77
Analisis Priksimasi dan Nilai Kalor Bioarang Sekam Padi
sebagai Bahan Baku Briket Hybrid
M. Jahiding
1), L.O. Ngkoimani
2), E. S. Hasan
3), Hasria
4)dan S. Maymanah
5)1,3,5)
Laboratirum Fisika Material dan Energi Fakultas MIPA Universitas Haluoleo Tlp/Fax : 0401-3193929/0401-3190496, E-mail : muhjahiding68@yahoo.com
2,4,5)
Laboratorium Fisika Bumi Fakultas MIPA Universitas Haluoleo Tlp/Fax : 0401-3193929/0401-3190496
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang analisis proksimasi dan nilai kalor bioarang sekam padi sebagai bahan baku briket hybrid. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakter dan nilai kalor bioarang sekam padi menggunakan metode proximate. Bahan baku berupa ampas sekam padi dikarbonasui pada tanur listrik dengan temperatur 3000 C, kemudian digerus dan diayak untuk memperoleh ukuran butiran sebesar 0,15 mm, 0,18 mm dan 0,21 mm. Karbon aktif sekam padi kemudian diaktivasi pada chamber bertekanan vakum dengan temperatur 4000 C, 5000 C, 6000 C dan 7000 C sambil mengalirkan gas argon ke dalam Chamber. Karbon aktif hasil aktivasi lalu dibuat briket menggunakan perekat kanji dengan perbandingan 9:1, 8:2 dan 7:3. Selanjutnya ditentukan kadar air, kadar abu, volatile matter,fixed karbon dan nilai kalor menggunakan metode proximate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biobriket sekam padi memiliki kadar air 3,33 %, kadar abu 5 %, volatile matter 18,33 %, fixed karbon 73,34 %, dan nilai kalori sebesar 4678,678 kkal/kg. Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa biobriket sekam padi sangat baik dipadukan dengan briket batubara sebagai bahan baku briket hybrid.
Kata Kunci: Bioarang sekam padi , analisis proximate. nilai kalor
1. Pendahuluan
Peningkatan
harga
bahan
bakar
minyak dunia yang cukup pesat akhir-akhir ini
sangat berdampak pada meningkatnya harga
jual bahan bakar minyak termasuk minyak
tanah dan gas bumi di Indonesia. Saat ini,
pemerintah Indonesia mensubsidi bahan bakar
minyak tanah sekitar 49 triliun rupiah per
tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
sekitar 10 juta kilo liter per tahun. Pemerintah
mengurangi beban subsidi tersebut dengan
cara mengalihkan subsidi yang ada menjadi
subsidi langsung kepada masyarakat miskin.
Untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan
bakar
minyak
diperlukan
bahan
bakar
alternatif yang murah dan mudah diperoleh.
Salah satu sumber energi alternatif
yang bisa dikembangkan sebagai bahan bakar
alternatif adalah energi biomassa dan batubara
muda. Indonesia sebagai negara agraris banyak
menghasilkan limbah pertanian yang kurang
termanfaatkan. Data statistik menunjukkan
bahwa luas lahan pertanian yang menghasilkan
sampah sekam padi khususnya di Sulawesi
Tenggara tahun 2007 adalah 110.498 ha
dengan produksi 423.317 ton gabah kering
giling. Limbah pertanian yang merupakan
biomassa tersebut merupakan sumber energi
alternatif yang melimpah, dengan kandungan
energi yang relatif besar. Selain sekam padi
potensi batubara di Sulawesi Tenggara juga
sangat besar yaitu 9.000.000 juta ton yang
tersebar di daerah pulau Wawonii, Kabupaten
Konawe dan Kabupaten Kolaka Utara
[2].
Dalam penelitian ini dikembangkan
salah satu jenis bahan bakar alternatif yang
merupakan paduan pemanfaatan sampah
pertanian dengan sumber daya alam berupa
batubara yang cadangannya sangat besar dan
hampir ditemukan di semua daerah. Bahan
bakar yang dimaksud adalah briket
hybrid
yang merupakan perpaduan biobriket dari
limbah pertanian dengan briket batubara.
Kedua jenis briket ini memiliki kelebihan dan
kekurangan
masing-masing,
sehingga
diharapkan dengan perpaduan kedua jenis
briket ini melahirkan briket
hybrid
dengan
kualitas yang handal dibandingkan dengan
briket yang sudah ada selama ini.
1.2
Limbah Sekam Padi
Sekam padi merupakan lapisan keras
yang meliputi
kariopsis
yang terdiri dari dua
belahan yang disebut
lemma
dan
palea
yang
saling bertautan. Pada proses penggilingan
beras sekam akan terpisah dari butir beras dan
menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan.
Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang
dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan
seperti bahan baku industri, pakan ternak dan
energi
atau
bahan
bakar. Dari
proses
penggilingan padi biasanya diperoleh sekam
sekitar 20-30% dari bobot gabah, dedak antara
8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data
bobot awal gabah.
Sekam (kulit padi) merupakan hasil
samping
dari
produksi
pertanian
yang
keberadaannya cukup melimpah di indonesia.
Sekam padi adalah bagian terluar dari padi
yang merupakan hasil samping pada saat
proses penggilingan
[5]. Sekam padi sebagian
besar terdiri dari serat kasar yang berguna
untuk menutupi kariopsis. Sebagian besar
sekam terdiri dari solulosa sehingga dapat
digunakan sebagai bahan bakar yang merata
dan stabil
[1].
Sekam padi bila telah dibakar salah satu
bagiannya merupakan mineral zeolit. Mineral
ini mampu menyerap bau ataupun asap.
Ditinjau dari data komposisi kimiawi, sekam
mengandung beberapa unsur kimia penting.
Komposisi kimia sekam padi mengandung
kadar air sebesar 9,02%, protein kasar sebasar
3,03%, lemak sebesar 1,18%, serat kasar
sebesar 35,68%, kadar abu sebesar 17,17% dan
karbohidrat dasar sebesar 33,71%. Sedangkan
menurut DTC
–
IPB, komposisi kimia sekam
padi mengandung karbon (zat arang) sebesar
1,33%, hidrogen sebesar 1,54%, oksigen
sebesar 33,64% dan silika sebesar 16,98%.
Salah satu manfaat dari arang padi
adalah pembuatan biobriket, dimana kualitas
dari biobriket sekam padi (bioarang) ini tidak
kalah dengan batu bara atau bahan bakar jenis
arang lainnya.
Briquetting
terhadap suatu
material merupakan cara mendapatkan bentuk
dan ukuran yang dikehendaki agar dapat
dipergunakan untuk keperluan tertentu. (josep
dan
Hislop,
1981).
Kualitas
biobriket
(bioarang) ditentukan oleh bahan pembuat/
penyusunnya, sehingga mempengaruhi kualitas
nilai kalor, kadar air, kadar abu, kadar bahan
menguap, dan kadar karbon terikat pada
biobriket tersebut.
1.3 Batubara Muda
Batubara adalah bahan bakar yang
terbentuk dari fosil yang sudah dikenal
dimana-mana, yaitu dari tanaman yang telah
membusuk dan kemudian tertekan ke bawah
oleh pertumbuhan lapisan-lapisan baru dan
tanah yang terbentuk diatasnya. Batubara
terbentuk dengan cara yang sangat komplek
dan memerlukan waktu yang lama mencapai
puluhan sampai ratusan juta tahun dibawah
pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan
geologi
[10]. Batubara merupakan salah satu
batuan sedimen organik yang dapat terbakar
karena berasal dari sisa-sisa kehidupan dan
menjadi padat setelah tertimbun oleh lapisan
diatasnya
[6].
Lapisan batubara terletak di bawah
permukaan tanah, pasir, padas, cadas dan
lempung biru. Ada kalanya beberapa meter
bahkan mencapai lebih dari sepuluh meter di
bawah permukaan bumi. Batubara terdapat
berlapis-lapis di dalam tanah. Lapisan yang
teratas merupakan tanah yang terdiri dari
berbagai campuran. Sedangkan di bawahnya
terdapat lapisan batubara dengan ketebalan
lapisan teratas batubara sekitar 3 sampai 12
meter. Di bawah lapisan batubara tersebut
terdapat lagi lapisan tanah bercampur pasir,
kerikil, lempung biru, tanah liat dan sisa-sisa
letusan gunung berapi, kemudian di bawahnya
terdapat lagi lapisan batubara, dan seterusnya
hingga 6 lapisan. Bagian paling atas tertutup
tanah dan diantara lapisan-lapisan batubara
tersebut terdapat lapisan tanah bercampur pasir
yang membatu. Jadi, lapisan batubara itu diapit
oleh lapisan batuan sedimen bercampur batuan
amorf dalam bentuk pasir, lempung dan tanah
yang membatu.
Batubara pada dasarnya adalah karbon
(C) yang didapat dari tambang dengan kualitas
berbeda-beda karena tercampur dengan
bahan-bahan lain yang tergantung pada kondisi
tambangnya. Hal-hal yang menentukan mutu
batubara antara lain adalah nilai kalorinya.
Karena batubara berasal dari fosil tumbuhan
yang tertimbun di dalam tanah, maka semakin
tua umurnya semakin tinggi nilai kalorinya
[11].
Secara umum batubara digolongkan
menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan tertinggi
hingga
tingkatan
terendah)
berdasarkan
kandungan relatif antara unsur karbon (C) dan
air (H
2O) yang terdapat dalam batubara, yaitu :
antrasit, bituminous, sub bituminous, lignit dan
gambut (peat). Pada antrasit, kandungan C
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan H
2O. Sedangkan pada bituminous
dan gambut kandungan C relatif lebih rendah
dibandingkan dengan kandungan H
2O. Pada
bituminous kandungan unsur C relatif lebih
rendah dibandingkan dengan kandungan unsur
C pada antrasit, dan sebaliknya kandungan
H
2O pada bituminous relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungan H
2O pada
antrasit
[10].
Batubara lignit merupakan batubara
yang paling lunak dan kepadatannya masih
dalam tingkat pertama. Dari pandangan
geologi, lignit merupakan batubara termuda
karena tersusun dari bahan yang mudah
menguap dan kandungan air dengan kadar
fixed
carbon
yang
rendah.
Batubara
bituminous juga merupakan batubara muda
yang biasanya dipakai di rumah-rumah dan
pabrik karena mempunyai kandungan
volatile
matter
yang cukup, tetapi nilai kalorinya relatif
tinggi sehingga dapat menghasilkan suhu nyala
yang lebih tinggi (Sukandarrumidi, 1995).
Sedangkan antrasit, merupakan batubara yang
paling keras dan tidak berasap jika dibakar.
Salah satu ciri dari batubara antrasit adalah
memiliki kadar hidrokarbon yang rendah.
Batubara jenis antrasit ini merupakan batubara
tertua jika dilihat dari sudut pandang geologi
karena merupakan batubara keras, tersusun
dari komponen utama karbon dengan sedikit
kandungan bahan yang mudah menguap dan
hampir tidak berkadar air
[11].
Batubara bersifat heterogen, baik
ditinjau dari komposisi kimia dan sifat
fisiknya. Sifat fisik batubara termasuk nilai
panas, kadar air, bahan mudah menguap dan
abu. Sifat kimia batubara tergantung dari
kandungan berbagai bahan kimia seperti
karbon, hidrogen, oksigen, dan sulfur. Nilai
kalor batubara beraneka ragam dari tambang
batubara yang satu ke yang lainnya.
2. Metode Penelitian
2.1 Pembuatan Biobriket
Pembuatan biobriket sekam padi
dilakukan dengan beberapa tahapan yang
diuraikan sebagai berikut:
2.1.1
Pembuatan
Arang/Karbon
Aktif
Sekam Padi
Proses pembuatan arang briket dari
sekam padi diawali dengan pengeringan sekam
padi yang kemudian dikarbonisasi pada tanur
listrik selama 2 jam dengan temperatur 300
0C.
Selanjutnya karbon aktif sekam padi digerus
dan diayak dengan ukuran butiran 0,15 mm,
0,18 mm dan 0,21 mm. Setiap sampel
kemudian diaktivasi pada cahmber bertekanan
vakum dengan temperatur 400
0C, 500
0C,
600
0C dan 700
0C sambil mengalirkan gas
argon ke dalam chamber. Karbon aktif yang
sudah diaktivasi, kemudian dicampur dengan
bahan
perekat
(kanji)
menggunakan
homogenizer
dengan perbandingan 9:1, 8:2
dan 7:3. Kabron aktif sekam padi siap dicetak
menjadi biobriket sekam padi.
2.1.2 Mencetak Biobriket
Membuat cetakan briket dalam bentuk
silinder berlubang dan kubus berlubang untuk
mencetah briket seperti Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Desain Briket Hybrid
2
.2 Analisis Biobriket Sekam Padi
2.2.1 Kadar Air
Kadar air biobriket/bioarang dari
ampas
sekam
padi
ditentukan
dengan
menggunakan persamaan berikut :
Kadar Air (%)
2.2.2 Kadar Abu
Kadar abu biobriket/bioarang dari
ampas sekam padi ditentukan menggunakan
tanur pemanasan yang memiliki suhu sampai
6000
0C dan desikator pendingin. Prosentase
kadar abu dihitung penggunakan rumusan
W1/W2 x (100 %), dimana
W1 berat abu dan
W2 berat sampel yang dikeringkan.
2.2.3 Volatile Matter
Kandungan
volatile
matter
biobriket/bioarang dari ampas sekam padi
dapat ditentukan menggunakan persamaan :
2.2.4 Fixed Carbon (Karbon Terikat)
Kadar karbon terikat (
fixed
karbon)
biobriket/bioarang dari ampas sekam padi
dapat ditentukan dengan rumusan FC = 100 -
(Ka + Vm + Abu) dimana Ka adalah kadar air,
Vm
volatile matter
dan abu adalah kadar abu.
2.2
.5 Nilai Kalor
Nilai kalor biobriket/bioarang dari
ampas sekam padi dianalisis menggunakan
Kalorimeter Bomb. Kalibrasi pembakaran alat
dilakukan dengan menggunakan asam benzoat
sebagai standar untuk memperoleh Tara Energi
(W).
Untuk
memperoleh
nilai
kalor
biobriket/bioarang dari ampas sekam padi
digunakan rumusan sebagai berikut :
dimana M berat massa benzoat,
Δ
t suhu asam
benzoat, W tara energi, E nilai kalor
pembakaran dan 6320 nilai kalor/1 gr asam
benzoat.
Tabel 1. Analisis proksimasi biobriket sekam padi
No Ukuran butiran (mm) Komposisi (arang : perekat)
Analisis proksimasi (% berat)
Kalori (kal/gr) Kadar air Volatile matter Kadar abu Fix carbon 1 0,21 9:1 2,00 16,67 8,33 73,00 4595,912 8:2 2,67 16,67 7,33 73,33 4645,770 7:3 3,33 18,33 5,00 73,34 4678,678 2 0,18 9:1 2,33 14,33 12,33 71,01 3256,963 8:2 2,67 18,00 8,33 71,00 3925,938 7:3 3,00 18,33 7,67 71,00 4291,680 3 0,15 9:1 2,33 14,33 14,00 69,34 3405,276 8:2 3,00 16,00 11,67 69,33 3162,727 7:3 3,00 18,33 9,67 69,00 3445,044
3. Hasil dan Pembahasan
3.1
Analisis Kadar Air
Biobriket sekam padi yang dihasilkan,
kemudian dilakukan karakterisasi kadar abu,
kadar air,
volatile matter
,
fixed
carbon dan
nilai
kalori.
Hasil
analisis
proksimasi
ditunjukkan pada Tabel 1.
Hasil analisis
proximate
menunjukkan
bahwa kadar air setelah proses
pressing
dan
pengeringan kurang dari 5 %. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh
cukup baik karena memenuhi standar kadar air
yang terkandung dalam bahan bakar briket
arang. Kadar air yang terkandung dalam briket
mempengaruhi nilai kalor briket, dengan
korelasi yang berbanding terbalik. Hubungan
antara ukuran butiran arang sekam padi
terhadap kadar air untuk tiap komposisi briket
ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kadar Air Biobriket Sekam Padi
Gambar 2, menunjukkan bahwa kadar
air terendah yaitu pada briket dengan ukuran
butiran arang 0,21 mm dan perekat 10 %.
Persentase perekat yang semakin tinggi dalam
komposisi briket merupakan faktor yang
menentukan tingginya kadar air briket,
sedangkan ukuran butiran arang sekam padi
tidak memperlihatkan perbedaan berarti. Hal
ini dikarenakan persentase penggunaan air
yang sama dalam pencampurannya untuk
variasi ukuran butiran arang sekam padi.
3.2
Analisis Kadar Abu
Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa persentase kadar abu dari setiap sampel
berkisar antara 5 - 14 %. Hubungan antara
ukuran butiran arang sekam padi terhadap
kadar abu untuk tiap komposisi briket
ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3. Kadar Abu Biobriket Sekam Padi
Gambar
3.
menunjukkan
bahwa
ukuran butiran sangat mempengaruhi tingginya
kadar abu. Untuk briket dengan ukuran butiran
0,15 mm dan perekat 10% memiliki kadar abu
lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi
yang lain. Ukuran butiran arang dan persentase
jumlah perekat menunjukkan korelasi yang
nyata terhadap kadar abu, dimana ukuran
butiran dan persentase penambahan perekat
berbanding terbalik terhadap kadar abu briket.
Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran
butiran arang akan lebih cepat menjadi abu
pada proses pengeringan.
Gambar 4. Volatile Matter Biobriket Sekam Padi 0 1 2 3 4 0.21 0.18 0.15 Ka d a r a ir ( % )
Ukuran partikel Sekam padi (mm)
9 arang :1 perekat 8 arang : 2 perekat 7 arang : 3 perekat
0 5 10 15 0.21 0.18 0.15 Ka d a r A b u ( % )
Ukuran butiran arang sekam padi (mm)
9 arang : 1 perekat 8 arang : 2 perekat 7 arang : 3 perekat
0 5 10 15 20 0.21 0.18 0.15 K adar V ol at il e m at te r (%)
Ukuran butiran arang sekam padi (mm)
3.3
Analisis Volatile Matter
Dari hasil pengujian kadar
volatile matter
biobriket yang telah dilakukan didapatkan
bahwa kadar
volatile matter
dari setiap sampel
berkisar antara 14,33
–
18,33 %. Hubungan
antara ukuran butiran arang sekam padi
terhadap kadar
volatile matter
untuk tiap
komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 4.
Hasil yang diperoleh menunjukan
bahwa kandungan
volatile metter
tertinggi
diperoleh pada briket dengan komposisi 70 %
arang sekam padi dan 30 % perekat. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya persentase perekat
yang membuat semakin tingginya kadar
volatile matter
briket. Kondisi tersebut
mengindikasikan bahwa kadar
volatile matter
perekat lebih tinggi dari pada arang sekam
padi yang telah dikarbonasi. Pada proses
karbonisasi sekam padi,
fixed
karbon akan
meningkat,
sedangkan
untuk
kandungan
volatile matter
menurun. Untuk variasi ukuran
butiran arang sekam padi tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti terhadap besarnya
kadar
volatile metter
.
3.4
Analisis Kadar Fixed Karbon
Dari hasil pengujian kadar
fixed
karbonn biobriket didapat persentase karbon
terikat dalam briket berkisar antara 69,0
–
73,34 %. Hubungan antara ukuran butiran
arang sekam padi terhadap kadar karbon
terikat untuk tiap komposisi briket ditunjukkan
pada Gambar 5.
Gambar 5. Fixed Karbon Biobriket Sekam Padi
Hasil yang diperoleh menunjukan
bahwa kadar fix karbon yang dimiliki briket
arang sekam padi untuk ukuran butiran 0,21
mm lebih tinggi di banding yang lainnya. Hal
ini dipengaruhi oleh kadar abu yang semakin
rendah dengan semakin besarnya ukuran
butiran arang sehingga menyisakan kadar
fixed
karbon yang lebih tinggi. Variasi persentase
perekat tidak memperlihatkan perbedaan yang
cukup berarti terhadap kadar
fixed
karbon.
Keadaan ini mengindikasikan kandungan
karbon dari arang sekam padi yang sebanding
dengan perekat pati ubi.
3.5
Analisis Nilai Kalor
Hasil pengujian nilai kalor biobriket
yang telah dilakukan didapat nilai kalor per
unit massa dari setiap sampel berkisar antara
3162,727
–
4678,678 kkal/kg. Hubungan
antara ukuran butiran arang sekam padi
terhadap kalori pembakaran untuk tiap
komposisi briket ditunjukkan pada Gambar
3.5.
Gambar 6. Nilai Kalor Biobriket Sekam Padi
Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa nilai kalor tertinggi didapat pada briket
dengan persentase perekat 30 %. Dari ketiga
ukuran butiran arang sekam padi yang
digunakan, nilai kalor tertinggi didapat pada
briket dengan ukuran butiran arang 0,21 mm.
Briket dengan ukuran butiran arang 0,21 mm
dan perekat 30 % menghasilkan nilai kalor
maksimal sebesar 4678,678 kkal/kg, apabila
dibandingkan dengan briket dengan persentase
perekat 10 - 20 % yang mempunyai karbon
terikat
yang
hampir
sama,
namun
menghasilkan kalori yang lebih rendah. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh persentase
volatile
matter
dalam briket
[5].
Untuk komposisi briket dengan ukuran
butiran arang 0,15 mm dan 20 % perekat
60 62 64 66 68 70 72 74 0.21 0.18 0.15 K adar Fi x C arbon (%)
Ukuran butiran arang sekam padi (mm)
9 arang : 1 perekat 8 arang : 2 perekat 7 arang : 3 perekat
0 1000 2000 3000 4000 5000 0.21 0.18 0.15 K al or B ak ar (K .K al /K g )
Ukuran butiran arang sekam padi (mm) 9 arang : 1 perekat 8 arang : 2 perekat 7 arang : 3 perekat
menghasilkan kalor bakar paling rendah, hal
ini
dikarenakan
kerapatan
briket
juga
berpengaruh terhadap nilai kalor. Jika semakin
tinggi kerapatan maka cenderung akan
meningkatkan kalor karena ikatan antar
partikel yang lebih kuat sehingga akan
menghasilkan panas yang lebih baik. Akan
tetapi apabila kerapatannya terlalu tinggi maka
akan menyulitkan proses pembakaran sehingga
nilai kalor menurun
[9].
4. Kesimpulan
Melalui tahap pembuatan briket arang
sekam padi didapatkan komposisi briket yang
paling optimal pada ukuran butiran arang 0,18
mm dan persentase perekat 10 % sehingga
nilai susut massanya paling rendah yaitu
sebesar 8,67 %.
Melaui tahap pengujian
proximate
briket
arang sekam padi didapatkan komposisi briket
yang paling optimal pada ukuran butiran
arang 0,21 mm dan persentase perekat 30 % .
Hasil yang diperoleh yaitu 3,33 % kadar air ,
18,33 % kadar
volatile metter
, 5 % kadar abu,
73,34 % kadar
fixed
karbon menghasilkan
kalori pembakaran paling tinggi sebesar
4678,678 kkal/kg .
Nilai
kalor
briket
ditentukan
oleh
kandungan
volatile matter
dan
fixed
karbon,
semakin tinggi
volatile matter
briket nilai
kalornya semakin tinggi untuk nilai
fixed
karbon yang sama.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana dalam penelitian ini melalui DIPA Unhalu pada program Voucher Multi Tahun (Hibah Bersaing) tahun 2011.
Daftar Pustaka
[1]. Aripin, M. Jahiding, Nur Untoro, 2008,
“Pelatihan Pemanfaatan Briket sebagai Bahan
Bakar Alternatif Pengganti Minyak Tanah dan Gas Untuk Rumah Tangga di Kecamatan
Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan”.
Laporan Pengabdian Masyarakat yang dibiayai oleh The Development and
Upgrading of Haluoleo University Project. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Unhalu,
[2]. Arnold, Guy. 1987. Batubara. PT Pradnya Paramita. Jakarta
[3]. Badan Pusat Statistika Provinsi Sultra, 2004. Produksi Tanaman Padi, Palawija, Sayuran dan Buah-Buahan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
[4]. Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sulawesi Tenggara, 2007. Laporan Penyelidikan Batubara Kec. Ngapa Kab. Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara
[5]. Hara, et.al, 1986. Utilization of Agrowastes for Building Materials. J. Ilmu Dasar. Vol. 3 No. 2, 2002: 98-102. International Research and Development Cooperation Division. AIST. MITI. Japan.
[6]. Husada, TI. 2008. Laporan Penelitian/Artikel Ilmiah Program Penelitian Inovasi Mahasiswa
Provinsi Jawa Tengah “Arang briket tongkol jagung sebagai Energi Alternatif”. Universitas
Negeri Semarang. Semarang.
[7]. Karona, dkk. 1981. Industri Batu Alam. PN Balai Pustaka. Jakarta
[8]. Kulshrestha, S.K. 1989. Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan Panas. Universitas Indonesia UI-Press. Jakarta
[9]. Marsudi, Djiteng. 2005. Pembangkit Energi Listrik. Erlangga. Jakarta
[10].Pebriadi, B. dan Mastur. 2008. Pemanfaatan Sekam Sebagai Energi Alternatif di Rumah Tangga Perdesaan. Balai Pengkajian Taknologi Pertanian Kalimantan Timur. Samarinda.
[11].Sukandarrumidi. 2006. Batubara dan Pemanfaatannya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
[12].Sule, D. dan Sinaga, P., 1998. Pembuatan Briket Tanpa Asap dan Tak Berbau dari Batubara Halus dengan Sekam Padi dan Molase. WEC. Jakarta.