ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI
TERHADAP DITERIMANYA IZIN POLIGAMI KARENA INGIN
MENDIDIK DAN MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN
SUNNAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM PENETAPAN NO.
1913/PDT.G/2015/PA.SDA
SKRIPSI
Oleh : Muhammad Saliim
NIM : C71213129
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan dalam memutuskan perkara yang berjudul “Analisis Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dan KHI Tentang diterimanya izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai sunnah Nabi
Muhammad SAW. No.1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.” bagaimana dasar
pertimbangan hakim dan bagaimana analisis yuridis terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
Data penelitian ini diperoleh dari pengadilan Agama Sidoarjo yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, wawancara, dan tehnik pustaka yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pola deduktif, yaitu menggambarkan hasil penelitian secara sistematis dengan masalah khusus yang berupa salinan putusan Nomor 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda ini melalui teori atau dalil yang bersifat umum tentang Perkawinan, Poligami selanjutnya ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian ini Bahwa hakim mengambil pertimbangannya adalah Pertama, melihat situasi dan kondisi calon istri kedua pemohon secara mental yang karena trauma terhadap rumah tangga masa lalu yang KDRT. Pemohon & Termohon lebih besar jika tidak diizinkannya melakukan Poligami. Kedua, berlandaskan Al-Quran bahwa hanya adil syaratnya. Ketiga, sudah adanya persetujuan dari istri pertama, terpenuhi secara materi maupun non materi oleh pemohon dan sanggup adil dengan membuat surat pernyataan. Bahwa walaupun dalam undang-undang hakim mengabaikannya akan tetapi hakim melihat kondisi lain yang lebih penting, lebih banyak maslahatnya menerima izin poligami tersebut. bahwa alasan poligami ini berbeda dari UU. Hakim boleh memberikan putusan yang berbeda, akan tetapi jika itu terus dilakukan maka pembatasan peraturan poligami secara ketat akan terjadi lemah dan mudahnya berpoligami. Penulis setuju apa dilakukan hakim karena hakim dinilai tepat & sesuai pasal 4 ayat 2 UU No. 1 1974 & UU No. 48 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 1 ayat 1.
Analisis yang telah dipaparkan, kiranya para hakim sebaiknya melihat teori secara umum dan mendalam baik menggunakan teori yuridis/hukum Islam, yang pada prinsipnya mewujudkan ‘kemanfaatan’ kepada semua umat manusia,
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ………. i
PERNYATAAN KEASLIAN ………. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii
PENGESAHAN ……….. iv
ABSTRAK ……….. v
DAFTAR ISI ………... vi
DAFTAR TRANSLITERASI ………. viii
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
A.Latar Belakang ……… 1
B.Identifikasi Dan Batasan Masalah ……….. 8
C.Rumusan Masalah ……….. 10
D.Kajian Pustaka ……… 10
E.Tujuan Penelitian ……… 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ………. 13
G.Definisi Operasional ……….. 14
H.Metode Penelitian ……….. 15
I. Sistematika Pembahasan ……… 20
BAB II SYARAT-SYARAT IZIN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU ………. 22
1. Poligami ……….. 22
A. Pengertian Poligami ………. 22
B. Dasar Hukum Poligami ……… 23
C. Syarat-syarat Poligami ………. 27
D. Prosedur Poligami ……… 31
E. Hikmah Poligami ………. 33
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM
MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN
MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN SUNNAH NABI
MUHAMMAD SAW DALAM PENETAPAN NO. 1913/PDT.G/PA.SDA 40
A. Gambaran Umum di Pengadilan Agama Sidoarjo ……… 40
1. Lokasi Pengadilan Agama Sidoarjo ……… 40
2. Dasar Hukum Berdirinya ……… 41
3. Visi dan Misi ……….. 42
4. Tugas Pokok dan Fungsi ……… 43
5. Yuridiksi Pengadilan Agama Sidoarjo ………... 46
6. Struktur Organisasi ………. 47
B. Deskripsi Perkara Diterimanya Izin Poligami Karena Ingin Mendidik Dan Menolong Calon Istri Sesuai Dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW di Pengadilan Agama Sidoarjo ……….. 48
1. Deskripsi Singkat Perkara ……….. 48
2. Dasar Pertimbangan Hakim ……….……….. 51
3. Putusan Tentang Izin Poligami .…..………... 54
BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENAN SUNNAH NABI MUHAMMAD SAW ……… 61
A. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Tentang Izin Poligami di Pengadilan Agama Sidoarjo ……….. 61
B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Izin Poligami Pada Putusan No.1913/Pdt.G/PA.Sda ……… 65
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ………. 74
B. SARAN……….. 75
DAFTAR PUSTAKA ……… 75
1
BAB I
ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI TERHADAP
DITERIMANYA IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN
MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN SUNAH NABI MUHAMMAD
SAW DALAM PENETAPAN NO. 1913/PDT.G/2015/PA.SDA
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara
seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim serta menimbulkan hak
dan kewajiban antara keduanya. Kata lain, perkawinan menimbulkan peranan
dan tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga, baik masing-masing
maupun sendiri-sendiri.1
Kedamaian dan kebahagiaan suami-isteri sangat bergantung pada
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dalam perjanjian tersebut. Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mi>tha>qan ghali>z}a>n untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah, dan perkawinan tersebut bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang saki>nah mawaddah dan rahmah.2
1
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 337.
2
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat beberapa
prinsip yang menjamin terciptanya cita-cita luhur dari perkawinan. Dari
undang-undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan dapat lebih
sempurna dari masa-masa yang sudah-sudah.3 Dijelaskan pada pasal 1
dijelaskan perkawinan yaitu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”4 Perkawinan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan
terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Agar suami istri dapat
membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta kekal, maka diwajibkan
kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih dahulu. Perkenalan yang
dimaksud di sini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari
norma agama yang dianutnya.5
Dalam bukunya Titik Triwulan Tutik yang berjudul Hukum Perdata
dalam Sistem Hukum Islam menjelaskan bahwa perkawinan adalah persekutuan
hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara normal
3 Arso Sosroatmodjo, Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 35.
3
dengan Undang-undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga religius, menurut
tujuan suami istri dan Undang-undang.6
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan
selalu terjun dalam suatu realita, yang mendidik dan menjauhkan diri dari sikap
teledor dan bermalas-malasan.7 Islam tidak mengizinkan asketisme dan
mengorbankan kebutuhan-kebutuhan fisik yang alami dan fitrah, menurut
Islam, segala segala naluri seksual atau bukan, harus dipenuhi dalam
batas-batas yang wajar. Islam tidak membenarkan seseorang menuruti hawa nafsunya
yang tak terpuaskan.8 Beristri itu adalah cara legal dan halal untuk menyalurkan
hasrat seksual seseorang. Sebagaimana harta dan kekuatan, syahwat seks juga
berpotensi menjebak kita untuk masuk kedalamnya, berburu kenikmatan,
sehingga menjadi lupa diri.9
Pada kenyataannya, ada seorang pria yang beristeri hanya satu orang,
ada yang secara diam-diam berhubungan dengan wanita lain. Perbuatan ini
bukan hanya melanggar hak syariat, tetapi juga tata krama dan etika kepada
masyarakat umum yang tidak pantas untuk dilakukan. Tidak ada satu pihakpun
yang diuntungkan oleh perbuatan tersebut, baik yang berbuat maupun
masyarakatnya. Hal ini yang bisa menghancurkan kesucian perkawinan, yang
6 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 100. 7 Yusuf Qaradhawi, Hal wal Haram fil Islam, yang diterjemahkan oleh Tim Kuadran dengan judul Halal dan Haram (Bandung: Penerbit Jabal, 2007), 198.
8 Ibnu Mustafa, Perkawinan Mut’ah dalam Perspektif Hadist dan Tinjauan Masakini (Jakarta: Lentera, 1999), 70.
4
mana hubungan suami isteri tidak lebih dari sekedar hubungan seks tanpa kasih
sayang.10
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata ‘poli” dan “gami”. Secara
etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya
beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu ‘seorang laki-laki
mempunyai lebih dari satu istri”. Atau, “seorang laik-laki beristri lebih dari
seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.11
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah “Poligami” yang sudah popular
dalam masyarakat. menurut undang-undang perkawinan ini adalah perkawinan
yang bersifat monogami, namun demikian beristri lebih dari satu orang dapat
dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya.
Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa
alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan
lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari satu orang baru
dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam
pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang
harus ada alasan-alasan yaitu (1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
10 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshory AZ, Problematika Hukum Islam dan Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996),105.
5
sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan
secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif.
Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.12
Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi,
maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya
syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya,
kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan dari material
dari orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang; dan (3) jaminan
berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku
adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-syarat ini
sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama memberi
izin kepada pemohon untuk melaksanakan perkawinan lebih dari satu orang.
Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana
ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum
dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam
pasal 44 dan 45 undang-undang perkawinan ini.13
hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat (2) dan pasal 57 Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang
6
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.14
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal
yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin
lebih dari satu orang tanpa adanya peraturan untuk membatasinya secara ketat,
maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan
rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua)
menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus
kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. hal ini
biasanya terjadi kalau ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat
negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari
satu orang, maka undang-undang Perkawinan ini membatasinya secara ketat
pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal
membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan
syarat-syarat tertentu.
Undang-undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat kepada
mereka yang melaksanakannya.15 Sebagaimana Allah SWT. berfirman:
14 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 83.
7
َوِإ
ْ
ِخ
ْف ت
ْم
َاَل
ت
ْق
ِس
ُط
ْو
ِف ا
ْلا ى
َيَت
َ
َف ى
ْنِك
ح
ْو
َم ا
َط
َ
َل
ُك
ْم
ِم
َن
ِنلا
َس
ِء
َمْثَن
َو ى
ُث َل
َث
َو ر
َب ع
َفِإ
ْ
ِخ
ْف ت
ْم
َا َل
َت
ْعِ
ُل
ْو
َف ا
َو
ِحا
ًة َا
ْو َم
َم
َلَك
ْت
َاْي
ََن
ُك
ْم
َِل
َك
َا
ْد
َن
َا ى
َل
َت
عْو
ُلْو
ا
Artinya:“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawiniah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawininilah seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa: 3)
Maksud ayat tersebut adalah jika seorang laki-laki merasa yaitu tidak
dapat berbuat adil kepada anak-anak perempuan yatim, maka carilah
perempuan lain. Pengertian semacam ini dalam ayat tersebut bukanlah sebagai
hasil dari pemahaman secara tersirat, sebab para ulama sepakat bahwa siapa
yang yakin dapat berbuat adil terhadap anak perempuan yatim, maka ia berhak
untuk menikahi wanita lebih dari seorang. Sebaliknya, jika takut tidak dapat
berbuat adil ia dibolehkan menikah dengan perempuan yang lain16
Meski telah disebutkan dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun
1974 dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang syarat-syarat poligami
baik yang alternatif maupun yang kumulatif diharuskan memenuhi persyaratan
yang telah disebut di atas, akan tetapi terdapat realitas putusan tentang poligami
yang tidak memenuhi persyaratan yang telah dicantumkan dalam
undang-undang tersebut. Salah satu penyebab apabila terjadi kurangnya salah satu
syarat izin poligami maka seorang hakim harus bisa menolak apabila terjadi
16 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK
8
yang seperti itu. Seperti syarat dari alternatif alasan-alasannya yaitu (1) Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat
melahirkan keturunan. Terdapat juga syarat-syarat kumulatif yaitu (1)
persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka
majelis hakim; (2) kemampuan dari material dari orang yang bermaksud
menikah lebih dari satu orang; dan (3) jaminan berlaku adil terhadap
istri-istrinya.17
Adapun terdapat di Pengadilan Agama Sidoarjo bahwa disana
mengizinkan adanya poligami yang dengan alasan dikarenakan ingin mendidik
dan menolong calon istri sesuai Sunah Nabi Muhammad SAW. menjadi hal
yang baru dan hakim dinilai bersikap Contra Legem (tindakan hakim yang tidak
sesuai dengan undang-undang yang berlaku).
Adapun dari penjelasan di atas, maka penulis ingin melakukan
penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini yang berjudul: “Analisis
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KHI Terhadap Diterimanya Izin Poligami
Karena Ingin Mendidik Dan Menolong Calon Istri Sesuai Dengan Sunnah
Nabi Muhammad Saw Dalam Penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/Pa.Sda”.
9
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari penjelasan latar belakang yang telah penulis paparkan tersebut,
maka dapat dicantumkan identifikasi masalah sebagai berikut:
a. Keadilan dalam poligami
b. Proses kasus poligami
c. Kontroversi poligami
d. Pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan izin poligami karena ingin
mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad
SAW. dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
e. Tinjauan undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam majelis hakim terhadap dikabulkannya izin poligami karena
ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi
Muhammad SAW. dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
Berdasarkan penguraian-penguraian masalah yang ada tersebut diatas
maka dipandang perlu diberikan fokus masalah, maka peneliti hanya
membatasinya 2 hal yakni pada:
1. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memberikan izin
poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan
Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan No.
1913/Pdt.G/2015/PA.Sda
2. Analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo
10
calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan
No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam
memberikan izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri
sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan No.
1913/Pdt.G/2015/PA.Sda?
2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan
Agama Sidoarjo dalam memberikan izin poligami karena ingin mendidik
dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW.
dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka bertujuan adalah untuk melihat beberapa perbedaan
mendasar antara penelitian yang dilakukan dengan kajian atau penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya. Setelah mencari dan melakukan penelusuran,
ada dari beberapa skripsi yang membahas tentang izin poligami, dan ada
11
1. Skripsi yang ditulis oleh Nurul Mahmudah dengan judul “Analisis Yuridis
Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo Dalam
Perizinan Perkara Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Surat
Izin Atasan” Tahun 2015, dari penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa
dari hasil penelitian tersebut hakim berpendapat bahwa melakukan hal ini
sebagai salah satu cara hakim untuk merealisasikan prinsip
kemandirian/kebebasan hakim yang telah ditentukan dalam kekuasaan
kehakiman yang ada dalam undang-undang No. 48 tahun 2009. Salah satu
syarat dalam kekokohan negara hukum yaitu kekuatan kehakiman yang
merdeka. Namun menurut beberapa hakim yang lainnya, meski pengadilan
memiliki otoritas dalam memberikan otoritas hukum, perlunya hakim
mengetahui maslahat bagi termohon yang notabene PNS, Perlunya
pemerintah untuk menegakkan peraturan pemerintah yang telah diatur
untuk PNS adalah salah satu cara menegakkan hukum, jika terus berpijak
pada sisi toleransi hukum hakim yang mengenyampingkan peraturan
pemerintah tersebut, maka peraturan pemerintah ini pastinya akan selalu
dilanggar oleh PNS, karena dalam prakteknya tidak semua PNS yang
melanggar Peraturan Pemrintah mendapat sanksi yang ditetapkan.18
12
2. Skripsi yang ditulis oleh Prisca Nindya Puspita yang berjudul “Analisis
Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Tentang Izin
Poligami Dalam Putusan No. 1821/Pdt.G/2013/PA.Sda”, dari penelitian ini
menyimpulkan bahwa hakim memberikan izin poligami kepada pemohon
adalah sebagai upaya perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada
calon anak pemohon yang dikandung calon istri kedua pemohon, karena
kondisi bahaya (dharar) yang hanya bisa dihilangkan dengan perkawinan
pemohon dan calon istri kedua pemohon.19
3. Skripsi yang ditulis oleh Hendrik Suprianto berjudul “Analisis Hukum
Islam Terhadap Izin Poligami di Pengadilan Agama Pasuruan (Studi
Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami di Pengadilan Agama
Pasuruan Tahun 2007)” di sana dipaparkan mengenai apa saja yang menjadi
alasan-alasan izin poligami di Pengadilan Agama Pasuruan Tahun 2007 dan
Analisis Hukum Islam terhadap alasan-alasan izin poligami di Pengadilan
Agama Pasuruan tahun 2007. Pada skripsi tersebut hanya memilah-milah
alasan-alasan izin poligami yang ada pada undang-undang kemudian
mencari apa dasar hukum hakim dalam memberikan izin poligami dan
analisis hukum Islam tentang poligami.20
19Prisca Nindya Pupita yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim
Tentang Izin Poligami Dalam Putusan No. 1821/Pdt.G/2013/Pa.Sda”, (Skripsi_Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013).
20
13
Dari beberapa kajian pustaka yang telah terdapat diatas kita dapat
menemukan sebuah perbedaan dengan skripsi ini bahwasanya alasan
berpoligami dari pemohon ini cukuplah menarik yakni dengan alasan ingin
mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan sunah Nabi Muhammad
SAW. yang terletak di Pengadilan Agama Sidoarjo. Putusan hakim ini tidak
sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai
beberapa tujuan di antaranya yaitu:
1. Mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama
Sidoarjo dalam memutuskan perkara No. 1913./Pdt.G/2015/PA.Sda.
2. Menganalisis putusan Pengadilan Agama Sidoarjo dari segi yuridis pada
perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna
dalam beberapa hal sebagai berikut seperti:
1. Aspek Teore
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk
14
khazanah ilmu pengetahuan dalam arti membangun, memperkuat dan
menyempurnakan teori yang sudah ada. Dan juga memperkaya khazanah
pemikiran dalam hukum Islam khususnya di bidang hukum keluarga.
2. Aspek Praktis
Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan penambah ilmu pengetahuan
yang bersifat empiris, khususnya yang berkaitan dengan permohonan izin
poligami di Pengadilan Agama.
G. Definisi Operasional
Adapun mendapatkan gambaran dan pandangan yang jelas dan untuk
menghindari kesalahpahaman pembaca dalam mengartikan judul skripsi ini,
maka penulis memandang perlu untuk mengemukakan pengertian
masing-masing variabel secara tegas dan spesifik dari judul “Analisis Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Dan KHI Terhadap Diterimanya Izin Poligami Karena
Ingin Mendidik Dan Menolong Calon Istri Sesuai Dengan Sunnah Nabi
Muhammad Saw Dalam Penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/Pa.Sda” sebagai
berikut:
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 : Sebuah peraturan tertulis yang telah
disahkan oleh penguasa atau pemerintah untuk mengatur negara tersebut
15
mengikat. Sebagai pembaharuan baru dalam peraturan perkawinan di
Indonesia
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) : Merupakan rangkuman dari berbagai kitab
yang ditulis oleh ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi
pada pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke
dalam satu himpunan.
3. Poligami : Seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi
paling banyak adalah empat orang. karena melebihi dari empat berarti
mengingkari kebaikan yang disyariatkan oleh Allah bagi kemaslahatan
hidup suami istri.21 Di buku lain terdapat sedikit perbedaan pengertian yaitu
Ikatan perkawinan dalam hal suami mengawini lebih dari seorang isteri
dalam waktu bersamaan.22
4. Suri Tauladan Nabi : Isi aturan agama yang didasarkan atas segala apa yang
dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. yang menyangkut hal tentang
poligami. Sebuah perbuatan yang bersifat anjuran bukan kewajiban.
H. Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu jenis penelitian
yang bersifat yuridis normatif bersifat kualitatif. Data primer yang digunakan
21Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK…,
131.
16
dalam penelitian ini adalah Salinan putusan hakim, yakni putusan perkara No.
1913/Pdt.G/2015/PA.Sda. agar penulisan ini tersusun dengan baik dan benar
maka penulis memandang perlunya adanya untuk mengemukakan metode
penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:
1. Data yang dihimpun
Supaya dalam pembahasan skripsi ini dapat dipertangungjawabkan
dan juga relevan dengan permasalahan yang dibahas, maka penulis
membutuhkan data sebagai berikut:
a. Data pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Sidoarjo tentang
izin poligami perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
b. Undang-undang poligami baik No. 1 Tahun 1974 dan juga KHI dalam
menyelesaikan tentang perkara izin poligami No.
1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
2. Sumber Data
Penelitian ini, sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana
data dapat diperoleh dalam arti lain sumber data adalah semua informasi
baik yang merupakan benda nyata, sesuatu yang abstrak, peristiwa/gejala
baik secara kuantitatif ataupun kualitatif. penelitian ini menggunakan dua
sumber, yaitu:
a. Sumber primer, yaitu dokumen Salinan putusan Pengadilan Agama
Sidoarjo perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda. tentang izin poligami
17
Muhammad SAW. data diperoleh langsung dari sumber utama yaitu
para hakim Pengadilan Agama Sidoarjo.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada peneliti, seperti literatur-literatur mengenai
poligami, antara lain:
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
3. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana: 2006)
4. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003)
5. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1999)
6. Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas
Syari’ah Komponen MKDK (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada bagian ini akan dikemukakan persoalan metodologis yang
berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan data.23 Menghimpun data,
penulis menggunakan teknik atau dengan cara sebagai berikut:
23
18
a. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data yang terkait topik penelitian yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan semacamnya.
Sedangkan obyeknya adalah benda mati.24 Mencari penelitian
menggunakan sebuah catatan, rekaman wawancara dengan informan dan
buku-buku yang digunakan untuk mencari data.
Menggunakan dokumentasi ini, peneliti mendapatkan data tentang
prosedur permohonan izin poilgami, berita acara persidangan, dan isi
putusan Pengadilan Agama Sidoarjo perkara No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
tentang izin poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri
sesuai Sunnah Nabi Muhammad SAW.
b. Wawancara
Peneliti menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh
informasi-informasi dari informan secara langsung dengan bertatap muka.25
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi
terstruktur.26 Artinya wawancara dengan perencanaan, di mana peneliti
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis
24Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),
231.
19
dan lengkap untuk mengumpulkan data-datanya. Wawancara terstruktur ini
digunakan untuk mewawancarai para hakim Pengadilan Agama Sidoarjo.
c. Teknik Pustaka
Mencari dan juga menelaah literatur-literatur dan juga buku-buku
yang mengenai tentang poligami secara umum. Contohnya dalam telaah
pustaka ini adalah Fiqh Munakahat, Hukum Perdata Di Indonesia, Praktik
Prostitusi Gigolo Ala Yusu Al-Qardhawi, Tafsir Al-Azhar dll.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah mendapatkan seluruh data-data yang ada baik data primer
maupun sekunder maka kemudian data tersebut dikelola sebagai berikut:
a. Editing (Pemeriksaan data) yakni memeriksa kembali data-data tentang
izin poligami yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan,
keterkaitan dan kejelasan antara data satu dengan data yang lainnya.
b. Organizing, yakni penulis data tentang macam-macam hal poligami
secara umum ataupun yang secara spesifik kemudian diatur dan disusun
sehingga menjadi sebuah satu kesatuan yang teratur. Selanjutnya semua
data yang diperoleh akan disusun secara sistematis untuk dijadikan
sebagai bahan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis dengan pola pikir
20
dalam hal ini tentang pertimbangan hukum hakim dalam menerima izin
poligami karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan
Sunah Nabi Muhammad SAW. dalam penetapan No.
1913/Pdt.G/2015/PA.Sda. kemudian di Analisa menggunakan teori yuridis
yakni undang-undang. Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang
berangkat dari variabel data yang bersifat umum dalam hal ini yuridis
kemudian diaplikasikan ke dalam variabel yang bersifat khusus dalam hal
ini dasar pertimbangan hukum hakim dalam menerima izin poligami karena
ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi
Muhammad SAW.
I. Sistematika Pembahasan
Berdasarkan permasalahan yang dibahas maka penulisan skripsi
disusun dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab
adalah sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan, bab ini berfungsi sebagai pola umum
yang menggambarkan seluruh bahasan skripsi ini yang di dalamnya mencakup:
21
Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi
Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.27
Bab kedua, landasan teori, bab ini membahas tentang tinjauan umum
tentang poligami dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang meliputi pengertian poligami, syarat poligami,
prosedur poligami, hikmah poligami, sejarah poligami, poligami dalam UU No.
1/1974. Kompilasi Hukum Islam dalam Bab IX Pasal 55-59 tentang beristri
lebih dari satu orang.
Bab ketiga, memuat atas penelitian yang berkenaan tentang putusan
penetapan dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo tentang
perizinan poligami yang meliputi deskripsi Pengadilan Agama Sidoarjo yang
berguna untuk mengetahui kondisi lapangan yang digunakan sebagai lokasi
penelitian, dan dasar hukum hakim dalam memutuskan perkara izin poligami
karena ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi
Muhammad SAW. serta pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo
dalam memutuskan perkara poligami karena ingin mendidik dan menolong
calon istri sesuai dengan Sunah Nabi Muhammad SAW. dari pembahasan bab
ini peneliti dapat mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Peneliti.
27Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: Syariah dan Hukum,
22
Bab keempat, merupakan kajian analisis putusan permasalahan dalam
penelitian ini. Bab ini berisi tentang analisis yuridis terhadap pertimbangan
hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memberikan izin poligami karena
ingin mendidik dan menolong calon istri sesuai dengan Sunah Nabi
Muhammad SAW. dalam penetapan No. 1913/Pdt.G/2015/PA.Sda.
Bab kelima, penutup, bab ini merupakan bagian akhir yang berisi
kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dalam keseluruhan penelitian
23
BAB II
POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
1. Poligami
A. Pengertian Poligami
Poligami itu dalam pandangan Soemiyati adalah terjadinya sebuah
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam waktu
yang bersamaan. Hukum Islam sendiri menikahi seorang wanita lebih dari
seseorang istri itu diperbolehkan, akan tetapi hanya dibatasi maksimal sampai
4 orang tidak lebih dari apa yang telah disyariatkan.1
Pada referensi yang lain poligami itu sendiri adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki untuk bisa beristri lebih dari seorang, dan
perkawinan tersebut hanya boleh dibatasi maksimal sebanyak empat orang.
Namun apabila seorang tersebut melanggar dan juga melebihi dari apa yang
telah ditentukan maka ia telah mengingkari kebaikan syariat yang telah
diberikan oleh Allah untuk menjadi kemaslahatan dalam menjalankan
kehidupan rumah tangga antara seorang suami dan istri.2 Pengertian Poligami
yang lain juga adalah “perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam
1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan) (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 74.
24
tanggungannya dua sampai empat orang istri, tidak boleh lebih darinya.”3
“Kata-kata “poligami” terdiri dari kata ‘poli” dan “gami”. Secara etimologi,
poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristri
banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih
dari satu istri”. Atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi
dibatasi paling banyak empat orang”.” 4
Referensi lain juga telah disebutkan bahwa poligami itu adalah sebuah
hubungan ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
suami tersebut mengawini lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan,
namun bukan saat terjadinya ijab dan kabul akan tetapi menjalankan sebuah
kehidupan rumah tangga.5
B. Dasar Hukum Poligami
Poligami adalah suatu peraturan beda dari agama lain yang aturan untuk
melakukannya cukup berat yakni adil dalam segala hal. Poligami Suatu
pemberian Allah terhadap hambanya dan asal hukum poligami itu sendiri
adalah Mubah (boleh). Allah telah menurunkan aturan ini dalam kitab-Nya
bahwa Allah memperbolehkan seorang laki-laki untuk berpoligami lebih dari
3 Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami (Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2003), 25.
4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003), 129.
25
seorang istri dengan hanya sampai batasan empat orang saja. seorang suami ini
harus mampu berbuat adil terhadap istri-istri dan juga anak-anaknya kelak.
apabila seorang suami ini tidak mampu ataupun khwatir bila dapat menzalimi
istri-istri dan anak-anaknya, maka poligami itu dihukumi haram dilakukan
olehnya.6 Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat al-Nisa’ (3):
مفَعبروَمثمُثوَىنْثمَِء سِنلاَن مَْمُكملَ َ مطَ مَاْوح كْن مفَى تيْلاَى فَاْوُطِسْقتَ َلماَْمتْف خَْ إو
َْ َ إ
ْعتَ َلماَْمتْف خ
اْوُلْوعتَ َلماَىنَْدماَك لمَْمُكن ْيماَْتمكممَ مْوماًَة حاومفَاْوُلَ
Artinya:
“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawiniah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawininilah seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. An-Nisa:3)7
Ayat diatas telah dipaparkan dan menurut pendapat Nasiri menjelaskan
sebagai berikut:
Ayat di atas, merupakan salah satu keterangan /dasar hukum yang sangat terkenal unutk mengetahui hukum poligami dalam agama Islam. Dengan kata lain, jika ada pembahasan poligami, dapat dipastikan ayat inilah (Q.S. al-Nisa’:3), satu-satunya yang paling laku diguakan. Wajar, Karena ayat tersebut memang berisi penjelasan kebolehan poligami, atau menikah lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama, dengan jumlah maksimal empat orang istri, dengan syarat yaitu adil. Jika hawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup dengan satu istri saja (monogami).8
6 Nasiri, Praktik Prostitusi Gigolo Ala Yusuf al-Qardawi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar (Surabaya: Khalista, 2010), 52.
7 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran Terjemah Indonesia (Jakarta: Departemen RI,
1988), 140.
26
Menurut pendapat Ahmad Rofiq tentang ketentuan ayat di atas tersebut
adalah sebagai syarat utama dalam melakukan hal poligami sebagai seorang
suami dalam berlaku adil terhadap istri-istrinya sebagai jaminan dalam
menjalakan sebuah hubungan rumah tangga yakni berpoligami, baik adil dari
segi nafkah sehari-hari, tempat tinggal ataupun untuk kebutuhan yang lainnya.9
Selain ayat-ayat di atas adapula ayat lainnya sebagai berikut:
و
عم
ْلاَى
ْوُل
ْو د
َمله
َ ر
ُْق
نَ
و
َ ك
ْس
وت
نَ
بْل
ْع
ْو
َ ف
َ
Artinya:dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (Surat Al-Baqarah: 233)10
Syarat adil adalah syarat utama dan juga kewajiban seorang suami untuk
dapat melakukannya dalam hal poligami yang harus diperhatikan. Hal ini
sebagaimana dalam firman Allah:
ومل
ْنَ
ت
ْس
ت ط
ْيع
ْو
ماَا
َْت
َْع
ُلْو
بَا
ْين
َْلا
ِن
س
ِءَ
ومل
ْو
ح
ْص
تَْم
َمفم
َتَ
ْيُ
ْو
ُكَا
َلَ
ْاَمل
ْي ل
َمفت
مر
ْو
َ
مكَ
َْل
َعَ
مقَ
َو
اْ
َ
ت
ْص
ح
ْو
وَا
تتُق
ْو
مفَا
إَ
َ
َها
َ
مك
مَ
مغُف
ْوًر
َرَا
حْي
ًَ
Artinya:dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu. Walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai. Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat An-Nisa: 129)11
9Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 194.
27
Terdapat dalam al-Quran namun juga ada dalam hadist nabi dalam hal
ketentuan adil, bahwa adil ini diharus terus meneru dinilai dalam jumlah hari
yang sama, setidaknya untuk awal-awal perkawinan. Sebagaimana telah
dijelaska dalam hadis Muttafaq ‘alaih dari Anas bin Malik menyatakan sebagai
berikut:
ح
مثن
يَ
ْو
س
َف
َْب
نَ
ر
شا
َ َ
َح
مثن
مأَب
ُأَو
َس
مَم
َع
َْنَ
س
ْفي
مَ
ح
منث
َأَ
يو
َ
َ ل خو
َ
مأَنع
قَي
ما
ب
ْنعَ
َ
مأ
سن
َمق
نمَ
َ
سلا
ن
َ إ
تَا
زّو
َ
ُلج لا
َ
لا
ك
َ
ِثلاَى ع
بي
َ
َ قأ
ََ ع
ن
ًَع سَ
مقوَ
س
َمَ
تَا إو
زّو
َ
َثلا
بي
َ
لاَى ع
ك
َ
َ قأ
َ
َمثَ نع
ما
ًث
ُثَ
مقَم
س
مَ
بأَ ق
قَو
با
َملوَ
ْوَ
شْ
ت
ََمل
ُقَْ
ت
ََ إ
َ َمأ
ن
رَ س
مفع
َهَ
ملإ
َى
ّنلا
صَي
َ
َههاَى
َ
مع
هي
َ
ََسو
مَ
مقو
ْعَ
ََ
لا
ا
َ
ْخأ
ْ
سَ ن
يف
َُ
ْنع
َيأ
و
َ
ل خو
َ
ل خَ ق
َ
َملو
ْوَ
شْ
ت
َُقْ
َت
َر
مفع
َهَ
َملإ
َ
نلا
صَي
َ
ههاَى
َ
مع
هي
َ
َسو
م
Artinya:Yusuf bin Rasyid Ceritakan kepada kami, Abu Usamah dari Sufyan ceritakan kepada kami, Ayyud dan Kholid dari Abinya Qilabah ceritakan kepada kami dari Anas Berkata: Termasuk sunnah, apabila seorang laki-laki menikahi gadis (al-bikr) atas janda (al-sayyib) maka ia bermukim padanya tujuh hari, kemudian menggilir (yang lainnya), dan apabila ia menikahi janda maka ia bermukim padanya tiga hari baru menggilir (yang lainnya). Abu Qilabah Berkata seandainya Aku menghedaki aku akan berkata: sesungguhnya Anas telah menceritakannya kepada Nabi. Dan berkataa Abdur Razaq menceritakan kepada kami Sufyan dari Ayyub dan Kholid, Kholid berkata seandainya aku menghendaki aku mengatakan telah menceritakannya kepada Nabi Muhammad Saw. (Muttafaqun Alaih)12
ح
نث
ْساَ
ع
ُلي
َ
َحَ ق
مث
سَي
ْي
ََُْب
نَ
ب
َ ا
َ
َ ق
َ ش
َْب
نَ
ع
ومة
َما
ْخ
ن
ماَي
َعَي
َعَن
ِء
مش
َ
ر
ض
ههاَي
َع
ْن
َ:َ
َمأ
رَّم
م وس
َ
ِها
َ
َصُ
ههاَى
َ
مع
هي
َ
َسو
م كََم
َ
مَيَُ مأْسي
ض
هَ
ََلا
َمَ
ََ
ف هي
يَ،
نيأَ:ُ وق
َمأ
مأَ،اً مغَ ن
ني
َ
يَ ي يَ؟؟اً مغَ نأ
عَ و
ئ
مش
مفََ،
َمأ
ملَم
ْ أَه
يَهجاو
حَُ وك
َ،َء شَُثي
12 Al-Bukhari, Al-Sindi, S{ah{i>h{ al-Bukh{a>ri bih{a>siyat al-Ima^m al-Sindi (Beirut: Da>r al-Kutub
28
مف
م ك
َ
بَي
َ تي
َ
ئ ع
مش
حَ،
ت
مَى
َ ع
ن
مقَ.
مل
َْت
َ
ئ ع
ُش
َ:
«
ْلاَيَ ف
يْو
َ
َرو يَ كَ ّملا
هي فَّيمع
َ
بَي
ْي ت
مفَي
مق
ض
هَ
هَها
او
ََ
َرْأ
س
هَمل
ْين
َن
ْح
وَ
َس
ْح
خوَ
َمل
مط
َ ر
َْيُق
هَ
رَْي
ق
ي
Artinya:Ismail Menceritakan kepada kami dia berkata: menceritakan kepadaku Sulaiman bin Bilal, berkata Hisyam bin Urwah Mengabarkan Ayahku menceritakan kepadaku tentang Aisyah ra: Sesungguhnya Rasulullah Saw. Dalam waktu sakit menjelang wafat bertanya. “Di mana aku besok, beliau menghendaki hari giliran “Aisyah, maka isteri-isteri beliau (lainnya) mengizinkan seperti beliau kehendaki, maka beliau di rumah ‘Aisyah sehungga Mati di sisinya, Aisyah Berkata lalu Rasulullah wafat dihari dimana beliau sedang berada dirumahku, Allah menabut nyawanya ketika kepala beliau ada di pangkuannya. (Muttafaq ‘alaih).13
C. Syarat-Syarat Poligami
Ada yang perlu diperhatikan apabila hendak menikahi lebih dari
seorang itu adalah sebuah pengecualian, karena itu disertai dengan
alasan-alasan, syarat-syarat dan juga tujuan yang mendesak. Pembatasan-pembatasan
itu antara lain adalah:14
a. Poligami tidak diperbolehkan menikahi seorang wanita lebih dari empat
orang sebagaimana yang telah tercantum dalam al-Quran, walaupun ada
beberapa yang berpendapat diperbolehkan mengawinkan 9 orang, yaitu
dengan menambahkann penjumlahan yang ada seperti dua ditambahkan
tiga, ditambahkan empat dan hasilnya sembilan. Penasiran itu tidak
benar adanya.
13 Ibid…, 468.
29
b. Sebagaimana dalam al-Quran adalah mampu berlaku adil kepada
seluruh kelurganya terutama istri-istri serta anak-anaknya. Namun
apabila tidak sanggup melakukannya lebih baik tidak menikah lebih dari
satu kali dan seterusnya.
c. Hendaknya apabila hendak ingin menikah lagi seharusnya adalah ada
seorang wanita yang mempunyai seorang anak lagi yatim, supaya
laki-laki yang hendak berpoligami tersebut dapat mengasuh anak tersebut.
agar ia dapat berlaku adil terhadap apa yang ada di anak yatim tersebut
baik anak yatim itu sendiri maupun dalam hartanya.
d. Wanita yang hendak dipoligami tidak boleh mempunyai suatu
hubungan persaudaraan baik sedarah ataupun sepersusuan.
Tidak hanya memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah dipaparkan
diatas saja akan tetapi syarat-syarat ini juga harus dipenuhi.15 Ini telah
tercantumkan dalam pasal 4 dan pasal 5 undang-undang perkawinan yang
berbunyi:16
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 3 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
15Ahmad Rofiq, Hukum Islam…, 172.
30
b. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaiana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Terdapat juga peraturan dan persyaratan poligami selain
terdapat dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, yakni
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdapat pada bagian IX dengan
judul, “Beristri lebih dari satu orang” yang telah tercantum beberapa
pasal, dimulai dari pasal 55 sampai dengan pasal 58. Yang berbunyi
sebagai berikut:17
Pasal 55
1. Beritri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.
31
Pasal 56
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimasukkan pada ayat 1 dilakukan menurut tat acara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.18
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau peyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a. Adanya persetujuan istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukanbagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau Karena sebab lain yang perlu mendapatkan penilaian hakim
32
D. Prosedur Poligami
Melakukan sebuah pernikahan pasti memiliki aturan dan juga prosedur
yang harus dilalui, namun sama halnya juga dengan melakukan poligami.
Negara juga punya prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh para pihak
bila ingin melakukan poligami sesuai dengan aturan-aturan yang telah berlaku
di Indonesia. Aturan dalam melakukan prosedur poligami itu telah diatur dan
bisa diihat pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Yang terdapat dalam
pasal 40 yang berbunyi:19
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Tugas pengadilan juga telah diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah Tahun
1975 yang bunyinya sebagai berikut:20
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.
b. Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
33
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal selanjutnya yakni yang terletak pada pasal 43 yang telah
menerangkan bahwasanya pengadilan harus memanggil pihak istri untuk
memberikan keterangan beserta kesaksiannya dalam persidangan perkara
poligami agar tidak hanya secara tertulis namun juga secara lisan dapat diakui
pengakuannya. Akan tetapi pasal ini juga memberikan waktu kepada
pengadilan selama kurang lebih 30 hari atau satu bulan untuk memeriksa,
mempertimbangkan juga memutuskan permohonan poligami ini setelah suami
mampu melengkapi semua persyaratan yang ada.21
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada pasal 43 menyatakan
bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memberikan putusan
kepada pemohon yang hendak melakukan poligami sesuai dengan peraturan
yang ada. Pasal 43 yang berbunyi:22Apabila pengadilan berpendapat bahwa
cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.
Undang-undang ini sangat memperhatikan dalam seseorang yang
hendak izin poligami, karena izin poligami ini sangat diperhatikan bahwa
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melakukan pencatatan nikah
21 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2004), 165.
34
sebelum adanya keterangan izin poligami dari pengadilan itu sendiri,
sebagaimana telah diatur dalam pasal selanjutnya yakni Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 pada pasal 44.
Hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan
dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi (ps. 59 KHI). Apabila keputusan hukum
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka
menurut ketentuan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang
untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud
dalam pasal 43 (PP No. 9 Tahun 1975).23
E. Hikmah Poligami
Beberapa penjelasan panjang lebar yang menyangkut tentang poligami,
bahwa poligami juga dapat diambil beberapa hikmahnya. Salah satunya yakni
pendapat oleh Ima>mAl-Shobu>ni> yang mengutarakan bahwa hikmah poligami
itu ada tiga hal yakni Pertama, dengan dilakukannya poligami ini bahwa
35
kehormatan dan juga martabat wanita bisa naik derajatnya dengan sendirinya.
Kedua, apabila poligami ini dilakukan maka dapat terjaga keselamatan seorang
wanita serta keluarganya. Ketiga, bahwa dilakukannya poligami ini dapat
menjaga keselamatan masyarakat umum secara luas. Dan juga Ima>m
As-Shobu>ni> juga berpendapat bahwa poligami ini lebih baik dari pada melakukan
dliluar syariat yang telah dilarang oleh agama, seperti terjadinya
perselingkuhan, perzinahan dan lain-lain. Poligami ini adalah salah satu cara
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada pada zaman sekarang ini, seperti
banyaknya jumlah wanita daripada pria. Bahwa poligami dituntut untuk
melakukan sosial masyarakat yang ada.24
Pada pandangan Sayyid Sa>biq bahwa poligami itu hanyalah sebuah
kebolehan saja dalam berpoligami bukannya sebagai kewajiban maupun
sebagai sebuah keharaman untuk dilakukan. Ada beberapa pendapat Sayyid
Sa>biq yang mengenai hikmahnya poligami yakni:25
1. Poligami adalah sebuah anugerah dan juga rahmat Allah yang
diberikan kepada manusia dan Allah juga membatasinya hanya
sampai empat orang istri tidak lebih. Namun ada syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang suami bila hendak berpoligmi yakni dengan
syarat kesanggupan untuk berlaku adil baik materiil maupun
imateriil. Apabila tidak sanggup dan tidak mampu untuk berlaku
36
adil akan bisa mengakibatkan berlaku zalim maka hukumnya haram
baginya untuk kawin lebih dari seorang istri.
2. Bahwa dengan dilakukannya poligami maka semakin banyak pula
keturunan untuk membangun keluarga yang besar bahkan bisa
membangun negara penduduknya yang besar dan mampu
menjadikan sebuah negara itu menjadi negara yang kuat baik dari
segi sumber daya manusianya, ekonominya dll. Karena menurut
salah seorang penyidik asal jerman mengatakan bahwa salah satu
unsur dari kekuatan masyarakat Islam adalah tentang suburnya
keturunan di kalangan masyarakat Islam itu sendiri yang pesat
jumlah penduduknya. 26
Berbeda lagi dalam pandangan M. Sayyid Ahmad yang mengatakan
bahwa poligami itu akan terlihat jelas ketika terjadinya sebuah peperangan dan
juga adanya wabah penyakit yang menimpa, dimana terkadang banyak kaum
wanita lebih banyak yang terkena daripada kaum laki-laki. Maka poligami ini
bisa menjadi dari bermacam-macam masalah baik masalah psikologi maupun
moral. Apabila ada seorang istri yang sakit-sakitan maupun istri tersebut
mengalami sebuah kemandulan oleh karena itu baiknya ia mau untuk bertahan
hidup dengan penuh kehormatan dalam naungan suminya yang bersama istri
lainnya untuk membangun dan membina sebuah hubungan rumah tangga
37
dengan tanpa adanya perasaan hasud, iri, dengki maupun yang lainnya. Begitu
pula dengan terjadi ditempat-tempat tertentu dengan iklim dan juga cuaca yang
tak menentu yang mana seorang suami tidak cukup apabila hanya dengan
seorang istri, maka dengan melakukan poligami ini dapat menjadi solusi yang
tepat untuk mengatasi hal tersebut.27
2. Contra Legem
Contra Legem merupakan putusan hakim pengadilan yang
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga hakim
tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan
dengan pasal undang-undang sepanjang pasal undang-undang tersebut tidak
lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat.28
Demi terjadinya suatu keadilan, maka hakim dapat bertindak contra
legem, tersebut diperbolehkan dengan alasan, apabila dalam suatu perkara tidak
terdapat aturan yang jelas ataupun aturan yang mengatur suatu persoalan
hukum, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan contra legem,
yaitu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 28 (1) Undang Nomor.4 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat (1)
27 M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Fiqih Cinta Kasih Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, Habiburrahim(Kairo: PT. Gelora Aksara Pratama, 2008), 117.
38
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan penjelasan
pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung. Menurut Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa
ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan hakim dapat sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ditambahkan menurut penjelasan bagian
umum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NKRI 1945), “Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedang disampingnya Undang-Undang Dasar berlaku juga hukum dasar tidak
tertulis.” Berarti disini disamping dikenal hukum tertulis (hukum nasional) juga
terdapat hukum tidak tertulis yang hidup dan tumbuh kembang dalam
masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai hukum adat. Hukum adat inilah
yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, digali oleh hakim apabila
menemui persoalan ketiadaan aturan hukum yang mengatur suatu persoalan.
Selanjutnya, perlu ditegaskan disini, berdasarkan prinsip di atas maka
hakim Indonesia tidak boleh bersifat legistik, yakni hanya sekedar menjadi
corong atau mulut undang-undang, meskipun memang selalu harus legalistik.
Ditambahkan oleh Bagir Manan, putusan hakim tidak boleh sekedar memenuhi
formalitas hukum atau sekedar memelihara ketertiban putusan hakim harus
39
harmonisasi sosial dalam pergaulan. Hanya dengan cara itu, menurutnya,
putusan hakim akan benar dan adil.29 Sehubungan prinsip ini pula, jika
ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum,
kepatutan, peradaban dan kemanusian, yakni nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Maka menurut Yahya Harahap, hakim bebas dan berwenang
melakukan tindakan contra legem, yakni mengambil putusan yang
bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan.30
Pelaksanaan contra legem oleh hakim dalam memutus suatu perkara
yang belum ada pengaturannya atau kurang jelas aturannya, merupakan
pelaksanaan hukum progresif yang mana dalam ajaran hukum progresif tidak
diperkenanakan untuk terlalu positifis legalistik dalam menjawab suatu
persoalan hukum. Diperlukan upaya-upaya yang progresif yang mana upaya
tersebut memberikan suatu kemanfaatan dan keadilan bagi pihak pencari
keadilan. Hakim yang dalam hukum acara dikatakan sebagai corong
undang-undang, diharapkan mampu bersifat progresif dengan tidak selalu menganggap
kepastian hukum akan memberikan keadilan. Suatu aturan hukum yang utama
dicari adalah keadilan dan keamanfaatan, apabila hal tersebut telah
terealisasikan maka tidak akan lagi terjadi persoalan hukum.
29 Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (Jakarta: Mahkamah Agung R.I, 2005), 212.
40
BAB III
PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM
MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI KARENA INGIN MENDIDIK DAN
MENOLONG CALON ISTRI SESUAI DENGAN SUNAH NABI MUHAMMAD
SAW DALAM PENETAPAN NO. 1913/PDT.G/PA.SDA
A. Gambaran Umum di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo
a. Lokasi Pengadilan Agama Sidoarjo.
Pengadilan Agama Sidoarjo adalah suatu pengadilan tingkat
pertama yang secara organisasi atau struktur dan finansial di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung yang mana Pengadilan Agama tersebut
menangani masalah hukum perdata Islam di Kabupaten Sidoarjo. Sesuai
dengan keberadaannya, maka lembaga peradilan agama ini harus mampu
melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang hukum terutama mengenai
masalah hukum kekeluargaan.1
Pengadilan Agama Sidoarjo kelas I-B memiliki wilayah kerja
berada di Kabupaten Sidoarjo yaitu di 112,5o s/d 112,9o Bujur Timur dan
7,3o s/d 7,5o Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Utara : Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik
b. Selatan : Kabupaten Pasuruan
41
c. Timur : Selat Madura
d. Barat : Kabupaten Mojokerto
Kantor Pengadilan Agama Sidoarjo berada dalam wilayah yang
strategis di Jl. Hasanuddin No. 90 Sekardangan Kecamatan Sidoarjo
Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, Kode pos 61215 Telp. (031) 8921012.
Sehingga untuk menjangkau kantor Pengadilan Agama Sidoarjo,
masyarakat dapat menggunakan fasilitas transportasi umum yang tersedia
di Sidoarjo.
b. Dasar Hukum Berdirinya
Peradilan