3 TINJAUAN PUSTAKA
Good Farming Practices (GFP)
Good Farming Practices (GFP) menurut Menteri Pertanian (2010) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara budidaya tumbuhan/ternak yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman dan layak dikonsumsi. Department of Agriculture, Food and Rural Development Irlandia (2001) menyatakan bahwa GFP juga termasuk di dalamnya aturan yang berlaku di lingkungan, higien atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi dan registrasi ternak serta kesehatan ternak. Aspek-aspek utama dalam GFP yaitu manajemen nutrisi, manajemen lahan rumput, perlindungan sungai dan sumber air, pemeliharaan habitat liar, pemeliharaan batas peternakan, penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berhati-hati, perlindungan situs-situs bersejarah, pemeliharaan penampakan visual peternakan dan lingkungannya, pemeliharaan catatan peternakan, kesejahteraan ternak, hygiene atau sanitasi, tidak menggunakan bahan yang dilarang dan penggunaan obat hewan yang bertanggung jawab serta menekankan pentingnya pengetahuan peternak tentang GFP.
Menurut Office International des Epizooties atau OIE (2006) terdapat enam aspek penting dalam peternakan sapi perah yang harus dilaksanakan yaitu memperhatikan bangunan dan fasilitas lain, daerah sekitar dan kontrol terhadap lingkungan, kondisi kesehatan ternak, pakan ternak, air untuk ternak, obat-obat hewan dan manajemen peternakan. International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang aman dari suatu peternakana sapi perah, maka terdapat lima bagian besar yang perlu diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan ternak, kesejahteraan ternak dan lingkungan peternakan.
Good Milking Practices (GMiP) dan Good Hygienie Practices (GHP) IDF/FAO (2004) menyatakan bahwa susu harus diperah dan disimpan dalam kondisi yang higienis. Peralatan yang digunakan untuk pemerah susu harus tersedia dan dirawat dengan baik. Pemerahan adalah aktivitas yang terpenting dalam peternakan sapi perah. Konsumen menuntut standar kualitas yang tinggi, sehingga
4 tujuan manajemen pemerahan adalah untuk meminimalisasi kontaminasi fisik, kimia, dan mikrobiologi. Manajemen pemerahan hendaknya meliputi semua aspek dari proses pemerahan secara cepat dan efektif sekaligus memastikan kesehatan sapi dan kualitas susunya. Konsistensi pelaksanaan prosedur pemerahan yang baik adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan Good Agricultural Practices (GAP) untuk pemerahan. Good Agricultural Practices merupakan petunjuk penting beserta deskripsinya untuk memastikan pemerahan dan penyimpanan susu dilakukan dalam kondisi yang higienis dan peralatan yang digunakan dalam pemerahan dan penyimpanan susu harus dalam kondisi yang terawat baik.
International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menjelaskan bahwa tujuan GAP untuk pemerahan yaitu (a) memastikan pemerahan yang rutin dan tidak menyebabkan cedera pada sapi atau menambah kontaminasi pada susu, (b) memastikan pemerahan dalam kondisi yang higienis dan (c) memastikan susu ditangani dengan baik setelah proses pemerahan. Pemerahan harus dipastikan dalam kondisi yang higienis, yaitu dengan menjaga kandang dan lingkungannya selalu bersih setiap saat, memastikan terjaganya kebersihan di area pemerahan dan memastikan pemerah mengikuti aturan dasar sanitasi.
Good Manufacturing Practices (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan keamanan pangan dan tuntutan konsumen (Taheer, 2005). Pedoman GMP atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) menurut Menteri Kesehatan No.23/MENKES/SK/1978 mencakup lokasi pabrik, bangunan, produk akhir, peralatan pengolahan, bahan produksi, higien personal, penyimpanan, pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium, kemasan dan transportasi.
1. Lokasi Pabrik. Berada pada lokasi yang memiliki kemudahan akses jalan masuk, prasarana jalan yang memadai, jauh dari pemukiman penduduk, terbebas dari pencemaran serta memiliki pintu masuk dan keluar yang terpisah. Cemaran yang dimaksud dapat berasal dari polusi, hama,
5 pengolahan limbah serta sistem pembuangan yang tidak berfungsi dengan baik.
2. Bangunan. Konstruksi, desain, tata ruang dan bahan baku dibuat berdasarkan syarat mutu dan teknik perencanaan pembuatan bangunan yang berlaku sesuai dengan jenis produknya. Bahan baku berasal dari bahan yang mudah dibersihkan, dipelihara dan dilakukan sanitasi serta tidak bersifat toksik. 3. Produk akhir. Produk akhir mengalami uji-uji secara kimia, fisik dan
mikrobiologi sebelum dipasarkan.
4. Peralatan pengolahan. Bahan baku peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan harus dibuat memenuhi standar baik teknik, mutu dan higienis, seperti bersifat tidak toksik, tahan karat, kuat, tidak menyerap air, tidak mengelupas, mudah dipelihara, dibersihkan dan dilakukan sanitasi.
5. Bahan produksi. Bahan baku serta bahan tambahan yang digunakan untuk menghasilkan produk harus sesuai dengan standar mutu yang berlaku serta tidak membahayakan ataupun merugikan kesehatan konsumen. Masing-masing bahan mengalami pengujian secara organoleptik, fisik, kimia, biologi dan mikrobiologi sebelum diproses.
6. Higien personal. Seluruh karyawan yang berhubungan dengan proses produksi menjalani pemeriksaan rutin (minimal enam bulan satu kali), tidak diperbolehkan melakukan kebiasaan yang beresiko meningkatkan kontaminasi terhadap produk seperti: bersandar pada peralatan, mengusap muka, meludah sembarangan serta memakai arloji dan perhiasan selama proses produksi berlangsung.
7. Pengendalian proses pengolahan. Pengendalian proses pengolahan dilakukan dengan cara, pengecekan alur proses secara berkala, penerapan SSOP dalam setiap langkah serta pemeriksaan raw material secara berkala yang dilakukan dengan pengujian secara organoleptik, fisik, kimia dan biologis.
8. Fasilitas sanitasi. Fasilitas sanitasi yang digunakan harus memenuhi syarat mutu yang berlaku, seperti : memiliki sarana air bersih yang mencukupi, saluran yang berbeda untuk proses sanitasi dan produksi, air yang digunakan untuk proses produksi sesuai dengan syarat mutu air minum dan dilakukan pengecekan berkala terhadap fasilitas sanitasi.
6 9. Label. Label yang tertera pada kemasan harus sesuai dengan syarat yang telah
disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara pelabelan makanan kemasan.
10. Keterangan produk. Keterangan produk yang tertera dalam kemasan harus lengkap serta dapat menjelaskan tentang tata cara penyimpanan, kandungan nutrisi, produsen dan tanggal kadaluarsa.
11. Penyimpanan. Proses penyimpanan bahan baku dan produk dilakukan secara terpisah dengan tujuan untuk meniadakan proses kontaminasi silang antara kedua bahan tersebut, selain itu proses penyimpanan terpisah pun dilakukan pada bahan yang bersifat toksik (bahan kimia) dan bahan pangan serta bahan yang dikemas dengan bahan tidak dikemas.
12. Pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi. Aplikasi pemeliharaan sarana pengolahan dilakukan dengan selalu menerapkan proses sanitasi peralatan pengolahan pada saat sebelum dan setelah proses produksi berlangsung, sedangkan untuk kegiatan sanitasi dilakukan dengan cara mencegah masuknya binatang yang dianggap hama (tikus, serangga, burung dan kecoa) ke dalam ruang produksi, penempatan pest control pada titik yang dianggap kritis serta melakukan monitoring secara berkala dan recording terhadap proses sanitasi yang berlangsung.
13. Laboratorium. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pangan diharuskan memiliki laboratorium untuk melakukan uji secara fisik, kimia, biologis dan mikrobiologis terhadap bahan yang digunakan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
14. Kemasan. Bahan baku kemasan yang digunakan untuk produk pangan umumnya tidak bersifat toksik dan tidak mencemari atau mengkontaminasi produk sehingga aman untuk kesehatan konsumen
15. Transportasi. Sarana transportasi yang digunakan untuk bahan pangan harus memiliki sifat atau fungsi untuk menjaga bahan pangan agar tidak terkontaminasi dan terlindungi dari kerusakan. Penjagaan bahan baku atau produk dilakukan dengan melengkapi sarana transportasi dengan fasilitas yang dibutuhkan seperti alat pendingin.
7 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP)
Undang-undang Pangan RI No. 7 tahun 1996 (Kementrian Kesehatan, 1996) menjelaskan bahwa sanitasi pangan merupakan upaya pencegahan terhadap berbagai kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan kesehatan manusia. SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP, yang berisi tentang perencanaan tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan adanya tindakan koreksi jika terdapat komplain, verifikasi dan dokumentasi (FDA, 1995). SSOP menurut FDA (1995) terdiri atas delapan aspek kunci yaitu, (1) keamanan air proses produksi, (2) kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3) pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter, (4) kebersihan pekerja, (5) pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, (6) pelabelan dan penyimpanan yang tepat, (7) pengendalian kesehatan karyawan, (8) pemberantasan hama.
Pengolahan pangan pada umumnya beresiko akan adanya kontaminasi karena penggunaan alat pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan diharuskan mengalami proses sanitasi terlebih dahulu sebelum dan setelah proses produksi berlangsung (Jenie, 1998). Sanitasi alat dan wadah umumnya menggunakan bahan-bahan kimia untuk meminimalisir kandungan mikroba yang terdapat dalam peralatan produksi. Bahan kimia yang umum digunakan sebagai bahan sanitasi peralatan terdiri atas soda kaustik, asam serta alkohol.
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu analisa yang dilakukan terhadap bahan baku, proses dan produk untuk menentukan komponen, kondisi atau tahapan proses yang harus mendapat pengawasan ketat guna menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. HACCP merupakan sistem pengawasan yang bersifat mencegah atau preventif (Fardiaz, 1996). Istilah Critical Control Point (CCP) diidentifikasi dalam HACCP. CCP yaitu semua titik di dalam sistem keamanan pangan yang spesifik yaitu bila terjadi hilangnya kendali akan menyebabkan resiko kesehatan yang besar (Pierson dan Corlett, 1992)
8 Winarno dan Surono (2004) menyatakan, agar sistem HACCP dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan program pre-requisite, melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan kegiatan lain dalam suatu industri. Prinsip HACCP berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI-01-4852-1998 sesuai Codex terdiri atas tujuh yaitu, a) analisis bahaya dan penetapan kategori bahaya; b) penetapan titik kendali kritis (CCP); c) penetapan batas kritis yang harus dipenuhi setiap CCP yang ditentukan; d) dokumentasi prosedur untuk memantau batas kritis CCP; e) penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi penyimpangan selama pemantaun CCP; f) penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil dan g) penetapan dokumentasi mengenai semua prosedur catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip penerapan.
Susu
Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI No.01-3141-1998 mendefinisikan susu segar sebagai cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, tidak mengalami penambahan atau pengurangan suatu komponen apapun dan tidak mengalami pemanasan dengan karakteristik mutu seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Susu yang baik adalah susu yang mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak mengandung spora mikroba patogen, bersih yaitu tidak mengandung debu atau kotoran lainnya dan mempunyai cita rasa atau flavour yang baik (Saleh, 2004).
Menurut Rahman et al. (1992) pertumbuhan mikroba pada susu dapat menimbulkan berbagai perubahan karakteristik. Pembentukkan asam, gas, pelendiran, produk alkali serta perubahan cita rasa dan warna merupakan perubahan karakteristik yang sering dijumpai pada susu akibat adanya mikroorganisme. Kandungan gizi yang terdapat dalam susu yaitu, laktosa yang berfungsi sebagai sumber energi, kalsium yang membantu dalam pembentukan massa tulang, lemak yang menghasilkan energi serta vitamin A, D, E dan K, protein yang kaya akan kandungan lisin, niasin dan ferrum, serta mineral-mineral lain seperti magnesium, seng dan potassium (Susilorini dan Sawitri, 2006).
9 Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-1998)
No. Karakteristik Syarat
1. Berat jenis (pada suhu 27,5o C minimal) 1,028 g/cm3
2. Kadar lemak Minimum 3,0%
3. Kadar bahan kering tanpa lemak Minimum 8,0%
4. Kadar protein Minimum 2,7%
5. Warna, bau, rasa dan kekentalan Tidak ada perubahan
6. Derajat keasaman 6 – 7o SH
7. Uji alkohol (70%) Negatif
8. Uji katalase maksimal 3 cc
9. Angka refraksi 36-38
10. Angka reduktase 2-5 jam
11. Cemaran mikroba maksimal • Total kuman • Salmonella • E. coli (patogen) • Coliform • Streptococcus group B • Staphylococcus aureus 1x106 CFU/ml Negatif Negatif 20/ml 4x102/ml 4x105/ml 12 Jumlah sel radang ambing maksimal 4x 105/ml 13 Cemaran logam berbahaya maksimal
• Timbal (Pb) • Seng (Zn) • Merkuri (Hg) • Arsen (As) 0,3 ppm 0,5 ppm 0,5 ppm 0,5 ppm 14 Residu • Antibiotika • Pestisida/insektisida
Sesuai dengan aturan yang berlaku
15 Kotoran dan benda asing Negatif
16 Uji pemalsuan Negatif
17 Titik beku -0,5200C s.d -0,5600C
18 Uji Peroksidase Positif
10 Yoghurt
Yoghurt didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi, kemudian difermentasikan dengan bakteri sampai diperoleh keasaman, bau dan rasa yang khas dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan (BSN, 1992 dalam SNI 01-2981-1992). Yoghurt dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Berdasarkan flavornya, yoghurt dibedakan menjadi plain yoghurt atau natural yoghurt dan flavored yoghurt atau fruit yoghurt. Plain yoghurt adalah yoghurt yang tidak ditambah flavor lain dari luar sehingga memiliki rasa asam yang sangat tajam sedangkan flavored yoghurt adalah yoghurt yang ditambah dengan flavor (Rahman et al., 1992).
Berdasarkan pembuatannya, yoghurt dibagi menjadi dua tipe, yaitu set yoghurt dan stirred yoghurt. Keduanya berbeda dari cara pembuatan dan struktur fisik koagulum yang terbentuk. Tipe set yoghurt adalah yoghurt yang diinkubasi dengan kultur dalam kemasan-kemasan individual yang siap dijual sehingga gel atau koagulum yang terbentuk berasal dari aktivitas kultur starter itu sendiri, sedangkan tipe stirred yoghurt adalah yoghurt yang difermentasi dengan kultur pada fermentor besar. Koagulum yang terbentuk kemudian dipecah agar produk mudah dialirkan ke dalam kemasan-kemasan individual. Gel atau koagulum yang terbentuk bukan hanya hasil dari aktivitas starter, melainkan juga dari penambahan stabilizer (Rahman et al., 1992).
Susu yang mengalami proses fermentasi dan dikenal sebagai yoghurt, memiliki cita rasa asam yang khas disebabkan aktivitas bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Senyawa kimia yang dihasilkan yakni asam laktat, asetal dehida, asam asetat dan bahan lain yang mudah menguap. Susu yang difermentasi bukan hanya yang berasal dari sapi, tetapi juga susu kambing dan susu kerbau (Winarno, 2007). Kategori produk yoghurt berdasarkan kandungan lemaknya dibedakan menjadi tiga kelompok. Yoghurt dengan kadar lemak rendah bila mengandung lemak susu 0,5-2,0% dan yoghurt tanpa lemak bisa mengandung lemak susu kurang dari 0,5%. Ketiga kategori yoghurt tersebut, jumlah padatan susu tanpa lemak minimum 8,25%. Syarat mutu yoghurt menurut BSN (1992) dapat
11 Tabel 2. Syarat Mutu Yoghurt (SNI 01-2981-2009)
Kriteria uji Satuan Persyaratan
Keadaan
Penampakan Cairan kental/semi padat
Bau Normal/khas
Rasa Khas asam
Konsistensi Homogen
Lemak (% b/b) Maksimum 3,8
Berat kering tanpa lemak (BKTL) (% b/b) Min 8,2
Protein (% b/b) Min 3,5
Abu (% b/b) Maks 1,0
Jumlah asam (dihitung sebagai laktat) (% b/b) 0,5-2,0 Cemaran logam
Timbal (Pb) (mg/kg) Maksimum 0,3
Tembaga (Cu) (mg/kg) Maksimum 20
Timah (Sn) (mg/kg) Maksimum 40
Raksa (hg) (mg/kg) Maksimum0,03
Arsen (As) (mg/kg) Maksimum 0,1
Cemaran mikroba
a. Koliform (APM/g) Maks 10
b. E. coli < 3
c. Salmonella Negatif/gram
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (2009)
Pembuatan yoghurt secara umum meliputi pemanasan (pasteurisasi) susu, pendinginan, inokulasi dan inkubasi. Tujuan pemanasan susu adalah untuk menurunkan populasi mikroba patogen dalam susu dan memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan starter yoghurt, mengurangi kadar air susu sehingga diperoleh yoghurt dengan tekstur yang kompak (Kuntarso, 2007). Selain itu pemanasan susu bertujuan untuk denaturasi protein whey (albumin dan globulin) agar yoghurt yang dihasilkan menjadi lebih kental, mengurangi jumlah oksigen dalam susu agar kultur yoghurt yang secara normal yang bersifat mikroaerofilik dapat tumbuh dengan baik (Tamime dan Robinson, 1999). Rekomendasi suhu pemasakan susu yaitu 90oC selama 15-30 menit (Buckle et al., 2007). Tahap selanjutnya yaitu proses
12 pendinginan susu agar suhu susu optimum untuk pertumbuhan kultur starter yaitu 43oC (Buckle et al., 2007). Inokulasi kultur starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus dilakukan sebanyak 2% dan dibiarkan pada suhu 43oC selama 3 jam hingga tercapai keasaman yang dikehendaki yaitu 0,85%-0,90% asam laktat dan pH 4,0-4,5, kemudian produk didinginkan sampai 5oC untuk dikemas
(Buckle et al., 2007).
Produksi asam laktat oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat, sehingga pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat terhambat (Sumedi, 2004). Kelompok bakteri yang termasuk bakteri asam laktat adalah famili Lactobacillaceae, yaitu Lactobacillus dan famili Streptocaceae, terutama Leuconostoc, Streptococcus dan Pediococcus (Fardiaz, 1992). Dua peranan utama kultur starter selama fermentasi yoghurt adalah menghasilkan asam laktat dan senyawa karbonil, asetalaldehida, aseton, asetoin dan diasetil (Marcon, 1994).
Probiotik dapat diperoleh melalui konsumsi produk olahan susu fermentasi. Mikroba probiotik dalam susu fermentasi terdiri dari genus Lactobacillus, Pediococcus, Bifidobacterium, Lactococcus, Enterococcus dan Saccharomyces. Bakteri probiotik yang digunakan dalam produk olahan pangan harus mempertimbangkan aspek keamanan (Sudono, 2004). Probiotik itu sendiri adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang cukup akan memberikan manfaat bagi inangnya (FAO, 2001). Keseimbangan yang baik dalam ekosistem mikrobiota usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Hoier (1999) menyatakan bahwa ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk penentuan starin mikroba probiotik, yaitu: (1) mampu melakukan aktivitas dalam memfermentasikan susu dalam waktu yang relatif cepat, (2) mampu menggandakan diri, (3) tahan terhadap suasana asam sehingga mampu dan bertahan dalam saluran pencernaan, (4) menghasilkan produk khir yang dapat diterima konsumen dan (5) mempunyai stabilitas yang tinggi selama proses fermentasi, penyimpanan dan distribusi.
Kerusakan Yoghurt
Kerusakan fisik yang terjadi umumnya adalah sineresis. Sineresis adalah pemisahan whey protein bebas ke permukaan yoghurt (Robinson, 1993). Sineresis
13 dapat disebabkan oleh padatan bukan lemak atau lemak yang rendah, mineral susu yang kurang dan tidak cukupnya proses pemanasan. Sineresis dapat terjadi pada saat inkubasi. Robinson (1993) menyatakan bahwa sineresis juga dapat terjadi akibat kurangnya pendinginan setelah inkubasi pada suhu 420C. Kerusakan kimia yang terjadi pada yoghurt umumnya karena aktivitas kultur yoghurt yang dapat terhambat oleh adanya residu antibiotik dalam susu. Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus terhambat dengan adanya penisilin 0,005 IU/ml, auromycin 0,061 IU/ml dan streptomycin 0,38 IU/ml (Rahman et al., 1992).
Kerusakan yoghurt umumnya disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme, khususnya adalah kapang dan khamir yang relatif tahan asam. Mikroba perusak seperti kapang dan khamir umumnya kurang sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan sehingga masih mungkin tumbuh dan berkembang di dalam yoghurt (Rahman et al., 1992). Kontaminasi mikroorganisme biasanya disebabkan oleh kontaminasi silang dari udara pada ruang pengemasan, peralatan untuk pengisian, buah-buahan atau sirup yang ditambahkan dan kontaminasi pengemas.
Yoghurt yang telah dipasarkan menurut Rahman et al., (1992) tidak boleh mengandung khamir lebih dari 100 sel/ml dan bila jumlah khamir mencapai 1000 sel/ml atau lebih maka menunjukkan kemungkinan terjadinya resiko kerusakan yang serius. Beberapa jenis khamir yang sering mengkontaminasi yoghurt adalah Kluyveromyces fragilis, Saccharomyces cereviceae dan Kluyveromyces lactis. Pertumbuhan kapang pada yoghurt biasanya lebih lambat dari khamir dan dapat dilihat secara visual pada permukaannya. Beberapa jenis kapang yang seing mengkontaminasi diantaranya Mucor, Aspergillus atau Alternaria. Jumlah maksimum kapang yang terdapat dalam yoghurt tidak boleh lebih dari 10 koloni/ml (Robinson, 1993).