PERNIKAHAN
SALEB TARJHE
DI MADURA PERSPEKTIF
TEORI KONSTRUKSI SOSIAL
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah
Oleh:
Ahmad Maskur
NIM. F09214107
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Tesis dengan judul Pernikahan Saleb Tarjhe di Madura Perspektif Teori Konstruksi Sosial ini ditulis dengan beberapa tujuan pokok. Yaitu untuk memberikan penjelasan atas dua pertanyaan mendasar berikut: (1) Bagaimana analisis teori konstruksi sosial terhadap larangan pernikahan saleb tarjhe di Madura?. (2) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pernikahan saleb tarjhe?.
Pernikahan saleb tarjhe adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang calon suami yang salah satu kerabat perempuannya telah dinikahi oleh salah seorang kerabat laki-laki calon isterinya. Walaupun pada dasarnya dalam agama (fiqih munakahat) dan hukum positif (UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan) tidak memuat aturan masalah yang sedemikian, namun pernikahan saleb tarjhe ini dilarang di Madura.
Penulis tertarik memilih tema penelitian dengan judul dan sudut pandang ini karena persoalan nikah saleb tarjhe merupakan suatu persoalan baru yang tidak dapat kita temukan dasarnya namun larangan tersebut hidup di tengah masyarakat. Tepatnya di desa Lomaer kecamatan Blega kabupaten Bangkalan. Bahkan mayoritas masyarakat, terlebih golongan orang-orang tua, percaya dengan mitos-mitos negatif bagi orang yang melanggar larangan pernikahan saleb tarjhe.
Seperti ketidak harmonisan hidup, kemiskinan bahkan sampai mitos tentang kematian.
Jenis penelitian ini adalah field research, yaitu mengadakan penelitian langsung terhadap objek yang diteliti di lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara yang mandalam (in depth interview) dan dokumentasi. Data yang sudah terkumpul dianalisa dengan penguraian bertahap mulai dari klasifikasi data, reduksi data, display data dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Berdasarkan analisis teori konstruksi sosial, adanya larangan pernikahan saleb tarjhe di Madura secara murni merupakan hasil dari konstruksi masyarakat sendiri dengan motif untuk melebarkan tali persaudaraan (maleber kabheleen). Sesuai dengan karakter masyarakat Madura yang senang dengan banyak keluarga. Proses konstruksi larangan pernikahan saleb tarjhe tersebut melewati tiga tahap yaitu eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi. (2) Larangan pernikahan saleb tarjhe tidak dapat kita temukan dasar dan ketentuannya di dalam hukum Islam maupun hukum positif. Sehingga melaksanakan pernikahan saleb tarjhe hukumnya boleh dan sah selama memenuhi syarat rukun pernikahan. Selaras dengan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menghukumi haram.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 6
1. Identifikasi Masalah ... 6
2. Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Kegunaan Hasil Penelitian ... 8
1. Secara Teoritis ... 8
2. Secara Praktis ... 8
F. Kerangka Teori... 8
1. Konsepsi Teori Konstruksi Sosial ... 9
2. Tiga Momen dalam Teori Konstruksi Sosial ... 10
G. Definisi Operasional... 14
H. Metode Penelitian... 15
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 15
2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16
4. Sumber Data ... 17
5. Tahap-tahap Penelitian ... 17
6. Teknik Pengumpulan Data ... 18
7. Analisis Data ... 19
8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 20
I. Studi Terdahulu ... 20
J. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II : DISKURSUS TENTANGPERNIKAHAN DAN ADAT ... 24
A. Pengertian Pernikahan ... 24
B. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan ... 27
C. Larangan Pernikahan dalam Fiqih Munakahat ... 31
1. Mahram Muabbad ... 32
a. Halangan yang disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan (nasab) ... 32
b. Halangan yang disebabkan adanya hubungan pernikahan (mushaharah)... 35
c. Halangan yang disebabkan adanya hubungan susuan ... 39
2. Mahram Ghairu Muabbad... 44
a. Menikahi dua orang saudara dalam satu masa ... 44
b. Poligami diluar batas ... 45
c. Larangan karena ikatan pernikahan ... 47
d. Larangan karena talak tiga ... 47
e. Larangan karena ihram ... 48
f. Larangan karena perzinaan ... 49
g. Larangan karena beda agama ... 51
D. Larangan Pernikahan dalam Hukum Positif ... 52
E. Pernikahan Adat ... 57
1. Pengertian Pernikahan Adat ... 57
2. Sistem Pernikahan Adat... 60
F. Adat dalam Pandangan Agama dan Negara ... 61
2. Adat dalam Pandangan Negara... 64
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SALEB TARJHE DI DESA LOMAER KECAMATAN BLEGA KABUPATEN BANGKALAN MADURA ... 66
A. Gambaran Singkat tentang Madura dan Kabupaten Bangkalan ... 66
B. Larangan Pernikahan Saleb Tarjhe di Desa Lomaer Kecamatan Blega Kabupaten Bangkalan ... 68
1. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian ... 68
2. Larangan Pernikahan Saleb Tarjhe di Desa Lomaer ... 70
3. Contoh Kasus Pernikahan Saleb Tarjhe ... 77
4. Pandangan Masyarakat Desa Lomaer tentang Pernikahan Saleb Tarjhe ... 80
BAB IV: PERNIKAHAN SALEB TARJHE DALAM PERSPEKTIF TEORI KONSTRUKSI SOSIAL ... 83
A. Analisis Teori Konstruksi Sosial Terhadap Pernikahan Saleb Tarjhe di Madura ... 83
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan Pernikahan Saleb Tarjhe di Madura ... 89
BAB V: PENUTUP ... 98
A. Kesimpulan ... 98
B. Kritik dan Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 103
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Madura adalah masyarakat yang memiliki kompleksitas
peradaban yang unik. Kehidupan sosialnya terkenal dengan karakteristik ulet dan
gigih dalam berjuang, berpegang teguh atas tradisi dan norma sosial, serta taat
terhadap ajaran agama (islami).1 Masyarakat Madura juga dikenal patuh terhadap
beberapa figur yang disegani. Yaitu bhabbu-bhuppa’, ghuru, rato (ibu-bapak, guru/kyai dan pemerintah). Bahkan pada persoalan tertentu kepatuhan tersebut ada
kalanya dapat mengenyampingkan aspek keilmuan, rasionalitas maupun
argumentasi keagamaan.2
Kompleksitas budaya yang terdapat di Madura berlaku dalam berbagai
persoalan. Termasuk di dalamnya masalah pernikahan. Berbagai tradisi dan
kebiasaan dalam pernikahan tumbuh subur dan dilestarikan sedemikian rupa oleh
masyarakat Madura. Baik tradisi-tradisi pernikahan tersebut sejalan dengan ajaran
agama maupun tradisi pernikahan yang secara keilmuan tidak memiliki
argumentasi serta masih perlu ditelaah lagi relevansinya dengan agama sebagai
pijakan dasar maupun undang-undang perkawinan sebagai hokum positif.
Pernikahan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nika>h}, yang bermakna
al-wat}’u dan al-d}ammu wa-al jam’u, atau ibarat al-wat}’i wa al-aqd yang
1
Agus Afandi Dkk, Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, (Jogjakarta:Ar-Ruzz, 2006), 10.
2
2
bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.3 Menurut Jalaluddin al-Mahalli
dalam kitabnya Syarh Minha>j at-Tha>libi>n pernikahan didefinisikan sebagai berikut:
ٍجْيِوْزَ تْوَا ٍحَاكْنا ِظْفَلِب ٍءْطَو ةَحَابِا ُنَمَضَتَ ي ٌدْقَع
Artinya: Suatu akad yang memperbolehkan untuk kumpul melakukan hubungan
suami isteri dengan lafadz nakaha atau zawaja. 4
Sementara dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pernikahan tidak lagi dilihat hanya sebagai hubungan jasmani saja,
tetapi juga merupakan hubungan batin. Menurut undang-undang tersebut,
pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan redaksi yang
berbeda, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 menyatakan bahwa pernikahan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki}nah, mawaddah,
warahmah.5
Pengertian pernikahan di atas menunjukkan betapa agung dan sakralnnya
pernikahan. Pernikahan bukan sekadar akad untuk menghalalkan hubungan
seksualitas antara seorang laki-laki dan perempuan semata. Melainkan yang lebih
penting adalah untuk membangun sebuah keluarga yang kekal dengan tujuan
ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam agama Islam,
3
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuhu>, Juz VII, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), 29.
4
Jalaluddin al-Mahalli, Syarh Minha>j at-Tha>libi>n,(Mesir: Da>r Ihya al-Kutub, tt)206.
5
3
sebagaimana dijelaskan Qs. An-Nisa’: 21 akad nikah dikenal sebagai mitha>qan
ghali>z}an (akad yang sangat kuat).
Artinya: bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. 6
Sakralitas sebuah pernikahan menuntut kehati-hatian yang lebih dalam
pelaksanaannya. Dari segi rukun dan syarat harus benar-benar diperhatikan secara
serius. Misalnya dari segi hubungan kekerabatan. Calon mempelai perempuan
harus benar-benar merupakan wanita yang halal (bukan golongan yang haram)
dinikahi. Langkah ini tak lain supaya tujuan disyariatkannya pernikahan
benar-benar tercapai.
Berkaitan dengan persoalan kekerabatan dalam pernikahan, pada
masyarakat Madura terdapat fenomena menarik tentang larangan menikah yang
dikenal dengan saleb tarjhe. Pernikahan saleb tarjhe adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang calon suami yang salah satu kerabat perempuannya telah
dinikahi oleh salah seorang kerabat laki-laki calon isterinya. Walaupun pada
dasarnya secara agama dan hukum positif tidak terdapat persoalan, pernikahan
yang semacam ini dilarang di Madura.7
Contoh sederhana pernikahan saleb tarjhe adalah saat si A telah menikahi seorang perempuan bernama B, maka laki-laki yang masih memiliki hubungan
6
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005), 57.
7
4
darah dengan si B dalam persoalan ini tidak diperkenankan menikahi perempuan
yang merupakan keluarga atau kerabat si A.8
Tradisi ini sudah berlangsung sangat lama dan turun-temurun antar
generasi. Keberadaannya telah menjadi fakta sosial yang tidak dapat dibantah dan
secara terus menerus menjadi hukum tidak tertulis yang hidup dan dipegang
teguh masyarakat Madura. Walaupun dalam hukum Islam larangan pernikahan
saleb tarjhe tidak terdapat ketentuannya.
Dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa larangan perkawinan diberlakukan antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
Contohnya adalah orang tua atau anak.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara saudara dengan saudara
neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristrei lebih dari seorang.
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
Dari uraian di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa pernikahan model
saleb tarjhe tidak termasuk dari bagian larangan pihak-pihak yang haram melakukan pernikahan sehingga dapat dikatakan tidak mempunyai landasan
8
5
hukum yang jelas. Tidak terdapat peraturan baik hukum Islam maupun hukum
posistif yang memuat tentang ketentuan larangan pernikahan saleb tarjhe. Hanya saja keberadaan larangan pernikahan saleb tarjhe ini telah menjadi kepercayaan dan tradisi lokal yang berlaku di Madura sehingga menarik untuk diteliti dan
dikaji.
Dalam konteks penelitian ini, penulis akan menganalisa bagaimana
masyarakat Madura melakukan proses konstruksi larangan penikahan saleb tarjhe
tersebut. Penulis akan menggunakan pendekatan sosiologis dengan teori
konstruksi sosial sebagai pisau analisa dalam melihat persoalan pernikahan saleb tarjhe sebagai objek penelitian.
Teori konstruksi sosial dikenalkan oleh tokoh bernama Peter L. Berger
dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge. Teori konstruksi sosial menyatakan bahwa setiap fakta yang hadir di tengah-tengah masyarakat (realitas
sosial) merupakan hasil proses dialektika. Manusia dipandang mampu berperan
untuk mengubah struktur sosial dan pada saat bersamaan manusia dipengaruhi
dan dibentuk oleh struktur sosial masyarakatnya.9
Peter L. Berger dan Thomas Luckman menyatakan terdapat dialektika
antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu.
Kedua unsur ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya.10 Dengan kata lain, dalam teori konstruksi sosial, realitas tidak dibentuk
secara ilmiah dan juga bukan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan secara
9
Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990), xiv
10
6
tiba. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Proses ini menurut Berger
dan Luckman setidaknya melalui 3 tahap. Yaitu proses eksternalisasi,
objektifikasi dan internalisasi.
Begitu pula adanya larangan pernikahan saleh tarjhe di Madura. Ia hadir tidak secara tiba-tiba melainkan melalui tahapan proses dialektika yang panjang
antara individu dengan masyarakat dan sebaliknya. Dengan menggunakan teori
konstruksi sosial dalam penelitian ini akan dilakukan identifikasi masing-masing
proses ekternalisasi, objektivikasi dan internalisasi dalam masalah pernikahan
saleb tarjhe. Sehingga akan didapatkan gambaran utuh tentang dialektika-dialektika yang terjadi di tengah masyarakat sampai akhirnya menghasilkan
produk berupa larangan nikah saleb tarjhe.
Dari latar belakang persoalan ini, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Pernikahan Saleb Tarjhe di Madura Perspektif Teori Konstruksi Sosial.”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas terdapat beberapa masalah
dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasikan
sebagai berikut:
1. Konstruksi sosial pernikahan saleb tarjhe di Madura.
2. Dampak dari pelanggaran pernikahan saleb tarjhe di Madura.
3. Pandangan hukum Islam terhadap pernikahan saleb tarjhe di Madura.
7
5. Pendapat masyarakat tentang larangan pernikahan saleb tarjhe di Madura.
2. Batasan Masalah
Supaya pembahasan menjadi fokus dan tidak melebar kemana-mana,
dalam penelitian ini penulis membatasi masalah pada persoalan utama yaitu
seputar konstruksi sosial pernikahan saleb tarjhe dan tinjauan hukum Islam atas persoalan tersebut.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis teori konstruksi sosial terhadap larangan pernikahan saleb tarjhe di Madura?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pernikahan saleb tarjhe?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan analisis teori konstruksi sosial terhadap larangan
pernikahan saleb tarjhe di Madura.
8
E. Kegunanaan Hasil Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, penulis berharap bisa memberikan manfaat
dan memberikan sumbangsih pengetahuan kepada semua pihak. Manfaat dan
kegunaan hasil penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Secara teoritis penelitian ini mempunyai beberapa kegunaan,
diantaranya adalah menambah perbendaharaan karya tulis ilmiah di
perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya dan merupakan sumber referensi
bagi siapapun yang akan meneliti lebih lanjut mengenai pernikahan saleb tarjhe.
2. Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat berkontribusi terhadap
pengembangan ilmu sosial keagamaan. Sehingga dapat memberikan
sumbangsih bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan terkhusus di
bidang sosiologi hukum keluarga spesifiknya budaya pernikahan.
F. Kerangka Teori
Dalam meneliti pernikahan saleb tarjhe ini, teori yang digunakan adalah teori konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial diharapkan dapat memberikan hasil
berupa identifikasi masing-masing proses ekternalisasi, objektivikasi dan
internalisasi dalam pernikahan saleb tarjhe. Sehingga akan didapatkan gambaran utuh tentang dialektika-dialektika yang terjadi anatara individu dan masyarakat
9
1. Konsepsi Teori Konstruksi Sosial
Teori konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer
yang di perkenalkan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui
bukunya berjudul The Social Constuction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Mereka memberikan gambaran proses-proses sosial melaui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan
secara terus menerus secara subyektif suatu realitas yang dimiliki dan dialami
bersama.11
Teori konstruksi sosial pada dasarnya merupakan derivasi dari teori
fenomenologi.12 Teori fenomenologi (phenomenology) sendiri adalah satu dari tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial selain teori aksi
(action theory) dan interaksionisme simbolik (simbolic interaksionism).13 Teori konstruksi sosial menyatakan bahwa setiap fakta yang hadir di
tengah-tengah masyarakat (realitas sosial) merupakan hasil proses dialektika.
Manusia dipandang mampu berperan untuk mengubah struktur sosial dan pada
saat bersamaan manusia dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial
masyarakatnya.14 Terdapat hubungan timbal balik antara individu menciptakan
masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Kedua unsur ini saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.15
11
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2008), 13.
12
Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi Komunitas Islam, (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2004), 30.
13
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 4.
14
Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990), xiv
15
10
Jika ditelaah lebih dalam, terdapat beberapa asumsi dasar dari teori
konstruksi sosial Berger dan Luckman. Adapun asumsi-asumsinya tersebut
adalahsebagai berikut:16
1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan
konstruksi sosial terhadap dunia sosialsekitarnya.
2. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran
itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan.
3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus.
4. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan
sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai
memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa
realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
2. Tiga Momem dalam Teori Konstruksi Sosial
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam teori konstruksi sosial,
realitas tidak dibentuk secara ilmiah dan juga bukan sesuatu yang diturunkan
oleh Tuhan secara tiba-tiba. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.
Proses ini menurut Berger dan Luckman setidaknya melalui 3 tahap. Yaitu
proses eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi.
a. Momen Eksternalisasi
Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia
ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah
menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke
16
11
tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai
ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap
dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain,
manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.17
Dalam momen eksternalisasi ini, kenyataan sosial itu ditarik keluar
dari individu. Didalam momen ini, realitas sosial berupa proses adaptasi
dengan teks-teks suci, kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai dan
sebagainya yang hal itu semua berada diluar diri manusia, sehingga dalam
proses konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri atau
diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia sosio-kultural. Adaptasi
tersebut dapat melalui bahasa, tindakan dan pentradisian yang dalam
khazanah ilmu sosial disebut sebagai interpretasi atas teks atau dogma.
Karena adaptasi merupakan proses penyesuaian berdasar atas penafsiran,
maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi-variasi adaptasi dan hasil
adaptasi atau pada tindakan masing-masing individu.
Perubahan-perubahan sosial terjadi kalau proses eksternalisasi
individu mendominasi tatanan sosial yang sudah mapan dan diganti dengan
suatu orde yang baru menuju keseimbangan-keseimbangan yang baru.
Dalam masyarakat yang lebih menonjolkan stabilitas, individu dalam
proses eksternalisasinya mengidentifikasikan dirinya dengan
peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan dalam institusi yang sudah ada.
b. Momen Objektifikasi
17
12
Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Proses eksternalisasi itu
menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan berhadapan atau dapat
mengikat individu pencipta realitas objektif itu sendiri sebagai suatu
faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya.18
Hasil dari eksternalisasi kebudayaan misalnya, manusia
menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil
dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan
ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari
kegiatan manusia.
Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk
eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat
menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan.
Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar
kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu
berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan
empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.
Dengan kata lain, objektivasi adalah disandangnya produk-produk
aktifitas itu dalam interaksi sosial dengan intersubjektif yang dilembagakan
atau mengalami proses intitusional.19 Pada momen objektivasi ada proses
pembedaan antara dua realitas sosial, yaitu realitas diri individu dan
18
Ibid., 24.
19
13
realitas sosial lain. yang berada diluarnya, sehingga realitas itu menjadi
sesuatu yang objektif.
c. Momen Internalisasi
Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia
objektif ke dalam kesadaran individu sehingga subjektif individu
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia
yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas
diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat dan
masyarakat menjadi suatu realitas unik.20
Pada momen internalisasi, dunia relitas sosial yang objektif
tersebut ditarik kembali kedalam diri individu, sehingga seakan-akan
berada dalam diri individu. Proses penarikan kedalam ini melibatkan
lembaga-lembaga yang terdapat dalam masyarakat seperti lembaga agama,
lembaga sosial, lembaga politik, lembaga ekonomi dan lain sebagainya.
Lembaga berperan dalam proses ini dikarenakan, wujud konkret dari
pranata sosial adalah aturan, norma, adat-istiadat dan semacamnya yang
mengatur kebutuhan masyarakat dan telah terinternalisasi dalam kehidupan
manusia, dengan kata lain pranata sosial ialah sistem atau norma yang telah
melembaga atau menjadi kelembagaan disuatu masyarakat.21
20
Petter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial…, 5.
21
14
G. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan sifat-sifat hal yang
didefinisikan yang dapat diamati atau diobservasikan. Konsep ini penting, karena
hal yang diamanti itu membuka kemungkinan bagi orang lain untuk hal serupa.
Sehingga apa yang dilakukan penulis terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain.
Sehingga tidak ada salah tafsir dan perbedaan persepsi atas istilah-istilah yang
digunakan. 22
Untuk itu peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang merupakan kata
kunci dalam judul penelitian ini. Dalam hal ini, kata kunci yang perlu dijelaskan
adalah sebagai berikut:
1. Konstruksi sosial
Konstruksi sosial atau yang biasa kita sebut konstruksi sosial atas
realitas (sosial construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi (proses dialektika tertentu) dimana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami
bersama secara subyektif. 23
2. Pernikahan saleb tarjhe
Pernikahan saleb tarjhe adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang calon suami yang salah satu kerabat perempuannya telah dinikahi
oleh salah seorang kerabat laki-laki calon isterinya.24
Contoh sederhana pernikahan saleb tarjhe adalah saat si A telah menikahi seorang perempuan bernama B, maka laki-laki dari rumpun
22
Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian 1, (Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 1988), 6.
23
Margareth Poloma, Sosiologi Kontemporer. (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004), 301.
24
15
keluarga si B dalam persoalan ini diyakini untuk tidak diperkenankan
menikahi perempuan yang merupakan keluarga atau kerabat yang sedarah
dengan si A.25
H. Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa Yunani, “methodos” yang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu
yang bersangkutan.26
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu mengadakan penelitian langsung terhadap objek yang diteliti dan dilakukan
pengumpulan data yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini termasuk jenis
penelitian kualitatif deskriptif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.
Misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah
yang dibenarkan.27 Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
sosilologis dengan teori konstruksi sosial disamping juga hukum Islam.
25
Ibid
26
Koentjoroningrat, Metode - Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), 30.
27
16
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lomaer Kecamatan Blega
Kabupaten Bangkalan Madura karena desa tersebut merupakan salah satu
bagian keberadaan tradisi larangan pernikahan saleb tarjhe.
Jika dibutuhkan sebagai pertimbangan juga akan dilakukan
perbandingan dengan lokasi lainnya agar memperoleh informasi dan
pemahaman baru mengenai pernikahan saleb tarjhe.
Adapun waktu pelaksanaan penelitian ini akan dimulai pada bulan
Januari sampai bulan April 2016.
3. Pemilihan Subyek Penelitian
Dari lokasi penelitian di atas, subyek penelitian akan dipilih secara
langsung oleh peneliti. Penentuan subyek penelitian berdasarkan atas
kebutuhan peneliti yang dapat memberikan informasi sesuai dengan tujuan
dilaksanakannya penelitian ini (purpose sampling).
Subyek penelitian ini secara spesifik adalah elit lokal Madura seperti
sesepuh desa, kyai, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh muda, mahasiswa
dan akademisi di desa Lomaer. Sesepuh desa diharapakan mampu memberikan
informasi-informasi berkaitan dengan sejarah tentang adanya larangan nikah
saleb tarjhe. Kyai dan akademisi akan diminta pendapatnya tentang segala persoalan berkaiatan dengan saleb tarjhe seperti proses dialektika muculnya
larangan nikah salen tarjhe, faktor-faktor, bahkan pandangan-pandangan pribadinya sebagai tambahan informasi. Sedangkan subyek yang lain
digunakan untuk memperkaya data dan informasi yang berkaitan dengan
17
4. Sumber Data
Sumber data adalah subyek dari mana data-data suatu penelitian
diperoleh.28 Sumber data penelitian disebut juga sebagai sumber yang tertulis
dan tindakan.29 Dalam penelitian ini data dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya.
Secara praksis peneliti melakukan penggalian data tentang pernikahan
saleb tarjhe kepada sumber secara langsung, yaitu pihak-pihak yang dianggap penting untuk penelitian ini pada masyarakat Madura di desa
Lomaer Kecamatan Blega Kabupaten Bangkalan.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber yang tidak
langsung (pelengkap) yang memberikan data kepada pengumpul data,
misalnya buku ilmiah, koran, majalah, dan sebagainya yang mendukung
terhadap penelitian tersebut.
5. Tahap-Tahap Penelitian
Pada tahap penelitian ini, peneliti dituntut untuk merekam data
lapangan secara maksimal yang pada gilirannya akan memperoleh data yang
maksimal pula. Tahap penelitian dapat dilakukan dengan dua langkah baik dari
sisi operasional fisik maupun kerangka berpikir. Tahapan tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
28
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm. 114.
29
18
a. Persiapan (pra lapangan) yang meliputi: penyusunan rancangan penelitian,
memilih lapangan, mengurus perizinan, menilai keadaan lapangan atau
lokasi penelitian, memilih informan, menyiapkan instrumen penelitian, dan
etika dalam penelitian.
b. Lapangan, yang meliputi: memahami dan memasuki lapangan dan aktif
dalam kegiatan (pengumpulan data).
c. Pengolahan data, yang meliputi: reduksi data, display data (bertujuan
memudahkan peneliti untuk melihat pola-pola hubungan satu data dengan
data lainnya), analisis data, mengambil kesimpulan dan verifikasi,
meningkatkan keabsahan hasil, dan narasi hasil analisis.30
6. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
wawancara yang mandalam (in depth interview) dan dokumentasi. Wawancara merupakan salah satu unsur primer untuk mendapatkan data secara langsung
dari obyek yang diteliti. Pada teknik ini peneliti datang bertatap muka secara
langsung dengan responden atau subyek yang diteliti. Peneliti menanyakan
data yang dibutuhkan kepada responden. Hasilnya dicatat sebagai informasi
penting dalam penelitian.31
Data-data yang akan dikumpulkan dengan teknik wawancara dalam
penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat desa Lomaer kecamatan Blega
kabupaten Bangkalan seputar larangan pernikahan saleb tarjhe meliputi faktor penyebab, sejarah dan pandangan obyek penelitian terhadap persoalan di atas.
30
Asep Suryana, Tahap-Tahapan Penelitian Kualitatif; Mata Kuliah Analisis Data Kualitatif (Makalah, Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), 5-11.
31
19
Sedangkan data yang dikumpulkan melalui teknik dokumentasi
merupakan data pelengkap data-data primer. Dokumentasi bisa berupa
buku-buku ilmiah, koran, atau cerita-cerita dari masyarakat yang berkaitan dengan
pernikahan saleb tarjhe. 7. Analisis Data
Analisis yang dilakukan dalam penelitian kualitatif yang notabene
datanya disajikan dalam benuk kata (bukan angka) terdiri dari tiga alur, yaitu:
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.32
a. Reduksi data
Reduksi data yaitu berkenaan dengan proses penyeleksian,
pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi dan perubahan data kasar yang
terdapat dalam bentuk tulisan hasil dari catatan lapangan. Reduksi data
terjadi dan dilakukan secara terus menerus dalam pelaksanaan penelitian.
Reduksi data dilakukan sejak awal penelitian, terutama ketika melakukan
wawancara dengan informan yaitu masyarakat desa Lomaer kecamatan
Blega kabupaten Bangkalan.
b. Penyajian data
Penyajian (display) data adalah pengumpulan data yang terorganisir dari informasi yang patut untuk ditarik kesimpulan, dan penentuan langkah
berikutnya.
c. Verifikasi
Langkah berikutnya setelah reduksi dan data tersaji adalah penarikan
kesimpulan, ringkasan sementara, atau verifikasi (pembuktian data). 33
32
20
8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, untuk memeriksa keabsahan data bisa
dilakukan dengan cara uji validitas (kesahihan) dan reliabilitas (dapat
dipercaya). Langkah ini penting dan sangat dibutuhkan, karena merupakan
salah satu kekuatan dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
mengoreksi kembali data yang (akan) terkumpul dengan didasarkan pada
kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat atau belum yang diukur dari
sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum.34
Salah satu cara memeriksa data yaitu dengan triangulasi sumber.
Dengan pengoreksian kembali dan membandingkannya terhadap
sumber-sumber data yang berbeda. Kemudian dideskripsikan, dikategorisasikan mana
pandangan yang sama serta mana pandangan yang berbeda, sehingga dapat
dihasilkan suatu kesimpulan.
I. Studi Terdahulu
Studi terdahulu merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan
atau duplikasi dari penelitian yang telah ada.
Pada dasarnya sudah terdapat beberapa penelitian tentang tradisi
pernikahan masyarakat di Madura. Salah satunya adalah penelitian skripsi dengan
judul Larangan perkawinan ana'ka settong ban ana'ka tello' di desa Sede'en
33
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Reka Sanisin, 1996), 31.
34
21
kecamatan Torjun kabupaten Sampang : studi analisis hukum Islam yang dilakukan olehal Ghalib Abul Faraj, mahasiswa IAIN Sunan Ampel.
Dalam penelitian tersebut al Ghalib menjelaskan tentang faktor dilarangnya
pernikahan antara anak pertama dengan calon pasangan suami/isteri anak ketiga.
Penelitian ini dilakukan di desa Sede’en Torjun Sampang. Pendekatan yang
dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif. Teropong yang
digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah hukum Islam. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pada dasarnya larangan pernikahan antara
anak pertama dengan calon pasangan suami/isteri anak ketiga tidak bersumber
dari syariat agama. Sehingga adanya larangan pernikahan tersebut bisa dilawan
dan tidak berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu pernikahan.
Selain itu juga terdapat penelitian tentang larangan pernikahan di Madura
dengan judul Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi larangan perkawinan Duw Taon Ekeduweih di desa Torjun kec. Torjun Kab. Sampang yang ditulis M. Fahruddin Arif juga mahasiswa IAIN Sunan Ampel. Dalam penelitiaannya,
Fahruddin menjelaskan tentang adanya larangan pernikahan yang dilakukan oleh
seseorang dalam satu keluarga yang diseleggarakan dalamdua tahun berurut.
Semisal si A kakak si B. Maka kedua kakak beradik tersebut tidak boleh menikah
dalam tahunyang berurutan. Semisal si A menikah pada tahun 2013 maka si B
tidak boleh menikah pada tahun 2014. Penelitian ini dilakukan di desa Torjun
kecamatan Torjun kabupaten Sampang.
Seperti halnya al Ghalib, pendekatan yang dipakai dalam penelitian
Fahruddin adalah pendekatan hukum normatif. Kacamata yang digunakan untuk
22
bahwa pada dasarnya larangan pernikahan Duw Taon Ekeduweih tidak
mempunyai dasar argumentasi syariat. Sehingga pelanggaran terhadap larangan
pernikahan ini tidak berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu pernikahan.
Sedangkan penulis, dalam penelitian ini akan meneliti tentang larangan
pernikahan saleb tarjhe. Jadi obyek penelitiannya jelas berbeda dengan dua penelitian yang telah disebutkan di atas. Lokasi penelitiannya walaupun
sama-sama di pulau Madura namun dalam kabupaten dan desa yang berbeda.
Pendekatan yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini juga berbeda
dengan penelitian terdahulu. Penulis menggunakan pendekatan sosiologi
disamping hukum Islam. Spesifiknya menggunakan teori kontruksi sosial dalam
melihat dan menganalis objek yang diteliti.
Dari sini penelitian dengan judul Pernikahan Saleb Tarjhe di Madura Perspektif Teori Konstruksi sosial ini dapat disimpulkan berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Baik dari segi redaksional
maupun segi substansi dan perspektif pembahasannya.
J. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan memuat uraian dalam bentuk essai yang
menggambarkan alur logis dari struktur bahasan penelitian. Sistematika
pembahasan pada penelitian ini terdiri dari beberapa bab dan sub bab yang secara
rinci akan dijelaskan dibawah ini.
Bab I, Pendahuluan. Bab ini merupakan bab yang memuat latar belakang
23
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, studi terdahulu dan sistematika pembahasan.
Bab II, Landasan Teori. Pada bagian ini akan dijelaskan landasan teori yang
berkaitan dengan objek penelitian yang sedang diangkat. Praktisnya, dalam bab ini
akan diulas masalah kajian pustaka tentang pernikahan dan adat.
Bab III, Objek Penelitian. Pada bab ini akan diberikan deskripsi umum
tentang objek penelitian, yaitu seputar larangan saleb tarjhe di desa Lomaer kecamatan Blega kabupaten Bangkalan, Madura,
Bab IV, Analisis dan Pembahasan. Bab ini merupakan bab inti dalam
penelitian ini. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konstruksi sosial
pernikahan saleb tarjhe di Madura dan pandangan hukum Islam terhadap persoalan nikah saleb tarjhe tersebut.
Bab V, Kesimpulan. Bab ini terdiri dari dua pembahasan. Yaitu berupa
kesimpulan atas rumusan masalah yang sudah di paparkan pada bab I dan
24
BAB II
DISKURSUS TENTANG PERNIKAHAN DAN ADAT
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan dalam literatur fiqh bahasa Arab disebut dengan dua kata,
yaitu nika>h} dan zawa>j. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi
saw. Kata nakah}a banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.1
Secara etimologi, kata nikah berarti bergabung )م لا(, hubungan
kelamin (ء ولا( dan juga berarti akad )دقعلا(.2 Sedangkan secara terminologi,
1
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT. Syammil Media Cipta, 2006), 77.
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 1460. Lihat pula Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahn Islam di Indonesia,
(Jakarta, Kencana, 2006), 36.
25
banyak sekali para tokoh dan ulama memberikan definisi pernikahan. Berikut
pendapat imam madhhab yang empat memberikan definisi pernikahan:
Menurut Imam Hanafi, pernikahan adalah akad yang berfaidah kepada
kepemilikan untuk bersenang-senang dengan sengaja. Jadi Imam Hanafi
menganggap bahwa nikah itu mengandung makna hakiki untuk melakuakn
hubungan suami isteri.
Imam Syafi’i, memberikan definisi pernikahan adalah akad yang
mengandung kepemilikan hak untuk melakukan hubungan suami isteri
dengan menggunakan lafad inka>h, tazwi>j atau dengan lafad yang sama artinya dengan kedua lafad itu.
Sedangkan menurut Imam Maliki, nikah adalah akad yang
semata-mata untuk keniksemata-matan dan kesenangan seksual belaka. Berbeda dengan itu,
menurut Imam Hambali pernikahan adalah akad yang dimaksudkan untuk
mendapatkan kesenangan seksual dengan menggunkan lafad inka>h atau
tazwi>j.3
Negara-negara muslim dalam merumuskan undang-undangnya yang
mengatur masalah pernikahan melengkapi definisi tersebut dengan
penambahan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya.
Undang-undang Pernikahan yang berlaku di Indonesia merumuskannya arti
pernikahan sebagai berikut: “Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
3
26
membentuk keuarga (rumah tangga) yang bahagi dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa.”4
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu
diperhatikan: Pertama, digunakannya kata “seorang pria dan seorang wanita”
mengandung arti bahwa pernikahan itu hanyalah antara jenis kelamin yang
berbeda. Hal ini menolak pernikahan sesama jenis yang saat ini telah
dilegalkan oleh beberapa negara barat.
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung
arti bahwa pernikahan itu adalah bertemunya dua jeis kelamin yang berbeda
dalam suaturumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama.”
Ketiga, dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan pernikahan yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang secara totalitas
menafikan pernikahan yang bersifat temporal sebagaimana yang berlaku
dalam pernikahan mut’ah dan pernikahan tahlil.5
Disamping definisi yang diberikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 2
memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi
undang-undang tersebut, namun bersifat menambah penjelasan dengan rumusan
sebagai berikut: “Pernikahan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mi>thaqan ghali>z}an untuk menaati perinta Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.”6
4
Undang-undang Pernikahn (UU. No. 1Tahun 1974), (Surabaya, Rona Publishing, 2014), 8.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahn Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2006), 40.
6
27
B. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan ia termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti membasuh muka dalam wudlu dan takbiratul ihram
dalam shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam
pernikahan.7
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah) tetapi ia tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan
tersebut, seperti menutup aurat ketika shalat atau dalam sebuah pernikahan,
menurut hukum Islam keduaa mempeai harus beragam Islam.8
Pernikahan dalam Islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun
dan syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha', suatu pernikahan yang
tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka pernikahan tersebut dinamakan Fasid
(rusak) dan jika tidak memenuhi rukun-rukun pernikahan disebut bathil
(batal).9
Syarat sah pernikahan masuk pada setiap rukun pernikahan. Setiap
rukun pernikahan mempunyai syarat-syarat masing-masing yang harus
terpenuhi. Pada rukun tersebut, misalnya salah satu rukun pernikahan adalah
calon suami, maka calon suami harus memenuhi beberapa syarat agar
7
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Juz 1, (Jakarta, Bulan Bintang 1998) 9.
8
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Beirut, Dar al-Fikr, 1989) 36.
9
28
pernikahannya menjadi sah. Jadi antara syarat dan rukun menjadi satu
rangkaian utuh yang tak boleh terpisahkan.
Rukun pernikahan ada lima, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya mempelai laki-laki.
2. Adanya mempelai perempuan.
3. Adanya wali mempelai perempuan atau wakilnya.
4. Adanya dua orang saksi.
5. Ijab dan qabul.10
Adapun syarat yang harus dipenuhi dari masing-masing rukun adalah
sebagai berikut:
a) Syarat-syarat calon suami:
1. Beragama Islam.
2. Jelas laki-lakinya.
3. Jelas atau orangnya diketahui.
4. Calon laki-laki kenal dan tahu betul bahwa calon isterinya halal
dinikahi baginya.
5. Tidak dipaksa tetapi harus ikhtiar (kemauan sendiri)
6. Tidak sedang berikhrom haji atau umroh.
7. Bukan mahromnya.
8. Tidak mempunyai istri yang haram di madu.
9. Tidak dalam keadaan beristri empat.11
b) Syarat-syarat calon istri:
10
Abi Yahya Al-Anshori, Fathu al- Wahab, Juz 1, (Semarang,Toha Putra, t.t), 34.
11
29
1. Beragama Islam.
2. Jelas perempuannya/bukan khuntsa.
3. Wanita itu tentu orangnya.
4. Sepertujuan dirinya/tidak dipaksa.
5. Tidak bersuami atau dalam iddah orang lain.
6. Bukan mahromnya.
7. Belum perah di li’an.
8. Tidak sedang berikhrom haji atau umroh.12
c) Syarat-syarat wali:
1. Laki-laki.
2. Beragama Islam.
3. Baligh.
4. Berakal sehat.
5. Adil.13
d) Syarat-syarat saksi:
1. Beragama Islam.
2. Baligh.
3. Berakal sehat.
4. Merdeka/bukan budak.
5. Kedua orang saksi itu bisa mendengar/tidak tuna rungu.14
e) Syarat-syarat sighot (ijab dan qobul):
12
Ibid., 54.
13
Ibid., 59.
14
30
Sighot dan ijab mempunyai syarat-syarat masing-masing. Syarat-syarat
ijab adalah sebagai berikut:
1. Dengan perikatan shorih dapat dipahami oleh mempelai laki-laki, wali dan dua orang saksi.
2. Harus dengan shighot yang mutlak (tidak muqoyyad atau terikat)
tidak ditakwilkan atau dikaitkan dengan suatu syarat atau dengan
batas waktu.
3. Shighot yang digunakan dalam akad itu mengandung pengertian
relanya orang yang mencakup sejak berlangsungnya akad. Sighot
yang dipakai adalah fiil madhi.15
Sedangkan syarat-syarat qobul adalah sebagai berikut:
1. Dengan kata-kata yang mengandung arti menerima, setuju atau
dengan pernikahan tersebut.
2. Harus dengan sighot yang mutlak
3. Shighot yang digunakan dalam akad (qobul) itu mengandung arti
rela diri orang yang mengucapkan sejak berlangsungnya akad
pernikahan. Sighot yang dipakai adalah fiil madhi.
Sejalan dengan syarat-syarat pernikahan yang telah dikemukakan di
atas, walaupun berbeda redaksi namun secara subtansial mempunyai
semangat yang sama, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Pernikahan merumuskan syarat-syarat pernikahan sebagai berikut:16
Pasal 6
15
Abi Yahya Al-Anshori, Fathu al-Wahhab...,36.
16
31
1. Pernikahan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakn kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ii cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meinggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam keturunan lurus ke atas selama meereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan anatara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di natra mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam hal ini daerah tempat tinggal orang yang akan melangungkan pernikahan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
C. Larangan Pernikahan dalam Fiqih Munakahat
Secara garis besar, menurut Syara’ larangan pernikahan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuam ada dua macam, yaitu halangan abadi dan
halangan sementara.17
Pertama, halangan abadi adalah larangan pernikahan yang berlaku haram untuk selamanya dalam arti sampai kapan pun dan dalam keadaan apa
pun laki-laki dan perempuan tersebut dilarang melaksanakan pernikahan.
Larangan ini disebut mahram muabbad. Kedua, halangan sementara adalah larangan pernikahan yang hanya berlaku sementara waktu, dalam arti
larangan tersebut hanya berlaku dalam keadaan dan waktu tertetu; jika
17
32
keadaan dan waktu yang menyebabkannya dilarang menikah telah berubah,
maka ia sudah tidak lagi menjadi haram, larangan ini disebut mahram muaqqat.18
1. Mahram Muabbad
Mahram muabbad, yaitu orang yang haram melakukan pernikahan selamanya. Diantara halangan abadi terdapat halangan yang telah
disepakati dan ada juga yang masih diperselisihkan. Adapun halangan
yang telah disepakati ada tiga,19 yaitu:
a. Halangan yang disebabkan adanya hubungan kekerabatan (nasab)
Perempuan-perempuan yang haram dinikahi oleh seorang
laki-laki untuk selamanya karena adanya hubungan kekerabatan atau nasab
adalah:
1) Ibu
2) Anak
3) Saudara perempuan
4) Saudara perempuan ayah
5) Saudara perempuan ibu
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki
7) Anak perempuan dari sauadar perempuan
Larangan menikahi perempuan-perempuan tersebut telah
disebutkan dalam Al-Quran terdapat pada QS An-Nisa’ ayat 23:
18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan…, 110.
19
33
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.20
Tujuh perempuan yang disebutakan dalam ayat Al-Qur’an
diatas dinyatakan dalam bentuk jamak. Dengan demikian,
pengertiannya dapat dikembangkan secara vertikal atau horizontal.
Dengan mengembangkan pengertian tersebut, maka perempuan yang
haram dinikahi oleh laki-laki karena adanya hubungan keturunan atau
nasab itu adalah:
1. Ibu, ibunya ibu (nenek dari ibu), ibunya ayah (nenek dari ayah),
dan seterusnya dalam garis lurus keturunan ke atas.
2. Anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki
maupun anak perempuan dan seterusnya dalam garis lurus
keturunan ke bawah.
3. Saudara perempuan; baik saudara seayah seibu, seayah saja, atau
seibu saja.
4. Saudara perempuan ayah, baik saudara kandung ayah, seayah atau
seibu; saudara kakek, baik saudara kandung, seayah atau seibu, dan
seterusnya dalam garis lurus keturunan ke atas.
20
34
5. Saudara perempuan ibu, baik saudara kandung ibu, seayah atau
seibu; saudara nenek, baik saudara kandung, seayah atau seibu, dan
seterusnya dalam garis lurus keturunan ke atas.
6. Anak perempuan saudara laki-laki, baik saudara kandung, seayah
atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus keturunan ke bawah.
7. Anak perempuan saudara perempuan, baik saudara kandung,
seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus keturunan ke
bawah.21
Begitu juga sebaliknya, laki-laki yang haram menikah dengan
seorang perempuan untuk selamanya karena adanya hubungan
kekerabatan atau nasab adalah:
1. Ayah, ayahnya ibu (kakek dari ibu), ayahnya ayah (kakek dari
ayah), dan seterusnya dalam garis lurus keturunan ke atas.
2. Anak laki-laki, cucu laki-laki, baik dari anak laki-laki maupun anak
perempuan dan seterusnya dalam garis lurus keturunan ke bawah.
3. Saudara laki-laki; baik saudara seayah seibu, seayah saja, atau
seibu saja.
4. Saudara laki-laki ayah, baik saudara kandung ayah, seayah atau
seibu; saudara kakek, baik saudara kandung, seayah atau seibu, dan
seterusnya dalam garis lurus keturunan ke atas.
21
35
5. Saudara laki-laki ibu, baik saudara kandung ibu, seayah atau seibu;
saudara nenek, baik saudara kandung, seayah atau seibu, dan
seterusnya dalam garis lurus keturunan ke atas.
6. Anak laki-laki saudara laki-laki, baik saudara kandung, seayah atau
seibu, dan seterusnya dalam garis lurus keturunan ke bawah.
7. Anak laki-laki saudara perempuan, baik saudara kandung, seayah
atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus keturunan ke bawah.22
b. Halangan yang disebabkan adanya hubungan pernikahan (mushaharah)
Jika seorang laki-laki melaksanakan pernikahan dengan
seorang perempuan, maka terjadilah hubungan antara laki-laki tersebut
dengan kerabat si istri, demikian sebaliknya terjadi hubungan antara si
perempuan dengan kerabat suaminya. Hubungan yang terjadi karena
pernikahan tersebut disebut mushaharah. Karena terjadinya hubungan
mushaharah teresebut maka timbul pula larangan pernikahan.23 Keharaman ini disebutkan dalam QS. An-Nisa’ ayat 23:
Artinya: dan (diharamkan) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
22
Ibid., 111-112.
23
36
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu).24
Jika dirinci dari ayat tersebut, adapun perempuan-perempuan
yang dilarang untuk dinikahi selamnya oleh laki-laki karena hubungan
mushaharah adalah:
1. Mertua perempuan, nenek perempuan istri, dan seterusnya ke atas,
baik garis ibu atau ayah istri tersebut.
2. Anak tiri, dengan syarat jika telah terjadi hubungan kelamin antara
suami dengan ibu anak tersebut.
3. Menantu, yaitu istri anak, istri cucu, dan seterusnya kebawah.
4. Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, dalam hal ini tidak disyaratkan
harus adanya hubungan seksual antara ibu tiri dengan ayah, dan
seterusnya ke atas.25
Menurut jumhur ulama keharaman menikah dengan mertua
oleh bekas mantunya adalah sebatas karena telah terjadi akad nikah
dengan anaknya, baik telah berhubungan seksual maupun tidak.
Segolongan ulama berpendapat bahwa mertua haram dinikahi bila
telah berhubungan seksual dengan anaknya setelah akad nikah itu.26
Dalam hal keharaman menikahi anak tiri, ulama berpendapat
haram menikahi anak tiri jika sudah menyetubuhi ibu anak tersebut.
Maksudnya, jika seorang laki-laki dan seorang perempuan baru terikat
24
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya…, 81.
25
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat…, 108.
26
37
hanya semata-mata akad (belum terjadi persetubuhan) maka jika
laki-laki tersebut menikahi anaknya tidak haram (boleh). Karena ulama
berpendapat, syarat persetubuhan ini hanya berlaku untuk anak tiri,
tidak untuk mertua. Mereka berselisih dalam memahami nash QS.
An-Nisa’ ayat 23:
Artinya: dan (diharamkan) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri.27
Jumhur ulama melihat persyaratan persetubuhan ini hanya
berlaku untuk anak tiri, tidak untuk ibunya istri (mertua), karena sifat
itu kembali pada maushuf yang terdekat saja. Sedangkan ulama lain
menilai syarat persetubuhan ini berlaku untuk kedua maushuf (yang
disifatkan), yaitu anak tiri dan ibu istri (mertua).28
Menurut pendapat Imam Syafi’i larangan pernikahan karena
mushaharah hanya disebabkan karena akad saja, tidak bisa karena perzinaan, karena alasan tidak layak jika perzinaan yang dicela
tersebut disamakan dengan hubungan mushaharah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat sebaliknya, bahwa larangan pernikahan
karena hubungan mushaharah selain karena akad yang sah juga
27
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya…, 81.
28
38
disebabkan perzinaan. Perselisihan pendapat ini karena bedanya dalam
menfsirkan firman Allah QS. An-Nisa’ ayat 22:
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.29
Imam Syafi’i menafsirkan “ma nakaha” dengan wanita yang
diniahi ayah secara akad yang sah. Sedangkan Imam Hanafi
menafsirkan wanita yang disetubuhi oleh ayah, baik dengan
pernikahan maupun perzinaan.30 Meskipun Al-Quran telah
mengaturnya secara jelas, tetapi masih menyisakan ketidakpastian
dalam pandangan ul