• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Massa Batuan Q-sistem Dan RMR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Klasifikasi Massa Batuan Q-sistem Dan RMR"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Klasifikasi Massa Batuan Q-System

KLASIFIKASI MASSA BATUAN

(Q-SYSTEM)

Klasifikasi batuan Q-System dikenal juga dengan istilah Rock Tunneling Quality Index untuk keperluan perancangan penyangga penggalian bawah tanah.

Q-System digunakan dalam klasifikasi massa batuan sejak tahun 1980 di Iceland. Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Barton, dkk di 1974 berdasarkan pengalaman pembuatan terowongan terutama di Norwegia dan Finlandia.

Pembobotan Q-System didasarkan atas penaksiran numerik kualitas massa batuan berdasarkan 6 parameter berikut;

1. RQD (Rock Quality Designation) 2. Jumlah Kekar/Joint Set Number (Jn)

3. Kekasaran Kekar atau Kekar Utama/Joint Roughness Number (Jr)

4. Derajat Alterasi atau pengisian sepanjang kekar yang paling lemah/Joint Alteration Number (Ja)

5. Aliran Air/Joint Water Reduction Number (Jw)

6. Faktor Reduksi Tegangan /Stress Reduction Factor (SRF)

Dalam sistem ini, diperhatikan diskontinuitas dan joints. Angka dari Q bervariasi dari 0.001-1000 dan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:

1. RQD (Rock Quality Desgnation)

RQD = 100,4 - 3,68ω Dimana ω : Frekuensi Joint (1/Spasi)

Tabel 1. RQD

Kualitas batuan menggunakan klasifikasi Q-system dapat berkisar dari Q= 0,0001 sampai Q= 1000 pada skala logaritmik kualitas massa batuan.

(2)

Tabel 2. Jn

3. Jr (Joint Roughness Number)

Tabel 3. Jr

4. Ja (Joint Alteration Number)

(3)

Tabel 5. Rock wall contact before 10 cm shear

Tabel 6. No rock wall contact when sheared

5. Jw (Joint Water Reduction Number)

Tabel 7. Jw

(4)

Tabel 8. SRF (1)

Tabel 9. SRF (2)

ESR

Perhitungan Equivalent Dimention berdasarkan lebar bukaan terowongan dan nilai ESR (Excavation Support Ratio). Nilai ESR sangat bergantung pada kategori penggalian.

(5)

Tabel 10. ESR Misalkan perhitung nilai Q :

Q = 90/4 x 3/1 x 1/15 = 4,5 904

Q= 904 × 31 × 115=4,5

Misalkan sebuah terowongan mau dibuka selebar 15 meter untuk keperluan pertambangan permanent maka;

ED = 15 / 1,6 = 9,4

Berdasarkan nilai ED dan nilai Q tersebut dapat diperkirakan hubungan antara lebar bukaan terowongan dengan sistem penyangga yang harus digunakan.

Hubungan tersebut dapat dilihat pada grafik yang dibuatkan oleh Barton tahun 1974. Grafik tersebut kemudian diupdate lagi oleh Grimstad dan Barton tahun 1993.

Dengan nilai ED: 9,4 dan Q : 4,5 maka masuk dalam kategori 4. Kategori 4 mengharuskan pemasangan rock bolt dengan spasi 2,1 meter dalam shotcrete setebal 4-10cm.

Jika nilai dari persamaan Q system telah ditemukan, maka system support dapat ditentukan berdasarkan grafik berikut ini.

Gambar 1. Reinforcement Categories

(6)

Gambar 2. Rock Bolt Dimana B = Lebar Terowongan

(7)
(8)

METODA EMPIRIK DALAM RANCANGAN

TEROWONGAN

7. METODA EMPIRIK DALAM

RANCANGAN TEROWONGAN

7.1. TUJUAN DAN MANFAAT KLASIFIKASI MASSA BATUAN

Klasifikasi massa batuan merupakan cikal bakal dari pendekatan metode empiris dan digunakan secara luas di dalam rekayasa batuan. Klasifikasi massa batuan tidak digunakan sebagai pengganti untuk rancangan rekayasa. Tetapi harus digunakan digunakan bersama-sama dengan metode analitik dan observasi untuk memformulasikan secara menyeluruh rancangan lubang bukaan yang rasional, sesuai dengan tujuan rancangan dan kondisi geologi lapangan.

Klasifikasi massa batuan bertujuan :

1. Mengindentifikasi parameter yang terpenting yang mempengaruhi perilaku massa

batuan.

2. Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam group yang mempunyai

perilaku sama, yaitu kelas massa batuan dengan berbagai kualitas.

3. Memberikan dasar untuk pengertian karakteristik dari tiap kelas massa batuan.

4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan

pengalaman yang ditemui di lokasi lain.

5. Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering

design).

6. Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sistem klasifikasi harus : 1. Sederhana, mudah diingat dan mudah dimengerti.

2. Setiap istilah jelas dan terminologi yang digunakan dapat diterima secara luas oleh

enjinir dan geologis.

3. Sifat-sifat massa batuan yang paling signifikansi diikut sertakan.

4. Berdasarkan parameter yang dapat diukur dengan uji yang cepat, relevan serta murah

di lapangan.

5. Berdasarkan sistem rating yang dapat memberikan bobot yang penting pada parameter

(9)

6. Dapat berfungsi untuk menyediakan data-data kuantitatif untuk rancangan penyangga

batuan.

Adapun manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari klasifikasi massa batuan adalah :

1. Meningkatkan kualitas dari penyelidikan lapangan (site invertigation) dengan meminta

data masukan yang minimum sebagai parameter klasifikasi.

2. Memberikan informasi kuantitatif untuk tujuan rancangan terowongan.

3. Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi dapat lebih efektif pada suatu

proyek.

7.2. SEJARAH DAN SISTEM-SISTEM KLASIFIKASI MASSA BATUAN

Kebanyakan lubang bukaan (terowongan) sekarang dibangun berdasarkan beberapa sistem klasifikasi massa batuan. Seperti yang banyak digunakan dan yang paling baik diketahui adalah klasifikasi beban batuan Terzaghi. Klasifikasi ini sudah diperkenalkan lebih dari 40 tahun yang lalu (Terzaghi, 1946).

Tahun 1970 klasifikasi Terzaghi dimodifikasi Deere dan kawan-kawan dan membuat klasifikasi sistem baru. Sistem klasifikasi ini memperkenalkan teknologi penyangga batuan yang diberi nama “rock bolt” dan “shorcrete”, yang digunakan diberbagai proyek, seperti di terowongan, ruang bawah tanah, tambang, lereng dan Pondasi.

Saat ini terdapat berbagai sistem klasifikasi massa batuan dan aspek penerapannya, yaitu :

1. Rock Load (Terzaghi, USA 1946), untuk penerowongan dengan memperkirakan beban

batuan yang disangga dengan penyangga baja (sekarang dipakai hanya sebagai topik bahasan teoritis saja).

2. Stand-up time (Lauffer, Austria, 1958), untuk penerowongan. Klasifikasi ini didasarkan

hasil kerja Stini (1950) dan merupakan langkah maju dalam seni penerowongan dengan memperkenalkan “stand-up time” dari “active span”. Dimana dapat ditentukan tipe dan jumlah penyangga di dalam terowongan secara relevan.

3. New Austrian Tunneling Method (NATM, Pacher dan kawan-kawan, Austria, 1964),

untuk penerowongan. Metode NATM merupakan pendekatan saintifik empirik, yang melibatkan pengalaman praktek yang disebut “emperical dimesioning” (Rabcewicz, 1964). Ini merupakan dasar teoritis yang melibatkan hubungan antara tegangan dan deformasi di sekeliling terowongan (lebih dikenal dengan konsep ground-reaction). Pada awalnya ini merupakan dasar teoritis yang diberikan oleh Fenne dan Kastner.

(10)

Kemudian metode ini dikembangkan dengan menggunakan instrumen in-situ dan pemantauan yang canggih dan menginterpretasikan pengukuran secara saintifik.

4. Rock Quality Designation (RQD, Deere dan kawan-kawan, USA, 1967), untuk “core

logging” dan penerowongan. RQD adalah modifikasi dari persentase dari perolehan inti yang utuh dengan panjang 10 cm atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatrif yang telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi daerah batuan dan kualitasnya, sehingga dapat diputuskan untuk menambah pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya.

5. Rock Structure Rating (RSR, Wickman dan kawan-kawan, USA, 1972), untuk

penerowongan. Konsep RSR memandang dua parameter umum dari faktor yang mempunyai perilaku massa batuan di dalam terowongan yaitu parameter geologi dan parameter konstruksi.

6. Rock Massa Rating System (RMR-System, Bieniawski, Afrika Selatan, 1973), untuk

penerowongan, tambang, lereng dan pondasi. RMR-System menggunakan enam parameter untuk menilai kualitas massa batuan yaitu kuat tekan batuan, RQD, jarak bidang diskontinuitas, kondisi bidang diskontnuitas, kondisi air tanah dan orientasi bidang diskontnuitas.

7. Q-System (Barton, Lien, Lunde, Norway, 1974), untuk penerowongan dan ruang bawah

tanah. Klasifikasi ini juga menggunakan 6 parameter untuk penilaian numerik kualitas massa batuan, yaitu RQD, jumlah set kekar, jumlah set “roughness”, derajat alternasi, aliran airtanah dan kondisi tegangan.

8. Rock Massa Index (Palmstrom, Norway, 1995), untuk “rock engineering”, evaluasi

penyangga, masukan dalam mekanika batuan. Dalam system ini juga memasukkan parameter kuat tekan uniaksial material batuan dan set kekar (bidang diskontinuitas).

7.3. APLIKASI KLASIFIKASI MASSA BATUAN

Hampir semua sistem kalsifikasi massa batuan oleh para penyusunnya ditujukan untuk dapat diterapkan dalam proyek terowongan. Hal ini memang dapat dimengerti, karena suatu kajian kelayakan dan rancangan terowongan dalam batuan memang memerlukan penyelidikan yang lama dan mahal.

(11)

Banyak studi kasus yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah maupun textbook membahas mengenai aplikasi sistem klasifikasi massa batuan pada banyak proyek terowongan di beberapa negara, seperti di India, Norwegia, Korea dan Jepang.

Sistem RMR diketahui banyak diterapkan diberbagai proyek terowongan dan bukan terowongan (Pondasi, lereng dan tambang), tetapi yang paling banyak ialah proyek terowongan.

Sementara itu Hoek dan Brown (1980) mengusulkan suatu metode untuk estimasi kekuatan massa batuan menggunakan Sistem RMR. Modifikasi Sistem RMR banyak dilakukan, diantaranya oleh Unal (1983) untuk analisis stabilitas batuan atap di tambang batubara bawah tanah. Lauffer (1988) merevisi diagram dengan stand-up time khusus untuk penggalian dengan mesin bor terowongan (Tunnel Bor Machine, TBM). Nicholson dan Bieniawski (1986) mengusulkan Sistem RMR untuk menentukan hubungan konstitutif massa batuan. Di tambang batubara bawah tanah, Sistem RMR dipakai untuk memperkirakan kekuatan pilar batubara (Trueman dan kawan-kawan 1992). Di Indonesia sendiri sistem klasifikasi massa batuan ini sebenarnya telah diterapkan sejak sekitar Tahun 1985 di proyek terowongan PLTA Cirata. Sejak itu sistem klasifikasi massa batuan mulai banyak diterapkan di Indonesia.

Di lapangan sistem klasifikasi massa batuan mampu menjadi alat komunikasi yang efektif antara sesama pekerja proyek, mulai dari tingkat drill master, blasting master, foreman dan supervisor. Misalnya setiap perubahan jenis batuan berarti terjadi perubahan kelas dan arti massa batuan. Dengan mudah dapat dimengerti oleh pekerja bahwa jenis penyangga dan penguatan mungkin ada perubahan. Blasting master juga akan segera mengerti bahwa setiap perubahan kelas dan arti massa batuan akan merubah pola pemboran, pola peledakan dan jumlah dan muatan bahan peledak yang harus diisikan.

(12)

7.4. BEBERAPA PERSOALAN DALAM KLASIFIKASI MASSA BATUAN

Dalam penerapan sistem klasifikasi massa batuan, ditemukan keterbatasan dan persoalan, antara lain yang berkaitan dengan ketersediaan data geoteknik. Dari segi keluaran, ada kritik bahwa klasifikasi massa batuan tidak membahas fenomena tegangan di sekitar terowongan, dan tidak diketahui perilaku rheologi massa batuan yang sesungguhnya.

Persiapan penerapan sistem klasifikasi massa batuan telah dimulai sejak tahap penyelidikan geoteknik. Sayangnya dalam beberapa implementasi proyek terowongan dan penggalian lereng, kerap kali dijumpai persoalan klasik yang berkaitan dengan tidak tersedianya data struktur geologi yang memadai. Keadaan ini akan mengakibatkan persoalan serius, karena kurangnya data karakteristik massa batuan. Padahal seperti diketahui bersama, karakteristik massa batuan adalah tahapan terpenting dalam suatu rancangan rekayasa batuan, karena merupakan dasar utama perhitungan dalam rancangan terowongan.

Maka penentuan parameter masukan yang diperoleh pada tahap penyelidikan geoteknik sudah seharusnya menjadi perhatian utama baik ahli geologi teknik, geoteknik/geomekanika maupun perancang terowongan.

Persoalan penyelidikan memang menyangkut banyak aspek dan kepentingan, baik dari segi rekayasa ketersediaan sumberdaya manusia yang terampil dan berpengalaman luas, kendala lapangan yang sulit, dan dana yang tersedia.

Dilain pihak persoalan yang sangat berarti adalah fenomena tegang terinduksi akibat penggalian terowongan. Hal ini hanya dapat dikaji melalui permodelan numerik. Kajian ini memang sangat penting untuk mengetahui kondisi tegangan dan perilaku deformasi massa batuan di sekitar terowongan.

Untuk mengakomodir persoalan-persoalan di atas, seperti pengadaan data struktur geologi dan induksi tegangan di sekitar terowongan, maka perlu dibahas dari berbagai aspek teknik. Sehingga sistem klasifikasi massa batuan memang harus diterapkan secara bersama-sama dengan metode rancangan analitik termasuk permodelan numerik dan jika perlu dilakukan lagi dengan metode observasi.

(13)

7.5. KLASIFIKASI SiTEM-RMR

Untuk saat ini, sistem klasifikasi yang sering dipakai dalam praktek ialah Rock Massa Rating System (RMR-System) yang diusulkan oleh Bieniawski (Afrika Selatan, 1973, direvisi 1979). Di Indonesia, Sistem RMR telah mulai diterapkan di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Cirata (1985) dan proyek PLTA Tulis Banjarnegara, terutama pada tahap penggalian “headrace tunnel. Dan Tambang emas di Pongkor Jawa Barat.

7.5.1. PARAMETER - PARAMETER SISTEM RMR

Sistem RMR menggunakan enam parameter yaitu :

1) Kuat tekan Uniaksial Batuan

2) Rock Quality Designatioan (RQD).

3) Jarak bidang diskontinuitas (Spacing of discontinuities).

4) Kondisi bidang diskontinuitas (Condition of discontinuities).

5) Kondisi Air tanah (Groundwater conditions).

6) Orientation bidang diskontinuitas.

1). Kuat Tekan Uniaksial Batuan

Kuat tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin tekan (compressin machine) untuk memecahkan batuan yang berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu arah (uniaksial) dengan luas perconto A dan panjang perconto l. Pada pengujian ini gaya (kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan regangan (Gambar.7.1). Dengan perolehan data sifat mekanik batuan seperti kuat tekan batuan (c), modulus elastistas (E) dan Poisson Ratio ().

Jika data kuat tekan hasil uji UCS tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat tekan batuan dengan uji “Point Load Strenght Index”, dan jika kedua pengujian tersebut tidak ada maka dapat dilakukan pendekatan “Standard Index Manual” sebagai dasar uji di lapangan (Tabel 7.1)

(14)

Gambar 7.1. Kurva Tegangan – Regangan Hasil Uji UCS

Tabel 7.1. Manual Indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)

Kode Diskripsi Uji Lapangan UCS (MPa)

Index Point Load (MPa) 0 Sangat lemah Bisa ditekan dengan paku 0,25 – 1,0

-1 Lemah

Hancur bila dipukul dengan Palu/dapat digores dengan Pisau

5 – 25

-2 Sedang

Tidak dapat digores dengan

Pisau 25 – 50 <1

3 Kuat Dapat hancur dengan

Memukul lebih dari satu kali 50 – 100 2 – 4 5 Sangat kuat Dapat hancur dengan

Memukul berkali-kali 100 – 250 4 – 10 6 Sangat kuat

sekali

Sulit pecah dipukul dengan

Palu >250 >10

Kemudian Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada tabel 7.2. Tabel 7.2. Klasifikasi Teknis Batuan Utuh (Deere, 1968).

Kekuatan Pemeraian UCS (MPa) Batuan Sangat Lemah 1 - 25 Kalk, Batugaram

Lemah 25 - 50 Batubara, Batulanau, Sekis Sedang 50 - 100 Batupasir, Sabak, Serpih

Kuat 100 - 200 Marmer, Granit, Genis Sangat kuat >200 Kwarsit, Dolerit, Gabro, Basalt 2). Rock Quality Designation (RQD)

Rock Quality Designation (RQD) didefenisikan sebagai persentase perolehan core yang lebih besar dari 10 cm dibagi panjang lubang bor (Gambar 7.2). Yang dapat dituliskan sebagai berikut.

Panjang Core > 10 cm

(15)

Untuk menentukan RQD, International Society for Rock Mechanics (ISRM) merekomedasikan ukuran inti paling kecil dengan berdiameter NX (diameter 54,7 mm) yang dibor dengan alat bot tabung ganda (double tube corel barrels).

Hubungan antara indeks RQD dan kualitas teknik dari batuan adalah sebagai berikut (Deere, 1968).

Tabel 7.3. Hubungan Indeks RQD dengan Kualitas Batuan

RQD (%) Kualitas Batuan < 25 25 – 50 50 – 75 75 – 90 90 – 100

Sangat jelek (very poor) Jelek (poor) Sedang (Fair)

Baik (Good) Sangat baik (execellent)

Gambar 7.2. Prosedur Untuk Pengukur dan Perhitungan RQD (Deere, 1899)

3). Jarak Bidang Diskontinuitas

Bidang diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang lemah yang mungkin berupa kekar, sesar, bidang perlapisan dan perlipatan atau bidang-bidang lainya yang tidak menerus dalam massa batuan.

Suatu rekahan atau kekar yang paralel disebut set, dan set-set yang saling berpotongan disebut “joint set system”. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan jarak bidang kekar (spacing of diskontinuities). Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara pengukuran jarak diskontuitas dapat dilihat pada gambar 6.3. yang menunjukkan idealisasi pengukuran jarak kekar secara normal. Dimana jarak masing-masing kekar ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34 dan seterusnya, yang diukur pada

(16)

Gambar 7.3.

Jarak Bidang Kekar dan Pengukuran Jarak Bidang Kekar di Lapangan.

Sedangkan arah strike/dip kekar yang dijumpai di lapangan tidak semudah yang ditunjukkan oleh gambar 6.3(a), sehingga scan line AB tidak memungkin untuk dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, maka dilakukan pengukuran dan pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (Gambar 7.3b), kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

cos  =  cos(n-s) cos n cos s + sin n sin s 

Dimana :

s = arah dip scan line

d = arah dip kekar

s = dip garis scan line

d = dip kekar

n = 90 - d

d  180o maka n = d + 180

d > 180o maka n = d - 180

Panjang minimum “scan-line” untuk pengukuran jarak diskontinuitas adalah sekitar 50 kali jarak rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan ISRM (1981) panjang ”scan line” cukup sekitar 10 kali saja, tergantung kepada tujuan pengukuran. Jarak diskontinuitas dan keterangannya menurut Attewell (1993) dan Deere (1968) dapat dilihat pada Tabel 7.4. dan Tabel 7.5.

Jarak bidang diskontinuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih set yang saling berpotongan membuat massa batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga memperlemah kekuatan batuan. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika kekar mempunyai kuat geser yang rendah maka blok batuan tersebut dapat jatuh.

(17)

Tabel 7.4. Klasifikasi Jarak kekar Menurut Attewell (1993).

Diskripsi Struktur Bidang Diskontinuitas Jarak (mm) Sangat lebar

Lebar dan luas Lebar sedang

Dekat Sangat dekat

Sangat dekat sekali

Perlapisan sangat tebal Perlapisan tebal Perlapisan sedang

Perlapisan tipis Perlapisan sangat tipis

Sangat berlapis

Perlaisan tipis (Batuan Metamorf & Beku)

Berfoliasi, belahan aliran perlapisan, dll

Perlapisan tipis (sedimen) Sangat berfoliasi, belahan aliran Perlapisan, dll (Batuan metamorf &

Beku) > 2000 600 – 2000 200 – 600 60 – 200 20 – 60 6 – 20 6 – 20 6 – 20 < 20 < 6 < 6

Tabel 7.5. Klasifikasi Jarak kekar Menurut Deere (1968).

Diskripsi Struktur Bidang Diskontinuitas Jarak (mm) Sangat lebar Lebar Cukup dekat Dekat Sangat rapat Padat Masif Blooky/seamy Terpecah Hancur dan tersebar

> 3000 1000 – 3000

300 – 1000 50 – 300

(18)

4). Kondisi Bidang Diskontnuitas

Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughness), regangan (separation), pelapukan batuan samping dan material pengisi.

Kekasaran (Roughness)

Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk kekar yang mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain. Kekasaran yang saling mengunci dan menempel akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan kekar.

Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan diskripsinya diberikan oleh ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala vertikal dan horizontal sama (Gambar 7.4)

Dengan istilah diskripsi sebagai berikut.

- Sangat kasar (very rough surfaces) ; terdapat banyak gelombang yang sangat

berdekatan pada permukaan kekar.

- Kasar (rough surfaces) ; terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas terlihat dan

permukaan kekar terasa sangat abrasif.

- Sedikit kasar (slightly rough surface) ; permukaan kekar dapat dibedakan dan

dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.

- Halus (smooth surfaces) ; permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.

(19)

Gambar 7.4. Profil Kekasaran dan Diskripsinya (ISRM, 1981)

Rengangan (Separation)

Separasi adalah jarak tegak lurus yang memisahkan batuan dinding dari kekar yang terbuka (Gambar 7.5). Kekar yang terisi oleh material lain (misalnya clay) dapat digolongkan sebagai separasi, jika material pengisinya telah tercuci (hilang) secara lokal. Seperasi dapat dikatakan kecil, jika kekasaran didnding kekar cenderung menjadi terkunci dan material pengisi kekar memberikan dukungan terhadap kuat geser.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kuat geser kekar tegantung pada tingkat separasi, ada tidaknya material pengisi, kekasaran permukaan kekar dan sifat material pengisi.

(20)

Gambar 7.5. Ilustrasi Pengertian Separasi

Pelapukan Batuan Samping

Seringkali massa batuan di sisi bidang diskontinuitas mengalami pelapukan dan kadang teralterasi oleh proses hidrotermal. Derajat pelapukan batuan samping dapat ditentukan sebagai berikut.

- Tidak lapuk (unweathered / fresh) ; tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya segar

dan kristalnya tampak jelas, walaupun terdapat beberapa pada kekar ada sedikit pelapukan.

- Sedikit terlapukkan (slightly weathered) ; pelapukan terdapat pada kekar-kekar

terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi hanya sedikit saja, dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.

- Terlapukkan sedang (moderately weathered) ; perubahan warna mencapai bagian

yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas (kecuali pada batuan sedimen dengan penyemenan yang jelek).

- Sangat terlapukkan (highly weathered) ; pelapukan mencapai semua bagian massa

batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa sudah berubah warna, batuan mudah pecah (digali hanya dengan palu geologi).

- Terlapukkan sempurna (completely weathered) ; massa batuan secara keseluruhan

sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta dalam keadaan rapuh, hanya terlihat bekas struktur saja, kenampakan luar sudah seperti tanah (soil).

Material Pengisi

Material pengisi kekar antara lain kalsit, klorit, clay, lanau, kwarsa dan lain sebagainya. Jika kekar terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan tebal, jenis dan

(21)

kemenerusannya. Material pengisi kekar sangat mempengaruhi kekuatan massa batuan, karena mampu sebagai perekat dan sebagai pemisah antar bidang kekar.

5). Kondisi Airtanah

Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran airtanah dalam liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang relatif mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi airtanahnya dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah (wet), menetes (dripping) dan mengalir (flowing).

6). Orientasi Bidang Diskontinuitas

Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Jurus dicatat dengan mengacu pada kutub utara megnet bumi, sedangkan kemiringan adalah sudut yang dibentuk antara bidang horizobtal dengan bidang kekar searah dengan bidang kemiringan.

Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan dengan istilah menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang menguntungkan dalam terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap arah sumbu aksis terowongan, sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah sumbu aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.

7.5.2. PROSEDUR KLASIFIKASI SISTEM RMR

Ada enam langkah dalam menggunakan Sistem RMR :

1. Menghitung bobot (rating) total dalam tabel 7.6. Sesuai dengan kondisi lapangan yang

sebenarnya, yakni dengan menjumlahkan semua rating dari UCS, RQD, jarak diskontinuitas, kondisi diskontinuitas dan kondisi airtanah.

2. Menilai kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang

diskontinuitas seperti yang ditunjukkan pada tabel 7.7.

3. Setelah menentukan kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan

bidang-bidang diskontinuitas, maka ratingnya ditetapkan berdasarkan tabel 7.8. Langkah ini disebut juga sebagai penyesuaian rating (rating adjustment).

4. Menjumlahkan rating yang didapat dari langkah pertama dengan rating yang

didapatkan dari langlah tiga, sehingga diperoleh total rating sesudah pennyesuaian. Dari rating ini dapat diketahui kelas massa batuan berdasarkan tabel 7.9.

(22)

5. Setelah kelas massa batuan diperoleh maka dapat diketahui arti klas massa batuan

dengan memperoleh nilai stand-up time dari massa batuan tersebut dengan span tertentu serta kohesi dan sudut geser dalam-nya seperti yang diperlihatkan oleh tabel 7.10.

6. Berdasarkan klasifikasi Geomekanika ini, Bieniawski memberikan petunjuk untuk

penggalian dan penyangga terowongan batuan dalam hubungan dengan sistem RMR (Tabel. 7.11). Petunjuk ini hanya berlaku untuk terowongan dibatuan dengan lebar 10 m, berbentuk tapal kuda, tegangan vertikal lebih kecil dari 25 MPa, serta metode penggalian dengan pemboran dan peledakan.

Tabel 7.6. Parameter Klasifikasi dan Pembobotan

Parameter Selang Nilai

1

Kuat Tekan Batuan

Utuh

PLI (MPa) > 10 4 - 10 2 – 4 1 - 2 Untuk nilai yang kecil di pakai hasil UCS UCS (MPa) > 250 100 – 200 50 – 100 25 – 50 5-25 1-5 Pembobotan 15 12 7 4 2 1 2 RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 - 50 25 Pembobotan 20 17 13 8 3 3 Jarak Diskontinuitas > 2 m 0,6 – 2 m 200 - 600 mm 60 – 200 mm < 60 mm Pembobotan 20 15 10 8 5 4 Kondisi Diskontinuitas Permukaan sangat kasar, tidak menerus, tidak renggang, tidak lapuk Agak kasar, separasi < 1 mm, agak lapuk Agak kasar, separasi < 1 mm, sangat lapuk Slikensided/gouge < 5 mm, atau separasi 1 – 5 mm, menerus

Gouge lunak > 5 mm, atau separasi > 5 mm, menerus Pembobotan 30 25 20 10 0 5 A ir ta na h Aliran / 10 m panjang tunnel (L/min) Tidak ada < 10 10 – 25 25 – 125 > 125 Tekanan pori dibagi tegangan utama 0 < 0,1 0,1 – 0,2 0,2 – 0,5 > 0,5

(23)

Keadaan Umum Kering Lembab Basah Menetes Mengalir

Pembobotan 15 10 7 4 0

Tabel 7.7. Efek Jurus/kemiringan Diskontinuitas di dalam Penerowongan

Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan Arah jurus sejajar sumbu

terowongan

Mengabaikan Jurus Maju Searah Kemeringan Maju Melawan Kemiringan

Dip 45o – 90o Dip 20o – 45o Dip 45o – 90o Dip 20o – 45o Dip 45o – 90o Dip 20o – 45o Dip 0o – 20o Sangat Mengun-tungkan Mengun-tungkan Sedang Tidak Mengun-tungkan Sangat tidak

Mengun-tungkan Sedang Sedang

Tabel 7.8. Penyesuaian Pembobotan Orientasi Bidang Diskontinuitas

Jurus dan Kemiringan Orientasi Diskontinuitas Sangat Mengun-tugkan Mengun-tungkan Sedang Tidak Mengun-tungkan Sangat tidak Menguntungkan Pembobotan Terowongan 0 -2 -5 -10 -12 Pondasi 0 -2 -7 -15 -25 Lereng 0 -5 -25 -50 -60

Tabel 7.9. Kelas Massa Batuan Yang Ditentukan Dari Pembobotan Total

(24)

No. Kelas I II III IV V Diskripsi Sangatbaik Baik Sedang Jelek Sangat Jelek

Tabel 7.10. Arti Kelas Massa Batuan

No. Kelas I II III IV V

Stand-up time Rata-rata 20 Tahun untuk span 15 m 6 Bulan untuk span 8 m 1 Minggu untuk span 5 m 10 jam untuk span 2,5 m

30 Menit untuk span 1 m

Kohesi Massa Batuan (Kpa) > 400 300 – 400 200 – 300 100 – 200 < 100

Sudut Geser Dalam Massa

Batuan (derajat) > 45 35 – 45 25 – 35 15 – 25 < 15

Bieniawski (1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga (stand-up time) denga span untuk berbagai kelas masssa batuan menurut klasifikasi geomekanikan seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 7.6. Hubungan ini sangat penting sekali diketahui pada saat penggalian terowongan.

Gambar 7.6. Hubungan Antara Stand-up time dengan Span Untuk Berbagai Kelas Massa Batuan

Tabel 7.11. Petunjuk Untuk Penggalian dan Penyangga Terowongan Batuan Dengan Klasifikasi Sistem RMR

KELAS MASSA BATUAN PENGGALIAN PENYANGGAAN ROCK BOLT (20 mm

Dia, Fully Grouted) SHOTCRETE STEEL SETS Batuan Sangat

Baik (Kelas I) RMR 81 - 100

Full Face, dengan Kemajuan 3 m

Umumnya tanpa penyanggaan, adakalanya pengukuran dilakukan untuk memakai “spot bolting”

Batuan Baik (Kelas II) RMR 61 - 80

Full Face, dengan kemajuan 1 – 1,5 m penyangga komplet 20 m

Lokalisasi, bolts pada atap sepanjang 3 m adakalanya dengan wire

(25)

dari face mesh

Batuan Sedang (Kelas III) RMR 41 – 60

Top heading dan bench, dengan kemajuan 1,5 – 3

m. Penyanggan dimulai setelah peledakan dan 10

m dari face.

Bolt Sistematis panjang 4 m dengan spasi 1,5 – 2 m di atap dan

di dinding. Pada atap dibuat dengan wire

mesh. 50 – 100 mm di atap dan 30 mm di dinding (sides). Tidak ada Bantuan jelek (Kelas IV) RMR 21 – 40

Top heading dan bench, dengan kemajuan 1 – 1,5

di top heading. Lakukan penyanggaan setiap 10 m

penggalian dari face.

Bolt sistematis panjang 4 – 5 m dengan spasi 1 – 1,5 m di atap dan di

dinding dengan wire mesh. 100 – 150 mm di atap dan 100 mm di dinding (sides) Ribs ringan – sedang dengan spasi 1,5 m Batuan Sangat Jelek (Kelas V) RMR < 20

Multiple drifts dengan kemajuan 0,5 – 1,5 m di

top heading. Buat penyangga setiap

penggalian. Shotcrete d segera

dipasang setelah peledakan.

Bolt sistematis panjang 5 – 6 m dengan spasi 1 – 1,5 m di atap dan di

dinding dengan wire mesh. Buat Bolt di

lantai (invert)

150 – 200 mm di atap, 150 mm di dinding (sides), dan 50 mm pada

face

Rib sedang – berat dengan spasi 0,75 m dengan steel

lagging dan forepoling.

6.5.3. KASUS

Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat akan mengkonstruksi drift footwall 700 Ciurug. Kontruksi drift tersebut berbentuk segiempat dengan sudut-sudutnya membundar. Panjang drift 90 m dengan geometri lubang bukaan 3 m x 3 m dengan data pada tabel berikut ini.

Tabel 7.12. Data Massa Batuan dan Kondisi Geologi Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat

NO URAIAN ZONA I ZONA II ZONA III

1. 2. 3. 4. 5. 6. Panjang drift Jenis batuan Kuat Tekan batuan

utuh (UCS) Kualitas Inti Batuan (RQD) Spasi Rekahan Kondisi Rekahan 40 m Tufa breksi 36 MPa 85,75 % 150 mm Menerus, agak kasar, renggang, < 1 mm dan lapuk 11 m Andesit 72 MPa 92,2 % 400 mm Sangat kasar, tidak

menerus, tidak renggang dan tidak

lapuk 39 m Tufa breksi 36 MPa 67,7 % 300 mm Agak kasar, renggang < 1 mm dan lapuk

(26)

7. 8.

Kondisi Airtanah Orientasi Rakahan

Basah Relatif tegak lurus

drift dengan arah umum N 289o E/20o

Basah Relatif tegak lurus

drift dengan arah umum N 335o E/25o

Basah Relatif tegak lurus drift dengan

arah umum N346oE/22o

Dari Tabel 7.12 terlihat bahwa dilakukan pembagian zona di sepanjang 90 m drift. Pembagian zona ini berdasarkan perubahan jenis batuan yakni zona I batuan tufa breksi, zona II batuan andesit dan Zona III dijumpai kembali batuan tufa breksi. Dari ketiga zona ini akan dilakukan pembagian kelas dan arti massa batuan. untuk merekomendasikan penyanggaan. Dengan perubahan jenis batuan tersebut tentunya akan berubah kelas dan arti massa batuan. Maka rekomendasi penyanggaan yang dibutuhkan juga tidak akan sama pada masing-masing zona. Sehingga dapat memberikan kontribusi nilai ekonomis dengan tidak mengabaikan aspek stabilitas terowongan. Untuk masing-masing zona akan di analisis sebagai berikut.

Zona I

Zona I dengan panjang drift 40 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan dilakukan pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.13)

Tabel 7.13. Pembobotan Data-Data Zona I

NO URAIAN ZONA I PEMBOBOTAN

(27)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kuat Tekan batuan utuh (UCS) Kualitas Inti Batuan (RQD) Spasi Rekahan Kondisi Rekahan Kondisi Airtanah Orientasi Rakahan 36 MPa 85,75 % 150 mm Menerus, agak kasar, renggang, < 1 mm dan

lapuk Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum

N 289o E/20o 4 17 8 25 7 -2 Pembobotan Total 59

Dari pembobotan total 59 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan Sedang (lihat Tabel 7.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi sebesar 200 – 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o – 35o (Tabel 7.10).

Zona II

Zona II dengan panjang drift 11 m dan mempunyai batuan andesit akan dilakukan pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.14)

(28)

Tabel 7.14. Pembobotan Data-Data Zona II

NO URAIAN ZONA II PEMBOBOTAN

SISTEM RMR 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kuat Tekan batuan utuh (UCS) Kualitas Inti Batuan (RQD) Spasi Rekahan Kondisi Rekahan Kondisi Airtanah Orientasi Rakahan 72 MPa 92,2 % 400 mm Sangat kasar, tidak menerus, tidak renggang

dan tidak lapuk Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum

N 335o E/25o 7 20 10 30 7 -2 Pembobotan Total 72

Dari pembobotan total 70 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas II dengan Batuan Baik (lihat Tabel 7.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Tahun untuk span 10 m, kohesi sebesar 300 – 400 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 35o – 45o (Tabel 7.10).

Zona III

Zona III dengan panjang drift 39 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan dilakukan pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.15)

(29)

Tabel 7.15. Pembobotan Data-Data Zona III

NO URAIAN ZONA III PEMBOBOTAN

SISTEM RMR 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kuat Tekan batuan utuh (UCS) Kualitas Inti Batuan (RQD) Spasi Rekahan Kondisi Rekahan Kondisi Airtanah Orientasi Rakahan 36 MPa 67,7 % 300 mm Agak kasar, renggang

< 1 mm dan lapuk

Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum

N346oE/22o 4 13 10 25 7 -2 Pembobotan Total 57

Dari pembobotan total 57 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan Sedang (lihat Tabel 6.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi sebesar 200 – 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o – 35o (Tabel 7.10).

Gambar

Tabel 2. Jn 3. Jr (Joint Roughness Number)
Tabel 7. Jw 6. SRF (Stress Reduction Factor)
Tabel 8. SRF (1)
Tabel 10. ESR Misalkan perhitung nilai Q :
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa metalanau sebagai litologi yang mengandung uranium di Sektor Lemajung mempunyai nilai rock mass rating (RMR) sebesar 56 atau kelas massa batuan III: fair rock pada kedalaman

Berdasarkan penilaian kestabilan lereng menggunakan Slope Mass Rating (Romana, 1993) menunjukkan bahwa kualitas massa batuan IV termasuk lereng yang buruk sehingga kondisi

Metode penyelesaian masalah dalam penelitian ini berdasarkan klasifikasi massa batuan dari Bieniawski (1989) yaitu Rock Mass Rating System (RMR) yang terdiri dari kuat tekan

Dari identifikasi topografi tersebut dibuat model sesuai kondisi yang terjadi untuk mengetahui laju infiltrasi pada massa batuan yang longsor, Perubahan tekanan pori

KAJIAN KLASIFIKASI MASSA BATUAN TERHADAP STABILITAS LERENG DAN PENENTUAN KEKUATAN JANGKA PANJANGNYA PADA OPERASI PENAMBANGAN BINUNGAN PT. BERAU COAL..

Parameter kuat tekan, porositas, densitas atau transit time batuan adalah urutan prioritas sifat batuan untuk prediksi drilabilitas batuan, khususnya di cekungan Jawa Barat

sistem pengelompokan batuan Rock mass clasification yang telah dikembangkan seperti RSR “Rock Structur Rating” Wickham et al., 1972, RMR “Rock Mass Rating” Bienieawski, 1973, 1975,