• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA

MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN

MANGKUNEGARA VII

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh: Daryadi C.0504017

ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA

MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN

MANGKUNEGORO VII

Disusun oleh DARYADI

C0504017

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Drs. Tundjung. W.S, M.Si NIP. 131 792 938

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 131 570 156

(3)

PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA

MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN

MANGKUNEGARA VII

Disusun oleh DARYADI

C0504017

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal...

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua (...)

Sekretaris (...)

Penguji I (...)

Penguji II (...)

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Drs. Sudarno, MA NIP. 131 472 202

(4)

PERNYATAAN

Nama : Daryadi NIM : C0504017

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII

adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Juni 2009 Yang membuat pernyataan

(5)

MOTTO

Katakanlah, “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui siapakah diantara kita yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini”. Sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu

tidak akan mendapat keberuntungan (QS. Al An-am: 135)

Sebelum kita berani mati lebih baik kita berani hidup dahulu, karena hidup adalah perjuangan

(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: v Bapak dan Ibuku tercinta v Kakak-Kakakku tersayang

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan

Mangkunegara VII”.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:

1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, serta selaku Pembimbing Akademis penulis selama masa studi di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. Tundjung W.S, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini.

(8)

5. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu dan wacana pengetahuan.

6. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, dan Perpustakaan Sonopustoko Kasunanan.

7. Ibu Koestrini Soemardi, Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.

8. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.

9. Saudara-saudaraku: Mas Moch, Mbak Erna, dan Mas Triyadi yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil.

10. Teman-temanku angkatan 2004, tetap kompak dan cepat menyelesaikan skripsi. 11. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan

skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surakarta, Juni 2009

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

DAFTAR ISTILAH... xiv

ABSTRAK... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Tinjauan Pustaka... 6

F. Metode Penelitian... 10

1. Teknik Pengumpulan Data... 11

2. Analisa Data... 12

G. Sistematika... 14

BAB II WILAYAH ADMINISTRASI PRAJA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII A. Perkembangan Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran... 15

B. Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII... 25

C. Struktur Birokrasi Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII... 27

(10)

BAB III PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA MANGKUNEGARA VII

A. Struktur Penduduk di Kota Mangkunegaran Pada Masa

Mangkunegara VII... 36

B. Pola Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII 40 1. Perkampungan Pribumi... 41

2. Perkampungan Eropa... 45

3. Pasar di Kota Mangkunegaran... 46

C. Toponimi Perkampungan di Kota Mangkunegaran 48 1. Nama Kampung Berdasarkan Nama Orang yang Terkenal... 48

2. Nama Kampung Berdasarkan Nama Jabatan dalam Pemerintahan... 50

3. Nama Kampung Berdasarkan Keadaan Setempat dan Aktivitasnya... 52

4. Nama Tempat Berdasarkan Ciptaan Baru... 55

BAB IV PERANAN MANGKUNEGARA VII BAGI PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN A. Sikap dan Tindakan Mangkunegara VII Bagi Praja Mangkunegaran... 58

1. Mangkunegara VII Sebagai Raja yang Bijaksana... 60

2. Mangkunegara VII Sebagai Raja Pembaharu... 62

B. Konsep Filosofi Pembangunan Mangkunegara VII... 65

C. Dinas Pekerjaan Umum Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII... 69

D. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran... 71

1. Pembangunan WC Umum / Kakus Umum... 72

2. Pembangunan Pancuran Umum... 73

3. Pembangunan Saluran Pembuangan Air... 74

(11)

5. Pengadaan Penerangan Jalan... 76

6. Pembangunan Bale Kampung / Kantor Kalurahan... 77

7. Perbaikan Rumah-Rumah Kumuh... 78

8. Pembangunan Mentalitas Penduduk... 79

BAB V KESIMPULAN... 80

DAFTAR PUSTAKA... 86

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Luas awal wilayah Mangkunegaran...21 Tabel 2 Perbandingan luas swapraja yang ada di Jawa Tengah...24

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 PetaKota Mangkunegaran Tahun 1939...87

Lampiran 2 Gambar-Gambar Mangkunegaran...88

Lampiran 3 Anggaran Pembuatan Kakus Umum dan Pancuran Umum...93

Lampiran 4 Anggaran Pembuatan Saluran Pembuangan Air...97

Lampiran 5 Surat Permohonan Penerangan Jalan...99

Lampiran 6 Anggaran Pembuatan Bale Kampung Punggawan...101

(14)

DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN DAN UKURAN

1. Istilah

Ajeg : Tetap sama

Akulturasi : Proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih

Antaka : Api

Bekel : orang yang mengurus apanage, pemungut pajak, kepala desa, petani penghubung antara pemilik desa/penguasa desa dengan penggarap tanah Borjuis : golongan kaum hartawan

Budaya : hasil cipta, rasa dan karsa manusia De Beweging : surat kabar milik Indische Partij Epidemi pest : wabah penyakit pes

Instruktif : mengandung pelajaran Legiun : pasukan bala tentara Lurah : kepala kalurahan Kecu : Perampok atau preman Onderregentscap : se-tingkat kabupaten

Panewu : kepala rendahan yang membawahi 1000 cacah Sepektur manekwesen : kepala pasar

Vaccin otten : vaksin untuk penderita penyakit pes Villa park : pemukiman orang-orang Eropa Vorstenlanden : Kerajaan Jawa

Wedana : kepala distrik Zieken zorg : rumah sakit pusat

2. Singkatan

B.R.M : Bendara Raden Mas B.R.M.H : Bendara Raden Mas Harya H.I.S : Hollands Inlandshe Scholl

I.S.D.V : Indische Socialische Demokratie Vereeneeging K.G.P.A.A : Kangjeng Gusti Pangeran Ario Adipati

(15)

N.I.S : Nederlandsch Indische Spoorweg

R.M : Raden Mas

R.Tg : Raden Tumenggung

S.E.M : Solo Electricitiet Maatschappij

V.O.C : Vereenigde Oost Indische Compagnie

3. Ukuran 1 karya : 1 cacah 1 cacah : 1 bahu 1 bahu : 7000 m2 1 jung : 4 bahu 4 bahu : 2,8 ha

(16)

ABSTRAK

Daryadi. C0504017. 2009. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran

Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Alasan Mangkunegara VII mengembangkan pemukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran, (2) Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran.

Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekonomi, dan sosiologi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan di perkampungan baru berlangsung pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. Sebelumnya perkampungan di kota Mangkunegaran tidak teratur dan lingkungan serta rumah-rumah penduduknya kumuh dan tidak sehat. Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII pembangunan perkampungan semakin ditingkatkan untuk menyejahterakan penduduknya. Pembangunan yang dilakukannya antara lain: pembangunan WC umum, pembangunan pancuran umum, pembangunan saluran pembuangan air, pembangunan jalan dan jembatan, pengadaan penerangan jalan, pembangunan bale kampung, perbaikan rumah-rumah kumuh, dan pembangunan mentalitas penduduk.

Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya pembangunan perkampungan di kota Mangkunegaran mempunyai dampak, penduduk dapat menikmati hasil modernisasi di daerahnya dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas umum, sehingga penduduk dapat hidup dengan bersih, sehat dan teratur, serta dapat dengan mudah melakukan aktivitasnya di perkampungan.

(17)

ABSTRACT

Daryadi. C0504017. 2009. The Development of Countrified in Mangkunegaran Town At

The Mangkunegaran VII’s Governance Period. Skripsi: Department of Historical

Science, Letters and Fine Arts Faculty, Sebelas Maret University Surakarta.

The title of this research is The Development of Countrified in Mangkunegaran Town At Mangkunegaran VII’s Governance Period. The purpose of this research are to know : ( 1) reason of Mangkenagaran VII that developed countrified settlement in Mangkunegaran Town, ( 2) how the pattern of kampong’s growth in Mangkunagaran Town area.

This research is historical research, so that the steps that was done in this research contain: heuristic, criticize of the source (both intern goodness and also ekstern), interpretation, and histograft. Data collecting technique that was used in this research were document study and book study. From the data collecting, then the data was analysed and interpreted based on the chronologize. Data analize was done by the other social science approach as historical scince assist. The approaches that were done in this research were economical and sociological approach.

The result of this research shows that developing of the new countrified was taken place at the Mangkunegaran VII’s governance period. Before that, countrified in Mangkunegaran Town was irregular and the environmental and also environment and houses of its resident was dirty and unhealthy. At the Mangkunegaran VII’s governance period the countrified developing was improved progressively to increase its resident prosperity. The developmences that were done were is public toilet building, public douche building, water dismissal channel building, street and bridge buiding, street lighting existing, kampong hall building, dirty houses reconstruction, and resident mentality building.

The conclussion of this research is the development of countrified in Mangkunegaran Town has effects, the resident could enjoy the results of their area modernization by public facility building, so that the resident could life cleanly, healthly, and regularly, and also could do their activity in their countrified easily.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang terdiri atas pulau-pulau dan dikelilingi lautan yang luas. Letak geografis Indonesia yang begitu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota-kota di Indonesia. Kota-kota tua di Indonesia berada di daerah pedalaman yang berada di sekitar sungai-sungai besar dan daerah pantai Jawa serta pulau-pulau besar yang lainnya. Kota-kota tua tersebut selalu terletak berdekatan dengan pusat-pusat pemerintahan di kerajaan yang menawarkan keamanan bagi kota-kota itu.1

Kota-kota tua yang terdapat di Indonesia, baik kota pedalaman maupun kota pesisir pantai mempunyai ciri-ciri yang berbeda, yakni:

1. Kota Pedalaman

Kota-kota di daerah pedalaman merupakan pusat-pusat administrative, sehingga dari kota ini raja memiliki wewenang untuk mengatur wilayah yang ada disekitarnya. Kota pedalaman mempunyai fungsi memberikan berbagai macam barang dan jasa untuk keraton. Kota itu juga menikmati kemegahan yang melimpah dari istana kerajaan.

2. Kota Pesisir Pantai

Kota pesisir mempunyai atmosfer yang lebih kosmopolitan. Pedagang asing dan pengrajin ahli merupakan proporsi penduduk yang besar di kota pesisir. Kota pesisir sangat terpengaruh oleh oleh berbagai kontak dengan negara asing. Para

1 Wertheim, W.F, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial.

Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal: 133

(19)

pedagang dan pekerja ahli dikelompokkan dalam wilayah, menurut negara asal di bawah kepala kelompok mereka.

Sekitar abad 18 perkembangan kota di Indonesia mengalami babak yang baru, itu terjadi atas prakarsa Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen yang ingin membangun sebuah tiruan dari kota Belanda lama dalam bentuk Batavia, yang berada di pantai utara Jawa. Jan Pieterszoon Coen mempunyai keinginan untuk mengisi kota Batavia dengan warga Belanda dan juga ingin memindahkan karakter dan budaya borjuis Belanda ke Indonesia. Kota itu dengan cepat berkembang menjadi Kota Timur yang khas dan memberikan contoh akulturasi yang sangat instruktif.2 Perkembangan perkotaan di Indonesia semakin pesat sekitar tahun 1870 dengan adanya system liberal atau perusahaan bebas yang sangat memegang peranan penting bagi perkembangan perkotaan di Indonesia.

Praja Mangkunegaran didirikan pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said. Praja Mangkunegaran berdiri sebagai hasil perjuangan melawan Belanda. R.M Said baru berusia 16 tahun ketika memimpin perjuangan melawan Belanda. Perjuangan R.M Said ini tidak dapat dipisahkan dari kericuhan yang ada di kerajaan Mataram pada akhir abad 17. Sejak awal abad 17, daerah Mataram sudah diperintah secara langsung oleh Belanda yang mengakibatkan golongan pro dan kontra di kerajaan Mataram. R.M Said mulai tidak senang kepada Belanda berawal dari peristiwa pembuangan ayahnya ke Srilangka yang disebabkan oleh fitnah Paku Buwono II dan Patih Danurejo yang mempunyai hubungan yang baik dengan Belanda.3

2 Ibid, hal: 135

3 Ismu Sadiyah, 1998. Karya Tulis: Keraton Mangkunegaran Sebagai Objek Yang Menarik di

(20)

Pada tanggal 17 Maret diadakan perjanjian Salatiga antara R.M Said, Paku Buwono III, dan Hamengkubowono I. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru yaitu Praja Mangkunegaraan, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan Surakarta. R.M Said diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I. Perkembangan Praja Mangkunegaran selalu mengalami pasang surut baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi.Praja Mangkunegaran mengalami masa keemasaan pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII.

Adipati Mangkunegoro VII (1916-1944) lahir pada hari Kamis Wage tanggal 12 November 1885. Pada masa mudanya dikenal dengan sebutan Bandara Raden Mas Suparta, kemudian terkenal dengan sebutan Bandara Raden Mas Surya Suparta, putera Adipati Mangkunegoro V. R.M Suparta diangkat menjadi Prangwedana pada hari Jumat Pahing tanggal 3 Maret 1916. R.M Suparta ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegoro VII pada hari Kamis Wage tanggal 4 September 1916.4 pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII pembangunan-pembangunan diberbagai aspek kehidupan rakyat di Praja Mangukunegaran semakin ditingkatkan.

Mangkunegoro VII banyak melakukan pembangunan irigasi, jalan, dan jembatan. Pelaksanaan pembangunan tersebut dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Praja Mangkunegaran. Pembangunan yang dilakukan oleh Adipati MangkunegoroVII juga keperkampungan di Kota Mangkunegaran. Istilah

4

(21)

perkampungan yang ada di Kota Mangkunegara baru ada sekitar tahun 1926, perkampungan itu merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan desa.5

Perkampungan yang ada di Kota Mangkunegaran mempunyai cirri-ciri yang sama dengan kampung-kampung yang terdapat di Kasunanan Surakarta maupun di Kasultanan Yogyakarta. Perkampungan di Kota Mangkunegaran terdiri dari perkampungan orang-orang Belanda yang dinamakan Villa Park dan perkampungan orang-orang pribumi. Perkampungan itu mempunyai ciri masing-masing yang dapat menunjukkan perbedaannya.

1. Kampung Orang-Orang Belanda / Villa Park

Sesuai dengan namanya kampung tersebut merupakan tempat tinggal orang-orang Belanda. Kampung Belanda memiliki perancanaan infrastruktur yang baik, sehingga kampung tersebut mempunyai sarana dan prasarana yang memadai bagi penduduknya. Kampung ini memiliki model seperti yang ada di negeri Belanda. 2. Kampung Pribumi

Kampung pribumi pada umumnya terdiri dari penduduk asli. Kampung tersebut umumnya tidak didahulu oleh perencanaan infrastruktur, sehingga jaringan kotanya kurang memadai. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII perkampungan tersebut mengalami kemajuan yang pesat dibidang sarana dan prasarana.

Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis dalam mengkaji mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran menggunakan judul

“Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegoro VII)”

5 Dr. Th. M. Metz, 1939. Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Roterrdam: NV Nijgh dan Van

(22)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apa alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran?

2. Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran?

C. Tujuan Penelitian

Dari perumusan permasalahan diharapakan kajian tentang perkampungan di kota Mangkunegaran mampu memberikan jawaban atas beberapa permasalahan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah.

1. Untuk mengetahui alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran.

2. Untuk mengetahui pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran.

D. Manfaat Penelitiaan

Dari kajian tentang perkampungan di kota Mangkunegaran, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang perkampungan yang ada di Kota Mangkunegaran

(23)

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat Surakarta. Mengenai pembangunan perkampungan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VII.

E. Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa literatur dan referensi yang relevan dan menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan penulis jadikan bahan acuan untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkap pokok permasalahan. Literatur yang penulis gunakan antara lain:

Mengenang BRM. Soerya Soeparto merupakan buku yang ditulis oleh

Bernardial Hilmiyah M.D, 1985. Buku ini membahas mengenai kehidupan Soerya Soeparto sebelum beliau menjadi Mangkunegoro VII sampai menjadi Mangkunegoro VII. Buku ini juga menceritakan bahwa ketika naik tahta, ia di hadapkan pada banyak kesulitan, sebab dalam lingkungan masyarakatnya telah muncul kelompok baru yang becita-cita memperjuangkan nasib serta penghidupan rakyat. Oleh karena itu tugas Mangkunegoro VII adalah membawa kemajuan duniawi dan kemajuan spiritual rakyatnya. Namun demikian, buku ini sebagian besar sumber acuannya berasal dari sumber sekunder. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, tulisan Bernardial Hilmiyah itu sangat berguna sekali. Membaca buku itu, penulis mendapatkan beberapa informasi awal tentang modernisasi di Praja Mangkunegaran, yang kemudian memberi inspirasi untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.

Buku yang berjudul Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa yang ditulis oleh Dr. Th. M. Metz, dan telah diterjemahkan oleh RTg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987. Buku ini berisi mengenai Praja Mangkunegaran pada masa

(24)

pemerintahan Mangkunegoro VII. Buku ini membahas mengenai perkembangan dan kemajuan yang pesat di Kadipaten Mangkunegaran di bidang ekonomi yang terdiri dari masalah agraria, irigasi, perusahaan-perusahaan dana milik, pekerjaan umum, kehutanan, kredit rakyat, pasar, penyediaan pangan pada masa paceklik, kebudayaan dan kesenian, dan keuangan Mangkunegaran.

Namun demikian, karya ini tidak boleh sebagai sumber primer murni karena tidak semua nformasi yang ia sampaikan merupakan hasil pandangan mata si penulis, tetapi ada beberapa yang berasal dari sumber lain. Akan tetapi sekalipun informasi yang diberikan merupakan campuran antara sumber primer dan sumber sekunder, namun di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur yang bersifat primer. Buku ini menyajikan sejumlah data tentang Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro VII. Data-data itu sangat berguna untuk merekonstruksikan modernisasi, khususnya bagi perkampungan di Praja Mangkunegaran dan juga untuk mengetahui peranan dan tindakan yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum bagi pembangunan perkampungan di Kota Mangkunegaran.

Buku yang berjudul Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Adiningrat yang ditulis oleh Drs. Radjiman, tahun 1984. Buku ini dibagi menjdi dua bagian yakni, bagian pertama berisi mengenai Kerajaan Mataram Surakarta, Kasunanan Surakarta Adiningrat, dan Toponomi Kota Surakarta. Bagian kedua berisi mengenai Struktur Birokrasi Mataram, Struktur Birokrasi Kasunanan Surakarta, dan Struktur Birokrasi Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono IX. Buku ini juga membahas mengenai Sejarah pemberian nama kampung-kampung yang ada di wilayah Kasunanan maupun Mangkunegaran. Akan tetapi, buku ini banyak menggunakan babad sebagai sumber acuannya seperti Babad Tanah Jawi yang terlalu banyak diisi dengan folklore yang berkembang di dalam masyarakat. Buku ini juga menggunakan sumber yang lain seperti

(25)

Rijksblad, Staatsblad, dan Bijblad yang digunakan untuk memperkuat tulisannya. Buku ini membantu di dalam mengetahui batas-batas perkampungan di Kasunanan dan Mangkunegaran dan asal-usul nama-nama kampung di Kota Mangkunegaran.

Dalam buku Ketataprajaan Mangkunegaran yang ditulis oleh Muhammad Dalyono, SH dan diterjemahkan oleh R.M Sarwanto Wiryosaputro, 1977. buku ini membahas mengenai ketataprajaan yang ada di Mangkunegaran yang terdiri dari susunan dan pengisian jabatan, kewenangan ketataprajaan, lingkungan kerja dan hubungan kekuasaan dengan negara, daerah/wilayah dan orang di Praja Mangkunegaran. Oleh karena ia sebagai seorang ahli hukum maka cara pengungkapannya lebih bersifat kaku dan menekankan pada aspek-aspek yuridis formal dari Praja Mangkunegaran. Akan tetapi, karena buku ini ditulis oleh penulis yang hidup sejaman dengan peristiwa yag diteliti dan juga diterbitkan pada masa itu, maka validitas isi dari buku itu dapat dipertanggungjawabkan. Buku ini sangat membantu dalam penelitian ini karena sebagian besar bertumpu pada peraturan-peraturan baik yang dikeluarkan oleh Praja Mangkunegaran maupun Oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX – Pertengahan Abad XX), tahun 1994. merupakan tesis dari Drs. Wasino. Karya

ilmiah ini membahas mengenai pembaharuan pemerintahan di Praja Mangkunegaran di masa pemerintahan Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini membahas pembaharuan di bidang keuangan dan perekonomian serta pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini memang menarik karena banyak menampilkan peranan- peranan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI dan Mangkunegoro VII bagi kemajuan yang pesat di Praja Mangkunegaran. Karya ilmiah ini juga menggunakan sumber-sumber primer yang berupa arsip dari Mangkunegaran,

(26)

surat kabar, dan majalah. Karya ilmiah ini membantu penulis untuk mengetahui hal-hal apa yang telah dilakukan oleh Mangkunegoro VII salah satunya terhadap perkembangan di Kota Mangkunegaran.

F. Metode Penelitian.

Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peranan sebuah metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil atau tidaknya tujuan yang dicapai, tergantung dari metode yang digunakan. Di dalam hal ini, suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek yang diteliti. Terkait dengan hal itu, Koentjoroningrat mengungkapkan bahwa, dalam arti kata yang sesungguhnya, maka metode (dalam bahasa Yunani methodos) adalah cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode historis. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.6 Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. (a) Heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber sejarah. Dalam proses ini penulis mengumpulkan bahan di perpustakaan Rekso Pustoko dan Sono Pustoko, karena di tempat tersebut banyak terdapat sumber-sumber primer

6 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI

(27)

yang sangat membantu dalam penulisan penelitian ini. (b) Kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern.7 Kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data, sedang kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber. (c) Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data-data yang dimunculkan dari data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh.8 (d) Historiografi, yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah.

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber berupa studi dokumen dan studi pustaka.

a. Studi Dokumen

Dalam studi ini karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, “dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.9 Di satu sisi dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya. Penggunaan dokumen dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan

7 Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, hal.58. 8 Ibid, hal. 64.

9 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: PT.

(28)

dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, apa, kapan dan mengapa.10 Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat pengertian historis tentang fenomena yang unik.11 Dokumen yang berhasil penulis kumpulkan untuk penelitian ini antara lain: Arsip-arsip dari Dinas Pekerjaan Umum: Anggaran pembangunan wc umum dan pancuran umum kode L. 436, Anggaran pembangunan saluran pembuangan air kode H. 204, Rijksblad Tahun 1939. No. 23, Peta Kota Mangkunegaran, dan sebagainya.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya yang berkaitan dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Sumber pustaka yang digunakan antar lain: buku, majalah, surat kabar, artikel dan sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti. Studi pustaka dalam penelitian ini di lakukan di perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran.

2. Teknik Analisa Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis. Deskripsi analisis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah

10

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternati. Jakarta: PT. Gramedia. hal 97-122

11 Sartono Kartodirdjo. 1983. “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat,

(29)

itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12

Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah analisa historis. Yaitu analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.

G. Sistematika Skripsi

Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun bab demi bab. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun

Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika skripsi.

Bab II, dalam bab ini menguraikan gambaran umum yang mencangkup sejarah, wilayah, dan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran.

12 Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: yayasan Indayu. hal

(30)

Bab III, dalam bab ini mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran termasauk didalamnya struktur penduduk, pola perkampungan, dan asal-usul nama kampong di Kota Mangkunegaran.

Bab IV, dalam bab ini mengenai peranan Mangkunegoro VII bagi pembangunan perkampungan di Kota Mangkunegaran.

(31)

BAB II

WILAYAH ADMINISTRATIF PRAJA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII

A. Perkembangan Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran

Praja Mangkunegaran didirikan oleh R.M Said. Ia merupakan putera dari K.P.A Mangkunegoro, dan merupakan cucu dari Sunan Amangkurat IV. K.P.A Mangkunegoro sebenarnya merupakan pengganti Sunan Amangkurat IV, tetapi dalam kenyataannya yang menggantikan tahta adalah Sultan Sepuh, yang bergelar Sunan Paku Buwono II. KPA Mangkunegoro karena menentang dan tidak disenangi Belanda maupun Sunan Paku Buwono II, kemudian dibuang ke Ceylon, dan meninggal di Tanjung Harapan.13 Berdirinya Praja Mangkunegaran merupakan dampak dari konflik-konflik perang perebutan tahta kerajaanyang telah terjadi pada masa sebelumnya. Geger Pacinan merupakan konflik awal perebutan kekuasaan di Mataram Kartosura. Peristiwa ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina di batavia pada tahun 1740 yang kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa. Peristiwa ini juga melibatkan para bangsawan Mataram, yang termasuk di dalamnya Raden Mas Said.14

Pemberontakan Cina di Mataram dipimpin oleh R.M Garendi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Pemberontakan itu mengakibatkan jatuhnya Istana Kartosuro ketangan musuh, kemudian oleh Sunan Paku Buwono II istana dipindahkan ke sebelah timur yaitu ke desa Sala yang kemudian lebih dikenal dengan nama Surakarta. Pada tahun 1743 pemberontakan Cina telah dipadamkan oleh kerajaan

13 Mulat Sarira, 1978. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. hal 4-5

14 Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir

Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 34

(32)

Mataram yang dibantu VOC. Paku Buwono II semakin tidak bebas dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahannya akibat intervensi dari VOC, karena telah banyak membantu mengusir para pemberontak.15

R.M Said tetap melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Paku Buwono II, yang sebenarnya masih untuk menuntut hak-haknya sebagai putera dari K.P.A Mangkunegoro. Dalam perlawananya Mas Said didukung oleh 18 pembantu utama yang merupakan putera pejabat Keraton Kartosuro, yang kemudian dikenal sebagi Punggawa Baku.16 Selain dibantu oleh 18 pemuda itu, Mas Said juga mendapat bantuan dari Raden Sutowijoyo yang kemudian mendapat gelar Kyai Ronggo Panambangan, dan Kyai Kudawarsa. Mas Said dan para punggawanya mempunyai ikrar “tiji-tibeh” yaitu :mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh, yang artinya mati satu mati semua, bahagia satu bahagia semua.17

Perlawanan Mas Said sangat menyulitkan Sunan Paku Buwono II dan VOC. Paku Buwono II kemudian menjanjikan hadiah tanah lungguh sebesar 3000 cacah di daerah Sukowati (Sragen) bagi mereka yang berhasil menghalau Mas Said dan kawan-kawannya dari daerah itu. Pangeran Mangkubumi menerima tawaran dari Paku Buwono II, walaupun sebelumnya juga berkonflik dengannya. Mas Said berhasil dikalahkannya pada tahun 1746. Paku Buwono II, karena bujukan para penasehatnya tidak memberikan hadiah kepada Mangkubumi, sehingga membuatnya merasa kecewa.18 Akhirnya Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Mas Said untuk melawan Paku Buwono II dan VOC.

15 Ibid

16

Ng. Satyapranawa, 1950. Babad Mangkunegaran. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 29

17 Ibid

(33)

Mas Said di medan pertempuran pamornya semakin menonjol dan rakyat banyak yang semakin simpati kepadanya, apalagi setelah Pangeran mangkubumi bergabung dengannya. Pada tahun 1751 pasukan gabungan ini dapat menghancurkan pasukan Belanda di bawah Mayor de Clery di lembah Bagawonto. Keberhasilan pertempuran ini membuktikan bahwa Raden Mas Said seorang pemimpin yang berani dan ahli strategi perang, sehingga mendapat julukan Pangeran Samber Nyowo.19

Persatuan antara Mas Said dan Pangeran Mangkubumi menjadi semakin kuat, setelah Mas Said menikah dengan Puteri Sulung Mangkubumi, yang bernama Raden Ajeng Inten atau selanjutnya disebut dengan Ratu Bendara. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1752, terjadi perselisihan antara Mas Said dengan Mangkubumi. Mas Said kini harus berjuang sendiri untuk menghadipi sekutu-sekutu Sunan dan VOC Belanda. Ia juga menghadapi Mangkubumi yang merupakan mantan mertuanya sendiri. Komandan Belanda van Honendarf menyarankan kepada Dewan Hindia agar ditawari jabatan Putera Mahkota, karena melihat situasi yang semakin meruncing, dan usul itu ternyata diterima. Perundingan kemudian dilakukakan pada tanggal 28 Februari 1753.20

Akan tetapi diperundingan tersebut Mas Said ingin dinobatkan menjadi Raja, dan bukan sebagai Putera Mahkota. Tindakan Mas Said ini sebagai tekanan terhadap Belanda, dikarenakan ia baru saja memukul mundur pasukan mangkubumi dalam pertempuran di sebelah timur Surakarta. Kemenangan yang gemilang ini yang menyebabkan Mas Said mendekte syarat-syarat perdamaian dengan Belanda yang telah gagal menyelesaikan secara militer. Mas Said terlalu yakin akan keberhasilannya, sehingga tidak mau membuat kompromi dengan pihak kompeni. Dalam hal ini ia

19 Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran

Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal 46

20

(34)

kurang waspada terhadap Mangkubumi, yang justru bersedia mengadakan perundingan dengan pihak VOC. Mangkubumi menyetujui kesepakatan yang agak realistis, yakni ia menerima separo dari tanah kerajaan, mengakui kekuasaan VOC atas pesisir, dan bersekutu dengan VOC untuk melawan Mas Said.21

Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadi perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi dan Sunan Paku Buwono III. Kedua belah pihak akhirnya menerima masing-masimng separo dari tanah kerajaan Mataram yang bukan menjadi wilayah kekuasaan VOC. Konflik dinasti yang berkepanjangan di Surakarta ternyata belum dapat diselesaikan. Mas Said tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengerahkan pasukannya untuk melawan tiga kekuatan yang bersekutu. Pada bulan Oktober 1755 ia masih berhasil mengalahkan pasukan VOC dan pada bulan Februari 1756 ia hampir berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Pasukan-pasukan gabungan itu tidak berhasil dan tidak sanggup melawan Mas Said, tetapi ia yang berjuang sendirian tidak mampu menaklukkan Jawa.22

Pasukan Mas Said mulai mengalami banyak kekalahan-kekalahan yang dikarenakan semakin berkurangnya jumlah pasukan dan membelotnya beberapa pengikut kepada pasukan-pasukan musuh. Situasi yang nampak semakin gawat, Mas Said sudah dapat membaca ketidakseimbangan antara pasukannya dalam menghadapi pasukan gabungan yang besar itu, maka ia berusaha untuk menghentikan peperangan yang mulai tidak seimbang melalui perundingan dengan Sunan dan VOC. Melalui adiknya Pangeran Timur, ia memberikan tawaran perdamaian kepada Sunan.

21 Ibid. hal 37

22M.C Ricklefs, 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal

(35)

Perundingan ini diambil oleh Mas Said, karena ia berharap bahwa setelah Sunan meninggal ia dapat menggantikannya sebagai Raja. Pangeran Timur yang menjadi utusan menyampaikan permohonan Mas Said kepada Sunan agar tanah Jawa hanya diperintah oleh seorang raja saja, tetapi apabila tidak bisa ia menerima saja keputusan Sunan asal ia mendapat hak atas tanah Laroh, Matesih, Keduwang, dan Pacitan. Dari pihak VOC melalui Hartingh juga mendesak agar diadakan perundingan untuk mengakhiri perang saudara yang berlarut-larut.23 Pada tanggal 24 Februari 1757 di Gogol, daerah sesbelah selatan kota Surakarta, Mas Said sembari bersujud ia menyerahkan diri secara sukarela kepada Susuhunan Paku Buwono III.24 Pertemuan ini merupakan awal dari pertemuan yang selanjutnya di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.

Dalam pertemuan di Salatiga tanggal 17 Maret 1757, yang dihadiri pula oleh Patih Danurejo dari Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan ini membahas mengenai kedudukan, pangkat, dan penghasilan Mas Said. Pertemuai ini akhirnya dapat dicapai beberapa kesepakatan, walaupun melalui perdebatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan ini isinya sebagai berikut: (1) Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji, yang kedudukannya tepat dibawah Sunan. Ia memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, (2) Ia juga mendapatkan tanah sebesar 4000 karya, yang terletak di Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Wilayah itu terletak disekitar Surakarta Tenggara dan sebagian lagi di timur Yogyakarta, (3) Mas Said harus bersumpah setia kepada Sunan, Sultan, VOC dan berjanji akan datang di hari-hari tertentu (senin, kamis, dan sabtu). Mas Said juga harus selalu tunduk kepada perintah Raja. Ia juga harus

23 A.K Pringgodigdo, 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta: Reksa

Pustaka. hal 8

(36)

tinggal dan berkedudukan di Ibu Kota Surakarta.25 Berdasarkan perjanjian Salatiga tahun 1757, maka berdirilah Praja Mangkunegaran yang wilayahnya meliputi Laroh, Matesih, Keduwang, dan Gunung Kidul.

Praja Mangkunegaran merupakan salah satu bagian dari empat swapraja yang ada di Jawa Tengah. Wilayah Mangkunegaran terletak dibagian timur dan utara Surakarta, juga sebagian terletak di wilayah Kasunanan dan Kasultanan. Wilayah Mangkunegaran di sebut sebagai desa Babok. Desa Babok merupakan tanah-tanah atau wilayah permulaan dari Praja Mangkunegaran.26 Luas wilayah Praja Mangkunegaran 4000 karya ketika berdiri, dan terus mengalami perubahan sejak berdirinya kerajaan itu.

Tabel I

Desa Babok Mangkunegaran

Nama Daerah Jumlah (Jung)

Keduwang Laroh Matesih Wiraka Haribaya Hanggabayan Sembuyan Gunung Kidul

Pajang (sebelah selatan jalan besar Surakarta-Kartosura) Pajang (sebelah utara jalan besar Surakarta-Kartosura) Mataram (pertengahan Yogyakarta)

Kedu 141 115,5 218 60,5 82,5 25 133 71,5 58,5 64,5 1 8,5 Jumlah 975,5

Sumber: Pringgodigdo, op.cit. hal 10 dan Rouffaer, op.cit. hal 9

25 A.K Pringgodigdo, op.cit. hal 8-9

26 Sutrisno Adiwardoyo, 1974. Skripsi: Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai

(37)

Menurut Wasino, wilayah dan batas-batas Praja Mangkunegaranyang didasarkan perjanjian Salatiga 1757 itu memang kurang jelas. Hal ini di karenakan, surat perjanjiannya sendiri hilang dan tidak dapat ditemukan. Dengan demikian data-data mengenai wilayah Mangkunegaran yang dikemukakan oleh Rouffaer dan Pringgadigdo itu hanyalah perkiraan saja.27

Dibawah Pemerintahan Mangkunegoro II (1796-1835), wilayah Praja Mangkunegaran mengalami perubahan, yakni adanya pertambahan wilayah sebanyak dua kali. Praja Mangkunegaran mendapat tambahan tanah sebesar 240 jung atau 1000 karya yang terletak di Keduwang (72 jung), Sembuyan (12 jung), Mataram (2,5 jung), Sukawati bagian timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (28,5 jung), dan daerah di lereng Gunung Merapi bagian timur (29,5 jung).28 Bertambahnya luas wilayah Praja mangkunegaran dikarenakan adanya hubungan kerjasama antara Mangkunegoro II dengan Inggris untuk melawan Sultan Hamengkubuwono II di Yogyakarta dan Susuhunan Paku Buwono IV.

Praja Mangkunegaran mengalami penambahan luas wilayah lagi pada tahun 1830. penambahan luas wilayah ini sebagai atas jasa Praja Mangkunegaran dalam membantu Belanda menghadapi pasukan Diponegoro. Praja Mangkunegaran

27 Wasino, op.cit. hal 51

(38)

memperoleh hadiah berupa tanah 120 jung atau 500 karya yang terletak di Sukowati bagian utara, sehingga luas wilayah Praja Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro II menjadi 5500 karya.29

Masa pemerintahan Mangkunegoro II juga terjadi adanya perubahan wilayah sebagai akibat tukar-menukar tanah yang dilakukan Mangkunegaran dan Kasultanan. Pertukaran tanah ini dilakukan karena wilayah masing-masing swapraja itu semula bersifat tumpang-tindih sehingga ada usaha untuk menyatukan wilayah agar tidak terpencar wilayah swapraja yang lain.30 Perubahan-perubahan yang dilakukan didaerah Gunung Kidul bagian barat (pajang dan semanu) sebesar 64 jung yang merupakan daerah Mangkunegaran di tukar dengan 60 jung tanah yang terdiri dari desa-desa di Yogyakarta didaerah Sembuyan (sebelah Tenggara Surakarta).31

Praja Mangkunegaran Setelah adanya dua kali perubahan luas wilayah dan pertukaran tanah dengan Kasunanan, luas wilayah Mangkunegaran menjadi 2815, 14 km², meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai daerah hulu sungai Bengawan Solo menuju ke daerah Gunung Kidul. Daerah selatan Praja Mangkunegaran membentang pada bagaian timur dari Gunung Sewu yang sangat tandus hingga ke Samudera Hindia. Di sebelah barat, daerahnya sebagian menuju barat melalui dataran rendah bengawan Solo sampai pada lereng Gunung Merapi dan Merbabu yang sangat subur. Batas swapraja Mangkunegaran dan Kasunanan melewati ibu kota Surakarta. Sebelah utara masuk daerah Mangkunegaran dan sebelah selatan masuk daerah Kasunanan. Di bagian utara daerah ini merupakan tanah-tanah yang cocok untuk

29 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 28

30 Wasino, op.cit. hal 51

31

(39)

pertanian dan perhutanan, sedangkan dibagian selatan tidak begitu baik untuk budi daya pertanian baah dan hanya cocok untuk kehutanan.32 Di daerah selatan ini merupakan sebagian besar wilayah Praja Mangkunegaran, walaupun ada juga di daerah timur yang subur di bawah lereng Gunung Lawu.

Wilayah Praja Mangkunegaran Luasnya tidak terpaut jauh dengan swapraja lain yang ada di Jawa Tengah yakni Kasunanan dan Kasultanan. Jika dibandingkan dengan wilayah Paku Alaman, wilayah Mangkunegaran lebih luas. Apabila dilihat dari kesuburan tanahnya, Praja Mangkunegaran memiliki tingkat kesuburan tanah yang buruk. Perbandingan luas wilayah dari keempat swapraja di Jawa Tengah itu dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel II

Perbandingan Luas Wilayah Swapraja di Jawa Tengah

No Nama Swapraja Luas Wilayah

1 2 3 4 Kasunanan Surakarta Kasultanan Yogyakarta Pura Mangkunegaran Pura Paku Alaman

3.237.50 Km² 3.049.81 Km² 2.815.14 Km² 122.50 Km²

Sumber: Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Di Jawa. Surakarta: Rekso Pustaka. hal 15

Ibu Kota Mangkunegaran tidak terlalu luas, jika di bandingkan dengan Kasunanan dan Kasultanan. Ibu Kota Mangkunegaran hanya seperlima dari seluruh wilayah Karesidenan Surakarta, dan Ibu Kota Kasunanan menempati empat perlima dari seluruh karesidenan itu. Di Karesidenan Yogyakarta, sebagian besar wilayahnya milik

32

(40)

Kasultanan Yogyakarta, dan hanya sebuah wilayah kecil yang terletak disebelah barat daya dan sebuah en clave disekitar istananya merupakan wilayah Paku Alaman.33

B. Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII.

Pembagian wilayah administrasi Praja Mangkunegaran telah mengalami beberapa perubahan, yang dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaan wilayah tersebut untuk kemajuan dan kemakmuran Praja Mangkunegaran. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro III perubahan terjadi untuk pertama kalinya, pada tahun1847 Praja Mangkunegaran dibagi atas tiga daerah Onderregentschap, yaitu: Wonogiri (meliputi Laroh, Hanggabayan, dan Keduwang), Karanganyar (meliputi Sukawati, Matesih, dan Haribaya), dan Malangjiwan.34 Di tahun 1875, perubahan kembali dilakukan untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan penghapusan

Onderregenschap Malangjiwan dan kemudian dibentuk Onderregenschap Baturetno

yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan Sembuyan. Dengan demikian pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV, Praja Mangkunegaran dibagi menjadi tiga wilayah admistrasi yaitu: Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno.

Perubahan pembagian wilayah dilakukan lagi pada tahun 1891 masa pemerintahan Mangkunegoro V. Onderegenschap Baturetno dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan Onderregenschap Wonogiri.35 Pada tahun 1903 di bawah pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi perubahan wilayah yang keempat

33 G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta

1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal 1

34 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 30 35 Wasino, op.cit. hal 54

(41)

kalinya, yaitu dibentuk Onderregenschap Kota Mangkunegaran. Dengan demikian daerah Praja Mangkunegaran terbagi menjadi tiga wilayah administrasi yaitu: Kota Mangkunegaran, Wonogiri, Karanganyar, dan di tambah enclave Ngawen.36

Pada masa awal pemerintahan Mangkunegoro VII wilayah administrasi Praja Mangkunegaran tetap menjadi tiga wilayah, tetapi di tahun 1929 terjadi perubahan wilayah administrasi lagi yang dilakukan dalam rangka penghematan. Hal itu dilakukan oleh Mangkunegoro VII dikarenakan pada saat itu dampak-dampak krisis ekonomi yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai dirasakan oleh Praja Mangkunegaran. Oleh karena itu Mangkunegoro VII menghapus Kabupaten Kota Mangkunegaran, dan wilayahnya dimasukkan ke wilayah Kabupaten Karanganyar. Perubahan itu tidak berlangsung lama, setahun kemudian diadakan perubahan lagi yaitu penghidupan lagi Kabupaten Kota Mangkunegaran. Bekas daerah Kabupaten Karanganyar menjadi daerah Kabupaten Kota Mangkunegaran.37

Dengan demikian pada tahun 1930 wilayah administrasi Praja Mangkunegaran menjadi dua wilayah yaitu: Kabupaten Kota Mangkunegaran (meliputi Kawedanan Kota Mangkunegaran, Kawedanan Karanganyar, Kawedanan Karang Pandan, Kawedanan Jumapolo) dan Kabupaten Wonogiri (meliputi Kawedanan Wonogiri, Kawedanan Jatisrono, Kawedanan Wuryantoro, Kawedanan Baturetno).

C. Struktur Birokasi Praja Mangkunegaran

Pada Masa Mangkunegoro VII

36 Daerah Onderregentschap disebut daerah Kabupaten. Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1917

No. 331

37

(42)

Praja Mangkunegaran merupakan salah satu dari empat daerah swapraja yang ada di Jawa Tengah. Oleh karena itu, Praja Mangkunegaran memiliki struktur birokrasi yang telah tertata dengan baik, Praja Mangkunegaran ini memiliki hubungan politik yang baik dengan pemerintah kolonial Belanda, hubungan ini membawa dampak yang baik bagi birokrasi di Praja ini. Praja Mangkunegaran sangat terpengaruh dengan struktur birokrasi kolonial yang legal – rasional.

Pengageng Pura (Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro) merupakan jabatan tertingi dan mengendalikan semua aparat yang ada di bawahnya didalam struktur birokrasi di Praja Mangkunegaran. Pada awalnya pengangkatan pura ini atas kehendak pemerintah Hindia Belanda dengan persetujuan Sri Susuhunan Surakarta. Akan tetapi pada akhir abad XX, pengangkatan tidak harus melalui persetujuan dari Susuhunan Surakarta.38 Mangkunegoro sebagai pimpinan Praja Mungkunegaran memegang sendiri pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan simbol kerajaan, tetapi sebaliknya, ia merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Mangkunegoro mempunyai kekuasaan untuk dapat mengontrol semua aparat-aparat yang ada di bawahnya untuk hanya tunduk kepada PAA Mangkungoro.

Di bawah PAA Mangkunegoro adalah Patih Mangkunegoro. Pada mula-mulanya jabatan ini hanya bersifat pribadi tetapi dalam perkembangannya, jabatan Patih di Mangkunegaran bersifat resmi dalam mengurus pemerintahan sejak Mangkunegoro II dengan nama Bupati Patih dengan pangkat Tumenggung. Menurut Rijksblad Mangkunegoro tahun 1917. No 37 Bupati Patih betugas untuk menyelenggarakan pemerintahan pertama dari perintah raja. Seorang Patih di Mangkunegoro harus bersumpah setia dihadapan Mangkunegoro, sebelum ia memangku jabatannya. Isi

38

(43)

sumpah itu hanya akan setia dan melaksanakan tugas-tugas yang diemban sebagai pegawai di Praja Mangkunegaran.39

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro I hingga Mangkunegoro III aparat-aparat birokrasi pemerintah di bawah Patih hanya terdiri dari empat jabatan pemerintahan dengan nama Priyayi Punggawa. Mereka adalah dua orang Lurah dan dua orang Bekel. Masing-masing dari Priyayi Pungawa itu dibantu oleh 14 orang Jajar. Tugas dan kewajiban para Pungawa itu menjalankan pemerintahan yang berasal dari perintah Pangeran Mangkunegoro.40 Dengan demikian, pada masa pemerintahan Mangkunegoro I sampai Mangkunegoro III pemerintahan hanya terbagi dalam dua bagian yaitu kekuasan pusat yakni di Istana Mangkunegoro dan kekuasaan daerah yang dipegang oleh Lurah dan Bekel.

Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV diadakan pembaharuan didalam struktur pemerintahannya. Dengan Pranatan tanggal 11 Angustus 1867 telah ditetapkan Departemen-Departemen dalam Praja Mangkunegaran diluar kesentanaan dengan legiun. Departemen-departemen itu disebut Kawedanan yang terdiri dari 9 macam. Tiap-tiap Kawedanan dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut Wedana.41 Pemerintahan di Praja Mangkunegaran terbagi menjadi dua bagian yaitu pemerintah dalam praja dan pemerintah diluar praja. Pola yang digunakan pemerintah Mangkunegaran mirip dengan struktur birokrasi di kerajaan Mataram yang dibagi menjadi dua, yakni Wedana Lebet dan Wedana Jawi.42

39 Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1924 No. 8

40

Wasino, op.cit. hal 104-105

41 Ibid. hal 106

42 Marwati Djoened Poesponegoro, 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

(44)

Struktur birokrasi Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV. Bupati Patih mempunyai bawahan yakni Reh Jaba dan Reh Jero yang membawahi beberapa Kawedanan dan Kemantren.

1. Reh Jaba

Pejabatnya : Wedana Reksa Praja yang membawahi tiga Kamantren.

a. Polisi yang bertugas menerima perkara, menjalankan bunyi surat pemerintah, dan membantu kelancaran pemerintahan Praja.

b. Margatama yang betugas memperbaiki jalan-jalan, tanggul, jembatan, rumah jaga, kantor pos dan sarana fisik di wilayah Praja Mangkunegaran. c. Jaksa yang bertugas memutusi perkara dari mereka yang bersengketa,

berkewajiban menjalankan segala undang-undang dan peraturan negara. 2. Reh Jero

a. Kawedanan Hamang Praja terdiri dari tiga kemantren 1) Sastrolukito: pekerjaannya menulis dan menghitung

2) Reksopustoko: pekerjaannya merawat dan menyusun surat-surat yang dianggap penting

3) Pamong siswo: pekerjaannya mengembangkan kesenian dan perpustakaan

b. Kawedanan Kartapraja, membawahi dua kemantren:

1) Kartahusada, pekerjaannya melakukan usaha dan berkewajiban meningkatkan sumber pendapat negara dengan mudah

2) Martanimpura, pekerjaannya menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa negara, kerig aji, dan semacamnya, yang kemudian dimasukkan dalam gedong.

(45)

c. Kawedanan Martapraja, hanya membawahi satu kemantren, yakni kemantren Reksahandara yang pekerjaannya menyimpan dan mengetahui jumlah uang yang berada di gedong dan ditempat lainnya.

d. Kawedanan Karti Praja hanya membawahi satu kemantren, yakni kemantren Kartipura yang dikerjakan mengadakan perbaikan dalam kota dan luar kota, serta sebagai pemadam kebakaran.

e. Kawedanan Mandrapura, membawahi empat kemantren:

1) Mardrasena pekerjaannya merawat dan membersihkan perkakas Praja. 2) Reksa Pradipta, pekerjaanya membuat dan menghidupkan lampu. 3) Subapandaya pekerjaannya mengurusi masalah minuman Praja. 4) Reksasunggata pekerjaannya mengurusi penyediaan makanan istana. f. Kawedanan Reksawibawa, membawahi tiga kemantren

1) Reksa Warastra, pekerjaannya memelihara senjata

2) Reksawahana pekerjaannya menjaga kendaraan beserta suku cadangan 3) Langenpraja pekerjaannya memperlengkapi dan merewat gamelan dan

wayang.

g. Kawedanan Prababaksana, membawahi tiga kemantren

1) Reksabaksana pekerjaannya memelihara dan membagi bahan pangan 2) Wreksapandaya, pekerjaannya menyediakan kayu jati untuk bahan

bangunan.

3) Tarulata pekerjaannya membagi penyerahan sirih, rumput dan padi. h. Kawedanan Yogiswara, membawahi empat kemantren

1) Ketib pekerjaanya menikahkan orang akan menikah, mengurusi mayat, dan menyeleaikan perkara yang akan dibawa ke Surambi

(46)

2) Nai’b pekerjaannya menikah orang yang akan menikah dan berwewenang menyelesaikan talak wasiat dan semacamnya

3) Mardikan pekerjannya memberi pelajaran agama dan memelihara makam dan tempat suci

4) Ngulama pekerjaannya berdoa agar negara hidup tentram sejahtera.43 Pada masa pe.merintahan Mangkunegoro VII pembaharuan didalam struktur birokrasi Praja Mangkunegaran juga dilakukan. Pembaharuan itu dilakukakan untuk memperbaiki kinerja aparatur yang ada di struktur birokrasinya agar lebih baik. Perubahan-perubahan itu antara lain: Pertama, pembagian birokrasi reh jaba dan reh jero dihapuskan. Kedua, beberapa jabatan yang semula bernama Kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana kini diubah menjadi Kabupaten yang dipimpin seorang Bupati. Jabatan-jabatan yang diubah meliputi Kawedanan Hamong Praja diubah menjadi Kabupaten Hamong Praja, Kawedanan Mandrapura diubah menjadi Kabupaten Mandrapura, Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten Karti Praja, Kawedanan Yogiswara diubah menjadi Kabupaten Yogiswara. Naiknya jabatan wedana menjadi bupati membawa konsekuensi naiknya jabatan-jabatan dibawahnya, serta pembentukan jabatan-jabatan baru pada tingkat yang paling bawah. Jabatan yang dulunya hanya kapenewon meningkat menjadi kawedanan, jabatan mantri tingkat I menjadi penewu, dan seterusnya.44

Ketiga, adanya penghapusan beberapa Kawedanan lama yang diganti dengan

jabatan-jabatan baru yang fungsinya mirip. Kawedanan yang dihapus yakni: Reksa Praja, Reksa wibowo, Mandrapura, Martapraja dan Purabaksana. Keempat, jabatan-jabatan baru dibentuk sesuai dengan kebutuhan Praja Mangunegaran yang telah

43 Wasino, op.cit. hal 107-111

44

(47)

mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan masyarakat. Jabatan-jabatan baru itu yakni: Kabupaten Pangreh Praja, Parimpuna, Sindumarto, Wanamarta, Kawedanan Sinatriyo, Paprentahan Pajeg Siti, Martanimpuna, dan Pasianoan Dusun.45

Susunan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran dan tugas-tugasnya yang telah mengalami pembaharuan pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII.

1. Kabupaten Hamong Praja Pejabat : Bupati

Tugasnya : Sebagai pusat pemerintahan dan mengurusi segala jalannya pemerintahan

2. Kabupaten Pangreh Praja Pejabatnya : Bupati

Tugasnya : Mengurusi masalah pemerintahan daerah dan kepolisian. 3. Kabupaten Parimpuna

Pejabatnya : Kliwon

Tugasnya : Mengurus masalah pasar di wilayah Praja Mangkunegaran 4. Kabupaten Karti Praja

Pejabatnya : Belanda berpangkat Direktur

Tugasnya : Mengurus masalah pekerjaan umum 5. Kabupaten Mandra Pura

Pejabatnya : Kliwon

Tugasnya : Mengurusi didalam Istana Mangkunegaran

6. Kabupaten Sindumarta

45

(48)

Pejabatnya : Insiyur

Tugasnya : Mengurusi masalah irigasi 7. Kabupaten Yogiswara

Pejabatnya : Penghulu

Tugasnya : Mengurusi masalah nikahan, perceraian, dan kematian) 8. Kabupaten Kartausaha

Pejabatnya : Belanda berpangkat Super-Intendent

Tugasnya : Mengelola semua badan usaha dan keuangan praja yang diperoleh dari badan-badan usaha itu, yang kemudian dilembagakan dalam Dana Milik Mangkunegaran

9. Kabupaten Wonomarto

Pejabatnya : Belanda berpangkat Opperhoutvester

Tugasnya : Mengelola hutan yang ada di wilayah Mangkunegaran 10. Kawedanan Sinatriyo

Pejabatnya : Wedana

Tugasnya : Mengurusi putra sentono (putera Adipati Mangkunegoro) 11. Kawedanan Nata Praja

Pejabatnya : Wedana

Tugasnya : sebagai Sekretariat Praja Mangkunegaran 12. Kawedanan Niti Praja

Pejabatnya : Wedana

Tugasnya : sebagai Badan Perhitungan Praja Mangkunegaran 13. Paprentahan Pajeg Siti

(49)

Tugasnya : Mengurusi pajak tanah di wilayah Mangkunegaran 14. Paprentahan kedokteran

Pejabatnya : Dokter

Tugasnya : Menjaga/memelihara kesehatan putera sentana dan para praja dalam istana

15. Paprentahan Martanimpuna Pejabatnya : Kliwon

Tugasnya : Menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa negara 16. Paprentahan Pasinaoan Dusun

Pejabatnya : Pejabat Goverment

Tugasnya : Mengatur dan memajukan sekolah-sekolah desa.46

.

46

(50)

BAB III

PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII

A. Struktur Penduduk Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII

Penduduk di Praja Mangkunegaran sebagian besar memeluk agama Islam sesuai dengan corak kerajaan yang ada di Jawa, yaitu Kerajaan Islam. Di kota Mangkunegaran sebagian besar penduduknya juga memeluk agama Islam. Penduduk di kota Mangkunegaran terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, yang tersebar di kampung-kampung yang berada di kota tersebut. Suku-suku bangsa itu antara lain: suku Jawa, suku Sunda, suku Madura, dan ada juga suku yang berasal dari luar pulau Jawa. Kota Mangkunegaran juga terdapat bangsa-bangsa Eropa yang bermukim di tempat khusus hanya untuk kalangan mereka saja.

Kota Mangkunegaran di tahun 1930 mempunyai penduduk 35.183 jiwa, yang terdiri dari orang-orang Pribumi, orang Timur Asing, dan orang Eropa. Kepadatan penduduk di kota Mangkunegaran pada tahun 1930 mencapai 859,93 per km².47 Kota Mangkunegaran memiliki tingkat kepadatan yang paling tinggi diantara daerah-daerah lain yang ada di praja Mangkunegaran. Itu dikarenakan kota Mangkunegaran merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian di praja Mangkunegaran, sehingga banyak penduduknya yang pindah ke daerah ibukota yakni kota Mangkunegaran, agar mudah melakukan aktivitas ekonominya.

47 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa

Pustaka. hal 15

(51)

Penduduk di kota Mangkunegaran sama dengan penduduk yang ada di daerah-daerah lain di praja Mangkunegaran merupakan masyarakat yang tradisional. Itu dikarenakan penduduk di kota Mangkunegaran masih bersifat ajeg dan hampir-hampir tanpa perubahan, dan apabila ada perubahan hanyalah sangat sedikit. Penduduk di kota ini juga masih mempunyai sifat nrimo, yakni selalu menerima suatu keadaan dengan apa adanya. Tradisi dan kebiasaan itu selalu diteruskan atau diwariskan pada generasi berikutnya.

Menurut Sartono Kartodirdjo, untuk menentukan posisi seseorang dalam masyarakat tradisional itu diperlukan dua kriteria, yaitu: (1) prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan penguasa, dan (2) kedudukan seseorang dalam struktur birokrasi kerajaan. Seseorang yang memenuhi dua kriteria itu disebut dengan golongan elit, sedangkan mereka yang berada di luar golongan itu dianggap sebagai rakyat (kawula).48

Menurut Suyatno, secara tradisional di Surakarta terdapat tiga macam kelas sosial yaitu: (1) Sentana Dalem, yang terdiri dari keluarga raja, (2) Abdi Dalem, yang terdiri dari pegawai kerajaan, dan (3) Kawula Dalem, yang terdiri dari rakyat kebanyakan.49 Rakyat kebanyakan, yakni semua rakyat yang masih tinggal di dalam praja tetapi tidak termasuk dalam golongan bangsawan maupun narapraja dan tidak mengabdi pada praja lain.

Kota Mangkunegaran struktur penduduknya di bagi menjadi empat golongan yang memiliki peranan masing-masing, yakni: Golongan Bangsawan (Kasatriyan),

48 Sartono Kartodirdjo,1983. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu

Alternatif. Jakarta: Gramedia. hal 159

49 Suyatno, dkk, 1986. Birokrasi Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia. Surakarta: Hapsara. hal

(52)

Golongan Pegawai Sipil (Narapraja), Golongan Militer (Wirapraja), dan Rakyat (Kawula).50 Struktur penduduk itu juga terdapat di daerah-daerah lain di praja Mangkunegaran. Penggolongan ini tidak didasarkan terutama dari segi ekonomis atau keunggulan kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan dari kawula dengan

bandara, dan tempat atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Pembagian

golongan ini dapat diartikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing kelas sosial telah ditakdirkan.

Struktur penduduk di kota Mangkunegaran sejak pemerintahan Mangkunegoro I sampai Mangkunegoro VII, sebenarnya tidak ada yang berubah. Pertama, golongan bangsawan (kasatriyan) terdiri dari Adipati Mangkunegoro, putera, menantu, dan ipar Mangkunegoro, serta Sentana Dalem. Kedua, golongan pegawai sipil (narapraja) terdiri dari Bupati Patih, para wedana dari berbagai departeman, para mantri dari berbagai kemantren, dan para pegawai rendahan atau priyayi rendahan.

Ketiga, golongan militer (wirapraja) didasarkan atas tingkat kepangkatan seseorang yaitu opsir dan bawahan. Opsir terdiri dari seseorang yang berpangkat mayor sampai kolonel, dan letnan sampai kapten. Bawahan meliputi sersan sampai ajudan opsir bawah, dan fusiler sampai dengan kopral atau anak buah. Keempat, golongan rakyat kebanyakan (kawula) mereka bekerja sebagai tukang tukang, buruh industri perkebunan, tukang cukur, pedagang, dan sebagian besar adalah petani.51

Selama pemerintahan Kolonial Belanda berkembanglah suatu sistem kelas lainnya yang sejajar dengan struktur masyarakat pribumi, yaitu kelas-kelas yang setingkat dengan kaum bangsawan, priyayi dan orang-orang biasa. Kelas baru yang

50 Th. M. Metz, op.cit. hal 17

51 Wasino, 1994. Skripsi: Kebijakan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir

Gambar

Tabel II

Referensi

Dokumen terkait