• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Undang-Undang NO. 1 tahun 1974 dan KHI terhadap diterimanya izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan sunah Nabi Muhammad SAW dalam penetapan NO. 1913/PDT.G/2015/PA.Sda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Undang-Undang NO. 1 tahun 1974 dan KHI terhadap diterimanya izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan sunah Nabi Muhammad SAW dalam penetapan NO. 1913/PDT.G/2015/PA.Sda."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI

TERHADAP DITERIMANYA IZIN POLIGAMI KARENA INGIN

MENDIDIK DAN MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN

SUNNAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM PENETAPAN NO.

1913/PDT.G/2015/PA.SDA

SKRIPSI

Oleh : Muhammad Saliim

NIM : C71213129

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan dalam memutuskan perkara yang berjudul “Analisis Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dan KHI Tentang diterimanya izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai sunnah Nabi

Muhammad SAW. No.1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.” bagaimana dasar

pertimbangan hakim dan bagaimana analisis yuridis terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

Data penelitian ini diperoleh dari pengadilan Agama Sidoarjo yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, wawancara, dan tehnik pustaka yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pola deduktif, yaitu menggambarkan hasil penelitian secara sistematis dengan masalah khusus yang berupa salinan putusan Nomor 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda ini melalui teori atau dalil yang bersifat umum tentang Perkawinan, Poligami selanjutnya ditarik kesimpulan.

Hasil penelitian ini Bahwa hakim mengambil pertimbangannya adalah Pertama, melihat situasi dan kondisi calon istri kedua pemohon secara mental yang karena trauma terhadap rumah tangga masa lalu yang KDRT. Pemohon & Termohon lebih besar jika tidak diizinkannya melakukan Poligami. Kedua, berlandaskan Al-Quran bahwa hanya adil syaratnya. Ketiga, sudah adanya persetujuan dari istri pertama, terpenuhi secara materi maupun non materi oleh pemohon dan sanggup adil dengan membuat surat pernyataan. Bahwa walaupun dalam undang-undang hakim mengabaikannya akan tetapi hakim melihat kondisi lain yang lebih penting, lebih banyak maslahatnya menerima izin poligami tersebut. bahwa alasan poligami ini berbeda dari UU. Hakim boleh memberikan putusan yang berbeda, akan tetapi jika itu terus dilakukan maka pembatasan peraturan poligami secara ketat akan terjadi lemah dan mudahnya berpoligami. Penulis setuju apa dilakukan hakim karena hakim dinilai tepat & sesuai pasal 4 ayat 2 UU No. 1 1974 & UU No. 48 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 1 ayat 1.

Analisis yang telah dipaparkan, kiranya para hakim sebaiknya melihat teori secara umum dan mendalam baik menggunakan teori yuridis/hukum Islam, yang pada prinsipnya mewujudkan ‘kemanfaatan’ kepada semua umat manusia,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ………. i

PERNYATAAN KEASLIAN ………. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii

PENGESAHAN ……….. iv

ABSTRAK ……….. v

DAFTAR ISI ………... vi

DAFTAR TRANSLITERASI ………. viii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A.Latar Belakang ……… 1

B.Identifikasi Dan Batasan Masalah ……….. 8

C.Rumusan Masalah ……….. 10

D.Kajian Pustaka ……… 10

E.Tujuan Penelitian ……… 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ………. 13

G.Definisi Operasional ……….. 14

H.Metode Penelitian ……….. 15

I. Sistematika Pembahasan ……… 20

BAB II SYARAT-SYARAT IZIN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU ………. 22

1. Poligami ……….. 22

A. Pengertian Poligami ………. 22

B. Dasar Hukum Poligami ……… 23

C. Syarat-syarat Poligami ………. 27

D. Prosedur Poligami ……… 31

E. Hikmah Poligami ………. 33

(8)

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM

MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN

MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN SUNNAH NABI

MUHAMMAD SAW DALAM PENETAPAN NO. 1913/PDT.G/PA.SDA 40

A. Gambaran Umum di Pengadilan Agama Sidoarjo ……… 40

1. Lokasi Pengadilan Agama Sidoarjo ……… 40

2. Dasar Hukum Berdirinya ……… 41

3. Visi dan Misi ……….. 42

4. Tugas Pokok dan Fungsi ……… 43

5. Yuridiksi Pengadilan Agama Sidoarjo ………... 46

6. Struktur Organisasi ………. 47

B. Deskripsi Perkara Diterimanya Izin Poligami Karena Ingin Mendidik Dan Menolong Calon Istri Sesuai Dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW di Pengadilan Agama Sidoarjo ……….. 48

1. Deskripsi Singkat Perkara ……….. 48

2. Dasar Pertimbangan Hakim ……….……….. 51

3. Putusan Tentang Izin Poligami .…..………... 54

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENAN SUNNAH NABI MUHAMMAD SAW ……… 61

A. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Tentang Izin Poligami di Pengadilan Agama Sidoarjo ……….. 61

B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Izin Poligami Pada Putusan No.1913/Pdt.G/PA.Sda ……… 65

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ………. 74

B. SARAN……….. 75

DAFTAR PUSTAKA ……… 75

(9)

1

BAB I

ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI TERHADAP

DITERIMANYA IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN

MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN SUNAH NABI MUHAMMAD

SAW DALAM PENETAPAN NO. 1913/PDT.G/2015/PA.SDA

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara

seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim serta menimbulkan hak

dan kewajiban antara keduanya. Kata lain, perkawinan menimbulkan peranan

dan tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga, baik masing-masing

maupun sendiri-sendiri.1

Kedamaian dan kebahagiaan suami-isteri sangat bergantung pada

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dalam perjanjian tersebut. Perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

mi>tha>qan ghali>z}a>n untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah, dan perkawinan tersebut bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang saki>nah mawaddah dan rahmah.2

1

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 337.

(10)

2

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat beberapa

prinsip yang menjamin terciptanya cita-cita luhur dari perkawinan. Dari

undang-undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan dapat lebih

sempurna dari masa-masa yang sudah-sudah.3 Dijelaskan pada pasal 1

dijelaskan perkawinan yaitu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”4 Perkawinan

dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan

terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah

didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Agar suami istri dapat

membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta kekal, maka diwajibkan

kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih dahulu. Perkenalan yang

dimaksud di sini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari

norma agama yang dianutnya.5

Dalam bukunya Titik Triwulan Tutik yang berjudul Hukum Perdata

dalam Sistem Hukum Islam menjelaskan bahwa perkawinan adalah persekutuan

hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara normal

3 Arso Sosroatmodjo, Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 35.

(11)

3

dengan Undang-undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga religius, menurut

tujuan suami istri dan Undang-undang.6

Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan

selalu terjun dalam suatu realita, yang mendidik dan menjauhkan diri dari sikap

teledor dan bermalas-malasan.7 Islam tidak mengizinkan asketisme dan

mengorbankan kebutuhan-kebutuhan fisik yang alami dan fitrah, menurut

Islam, segala segala naluri seksual atau bukan, harus dipenuhi dalam

batas-batas yang wajar. Islam tidak membenarkan seseorang menuruti hawa nafsunya

yang tak terpuaskan.8 Beristri itu adalah cara legal dan halal untuk menyalurkan

hasrat seksual seseorang. Sebagaimana harta dan kekuatan, syahwat seks juga

berpotensi menjebak kita untuk masuk kedalamnya, berburu kenikmatan,

sehingga menjadi lupa diri.9

Pada kenyataannya, ada seorang pria yang beristeri hanya satu orang,

ada yang secara diam-diam berhubungan dengan wanita lain. Perbuatan ini

bukan hanya melanggar hak syariat, tetapi juga tata krama dan etika kepada

masyarakat umum yang tidak pantas untuk dilakukan. Tidak ada satu pihakpun

yang diuntungkan oleh perbuatan tersebut, baik yang berbuat maupun

masyarakatnya. Hal ini yang bisa menghancurkan kesucian perkawinan, yang

6 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 100. 7 Yusuf Qaradhawi, Hal wal Haram fil Islam, yang diterjemahkan oleh Tim Kuadran dengan judul Halal dan Haram (Bandung: Penerbit Jabal, 2007), 198.

8 Ibnu Mustafa, Perkawinan Mut’ah dalam Perspektif Hadist dan Tinjauan Masakini (Jakarta: Lentera, 1999), 70.

(12)

4

mana hubungan suami isteri tidak lebih dari sekedar hubungan seks tanpa kasih

sayang.10

Kata-kata “poligami” terdiri dari kata ‘poli” dan “gami”. Secara

etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya

beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu ‘seorang laki-laki

mempunyai lebih dari satu istri”. Atau, “seorang laik-laki beristri lebih dari

seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.11

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah “Poligami” yang sudah popular

dalam masyarakat. menurut undang-undang perkawinan ini adalah perkawinan

yang bersifat monogami, namun demikian beristri lebih dari satu orang dapat

dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya.

Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa

alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan

lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari satu orang baru

dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam

pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang

harus ada alasan-alasan yaitu (1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya

10 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshory AZ, Problematika Hukum Islam dan Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996),105.

(13)

5

sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan

secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif.

Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.12

Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi,

maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya

syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya,

kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan dari material

dari orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang; dan (3) jaminan

berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku

adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-syarat ini

sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama memberi

izin kepada pemohon untuk melaksanakan perkawinan lebih dari satu orang.

Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana

ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum

dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam

pasal 44 dan 45 undang-undang perkawinan ini.13

hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk

beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam

pasal 55 ayat (2) dan pasal 57 Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang

(14)

6

pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di

persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami

dapat mengajukan banding atau kasasi.14

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal

yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin

lebih dari satu orang tanpa adanya peraturan untuk membatasinya secara ketat,

maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan

rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua)

menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus

kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. hal ini

biasanya terjadi kalau ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat

negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari

satu orang, maka undang-undang Perkawinan ini membatasinya secara ketat

pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal

membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan

syarat-syarat tertentu.

Undang-undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa

perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat kepada

mereka yang melaksanakannya.15 Sebagaimana Allah SWT. berfirman:

14 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 83.

(15)

7

َوِإ

ْ

ِخ

ْف ت

ْم

َاَل

ت

ْق

ِس

ُط

ْو

ِف ا

ْلا ى

َيَت

َ

َف ى

ْنِك

ح

ْو

َم ا

َط

َ

َل

ُك

ْم

ِم

َن

ِنلا

َس

ِء

َمْثَن

َو ى

ُث َل

َث

َو ر

َب ع

َفِإ

ْ

ِخ

ْف ت

ْم

َا َل

َت

ْعِ

ُل

ْو

َف ا

َو

ِحا

ًة َا

ْو َم

َم

َلَك

ْت

َاْي

ََن

ُك

ْم

َِل

َك

َا

ْد

َن

َا ى

َل

َت

عْو

ُلْو

ا

Artinya:

“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawiniah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawininilah seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa: 3)

Maksud ayat tersebut adalah jika seorang laki-laki merasa yaitu tidak

dapat berbuat adil kepada anak-anak perempuan yatim, maka carilah

perempuan lain. Pengertian semacam ini dalam ayat tersebut bukanlah sebagai

hasil dari pemahaman secara tersirat, sebab para ulama sepakat bahwa siapa

yang yakin dapat berbuat adil terhadap anak perempuan yatim, maka ia berhak

untuk menikahi wanita lebih dari seorang. Sebaliknya, jika takut tidak dapat

berbuat adil ia dibolehkan menikah dengan perempuan yang lain16

Meski telah disebutkan dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun

1974 dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang syarat-syarat poligami

baik yang alternatif maupun yang kumulatif diharuskan memenuhi persyaratan

yang telah disebut di atas, akan tetapi terdapat realitas putusan tentang poligami

yang tidak memenuhi persyaratan yang telah dicantumkan dalam

undang-undang tersebut. Salah satu penyebab apabila terjadi kurangnya salah satu

syarat izin poligami maka seorang hakim harus bisa menolak apabila terjadi

16 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK

(16)

8

yang seperti itu. Seperti syarat dari alternatif alasan-alasannya yaitu (1) Istri

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri mendapat cacat

badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat

melahirkan keturunan. Terdapat juga syarat-syarat kumulatif yaitu (1)

persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka

majelis hakim; (2) kemampuan dari material dari orang yang bermaksud

menikah lebih dari satu orang; dan (3) jaminan berlaku adil terhadap

istri-istrinya.17

Adapun terdapat di Pengadilan Agama Sidoarjo bahwa disana

mengizinkan adanya poligami yang dengan alasan dikarenakan ingin mendidik

dan menolong calon istri sesuai Sunah Nabi Muhammad SAW. menjadi hal

yang baru dan hakim dinilai bersikap Contra Legem (tindakan hakim yang tidak

sesuai dengan undang-undang yang berlaku).

Adapun dari penjelasan di atas, maka penulis ingin melakukan

penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini yang berjudul: “Analisis

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KHI Terhadap Diterimanya Izin Poligami

Karena Ingin Mendidik Dan Menolong Calon Istri Sesuai Dengan Sunnah

Nabi Muhammad Saw Dalam Penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/Pa.Sda”.

(17)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari penjelasan latar belakang yang telah penulis paparkan tersebut,

maka dapat dicantumkan identifikasi masalah sebagai berikut:

a. Keadilan dalam poligami

b. Proses kasus poligami

c. Kontroversi poligami

d. Pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan izin poligami karena ingin

mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad

SAW. dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

e. Tinjauan undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dalam majelis hakim terhadap dikabulkannya izin poligami karena

ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi

Muhammad SAW. dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

Berdasarkan penguraian-penguraian masalah yang ada tersebut diatas

maka dipandang perlu diberikan fokus masalah, maka peneliti hanya

membatasinya 2 hal yakni pada:

1. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memberikan izin

poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan

Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan No.

1913/Pdt.G/2015/PA.Sda

2. Analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo

(18)

10

calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan

No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, peneliti merumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam

memberikan izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri

sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan No.

1913/Pdt.G/2015/PA.Sda?

2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan

Agama Sidoarjo dalam memberikan izin poligami karena ingin mendidik

dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW.

dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka bertujuan adalah untuk melihat beberapa perbedaan

mendasar antara penelitian yang dilakukan dengan kajian atau penelitian yang

pernah dilakukan sebelumnya. Setelah mencari dan melakukan penelusuran,

ada dari beberapa skripsi yang membahas tentang izin poligami, dan ada

(19)

11

1. Skripsi yang ditulis oleh Nurul Mahmudah dengan judul “Analisis Yuridis

Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo Dalam

Perizinan Perkara Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Surat

Izin Atasan” Tahun 2015, dari penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa

dari hasil penelitian tersebut hakim berpendapat bahwa melakukan hal ini

sebagai salah satu cara hakim untuk merealisasikan prinsip

kemandirian/kebebasan hakim yang telah ditentukan dalam kekuasaan

kehakiman yang ada dalam undang-undang No. 48 tahun 2009. Salah satu

syarat dalam kekokohan negara hukum yaitu kekuatan kehakiman yang

merdeka. Namun menurut beberapa hakim yang lainnya, meski pengadilan

memiliki otoritas dalam memberikan otoritas hukum, perlunya hakim

mengetahui maslahat bagi termohon yang notabene PNS, Perlunya

pemerintah untuk menegakkan peraturan pemerintah yang telah diatur

untuk PNS adalah salah satu cara menegakkan hukum, jika terus berpijak

pada sisi toleransi hukum hakim yang mengenyampingkan peraturan

pemerintah tersebut, maka peraturan pemerintah ini pastinya akan selalu

dilanggar oleh PNS, karena dalam prakteknya tidak semua PNS yang

melanggar Peraturan Pemrintah mendapat sanksi yang ditetapkan.18

(20)

12

2. Skripsi yang ditulis oleh Prisca Nindya Puspita yang berjudul “Analisis

Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Tentang Izin

Poligami Dalam Putusan No. 1821/Pdt.G/2013/PA.Sda”, dari penelitian ini

menyimpulkan bahwa hakim memberikan izin poligami kepada pemohon

adalah sebagai upaya perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada

calon anak pemohon yang dikandung calon istri kedua pemohon, karena

kondisi bahaya (dharar) yang hanya bisa dihilangkan dengan perkawinan

pemohon dan calon istri kedua pemohon.19

3. Skripsi yang ditulis oleh Hendrik Suprianto berjudul “Analisis Hukum

Islam Terhadap Izin Poligami di Pengadilan Agama Pasuruan (Studi

Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami di Pengadilan Agama

Pasuruan Tahun 2007)” di sana dipaparkan mengenai apa saja yang menjadi

alasan-alasan izin poligami di Pengadilan Agama Pasuruan Tahun 2007 dan

Analisis Hukum Islam terhadap alasan-alasan izin poligami di Pengadilan

Agama Pasuruan tahun 2007. Pada skripsi tersebut hanya memilah-milah

alasan-alasan izin poligami yang ada pada undang-undang kemudian

mencari apa dasar hukum hakim dalam memberikan izin poligami dan

analisis hukum Islam tentang poligami.20

19Prisca Nindya Pupita yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim

Tentang Izin Poligami Dalam Putusan No. 1821/Pdt.G/2013/Pa.Sda”, (Skripsi_Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013).

20

(21)

13

Dari beberapa kajian pustaka yang telah terdapat diatas kita dapat

menemukan sebuah perbedaan dengan skripsi ini bahwasanya alasan

berpoligami dari pemohon ini cukuplah menarik yakni dengan alasan ingin

mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan sunah Nabi Muhammad

SAW. yang terletak di Pengadilan Agama Sidoarjo. Putusan hakim ini tidak

sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai

beberapa tujuan di antaranya yaitu:

1. Mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama

Sidoarjo dalam memutuskan perkara No. 1913./Pdt.G/2015/PA.Sda.

2. Menganalisis putusan Pengadilan Agama Sidoarjo dari segi yuridis pada

perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna

dalam beberapa hal sebagai berikut seperti:

1. Aspek Teore

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk

(22)

14

khazanah ilmu pengetahuan dalam arti membangun, memperkuat dan

menyempurnakan teori yang sudah ada. Dan juga memperkaya khazanah

pemikiran dalam hukum Islam khususnya di bidang hukum keluarga.

2. Aspek Praktis

Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan penambah ilmu pengetahuan

yang bersifat empiris, khususnya yang berkaitan dengan permohonan izin

poligami di Pengadilan Agama.

G. Definisi Operasional

Adapun mendapatkan gambaran dan pandangan yang jelas dan untuk

menghindari kesalahpahaman pembaca dalam mengartikan judul skripsi ini,

maka penulis memandang perlu untuk mengemukakan pengertian

masing-masing variabel secara tegas dan spesifik dari judul Analisis Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 Dan KHI Terhadap Diterimanya Izin Poligami Karena

Ingin Mendidik Dan Menolong Calon Istri Sesuai Dengan Sunnah Nabi

Muhammad Saw Dalam Penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/Pa.Sda sebagai

berikut:

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 : Sebuah peraturan tertulis yang telah

disahkan oleh penguasa atau pemerintah untuk mengatur negara tersebut

(23)

15

mengikat. Sebagai pembaharuan baru dalam peraturan perkawinan di

Indonesia

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) : Merupakan rangkuman dari berbagai kitab

yang ditulis oleh ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi

pada pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke

dalam satu himpunan.

3. Poligami : Seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi

paling banyak adalah empat orang. karena melebihi dari empat berarti

mengingkari kebaikan yang disyariatkan oleh Allah bagi kemaslahatan

hidup suami istri.21 Di buku lain terdapat sedikit perbedaan pengertian yaitu

Ikatan perkawinan dalam hal suami mengawini lebih dari seorang isteri

dalam waktu bersamaan.22

4. Suri Tauladan Nabi : Isi aturan agama yang didasarkan atas segala apa yang

dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. yang menyangkut hal tentang

poligami. Sebuah perbuatan yang bersifat anjuran bukan kewajiban.

H. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu jenis penelitian

yang bersifat yuridis normatif bersifat kualitatif. Data primer yang digunakan

21Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK…,

131.

(24)

16

dalam penelitian ini adalah Salinan putusan hakim, yakni putusan perkara No.

1913/Pdt.G/2015/PA.Sda. agar penulisan ini tersusun dengan baik dan benar

maka penulis memandang perlunya adanya untuk mengemukakan metode

penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:

1. Data yang dihimpun

Supaya dalam pembahasan skripsi ini dapat dipertangungjawabkan

dan juga relevan dengan permasalahan yang dibahas, maka penulis

membutuhkan data sebagai berikut:

a. Data pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Sidoarjo tentang

izin poligami perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

b. Undang-undang poligami baik No. 1 Tahun 1974 dan juga KHI dalam

menyelesaikan tentang perkara izin poligami No.

1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

2. Sumber Data

Penelitian ini, sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana

data dapat diperoleh dalam arti lain sumber data adalah semua informasi

baik yang merupakan benda nyata, sesuatu yang abstrak, peristiwa/gejala

baik secara kuantitatif ataupun kualitatif. penelitian ini menggunakan dua

sumber, yaitu:

a. Sumber primer, yaitu dokumen Salinan putusan Pengadilan Agama

Sidoarjo perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda. tentang izin poligami

(25)

17

Muhammad SAW. data diperoleh langsung dari sumber utama yaitu

para hakim Pengadilan Agama Sidoarjo.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada peneliti, seperti literatur-literatur mengenai

poligami, antara lain:

1. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

3. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia

(Jakarta: Kencana: 2006)

4. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003)

5. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,

1999)

6. Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas

Syari’ah Komponen MKDK (Bandung: Pustaka Setia, 1999)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada bagian ini akan dikemukakan persoalan metodologis yang

berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan data.23 Menghimpun data,

penulis menggunakan teknik atau dengan cara sebagai berikut:

23

(26)

18

a. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data yang terkait topik penelitian yang

berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan semacamnya.

Sedangkan obyeknya adalah benda mati.24 Mencari penelitian

menggunakan sebuah catatan, rekaman wawancara dengan informan dan

buku-buku yang digunakan untuk mencari data.

Menggunakan dokumentasi ini, peneliti mendapatkan data tentang

prosedur permohonan izin poilgami, berita acara persidangan, dan isi

putusan Pengadilan Agama Sidoarjo perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

tentang izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri

sesuai Sunnah Nabi Muhammad SAW.

b. Wawancara

Peneliti menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh

informasi-informasi dari informan secara langsung dengan bertatap muka.25

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi

terstruktur.26 Artinya wawancara dengan perencanaan, di mana peneliti

menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis

24Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),

231.

(27)

19

dan lengkap untuk mengumpulkan data-datanya. Wawancara terstruktur ini

digunakan untuk mewawancarai para hakim Pengadilan Agama Sidoarjo.

c. Teknik Pustaka

Mencari dan juga menelaah literatur-literatur dan juga buku-buku

yang mengenai tentang poligami secara umum. Contohnya dalam telaah

pustaka ini adalah Fiqh Munakahat, Hukum Perdata Di Indonesia, Praktik

Prostitusi Gigolo Ala Yusu Al-Qardhawi, Tafsir Al-Azhar dll.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah mendapatkan seluruh data-data yang ada baik data primer

maupun sekunder maka kemudian data tersebut dikelola sebagai berikut:

a. Editing (Pemeriksaan data) yakni memeriksa kembali data-data tentang

izin poligami yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan,

keterkaitan dan kejelasan antara data satu dengan data yang lainnya.

b. Organizing, yakni penulis data tentang macam-macam hal poligami

secara umum ataupun yang secara spesifik kemudian diatur dan disusun

sehingga menjadi sebuah satu kesatuan yang teratur. Selanjutnya semua

data yang diperoleh akan disusun secara sistematis untuk dijadikan

sebagai bahan penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis dengan pola pikir

(28)

20

dalam hal ini tentang pertimbangan hukum hakim dalam menerima izin

poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan

Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan No.

1913/Pdt.G/2015/PA.Sda. kemudian di Analisa menggunakan teori yuridis

yakni undang-undang. Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang

berangkat dari variabel data yang bersifat umum dalam hal ini yuridis

kemudian diaplikasikan ke dalam variabel yang bersifat khusus dalam hal

ini dasar pertimbangan hukum hakim dalam menerima izin poligami karena

ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi

Muhammad SAW.

I. Sistematika Pembahasan

Berdasarkan permasalahan yang dibahas maka penulisan skripsi

disusun dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab

adalah sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan, bab ini berfungsi sebagai pola umum

yang menggambarkan seluruh bahasan skripsi ini yang di dalamnya mencakup:

(29)

21

Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi

Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.27

Bab kedua, landasan teori, bab ini membahas tentang tinjauan umum

tentang poligami dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) yang meliputi pengertian poligami, syarat poligami,

prosedur poligami, hikmah poligami, sejarah poligami, poligami dalam UU No.

1/1974. Kompilasi Hukum Islam dalam Bab IX Pasal 55-59 tentang beristri

lebih dari satu orang.

Bab ketiga, memuat atas penelitian yang berkenaan tentang putusan

penetapan dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo tentang

perizinan poligami yang meliputi deskripsi Pengadilan Agama Sidoarjo yang

berguna untuk mengetahui kondisi lapangan yang digunakan sebagai lokasi

penelitian, dan dasar hukum hakim dalam memutuskan perkara izin poligami

karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi

Muhammad SAW. serta pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo

dalam memutuskan perkara poligami karena ingin mendidik dan menolong

calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW. dari pembahasan bab

ini peneliti dapat mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Peneliti.

27Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: Syariah dan Hukum,

(30)

22

Bab keempat, merupakan kajian analisis putusan permasalahan dalam

penelitian ini. Bab ini berisi tentang analisis yuridis terhadap pertimbangan

hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memberikan izin poligami karena

ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi

Muhammad SAW. dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.

Bab kelima, penutup, bab ini merupakan bagian akhir yang berisi

kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dalam keseluruhan penelitian

(31)

23

BAB II

POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM

1. Poligami

A. Pengertian Poligami

Poligami itu dalam pandangan Soemiyati adalah terjadinya sebuah

hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam waktu

yang bersamaan. Hukum Islam sendiri menikahi seorang wanita lebih dari

seseorang istri itu diperbolehkan, akan tetapi hanya dibatasi maksimal sampai

4 orang tidak lebih dari apa yang telah disyariatkan.1

Pada referensi yang lain poligami itu sendiri adalah perkawinan yang

dilakukan oleh seorang laki-laki untuk bisa beristri lebih dari seorang, dan

perkawinan tersebut hanya boleh dibatasi maksimal sebanyak empat orang.

Namun apabila seorang tersebut melanggar dan juga melebihi dari apa yang

telah ditentukan maka ia telah mengingkari kebaikan syariat yang telah

diberikan oleh Allah untuk menjadi kemaslahatan dalam menjalankan

kehidupan rumah tangga antara seorang suami dan istri.2 Pengertian Poligami

yang lain juga adalah “perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam

1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan) (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 74.

(32)

24

tanggungannya dua sampai empat orang istri, tidak boleh lebih darinya.”3

“Kata-kata “poligami” terdiri dari kata ‘poli” dan “gami”. Secara etimologi,

poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristri

banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih

dari satu istri”. Atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi

dibatasi paling banyak empat orang”.” 4

Referensi lain juga telah disebutkan bahwa poligami itu adalah sebuah

hubungan ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang

suami tersebut mengawini lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan,

namun bukan saat terjadinya ijab dan kabul akan tetapi menjalankan sebuah

kehidupan rumah tangga.5

B. Dasar Hukum Poligami

Poligami adalah suatu peraturan beda dari agama lain yang aturan untuk

melakukannya cukup berat yakni adil dalam segala hal. Poligami Suatu

pemberian Allah terhadap hambanya dan asal hukum poligami itu sendiri

adalah Mubah (boleh). Allah telah menurunkan aturan ini dalam kitab-Nya

bahwa Allah memperbolehkan seorang laki-laki untuk berpoligami lebih dari

3 Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami (Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2003), 25.

4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003), 129.

(33)

25

seorang istri dengan hanya sampai batasan empat orang saja. seorang suami ini

harus mampu berbuat adil terhadap istri-istri dan juga anak-anaknya kelak.

apabila seorang suami ini tidak mampu ataupun khwatir bila dapat menzalimi

istri-istri dan anak-anaknya, maka poligami itu dihukumi haram dilakukan

olehnya.6 Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat al-Nisa’ (3):

مفَعبروَمثمُثوَىنْثمَِء سِنلاَن مَْمُكملَ َ مطَ مَاْوح كْن مفَى تيْلاَى فَاْوُطِسْقتَ َلماَْمتْف خَْ إو

َْ َ إ

ْعتَ َلماَْمتْف خ

اْوُلْوعتَ َلماَىنَْدماَك لمَْمُكن ْيماَْتمكممَ مْوماًَة حاومفَاْوُلَ

Artinya:

“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawiniah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawininilah seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. An-Nisa:3)7

Ayat diatas telah dipaparkan dan menurut pendapat Nasiri menjelaskan

sebagai berikut:

Ayat di atas, merupakan salah satu keterangan /dasar hukum yang sangat terkenal unutk mengetahui hukum poligami dalam agama Islam. Dengan kata lain, jika ada pembahasan poligami, dapat dipastikan ayat inilah (Q.S. al-Nisa’:3), satu-satunya yang paling laku diguakan. Wajar, Karena ayat tersebut memang berisi penjelasan kebolehan poligami, atau menikah lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama, dengan jumlah maksimal empat orang istri, dengan syarat yaitu adil. Jika hawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup dengan satu istri saja (monogami).8

6 Nasiri, Praktik Prostitusi Gigolo Ala Yusuf al-Qardawi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar (Surabaya: Khalista, 2010), 52.

7 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran Terjemah Indonesia (Jakarta: Departemen RI,

1988), 140.

(34)

26

Menurut pendapat Ahmad Rofiq tentang ketentuan ayat di atas tersebut

adalah sebagai syarat utama dalam melakukan hal poligami sebagai seorang

suami dalam berlaku adil terhadap istri-istrinya sebagai jaminan dalam

menjalakan sebuah hubungan rumah tangga yakni berpoligami, baik adil dari

segi nafkah sehari-hari, tempat tinggal ataupun untuk kebutuhan yang lainnya.9

Selain ayat-ayat di atas adapula ayat lainnya sebagai berikut:

و

عم

ْلاَى

ْوُل

ْو د

َمله

َ ر

ُْق

نَ

و

َ ك

ْس

وت

نَ

بْل

ْع

ْو

َ ف

َ

Artinya:

dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (Surat Al-Baqarah: 233)10

Syarat adil adalah syarat utama dan juga kewajiban seorang suami untuk

dapat melakukannya dalam hal poligami yang harus diperhatikan. Hal ini

sebagaimana dalam firman Allah:

ومل

ْنَ

ت

ْس

ت ط

ْيع

ْو

ماَا

َْت

َْع

ُلْو

بَا

ْين

َْلا

ِن

س

ِءَ

ومل

ْو

ح

ْص

تَْم

َمفم

َتَ

ْيُ

ْو

ُكَا

َلَ

ْاَمل

ْي ل

َمفت

مر

ْو

َ

مكَ

َْل

َعَ

مقَ

َو

اْ

َ

ت

ْص

ح

ْو

وَا

تتُق

ْو

مفَا

إَ

َ

َها

َ

مك

مَ

مغُف

ْوًر

َرَا

حْي

ًَ

Artinya:

dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu. Walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai. Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat An-Nisa: 129)11

9Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 194.

(35)

27

Terdapat dalam al-Quran namun juga ada dalam hadist nabi dalam hal

ketentuan adil, bahwa adil ini diharus terus meneru dinilai dalam jumlah hari

yang sama, setidaknya untuk awal-awal perkawinan. Sebagaimana telah

dijelaska dalam hadis Muttafaq ‘alaih dari Anas bin Malik menyatakan sebagai

berikut:

ح

مثن

يَ

ْو

س

َف

َْب

نَ

ر

شا

َ َ

َح

مثن

مأَب

ُأَو

َس

مَم

َع

َْنَ

س

ْفي

مَ

ح

منث

َأَ

يو

َ

َ ل خو

َ

مأَنع

قَي

ما

ب

ْنعَ

َ

مأ

سن

َمق

نمَ

َ

سلا

ن

َ إ

تَا

زّو

َ

ُلج لا

َ

لا

ك

َ

ِثلاَى ع

بي

َ

َ قأ

ََ ع

ن

ًَع سَ

مقوَ

س

َمَ

تَا إو

زّو

َ

َثلا

بي

َ

لاَى ع

ك

َ

َ قأ

َ

َمثَ نع

ما

ًث

ُثَ

مقَم

س

مَ

بأَ ق

قَو

با

َملوَ

ْوَ

شْ

ت

ََمل

ُقَْ

ت

ََ إ

َ َمأ

ن

رَ س

مفع

َهَ

ملإ

َى

ّنلا

صَي

َ

َههاَى

َ

مع

هي

َ

ََسو

مَ

مقو

ْعَ

ََ

لا

ا

َ

ْخأ

ْ

سَ ن

يف

َُ

ْنع

َيأ

و

َ

ل خو

َ

ل خَ ق

َ

َملو

ْوَ

شْ

ت

َُقْ

َت

َر

مفع

َهَ

َملإ

َ

نلا

صَي

َ

ههاَى

َ

مع

هي

َ

َسو

م

Artinya:

Yusuf bin Rasyid Ceritakan kepada kami, Abu Usamah dari Sufyan ceritakan kepada kami, Ayyud dan Kholid dari Abinya Qilabah ceritakan kepada kami dari Anas Berkata: Termasuk sunnah, apabila seorang laki-laki menikahi gadis (al-bikr) atas janda (al-sayyib) maka ia bermukim padanya tujuh hari, kemudian menggilir (yang lainnya), dan apabila ia menikahi janda maka ia bermukim padanya tiga hari baru menggilir (yang lainnya). Abu Qilabah Berkata seandainya Aku menghedaki aku akan berkata: sesungguhnya Anas telah menceritakannya kepada Nabi. Dan berkataa Abdur Razaq menceritakan kepada kami Sufyan dari Ayyub dan Kholid, Kholid berkata seandainya aku menghendaki aku mengatakan telah menceritakannya kepada Nabi Muhammad Saw. (Muttafaqun Alaih)12

ح

نث

ْساَ

ع

ُلي

َ

َحَ ق

مث

سَي

ْي

ََُْب

نَ

ب

َ ا

َ

َ ق

َ ش

َْب

نَ

ع

ومة

َما

ْخ

ن

ماَي

َعَي

َعَن

ِء

مش

َ

ر

ض

ههاَي

َع

ْن

َ:َ

َمأ

رَّم

م وس

َ

ِها

َ

َصُ

ههاَى

َ

مع

هي

َ

َسو

م كََم

َ

مَيَُ مأْسي

ض

هَ

ََلا

َمَ

ََ

ف هي

يَ،

نيأَ:ُ وق

َمأ

مأَ،اً مغَ ن

ني

َ

يَ ي يَ؟؟اً مغَ نأ

عَ و

ئ

مش

مفََ،

َمأ

ملَم

ْ أَه

يَهجاو

حَُ وك

َ،َء شَُثي

12 Al-Bukhari, Al-Sindi, S{ah{i>h{ al-Bukh{a>ri bih{a>siyat al-Ima^m al-Sindi (Beirut: Da>r al-Kutub

(36)

28

مف

م ك

َ

بَي

َ تي

َ

ئ ع

مش

حَ،

ت

مَى

َ ع

ن

مقَ.

مل

َْت

َ

ئ ع

ُش

َ:

«

ْلاَيَ ف

يْو

َ

َرو يَ كَ ّملا

هي فَّيمع

َ

بَي

ْي ت

مفَي

مق

ض

هَ

هَها

او

ََ

َرْأ

س

هَمل

ْين

َن

ْح

وَ

َس

ْح

خوَ

َمل

مط

َ ر

َْيُق

هَ

رَْي

ق

ي

Artinya:

Ismail Menceritakan kepada kami dia berkata: menceritakan kepadaku Sulaiman bin Bilal, berkata Hisyam bin Urwah Mengabarkan Ayahku menceritakan kepadaku tentang Aisyah ra: Sesungguhnya Rasulullah Saw. Dalam waktu sakit menjelang wafat bertanya. “Di mana aku besok, beliau menghendaki hari giliran “Aisyah, maka isteri-isteri beliau (lainnya) mengizinkan seperti beliau kehendaki, maka beliau di rumah ‘Aisyah sehungga Mati di sisinya, Aisyah Berkata lalu Rasulullah wafat dihari dimana beliau sedang berada dirumahku, Allah menabut nyawanya ketika kepala beliau ada di pangkuannya. (Muttafaq ‘alaih).13

C. Syarat-Syarat Poligami

Ada yang perlu diperhatikan apabila hendak menikahi lebih dari

seorang itu adalah sebuah pengecualian, karena itu disertai dengan

alasan-alasan, syarat-syarat dan juga tujuan yang mendesak. Pembatasan-pembatasan

itu antara lain adalah:14

a. Poligami tidak diperbolehkan menikahi seorang wanita lebih dari empat

orang sebagaimana yang telah tercantum dalam al-Quran, walaupun ada

beberapa yang berpendapat diperbolehkan mengawinkan 9 orang, yaitu

dengan menambahkann penjumlahan yang ada seperti dua ditambahkan

tiga, ditambahkan empat dan hasilnya sembilan. Penasiran itu tidak

benar adanya.

13 Ibid…, 468.

(37)

29

b. Sebagaimana dalam al-Quran adalah mampu berlaku adil kepada

seluruh kelurganya terutama istri-istri serta anak-anaknya. Namun

apabila tidak sanggup melakukannya lebih baik tidak menikah lebih dari

satu kali dan seterusnya.

c. Hendaknya apabila hendak ingin menikah lagi seharusnya adalah ada

seorang wanita yang mempunyai seorang anak lagi yatim, supaya

laki-laki yang hendak berpoligami tersebut dapat mengasuh anak tersebut.

agar ia dapat berlaku adil terhadap apa yang ada di anak yatim tersebut

baik anak yatim itu sendiri maupun dalam hartanya.

d. Wanita yang hendak dipoligami tidak boleh mempunyai suatu

hubungan persaudaraan baik sedarah ataupun sepersusuan.

Tidak hanya memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah dipaparkan

diatas saja akan tetapi syarat-syarat ini juga harus dipenuhi.15 Ini telah

tercantumkan dalam pasal 4 dan pasal 5 undang-undang perkawinan yang

berbunyi:16

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 3 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

15Ahmad Rofiq, Hukum Islam…, 172.

(38)

30

b. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaiana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

Terdapat juga peraturan dan persyaratan poligami selain

terdapat dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, yakni

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdapat pada bagian IX dengan

judul, “Beristri lebih dari satu orang” yang telah tercantum beberapa

pasal, dimulai dari pasal 55 sampai dengan pasal 58. Yang berbunyi

sebagai berikut:17

Pasal 55

1. Beritri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.

(39)

31

Pasal 56

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimasukkan pada ayat 1 dilakukan menurut tat acara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.18

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau peyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

a. Adanya persetujuan istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukanbagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau Karena sebab lain yang perlu mendapatkan penilaian hakim

(40)

32

D. Prosedur Poligami

Melakukan sebuah pernikahan pasti memiliki aturan dan juga prosedur

yang harus dilalui, namun sama halnya juga dengan melakukan poligami.

Negara juga punya prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh para pihak

bila ingin melakukan poligami sesuai dengan aturan-aturan yang telah berlaku

di Indonesia. Aturan dalam melakukan prosedur poligami itu telah diatur dan

bisa diihat pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Yang terdapat dalam

pasal 40 yang berbunyi:19

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Tugas pengadilan juga telah diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah Tahun

1975 yang bunyinya sebagai berikut:20

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.

b. Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang

ditandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau

iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau

(41)

33

janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal selanjutnya yakni yang terletak pada pasal 43 yang telah

menerangkan bahwasanya pengadilan harus memanggil pihak istri untuk

memberikan keterangan beserta kesaksiannya dalam persidangan perkara

poligami agar tidak hanya secara tertulis namun juga secara lisan dapat diakui

pengakuannya. Akan tetapi pasal ini juga memberikan waktu kepada

pengadilan selama kurang lebih 30 hari atau satu bulan untuk memeriksa,

mempertimbangkan juga memutuskan permohonan poligami ini setelah suami

mampu melengkapi semua persyaratan yang ada.21

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada pasal 43 menyatakan

bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memberikan putusan

kepada pemohon yang hendak melakukan poligami sesuai dengan peraturan

yang ada. Pasal 43 yang berbunyi:22Apabila pengadilan berpendapat bahwa

cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan

memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.

Undang-undang ini sangat memperhatikan dalam seseorang yang

hendak izin poligami, karena izin poligami ini sangat diperhatikan bahwa

Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melakukan pencatatan nikah

21 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,

2004), 165.

(42)

34

sebelum adanya keterangan izin poligami dari pengadilan itu sendiri,

sebagaimana telah diatur dalam pasal selanjutnya yakni Peraturan Pemerintah

No. 9 Tahun 1975 pada pasal 44.

Hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin

untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang

diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan

pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan

dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami

dapat mengajukan banding atau kasasi (ps. 59 KHI). Apabila keputusan hukum

yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka

menurut ketentuan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang

untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri

lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud

dalam pasal 43 (PP No. 9 Tahun 1975).23

E. Hikmah Poligami

Beberapa penjelasan panjang lebar yang menyangkut tentang poligami,

bahwa poligami juga dapat diambil beberapa hikmahnya. Salah satunya yakni

pendapat oleh Ima>mAl-Shobu>ni> yang mengutarakan bahwa hikmah poligami

itu ada tiga hal yakni Pertama, dengan dilakukannya poligami ini bahwa

(43)

35

kehormatan dan juga martabat wanita bisa naik derajatnya dengan sendirinya.

Kedua, apabila poligami ini dilakukan maka dapat terjaga keselamatan seorang

wanita serta keluarganya. Ketiga, bahwa dilakukannya poligami ini dapat

menjaga keselamatan masyarakat umum secara luas. Dan juga Ima>m

As-Shobu>ni> juga berpendapat bahwa poligami ini lebih baik dari pada melakukan

dliluar syariat yang telah dilarang oleh agama, seperti terjadinya

perselingkuhan, perzinahan dan lain-lain. Poligami ini adalah salah satu cara

untuk menyelesaikan permasalahan yang ada pada zaman sekarang ini, seperti

banyaknya jumlah wanita daripada pria. Bahwa poligami dituntut untuk

melakukan sosial masyarakat yang ada.24

Pada pandangan Sayyid Sa>biq bahwa poligami itu hanyalah sebuah

kebolehan saja dalam berpoligami bukannya sebagai kewajiban maupun

sebagai sebuah keharaman untuk dilakukan. Ada beberapa pendapat Sayyid

Sa>biq yang mengenai hikmahnya poligami yakni:25

1. Poligami adalah sebuah anugerah dan juga rahmat Allah yang

diberikan kepada manusia dan Allah juga membatasinya hanya

sampai empat orang istri tidak lebih. Namun ada syarat yang harus

dipenuhi oleh seorang suami bila hendak berpoligmi yakni dengan

syarat kesanggupan untuk berlaku adil baik materiil maupun

imateriil. Apabila tidak sanggup dan tidak mampu untuk berlaku

(44)

36

adil akan bisa mengakibatkan berlaku zalim maka hukumnya haram

baginya untuk kawin lebih dari seorang istri.

2. Bahwa dengan dilakukannya poligami maka semakin banyak pula

keturunan untuk membangun keluarga yang besar bahkan bisa

membangun negara penduduknya yang besar dan mampu

menjadikan sebuah negara itu menjadi negara yang kuat baik dari

segi sumber daya manusianya, ekonominya dll. Karena menurut

salah seorang penyidik asal jerman mengatakan bahwa salah satu

unsur dari kekuatan masyarakat Islam adalah tentang suburnya

keturunan di kalangan masyarakat Islam itu sendiri yang pesat

jumlah penduduknya. 26

Berbeda lagi dalam pandangan M. Sayyid Ahmad yang mengatakan

bahwa poligami itu akan terlihat jelas ketika terjadinya sebuah peperangan dan

juga adanya wabah penyakit yang menimpa, dimana terkadang banyak kaum

wanita lebih banyak yang terkena daripada kaum laki-laki. Maka poligami ini

bisa menjadi dari bermacam-macam masalah baik masalah psikologi maupun

moral. Apabila ada seorang istri yang sakit-sakitan maupun istri tersebut

mengalami sebuah kemandulan oleh karena itu baiknya ia mau untuk bertahan

hidup dengan penuh kehormatan dalam naungan suminya yang bersama istri

lainnya untuk membangun dan membina sebuah hubungan rumah tangga

(45)

37

dengan tanpa adanya perasaan hasud, iri, dengki maupun yang lainnya. Begitu

pula dengan terjadi ditempat-tempat tertentu dengan iklim dan juga cuaca yang

tak menentu yang mana seorang suami tidak cukup apabila hanya dengan

seorang istri, maka dengan melakukan poligami ini dapat menjadi solusi yang

tepat untuk mengatasi hal tersebut.27

2. Contra Legem

Contra Legem merupakan putusan hakim pengadilan yang

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga hakim

tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan

dengan pasal undang-undang sepanjang pasal undang-undang tersebut tidak

lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat.28

Demi terjadinya suatu keadilan, maka hakim dapat bertindak contra

legem, tersebut diperbolehkan dengan alasan, apabila dalam suatu perkara tidak

terdapat aturan yang jelas ataupun aturan yang mengatur suatu persoalan

hukum, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan contra legem,

yaitu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan

Pasal 28 (1) Undang Nomor.4 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat (1)

27 M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Fiqih Cinta Kasih Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, Habiburrahim(Kairo: PT. Gelora Aksara Pratama, 2008), 117.

(46)

38

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan penjelasan

pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah

Agung. Menurut Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa

ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan hakim dapat sesuai dengan

hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ditambahkan menurut penjelasan bagian

umum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NKRI 1945), “Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,

sedang disampingnya Undang-Undang Dasar berlaku juga hukum dasar tidak

tertulis.” Berarti disini disamping dikenal hukum tertulis (hukum nasional) juga

terdapat hukum tidak tertulis yang hidup dan tumbuh kembang dalam

masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai hukum adat. Hukum adat inilah

yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, digali oleh hakim apabila

menemui persoalan ketiadaan aturan hukum yang mengatur suatu persoalan.

Selanjutnya, perlu ditegaskan disini, berdasarkan prinsip di atas maka

hakim Indonesia tidak boleh bersifat legistik, yakni hanya sekedar menjadi

corong atau mulut undang-undang, meskipun memang selalu harus legalistik.

Ditambahkan oleh Bagir Manan, putusan hakim tidak boleh sekedar memenuhi

formalitas hukum atau sekedar memelihara ketertiban putusan hakim harus

(47)

39

harmonisasi sosial dalam pergaulan. Hanya dengan cara itu, menurutnya,

putusan hakim akan benar dan adil.29 Sehubungan prinsip ini pula, jika

ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum,

kepatutan, peradaban dan kemanusian, yakni nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat. Maka menurut Yahya Harahap, hakim bebas dan berwenang

melakukan tindakan contra legem, yakni mengambil putusan yang

bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan.30

Pelaksanaan contra legem oleh hakim dalam memutus suatu perkara

yang belum ada pengaturannya atau kurang jelas aturannya, merupakan

pelaksanaan hukum progresif yang mana dalam ajaran hukum progresif tidak

diperkenanakan untuk terlalu positifis legalistik dalam menjawab suatu

persoalan hukum. Diperlukan upaya-upaya yang progresif yang mana upaya

tersebut memberikan suatu kemanfaatan dan keadilan bagi pihak pencari

keadilan. Hakim yang dalam hukum acara dikatakan sebagai corong

undang-undang, diharapkan mampu bersifat progresif dengan tidak selalu menganggap

kepastian hukum akan memberikan keadilan. Suatu aturan hukum yang utama

dicari adalah keadilan dan keamanfaatan, apabila hal tersebut telah

terealisasikan maka tidak akan lagi terjadi persoalan hukum.

29 Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (Jakarta: Mahkamah Agung R.I, 2005), 212.

(48)

40

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM

MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN

MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN SUNAH NABI MUHAMMAD

SAW DALAM PENETAPAN NO. 1913/PDT.G/PA.SDA

A. Gambaran Umum di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo

a. Lokasi Pengadilan Agama Sidoarjo.

Pengadilan Agama Sidoarjo adalah suatu pengadilan tingkat

pertama yang secara organisasi atau struktur dan finansial di bawah

kekuasaan Mahkamah Agung yang mana Pengadilan Agama tersebut

menangani masalah hukum perdata Islam di Kabupaten Sidoarjo. Sesuai

dengan keberadaannya, maka lembaga peradilan agama ini harus mampu

melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang hukum terutama mengenai

masalah hukum kekeluargaan.1

Pengadilan Agama Sidoarjo kelas I-B memiliki wilayah kerja

berada di Kabupaten Sidoarjo yaitu di 112,5o s/d 112,9o Bujur Timur dan

7,3o s/d 7,5o Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Utara : Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik

b. Selatan : Kabupaten Pasuruan

(49)

41

c. Timur : Selat Madura

d. Barat : Kabupaten Mojokerto

Kantor Pengadilan Agama Sidoarjo berada dalam wilayah yang

strategis di Jl. Hasanuddin No. 90 Sekardangan Kecamatan Sidoarjo

Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, Kode pos 61215 Telp. (031) 8921012.

Sehingga untuk menjangkau kantor Pengadilan Agama Sidoarjo,

masyarakat dapat menggunakan fasilitas transportasi umum yang tersedia

di Sidoarjo.

b. Dasar Hukum Berdirinya

Peradilan

Referensi

Dokumen terkait