• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

9

Bab II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakekat Pembelajaran

2.1.1 Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran dipahami sebagai bentuk interaksi

antara naradidik dan pendidik dalam suatu situasi.

Menurut Dimyati dan Mudjiono dalam Syaiful Sagala,

(2011: 62) pembelajaran adalah kegiatan guru secara

terstruktur dalam desain instruksional sehingga membuat

siswa secara aktif belajar dan merupakan penyediaan

sumber belajar. Sedangkan menurut Corey dalam Sagala

pembelajaran adalah suatu proses penciptaan sebuah

lingkungan di mana ia dapat merespon kondisi yang

diciptakan melalui perubahan tingkah laku dan pikiran.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar

merupakan kegiatan yang diselenggarakan untuk

membuat seorang siswa belajar dengan bantuan guru

sebagai fasilitator.

Pembelajaran dalam bidang apapun memiliki

tujuannya masing-masing. Secara umum, tujuan

pembelajaran menurut Robert F. Meager dalam Sumiati

dan Asra adalah perubahan yang diharapkan oleh siswa

melalui maksud yang disampaikan fasilitator (2009: 10).

(2)

10

adalah tujuan yang menggambarkan pengetahuan,

kemampuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki

siswa sebagai dampak dari hasil pembelajaran (2005: 58).

Hasil ini dapat dilihat dari perubahan tingkah laku

maupun dapat diukur. Melengkapi pernyataan tersebut,

Suryosubroto menyatakan bahwa tujuan pembelajaran

merupakan rumusan terperinci tentang pengetahuan

maupun keterampilan yang seharusnya siswa miliki

setelah melalui proses pembelajaran (1990: 23). Dengan

demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan belajar

adalah hasil akhir dari proses pembelajaran yang telah

dirumuskan atau diharapkan sejak awal, setelah seorang

siswa melalui kegiatan pembelajaran.

Dalam situasi formal suatu pembelajaran,

komponen utama dari proses tersebut adalah naradidik

dan pendidik (Kemp dalam Rusman, 2010). Untuk

meminimalisir gangguan dalam pembelajaran, seorang

guru harus memiliki mengelola suatu pembelajaran

sedemikian rupa (Sudjana dalam Sunhaji, 2008: 1-2).

Suparman (1997: 157) menyatakan bahwa manajemen

pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan

kegiatan, pengorganisasian materi, alat, bahan dan waktu

yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Komponen lain dari suatu proses pembelajaran

adalah materi. Syaiful Bahri Djamarah, dkk (2006: 43)

(3)

11

substansi yang akan disampaikan pada saat proses

pembelajaran. Materi pembelajaran ada di dalam ruang

lingkup kurikulum (Harjanto, 2005: 222). Ini berarti

bahwa pemilihan materi pembelajaran tidak dilakukan

secara sembarangan, melainkan berdasarkan panduan

kurikulum yang telah dibuat. Harjanto menambahkan

bahwa materi pembelajaran dipilih berdasarkan tujuan

pembelajaran, relevansi dengan kebutuhan siswa,

relevansi dengan kondisi masyarakat, kandungan etis,

rincian materi secara sistematis, dan bersumber pada

sumber buku, guru ahli atau masyarakat (2005: 222).

2.1.2 Pembelajaran Berbasis Kontekstualisasi (CTL) Kontekstualisasi merupakan upaya

meng-kontekskan teks maupun pengetahuan yang telah

diperoleh melalui proses pembelajaran (Sa’ud, 2010: 162).

Dalam upaya kontekstualisasi tersebut beberapa hal

menjadi pertimbangan, yaitu latar belakang peserta didik

berupa status dalam keluarga, kemampuan ekonomi dan

mata pencaharian keluarga, pergaulan peserta didik baik

di sekolah maupun di luar sekolah, kemampuan

akademis peserta didik, relasi dalam keluarga, dll

(Bevans, 2002: 13-18). Dalam ilmu teologi, istilah

kontekstualisasi merupakan usaha untuk menarik pesan

tersirat dalam teks Alkitab yang pemahamannya diperoleh

(4)

12

untuk menyelesaikan permasalahan nyata sehari-hari

(Hesselgrave, 2005: 116).

Pendekatan pembelajaran kontekstual atau dikenal

dalam istilah contextual teaching and learning model

merupakan gagasan Mark Baldwin dan dikembangkan

oleh Jean Piaget (Sanjaya, 2006: 254). Dalam konsep

perkembangan kognitif Piaget, dikatakan bahwa anak

memiliki struktur kognitif yang dinamakan skema. Skema

diperoleh dari hasil belajar melalui pengalaman.

Penyempurnaan skema disebut sebagai asimilasi

sendangkan perubahan skema disebut akomodasi.

Penyempurnaan skema diperoleh anak sejak kecil ketika

mengalami sesuatu dan di kemudian skema tersebut

bergeser oleh pengalaman lain sehingga skema yang

dimiliki saat ia masih kecil telah mengalami perubahan

ketika ia dewasa.

KONTEKS MASA LALU

(5)

13

Konsep dasar CTL atau pembelajaran kontekstual

berdasarkan asas manusia belajar dari pengalaman dan

refleksi (Rusman, 2011: 187). Pola dari model ini adalah

siswa dirancang untuk membangun makna dari materi

yang telah dipelajari. Siswa diminta untuk

menghubungkan muatan pengetahuan akademis dengan

konteks kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini,

pembelajaran kontekstual mengandung muatan aplikatif

yaitu siswa dibentuk secara aktif untuk memompa

kemampuan diri melalui mempelajari konsep dan

menerapkannya serta mengaitkannya dengan dunia

nyata. Pandangan ini sama seperti yang dikemukakan

oleh Sa’ud yaitu pembelajaran diorientasikan pada

pengalaman siswa pada proses penerapan konsep

pengetahuan pada kehidupan nyata sehari-hari (2010:

163). Yang membedakan model pembelajaran CTL dan

learning by experience adalah siswa diberi bekal

pengetahuan terlebih dahulu kemudian melalui tahapan

refleksi siswa diminta untuk menjawab tantangan

sehari-hari melalui konsep pengetahuan yang telah diperoleh

(2010: 165).

Penulis mengkaji bahwa CTL sangat membantu

guru dalam mempersiapkan proses pembelajaran secara

tepat guna. Maksudnya adalah pembelajaran yang

dilakukan tidak sebatas pada pengetahuan konsep

(6)

14

siswa untuk memecahkan permasalahan yang ia temukan

sehari-hari. Siswa diajak untuk merenungkan materi

pembelajaran dan mengkaitkannya dengan pengalaman

yang pernah terjadi di dalam kehidupan mereka sehingga

menuntun mereka untuk menemukan solusi dari

masalah serupa yang mungkin akan mereka alami.

Namun demikian untuk menerapakan CTL secara

maksimal diperlukan aturan main atau asas-asas yang

tidak dapat dipisahkan. Asas-asas tersebut membantu

guru untuk mengemas proses pembelajaran sedemikian

rupa sehingga kontekstualisasi pembelajaran tercapai.

2.1.3 Asas-asas Pembelajaran Kontekstual

CTL sebagai suatu model pembelajaran memiliki

tujuh asas yang sering digunakan sebagai komponen

utama. Asas itu antara lain adalah konstruktivisme,

inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, refleksi, dan

penilaian nyata. Baik Sanjaya maupun Sa’ud

mencantumkan asas yang sama untuk diterapkan pada

model pembelajaran ini.

2.1.3.1 Konstruktivisme

Konstruktivisme disebut sebagai dasar dari model

CTL, sebab pengetahuan manusia dibangun sedikit demi

sedikit oleh apa yang pernah ia alami. Bagi Rusman,

(7)

15

tetapi justru dari konsep pengetahuan akan menjadi

sangat bermanfaat saat diintegralkan pada pengalaman

nyata (2011: 193). Sanjaya melengkapi bahwa

konstruktivisme merupakan proses membangun

pengetahuan baru dalam struktur kognitif manusia

berdasarkan pengalaman (2006: 262). Demi keberhasilan

asas ini seorang guru diidealkan memiliki pengetahuan

yang luas sehingga ia akan dengan mudah memberikan

ilustrasi, memberikan contoh, dan menggunakan media

pembelajaran yang dapat menuntun siswa menemukan

sendiri kaitan antara pengetahuan dengan

pengalamannya (2011: 194). Asas ini akan membantu

siswa menemukan pemecahan masalah dengan modal

pengalaman dan pengetahuan untuk mencapai suatu

konsep pengetahuan baru pula.

2.1.3.2 Inkuiri

Asas ini mematahkan metode pembelajaran

konvensional yaitu menghafal. Inkuiri yang bermakna

mencari, menjadi ciri khas pula dalam model

pembelajaran kontekstual (2011: 194). Melalui kegiatan

mencari dan menemukan secara sistematis, siswa akan

memiliki kepuasan tersendiri sehingga pengetahuan yang

didapatkan tidak bersifat sementara (Sa’ud, 2010: 169).

Dengan demikian pada asas ini tugas seorang guru

(8)

16

tetapi merancangnya sedemikian rupa agar siswa

menemukan sendiri konsep pengetahuan melalui

pencariannya. Konsep inkuiri yang disampaikan oleh

Sanjaya (2006: 263) dan disetujui oleh Sa’ud (2010: 170)

adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan masalah 2. Mengajukan hipotesis 3. Mengumpulkan data

4. Menguji hipotesis berdasarkan data yang

ditemukan

5. Membuat kesimpulan

Tugas guru dalam konsep inkuiri adalah membawa siswa

dalam keadaan sadar tentang masalah apa yang bisa

mereka temukan atau harus mereka hadapi. Setelah

siswa menyadari betul masalah yang telah ditemukan,

siswa diajak untuk mengajukan hipotesis atau jawaban

sementara tentang masalah tersebut. Hipotesis ini

merangsang siswa untuk melakukan observasi dan dari

hasil observasi itu dibandingkan kembali kepada

hipotesis. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan

oleh siswa.

2.1.3.3 Bertanya

Bertanya menjadi awal pengetahuan ditemukan

sedangkan menjawab pertanyaan menunjukkan

(9)

17

hal yang patut diperhatikan seorang pengajar. Dalam

implementasi CTL, pertanyaan yang diajukan guru

maupun siswa harus menjadi alat untuk mendekati

pengetahuan yang sedang digali (2011: 194). Sanjaya

menyatakan bahwa bertanya akan membawa lima

manfaat baik bagi guru maupu siswa, antara lain

menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam

penguasaan materi, membangkitkan motivasi siswa untuk

belajar, merangsang keingintahuan siswa, memfokuskan

siswa pada informasi yang diinginkan, dan membimbing

siswa untuk menemukan dan menyimpulkan sesuatu

(2006: 264).

2.1.3.4 Masyarakat Belajar

Asas ini menyatakan bahwa seorang manusia tidak

dapat menyelesaikan masalahnya seorang diri, ia harus

mendapatkan bantuan orang melalui berbagai cara

sehingga muncul banyak pilihan solusi yang

memungkinkan untuk diterapkan. Dalam model CTL,

asas masyarakat belajar dapat dibentuk secara formal

maupun secara alamiah. Dalam bentuk formal dapat

diterapkan melalui dibentuknya kerja sama kelompok

yang anggotanya bersifat heterogen dalam berbagai aspek

(2006: 265). Secara alamiah dapat dibantu oleh

orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya (2010: 170).

(10)

18

orang yang hendak menyelesaikan masalah, tetapi dapat

diterapkan melalui berbagi pengalaman dengan

orang-orang yang pernah mengalami masalah yang sama (2011:

196). Sifat manusia sebagai makhluk sosial akan

membantu asas ini terlaksana dengan baik, sebab ada

kalanya ia akan menyelesaikan masalahnya sendiri,

namun ada kalanya juga ia tergantung pada bantuan

orang lain. Dampak positif dari asas ini adalah siswa

tidak selalu terpaku pada pembelajaran di dalam kelas,

sebab sangat dimungkinkan siswa berinteraksi dengan

orang-orang di luar kelas bahkan di luar sekolah untuk

bertukar pikiran (2011: 197).

2.1.3.5 Pemodelan

Tahap membuat model merupakan solusi yang

memungkinkan bagi siswa agar memahami konsep

pengetahuan yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan oleh

perkembangan ilmu dan teknologi yang berdampak pada

sulitnya menemukan guru yang memiliki kemampuan

yang lengkap (2011: 197). Kelemahan ini membawa guru

pada teknik membangun atau menemukan satu model

ideal yang dapat dicontoh atau dipelajari siswa (2006:

266). Siapapun sangat memungkinkan untuk menjadi

model, guru, siswa, tokok terkenal bahkan orang-orang

yang ada di sekitarnya. Melalui pemodelan ini siswa tidak

(11)

19

langsung mempelajari bahkan meneladani model yang

telah ditentukan.

2.1.3.6 Refleksi

Metode refleksi menjadi ciri utama dari CTL yang

tidak ditemukan dalam model pembelajaran lainnya

(2006: 266). Refleksi merupakan aktivitas merenungkan

pengetahuan yang baru saja diperoleh siswa dengan

membandingkan dengan pengalaman yang pernah dilalui

di masa lalu (2011: 196). Pengetahuan baru yang diterima

siswa bersifat revisi atas pengalaman lama siswa. Proses

refleksi diberikan oleh guru di akhir suatu pembelajaran.

Siswa diberi ruang untuk memahami, menghayati,

mencerna, atau bahkan berdiskusi dengan dirinya sendiri

melalui penugasan yang bersifat aplikatif. Penugasan

dapat berupa menuliskan pengalaman lamanya dan

membandingkan dengan pengetahuan baru, atau bersifat

lisan untuk menyampaikan pemahaman baru yang sudah

dipahami siswa.

2.1.3.7 Penilaian Nyata

Penilaian yang biasa terjadi pada pembelajaran

konvensional adalah dengan memberikan tes kepada

siswa. Tes akan menunjukkan sejauh mana siswa

memahami pembelajaran namun sejauh konsep

(12)

20

mengetahui apakah siswa benar-benar mempelajari hal

yang baru atau tidak (2006: 267). Penilaian bahkan dapat

dimulai sejak proses pembelajaran, bukan hanya di akhir

pembelajaran. Dengan demikian tes hanya menjadi salah

satu nilai pertimbangan bagi guru untuk mengukur

keberhasilan siswa dalam belajar. Kecermatan guru

sangat diperlukan dalam proses penilaian nyata ini, sebab

kemajuan, kemunduran, dan kesulitan siswa dalam

belajar menjadi perhatian utama guru (2011: 198).

Penulis mengkaji tujuh asas pembelajaran

kontekstual membantu siswa lebih baik dalam memahami

pembelajaran. Namun demikian penulis berasumsi ada

empat asas yang lebih cocok untuk diterapkan pada mata

pelajaran PAK, antara lain:

1.Konstruktivisme. Pada asas ini siswa diminta untuk

membangun pemahaman mereka melalui apa yang

pernah mereka alami terlebih dahulu. Misalnya pada

pembelajaran tentang hukum kasih, melalui

konstruksivisme siswa diminta untuk mengingat

tentang tindakan yang mencerminkan kasih yang

pernah mereka lakukan atau alami. Setelah itu barulah

guru menarik satu kesimpulan tentang makna kasih

yang sebenarnya, dibantu oleh penafsiran teks Alkitab.

2.Pemodelan. Asas ini membantu siswa untuk memahami

topik pembelajaran melalui model yang dipilih oleh

(13)

21

tokoh atau peristiwa yang dapat diteladani sebagai

contoh benar. Misalnya dalam pembelajaran tentang

kasih, siswa dapat menemukan satu sosok yang

mencerminkan satu pribadi yang penuh dengan kasih

yang tidak eksklusif tetapi patut dijadikan sebagai

teladan.

3. Refleksi. Pada tahap refleksi yang menjadi inti dari CTL, siswa merenungkan baik materi konsep yang telah

diajarkan dan mengkaitkannya dengan apa yang ia

temukan dan alami. Pada pembelajaran kasih, siswa

kembali diajak untuk merenungkan pengalaman

mereka tentang sejauh mana kasih itu telah mereka

terapkan dan berdasarkan teori yang telah

disampaikan, sehingga ia betul-betul memahami

makna kasih tersebut.

4.Penilaian Nyata. Pada tahap penilaian nyata, guru

melihat kemauan siswa untuk belajar sejak proses

pembelajaran berlangsung, bagaimana siswa aktif

bertanya dan menemukan pemahaman kasih, dan

menggunakan nilai tes sebagai pertimbangan.

Berdasarkan rumusan di atas, dapat ditemukan

bahwa CTL membantu siswa untuk menemukan sendiri

dan memahami secara maksimal topik pembelajaran.

Kelemahan dari CTL adalah guru tidak dapat mengontrol

apa yang dikerjakan siswa di luar kelas, sehingga

(14)

22

materi pembelajaran secara baik cukup besar. Penulis

akan menggunakan empat asas tersebut sebagai alat

penelitian, yaitu tentang bagaimana guru mengemas

empat asas tersebut dalam pembelajaran PAK. Namun

demikian, tidak menutup kemungkinan penulis

menemukan asas lain dalam proses pembelajaran yang

dilaksanakan di SMA Kristen Satya Wacana.

2.1.4 Skenario Pembelajaran Kontekstual

Ada karakteristik tertentu dalam proses

pembelajaran kontekstual. Seorang pengajar harus

menguasai konsep pembelajaran ini agar tidak terjadi

kesalahan yang justru mengagalkan proses pembelajaran.

Menurut Rusman (2011: 198) ada 11 karakteristik

pembelajaran kontekstual yang perlu diperhatikan guru.

“Proses pembelajaran kontekstual harus

mempertimbangkan karakteristik-karakteristik berikut

antara lain: kerja sama, saling menunjang, menyenangkan dan tidak membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis guru kreatif, dinding kelas berisi hasil karya siswa, laporan kepada orang tua termasuk hasil karya, laporan hasil praktikum,

karangan siswa, dll.”

Secara umum konsep pembelajaran kontekstual tidak

memiliki perbedaan yang besar, namun yang menjadi ciri

khas dalam skenario pembelajaran kontekstual adalah

adanya tahapan demi tahapan yang bersifat praktis untuk

(15)

23

menambahkan bahwa skenario pembelajaran kontekstual

harus mencakup lima tahapan berikut (2011: 200),

1. Nyatakan kegiatan siswa sebagai gabungan dari

kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator

pencapaian hasil belajar

2. Rumuskan tujuan umum secara jelas

3. Uraikan secara rinci media pembelajaran yang akan digunakan

4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan

yang harus dilakukan siswa dan guru

5. Rumuskan sistem penilaian yang bersifat autentik

(nyata) baik saat proses pembelajaran maupun

pasca pembelajaran

Sedangkan menurut Sa’ud konsep skenario pembelajaran

kontekstual dijabarkan dalam diagram sebagai berikut

(2010: 173):

Pada tahap invitasi, siswa didorong untuk

(16)

24

berdasarkan pengalaman. Guru perlu mengaitkan dengan

fenomena yang dialami siswa sehari-hari agar

pemahaman yang akan dirumuskan selanjutnya bersifat

penyempurnaan. Pada tahap eksplorasi siswa diminta

menemukan konsep melalui pengumpulan,

pengorganisasian, pengintepretasian data dalam sebuah

kegiatan yang telah dirancang guru. Kegiatan ini dapat

dikerjakan secara mandiri maupun berkelompok. Tahap

penjelasan dan solusi merupakan penjabaran hasil

observasi siswa beserta tawaran solusi yang

memungkinkan. Guru hanya bersifat penguat di tahap

ini, sebab siswalah yang aktif untuk menyampaikan

temuan dan solusi itu. Di tahap terakhir, siswa dapat

mengambil keputusan, menerapkan pengetahuannya,

menggunakan keterampilannya, mengajukan pertanyaan

lanjutan baik kepada guru maupun siswa lainnya.

Tahapan ini menjadi bukti bahwa siswa memahami betul

apa yang telah dipelajarinya.

Penulis mengkaji bahwa skenario pembelajaran

berbasis kontekstual ini tidak cukup sederhana untuk

diterapkan bagi guru yang belum memahami kerangka

CTL. Ada kecenderungan untuk mengabaikan asas

tertentu. Secara khusus pada mata pelajaran PAK, guru

cenderung memberikan materi secara konvensional dan

hanya menggunakan asas refleksi. Menurut penulis, CTL

(17)

25

ditinggalkan sebab tujuan dari CTL adalah siswa

menemukan pemahaman baru dari suatu topik

berdasarkan pengalaman pribadi dan ditambahkan

dengan pemaparan materi yang tidak memiliki porsi yang

terlalu besar. Fungsi guru dalam pembelajaran berbasis

kontekstual adalah memperkuat pemahaman siswa atau

meluruskan jika terjadi pemahaman yang salah.

Penggunakan cara penilaian yang autentik juga belum

banyak dipahami oleh guru, sehingga cenderung hanya

menggunakan penugasan dan tes sebagai hasil

pembelajaran.

2.2 Evaluasi Pembelajaran

Menurut Stufflebeam dan Shinkfield, evaluasi

merupakan pengumpulan dan analisa sejumlah informasi

yang berguna untuk pengambilan keputusan (2007: 7).

Dalam ranah pendidikan, Stufflebeam dan Shinkfield

menambahkan bahwa evaluasi merupakan uji tujuan

suatu program pendidikan, struktur, dan proses yang

dapat diadaptasikan atau diterapkan untuk rancangan

program yang akan datang. The Joint Committee’s dalam

Stufflebeam menjabarkan bahwa evaluasi merupakan

penilaian sistematik terhadap kelayakan atau kelebihan

dari suatu objek (2007: 9). Berdasarkan pernyataan di

atas, evaluasi dapat disimpulkan sebagai usaha penilaian

(18)

26

struktur, proses, kelayakan dan kelebihannya untuk

rancangan program selanjutnya yang lebih baik.

Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan

model case-study evaluation (evaluasi studi kasus). Model

ini digunakan untuk menganalisa kasus tertentu atau

unik dengan melihat segi konteks, proses, dan hasil dari

suatu program (Stufflebeam, 2007: 181). Dengan

demikian peneliti tidak bertindak sebagai pengendali dari

penelitian ini, melainkan menjadi pihak ketiga sebagai

evaluator. Model ini juga melihat latar belakang setting

berdasarkan letak geografis, budaya, organisasi, dan

sejarah konteks dan menguji operasional intern dan

penggunaan input yang ada untuk hasil yang diharapkan.

Dengan demikian, model ini melihat kecocokan program

berdasarkan keuntungan yang diperoleh dan kecocokan

program berdasarkan tujuan, kebutuhan, dan setting

yang ada (2007: 182).

Berdasarkan definisi di atas, penulis fokus pada

beberapa hal untuk di teliti pada kasus strategi

pembelajaran Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen

Satya Wacana, antara lain (Stufflebeam, 2007: 310):

a. Relevansi program terhadap konteks

Berkenaan dengan relevansi kegiatan pembelajaran

dengan konteks sekolah dan siswa, baik dari segi

sosial, ekonomi dan budaya. Data yang diharapkan

(19)

27

siswa sehingga dapat ditarik satu kesimpulan

tentang kebutuhan lapangan dan

membandingkannya dengan program yang

dijalankan.

b. Manfaat program

Berkenaan dengan manfaat atas program yang

dijalankan. Manfaat dapat berupa manfaat yang

direncanakan/diharapkan maupun manfaat yang

ditemukan dilapangan. Dalam penelitian ini, manfaat

merupakan manfaat yang diharapkan atas

pembelajaran berbasis kontekstualisasi yang

diperoleh sekolah, guru maupun siswa.

c. Input

Berkenaan dengan latar belakang sekolah, latar

belakang pendidikan guru pengajar dan siswa. Latar

belakang sekolah telah diperoleh dari kategori

pertama (konteks), sedangkan latar belakang siswa

dan guru pengajar dibutuhkan untuk mengetahui

kemampuan intelektual, finansial, dan kehidupan

sosial yang dijalani oleh siswa dan guru.

d. Pelaksanaan program

Berkenaan dengan proses persiapan mulai dari

penyusunan program semester, program tahunan

dan RPP, proses pembelajaran dievaluasi

berdasarkan tujuh asas pembelajaran berbasis

(20)

28

pembelajaran kontekstual telah diterapkan sejak

masa pra-pembelajaran (penyusunan silabus,

program tahunan, program semester dan RPP). Pada

pelaksanaan pembelajaran, tujuh asas pembelajaran

kontekstual akan tampak lebih nyata melalui

terlaksananya konstrukstivisme, inkuiri, bertanya,

masyarakat belajar, pemodelan, refleksi). Sedangkan

pada pasca pembelajaran, asas penilaian nyata dapat

diperoleh dari cara guru melakukan penilaian kepada

siswa.

e. Pengaruh yang diharapkan dan tidak diharapkan Berkenaan dari dampak selain tujuan pembelajaran

yang muncul, baik yang diharapkan maupun tidak

diharapkan. Kemungkinan atas dampak yang tidak

diharapkan pada saat maupun pasca pembelajaran

dapat terjadi, sehingga peneliti perlu mendapatkan

data tersebut.

f. Analisa hasil program

Berkenaan dengan analisa hasil dari tujuan

pembelajaran yang memenuhi rancangan tujuan

awal. Hasil pembelajaran tidak hanya berupa

pencapaian nilai yang baik. Analisa ini dapat

diperoleh melalui perubahan intelektual maupun

sosial siswa, sebab PAK sebagai fokus bidang studi

yang diteliti bekerja sama dengan bidang Bimbingan

(21)

29

Stufflebeam menjabarkan dalam bukunya, yaitu evaluator

studi-kasus tidak diperkenankan untuk melakukan

penilaian terhadap kelayakan dan kelebihan program

(2007: 183). Evaluasi dapat dilakukan sejauh analisa

konteks, tujuan, rencana, sumber daya, ciri-ciri unik,

kepentingan, pencapaian, keluhan atau kekecewaan,

kebutuhan dan setting lingkungan (2007: 309). Namun

demikian penulis mengkaji bahwa evaluasi yang

dilakukan pada kasus pembelajaran PAK berbasis CTL ini

pada ketepatan pemilihan metode pembelajaran ini

dengan kondisi SMA Kristen Satya Wacana. Melalui

evaluasi ini, penulis juga berusaha menemukan adanya

asas atau teori baru tentang pembelajaran berbasis CTL

dan mengembangkan teori evaluasi studi kasus setelah

mendapatkan hasil dari lapangan.

2.3 Penelitian yang Relevan

Suatu penelitian mengenai evaluasi hasil penerapan

model pembelajaran kontekstual berbasis debat dilakukan

oleh Putu Agus Putra Adnyana, Ni Ketut Suarni, dan Ni

Wayan Koyan dengan model evaluasi Possted Only Control

Group Desain (2014). Penelitian di lakukan dengan

mengambil sampel dua kelas, kelas pertama

menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis

debat sedangkan kelas yang lain menggunakan model

(22)

30

pertama siswa pada kelas model pembelajaran

kontekstual berbasis debat memiliki keunggulan berpikir

analitik daripada siswa pada kelas model pembelajaran

konvensional. Kedua, siswa di kelas model pembelajaran

kontekstual memiliki sikap sosial yang lebih baik

daripada siswa di kelas model pembelajaran konvensional.

Ketiga, pada mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan, siswa memiliki kemampuan analitik

lebih baik di kelas pembelajaran kontekstual daripada di

kelas konvensional. Tiga temuan di atas membuktikan

bahwa model pembelajaran kontekstual memberi

pengaruh pada kemampuan analitik dan sosial, sebab

siswa diminta menghubungkan materi pembelajaran

dengan pengalaman sehari-hari dan menjawab

permasalahan yang muncul. Sikap siswa menjadi lebih

positif sebab mampu menerima perbedaan pendapat di

antara mereka, diberi kesempatan untuk menyampaikan

hasil belajarnya, dan pembelajaran tidak bersifat searah.

Penelitian evaluasi model pembelajaran kontekstual

dilakukan oleh Sulistyowati (2010). Penelitian ini hendak

mengevaluasi hasil pembelajaran kontekstual terhadap

pembentukan sikap nasionalisme siswa SD N 1 Kuta

Kabupaten Badung-Bali. Ada empat temuan dalam

penelitian ini, pertama siswa yang melakukan

pembelajaran kontekstual lebih memiliki sikap

(23)

31

konvensional. Kedua, siswa dengan gaya kognitif field

independent memiliki sikap nasional yang lebih baik baik

di kelas kontekstual daripada kelas konvensional. Hasil

ini ditemukan sebab siswa diberi kesempatan untuk

berpikir kritis,memfokuskan materi pada fakta dan

prinsip, jarang melakukan interaksi dengan guru, suka

bekerja sendiri dan lebih suka berkompetisi dan mampu

mengorganisasikan informasi secara mandiri. Sedangkan

siswa dengan gaya kognitif field dependent, memiliki sikap

nasionalisme lebih rendah daripada kelas konvensional.

Hasil penelitian kembali menunjukkan adanya dampak

signifikan antara kelas yang menggunakan model

pembelajaran kontekstual dengan kelas yang menerapkan

pembelajaran konvensional. Kemandirian siswa dalam

menemukan materi membawanya tidak hanya pada

pemahaman teoritis tetapi membentuk sikap

nasionalisme.

Hasil penelitian tentang penggunaan model

pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran

matematika dilakukan oleh Armiati dan Febrianti (2013:

589). Dalam jurnalnya, dikemukakan bahwa model

pembelajaran kontekstual membantu siswa memahami

permasalahan matematika lebih baik daripada

pembelajaran konvensional. Berdasarkan tujuh asas yang

terdapat dalam CTL, peneliti menemukan bahwa siswa

(24)

32

matematika dibanding mereka yang mengerjakan

tugas-tugas secara langsung (konvensional).

Dalam beberapa jurnal penelitian yang telah

diuraikan di atas, penulis tidak menemukan adanya

penjabaran tentang proses pelaksanaan CTL di dalam

kelas. Evaluasi dilakukan sebatas hasil penerapan model

pembelajaran kontekstual. Penelitian belum dilakukan

untuk mengevaluasi bagaimana manajer (guru)

mempersiapkan sampai pada taraf evaluasi. Dua

penelitian di atas relevan dengan penelitian yang akan

penulis lakukan untuk menguatkan hipotesis efektivitas

dan relevansi penggunaan model pembelajaran

kontekstual pada bidang studi Pendidikan Agama Kristen.

Namun lebih jauh lagi, penulis juga menggunakan

pendekatan model case study evaluation untuk

mengevaluasi proses guru dalam mempersiapkan,

melaksanakan, mengontrol dan mengevaluasi

pembelajaran kontekstual di bidang studi PAK.

Penulis mengkaji bahwa pembelajaran berbasis

kontekstual ini telah menjadi fenomena dan tuntutan bagi

guru Pendidikan Agama Kristen. Guru diharap membantu

siswa memahami dan mempraktekkan doktrin abstrak

Kekristenan dalam realita sehari-hari. Namun demikian,

kekurangan pengetahuan guru tentang pembelajaran

berbasis kontekstual ini membuat tujuan pembelajaran

(25)

33

materi dengan kehidupan sehari-hari yang kurang

dipahami membuat pembelajaran hanya jatuh pada

pemahaman konsep. Evaluasi studi kasus dipilih di SMA

Kristen Satya Wacana Salatiga sebagai lembaga

pendidikan Kristen yang menerapkan model pembelajaran

ini.

Penulis menarik hipotesis bahwa model CTL pada

pembelajaran PAK dan empat asas CTL terpilih dirasa

relevan untuk mengembangkan pemahaman siswa

tentang doktrin keagamaan yang abstrak menjadi

pemahaman kontekstual sehingga siswa tidak hanya

paham secara teoritis, namun dapat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari untuk pengambilan keputusan

maupun penyelesaian masalah. Penulis akan meneliti

bagaimana pelaksanaan pembelajaran berbasis

kontekstual ini dan sejauh mana dampak yang

diharapkan dapat tercapai melalui uji hasil pembelajaran,

konteks, dan proses pembelajaran. Di samping itu,

penulis berharap menemukan satu teori yang diperoleh

dari lapangan baik tentang adanya asas lain yang

membantu proses pembelajaran berbasis kontekstual

menjadi lebih maksimal, maupun tentang evaluasi studi

kasus yang penulis gunakan. Kemungkinan guru

menggunakan asas lain dalam pembelajaran tepat dan

membawa hasil maksimal sangat besar. Demikian pula

(26)

34

Stufflebeam tidak sampai pada studi kelayakan program,

penulis berasusmsi menemukan teori baru untuk

mengembangkan evaluasi studi kasus yang dapat

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Liaison Officer pada Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) SMP Tingkat Nasional, Makassar, Sulawesi Selatan, 2015.. Liaison Officer pada Festival dan Lomba Seni Siswa

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu (Quasi Eksperimental Method ). Metode ini dilakukan dengan membagi kelompok yang ditelliti menjadi dua kelompok,

The following thirteen thematic extension modules were introduced by version 2.0 of the CityGML standard: Appearance, Bridge, Building, CityFurniture,

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudar a, per ihal Penawar an Peker jaan Pembangunan Pagar.. kecamatan Sebuku, maka dengan ini kami mengundang

KUDUS-PURWODADI NO.93 MENGUMUMKAN RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG/JASA UNTUK PELAKSANAAN KEGIATAN TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013, SEPERTI TERSEBUT DIBAWAH INI. NON LELANG/

Pengetahuan fisis adalah suatu pengetahuan yang menunjukkan karakteristik fisik (ukuran, bentuk, warna, tekstur dsb) dari suatu objek/benda dan interaksi maupun

Apabila Saudara membutuhkan keterangan dan penjelasan lebih lanjut, dapat menghubungi kami sesuai alamat tersebut di atas sampai dengan batas akhir pemasukan Dokumen