• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di Jemaat Gereja Masehi Injili Timor Kodya Kupang T1 712006027 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di Jemaat Gereja Masehi Injili Timor Kodya Kupang T1 712006027 BAB V"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tradisi penjualan anak adalah suatu tradisi masyarakat di pulau Timor dengan tujuan

memperoleh kesehatan dan keselamatan bagi anak dan orang tua yang memiliki

kemiripan wajah dengan sang anak. Masyarakat Timor yang melakukan tradisi ini

percaya bahwa kemiripan wajah yang identik antara anak dengan salah satu orang tua

menyebabkan sakit yang tak kunjung hilang dan dapat mengakibatkan kematian

khususnya bagi orang tua, juga percekcokan atau ketidakharmonisan hubungan anak dan

orang tua karena watak yang bertolak belakang. Penjualan disini bukanlah sebuah

transaksi bisnis, tetapi hanya memberikan sejumlah nominal uang sebagai tanda bahwa

pembelian atau penjualan anak syah secara adat.

Setelah mengkaji pandangan Alkitab tentang makna anak dan hati Tuhan terhadap

seorang anak untuk menyoroti tradisi penjualan anak dari sudut pandang sosio-teologis,

penulis mendapatkan kesimpulan bahwa tradisi penjualan anak adalah salah satu bentuk

perwujudan kasih dan tanggung jawab keluarga terhadap kesehatan dan keselamatan sang

anak dan orang tua, juga suatu bentuk penghormatan pada tradisi leluhur yang telah

terlebih dahulu melaksanakan adat kebiasaan ini turun temurun.

Sebagai suatu perwujudan kasih dan tanggung jawab terhadap kesehatan dan

keselamatan keluarga, peran orang tua yang melakukan penjualan anak dapat dilihat

sebagai bentuk etika tanggung jawab, sedangkan peran orang tua dalam menjalankan

tradisi penjualan anak sebagai tanda penghormatan dan ketaatan kepada tradisi para

leluhur sebelumnya, dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk peran dalam etika

(2)

Perwujudan rasa kasih, tanggung jawab dan rasa hormat ini adalah sebuah sikap hati

yang dikehendaki Tuhan, akan tetapi rasa kasih, tanggung jawab dan hormat itu

diwujudkan dalam adat yang bercirikan naturalistis-panteistis di mana yang menjadi

pikiran inti bukanlah Tuhan yang hidup, yang dikenal dan dimuliakan bukanlah Tuhan

sang Pencipta, tetapi alam dan makhluk ciptaan yang dimuliakan : bapa suku,

kepala-kepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang mendirikan kampung dan sebagainya.

Dengan demikian, secara esensi atau pada intinya, tradisi penjualan anak bukanlah

sebuah bentuk ketaatan pada kehendak Tuhan Allah yang hidup, tetapi ketaatan dan

penundukkan diri kepada tradisi dan pemenuhan janji kepada para leluhur.

Sehubungan dengan makna seorang anak, Firman Allah mengajarkan bahwa buah

kandungan adalah suatu upah, dan setiap anak berharga di mata Tuhan. Yesus Kristus

menghargai anak-anak dan menyambut anak-anak datang kepada-Nya dan memberkati

mereka. Setiap anak mempunyai arti penting di hadapan Tuhan sehingga Yesus meminta

orang-orang dewasa menjadi seperti seorang anak untuk masuk ke dalam kerajaan Sorga.

Pemikiran di balik tradisi penjualan anak bahwa kemiripan wajah yang identik akan

membawa sakit penyakit, percekcokan, bahkan kematian sehingga anak harus

disingkirkan atau dijual; benar-benar bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan.

Alkitab mengajarkan bahwa tidak ada seorang anakpun yang dirancangkan untuk menjadi

penyebab sakit, sial atau kematian dan ketidakharmonisan. Setiap anak dirancangkan

Allah untuk sebuah masa depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11). Kemiripan wajah

anak dengan salah satu orang tua terjadi karena kehendak Allah. Allah yang

menciptakan wajah yang mirip antara anak dan orang tua, dan kemiripan ini tidak

dimaksudkan untuk mendatangkan malapetaka atau kecelakaan di dalam keluarga.

Karena itu pemikiran di balik tradisi penjualan atau penyingkiran anak bukanlah

(3)

leluhur yang hidup dalam masa kegelapan sebelum mengenal Injil Yesus Kristus.

Terhadap pemikiran ini, orang Kristen tidak perlu hidup di dalamnya dan

mempertahankannya, karena dengan hidup dan melaksanakan tradisi ini, berarti orang

Kristen atau gereja mempertahankan dan melestarikan pemikiran-pemikiran kegelapan

yang jauh dari Injil kebenaran. Pemikiran yang bertentangan dengan Firman Allah

dibangun oleh Iblis untuk menentang pengenalan akan Allah. Terhadap

pemikiran-pemikiran ini Rasul Paulus mengatakan, “Kami mematahkan setiap siasat orang dan

merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang

pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada

Kristus” (2 Korintus 10:5).

Setelah mengkaji esensi tradisi penjualan anak dan mengacu pada kebenaran Firman

Tuhan yang menyoroti tradisi ini, penulis memberikan pandangan bahwa tradisi

penjualan atau penyingkiran anak pada prinsipnya tidak sesuai dengan kebenaran Firman

Tuhan. Alkitab tidak memberikan dukungan tentang perlunya seorang anak dijual atau

disingkirkan demi keselamatannya, sebaliknya tradisi ini dapat meninggalkan luka

psikologis dalam diri si anak dalam masa pertumbuhan hingga dewasa. Karena itu orang

Kristen atau gereja perlu bersikap kritis dengan melihat konsep-konsep pemikiran yang

terkandung di balik tradisi penjualan anak yang sifatnya menentang pengenalan akan

Allah, dan mematahkan setiap siasat di balik pemikiran-pemikiran tersebut, merobohkan

kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia dalam tradisi ini untuk menentang

pengenalan akan Allah dan menawan serta menaklukkan konsep-konsep pemikiran itu

kepada Kristus.

Implikasi praktis yang perlu dilakukan berkaitan dengan tradisi penjualan atau

penyingkiran anak adalah menguduskan tradisi ini dalam pelaksanaan yang murni tidak

(4)

atau mengalihkan tradisi penjualan atau penyingkiran anak menjadi penyerahan anak

kepada Tuhan secara Kristiani. Secara kontekstual, masyarakat lokal dan jemaat dapat

mengonsumsi tradisi ini setelah dikuduskan dan dibaharui dalam esensi dan cara-caranya.

Dalam pengertian bahwa istilah dan konsep penjualan atau penyingkiran tidak dipakai,

tetapi dipakai istilah dan konsep ‘penyerahan anak’ kepada Tuhan, yang dilakukan di

gereja diteguhkan oleh pendeta dan penatua dan disaksikan oleh jemaat.

Penulis lebih menyarankan memakai konsep “penyerahan” dari pada konsep

“penjualan”, dengan pemikiran bahwa dalam konsep penjualan pada dasarnya

berkonotasi jual beli karena motif ekonomi. Dalam konsep penjualan, sebelumnya sang

anak adalah milik penuh pihak penjual dan diserahkan kepada pembeli dengan motivasi

penjual menerima sesuatu sebagai barter dari anak yang dijualnya, sedangkan dalam

konsep penyerahan anak kepada Tuhan, pada hakekatnya anak sendiri adalah milik

Tuhan, bukan milik orang tua dalam arti yang hakiki. Sebagaimana dibahas dalam kajian

tentang makna anak, anak adalah upah atau pemberian dari Tuhan, sehingga jika orang

tua menyerahkan atau mendedikasikannya kepada Tuhan, berarti orang tua

mengembalikan milik Tuhan, sehingga konsep penjualan di sini tidak tepat. Konsep

penyerahan anak memperkuat pengertian bahwa sebelumnya anak tersebut memang

adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan, karena itu, tidak mungkin dijual kembali kepada

pemiliknya, tetapi yang lebih tepat adalah diserahkan kembali kepada pemiliknya. Selain

itu, dengan memakai konsep “penyerahan” akan memberikan sebuah perbedaan yang

tegas dengan konsep “penjualan” yang telah dipakai dalam tradisi penjualan anak. Jika

tradisi yang telah dikuduskan ini memakai istilah konsep yang sama yaitu “penjualan”,

maka tidak terlihat diferensiasi atau perbedaan dengan istilah konsep penjualan yang

(5)

Dasar Biblis dari konsep penyerahan anak dalam Perjanjian Lama tersirat dalam

Mazmur 127:3, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN,

dan buah kandungan adalah suatu upah”. Dalam ayat ini tersirat bahwa orang tua

bukanlah pemilik hakiki, para leluhur juga bukanlah pemilik, tetapi hanya Tuhan saja

pemilik sesungguhnya dari anak laki-laki dan anak perempuan, karena itu kepada pemilik

yang syah ini, anak-anak harus diserahkan.

Sebuah contoh dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan konsep penyerahan

anak kepada Tuhan adalah contoh yang dilakukan oleh Hana, dalam 1 Samuel 1:1-28.

Hana berdoa dan meminta anak laki-laki dari Tuhan, di tengah kepedihan hatinya. Tuhan

mengabulkan permintaannya, Hana mengandung dan melahirkan anak laki-laki yang

diberi nama Samuel. Sekalipun baru saja dikarunia seorang anak yang sangat

diidam-idamkan, Hana berkeputusan untuk menyerahkannya kepada Tuhan.

1 Samuel 1:11 mengatakan, “Kemudian bernazarlah ia, katanya: "TUHAN semesta

alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan

mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada

hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya." Hana kemudian menepati janjinya kepada Tuhan, ia mendedikasikan Samuel yang

masih kecil itu kepada Tuhan, menyerahkannya dalam pengasuhan Nabi Eli. 1 Samuel

1-27-28, “Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan TUHAN telah memberikan

kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka akupun menyerahkannya kepada TUHAN; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada TUHAN."

Kisah Hana menyerahkan Samuel adalah sebuah contoh orang tua yang rela

menyerahkan atau mendedikasikan anaknya dalam pengaturan dan pengasuhan Tuhan.

(6)

pemilik hidupnya. “Terserahlah ia kiranya kepada TUHAN”, demikian penyerahan Hana. Penyerahan yang tanpa ragu dan bimbang kepada Tuhan, Sang Pemberi dan

Pemilik hidup, itulah yang seharusnya dilakukan oleh para orang tua.

Dasar Biblis untuk penyerahan anak dalam Perjanjian Baru didasarkan pada

perkataan Yesus yang meminta anak-anak datang kepada-Nya, dalam Matius 19:14,

“Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga."

Contoh yang dapat dilihat dalam Perjanjian Baru adalah dari teladan Yusuf dan

Maria yang membawa bayi Yesus ke Yerusalem, ke Bait Allah untuk diserahkan kepada

Tuhan, sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 2:22-24. “Dan ketika genap waktu

pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untukmenyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah, dan untuk

mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu

sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati”.

Dalam dua kisah ini, baik kisah Hana dalam Perjanjian Lama yang menyerahkan

Samuel kepada Tuhan, maupun kisah Yusuf dan Maria dalam Perjanjian Baru yang

menyerahkan Yesus ke Bait Allah, terdapat hamba Tuhan atau nabi Tuhan, yang turut

hadir atau ada dan menyaksikan, meneguhkan dan memberkati penyerahan tersebut.

Hana menyerahkan Samuel kepada Tuhan di bawah pengasuhan imam Eli, sedangkan

dalam penyerahan bayi Yesus di Bait Allah, hadir Simeon, seorang tua yang saleh dan

benar yang menyambut dan memberkati Yesus, juga nabiah Hana yang mengucap syukur

kepada Allah dan berbicara tentang Yesus yang hari itu diserahkan kepada Allah

(7)

Dalam kisah-kisah yang dipaparkan di atas, sama sekali tidak terlihat konsep

penjualan. Sang anak tidak dipandang sebagai pembawa sial atau malapetaka, sebaliknya

sang anak dipandang dalam makna yang positif sebagai berkat yang disyukuri, yang

datangnya dari Allah, pemilik dan sumber hidup, dan kepada-Nya, orang tua melakukan

penyerahan kembali. Sama sekali berbeda dengan konsep penjualan dalam tradisi

penjualan anak yang dilakukan oleh para leluhur di pulau Timor.

Di sinilah pentingnya peran geraja untuk menyingkapkan kepada jemaat, inti dan

perbedaan konsep penjualan anak kepada roh-roh leluhur dan konsep penyerahan anak

kepada Tuhan. Secara khusus bagi yang melakukan tradisi penjualan anak, gereja

berperan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang sejarah dan latar

belakang tradisi ini disertai dengan pemahaman Alkitabiah yang menyoroti tradisi ini.

Selanjutnya menuntun jemaat untuk melakukan upacara penyerahan anak dengan dua

langkah ini :

1. Meminta pendeta atau hamba Tuhan untuk berdoa memutuskan ikatan janji atau

sumpah yang pernah diikrarkan dengan para leluhur dan memutuskan adat kebiasaan

menjual atau menyingkirkan anak. Kemudian mengikrarkan janji antara keluarga,

anak-anak dan keturunan hanya dengan Tuhan yang hidup di dalam nama Yesus

Kristus.

2. Selanjutnya sebagai ganti penjualan atau penyingkiran anak, sekarang setiap anak

diserahkan kepada pemeliharaan dan perlindungan Tuhan, dengan didoakan oleh

pendeta atau para penatua jemaat. Di depan jemaat, sang anak diserahkan kepada

Tuhan. Sakit penyakit atau kematian yang terjadi adalah dalam kehendak Tuhan,

jiwa dan roh sang anak telah berada dalam pemeliharaan dan perlindungan-Nya.

Tuhan memberikan keselamatan dan kesehatan kepada sang anak dan perubahan hati

(8)

Dengan memutuskan ikatan perjanjian penjualan anak atau sumpah yang pernah

diirarkan orang-orang tua sebelumnya dengan para leluhur, dan mengikat perjanjian baru

dengan Allah yang hidup, tradisi ini tidak lagi merupakan satu tuntutan yang harus

dilakukan oleh keluarga ketika terjadi percekcokan atau sakit penyakit dalam keluarga.

Dengan menyerahkan sang anak dalam perlindungan dan pemeliharaan Tuhan, keluarga

telah mewujudnyatakan kasih dan tanggung jawab dan rasa hormat kepada sang anak,

orang tua dan terutama kepada Tuhan. Sang anak diserahkan kepada Penguasa yang

benar, yaitu Pencipta, Pemelihara dan Pemilik hidupnya, sumber kesehatan, keselamatan

dan karakter yang baik.

B. SARAN

Dari penelitian ini dapat dipahami bahwa tradisi penjualan atau penyingkiran anak

mengandung nilai-nilai hidup yang berkualitas, antara lain kasih, tanggung jawab dan

penghormatan, namun tradisi ini perlu dikuduskan dari unsur panteistis yang

melatarbelakanginya, dan diperbarui ke dalam sebuah cara penyerahan atau pendedikasian

anak kepada Tuhan yang hidup sebagai sumber keselamatan.

Karena itu penulis memberikan beberapa saran berkaitan dengan pelaksanaan tradisi

ini :

1. Untuk institusi dan fakultas

Mengingat banyak sekali tradisi-tradisi warisan dari agama suku di berbagai

tempat di Indonesia yang bisa dikaji untuk pengembangan keilmuan dan kemajuan

pelayanan gereja dan masyarakat Indonesia, maka penulis menyarankan institusi atau

fakultas dapat bekerja sama dengan gereja-gereja atau suku-suku di Indonesia untuk

memobilisir penelitian dan pengkajian tradisi-tradisi tersebut sehingga dapat

(9)

pelayanan. Informasi yang terkumpulkan dari penelitian dan pengkajian akan

menolong gereja dan para pelayan Tuhan dalam usaha pengudusan kebudayaan dalam

masyarakat yang masih “kental” dengan tradisi-tradisi yang tidak memuliakan Tuhan.

2. Untuk gereja dan pelayanan

Gereja dapat membentuk sebuah tim peneliti yang mengkaji lebih dalam esensi,

makna dan dampak tradisi-tradisi yang masih diberlakukan dalam jemaat termasuk

tradisi penjualan atau penyingkiran anak; dan mengevaluasi tradisi-tradisi tersebut

dengan pandangan alkitabiah lalu menyikapi dengan objektif dan selektif. Jika ada

tradisi yang secara esensial masih mempraktikkan nilai-nilai panteistis, maka gereja

mengambil langkah untuk usaha pengudusan kebudayaan. Misalnya dalam contoh

tradisi penjualan anak, gereja dapat mengkaji esensi dan makna tradisi ini dan tetap

mempertahankan nilai-nilai kasih, tanggung jawab dan rasa hormat dalam tradisi ini

tetapi diperbarui dengan cara melakukan upacara penyerahan anak atau

mendedikasikan anak di gereja, disaksikan oleh jemaat.

Saran lain bagi gereja adalah mengembangkan sebuah pelayanan pastoral

keluarga, yang dijalankan secara efektif oleh pendeta, penatua dan para majelis, agar

dapat lebih mengenal masalah-masalah yang dihadapi secara spesifik oleh para

anggota jemaat atau keluarga-keluarga dalam jemaat.

Konsep tentang makna anak, penjualan anak dalam tradisi dan konsep penyerahan

anak kepada Tuhan juga dapat dijadikan bahan percakapan dan pembelajaran bagi

para calon mempelai pada saat konseling pra nikah untuk membekali

pasangan-pasangan dengan pemahaman yang benar tentang konsep-konsep di atas. Dengan

demikian, ketika dikaruniakan anak, para orang tua dapat mengambil sikap yang

sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, yakni menyerahkan anak-anak kepada Tuhan,

(10)

3. Untuk masyarakat lokal dan keluarga yang melaksanakan tradisi penjualan anak

Bagi masyarakat lokal yang memegang teguh adat-istiadat dan tradisi, juga bagi

keluarga-keluarga yang melaksanakan tradisi penjualan dan penyingkiran anak

turun-temurun, agar mengembangkan sikap objektif dan selektif berdasarkan Firman Tuhan.

Sikap ini dapat dibangun melalui keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan pendalaman

Alkitab, diskusi-diskusi, dan membangun sikap hormat terhadap adat dan tradisi tanpa

melanggar nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan.

4. Untuk diri personal

Saran bagi pribadi adalah mengembangkan sikap kasih, tanggung jawab dan hormat

terhadap keluarga, termasuk anak-anak dan menetapkan rencana mendedikasikan atau

menyerahkan setiap anak yang dipercayakan dalam keluarga dalam perlindungan dan

pemeliharaan Tuhan.

C. REKOMENDASI

Untuk penelitian selanjutnya bagi kepentingan dan pengembangan keilmuan dan

pelayanan, penulis merekomendasikan beberapa hal :

1. Partisipan dalam penelitian ini hanya dipilih dari orang-orang yang mendukung dan

melaksanakan tradisi penjualan atau penyingkiran anak, seperti ketua adat yang

menjadi moderator dan orang-orang tua yang melaksanakan tradisi ini. Dalam

penelitian selanjutnya, untuk mendapatkan informasi yang kolektif dan seimbang,

partisipan yang dipilih bisa diambil secara bervariasi, tidak saja dari orang-orang

yang mendukung atau yang melaksanakan tradisi ini, tetapi juga dari pihak-pihak

yang tidak setuju atau menentang, ditambah data atau wawancara dengan sang anak

yang dijual atau disingkirkan. Bila partisipan yang mengalami pengalaman dijual

(11)

memahami kondisi psikologisnya sebagai seorang anak yang pernah dijual atau

disingkirkan.

2. Penelitian ini hanya dilakukan di kota Kupang, di mana masyarakat lebih berciri

heterogen dan telah mengalami pencampuran budaya “kota” yang lebih modern. Agar

bisa mendapatkan data yang komprehensif dan majemuk, dalam penelitian

selanjutnya bisa dilakukan dalam masyarakat di tempat yang berbeda-beda, misalnya

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Senin tanggal dua puluh tujuh bulan April tahun dua ribu lima belas (27-04-2015), yang bertanda tangan dibawah ini Pejabat Pengadaan Langsung Kegiatan-kegiatan

Perusahaan perlu melakukan perubahan pada beberapa dimensi: (1) perlu dikenali, bahwa jika pelanggan telah mampu menentukan harga dan penawaran, maka produk dan jasa perusahaan

Jumlah opsi jawaban yang disediakan lebih dari dua (empat atau lima) sehingga mengurangi kesempatan bagi peserta tes untuk menebak. Memungkinkan dilakukannya analisis

a. Rekanitulasi /RAB Adal[i+lak4*kt-- Ada/Tidak Ada Ada/Tidak Ada b. Daftar Analisa dan Sub Analisa AdatTidak-Mtt- Ada/Tidak Ada AdaiTidak Ada c. Daftar Upah dar Harga

Entri data dan transaksi yang berkaitan dengan. supplier,

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, serta memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

Perlunya dilakukan penelitian lanjutan dengan tidak hanya terfokus pada variabel lingkungan, perbedaan individu, dan psikologi, tetapi juga pada aspek lain seperti