• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pemanfaatan Bantuan Perkuatan Oleh Usaha Mikro Kecil Dan Menengah umkm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pemanfaatan Bantuan Perkuatan Oleh Usaha Mikro Kecil Dan Menengah umkm"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PEMANFAATAN

BANTUAN PERKUATAN OLEH USAHA MIKRO,

KECIL DAN MENENGAH

(UMKM)

DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN SUMBERDAYA UKMK

KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM

(2)

KAJIAN PEMANFAATAN

BANTUAN PERKUATAN OLEH USAHA MIKRO,

KECIL DAN MENENGAH

(UMKM)

Tim Pengkajian

Narasumber ;

Ir. Wayan Suarja. AR. MBA

Drs. Neddy Rafinaldy

Tim Penulis

Ir. Teuku Syarif, MS

Ir. Yoseva, MM

Pelaksana

Ir. Yoseva, MM (koordinator)

Ir. Jannes Situmorang

Drs. Pardiwibowo, MS

Adriana Laykota

Agus Salim, SE

(3)

KATA PENGANTAR

Perwakilan Bank Dunia (world Bank) untuk Indonesia tanggal 7 Desember 2006 yang lalu mengungkapkan data tentang kemiskinan di Indonesia dengan standar Bank dunia US $ 2 /man/day. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan sekarang ini terdapat sebanyak seratus juta orang Indonesia, atau lebih kurang 40 % dari rakyat Indonesia tergolong miskin dan sangat miskin (BPS per Oktober 2006 mengatakan 17,5 %). Yang jelas kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih menjadi masalah klasik yang setelah lebih dari 60 tahun merdeka belum dapat diatasi oleh berbagai rezim yang berkuasa.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran pemerintah mengeluarkan Perpres nomor 007 tahun 2005 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM tahun 2005 s/d 2009) yang memprioritaskan pemberdayaan UMKM dan koperasi melalui program perkuatan. Program perkuatan dilaksanakan oleh berbagai instasi secara sektoral maupun terkoordinasi. Salah satu instansi yang mendapat tugas untuk melaksanakan program tersebut adalah Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Program perkuatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM terdiri dari berbagai ragam jenis yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak tahun 2000 yang lalu. Yang menjadi permasalahan adalah sampai sekarang ini belum diketahui dengan jelas seberapa jauh dan seberapa besar pemanfaatan program tersebut baik bagi UMKM, maupun bagi koperasi dan pembangunan daerah.

(4)

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program-program perkuatan yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM tersebut, maka kajian ini dilaksanakan.

Oleh karena disatu sisi sumberdaya yang tersedia untuk kajian ini sangat terbatas dan disisi yang lain berbagai jenis program yang sudah pernah dilaksanakan belum diketahui keberadaannya, maka kajian ini dibatasi pada dua jenis program yang baru dilaksanakan yaitu Program perkuatan KSP/USP, dan Program perkuatan sektoral.

Hasil kajian ini memang relatif belum sepenuhnya mampu menjawab semua permasalahan yang dihadapi, tetapi dengan mengandalkan tolok ukur yang lebih mendekati kebenaran, sasaran program (mengurangi kemiskinan dan pengangguran), sistematika dan dan model analisis yang sesuai, maka diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi masukan awal yang bermanfaat bagi para pengambil kebijakan.

Akhir kata, Tim pengkajian mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Bapak Asisten Deputi Urusan Penelitian UKM, Bapak Pejabat Pembuat Perikatan/Kontrak, yang telah memberikan kepercayaan kepada Tim untuk melaksanakan kajian ini. Terimakasih juga di ucapkan kepada semua pihak baik di tingkat pusat maupun di daerah yang telah memberikan bantuannya.

(5)

DAFTAR ISI

2.1. Konsepsi Pembangunan Berkeadilan ... 2.2. Kebutuhan Kredit Bagi Kelompok miskin ... 2.3. Pendekatan Sasaran Dan Konsep Perkreditan ... 2.4. Konsep Dasar Program Perkuatan UMKM ...

BAB III.KERANGKA PEMIKIRAN ... 3.1. Kerangka Dasar Penelitian ... 3.2. Kerangka Operasional ...

(6)

4.5. Metoda Penelitian …..………..………. 4.5.1. Data ……… 4.5.2. Metode Penarikan sampel

4.6. Metodel Analisis ………..…………. 4.6.1. Model-model Analisis Deskriptif

BAB V.HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS ……….…….... 5.1. Deskripsi Hasil Pengamatan Lapang ……….…….

5.1.1. Profil Perkuatan di Kabupaten Contoh ………

5.1.2. Dampak Program Perkuatan terhadap Kondisi dan Kinerja Bisnis UMKM ……… 5.1.3. Dampak Program Perkuatan Terhadap Perekonomian

Daerah ... 5.1.4. Dampak Program Perkuatan Terhadap Pengembangan

Koperasi ... 5.2. Kondisi dan Tingkat Pengaruh dari Faktor-faktor Penentu ... 5.2.1 Kondisi Awal UMKM ……..……….. 5.2.2 Pendekatan dan Pola Pelaksanaan Program Perkuatan 5.2.3 Kebutuhan Modal bagi UKM ... 5.2.4 Lembaga yang Berperan Dalam Pelaksanaan Program 5.2.5 Pengaturan Pelaksanaan Program ... 5.2.6 Pemanfaatan Bantuan Perkuatan oleh UMKM ... 5.2.7 Sistem Pendukung Usaha UMKM ………. 5.2.8 Bantuan Perkuatan dari pihak lain ... 5.2.9 Keperluan Modal Bagi UKM ……….

(7)

6.1.3. Pengaruh Tetap (independent variable) Terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja ………. 6.2. Analisis Hubungan Antar Faktor ……….. 6.2.1. Hubungan Antara Omset Usaha Dan Laba …………. 6.2.2. Hubungan Antara Volume Usaha Dan Penyerapan Tenaga

Kerja Oleh UMKM ………

BAB VII.PEMBAHASAN HASIL ANALISIS ……….. 7.1. Omset usaha UMKM ……….. 7.1.1. Ketersediaan Bahan Baku ……….. 7.1.2. Prosedur Pinjaman ……….. 7.1.3. Jumlah Pinjaman ………... 7.1.4 Kebebasan Penggunaan Pinjaman ……… 7.1.5 Jenis usaha Peminjam ………... 7.1.6 Pinjaman dari Pihak ke Tiga ………. 7.1.7 Peubah-peubah yang tidak berpengaruh terhadap

(8)

7.3.6 Peubah yang tidak berpengaruh nyata ………... 7.4. Hubungan Antar Faktor Keberhasilan UMKM ………... 7.4.1 Hubungan Antara Omset Usaha Dan Laba …………. 7.4.2 Hubungan Omset Usaha Dan Penyerapan Tenaga Kerja

Oleh UMKM ………. 7.5. Hubungan Omzet Usaha dan Penyerapan Tenaga Verja Oleh

UMKM ……… 7.5.1 Omset Usaha UMKM secara langsung dan nyata positif

mempengaruhi kemampuan penyerapan tenaga verja oleh UMKM ………

7.5.2 Pengaruh faktor-faktor lanilla ………

BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN………… 8.1. Kesimpulan ………. 8.2. Saran Tindak ……….

108 109 109 111

112

112 114

114

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Profil Bantuan perkuatan UMKM menurut Jenisnya pada lima Propinsi Contoh ... Tabel 2 : Realisasi Bantuan perkuatan Bagi UMKM Di Lima Propinsi Contoh ... Tabel 3 : Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan ) Dari aspek Aset dan Permodalan ... Tabel 4 : Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan) Dari Aspek Volume Usaha dan Laba ……… Tabel 5 : Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan )... Tabel 6 : Jumlah Tenaga Kerja dan Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan ) ………. Tabel 7 : Pertumbuhan Sumbangan UMKM terhadap Total

Pendapatan Kotor Daerah (Regional Domestic Bruto) serta Jumlah dan Kinerja Koperasi Penyalur ... Tabel 8 : Dampak Program Perkuatan terhadap Kinerja Koperasi... Tabel 9 : Dampak Pelaksanaan Program Perkuatan terhadap ?... Tabel 10: Kondisi Awal UMKM... Tabel 11 : Persyaratan Mendapatkan pinjaman... Tabel 12 : Pihak - pihak yang terlibat dalam proses perkreditan... Tabel 13 : Kebutuhan Modal bagi UKM... Tabel 14: Keragaan Peminjam dari Aspek Pemilikan Aset dan

Permodalan... Tabel 15: Pihak pihak yang terlibat dalam proses perkreditan... Tabel 16 : Pengaturan Pelaksaaan Program... Tabel 17 : Pemanfaatan Program Bantuan perkuatan... Tabel 18 : Tingkat Kesulitan dalam Proses Pemanfaatan Program

(10)

Tabel 21 : Analisis pengaruh peubah tetap (Independent Variable) Terhadap Omset usaha UMKM (Y1)... Tabel 22 : Analisis Pengaruh Peubah Tetap (Independent Variable) Terhadap laba UMKM (Y2)... Tabel 23 : Analisis Pengaruh Peubah tetap (Independent Variable) Terhdap Penyerapan Tenaga Kerja (Y3)... Tabel 24 : Hubungan Antara Volume Usaha Dengan laba UMKM (Y4).. Tabel 25 : Hubungan Antara Volume Usaha Dan Penyerapan Tenaga Kerja Oleh UMKM………...

DAFTAR BAGAN

Bagan 1: Kerangka Analisis Kajian Pemanfaatan Bantuan Perkuatan Untuk UMKM

84

86

89

91 92

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Lampiran 1 : Rata-rata Skor Ketersediaan Bahan Baku, Dan Kemudahan Pemberian Pinjaman

Tabel Lampiran 2 : Rata-rata Skor Manjemen Usaha dan Kebebasan Penggunaan Pinjaman

Tabel Lampiran 3 : Rata-rata Pinjaman Dari Pihak Ketiga Dan Kemampuan Penyerapan Tenaga Kerja

Tabel Lampiran 4 : Rata-rata Margin Usaha UKM

Tabel Lampiran 5 : Rata-rata, Pengalaman Dan Kelamin Peminjam

120

120

121

121

(12)

BAB . I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 007 tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009, menetapkan prioritas pembangunan diarahkan pada pengurangan angka kemiskinan dan penggaguran. Target yang ingin dicapai adalah mengurangi angka kemiskinan dari 9,9 % tahun 2004 menjadi 5,1 % pada tahun 2009, serta mengurangi jumlah pengangguran dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memberdayakan kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta meningkatkan peran serta koperasi dalam proses pemberdayaan UMKM.

Sebagai derivasi dari kebijaksanaan yang dituangkan dalam Perpres nomor 07 tahun 2005 tersebut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengeluarkan

Rencana Tindak Jangka Menengah (RTJM) 2005 -2009, yang menetapkan kerangka dasar pelaksanaan program pengembangan koperasi dan UMKM, dalam bentuk pelaksanaan berbagai program perkuatan KUMKM. Program ini dirancang secara komprehensif dari semua aspek usaha Koperasi dan UMKM (KUMKM), sejak dari penyiapan SDM, sampai dengan pemasaran produk UMKM. Program perkuatan KUMKM yang dirancang di tingkat pusat dan dilaksanakan disemua daerah ini, diharapkan dapat menjadi stimulan bagi UMKM maupun pemangku kepentingan (stake holder) lainnya untuk meningkatkan produktifitas UMKM.

(13)

monitoring dan evaluasi, tetapi program tersebut hanya menggunakan tolok ukur yang hanya terbatas untuk melihat keberhasilan penyaluran dana perkuatan, sehingga kegiatan monitoring dan evaluasi tersebut juga hanya melaporkan keberhasilan penyaluran baku pinjaman yang disediakan.

Program perkuatan dari aspek konsepsi perkreditannya tetap merupakan kredit murah (cheaps money credit), yang ditujukan untuk kelompok masyarakat miskin, dengan persyaratan yang ditetapkan berdasarkan pendekatan sektoral. Di samping itu juga unsur legalitas peminjam masih menjadi persyaratan utama program ini. Jenis program perkreditan seperti ini memang secara umum telah dilaksanakan diberbagai negara berkembang dengan tingkat keberhasilan yang relatif rendah. Menurut Sondakh (1986) kredit mikro yang bersifat sektoral dengan subsidi bunga bagi pengembangan tanaman jagung di Brazil merupakan puncak keberhasilan program perkreditan seperti tersebut (program kredit mikro untuk orang miskin). Pengembalian kredit tersebut mencapai 32,6 % dan kredit tersebut mampu meningkatkan produksi sebesar 21,4 %. Sedangkan program sejenis ditempat

lainnya termasuk di Indonesia (KCK, KUK, KUT dan sebagainya), tidak pernah diketahui kesudahannya, atau hilang begitu saja. Dari aspek politis kejadian seperti itu memang bukan masalah, karena setiap rezim yang berkuasa di negara berkembang pada umumnya memang berkeinginan untuk menunjukkan komitmen-nya dalam mengangkat harkat orang miskin. Kegagalan ini baru menjadi masalah kalau dianalisis dari aspek ekonomi dan sosial.

Terkait dengan upaya pemerintah untuk menumbuh-kembangkan UMKM melalui program perkuatan, perlu dikemukakan pendapat Muhammad Yunus (2006) pendiri Grameen Bank di Bangladesh, tentang kemiskinan. Yunus berpendapat bahwa ’Pengentasan kemiskinan haruslah merupakan suatu proses bertahap yang berkelanjutan dalam menciptakan asset oleh masyarakat miskin sendiri.

(14)

kalau mereka mampu.’ ’Kemiskinan menutupi seseorang, sehingga membuat

mereka terlihat bodoh dan tidak punya inisiatif. Jika mereka dihargai maka

kerangka kerja yang paling sederhanapun akan mampu memberikan

kesempatan dan memotivasi mereka untuk memperbaiki kehidupannya sendiri.

Setiap orang memiliki kemampuan terpendam’, yang disebutnya sebagai

kemampuan mempertahankan hidup. Kenyataan bahwa kaum miskin tetap hidup

membuktikan bahwa mereka memiliki kemampuan. Jadi para pengambil kebijakan tidak perlu mengajari mereka bagaimana untuk bertahan hidup, sedangkan para pengambil keputusan sendiri tidak banyak memahami kehidupan mereka.

Yang banyak terlihat dalam mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang menurut Stukey (1995), adalah bila pemerintah sering kali melupakan potensi yang ada pada kelompok miskin tersebut. Sebagian besar program kredit mikro dilaksanakan berdasarkan pendekatan sektoral dengan memasukkan unsur subsidi bunga. Menurut Anwar (1992) konsepsi perkreditan yang demikian sepertinya hanya merupakan obat penghilang rasa sakit (analgesic), yang tidak pernah

menghilangkan penyakitnya dan jika dipakai terlalu lama malah bisa menimbulkan penyakit lain. Gopar. A.Helmawi (2006) malah mengatakan kebijakan kredit masal bersubsidi merupakan moral Hazard (pengeroposan moral), yang cepat atau lambat dapat berdampak negatif bagi para peminjamnya, maupun pemerintah yang merancang dan melaksanakan program tersebut. Hal ini antara lain terlihat dari banyaknya jumlah peminjam kredit KUT yang sekarang terjerat hutang dari program yang juga dilaksanakan oleh Departemen Koperasi dan UMKM pada awal masa reformasi beberapa tahun yang lalu.

(15)

untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tidak mendapatkannya ; b) Pagu kredit yang ditetapkan secara agregat dalam jumlah tertentu menyebabkan terbatas kesempatan bagi peminjam untuk menyesuaikan kebutuhan dengan jumlah kredit yang diterima, sedangkan di tempat lain orang atau kelompok lain mungkin terjadi kelebihan pinjaman, dan hal ini menyebabkan terjadinya pemborosan dalam penggunaan pinjaman ; c) Subsidi bunga dapat mengundang kelompok yang bukan menjadi target sasaran untuk ikut menikmati pinjaman tersebut dan ; d) Persyaratan ketat yang ditetapkan dapat menjadi kendala bagi kelompok potensial yaitu masyarakat miskin yang berpengetahuan rendah, untuk mendapatkan kredit tersebut.

Dari berbagai kelemahan program perkreditan yang dirancang oleh pemerintah di negara-negara berkembang, Yunus (2006) berpendapat penghambat terbesar bagi masyarakat miskin di daerah untuk meningkatkan pendapatannya adalah tidak adanya akses ke lembaga perkreditan formal terutama perbankan. Bank komersial tidak pernah percaya pada kemampuan orang-orang lemah tersebut. Konsepsi kredit perbankan yang bersandar pada prinsip 5C (The five C of credit),

yaitu Caracter, colateral, capital, Capacity of repaymen dan Condition of

economics, tidak akan pernah dapat dipenuhi oleh kelompok UMKM. Lebih lanjut

(16)

Selama 40 tahun terakhir ini mungkin sudah lebih dari 50 Triliun Rupiah dana yang dihabiskan untuk melaksanakan berbagai program kredit mikro dengan pendekatan sektoral dan subsidi bunga yang dilaksanakan di Indonesia (Hasibuan 2005) . Yang terlihat sekarang ini pada lapisan masyarakat miskin masih seperti dulu. Angka kemiskinan masih lebih dari 2 digit, bahkan Bank Dunia (Wordl Bank ) tanggal 7 Desember 2006, mengatakan jumlah orang miskin di Indonesia sekarang ini sudah mencapai 100 juta orang, atau antara 40 sampai dengan 50 % dari penduduk Indonesia berpenghasilan kurang dari 2 USD per hari per orang. Lalu bagaimana keberhasilan berbagai program perkreditan termasuk program perkuatan KUMKM yang dilaksanakan oleh pemerintah sekarang ini ?.

Untuk program-program perkreditan yang dilaksanakan pada waktu-waktu yang lalu seperti KCK, KUK, dan KUT memang tidak perlu dijawab lagi keberhasilan dan keberadaannya, karena sudah menjadi bagian kelam dari kebijakan rezim yang berkuasa pada waktu itu. Tetapi bagaimana dengan program perkuatan yang dilaksanakan selama 6 tahun terakhir ini ?. Untuk program tahun 2000 sampai

dengan tahun 2004, juga tidak perlu dipermasalahkan lagi karena tingkat keberhasilannya tidak pernah diketahui dan keberadaannya juga sudah hilang tak tentu rimbanya. Yang perlu diperhatikan adalah program-program yang dilaksanakan selama tahun 2005 dan tahun 2006, karena sebagian uang tersebut masih ada, baik di masyarakat (UMKM), di koperasi atau di instansi / bank penyalur.

1.2. Permasalahan

(17)

UMKM. Sedangkan pada program perkuatan yang bersumber dari dana SUP-005, Kementerian Negara Koperasi dan UKM hanya memiliki kewenangan sebatas memberikan rekomendasi untuk institusi penyalurnya saja (perbankan). Kewenangan penuh hanya diberikan kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada penyaluran dana perkuatan yang bersumber dari APBN, melalui program-program perkuatan yang dirancang oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM sendiri, seperti program-program perkuatan sektoral dan program perkuatan melalui pengembangan unit simpan pinjam koperasi (USP Koperasi) dan program perkuatan melalui Koperasi simpan pinjam (KSP).

Secara kumulatif sejak tahun 2004 sampai dengan bulan Oktober tahun 2006 jumlah penyaluran dana program-program perkuatan dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang bersumber dari APBN telah mencapai 2,35 Triliun Rupiah. Hasil monitoring yang diberikan sampai sekarang ini hanya berupa informasi jumlah penyaluran dan jumlah koperasi serta UMKM yang mendapatkan bantuan pinjaman perkuatan tersebut saja, sedangkan sejauh mana manfaat yang dirasakan oleh para

peminjam dan bagi koperasi belum terukur dengan baik.

(18)

pekerjaan, dan jika dia sudah berusaha apakah dengan adanya bantuan perkuatan terhadap usahanya sudah ada peningkatan pendapatannya serta ; d) jika program perkuatan melibatkan koperasi, apakah koperasi yang melakukan penyaluran tersebut menerima dampak positif dari kegiatan ini .

Walaupun program perkuatan dirancang dan dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM, tetapi kegiatan usaha UMKM merupakan kegiatan usaha ekonomi yang keberhasilannya melibatkan banyak unsur sejak dari hulu (penyediaan bahan baku), sampai dengan hilirnya (pemasaran pada konsumen). Seperti layaknya program multidimensional lainnya, yang melibatkan banyak pihak. maka peluang timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan program tersebut juga menjadi cukup besar. Satu hal penting yang harus mendapat perhatian adalah tolok ukur keberhasilan program tersebut seharusnya sudah ditetapkan secara sistematis sesuai dengan tujuan dan ouput yang akan dicapai. Dari berbagai petunjuk operasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM, terlihat bahwa orientasi pencapaian tujuan hanya dibatasi sampai dengan keberhasilan

penyalurannya (nilai, dan jumlah UKM yang mendapatkan bantuan) saja. Akibatnya pemanfaatan dan kemanfatan program tersebut bagi peminjam, yang merupakan sasaran pencapaian ouput akhir yang paling diharapkan yaitu ”seberapa besar kemampuan program-program perkuatan tersebut dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, tidak dimasukkan dalam kalkulus perencanaan. Dengan demikian adalah wajar jika sampai sekarang ini tidak pernah diketahui dengan pasti sejauh mana tingkat keberhasilan program tersebut mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

(19)

terjadi, maka perlu diwaspadai asumsi bahwa ”pelaksanaan program perkuatan belum sesuai dengan harapan”. Kegagalan program perkuatan dapat saja terjadi akibat timbulnya berbagai permasalahan dan kendala, baik kendala dalam hal proses seleksi penyaluran dan pemanfaatannya, maupun kendala internal UMKM dalam melaksanakan kegiatan usaha yang mendapat bantuan perkuatan tersebut. Demikian juga dapat dimaklumi bahwa walaupun bantuan perkuatan yang diberikan sudah cukup banyak bentuk dan jenisnya, tetapi bila dicermati akan terlihat jenis dan jumlah bantuan yang diberikan tersebut masih jauh dari mencukupi. Dengan perkataan lain bantuan yang diberikan belum sesuai dengan jumlah dan kebutuhan UMKM, karena jumlah dan kebutuhan UMKM sangat banyak dan sangat beragam, baik antar aspek, antar sektor maupun antar daerah.

Kekhawatiran di atas tampaknya cukup beralasan karena selama ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM hanya menetapkan para penerima bantuan perkuatan berdasarkan pada kebutuhan agregatif, dan kriteria yang terangkum dalam petunjuk pelaksanaan bantuan perkuatan UMKM. Oleh sebab itu

mengingat proses penunjukan itu sendiri hanya didasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam petunjuk pelaksanaan, maka bukan tidak mungkin akan ada bias akurasi penunjukan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan program tersebut. Demikian juga alokasi pagu kredit per peminjam yang bersifat top down, dapat saja menimbulkan bias dalam pemanfaatannya.

(20)

keberhasilan dari Program tersebut dalam mencapai tujuan akhirnya, atau output yang diharapkan yaitu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Layaknya program yang sudah berjalan cukup lama tentunya kegiatan tersebut sudah mengindikasikan keberhasilan, kendala dan permasalahan yang dihadapi. Indikasi yang terlihat secara visual di lapang antara lain adalah ”Adanya pertumbuhan usaha dari beberapa KUMKM yang mendapatkan bantuan perkuatan, sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu peningkatan omset usaha dan laba serta penyerapan tenaga kerja. Namun demikian indikasi-indikasi visual seperti itu tampaknya belum dapat sepenuhnya dijadikan bahan acuan yang relevan dalam upaya penyempurnaan kebijakan perkuatan KUMKM, karena belum mengarah pada output akhir yang diharapkan yaitu peningkatan pendapatan dan peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja dari KUMKM tersebut”. Untuk mengukur kedua tolok ukur terakhir ini memang sulit untuk dapat dilakukan dengan metoda evaluasi sederhana. Kegiatan ini harus juga dapat menjawab berbagai penyebab dari output yang terukur tersebut, untuk itu maka diperlulan adanya kajian

yang komprehensif, agar keabsahannya dapat dipertanggung jawabkan.

1.3. Tujuan Pengkajian

Sejalan dengan permasalahan di atas maka tujuan kajian ini ditujukan untuk : a) Menganalisis kinerja UMKM yang menerima bantuan perkuatan khususnya di

bidang produksi dan permodalan serta faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program ;

b) Menemukenali pemanfaatan dan berbagai permasalahan yang dihadapi UMKM dalam program perkuatan dan ;

(21)

1.4. Manfaat Pengkajian

Adapun manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah ; didapatkannya kesimpulan hasil kajian yang menggambarkan dampak program perkuatan bagi perkembangan UMKM, serta permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaannya, sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijaksanaan dalam rangka menyempurnakan kebijakan perkuatan ke depannya. Selain itu kajian ini diharapkan mampu menyajikan alternatif model evaluasi dan monitoring program-program perkuatan yang dilakukan Kementerian Negara Koperasi dan UKM.

1.5. Output Kajian

1. Pelaksanaan program perkuatan yang dilaksanakan antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 khusus untuk dua jenis program utama yaitu Program Sektoral, dan KSU/USP ;

2. Kinerja UMKM penerima bantuan perkuatan dilihat dari aspek pemilikan aset, permodalan, omset usaha, produktifitas, penggunaan teknologi dan laba yang diperoleh ;

3. Kemanfaatan program dari aspek peningkatan pendapatan dan penyerapan kerja serta daya dukungnya dalam mengurangi pengangguran ;

4. Kemanfaatan program terhadap pemberdayaan Koperasi melaui peningkatkan omset usaha dan pelayanan serta partisipasi anggotanya ;

5. Permasalahan yang dihadapi UMKM serta kondisi dan tingkat pengaruh dari faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan program dalam mencapai tujuannya serta :

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsepsi Pembangunan Berkeadilan

Slogan-slogan pemberdayaan ekonomi rakyat yang didengungkan pada akhir

kekuasaaan rezim orde baru (tahun 1990-an), oleh sebagian kalangan dianggap

sebagai program terpojok atau program dadakan. Banyak ekonom yang menilai

bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat pada era tersebut hanya dijadikan komoditas

politik untuk menutupi kenyataan besarnya peran pemerintah dalam mendukung

sistem ekonomi kapitalis, yang dibangun oleh kelompok konglomerat. Komitmen

pemerintah yang dinilai semu dicirikan dengan tumbuh dan berkembangnya

konglomerasi yang sedemikian cepat, serta korupsi dan nepotisme khususnya di

bidang ekonomi yang malah lebih banyak menyengsarakan kehidupan masyakat

banyak (Nasution dan Syarif 2002).

Dengan terjadinya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis

multi-dimensional mulai awal tahun 1997, semakin nyata terlihat bahwa konglemerasi yang

dibangun atas kerja sama (baca dengan KKN) antara pejabat pemerintah dengan

para pengusaha besar, tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk

mempertahankan perekonomian nasional dari gejolak perekonomian dunia. Usaha

bisnis para konglomerat sebagian hancur dan sebagian lagi terpaksa ditopang oleh

pemerintah dengan dana pinjaman dari luar negeri (dengan dana BLBI). Ironisnya

dalam kondisi keuangan negara yang sangat terpuruk tersebut, para konglomerat

atau kelompok kapitalis semu ini malah membawa lari sebagian besar asset

negara/bangsa dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI

sebenarnya merupakan pinjaman atau hutang pemerintah dari luar negeri yang

(23)

Era reformasi yang diharapkan dapat membawa angin segar bagi

pemberdayaaan ekonomi rakyat yang sebagian besar (99,9 %) dibangun oleh

kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dalam kenyataannya sampai

sekarang ini belum memenuhi harapan. Sistem perekonomian nasional ternyata

belum memberikan kesempatan yang signifikan (keberpihakan) pada kelompok

UMKM, walaupun kelompok usaha ekonomi ini telah secara nyata memberikan

sumbangan yang cukup besar dalam proses penyembuhan perekonomian nasional

(National Economics Recovery) dimasa krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Hal

yang demikian menimbulkan pertanyaan, apakah pembangunan di era reformasi

yang cenderung masih menggunakan pendekatan pertumbuhan, akan diandalkan

lagi untuk mampu mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia, yang

sebagian besar adalah UMKM?. Sedangkan diketahui bahwa konsepsi yang

bersandar pada faham neoklasik tersebut nyata-nyata hanya mampu menciptakan

keberhasilan semu, yang hancur terkena resesi ekonomi dunia dan gagal total dalam

menciptakan pemerataan (Syarif, 2006).

Keterikatan para perencana pembangunan pada konsepsi pembangunan yang

bersandar pada faham ekonomi Neoklasik memang banyak menimbulkan pertanyaan

dari kelompok ekonom yang lebih reformis. Mereka pada umumnya menghendaki

adanya perubahan pendekatan dengan menggunakan berbagai pendekatan

pembangunan yang lebih sesuai dengan potensi fisik dan kondisi ekonomi sosial

budaya dan politik Indonesia sebagai negara berkembang yang sebelumnya telah

mengalami masa penjajahan yang cukup panjang. Dalam hal ini banyak pihak

mencoba menyodorkan ide yang bersumber dari berbagai konsepsi pembagunan

untuk negara berkembang yang telah banyak dikemukakan baik oleh

kelompok-kelompok ekonom strukturalis, kelompok-kelompok ekonom social democrat, bahkan kelompok-kelompok

ekonom penganut paham ekonomi kiri baru. Kesemuanya seharusnya perlu

dipertimbangkan dalam penyusunan konsep pembangunan nasional (Tjondronegoro,

(24)

Dalam sistem perekonomian yang menggunakan pendekatan pertumbuhan,

memang pemberdayaan UMKM sering terlupakan karena sebagian besar UMKM

bergerak pada bidang-bidang usaha yang produktifitasnya rendah seperti sektor

pertanian dan jasa informal. Kekeliruan semacam inilah sebenarnya yang telah

membangun jebakan ekonomi (economic traps) dalam era orde baru. Kekeliruan

tersebut nampaknya tidak terlepas dari kepercayaan yang berlebihan (sindroma) dari

para ekonom yang terlibat langsung dalam perencanaan pembangunan dimasa itu,

terhadap keberhasilan pembangunan negara-negara barat diawal abat ke sembilan

belas yang menerapkan konsepsi pembangunan dari paham neoklasik (Adam smith

dan Ricardo). Sidroma tersebut antara lain terlihat dari istilah tinggal landas (take off), yang dipopulerkan oleh (Rustow (1967), sedangkan diketahui bahwa Rustow bukan ekonomi tetapi hanya ahli sejarah ekonomi. Lebih aneh lagi sebagian dari

mereka mempercayai apa yang dikatakan oleh Rustow tersebut, sebagai suatu

konsep pembangunan ekonomi yang membagi proses pembangunan dalam

beberapa tahapan dan berakhir dengan tahapan tinggal landas (take of).

Dengan memperhatikan berbagai hal yang diuraikan di atas dapat dimaklumi

bahwa perencanaan pembangunan yang lebih diarahkan pada usaha mengejar

pertumbuhan ekonomi semata, sering mengabaikan atau mengesampingkan

pertimbangan dari berbagai aspek lainnya termasuk aspek moral. Dalam hal ini

Sweezi (1978) menjelaskan bahwa pengabaian aspek moral dalam perencanaan

pembangunan yang berorientasi pada pemahaman yang ekstrim dari tiori-tiori

ekonomi klasik merupakan gambaran nyata dari kelemahan konsep ekonomi pasar

yang dimotori oleh Ricardo. Ricardo merupakan pengikut (murud) Adam smith yang

pandangan-pandangannya lebih liberal dari Adam Smith sendiri (Ricardo), cenderung

menganggap manusia sebagai Homo economicus. Dalam konsepsi yang demikian

kedudukan moral hanyalah mozaik dalam kehidupan manusia yang tidak relevan jika

dimasukan dalam kalkulus pembangunan ekonomi, tetapi akan lebih baik jika

dipisahkan dulu dan dikalkulasikan dalam pembangunan bidang-bidang sosial yang

(25)

Satu hal penting lainnya yang terlupakan oleh para perencana pembangunan

tersebut adalah kenyataan bahwa sebagian besar negara berkembang seperti Mesir,

Pakistan, Argentina dan Filipina telah lebih dulu mengalami kegagalan dalam

mereplikasikan konsep pembangunan yang bersumber dari penganut paham pasar

bebas. Dalam hal ini Linberg (1988) mengemukakan beberapa alasan ketidak

mampuan faham neoklasik dalam mendukung pembangunan di banyak negara

berkembang antara lain ; a) Mengagregatkan pembangunan disemua sektor dan

daerah yang mempunyai potensi berbeda ; b) mengabaikan peran kelembagaan

(institusional) sebagai unsur regulator pembangunan serta ; c) menjadikan manusia

sebagai obyek pembangunan.

Dengan adanya kegagalan pembangunan yang menerapkan konsep

Neoklasik tersebut, beberapa pakar ekonomi dan Regional sience antara lain Wibber,

Isard, termasuk Mosher menyarankan pembangunan ekonomi dari negara-negara

yang bersandar pada produk-produk primer dan SDM, akan lebih berhasil jika

menggunakan pendekatan potensi regional. Dengan konsepsi yang bersandar pada

optimasi sumberdaya potensial ditiap daerah, atau nilai keunggulan komparatif

daerah ini, sebagian besar negara berkembang ternyata mampu menggerakkan

semua kelompok masyarakatnya untuk turut berperan aktif dalam mendukung

pembangunan. Berbagai negara yang dinyatakan berhasil menerapkan konsepsi

tersebut seperti Chili, Costarica Pantai Gading Thailand dan Malaysia ternyata tidak

menghadapi banyak kendala dan juga tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan

politiknya. Ciri keberhasilan penerapan konsepsi tersebut juga sangat spesifik, yaitu

meninggkatnya produksi dan pendapatan nasional secara perlahan (antara 1 sampai

2 % per tahun), serta berkurangnya pengangguran yang diimbangi dengan

meningkatnya indeks kesejahteran secara merata, yang secara langsung mengurangi

kemiskinan.

Keberhasilan pembangunan yang bersandar pada pendekatan potensi

regional dinegara-negara berkembang tersebut diatas, pada umumnya

(26)

karya yang merupakan ladang usaha dari kelompok UMKM. Konsepsi ini juga

sekaligus memungkinkan pembangunan dilakukan secara merata dan tidak terpusat

di daerah center, sehingga masalah ketimpangan pembangunan antar daerah

seperti yang terjadi Indonesia yang terpusat di Pulau Jawa, Bali dan kota-besar diluar

kedua daerah tersebut seperti Makasar dan Medan, secara langsung juga akan

dapat teratasi.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, diketahui bahwa Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih menjadi sandaran utama dari 86,7 %

rumah tangga yang ada di Indonesia. Dalam hal penyerapan tenaga kerja diketahui

bahwa kelompok usaha ini mampu menyerap 99,9 % dari jumlah tenaga kerja

produktif yang tersedia. Ironisnya peran UMKM dalam mendukung pendapatan

nasional (GNP) relatif kecil yaitu pada tahun 2005 baru mencapai 54,47 %. Demikian

juga dalam pemilikan modal, jumlah modal yang dimiliki oleh kelompok UMKM hanya

sebesar Rp 149,27 triliun atau 4,19 % dari jumlah modal yang digunakan dunia

usaha dalam perekonomian nasional. Demikian juga laba yang diperoleh UMKM

masih relatif sangat kecil yaitu Rp 211,53 Triliun dibandingkan dengan jumlah UMKM

yang sedemikian besar sehingga rata-rata pendapatan per kepala (income per

capita) kelompok masyarakat yang tergolong UMKM masih sangat kecil yaitu lebih

kurang 3.929.440. atau lebih kurang 435, Dolar AS (Laporan Bank Indonesia tahun

2006)

Kondisi UMKM yang masih marjinal baik dalam hal permodalan maupun

pendapatan per kepala seperti diuraikan di atas adalah hampir sama dengan kondisi

UMKM dalam struktur perekonomian nasional di era orde baru, yang memang tidak

berbasis pada ekonomi rakyat dan sumberdaya nasional. Kurang berperannya

UMKM dalam perekonomian nasional pada waktu sebelum krisis moneter tampaknya

menjadi salah satu sebab porak porandanya perekonomian nasional. Sebaliknya,

membesarnya peran UMKM setelah krisis moneter telah mempercepat proses

penyembuhan perekonomian nasional (national economics recovery), sehingga

(27)

Namun demikian dalam struktur dan sistem perekonomian nasional yang belum

mampu menumbuh kembangkan UMKM dengan sewajarnya, tampaknya juga

menyebabkan perekonomian kita masih rawan terhadap goncangan perekonomian

dunia.

Kondisi struktur dan kebijakan perekonomian nasional yang belum

menem-patkan UMKM dalam posisi yang kuat tidak akan mendukung keberhasilan

pem-bangunan perekonomian nasional, serta sulit untuk terhindarkan dari goncangan

perekonomian dunia. Demikian juga keterbatasan sumberdaya yang dimiliki UMKM

khususnya modal dan teknologi merupakan kendala klasik yang selama ini dihadapi

UMKM dalam memperluas kegiatan bisnisnya / usahanya. Sementara peran

perbankan / lembaga keuangan formal lainnya dalam mendukung pemberdayaan

UMKM masih sangat terbatas dan terlalu hati-hati. Idealnya semua kendala tersebut

sejak lama sudah dapat diatasi melalui regulasi perbankan terutama Undang-Undang

perbankan yang menjadi dasar kebijakan pemerataan pemilikan modal (capital

reform). Namun Ironisnya UU perbankan nomor 14 tahun 1967 yang diperbaharui

dengan UU perbankan no 29 tahun 1992 cenderung dalam pemberian kredit masih

mengutamakan unsur Capital dan Colateral (berbau Liberal) dengan konsep The five

C of Creditnya yang sangat memberatkan UMKM .

Perkuatan UMKM merupakan salah satu alternatif untuk memperkokoh basis

perekonomian nasional, namun disadari bahwa agar perkuatan tersebut dapat

dilak-sanakan dengan baik, dperlukan perencanaan yang komprehensif, serta kesiapan

penyediaan sumberdaya dan waktu. Sebagaimana diketahui bahwa kelemahan

UMKM masih sangat banyak antara lain ditandai dengan : a) Ketidakpastian

ketersedian bahan baku utama dan bahan tambahan : b) Peralatan dan teknologi

produksi yang digunakan sangat sederhana sampai dengan setengah modern,

sehingga produktifitas UMKM relatif rendah ; c) Keahlian/keterampilan SDM belum

berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi dan produktifitas

usaha : d) rata-rata pemilikan modal sangat terbatas : d) Sebagian besar pasar

(28)

fiskal dan moneter belum sepenuhnya mendukung pengembangan produksi,

keahlian, teknologi dan pasar KUKM : g) Prasarana tidak selalu tersedia atau tidak

sesuai dengan yang diperlukan dalam rangka pengembangan produksi dan pasar

KUKM; g) kebijakan pemerintah dalam upaya perkuatan UMKM terlihat kurang

komprehensif dan sering tidak konsisten seperti peraturan perbankan (Banyak

dipengaruhi unsur Politis) demikian juga kebijakan di bidang perdaganggan dan

perindutrian.

Dengan kondisi awal UMKM serta kondisi lingkungan ekonomi baik mikro

maupun makro yang belum sepenuhnya kondusif bagi pemgembangan peran UMKM,

maka adalah wajar jika program perkuatan yang dilaksanakan sekarang ini pada

dasarnya adalah ditujukan untuk memperbaiki kondisi internal UMKM (ekternalnya

belum dilakukan). Namun dalam banyak hal baik dari aspek jenis dan jumlah bantuan

perkuatan yang diprogramkan, maupun kebijaksanaan dasar (pendekatan dan

petunjuk pelaksanaannya) masih memperlihatkan adanya celah-celah yang

dikhawatirkan dapat mengurangi tingkat keberhasilan program tersebut, maka kondisi

inilah seharusnya menadapat perhatian lebih banyak untuk dikaji.

2.2. Kebutuhan Kredit Bagi Kelompok miskin

Tidak terlepas konsepsi pembangunan nasional seperti diuraikan di atas,

adalah sangat ironis jika dalam era reformasi sekarang ini UMKM dan koperasi tidak

juga dapat ditumbuh-kembangkan, sesuai dengan potensi dan perannya dalam

perekonomian nasional. Tetapi kondisi tersebut merupakan kenyataan. Jika

diperhatikan selama delapan tahun reformasi sudah berjalan, kedudukan UMKM

dalam mengurangi pengangguran dan sumbangannya terhadap PDB memang

semakin membaik. Hal tersebut dapat diperlihatkan dari semakin membesarnya

peran UMKM dalam penyerapan tenaga kerja (hampir 87 % rumah tangga) dan

sumbangannya terhadap PDB yang mencapai 54,7 %. Tetapi disisi lain terlihat

bahwa kondisi UMKM sendiri semakin memburuk, seperti rata rata permodalan yang

dimiliki oleh usaha mikro hanya sebesar Rp 1.123.000, Usaha kecil hanya sebesar

(29)

Demikian juga dalam hal kemampuan penyerapan modal dari bank-bank nasional.

Kelompok usaha mikro yang jumlahnya mencapai 44.240.000 rumah tangga hampir

tidak pernah tersentuh bantuan permodalan dari bank-bank komersial, kelompok

usaha kecil hanya mampu menyerap modal sebesar 11,76 Triliun (dari total kredit

yang disalurkan oleh perbankan nasional tahun 2004 sebesar Rp728,3 triliun) dan

usaha menengah hanya mampu menyerap 40,6 triliun saja (Syarif, 2006).

Bank Indonesia dari hasil penelitiannya tahun 2004 mengemukakan bahwa

kelompok UMKM memang tidak, atau kurang berminat untuk memperoleh bantuan

dana dari perbankan. Hanya 32 % dari mereka yang masuk dalam kelompok usaha

mikro dan usaha kecil yang menyatakan memerlukan bantuan modal dari pinjaman

bank dan hanya 76 % dari 32 % yang membutuhkan tersebut menyatakan pernah

meminta pinjaman kredit dari perbankan. Hal ini adalah sangat kontroversial

dibandingkan dengan kenyataan di lapang yang antara lain pernah di kemukakan

oleh Sondakh, Hafiz dan Mubyarto tahun 1987, bahwa kebutuhan kredit (demand of

kredit) di lingkungan usaha kecil dan mikro di pedesaan adalah sangat besar,

mencapai 97,8 %. Ironisnya 67 % dari kebutuhan kredit usaha mikro dan usaha kecil

tersebut didapatkan dari pinjaman para pelepas uang (rentenir). Dari sini timbul

pameo bahwa “rentenir bukan lintah darat tetapi “malaikat penolong” yang

memberikan kehidupan perekonomian masyarakat kecil terutama di perdesaan”.

Memang banyak orang tidak dapat mengerti dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) tersebut, tetapi mungkin saja metoda dan asumsi

yang digunakan oleh BI tidak valid. Dalam hal ini Hafidz dan Sondakh (1987) dari

hasil penelitiannya di 27 Propinsi di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa

kelompok miskin memerlukan bantuan pinjaman modal. Bank komersial tidak dapat

dijadikan sandaran oleh kelompok miskin karena kelompok ini tidak akan mampu

memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak Bank (The Five C of Credit). Hal ini

juga telah dikemukakan oleh Yunus (2002) bahwa ”Bank komersial mengharuskan

adanya jaminan dan berbagai persyatan adminidtratif alinnya, yang tidak mungkin

(30)

menghubungkan pekerjaan yang mereka lakukan dengan ketersediaan modal agar

memungkinkan kelompok ini meningkatkan kemampuan ekonomi mereka, dan

memperoleh sumber pendapatan”. Isini sebenarnya peran pemerintah beralaku adil

untuk berpihak kepada kelompok masayarakat yang jumlahnya paling (UMKM), tetapi

keberpihakan tersebut sampai sekarang belum juga terlihat.

Lebih lanjut dikatakan oleh Yunus, masyarakat miskin memiliki kemampuan

untuk menciptakan kekayaan sama seperti orang lain. Akses pada kredit memberikan

mereka kesempatan untuk keluar dari perangkap lemahnya permodalan yang

menjebak mereka dalam lingkaran setan kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty).

Berikan kesempatan kepada mereka untuk mencoba kemampuannya dan

menciptakan kekayaan dalam jumlah besar. Dengan pinjaman kredit, pelanggan

(orang miskin) dapat menciptakan lapangan kerja sendiri, dan kebanyakan juga

mempekerjakan seluruh keluarganya atau orang lain (mengurangi peangangguran).

Young Chul Kim (1971) berpendapat perekonomian masyarakat miskin ini

ditandai dengan akumulasi modal yang rendah. Sejumlah kecil uang dan surat

berharga beredar dan berpindah tangan dengan cepat dan membentuk ilusi ekonomi.

Bahwa ada tersedia banyak uang untuk semua orang. tetapi padahal sistem tersebut

tidak memberikan kesempatan untuk terbentuknya akumulasi modal dan investasi

dalam jumlah besar karena terikat dengan sejumlah besar uang yang beredar dalam

sistem itu sendiri. Hal inilah yang mempersulit posisi orang miskin untuk

mendapatkan kredit, bahkan sebaliknya ada kecenderungan akumulasi dana

dikalangan bawah untuk ditarik keatas seperti yang dilakukan melalui berbagai

bentuk tabungan oleh perbankan sekarang ini. Tabungan-tabungan itu sendiri

cenderung memberikan tingkat bunga yang relatif sangat kecil (lebih kecil dari

sertifikat Bank Indonesia) sehingga dapat dikatakan sebagai strategi perbankan untuk

mendapatkan dana murah dari masyarakat untuk membiayai keperluan usaha

(31)

Agar bisa berhasil masyarakat miskin membutuhkan bantuan yang terorganisir

untuk meningkatkan pendapatan dan produktivitas mereka. Tapi penyediaan bantuan

seperti itu akan sangat mahal bagi lembaga yang juga membutuhkan percobaan

untuk menentukan metode kerja dan mekanisme pelaksanaan yang cocok.

Masyarakat miskin tidak akan bisa menanggung seluruh biaya yang berkaitan

dengan penerapan dan pelaksanaan program-program tersebut. Keberhasilan

replikasi bergantung pada adanya dana subsidi pada tahap awal dan yang terutama

sekali pada kreatifitas dan komitmen pemimpinnya (Muhammad Yunus 2006).

Apa yang dikatakan oleh Yunus telah dibuktikan dengan keberhasilan

Grameen Bank bukan hanya menjadi sumber permodalan bagi kelompok

miskin,tetapi berperan sebagai lembaga pendidikan, lembaga informasi dan lembaga

kekerabatan dari para anggotanya. Grameen Bank (GB) bukan bank konvensional

yang hanya berhubungan dengan nasabah terbatas dari aspek ekonomi, tetapi

bersifat multidimensil dari segala aspek kehidupan kelompok miskin, serta

memasukan unsur sosial budaya “Grameen Bank adalah loncatan budaya manusia

yang meninggalkan teori ekonomi klasik dan terbebas dari unsur politis”.

Grameen Bank menugaskan dirinya untuk terutama sekali memberikan

pinjaman kepada yang paling miskin. Dan perempuan merupakan jumlah terbanyak

dari kelompok yang terpinggirkan diantara yang paling miskin dari yang miskin.

Pemberdayaan ekonomi perempuan memiliki dampak yang sangat besar terhadap

terbentuknya keluarga yang stabil. Kamaruddin (1998) mengemukakan bahwa Dua

hal yang menyolok dari konsep perkreditan yang diprakarsai oleh Muhammad Yunus

yaitu ; yang pertama sebagian besar pelanggannya adalah perempuan dan ; yang kedua misinya bukan bergerak dibidang keuangan saja, tetapi dari semua aspek kesejahteraan anggotanya. Grameen Bank merupakan satu-satunya bank di dunia ini

yang mendorong pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, sanitasi dan

lingkungan yang bersih.

(32)

2.3. Pendekatan Sasaran Dan Konsep Perkreditan

Pendekatan program perkuatan sebagai program perkreditan adalah

pemerataan pemilikan asset dalam rangka memperkuat potensi usaha kelompok

UMKM agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya. Tujuan akhir (output)

dari program ini adalah meningkatkan pendapatan UMKM dan perluasan lapangan

kerja dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan dan pengangguran. Sasaran

program perkuatan terutama adalah kelompok mikro dan usaha kecil. Dari

pendekatan dan dan sasaran program ini maka idealnya program perkuatan sebagai

bentuk kredit mikro yang titujuakan untuk kelompok masyarakat miskin harus

memperhatikan karakteristik atau ciri-ciri dari kelompok tersebut dari aspek ekonomi

dan sosial.

Menurut Hayami dan Kikuchi (1967) dalam Syarif (1990) kelompok ini memiliki

ciri-ciri sebagai berikut ;

1) Berpendidikan rendah sehingga sulit untuk dapat memahami prosedur

perkreditan dari perbankan yang relatif rumit ;

2) Tidak memiliki harta atau kekayaan yang dapat dijadikan agunan sehingga tidak

memenuhi syarat perbankan yang menerapkan prinsip kehati-hatian dengan

konsep The Five C of Credit.

3) Keperluan kredit tidak hanya untuk biaya produksi, tetapi juga sebagaian sering

digunakan untuk biaya konsumsi sebelum berproduksi ;

4) Kegiatan usaha tradisional yang lebih didominansi penggunaan tenaga kerja

(Labour intensive), sedangkan investasi dan modal kerja yang digunakan relatif

kecil, maka mereka masuk dapat dimasukan dalam kelompok usaha mikro dan

atau usaha kecil ;

5) Sebagian besar kegiatan UMKM dapat dilaksanakan (perdagangan, industri

kerajianan, penggalian, angkutan dan sektor informal) dalam waktu yang singkat

sehingga turn over dari kegiatan usahanya sangat cepat (antara 1 sampai 7 hari

per satu kali putaran), kecuali untuk kegiatan di sektor pertanian

6. Sangat tergantung pada kesempatan (opportunity) yang relatif sempit dengan

(33)

7. Margin yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang digunakan relatif

besar, yang bervariasi (di Indonesia antara 3,8-87,6 % per bulan) tergantung

pada jenis kegiatan yang diusahakan ;

8. Solidaritas dalam kelompok relatif besar ;

Oleh karena program-program kredit mikro yang dilaksanakan oleh pemerintah

pada umumnya ditujukan untuk masyarakat miskin dengan ciri-ciri seperti disebutkan

di atas, maka idealnya program-program perkreditan tersebut memiliki prinsip dasar

sebagai berikut :

a) Tidak menggunakan agunan, atau agunan dapat digantikan dengan social

capital yang ada dikalangan kelompok itu sendiri, seperti yang digunakan

dalam konsep perkreditan Grameen Bank di Bangladesh ;

b) Prosedur peminjaman dibuat sesederhana mungkin agar lebih mudah

dipahami ;

c) Penggunaan kredit tidak dibatasi pada satu atau beberapa jenis kegiatan

uasaha saja, mengingat jenis kegiatan dan keperluaan kelompok miskin ini

sangat beragam ;

d) Waktu proses pengajuan kredit sampai pencaiaran kreditnya singkat (cepat) ;

e) Jumlah yang diberikan sesuai atau mencukupi dan .

f) Tingkat bunga diperhitungkan berdasarkan jenis sektor kegiatan yang

dilaksanakan karena setiap sektor kegiatan usaha memiliki besar margin yang

berbeda. Untuk menghindari terjadinya manipulasi kredit oleh kelompok

pelaksana maupun kelompok lain yang ingin mengambil kesempatan dari

adanya subsidi bunga, maka subsidi bunga harus ditiadakan atau tingkat

bunga minimal adalah sama dengan bunga Bank komersial

Dengan memperhatikan berbagai program perkreditan bagi kelompok UMKM

yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak era orde baru yang lalu, nampaknya

kelima prinsip dasar kredit untuk kelompok miskin seperti disebutkan di atas hampir

tidak pernah ada. Kalaupun ada, hanya satu prinsip saja yang sering digunakan yaitu

(34)

maka dibuat prosedur perkreditan yang sangat tertutup, sehingga sangat menyulitkan

bagi UMKM dan menyebabkan cost of credit menjadi tinggi, tetapi membuka peluang

terjadinya manipulasi dana ditingkat penyalur. Dalam hal ini para perancang program

kredit mikro masih terkungkung pada dogma bahwa kredit untuk orang miskin harus

dengan bunga yang rendah. Pendapat ini sangat tidak realistis dan telah dibantah

oleh puluhan pakar, termasuk oleh Muhammad Yunus sebagai pendiri Grameen.

Terkait dengan dogma atau mitos bahwa kredit untuk orang miskin harus

dengan bunga rendah atau bersubsidi, Gonzalaes (1982) malah merumuskan Hukum

Besi perkreditan yang dinamakan The iron law of credit atau Hukum besi Gonzales. Disini Gonzales mengumpamakan bunga yang besar sebagai besi, sedangkan bunga

ringan (bersubsidi) sebagai kapas. Hanya besi yang akan turun kebawah atau

dikonsumsi oleh orang miskin, sedangkan kapas akan ditangkap di atas oleh orang

tertentu, baik penyalur kredit maupun pihak-pihak lainnya.

Dalam hal bunga kredit ini Syarif (1990) dari hasil penelitiannya terhadap

Kredit Candak Kulak (KCK) di kabupaten Subang Jawa Barat (1987), mengatakan

bahwa bunga kredit tidak berpengaruh nyata terhadap effektifitas dan efisiensi penggunaan kredit, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap ketepatan sasaran pemberiann kredit (bunga yang rendah dapat menyebabkan salah sasaran). Sebaliknya biaya untuk mendapatkan kredit sampai dengan pengembaliannya (cost of credit), berpengaruh nyata (pemborosan) terhadap efektifitas dan efisiensi penggunaan kredit. Pada kredit-kredit bersubsidi, karena persyaratan yang sedemikian ketat menyebabkan cost of credit menjadi tinggi. Biaya

yang tinggi ini harus ditanggung oleh peminjam, yang dalam hal ini adalah UKM,

sehingga manfaat yang diperoleh menjadi berkurang. Bagaimana kesesuaian pola

perkreditan dalam program perkuatan UMKM yang telah dilaksanakan oleh

Kementerian Negara Koperasi dan UKM dibandingkan dengan kriteria pola kredit

mikro yang dikembangkan dari hasil penelitian dan yang telah dikemukakan oleh para

(35)

2.4. Konsep Dasar Program Perkuatan UMKM

Yang dimaksud dengan kelompok UKM dalam tulisan ini adalah kelompok

usaha mikro yaitu kelompok masyarakat yang bergerak pada berbagai kegiatan

ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal, dalam arti belum

terdaftar, atau tercatat sebagai pengusaha pada instansi pemerintah dan belum

berbadan hukum, dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 100.000.000,

atau kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 usaha kecil adalah kegiatan

usaha ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria ; a) memiliki kekayaan bersih paling

banyak Rp.200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; b)

memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000 ; c) milik

warganegara Indonesia ; d) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau

cabang perusahaan yang dimiliki atau dikuasai, atau berafiliasi baik langsung

maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan ; e)

Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,

atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Yang dimaksud dengan usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang

memenuhi kriteria ; memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp.200.000.000 sampai

dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha. Sesuai dengan ketentuan Inpres nomor 10 tahun 1999, para menteri

sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing dapat menetapkan kriteria usaha

menengah secara sektoral dengan ketentuan bahwa kekayaan bersih paling banyak

Rp 10.000.000.000,- ; milik warganegara Indonesia ; c) berdiri sendiri, bukan

merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki atau dikuasai,

atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau

usaha besar dan d) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak

berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Berbagai komitmen yang berkaitan dengan upaya memberdayakan UMKM

sangat banyak dan hampir terjadi setiap hari diperdengarkan di banyak tempat dan

(36)

yang pada akhirnya tidak mendapat tanggapan yang signifikan baik dari kalangan

pemerintah, lembaga legislatif, para ekonomi maupun masyarakat luas. Komitmen

pemberdayaan UMKM dari berbagai aspek dan bentuknya, biasanya hanya

diperdengarkan dilingkungan diskusi-diskusi ilmiah atau pidato-pidato politis. Sifat

komitmen itu sendiri lebih sering hanya berupa kesimpulan diatas kertas, tanpa diikuti

dengan program-program nyata di lapang. Hal yang demikian tampaknya juga

mewarnai program perkuatan yang dilaksanakan sekarang ini. Komitmen untuk

memberdayakan UMKM lebih bersifat slogan, yang diindikasikan dari rendahnya

dana yang disediakan untuk program perkuatan tersebut yaitu hanya sebesar Rp

2,35 triliun untuk tiga tahun terakhir ini (2004 sampai dengan 2006). Dana tersebut

sangat kecil dibandingkan dengan UMKM yang jumlahnya lebih kurang 44 juta rumah

tangga. Dengan perkataan lain setiap UMKM baru dihargai sebesar Rp 53.440 per

orang. Bandingkan dengan pengusaha besar yang perorangan bisa mendapat

pinjaman triliunan rupiah

Kajian dari aspek positif / logis mengindikasikan bahwa keperluan menjadikan

UKMK sebagai sektor usaha prioritas dan pelaku utama kegiatan ekonomi nasional

didasarkan pada pemikiran bahwa kelompok usaha ini memiliki keunggulan di bidang

penyediaan lapangan kerja, dapat berperan sebagai unsur pengembangan ekonomi

lokal, penciptaan pasar baru dan juga mampu mendukung inovasi baru, baik dibidang

teknologi produksi maupun pemasaran produknya. UKM memiliki potensi untuk

menjadi pendukung potensial neraca pembayaran melalui pengembangan berbagai

komoditas ekspor. UKM dengan kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja

akan mampu menjadi penyelaras struktur perekonomian, sedangkan UMKM yang

dibangun oleh sebagian besar warga masyarakat secara langsung mapu berperang

dalam mengurangi pengangguran, menurunkan tingkat kemiskinan,

mendinamisasikan sektor riil, memperbaiki pemerataan pendapatan.

Urgensi pemberdayaan UMKM juga dapat diperhatikan dari berbagai

keunggulan UMKM yang selama era orde baru kurang mendapat perhatian antara

(37)

1) Tingkat ketergantungan UMKM terhadap pengusaha besar relatif berimbang,

yaitu ketergantungan usaha mikro dan usaha kecil terhadap usaha besar

hanya 14,9 %. Sebaliknya ketergantungan usaha besar terhadap

produk-produk usaha kecil adalah sebesar 11,3 %. Data ini mengindikasikan bahwa

kaitan kerjasama yang saling mendukung antara usaha kecil dengan usaha

besar relatif belum signifikan karena hanya kurang dari 20 %.

2) Saling mendukung dari kedua kelompok yang merupakan komponen

pembangunan ekonomi tersebut sangat diperlukan.

3) Keunggulan dari kelompok UKM dalam mendukung perekomian nasional juga

terindikasi dari setiap perubahan permintaan terhadap komoditas yang

dihasilkan UMKM akan memiliki dampak peningkatan ouput ekonomi nasional

yang lebih besar dari pada perubahan permintaan terhadap usaha besar.

Dengan output UKMK terhadap pertumbuhan ekonomi nasional lebih besar

dibandingkan dengan elastisitas produk usaha besar. Hal yang demikian

dimungkinkan karena umumnya sektor UMKM memiliki daya penyebaran dan

indeks daya kepekaan yang relatif tinggi. Beberapa bidang kegiatan UKMK

yang memiliki elastisitas relatif tinggi antara lain : industri sepeda, barang

perhiasan, minyak, penggilingan padi, hasil pengolahan kedelai, bambu rotan,

jasa restoran, industri pakaian jadi, unggas dan hasil-hasilnya. Sedangkan

UKMK yang mempunyai daya kepekaan yang tinggi antara lain adalah UKMK

yng bergerak pada kegiatan usaha ; jasa perdagangan, bangunan, kayu dan

hasil hutan, jasa lembaga keuangan, sewa bangunan, tebu karet, dan industri

tekstil.

4) Dari aspek penyerapan investasi, kelompok UMKM memiliki nilai indeks yang

relatif paling rendah yaitu 18,58 %, sedangkan usaha menengah 23,05 % dan

usaha besar 58,37 %. Rata-rata investasi usaha mikro dan usaha kecil,

adalah Rp.1,467 juta, usaha menengah 1,29 miliar dan usaha besar 91,42

miliar. Usaha kecil memiliki ICOR dan selang waktu (lag) yang relatif rendah,

(38)

5) Dari aspek produktifitas UKM ditandai dengan rendahnya ; produktifitas usaha

dan produktifitas tenaga kerja. Selain itu, kelompok UKM dengan jumlah

investasi, nilai tambah, pangsa pasar, dan terbatasnya jangkauan pasar,

permodalan akses terhadap pembiayaan, manajemen profesionalisme dan

kualitas SDM, serta belum adanya batasaan yang tegas antara keuangan

pribadi dengan keuangan perusahaan,

6) Walaupun produktivitas perusahaan maupun produktivitas perorangan

kelompok UMKM nilai indeks yang relatif rendah, tetapi memiliki tren laju

pertumbuhan yang positif. UMKM yang memiliki produktivitas tertinggi adalah

mereka yang bergerak di sektor keuangan, persewaan, dan perusahaan.

Usaha menengah yang paling produktif adalah mereka yang bergerak disektor

pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan sedangkan kelompok usaha

besar yang paling produktif adalah mereka yang bergerak di sektor

pengolahan hasil, listrik gas dan air bersih.

Perkuatan sumberdaya UMKM idealnya memang sangat diperlukan

mengingat banyaknya kendala / permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dalam

mengembangkan usahanya dari hulu sampai ke hilir. Namun demikian juga perlu

diingat bahwa pembangunan UMKM sejak lama sudah terjebak dalam lingkaran

pemasalahan, mulai dari permodalan, ketersedian bahan baku, teknologi produksi

dan kualitas hasil, sampai dengan pemasarannya. Pengembangan usaha UMKM

juga menghadapi kesulitan dalam hal modernisasi usaha baik dibidang teknik

produksi maupun manajemennya. Untuk itu juga perlu diwaspadai akan terjadinya

kemungkinan bahwa pelaksanaan program perkuatan sumberdaya UMKM juga

dapat terjebak dalam lingkaran permasalahan UMKM sendiri. Sebagai antisipasi

seharusnya program ini sudah disertai dengan sistem perencanaan, monitoring/

pengawasan dan sistem evaluasi yang solit, apalagi mengingat bentuk bantuan

yang diberikan banyak bersifat parsial yang seharusnya benar-benar mengenai

(39)

Program perkuatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara UMKM

dalam beberapa tahun terakhir ini dapat dikelompokkan menjadi 5 aspek kegiatan

bisnis (bahan baku, modal, teknologi, pasar, dan manajemen) yang meliputi berbagai

sektor dan jenis kegiatan UMKM. Pada tahun 2005 ada 12 Jenis kegiatan yang

diprogramkan yaitu : program penjaminan kredit, pengembangan usaha KSP/USP,

perkuatan dibidang produksi seperti pengadaan bibit sapi perah dan perahu nelayan,

kredit pola syariah, perkreditan untuk pengembangan program agribisnis, kemitraan

usaha, program modal awal dan padanan (MAP) kredit modal ventura, penyediaan

sarana usaha pedagang kaki lima, pengembangan pasar tradisional, dan dan

program pengembangan usaha distribusi retail. Dari aspek perencanaan tampaknya

program-program yang dilaksanakan tersebut akan dapat berjalan dengan baik,

karena semua aspek bisnis UMKM (bahan baku, modal, peralatan / teknologi, serta

pasar) sudah tercakup di dalamnya, namun perlu diingat bahwa program tersebut

disebarkan dibanyak daerah dan tidak ada disatu lokasipun juga yang memiliki ke

lima bentuk program tersebut secara bersamaan. Pada umumnya satu daerah hanya

diprogram satu atau paling banyak dua kegiatan, padahal daerah tersebut

memerlukan tiga atau empat jenis perkuatan.

Jika diperhatikan pada dasarnya bantuan perkuatan (empowering) yang

disalurkan pemerintah melalui Kementerian Negara Koperasi dan UKM, maupun

melalui instansi lainnya adalah usaha untuk menstimulir pertumbuhan ekonomi

masyarakat, untuk mendukung kebijakan dalam pemberdayaan dan pengembangan

peran UMKM. Oleh sebab itu secara umum program bantuan perkuatan diharapkan

akan memberi dampak bagi : a) meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaaan, b)

meningkatkan volume usaha UMKM dan koperasi, c) meningkatkan penyerapan

tenaga kerja, d) meningkatkan semangat berusaha dan berkoperasi, e) meningkatkan

pendapatan UMKM baik koperasi maupun anggotanya ; serta f) membangkitkan etos

kerja. Dalam program-program perkuatan ini koperasi dapat berfungsi ganda yaitu,

koperasi sebagai penyalur dan koperasi sebagai badan usaha yang juga merupakan

(40)

Dari uraian di atas terlihat bahwa baik dari jumlah maupun jenis program

perkuatan yang telah disalurkan sudah cukup banyak, namun jumlah tersebut masih

relatif sedikit dan terbatas bila dibandingkan dengan jenis kegiatan serta jumlah

UMKM yang sangat banyak. Sebagai gambaran dapat dikemukakan jika 30 % saja

dari UMKM membutuhkan kredit yang besarnya Rp 5 juta, maka dana yang

diperlukan oleh UMKM mencapai Rp 66 Triliun, sedang semua jumlah dana

perkuatan yang disalurkan untuk UMKM pada program ini pada antara tahun 2004

sampai dengan tahun 2006 baru lebih kurang 2,35 Triliun Rupiah atau baru

mencukupi untuk 3,56 % UMKM yang membutuhkannya. Dengan perkataan lain

jumlah tersebut relatif masih sangat kecil walaupun digunakan dengan pola bergulir

(model ventura).

Idealnya bantuan perkuatan dari program pemerintah ini memang dapat

berfungsi sebagai stimulator bagi pengembangan bisnis UMKM sekaligus

membantu pembangunan koperasi. Niat pemerintah untuk turut membangun

koperasi terlihat dengan ditetapkannya penyaluran melalui dua jalur yang salah

satunya adalah melalui koperasi. Walaupun penyaluran dilakukan melalui dua jalur,

tetapi pada dasarnya pola bantuan perkuatan ini relatif adalah sama yakni

disalurkan kepada UMKM (yang sebagian adalah anggota koperasi). Perbedaan

diantara keduanya terletak pada sasaran penerima, pemanfaatan dan besar alokasi

dana yang ditentukan oleh jenis unit bisnis yang dikelola oleh UMKM

Selain bantuan perkuatan dari Kementerian Negara KUKM, ada juga bantuan

perkuatan yang bersumber dari instansi dan pihak-pihak lain yang memiliki maksud

dan tujuan yang sama, yaitu dalam upaya pemberdayaan UMKM, antara lain

bantuan perkuatan dari Departemen kelautan dan perikanan, serta Pemerintah

daerah. setempat.

Disamping jumlahnya yang relatif belum memadai, pola perkreditan dalam

program perkuatan ini juga perlu mendapat perhatian karena ; a) masih

(41)

manipulasi dalam sistem penyaluran ; b) pengalokasian kredit baik dari aspek

jumlah maupun jenisnya dirancang secara agregat di tingkat pusat ; c) prosedur

mendapatkan kredit yang masih pekat dengan sistem birokrasi ; d) Tolok ukur

keberhasilan kredit belum memasukkan unsur kemafaatan kredit bagi peminjam,

bagi koperasi sebagai dan dampak program tersebut terhadap pembangunan

daerah dan ; e) ketepatan saran belum masuk dalam tolok ukur keberhasilan

(42)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Dasar Pengkajian

Banyak orang berpendapat perekonomian bangsa Indonesia sekarang ini

memang sudah terlepas dari dampak krisis moneter, tetapi pembangunan ekonomi

cenderung mengalami stagnasi yang dicirikan dari rendahnya angka pertumbuhan

dan semakin rendahnya tingkat kesejahteraan dari sebagian besar masyarakat.

Ketimpangan produksi dan pendapatan diantara kelompok masayarakat memang

sudah tidak terlihat lagi karena memang produktifitas bangsa ini sudah sangat rendah

dan usaha besar juga tidak berkembang seperti pada era orde baru. Yang jadi

permasalahan untuk lima atau sepuluh tahun kedepan adalah rendahnya tingkat

pendapatan dari sebagain besar masyarakat yang diindikasikan dari tingginya angka

kemiskinan (menurut Bank Dunia per bulan Oktober 2006 angka kemiskinan

mencapai 100 juta orang atau 40 % dari rakyat Indonesia), serta pengangguran.

Sejarah telah membuktikan bahwa kedua kondisi ini (kemiskinan dan pengangguran

merupakan faktor utama kehancuran suatu bangsa, oleh sebab itu masalah ini harus

secepatnya dapat diatasi.

Rencana Tindak Jangka Menengah Koperasi dan UKM (RTJM) 2005-2009

merekomendasikan tiga strategi pengembangan UKM yang akan dilaksanakan

secara bertahap. Rekomendasi ini merupakan bentuk pendekatan keterpaduan

dalam program pengembangan UKM. Tiga strategi pengembangan UKM dalam

RTJM adalah :

(i) menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi UKM,

(ii) menguatkan daya saing UKM dengan meningkatkan akses kepada dan

kualitas dari jasa non keuangan, dan

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi inilah yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “ Efektivitas Komunikasi Dalam Organisasi, Studi Kasus Pelaksanaan Rapat Umum Anggota (RUA)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dibuat kesimpulan bahwa keterampilan generik sains peserta didik pada proses pembelajaran dikategorikan sangat

Perbincangan ini mengaplikasikan ilmu pragmatik berdasarkan Prinsip Makna dalam Interaksi (Thomas, 1995). Teknik analisis dokumen digunakan untuk meneliti ujaran yang

Basis data (atau database) adalah kumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan suatu program

Pengolahan data angin dilakukan secara statistik sebagai input hitungan peramalan metode SMB dan selanjutnya dilakukan simulasi numerik dengan program MIKE 21/3

Hilangnya gejala ikutan yang dialami oleh pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotik thiamfenikol rata-rata terjadi pada hari ke 3,16 , sedangkan antibiotik ofloxacin pada

Penelitian Satri (2013) menemukan beberapa bukti menarik tentang keuangan pemerintah daerah di Aceh, yakni: (1) efektifitas pendapatan asli daerah relatif rendah;

Tri Nur Kristina, DMM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang telah menyediakan sarana dan prasarana sehingga saya dapat menyelesaikan