MEMAHAMI PRINSIP PEMBELAJARAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Muzdalifah M Rahman Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Abstract: Children with Special Needs (ABK) should still get the educational services of the government because of their uniqueness. There must be a God-given advantages and weeknesses. The maximum development of their potential will be able to produce a work in the name of the nation. Therefore, in the learning process of a teacher must be able to understand and apply the principles of learning for the crew.
Key words: children with special needs, learning.
A. Pendahuluan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan (phisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Akan tetapi, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak
signiikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan
khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
kemampuan ekonomi, status politik, bahasa, geograis, jenis kelamin, agama/kepercayaan, dan perbedaan kondisi isik atau mental (UNESCO
2004, dikutip dari Sri muji Rahayu, 2014)
Anak berkebutuhan khusus (ABK) sebagai warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak normal, termasuk berhak memperoleh pendidikan dan belajar bersama anak normal di sekolah umum. Pengintegrasian anak berkebutuhan khusus dengan anak normal di sekolah umum memerlukan ruangan khusus
serta peralatannya, perlu modiikasi kurikulum, perlu bimbingan
khusus, kesiapan dari guru kelas, kesiapan anak -anak normal dan anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu juga diperlukan perencanaan yang matang dan sikap kepala sekolah serta guru -guru yang positif mendukung untuk keberhasilan pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah umum. Kenyataannya hal -hal tersebut belum sepenuhnya ada di sekolah umum dikarenakan oleh berbagai faktor penyebab seperti keterbatasan dana, tenaga, serta waktu dan keterampilan guru dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil penelitian Sri Widati (2001) disimpulkan bahwa guru -guru di sekolah umum khususnya yang ada anak berkebutuhan khusus belum siap mengajar mereka. Kesiapan dalam hal ini meliputi pemahaman dan keterampilan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus, sehingga masih banyak ditemukan anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan atau
keterlambatan dalam mengikuti pendidikan di sekolah umum.http://ile. upi.edu/direktori/ip/jur._pend._luar_biasa/194808011974032-astati/
jurnal.pdf
Dari permasalahan di atas maka penulis ingin memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus, sehingga diharapkan orang tua, guru atau pembimbing mampu mendampingi dalam proses pembelajarannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian anak berkebutuhan khusus ?
C. Pembahasan
1. Pengertian Anak berkebutuhan Khusus
Adapun penjelasan mengenai individu khusus dikutip dari buku “Psikologi Luar Biasa “ yang ditulis oleh T. Sutjihati Somantri pada tahun 2006 sebagai berikut :
a. TUNANETRA
Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”,
Low vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.
Dari uraian di atas, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi tersebut :
- Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas
- Terjadi kekurangan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
- Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
- Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan
penglihatan.
Dari kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seseorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal
sebagi tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan
tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
dikelompokkan menjadi dua macam ,yaitu :
(1) Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya =0)
(2) Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu
membaca headline pada surat kabar.
Anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.
B. TUNARUNGU
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. Batasan pengertian anak tunarungu telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang semuanya itu pada dasarnya mengandung pengertian
yang sama. Di bawah ini dikemukakan beberapa deinisi anak
tunarungu.
Andreas Dwijoyo Sumarto 1990 mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun
tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
Memperhatikan batasan-batasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tunarungu adalah mereka yang kehilangan
(deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-hari.
C. TUNAGRAHITA
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata.
Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental
retardation, mentally retarded, mental deviciency, mental defective,
dan lain-lain
Untuk memahami anak tunagrahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami terlebih dahulu konsep Mental Age (MA). Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Sebagai contoh, anak yang mempunyai usia enam tahun akan mempunya kemampuan yang sepadan dengan kemampuan anak usia enam tahun pada umumnya. Artinya anak yang berumur enam tahun akan memiliki MA enam tahun. Jika seorang
anak memiliki MA lebih tinggi dari umurnya (Cronolgy Age), maka
anak tersebut memiliki kemampuan mental atau kecerdasan di atas rata-rata. Sebaliknya jika MA seorang anak lebih rendah daripada umurnya, maka anak tersebut memiliki kemampuan kecerdasan di bawah rata-rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah dari pada CA secara jelas. Oleh karena itu MA yang sedikit saja kurangnya dari CA tidak termasuk tunagrahita. MA dipandang sebagai indeks dari perkembangan kognitif seorang anak.
Ternyata dari IQ pun ditemukan bahwa anak yang selama ini disebut anak tunagrahita ringan, sedang, dan berat, memiliki IQ sendiri yang tidak bisa ditukar-tukar. Orang kemudian terkesan oleh penemuan ini sehingga belakangan ada orang yang hanya berani mengatakan tunagrahita ringan, sedang, dan berat setelah mengetahui IQ-nya.
Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.
deinisi tentang anak ini yang dikembangkan oleh AAMD (American
Association of Mental Deiciency) sebagai berikut :“ Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” (Kauffman dan Hallahan, 1986 dalam Somantri, 2006).
Penyesuaian perilaku, maksudnya saat ini seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi jika anak ini dapat menyesuaikan diri, maka tidaklah lengkap ia pandang sebagai
anak tunagrahita. Terjadi pada masa perkembangan, maksudnya
bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa, maka ia tidak tergolong tunagrahita.
Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi di mana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal.
D. TUNADAKSA
Cerebral palsy merupakan salah satu bentuk brain injury,
yaitu suatu kondisi yang mempengaruhi pengendalian sistem motorik sebagai akibat lesi dalam otak (R.S.Illingworth), atau suatu penyakit neuromuskular yang disebabkan oleh gangguan perkembangan atau kerusakan sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fungsi motorik.
Tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931 dalam Somantri, 2006). Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Penderita cerebral palsy dan tunadaksa harus dibedakan.
tubuhnya yang mengalami gangguan atau kerusakan; sedangkan
penderita cerebral palsy masih dapat menggerakkan anggota
tubuhnya yang terserang meskipun gerakannya terganggu karena adanya kelainan pada tonus otot.
E. TUNALARAS
Anak tuna laras sering juga disebut anak tuna sosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Dengan kata lain tingkah lakunya menyusahkan lingkungan. Akan tetapi selanjutnya timbul pertanyaan, apakah anak yang tidak jelas mengganggu atau sama sekali tidak merugikan orang lain seperti menyendiri, memiliki kebiasaan menyimpang, merusak diri sendiri, dan berpakaian aneh termasuk dalam kategori anti sosial.
2. Prinsip-prinsip Pembelajaran pada Anak Berkebutuhan Khusus
Kegiatan belaiar-mengajar dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran. Belajar dalam pengertian luas dapat
diartikan sebagai kegiatan psikoisik menuju ke perkembangan
pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan meteri ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya (Sardiman, 2011: 22). Menurut Hamalik (1983 : 28) bahwa belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku baru berkat pengalaman dan latihan.
Dalam proses pembelajaran selain bertugas mengajar ,guru juga dituntut melakukan bimbingan kepada siswanya. Adapun bimbingan yang perlu dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar sebagai berikut (Miller, 1961 dikutip dari Sulaiman Samad dkk, 2008:99)
a. Proses belajar mengajar efektif, apabila bahan yang dipelajari dikaitkan dengan tujuan-tujuan pribadi siswa.
mengganggu kelancaran kegiatan kelas
c. Guru mempunyai kelebihan lain dibanding dengan petugas pendidikan lainnya, yaitu di dalam proses belajar mengajar, guru dapat memperhatikan perkembangan masalah atau kesulitan siswa secara nyata, terutama dalam waktu belajar dalam mata pelajaran yang diajarkan oleh guru yang bersangkutan .
Untuk pembelajaran di kelas inklusif secara umum sama dengan prinsip- prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat
anak berkelainan yang mengalami kelainan/penyimpangan baik isik,
intelektual, sosial, emosional dan/atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak. Adapun prinsip-prinsip pembelajaran pada individu berkebutuhan khusus menurut Direktorat PLB ( 2004) sebagai berikut (dikutip dari Somantri Sutjihati, 2006 ) :
1. Prinsip Umum
a. Prinsip Motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada sisa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
b. Prinsip Latar/Koteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu penuh bagi anak.
c. Prinsip Keterarahan
d. Prinsip Hubungan Sosial
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
e. Prinsip Belajar Sambil Bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.
f. Prinsip Individualisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran. kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
g. Prinsip Menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang
mampu memancing anak untuk terlihat secara aktif baik isik,
mental, sosial, dan/atau emosional.
h. Prinsip Pemecahan Masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/ problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuan.
2. Prinsip Khusus
a. Tunanetra
1) Prinsip Kekonkretan
dimanipulasikan Melalui observasi perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam proses belajar-mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda konkret (baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
2) Prinsip Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang anak normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan benda-benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat hubungan antara rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti hubungan-hubungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk “mengalami” suasana tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan-hubungan tersebut.
3) Prinsip Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil bekerja. Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra, melakukan sesuatu adalah pengalamannya nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam menangkap informasi. Anak normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat gambar atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara langsung di lingkungan nyata. Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situasi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan yang diajarkannya.
b. Tiinarungu
1) Prinsip Keterarahanwajah
pendengarannya (kurang dengar atau bahkan tuli), Sehingga organ pendengarannya kurang/tidak berfungsi dengan baik. Bagi yang sudah terlatih, mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang menyebut anak tunarungu dengan istilah “pemata’, karena matanya seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicaranya.
Prinsip ini menuntut guru ketika memberi penjelasan
hendaknya menghadap ke anak (face to face) sehingga anak dapat
melihat gerak bibir guru. Demikian pula halnya dengan anak yang mengalami gangguan komunikasi, karena organ bicaranya kurang berfungsi sempurna, akibatnya bicaranya sulit dipahami (karena kurang sempurna) oleh lawan bicaranya. Agar guru dapat memahaminya, maka anak diminta menghadap guru (face to face) ketika berbicara.
2) Prinsip Keterarahansuara
Setiap kali ada suara/bunyi, pasti ada sumber suara/ bunyinya. Dengan sisa pendengarannya, anak hendaknya dibiasakan mengonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber suara/bunyi, sehingga anak dapat merasakan adanya getaran suara, Suara/bunyi yang dihayatinya sangat membantu proses belajar-mengajar anak terutama dalam pembentukan sikap, pribadi, tingkah laku, dan perkembangan bahasanya.
Dalam proses belajar-mengajar, ketika berbicara guru hendaknya menggunakan lafal/ejaan yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dapat dikenali anak. Demikian pula, bagi anak yang mengalami gangguan komunikasi, agar bicaranya dapat dipahami oleh lawan bicaranva maka anak hendaknya ketika berbicara selalu menghadap ke lawan bicaranya agar suaranya terarah.
3) Prinsip Keperagaan
peragaan) agar lebih mudah dipahami anak. Di samping dapat menarik perhatian anak.
c. Tunagrahita
I) Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun. mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dan guru.
2) Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara lain adalah dalam hal kemampuan berpikir abstrak, Mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar menggunakan benda-benda konkret maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu mengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan nyata,
baik lingkungan isik, lingkungan sosial, maupun lingkungan
alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat membawa berbagai alat peraga.
3) Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
lainnya mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas.
Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.
d. Tunadaksa
Prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran bagi anak tunadaksa tidak lepas dan juga bentuk pelayanan, yaitu: (1) pelayanan medik, (2) pelayanan pendidikan. dan (3) pelayanan sosial, yang pada dasarnya juga tidak dapat lepas dengan prinsip habilitasi dan rehabilitasi di atas.
f. Tunalaras
1). Prinsip Kebutuhan dan Keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannya tanpa memedulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi Kebutuhannya itu, ia menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang lain. Kalau perlu melanggar semua peraturan yang ada meskipun ia harus mencuri misalnya. Hal ini jelas merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, guru harus memberi keaktifan kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundangan-undangan yang berlaku, sehingga dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2) Prinsip Kebebasan yang Terarah
hatinya merasa puas. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati ketika akan melarangnya. Nasihatilah kalau memang perlu dilarang. Di samping itu, guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke arah positif yang berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
3) Prinsip Penggunaan Waktu Luang
Anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia termasuk hiperaktif. Ada saja yang dikerjakan. Bahkan seolah-olah mereka kekurangan waktu sehingga lupa tidur, istirahat, dan sebaginya. Oleh karena itu, guru harus membimbing anak degan mengisi waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
4) Prinsip Kekeluargaan dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hubungan orang tua retak (broken home). Akibatnya emosinya tidak laras, jiwanya tidak tenang, rasa kekeluargaannya tidak berkembang, merasa hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh mereka bersifat perusak, benci kepada orang lain.
Oleh karena itu, guru harus dapat menyelami jiwa anak, di mana letak ketidakselarasan kehidupan emosinya. Selanjutnya, mengembalikannya kepada kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga rasa kekeluargaannya menjadi pulih kembali. Misalnya siswa disuruh membaca cerita yang edukatif, memelihara binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
5) Prinsip Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak tunalaras biasanya lari keluar rumah. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang (kelompok) yang dirasa dapat membuat dirinya merasa aman. Di dalam kelompok tersebut ia merasa menemukan tempat berlindung menggantikan orang tuanya, ia merasa tenteram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya kepada kelompok, ia berbuat apa saja sesuai perintah ketua kelompoknya yang dijadikan idolanya.
kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan setia kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya mereka akan merasa senang bersekolah.
6) Prinsip Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terutama yang berhubungan dengan pelajaran. Jangan sampai karena tugas-tugas (PR) yang diberikan oleh terlalu banyak, akhirnya justru mereka benci kepada guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya, guru harus menggali minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan dasar memberi tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai, mereka akan merasa senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka akan terbiasa belajar.
7) Prinsip Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras, maka ia mengalami ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku menyimpang baik secara individual maupun secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, guru harus berusaha mengidentiikasi
problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan agama, dengan cara diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji, baik secara individual maupun secara kelompok.
8) Prinsip Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingin memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, sehingga ia hidup lepas dari disiplin. Sikap ketidaktaatan dan lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya sehari-hari.
Oleh karena itu, guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu diberi keteladanan dan pembinaan dengan sabar.
9) Prinsip Kasih Sayang
DAFTAR PUSTAKA
Astati .Sikap Kepala Sekolah dan Guru Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (abk) yang Belajar di SD Inklusi Puterako
Bandung http://ile.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_
BIASA/194808011974032-ASTATI/JURNAL.pdf Diakses 20/1/15
Hamalik. 1983, Strategi Belajar dan Pembelajaran, Jakarta ; Sinar Utama
Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta. PT
Rajawali Pers.
Somantri Sutjihati, 2006, Psikologi Anak Luar Biasa, PT. Reika Aditama,
Bandung.
Sri Muji Rahayu. 2014 . MEMENUHI HAK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS USIA DINI MELALUI PENDIDIKAN INKLUSIF https:// slbpamardiputra.wordpress.com/2014/05/23/jurnal-pendidikan/. Diakses 20/1/15