ANALISIS
SADD AL-
DHARI<’AH
DAN UNDANG-UNDANG
NO.8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI KOSMETIK BEKAS
SECARA
ONLINE
DI SURABAYA
Skripsi
Oleh:
Masita Dian Rahmania C72213142
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
SURABAYA
ANALISIS
SADD AL-
DHARI<’AH
DAN UNDANG-UNDANG
NO.8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI KOSMETIK BEKAS
SECARA
ONLINE
DI SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Ekonomi Islam
Oleh:
Masita Dian Rahmania C72213142
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya
ABSTRAK
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “ Analisis Sadd
Al-Dhari>’ah dan Undang-undang No.8 Tahun 1999 terhadap Jual Beli Kosmetik Bekas Secara Online di Surabaya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1)
Bagaimana praktik jual beli kosmetik bekas Secara Online di Surabaya ? Bagaimana analisis Sadd al-Dhari>’ah dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 terhadap Jual Beli Kosmetik Bekas Secara Online di Surabaya ?
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara (interview) yang kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif dalam menjabarkan data tentang Analisis Sadd Al-Dhari>’ah dan Undang-undang No.8 Tahun 1999. Selanjutnya data tersebut dianalisis dari perspektif Sadd
Al-Dhari>’ah dan Undang-undang No.8 Tahun 1999 dengan teknik kualitatif dalam pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertama, praktik jual beli kosmetik bekas di Surabaya yang dilakukan melalui Instagram ini dimana penjual memposting produk yang akan dijualnya dengan memberikan keterangan produk dan disertai dengan harga. Namun terkadang penjual jarang membersihkan kosmetik yang akan dijualnya juga terdapat kerugian yang dialami pembeli yaitu keterangan di caption instagram berbeda saat barang tersebut sudah berada di tangan pembeli. Kemudian kedua, Praktik jual beli kosmetik bekas yang telah dianalisis ini menurutsadd al-dhari>‘ah tidak diperbolehkan begitu juga menurut Hukum Islam. Karena dalam hal ini, pembeli merasa dirugikan karena tidak mendapat jaminan kebersihan juga keterangan produk yang berbeda, walaupun pihak penjual telah menerangkan bahwa kosmetik yang dijual adalah kosmetik bekas. Selain itu juga dalam Undang-Undang UUPK praktik ini tidak memenuhi pasal 7 dimana penjual tidak memberikan jaminan kebersihan dan tidak jujur memberikan keterangan produknya.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 7
C.Rumusan Masalah ... 8
D.Kajian Pustaka ... 8
E.Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
G.Definisi Operasional ... 14
H.Metode Penelitian ... 14
BAB II SADD AL- DHARI><’AH DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 (PERLINDUNGAN KONSUMEN)
A. Sadd al- Dhari>’ah ... 22
1. Pengertian Sadd al- Dhari>’ah ... 22
2. Dasar Hukum Sadd al- Dhari>’ah ... 24
3. Macam-Macam Sadd al- Dhari>’ah ... 28
4. Kedudukan Sadd al- Dhari>’ah ... 31
B. Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli ... 33
2. Dasar Hukum Jual Beli ... 34
3. Rukun dan Syarat Jual Beli ... 35
C. Undang-undang No.8 Tahun 1999 (Mengenai Pelindungan Konsumen) 1. Perlindungan Konsumen ... 37
2. Asas-asas Perlindungan Konsumen ... 41
3. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 43
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 44
5. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ... 45
BAB III PRAKTIK JUAL BELI KOSMETIK BEKAS SECARA ONLINE DI SURABAYA A.Gambaran Umum Praktik Jual Beli Kosmetik Bekas di Surabaya 49 B.Praktik Jual Beli Kosmetik Bekas di Surabaya ... 52
1. Cara Kerja dari Jual Beli Kosmetik Bekas ... 57
2. Permasalahan yang terdapat dalam Jual Beli Kosmetik Bekas di Surabaya ... 52
B.Analisis Sadd Al-Dhari>’ah terhadap Jual Beli Kosmetik Bekas di Surabaya ... 70 C.Analisis Undang-Undang No.8 terhadap Jual Beli Kosmetik Bekas
di Surabaya ... 76
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 82 B.Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA
1
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syariah Islam merupakan suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir
yang bersifat universal. Universal bermakna syariah Islam dapat diterapkan
dalam setiap kesempatan dan setiap tempat sampai hari kiamat nanti.
Universalitas ini tampak jelas terutama pada bidang muamalah. Universal
dalam muamalah mempunyai cakupan yang luas.1
Muamalah dibagi menjadi dua bagian yaitu yang pertama al-mua>malah
al-mad<}iyah, yaitu muamalah yang mengkaji objeknya, sehingga sebagian
ulama berpendapat bahwa muamalah al-mad<}iyah ialah muamalat bersifat
kebendaan karena objek fiqh muamalah adalah benda yang halal, haram dan
syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memudharatkan dan
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi segi yang lainnya.
Muamalah yang kedua adalah al-mua>malah al-ada>biyah, yaitu muamalah
yang ditinjau dari segi cara tukar menukar benda yang bersumber dari panca
indra manusia, yang unsur penegakannya adalah hak-hak dan kewajiban
misalnya jujur, hasud, dengki dan dendam.2
Dari pengertian al-muam>alah al-ma>diyah, maka jual beli termasuk dalam
Muam>alah al-ma>d}iyah. Jual beli sendiri adalah mengganti dan menukar
sesuatu dengan yang lain. Oleh karena itu, jual beli benda bagi muslim bukan
1
Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia,2006), 17.
2
hanya sekedar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi secara
vertikal bertujuan untuk memperoleh ridha Allah dan secara horizontal
bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga benda-benda yang
diperjual belikan akan senantiasa dikembalikan kepada Allah. Seperti yang
tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 29 yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”3
Pada zaman yang semakin maju, cara manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan jual belipun semakin beragam. Jual beli
sekarang ini pun bisa dilakukan secara online maupun offline. Cara jual beli
offline adalah jual beli dengan mendatangai langsung tempat penjual dan
melakukan transaksi jual beli secara langsung. Sedangkan jual beli online
adalah jual beli yang bisa dilakukan dirumah tanpa mendatangi tempat
penjual dengan menggunakan media elektronik. Contohnya adalah jika
seseorang ingin membeli kosmetik secara online, ia tinggal memesan melalui
internet kemudian membayarnya ke bank dan barang akan datang dalam
beberapa hari.
3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, (Bandung: Sy9ma Creative Media
3
Kepercayaan merupakan kunci utama dalam segala bentuk bisnis baik
dalam lingkungan online maupun offline. Di dunia offline kepercayaan
dibangun dengan saling kenal mengenal secara baik, ada proses ijab qabul
ada materai, ada perjanjian dan lain-lain. Dalam dunia online demikian pula,
harmonisasi antara aspek norma, nilai dan etika dipadukan dengan
mekanisme-mekanisme pembangunan kepercayaan secara total dalam proses
keseluruhan.4 Dalam transaksi jual beli elektronik, pihak-pihak yang terkait
antara lain:5
1. Penjual atau merchant atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk
melalui internet sebagai usaha.
2. Pembeli atau konsumen, yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh
Undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku
usaha yang berkeinginan melakukan transaksi jual beli produk yang
ditawarkan oleh penjual machant atau pelaku usaha.
3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada
penjual atau pelaku usaha atau marchant, karena pada transaksi jual beli
secara elektronik penjual dan pembeli tidak berhadapan secara langsung,
sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran
dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini adalah baik.
Banyak sekali cara untuk melakukan transaksi jual beli pada zaman
modern seperti sekarang ini diantaranya adalah jual beli online. Tetapi
banyak juga masyarakat yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
4 Muhammad, Etika Bisnis Islam, (Yogyakarta: UPP AMP, 2004) , 224.
4
banyak uang dan untuk mendapatkan barang yang ingin didapatkan.
Terkadang cara yang dilakukan ini adalah membolehkan sesuatu yang
dilarang padahal syariat Islam telah menganjurkan untuk mengindari
keburukan dan lebih memikirkan kemaslahatan bersama.
Di dalam Islam yang menganjurkan untuk menutup jalan keburukan dan
lebih memikirkan kemaslahatan adalah Sadd al-Dhari>’ah.6 Tindakan ini
temasuk dalam tindakan yang mulia dalam rangka untuk berhati-hati agar
tidak terjerumus dalam perbuatan yang diharamkan.7 Contohnya adalah
diharamkannya minum khamr karena dapat menyebabkan mabuk, maka
meminum sedikit khamrpun akan dilarang karena sebagai tindakan untuk
mencegah kemabukan.8
Jual beli kosmetik merupakan hal yang wajar namun berbeda lagi jika
yang dijual adalah bekas. Hal ini terjadi pada jual beli kosmetik bekas yang
belakangan ini menjadi tren dikalangan remaja. Jual beli kosmetik ini
dilakukan dengan berbagai alasan diantaranya adalah karena sudah bosan
dalam kepada produk yang dimiliki sehingga ingin menjual produk tersebut.
Bisa juga karena seseorang yang ingin membeli kosmetik dengan brand atau
merk ternama namun dengan harga yang murah. Jual beli ini menggunakan
akun sosial media sebagai perantaranya yaitu akun sosial Instagram.9
Di Instagram banyak sekali akun yang ternyata menjual berbagai
kosmetik bekas mulai dari kosmetik dalam negeri maupun luar negeri.
6Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV.Pustaka Setia, Cet. 4, 2010), 132
7Ulin Na’mah, “Kehujjahan Sadd al-Dhari’ah”,Sustitia Islamica,No.1(Januari-Juni,2015),26. 8 Ibid.,29.
9
5
Produk kosmetik bekas ini juga terdiri dari berbagai macam produk mulai
dari lipstik, bedak, dan juga parfum. Tidak hanya dari merk dan produk
banyak sekali penjual yang menawarkan harga sesuai dengan seberapa
banyak isi dari produk tersebut. misalnya akun Instagram A menjual Lipstik
dengan merk XXX dengan keterangan kualitas produk tersebut masih ada
70%, harga beli Rp. 200.000 harga jual Rp. 175.000, disertai dengan
deskripsi singkat dari produk tersebut10.
Namun akun-akun Instagram ini ternyata ada yang hanya sebagai akun
jasa iklan. Jadi akun ini hanya akan menampilkan foto dan deksripsi produk
beserta harga dan disertai dengan akun Instagram asli yang mempunyai
barang yang akan dijual. Cara kerja dari dari jual beli akun Instagram ini
adalah jika seseorang ingin menjual lipstiknya maka ia akan mengiklankan
ke akun Instagram khusus yang menjual produk bekas tentunya dengan
membayar sejumlah uang yang disepakati. Kemudian pemilik akun
Instagram jual beli kosmetik bekas tersebut akan mempost foto beserta
keterangan yang diperlukan, nantinya jika ada seorang pembeli yang
menginginkan barang tersebut akan langsung menghubungi pemilik barang.
Sebenarnya jual beli kosmetik bekas ini mempunyai beberapa
kemaslahatan diantaranya adalah agar barang tidak mubazir sehingga dapat
dimanfaatkan untuk orang lain. Manfaat selanjutnya adalah dapat
memberikan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Yang dimaksud disini
adalah pemilik akun Instagram jual beli kosmetik bekas yang memberikan
10
6
jasa periklanan.11 manfaat yang terakhir adalah dirasakan bagi pembeli
karena ia akan mendapatkan barang dengan harga yang relatif murah.12
Jual beli kosmetik bekas ini tentunya juga mempunyai beberapa dampak
negatif yang dirasakan oleh pembeli karena kosmetik bekas ini tidak ada
jaminan aman karena telah digunakan oleh orang lain. si penjual kosmetik
hanya mengkira-kira jaminan keamanan produk yang telah penjual gunakan,
kemudian si pembeli tidak tahu si penjual atau orang yang memakai
kosmetik terdahulu mempunyai penyakit menular atau tidak. Si pemilik
akun Instagram jual beli kosmetik bekas ini menjamin barangnya hanya dari
keterangan si pemilik produk. Keterangan yang tertulis dalam caption juga
tidak dijelaskan apakah barang tersebut benar-benar aman atau tidak.
Dampak yang kedua adalah barang yang diterima oleh pembeli berbeda dari
deskripsi yang ditampilkan, misalnya barang XXX kondisinya masih 70%
tetapi barang yang ia dapat kondisinya dibawah 70% dan tentunya ini
merugikan sipembeli.
Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah
menyatakan secara jelas bahwa hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.13 Para penjual juga
diatur yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan juga menjamin mutu barang
11
Kristi, Wawancara, Via Instagram, 16 April 2017. 12
Febri, Wawancara, Via Instagram, 20 April 2017. 13
7
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.14
Melihat fenomena jual beli kosmetik bekas di Surabaya yang marak
dilakukan saat ini maka penulis termotivasi untuk mengkaji dan
menganalisis lebih dalam praktek jual beli barang tersebut dengan judul :
“Analisis Sadd al-Dhari>’ah dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 terhadap
Jual Beli Kosmetik Bekas Secara Online di Surabaya”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis
mencoba mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dapat dijadikan
penelitian yaitu :
a) Praktik jual beli kosmetik bekas Secara Online di Surabaya.
b) Faktor yang menyebabkan seseorang untuk menjual kosmetik bekas
di Surabaya.
c) Produk-produk kosnmetik bekas apa saja yang dijual.
d) Faktor yang menyebabkan masyarakat tertarik untuk membeli
kosmetik bekas di Surabaya.
e) Dampak yang akan ditimbulkan jika menggunakan kosmetik bekas.
f) Analisis Sadd al-Dhari’ah dan Undang-Undang No.8 tahun 1999
terhadap jual beli kosmetik bekas di Surabaya.
2. Batasan Masalah
14
8
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas dan hasil
penelitian ini dapat lebih terarah, maka penulis hanya mengkaji pada
masalah:
a) Praktik jual beli kosmetik bekas di Surabaya.
b) Dampak yang akan terjadi bila menggunakan kosmetik bekas.
c) Analisis Sadd al-Dhari>’ah dan UU no 8 tahun 1999 terhadap jual beli
kosmetik bekas di Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi dan batasan masalah diatas, maka dapat dirumuskan
menjadi pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana praktik jual beli kosmetik bekas secara online di Surabaya ?
2. Bagaimana analisis Sadd al-Dhari>’ah dan Undang-Undang No.8 Tahun
1999 terhadap Jual Beli Kosmetik Bekas secara online di Surabaya ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah gambaran hubungan topik yang akan diteliti
dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
sehingga tidak terjadi pengulangan secara mutlak.15
Setelah penulis melakukan penelusuran kajian pustaka, terdapat
beberapa skripsi yang terkait dengan judul penulis yaitu :
9
1. Skripsi yang ditulis oleh Ifa Al Mufidah dengan judul “Tinjauan Sadd Al-Dhari‘ah Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Terhadap Jual Beli Roti Semi Kedaluwarsa Di
CV. Surya Global Surabaya”.16 Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
praktik jual beli roti semi kedaluwarsa ini dilaksanakan ketika roti baru
dilakukan penarikan produk dari toko atau agen. Roti yang diperjual
belikan dalam keadaan H-1 menjelang kedaluwarsa yang kemudian
untuk menghindari aspek kemubaziran maka dimanfaatkan oleh
distributor untuk dijual kembali dengan harga yang sangat murah.
Dalam sadd al-dhari>‘ah jual beli ini memang diperbolehkan,
namun dimanfaatkan kembali oleh reseller untuk dijual kembali maka
hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan membawa kemafsadatan
bagi yang mengonsumsi. Tidak ada jaminan dari pihak distributor yang
menjual kembali roti yang memasuki tanggal kedaluwarsa dan dari
pihak reseller. Selain itu juga telah melalaikan kewajiban sebagai
pelaku usaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Perbedaan skripsi ini dengan yang
akan diteliti oleh penulis adalah bahwa objek dari penelitiannya
berbeda, skripsi oleh Ifa menggunakan objek roti semi kadaluarsa
sedangkan pnulis objeknya adalah kosmetik bekas. Perbedaan
selanjutnya adalah bahwa kosmetik bekas yang akan penulis teliti
16Ifa Amufida, “Tinjauan Sadd Al-Dhari‘ah Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Terhadap Jual Beli Roti Semi Kedaluwarsa Di CV. Surya Global
10
belum mencapai tanggal kadaluarsa berbeda dengan skripsi tersebut
yangobjeknya sudah hampir memasuki tanggal kadaluarsa.
2. Skripsi yang kedua berjudul “Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan (Study Komparasi
Hukum Islam dan Undang Undang Perlindungan Konsumen”17 yang
ditulis oleh Risma Qumilaila. Skripsi ini membahas mengenai
konsumen yang merupakan mata rantai yang tidak bisa diabaikan
dalam menjaga perputaran roda kehidupan. Namun ironisnya
keberadaan konsumen yang sangat penting justru lemah dalam
perlindungan hukumnya dan sering pula mendapatkan akibat yang
memprihatinkan dari segi kesehatan baik jasmani maupun rohani,
disebabkan oleh isi dan bahan-bahan yang terkandung dalam barang
yang dikonsumsi seperti penggunaan borak, formalin dan sebagainya.
Padahal makanan yang dikonsumsi tidak hanya sekedar sebagai
penahan rasa lapar dan haus saja tetapi juga berpengaruh penting
terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia. Sebagian
besar dari masyarakat masih memandang kuantitas daripada kualitas
maka dari itu tuntutan moral bagi para pelaku usaha dan pemerintah
untuk melakukan pengawasan terhadap mutu makanan dirasa msih
kurang.
17 Risma Qumilaila, “Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-bahan Kimia Berbahaya Pada
Makanan (Study Komparasi Hukum Islam dan Undang Undang Perlindungan Konsumen”
11
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Hukum Islam segala
bentuk jual beli yang mengandung penipuan, ketidak jujuran dan
kecurangan serta membahayakan pemakainya adalah dilarang. Sanksi
bagi pelaku adalah dikenakan hukuman ta’zir. Sementara dalam UUPK
dijelaskan bahwa hak konsumen untuk mendapatkan jaminan atas
keselamatan dan keamanan dari penggunaan barang dan jasa sangat
ditegaskan didalam pasal 4. Sehingga pelaku yang melanggar pasal 4
tersebut akan dikenakan sanksi berupa pemberian ganti rugi kepada
konsumen.
Perbedaan skripsi tersebut dengan penelitian yang akan penulis
lakukan adalah bahwa dalam skripsi tersebut menggunakan analisis
hukum Islam sedangkan penulis mnggunakan sadd adh dhari’ah. Kedua
objek yang diteliti dalam skripsi tersebut adalah makanan yang
mengandung bahan kimia berbahaya sedangkan penulis akan meneliti
kosmetik bekas yang bahannya aman namun karena bekas tersebutlah
yang meragukan keamanannya. Yang terakhir adalah penelitian
tersebut menggunakan library research berbeda dengan penulis yang
menggunakan field research.
3. Skripsi ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Ririt Kholifa dengan
12
Surabaya”.18 Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa praktek jual
beli pakaian bekas di Royal plaza Surabaya hampir sama dengan
praktek jual beli pada umumnya. Produk yang diperjualbelikan adalah
baju, kemeja, kaos, hanya saja dalam proses jual beli, penjual tidak
memberikan informasi mengenai kondisi dan status barang yang
dijualnya. Menurut hukum Islam dalam melakukan jual beli pakaian
bekas diperbolehkan jika pembeli secara tidak langsung mengetahui
bahwa barang yang dijual adalah pakaian bekas, karena pakaian yang
dijual dalam lingkup toko biasa sera harganya relatif lebih murah. Jual
beli yang tidak diperbolehkan jika pembeli memang sama sekali tidak
mengerti kondisi bang ang djualnya karena dalam hal ini termasuk
menyembunyikan cacat. Sedangkan menurut Undang-Undang
Perdagangan mengenai barang impor yang dalam keadaaan tidak baru
atau pakaian bekas yang telah melanggar Undang-Undang
Perdagangan terdapat pada pasal 47 ayat 1. Sehingga menurut
Undang-Undang Perdagangan barang yang di impor dalam keadaan tidak baru
atau pakaian bekas dikenai sanksi sesuai pasal 111 yaitu dengan
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,00 (Lima miliar rupiah).
Perbedaan skripsi tersebut dengan yang akan diteliti penulis
adalah di skripsi tersbut menggunakan analisis Hukum Islam dan
18Ririt Kholia, “Analisis Hukum islam Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdaangan
13
Undang-Undang no 7 tahun 2014 sedangkan penulis menggunakan
sadd adh dhari’ah dan undang-undang no 8 tahun 1999. Perbedaan
yang kedua adalah objek skripsi tersebut adalah pakaian bekas
sedangkan objek yang akan enulis teliti adalah kosmetik bekas.
Dalam berbagai sumber yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa judul
skripsi yang dirangkai penulis memiliki pokok permasalahan yang berbeda
dengan beberapa judul yang telah diuraikan di atas yang mana peneliti
mencoba mengkaji tentang jual beli kosmetik bekas yang terjadi di Surabaya
dan akan dikaitkan dengan Sadd al-Dhari>’ah dan Undang-Undang
perlindungan konsumen No.8 tahun 1999 sehingga menurut penulis
permasalahan ini menarik dan perlu untuk dikaji.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan praktik jual beli kosmetik bekas secara online di
Surabaya.
2. Memahami analisis Sadd al-Dhari>’ah dan UU No.8 tahun 1999
terhadap jual beli kosmetik bekas secara online di Surabaya.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Diharapkan skripsi ini mempunyai nilai tambah dan manfaat, baik bagi
pembaca terutama mahasiswa Muamalah dan terlebih lagi bagi penulis
14
1. Secara Teoretis
Dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan pengetahuan di bidang
hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan proses jual beli
kosmetik bekas dan penetapan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyimpangan.
2. Secara Praktis
Penulis mengharapkan bahwa skripsi ini dapat dijadikan dasar
dalam bagi para pembaca untuk dijadikan landasan berfikir dalam
melakukan proses jual beli daan sosialisasi sekaligus mempertajam
analisis teori dan praktik terhadap jual beli terutama jual beli kosmetik
bekas secara online.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah dalam skripsi ini,
maka disini dijelaskan maknanya sebagai berikut :
1. Sadd al-Dhari>’ah :Merupakan salah satu metode
penggalian hukum dalam Hukum
Islam dengan cara menutup jalan
yang membawa kepada kebinasaan
(bahaya) atau kejahatan (hal yang
dilarang).19
15
2. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 :MerupakanUndang-Undang
mengenai perlindungan konsumen
yang memuat kewajiban dan hak
konsumen dan pelaku usaha.
3. Kosmetik Bekas :Merupakan kosmetik yang telah
dipakai orang lain dan sudah tidak
digunakan kembali
H. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni
penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya20 terhadap jual beli
kosmetik bekas di Surabaya. Kemudian untuk memberikan gambaran yang
lebih baik, dibutuhkan langkah-langkah yang sistematis yaitu :
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka data yang dikumpulkan adalah data mengenai jual beli kosmetik
bekas di Surabaya.
2. Sumber data
Sumber data diperoleh dari berbagai sumber diantaranya adalah :
a. Sumber Primer
16
Sumber Primer adalah sumber data langsung saat penelitian
dilakukan.21 Adapun sumber primer didalam penelitian ini terdiri
penjual, pembeli, pemilik akun, serta dari kepala penyidik
BBPOM, yaitu:
1) Anna selaku pemilik produk atau penjual kosmetik bekas di
Surabaya.
2) Adhel selaku pemilik produk atau penjual kosmetik bekas di
Surabaya.
3) Eveline Ika Dewi selaku pemilik produk atau penjual
kosmetik bekas di Surabaya.
4) Winda Agustina selaku pemilik produk atau penjual kosmetik
bekas di Surabaya.
5) Kristi selaku pemilik akun Instagram jual beli kosmetik bekas
di Surabaya (Penyedia Iklan).
6) Tyass selaku pembeli kosmetik bekas di Surabaya.
7) Febri selaku pembeli kosmetik bekas di Surabaya.
8) Herwinda selaku pembeli kosmetik bekas di Surabaya.
9) Dra.Siti Amanah, Apt selaku kepala devisi penyidikan di
BBPOM Surabaya.
b. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder yakni sumber data yang dibutuhkan
untuk mendukung sumber data primer, dari beberapa buku-buku
21
17
yang dapat diambil dan diperoleh dari bahan pustaka yang terkait
dengan masalah yang diteliti.22 Sumber sekunder yang penulis
pakai diantaranya sebagai berikut:
1) Al-Quran dan Hadits
2) Wahbah} Al-Zuh}ayliy,Us}u>l Al-Fiqh Al-Isla>mi>,
3) Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, 2008.
4) Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2011.
5) Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, 2014.
6) Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, 1997.
7) Satria Efendi, Ushul Fiqih, 2005.
8) Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, 2013
9) Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen di Indonesia, 2011
10) Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
11) Beberapa bahan pustaka lain yang berhubungan atau
mendeskripsikan landasan teori
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam usaha pengumpulan data serta keterangan yang diperlukan
dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data
sebagai berikut:
22
18
a. Wawancara
Wawancara dalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara tanya sepihak secara tatap muka yang dikerjakan secara
sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.23 Dalam
penelitian ini, penulis mewawancarai penjual kosmetik bekas,
pemilik akun Instagram kosmetik bekas Surabaya dan juga pembeli
kosmetik bekas.
b. Observasi
Observasi, yaitu sebuah penggalian data yang dilakukan dengan
cara mengamati secara langsung, mendengar, memperhatikan dan
mencatat terhadap peristiwa, keadaan, atau hal lain yang menjadi
sumber data.24
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh langsung dari para pihak yang bersangkutan dan
bahan pustaka selanjutnya akan diolah dengan beberapa tahapan yaitu
sebagai berikut:
a. Editing
Editing yaitu memeriksa kembali data atau informasi berupa
benda-benda tertulis, seperti: buku, dokumen, peraturan dan catatan yang
lain. yang dilihat dari segi keselarasan, kesesuaian, keseragaman
serta mencari relevansi dan keseragaman dengan permasalahan.25
23 Ibid, 64.
24 Nasution, Metode Research, (Jakarta: Bumi Aksara,1996),106.
19
b. Organizing
yaitu menyusun data yang diperoleh secara sistematis sehingga
dapat menghasilkan bahan sebagai laporan yang sudah direncanakan
sebelumnya.26
c. Analizing
Analizing adalah memberikan analisa-analisa pada data sehingga
dapat ditarik kesimpulan.27
5. Teknik Analisis Data
Penulis menganalisis dengan menggunakan metode diskriptif analisis
yaitu mengumpulkan data tentang praktik jual beli kosmetik bekas di
Surabaya yang disertai analisis untuk diambil kesimpulannya. Penulis
menggunakan metode ini karena ingin memaparkan, menjelaskan dan
menguraikan data yang terkumpul kemudian disusun dan dianalisis
untuk diambil kesimpulannya.
Pola pikir pembahasan yang penulis pakai adalah deduktif. Pola pikir
deduktif adalah pola berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum
terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagian yang
khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman dalam penulisan
skripsi ini perlu dikemukakan tentang sistematika pembahasan, maka penulis
20
menyusun skripsi ini dengan sistem perbab, dan dalam bab terdiri dari
sub-sub bab. Sehingga terjadi keterkaitan yang untuk selanjutnya sistematika
pembahasan yang disusun sebagai berikut:
Bab satu, yang merupakan dasar dari penjelasan skripsi secara umum
meliputi; latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, merupakan kerangka teoritis pembahasan tentang landasan
teori yang berisi pengertian sadd dhari>’ah, landasan hukum sadd
al-dhari>’ah, kedudukan sadd al-al-dhari>’ah, macam-macam sadd al-dhari>’ah. Di
bab ini penulis juga akan memaparkan mengenai Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dalam hal ini meliputi latar belakang dan dasar
perlindungan konsumen, tujuan perlindungan konsumen, pengertian
konsumen, hak dan kewajiban konsumen, pengertian pelaku usaha, hak dan
kewajiban pelaku usaha.
Bab ketiga, merupakan hasil penelitian tentang praktik jual beli
kosmetik bekas di Surabaya, juga dampak-dampak yang akan terjadi jika
menggunakan kosmetik bekas tersebut.
Bab keempat, merupakan pembahasan analisis jual beli Sad al-Dhari’ah
dan Undang-undang No.8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen
21
Bab kelima, memuat jawaban tentang apa yang ada pada rumusan
masalah, kesimpulan, dan juga saran yang memuat komentar dari peneliti
22
22
BAB II
SADD AL- DHARI’AH DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999
(PERLINDUNGAN KONSUMEN)
A. Sadd Al- Dhari>’ah
1. Pengertian sadd al- dhari>’ah
Dilihat dari segi bahasa kata ِةَعْ يِردلا ْدَسterdiri dari dua kata, yaitu
دَسartinya menutup dan kata ِةَعْ يِردلا berarti wasilah atau jalan ke suatu
tujuan. Dengan demikian Sadd al-Dhari<’ah secara bahasa berarti “
menutup jalan kepada suatu tujuan. Maksudnya yaitu menutup jalan
yang tujuannya menuju kepada kerusakan. Sesuai dengan tujuan
syara‟ menetapkan hukum para Mukallaf, agar mencapai
kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan.1
Sadd al- dhari>’ah menurut asmawi juga diartikan sebagai upaya
mujtahid untuk menetapkan larangan mengenai suatu kasus hukum
yang pada dasarnya adalah mubah dan lebih bersifat preventif.2
Imam al-Syathibi mendefinisikan sadd al-dhari>’ah dengan melakukan pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk
menuju kepada suatu kemafsadatan.3 Maksudnya adalah seseorang
yang melakukan kegiatan atau pekerjaan yang sebenarnya dibolehkan
karena mengandung manfaat tetapi berakhir dengan kemafsadatan.
1 Masykur Anhari,Ushul Fiqh,(Surabaya: Diantama, 2008), 116. 2 Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),142.
23
Imam al-syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus
dipenuhi sehingga suatu perbuatan itu dapat dinyatakan dilarang
untuk dilakukan, yaitu4 :
a. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada
kemafsadatan.
b. Kemafsadatan yang lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan.
c. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan, terdapat unsur
kemafsadatan yang lebih banyak daripada unsur
kemaslahatannya.
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah yang menyatakan bahwa al-Dhari<’ah
itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga
yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat lagi jika Sadd
al-Dhari<’ahdibagi menjadi dua, yaitu Sadd al-Dhari<’ah(yang dilarang) dan Fath al-Dhari<’ah (yang dianjurkan).5
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman Sadd Al-Dhari>’ah
adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada
perbuatan yang terlarang.6
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa Sadd
al-Dhari>’ah adalah menetapkan hukum larangan atas sesuatu perbuatan
tertentu untuk kegiatan pencegahan yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan
4
Nasrun Haroen,Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996),162.
5
Ulin Na’mah,Kehujjahan Sadd al-Dhari’ah,Sustitia Islamica,No.1,(Januari-Juni,2015),27.
6
24
suatu mafsadah. Pencegah terhadap mafsadah dilakukan karena ia
bersifat terlarang. Sebagai contoh, pada dasarnya menjual anggur
adalah mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang halal
dimakan. Akan tetapi, menjual anggur kepada orang yang akan
mengolahnya ,menjadi minuman keras menjadi terlarang. Perbuatan
tersebut terlarang, karena akan menimbulkan mafsadah. Begitu juga
dengan jual beli yang dilakukan secara tidak tunai atau secara tempo
karena dalam jual beli yang seperti ini akan membawa kepada
mafsadah yaitu transaksi yang bersifat ribawi. Yang benar adalah jual
beli yang dilakukan secara tunai atau bertemu secara langsung.7
2. Dasar Hukum Sadd al-Dhari>’ah
Di dalam ruang lingkup Sadd al-Dhari<’ah, tidak ada dalil yang jelas dan pasti menurut nas} maupun ijma ulama tentang boleh tidak
dalam menggunakannya. Namun demiian, ada beberapa nas} yang
mengarah kepadanya, baik al-Quran maupun As-Sunnah, juga kaidah
fiqh, diantaranya yaitu :
a. Al-Baqarah ayat 104 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih”8
7
Asmawi,Perbandingan Ushul ...,145
8
25
Maksud dari ayat tersebut adalah kaum muslim dilarang
untuk mengucapkan kata “Raa'ina” karena ucapan tersebut
adalah ucapan yang biasa digunakan oleh kaum Yahudi untuk
menjelekkan Nabi Muhammad saw. Larangan ini didasarkan
atas keyakinan bahwa pengucapan kata tersebut akan membawa
kepada mafsadah yaitu tindakan menjelekkan Nabi Muhammad
saw. Dalam ayat ini menjelaskan tentang urgensi Sadd
al-Dhar>i’ah.9
b. Al-An’am ayat 108 :
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”10
Maksudnya adalah bahwa Allah melarang kaum muslimin
untuk mencaci maki berhala, karena jika kamu muslim mencaci
berhala maka kaum musrik juga akan mencaci maki Allah
dengan makian yang sama atau bahkan lebih.11
c. Dalil As-Sunnah
9 A.Djazuli,Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), 99.
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah ...,141.
26
رلا َنَعْلَ يْ نَأ ِرِئاَبَكْلا ََِْكَأ ْنِم نِإ
ِهْيَدِلاَو ُلُج
‘
َلْيِق
:
ُلُجرلا ُنَعْلَ ي َفْيَك ِها َلْوُسَر اَي
َلاَق ؟ ِهْيَدلاَو
:
رلا اَبَأ بُسَي
ُهمُأ بُسَيَ ف ُهمُأ بُسَيَو ،ُاَبَأ بَسَيَ ف ِلُج
ُ
اور
رواد وبأو ملسمو يراخبلا
َ
“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang yang melaknat kedua orang tuannya. Lalu Rasulullah ditanya orang,
“Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?” Rasulullah menjawab “Seseorang
mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,
maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu” (H.R. al-Buhkari, Muslim dan Abu Daud).12
Hadits ini menurut Ibn Taimiyyah menunjukkan bahwa
sadd al- dhari>’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan
hukum syara’, karena sabda Rasulullah di atas masih bersifat
dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasulullah melarangnya.13
Hadits lain yang mengarahkan menuju sadd al- dhari>’ah adalah :
ٌنَِ ب ُلَاَحا
َنِم ِهْيَلَع َهنبُش اَم َكَرَ ت ْنَمَف ،ٌةَهِبَتْشُم ٌر وُمُأ اَمُهَ ْ يَ بَو ، ٌنَِ ب ُماَرَحاَو
ْسا اَمِل َن اَك ِِْْإا
ْنَأ َكَشْوَأ ِِْْإا َنِم ِهْيِف كُشَي اَم ىَلَع َأَرَ تْجا ِنَمَو ،َكَرْ تَأ َناَبَت
ِِ يِصاَعماَو ،َناَبَتْسا اَم َعِقاَوُ ي
ا ى
ُهَعِقاَوُ ي ْنَأ ْكِشِوُي ىمِْحا َلْوَح ْعَتْرَ ي ْنَم ،ِه
“halal dan haram adalah perkara yang jelas, dan diantaranya
terdapat perkara yang syubhat (sesuatu yang meragukan, sesuatu yang tidak jelas apakah halal atau haram). Maka siapapun yang meninggalkan syubhat karena khawatir melakukan dosa, ia telah benar-benar menghindari yang haram; dan siapapun yang berani melakukan syubhat, ia hampir jatuh kedalam perkara yang jelas haramnya. Dosa adalah hima (tempat penggembalaan pribadi) milik Allah dan siapapun yang menggembalakan (domba-dombanya) didekatnya, pada saat itu ia benar-benar hampir masuk kedalamnya” (H.Rbukhari)14
12 Imam Az-Zabidi,Ringkasan Shahih Al-Bukhari,(Bandung: Mizan,1997),846. 13 Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh...”,167.
14
27
Penjelasan dari hadis di atas ialah menerangkan bahwa
mengerjakan perbuatan yang samar (syubhat) lebih besar
kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan
daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.
Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
d. Kaidah Fiqhiyah
ُءْرَد
ا
اَفَمْل
ِدِس
ُمدَقُم
ىَلَع
ِبْلَج
ا
اَصَمْل
ِحِل
“Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemashalatan atau kebaikan.”15
Maksud dari kaidah fiqih di atas adalah bahwa jika terjadi
pertentangan antara kerusakan dan kemashalatan (kebaikan)
pada suatu perbuatan atau jika satu perbuatan ditinjau dari segi
terlarang, karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi
yang lain mengandung kemaslahatan, maka segi larangan yang
harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah
meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah
menjalankan kebaikan.
Contohnya jika seseorang ingin mengambil manfaat dari
suatu lahan, tetapi jika ia mengambil manfaat dari lahan
tersebut maka akan terjadi kerusakan alam yang ada
15
28
disekitarnya maka hendaknya manfaat itu tidak perlu diambil
karena harus mendahulukan kerusakan alam.16
3. Macam-macam Sadd al-dhari>’ah
Wahbah az-Zuhaili membagi al-dhari>’ah menjadi empat kategori.17 Dimana pembagian ini mempunyai
ketentuan-ketentuan yang jika dihubungkan kemungkinan membawa dampak
mafsadah dan membantu tindakan yang diharamkan hukumnya.
Pembagian tersebut adalah sebagai berikut :
a. Dhari>’ah yang secara pasti dan meyakinkan akan membawa kepada mafsadah. Terhadap dhari’ah yang semacam ini, para ahli ushul fiqh sepakat untuk mengharamkannya.
Contohnya adalah menggali sumur saat malam hari disaat
pemilik rumah tidak mengetahuinya, perbuatan ini dilarang
karena jika pemilik rumah jatuh kedalam sumur maka
penggali sumurlahyang akan dihukum.
b. Dhari>’ah yang berdasarkan dengan kuat akan membawa kepada mafsadah. Dhari>’ah semacam ini juga ahli iqih sepakat untuk mengharamkannya. Contohnya adalah
menjual anggur kepada seseorang yang akan dijadikan
minuman keras. Pembagian ini didasarkan kepada prinsip
yaitu :
16 Ibid
29
1) Dugaan yang kuat dapat dianggap sebagai ilmu
pengetahuan
2) Upaya membendung jalan adalah upaya dalam rangka
untuk berhati-hati agar tidak menimbulkan
kemafsadatan. Sedangkan upaya berhati-hati ini
dihasilkan dari dugaan yang kuat.18
c. Dhari>’ah yang kecil kemungkinannya untuk membawa kepada kemafsadatan. Perbuatan seperti ini tetap pada
hukum asalanya yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang
itu adalah yang diduga keras membawa kemafsadatan
sedangkan didalam kasus ini jarang terjadi kemafsadatan.
Misalnya yaitu menjual sejenis makanan kepada seseorang
yang tidak membawa keburukan jika memakannya.
d. Dhari>’ah yang berdasarkan asumsi biasa (bukan dugaan yang kuat) akan membawa kepada mafsadah. Mengenai
dhari’ah semacam ini para ulama berbeda pendapat. Ada
yang berpendapat perbuatan tersebut harus dilarang karena
sadd adh dhari’ah dan ada juga yang berpikiran sebaliknya.
Contohnya adalah transaksi jual beli secara kredit,
berdasarkan asumsi biasa transaksi yang semacam ini akan
membawa kepada mafsadah terutama kepada debitur.
30
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dhari>’ah jika dilihat dari
segi kemafsadatan yang akan ditimbulkannya terbagi menjadi
beberapa bagian yaitu19 :
a. Dhari>’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti minum minuman yang memambukkan
atau perbatan zina yang membawa pada kerusakan tata
keturunan.
b. Dhari>’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak.
Misalnya adalah mencaci sesembahan agama lain,
sebenarnya mencaci sesembahan agama lain dasarnya
adalah mubah, namun perilaku tersebut dapat menjadi jalan
bagi agama lain untuk mencaci Allah dan hal tersebut
menjadi terlarang untuk dilakukan.
c. Dhari>’ah yang semula untuk sesuatu yang mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga
pada kerusakan yang mana kerusakannya lebih besar dari
kebaikannya. Contohnya adalah seorang perempuan yang
berhias setelah kematian suaminya dan dalam proses masa
‘iddah.
d. Dhari>’ah yang semula ditentukan untuk mubah namun terkadang membawa kepada kerusakan sedangkan
31
kerusakannya lebih kecil dari kebaikannya. Contohnya
adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.
4. Kedudukan Sadd-al-Dhari>’ah
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa tidak ada dalil yang
jelas mengenai boleh tidaknya menggunakan sadd al-dhari>’ah, oleh
karena itu dasar pengambilannya berdasarkan tindakan berhati-hati
dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman
dalam tindakan hati-hati tersebut adalah faktor manfaat dan
mudharat atau baik dan buruk20.Ada beberapa ulama yang
memperbolehkan sadd al-dhari>’ah namun juga ada yang tidak menyetujuinya.
Kalangan Malikiyyah dan Hanabillah menerima sadd
al-Dhari’ah sebagai dalil menetapkan hukum, sementara kalangan
Hanafiyyah, Syafiiyah dan Syiah hanya menerima sadd al-dhari>’ah
dalam masalah tertentu dan tidak menjadikannya sebagai dalil
dalam masalah-masalah lainnya. Misalnya imam syafi’i
membolehkan seseorang yang akrena uzur seperti sakit boleh
meninggalkan sholat jum’at dan menggantikannya dengan shalat dhuhur namun hendaknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi
32
untuk menghindarkan tuduhan dari sengaja meninggalkan shalat
jum’at.21
Kalangan Hanafiyyah juga menggunakan kaidah sadd
al-dhari>’ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya mereka
mengatakan bahwa orang yang melakukan puasa yaum al-syakk
(akhir bulan sya’ban yang diragukan apakah telah masuk bulan
Ramadhan atau belum), sebaiknya dilakukan secara diam-diam
apalagi jika orang tersebut adalah seorang mufti sehingga orang
tersebut tidak dituduh melakukan puasa pada yaum al-syakk
tersebut.22
Ada dua sisi cara memandang dhari<’ah yang dikemukakan para ulama us}ul fiqh, antara lain:
a. Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan
suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal maupun
yang haram. Misalnya, seorang laki-laki yang menikahi
seorang wanita yang ditalak suaminya sebanyak tiga kali,
dengan tujuan agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh
suami pertamanya. Pada dasarnya menikah itu dianjurkan
dalam Islam, tetapi motivasinya tidak sejalan dengan
tujuan Islam, maka perbuatan ini dilarang.
b. Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa
dampak negatif. Misalnya, seorang muslim yang mencaci
33
maki sembahan kaum musyrik. Niatnya mungkin untuk
menunjukkan kebenaran ‘aqidah nya yang menyembah
Allah. Tetapi, akibat caciannya ini bisa membawa dampak
yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang serupa
atau lebih dari mereka terhadap Allah. Karenanya
perbuatan seperti ini dilarang.23
B. Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Indonesia berasal dari dua kata yaitu jual
dan beli, yang dimaksud dengan jual beli adalah berdagang, berniaga,
menjual dan membali barang.24 Secara etimologi, jual beli adalah
proses tukar menukar barang dengan barang.25 Di kalangan ulama
terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian jual beli.
Ulama Hanafiyah mendefinisikan jual beli dengan 2arti yaitu :
ىٍصْوُصََْ ٍهْجَو ىَلَع ٍلاَِِ ٍلاَم ُةَلَداَبُم
“saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu”26ٍئْيَش ٌةَلَداَبُم
ىٍصْوُصََْ ٍديقُم ٍهْجَو ىَلَع ٍلْثِِِ ِهْيِف ٍبْوُغْرَم
“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui secara tertentu yang bermanfaat”27
23 Ibid, 169-170.
24Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) .32 25Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006)
26
34
Definisi lain dikemukakan oleh Ulama Malikiyyah,Syafi’iyah
dan Hanabillah, menurut mereka jual beli adalah :
أَكيِلََْ ِلاما ُةَلَداَبُم
“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milikdan pemilikan”28
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat dipahami jual beli
adalah tukar menukar barang dengan maksud memberi kepimilikan
dimana terdapat unsur kerelaan dari pihak-pihak yang melakukannya.
b. Dasar hukum Jual Beli
1) Al-Qur’an
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”29 (Q.S Al-Baqarah: 275)
2) Hadis Nabi
28 Ibid
29
35
...
ِئُس
َل
َملَسَو ِهْيَلَع ُها ىلَص ِِلا
:
َلاَقَ ف ؟ ُبَيْطَأ ِبْسَكْلا يَأ
:
ِِدَيِب ِلُجرلا ُلَمَع
ٍرْوُرْ بَم ٍعْيَ ب لُكَو
ُ
مكاحاو رازبلا اور
َ
“...Rasulullah saw. ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan
(profesi) apa yang paling baik. Rasulullah saw. menjawab: usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati” (HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim)30
c. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga
jual beli tersebut dapat dikatakan sah. Dalam menentukan jual terdapat
perbedaan ulama. Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli hanya satu
yaitu Ijab dan Kabul. Menurut mereka yang menjadi rukun hanya
berdasarkan unsur kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan jual
beli.31
Akan tetapi, Jumhur Ulama mengatakan bahwa rukun jual beli itu
ada 4 yaitu32:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)
2. Ada Sighat (lafal dan ijab qabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
30
Idri, Hadits...,87.
31
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Medika Pratama, 2000),115.
32
36
Adapun syarat yang sah tentang jual beli ini menurut jumhur ulama
diatas adalah sebagai berikut :
1. Syarat orang yang berakad
Jumhur ulama sepakat bahwa untuk melakukan sebuah akad,
seseorang tersebut harus memenuhi syarat yaitu33 :
a. Berakal
Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan
akad jual beli harus telah baligh dan berakal. Apabila orang
yang berakad itu masih mumayz maka jual belinya tidak sah,
sekalipun mendapat ijin dari walinya.
b. Orang yang berbeda
Seseorang yang melakukad akad ini harus berbeda.
Artinya adalah bahwa seseorang tidak dapat bertindak
menjadi penjual dan pembeli secara bersamaan.
2. Syarat Sighat
Apabila ijab dan kabul telah diucapkan dalam akad jual beli
maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan dari
pemilik semula. Barang yang dibeli berpindah tangan menjadi
milik pembeli dan uang berpindah kemilik penjual.
Sedangkan para ulama fiqh menjelaskan bahwa syarat ijab dan
kabul adalah sebagai berikut34 :
a. Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal
37
b. Kabul harus sesuai dengan ijab
c. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis.
3. Syarat barang yang diperjual belikan
Syarat yang terkait dengan barang yang sah untuk diperjual
belikan adalah35 :
a. Barang tersebut ada atau tidak ada ditempat, tetapi pihak
penjual menyanggupi untuk barang tersebut
b. Barang tersebut harus bermanfaat. Tidak boleh memperjual
belikan serangga, ular, tikus kecuali bisa dimanfaatkan.
c. Barang tersebut harus dimiliki oleh orang yang berakad, atau
mendapatkan izin dari si pemilik barang.
d. Barang tersebut harus bisa diserahterimakan secara syar’i dan
secara fisik\
e. Masing-masing dari barang harus diketahui oleh penjual dan
pembeli. Jika keduanya tidak diketahui ataupun keduanya
tidak diketahui maka jual beli tersebut tidak ada kejelasan.
f. Barang yang akan dijual harus diterima oleh si penjual apabila
sebelumnya dia memperoleh barang tersebut dengan sebuah
pertukaran.
Disamping syarat yang berkaitan dengan rukun dan syarat, Wahbah
az Zuhaily mengemukakan syarat-syarat lain yaitu ketidakjelasan.
Adapaun yang dimaksud dengan cacat ini adalah adanya ketidak jelasan
38
yang berlebihan dalam transaksi atau menimbulkan konflik yang sulit
untuk diselesaikan yaitu sengeketa yang disebabkan argumentasi kedua
belah pihak yang sama-sama kuat karena faktor ketidak jelasan.
Menurutnya, ketidak jelasan transaksi terbagi menjadi empat kategori36 :
a. Adanya ketidak jelasan bagi pembeli yang menyangkut barang
dagangan, dari segi jenis, macam, dan jumlahnya.
b. Ketidakjelasan mengenai harga sehingga tidak boleh menjual barang
dengan harga yang sama dengan dengan barang atau sesuatu yang
harganya tetap.
c. Ketidakjelasan mengenai batasan waktu, seperti yang terjadi pada
harga yang ditangguhkan.
C. Undang-undang No.8 Tahun 1999 (Mengenai Pelindungan Konsumen)
a. Perlindungan Konsumen
Perkembangan perekonomian didukung dengan teknologi dan
inormasi yang semakin maju telah menghasilkan berbagai jenis barang
maupun jasa yang akhirnya memberikan konsumen berbagai pilihan
kebutuhan baik berupa jenis barang, kualitas, merk dan sebagainya
yang ditawarkan dengan harga yang sangat bervariatif.37
Namun disisi lain, fenomena tersebut menempatkan
kedudukan konsumen terhadap produsen menjadi tidak imbang,
36
Wahbah Az-Zuhaily, Fiqih Islam,...55.
39
dimana konsumen berada dititik yang kurang menguntungkan karena
konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan
melalui kiat promosi dan cara penjualan yang bisa merugikan
konsumen.38 Melalui undang-undang no.8 tahun 1999 terhadap
perlindungan konsumen, negara mengatur hak-hak konsumen yang
harus dilindungi. Perlindungan konsumen itu sendiri adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.Undang-undang ini bukanlah anti
terhadap produsen melainkan sebuah apresiasi terhadap hak-hak
konsumen secara universal.39
Berdasarkan ketentuan yang ada, pengawasan terhadap produk
yang berkaitan langsung dengan kesehatan manusia baik berupa
makanan, minuman maupun sediaan farmasi (obat-obatan, kosmetik
dan alat kesehatan) dilakukan dalam berbagai tahap, baik mengenai
bahan, cara produksi, lingkungan, pengangkutan dan lain sebagainya,
sehingga apabila berbagai ketentuan tersebut dilaksanakan dengan
baik maka konsumen akan terlindungi.40
Konsumen atau pembeli memiliki beberapa kepentingan yaitu
sebagai berikut41 :
38Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2003),12.
39 Yusuf Sofie,Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta:Ghalia Indonesia,2002),12.
40 Ahmadi Miru,Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), 193.
40
1. Kepentingan fisik
Kepentingan fisik ini berhubungan dengan keamanan dan
keselamatan tubuh atau jiwa dalam penggunakan barang atau
jasa yang dibeli. Kepentingan ini dapat terganggu apabila
barang atau jasa tersebut menimbulkan gangguan terhadap
kesehatan badan atau jiwa.
2. Kepentingan sosial ekonomi
Kepentingan ini merupakan kepentingan yang menghendaki
agar konsumen mendapatkan hasil optimum dalam penggunaan
barang atau jasa yang ia peroleh. Untuk mendapatkan yang
maksimal maka seorang konsumen harus mendapatkan inormasi
yang benar, lengkap dan bertanggung jawab tentang barang atau
jasa yang dikonsumsi agar dapat melakukan pilihan yang tepat.
3. Kepentingan perlindungan hukum
Kepentingan yang dimiliki konsumen untuk mendapatkan
perlindungan hukum apabila mengalami masalah terhadap
barang atau jasa yang dipakai.
Didalam undang-undang no.8 tahun 1999 disebutkan bahwa
konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.42 Di dalam Pasal 1 butir 2 UUPK tersebut, tidak
41
menyebutkan kata pembeli, yang dipergunakan adalah pemakai.
Pengertian pemakai di dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa
barang dan/atau jasa dalam rumusan pengertian konsumen tidak harus
sebagai hasil dari transaksi. Sehingga setiap orang (perorangan, badan
atau kegiatan usaha) yang mengkonsumsi ataupun memakai suatu
produk dapat melakukan klaim atas kerugian yang diderita dari
pemakai produk tersebut.
Pelaku usaha menurut undang-undang perlindungan konsumen
adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.43 Pengertian Pelaku Usaha menurut ketentuan
UUPK ini mempunyai cakupan yang luas karena meliputi penjual
grosir sampai pada pengecer. Pengertian pelaku usaha yang bermakna
luas tersebut, akan memudahkan konsumen korban menuntut ganti
kerugian. Sedangkan objek atau barang menurut UUPK adalah Barang
adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
42
dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.44
b. Asas-asas Perlindungan Konsumen
Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen
adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi
kebutuhan. Singkatnya, bahwa segala upaya yang dimaksudkan dalam
perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap tindakan
preventif, akan tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang
perlindungan yang diberikan kepada konsumen.
Adapun Asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah45 :
1. Asas Manfaat :
Hal ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Hal ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
44 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999, pasal 1 ayat 4.
45
43
3. Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.
Dalam UUPK dijelaskan bahwa undang-undang ini memiliki
beberapa tujuan. Didalam pasal 3 dijelaskna tujuannya yaitu sebagai
berikut46 :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
44
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
c. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebagai konsumen yang memakai barang baik berupa makanan,
minuman, kosmetik dan barang lainnya konsumen memiliki hak
dimana sudah dijelaskan didalam UUPK pasal 4 sehingga konsumen
dapat memperjuangkan haknya jika terdapat salah satu hak yang
dilanggar yaitu sebagai berikut47 :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/ata