin ini terjemahannya adalah, "suara rakyat adalah suara Tuhan." Artinya, suara rakyat harus dihargai sebagai penyampai kehendak Ilahi. Konteks dari perkataan ini ialah ucapan hakim yang meneguhkan suara para juri dalam perkara di pengadilan1. Vox populi, vox Dei berhubungan erat dengan suatu sistem pemerintahan demokrasi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM2. Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini berarti bahwa, pemerintahan diselenggarakan sepenuhnya oleh kehendak rakyat. Dari rakyat sendirilah para pejabat pemerintahan berasal. Oleh rakyat pula pemerintahan dijalankan, dan untuk kemakmuran, keamanan,dan kesejahteraan rakyatlah pemerintahan itu dijalankan. Pengertian demokrasi yang seperti itu mengisyaratkan bahwa rakyatlah yang berkuasa atas penyelengaraan pemerintahan. Kehendak atau suara rakyat menjadi penentu arah pemerintahan. Suara rakyat itu dinggap sebagai suara Tuhan. Dengan demikian, setiap aspirasi rakyat harus sedapat mungkin diwujudkan, sebab hal itu berasal dari Tuhan sendiri. Kenyataanya, aspirasi rakyat itu tidak selalu memiliki cara dan tujuan yang luhur. Misalnya saja, rakyat (tidak semua, namun mayoritas), menghendaki dijadikannya negara Indonesia ini menjadi negara Islam. Padahal, tidak semua warga negara Indonesia memeluk agama islam. Contoh yang lainnya ialah, dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), calon yang terpilih berdasarkan pemilihan secara langsung oleh warga masyarakat setempat belum tentu orang yang memang benar-benar berkualitas. Tak jarang calon yang terpilih itu menggunakan uang untuk menyuap warga agar memilih dia, atau memberikan iming-iming berupa jabatan, perijinan ini-itu, dsb.

Berbicara mengenai “kontrak sosial”, menurut Rousseau pada dasarnya manusia memiliki kebebasan penuh dan bergerak menurut emosinya. Kedaaan tersebut sangat rentan akan konflik dan pertikaian. untuk menyelesaikan masalah tersebut, manusia mengadakan ikatan bersama yang disebut kontrak social3. Ikatan bersama itu diwujudkan dalam bentuk suatu instansi yakni negara. Di dalam negara itu diberlakukan sistem 1 Lih,http://id.wikipedia.org/wiki/Vox_populi,_vox_dei, diakses tangal 26 Oktober 2010

2 Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses tanggal 27 Oktober 2010

3 Tommy Tarigan, “Hanya Dunia Dan Saya: Filsafat Politik J.J Rousseau”,

(2)

pemerintahan demokrasi yang memungkinkan rakyat sendirilah yang mengatur jalannya pemerintahan itu.

Sistem pemerintahan demokrasi mengisyaratkan rakyatlah yang memegang kendali atas pemerintahan. Kehendak rakyat banyak menjadi penentu arah pemerintahan. Vox populi, vox Dei, kiranya cukup tepat untuk menggambarkan sistem pemerintahan demokrasi. Demikian juga dengan teori kontrak sosial. Teori ini menjunjung tinggi sistem pemerintahan demokrasi karena di dalamnya setiap orang dimungkinkan untuk saling mengikatkan diri demi kepentingan bersama, dan kemudian bersama-sama pula menjalankan pemerintahan berdasarkan kehendak umum.

Latar Belakang Vox Populi, Vox Dei

Pada masa revolusi Prancis pada 14 Juli 1789, sebagai ketidak puasan masyarakat Perancis ketika itu terhadap pemerintahan Raja yang absolute dan tidak adil, kondisi ini diperparah dengan semakin gencarnya para pejabat dan penegak hukum yang korup. Pada saat itu raja Raja Louis XVI haus akan kekuasaan dan kemewahan, sehingga banyak rakyat yang mati kelaparan, aspirasi rakyat pun dianggapnya tidak ada4. Pada masa itu rakyat hanya dipandang sebagai warga kerajaan yang harus siap sedia melayani keinginan kerajaan yang tak lain adalah keinginan raja itu sendiri. Rakyat seolah-olah seperti budak yang harus selalu melayani majikannya. Kondisi yang semacam itu menggugah keprihatinan Rousseau untuk melakukan sesuatu demi membela hak-hak rakyat. Akhirnya, Rousseau mencetuskan gagasan “Vox populi, vox Dei” yang terungkap dalam bukunya “du Condtract Sosial”5.

Dalam buku itu dikatakan bahwa, pada dasarnya semua manusia itu mempunyai kodrat yang sama. Setiap manusia mempunyai kebebasan atau kemerdekaan atas dirinya sendiri serta mengatur dirinya sesuai kehendakknya. Namun, apabila setiap orang mengutamakan kehendakknya sendiri, yang akan terjadi adalah suatu kekacauan. Hukum rimba akan berlaku apabila setiap orang mementingkan kepentinggannya sendiri. Oleh karena itulah, perlu terjadi suatu perjanjian antar manusia untuk bersama-sama menciptakan suatu instansi seperti negara. Negara yang dirancang itu berdiri atas dasar kesepakatan bersama. Oleh karena itu, kepala negara dan segenap pejabat pemerintahan harus memerintah berdasarkan aspirasi rakyat. Dengan demikian, suara rakyat itu merupakan suara Tuhan. Apakah cukup naif mengatakan bahwa suara rakyat itu adalah suara Tuhan? Dalam konteks ini, pernyataan itu memang cocok. Suara rakyat itu menyiratkan keprihatinan rakyat atas kondisi yang sulit, ide-ide cemerlang demi kemajuan negara, dsb. Suara rakyat selalu berusaha menggapai kebaikan bersama, dan mencari keadilan bagi banyak orang. Hal-hal itulah yang kiranya mengapa suara rakyat dianggap sebagai suara Tuhan.

4 Aditya Rahmat, “Vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan)”,

http://adityarahmat.blogdetik.com/2009/11/12/vox-populi-vox-dei-suara-rakyat-adalah-suara-tuhan/, 7 Oktober 2010

(3)

Teori “kontrak sosial” J J Rousseau

Teori kontrak sosial muncul pada abad pencerahan, yakni sekitar abad 18. Perlu diketahui bahwa, teori kontrak sosial sebenarnya telah dirintis oleh orang-orang sebelum Rousseau. Mereka adalah Locke dan Hobbes. Namun, dalam teori kontrak sosial yang digagas Rousseau, terdapat beberapa perbedaan. Secara umum, perbedaannya dengan Hobbes ialah soal ketidakpercayaan akan kemanjuran sebuah paksaan untuk menciptakan suatu tatanan politis, sebab paksaan tak memiliki kekuatan moral sejati6. Sedangkan perbedaan secara umum dengan Locke ialah soal ketidakpercayaan akan adanya hak-hak kodrati, misalnya hak milik untuk mendasarkan sebuah masyarakat; suatu hak tidak bersifat kodrati, melainkan produk kebudayaan yang cenderung korup7.

Sama dengan dua pendahulunya, Rousseau memulai teorinya dengan menunjukkan sifat kodrati manusia. “Man is born free”8, demikianlah penilaian Rousseau terhadap setiap

pribadi manusia. Setiap orang diciptakan dengan kodrat yang sama dan memiliki kebebasan. Dalam keadaan alamiah, kebebasan diartikan dalam dua arti, yakni ia dapat bertindak mengikuti perasaan hatinya; dan ia tidak berada di bawah kekuasaan orang lain sehingga memiliki hak yang sama dengan mereka. Dalam keadaan ini pula, tindakan manusia didasarkan pada ‘cinta diri’ (amour de soi). Dan rasa ‘belas kasihan’ (commiseration) pada sesamanya, yang dalam hal ini merupakan naluri-naluri dasar yang tertanam secara alamiah dalam diri manusia9. Namun, keadaan jaman yang terus bergulir membuat manusia jatuh kepada egoisme. Ketika manusia menjadi egois, ia tidak akan lagi mengindahkan orang lain. Kehendak dan kepentingannyalah yang harus dikedepankan. Ketika hal itu terjadi pada banyak sekali manusia, maka yang ada adalah persaingan untuk saling memenuhi kepentingan pribadi.

Ketika manusia memasuki fase itu, yakni egoisme, mereka akan kehilangan sifat kodratinya. Oleh karena itu, Rousseau menggagas suatu pemikiran yang dinamakan “Retournous a la nature!” (kembai ke alam). Artinya, manusia hendaknya kembali pada kodrat alamiahnya. Gagasan selanjutnya agar dapat memperoleh kembali kebebasan dan kesamaan hak manusia adalah dengan mendirikan negara yang berdasarkan “kontrak sosial”10. Kontrak sosial didasarkan atas kehendak bebas yang dimiliki oleh setiap individu.

“I assume that men have reached the point where obstacles to their self-preservation in the state of nature prevail by theit resistance over the forces each individual va use to maintain himself in that state. Then thar primitive state can no longer subsist and the human race would perish if it did not changes its way of life.”11

6 Budi Hardiman, “Filsafat Modern: Dari machiavelli sampai Nietzsche”, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 118 7 Ibid.

8 JJ Rousseau, “The Social Contract and Discourses”, editor: Ernest Rhys, London: Aldine House Bedford, 1913, hlm. 3

9 Simon Petrus L Tjahyadi, “Petualangan Intelektual”, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.260 10 Ibid, hlm.263

(4)

Kutipan diatas menunjukkan bahwa setiap manusia tidak akan mampu bertahan hidup jika ia tetap pada cara hidup lama. ia harus bekerja sama dengan orang lain agar mampu bertahan hidup. Oleh karena itu, perlu diadakan kesepakatan diantara manusia-manusia itu. Dari kesepakatan-kesepakan itu akan diketahuilah kehendak umum (volonte generale) dari kumpulan orang-orang itu. Kehendak umum adalah kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada kepentingan bersama. Dari kehendak umum itu, kemudian setiap orang membuat perjanjian diantara mereka yang berkenaan dengan kepantingan bersama. Perjanjian itulah yang disebut sebagai kontrak sosial. Kontrak sosial berarti setiap individu memberikan dirinya sepenuhnya, sehingga kondisi tiap pribadi mejadi sama12. Apabila setiap orang memberikan diri sepenuhnya untuk umum, tidak akan lagi dijumpai individu yang berdiri sendiri.

Perwujudan dari kontrak sosial itu ialah pembentukan suatu lembaga yang dapat mengayomi semua orang. Lembaga itu tak lain adalah negara. Ada berbagai macam sistem pemerintahan, namun negara yang ideal seturut dengan kesepakatan ini ialah demokrasi. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan tertinggi atas negara ini. Tentu saja tidak semua rakyat yang menjadi pemimpin, akan tetapi pemimpin itu dipilih sendiri oleh rakyat, yang mereka percayai akan mampu meyalurkan aspirasi rakyat.

Negara yang dianggapnya baik adalah yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan berarti pelaksanaan kehendak umum13. Dalam negara kedaulatan rakyat, individu dapat mempertahankan kebebasannya, sebab dia adalah sumber kebebasannya. Jadi, kedaulatan rakyat adalah mutlak. Negara yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat adalah negara dengan sistem pemerintahan demokrasi. Ciri negara demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ciri negara demokrasi adalah mengedepankan aspirasi rakyat. Aspirasi atau suara rakyat menjadi begitu penting bagi jalannya demokrasi dalam suatu negara. Oleh sebab itu, tak mengherankan ada yang menyebut bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox Dei).

“Vox Populi, Vox Dei” Buah Dari Teori “Kontrak Sosial” J.J Rousseau

Pada pemaparan sebelumnya telah dibahas bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi. Rakyat bisa menjadi pemegang kedaulatan rertinggi itu lantaran rakyat sendirilah yang telah menyatukan diri, mengikatkan hak-hak yang mereka miliki dan kemudian membuat suatu kontrak sosial yang berdasarkan kebebabasan individu mereka untuk membentuk suatu tatanan hidup yang didasarkan pada kehendak umum. Kehendak umum itu tentu saja muncul dari suara kolektif dari rakyat. Kehendak umum yang dibuat oleh rakyat itu memiliki motif baik yaitu: menjaga keamanan, keadilan, kemakmuran, keteraturan, dll. Intinya, kehendak umum memiliki tujuan demi kebaikan bersama (bonum commune).

Karena begitu pentingnya untuk mewujudkan kehendak umum, sampai-sampai aspirasi atau suara rakyat itu diyakini sebagai suara Tuhan. apa yang dikehendaki banyak 12 Bdk. Ibid. hlm.53

(5)

orang biasanya adalah sesuatu yang baik dan akan diterima oleh banyak orang. Peristiwa-peristiwa sejarah telah membuktikan hal tersebut. Sebagai contoh: revolusi Prancis pada 14 Juli 1789. Pada jaman itu Prancis dipimpin oleh seorang Raja yang absolute dan tidak adil yakni, Raja Louis XVI. Kondisi ini diperparah dengan semakin gencarnya para pejabat dan penegak hukum yang korup. Keadaan yang seperti demikian tentu saja membuat rakyat hidup sengsara dan tidak memiliki kebebasan. Rakyat seolah-olah dipandang sebagai budak yang harus memenuhi keinginan raja yang mengatas namakan negara itu sendiri. Ketika penderitaan sudah mencapai puncaknya, rakyat pun berunding dan kemudian menyatukan diri sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintahan Louis XVI. Kemudian muncullah revolusi prancis sebagai yang mengubah seluruh tatanan pemerintahan yang sebelumnya kekuasaan absolut oleh seorang raja menjadi pemerintahan yang demokratis.

Contoh berikutnya terjadi pada tahun 1998. Pada masa itu mahasiswa bersama rakyat menjatuhkan sebuah rezim yang sudah lama berkuasa selama 32 tahun. Selama itu rakyat berada dibawah bayang-bayang rezim yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, rakyat pun tidak memiliki kebebasan dalam beraspirasi. Sekali lagi, suara rakyat, suara Tuhan. Ketika segenap rakyat bersatu, mereka mampu meggulingkan rezim Soeharto.

Dari kedua peristiwa diatas tampak bahwa kesadaran bahwa suara rakyat sebagai suara Tuhan muncul ketika manusia sedang mengalami kondisi yang memprihatinkan, dan untuk dapat lepas dari kondisi itu mereka perlu bekerja sama. Sebatang lidi tidak akan berguna untuk membersihkan kotoran. Namun, kumpulan dari lidi akan mampu membersihkan kotoran. Kiranya pemikiran seperti itulah yang membuat mereka untuk bersatu, dan mengikatkan diri. Hal itu merupakan tahap pertama dari apa yang disebut sebagai kontrak sosial. Kemudian, beranjak dari tahap itu, muncullah kesadaran bahwa seharusnya suara atau kehendak umumlah yang harus menjadi dasar suatu pemerintahan, bukannya satu orang, yaitu raja atau presiden yang semena-mena. Maka, jadilah bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox Dei).

Tanggapan Atas Teori Kontrak Sosial

(6)

Maka dari itu, yang menjadi keprihatinan dalam sistem pemerintahan demokrasi adalah soal kurang bahkan tidak diperhatikannya suara kaum minoritas. Sebagai contoh di Indonesia ini saja: salah satu perwujudan vox populi, vox Dei adalah pada saat Pemilu. Pemilu yang disebut juga pesta rakyat ini menjadi ajang bagi rakyat untuk menunjuk wakil yang nantinya mampu menjadi penyalur aspirasi mereka. Namun yang terjadi tidak demikian. Ketika Pemilu maupun Pilkada, masih terjadi ‘sogok-menyogok’ agar partai atau wakil rakyat tertentu dipilih dalam pemilihan ini. Apabila partai atau wakil rakyat yang terpilih bukanlah sosok yang tepat apakah masih bisa dikatakan vox populi, vox Dei?? Demikian juga isu-isu yang cukup meresahkan yakni, menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dengan tata hukum sesuai dengan syariat islam. Memang penduduk beragama islam adalah mayoritas di negara ini, namun penduduk yang lain hendaknya juga diperhatikan.

Sistem pemerintahan demokrasi seharusnya tidak mengedepankan pendapat mayotitas, namun juga minoritas. Ciri-ciri negara demokrasi yang ideal adalah sbb:

Kedaulatan rakyat; pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan pemerintah secara konstitusional; pluralisme sosial, ekonomi, dan politik; nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat14.

Penutup

Benar bahwa “vox populi, vox Dei” adalah buah dari teori “kontrak sosial” dari JJ Rouseau. Yang menjadi masalah pada masa kini bahwa, suara rakyat tidak lagi merupakan suara Tuhan. Suara rakyat pada masa kini banyak dilatar belankangi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Lalu bagaimana agar buah dari teori kontrak sosial ini kembali berarti seperti semula yakni, suara rakyat adalah suara Tuhan? Jawabannya tidak lain juga terdapat dalam gagasan Rousseau sendiri. Gagasannya tentang kembali ke alam (retournous a la nature) kiranya dapat menjadi pemecahannya. Dalam gagasan ini manusia kembali pada keadaan alamiah (etat de nature). Dalam keadaan ini manusia adalah seorang penyendiri. Ia hidup sederhana dalam keselarasan dengan lingkungan alam. Manusia yang bebas ada dua arti yaitu, ia tidak bertindak mengikuti perasaan hatinya; dan ia tidak berada di bawah kekuasaan orang lain, sehingga memiliki hak yang sama dengan mereka15.

Daftar Pustaka

Hardiman, Budi. “Filsafat Modern: Dari machiavelli sampai Nietzsche”. Jakarta: Gramedia. 2004

(7)

Rousseau, JJ. ed: Ernest Rhys. “The Social Contract and Discourses”. London: Aldine House Bedford. 1913

Rousseau, JJ. ed: Roger C Master. Penerjemah: Judith R Master. ”On The Social Contract”. New York: St. Martin’s Press. 1978

Rousseau, JJ. Penerjemah: Sumardjo. “Kontrak Sosial”. Jakarta: Erlangga. 1986 Tjahyadi, Simon Petrus. “Petualangan Intelektual”. Yogyakarta: Kanisius. 2004

Sumber Internet

http://adityarahmat.blogdetik.com/2009/11/12/vox-populi-vox-dei-suara-rakyat-adalah-suara-tuhan/

http://id.wikipedia.org/wiki/Vox_populi,_vox_dei

http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

Referensi

Dokumen terkait