• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADILAN SISTEM PENILAIAN KINERJA PADA INSTANSI PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUMAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEADILAN SISTEM PENILAIAN KINERJA PADA INSTANSI PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUMAS"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KEADILAN SISTEM PENILAIAN KINERJA PADA INSTANSI

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUMAS

Oleh:

Ascaryan Rafinda1), Chandra Suparno2), Halomoan Ompusunggu3) E-mail: ascaryan.rafinda@yahoo.com

1,2,3) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRACT

This research has two objectives: 1) identifying perceptions of justice in government agencies on the process of performance appraisal and participation in decision making; 2) Identify the perception of justice in Banyumas district local government agencies from the employee's point of view. Data analysis was done by performing regression analysis. The sample of this research was generated from SKPD in Banyumas regency, data collection was done by conducting survey. A total of 137 respondents participated in this study which was a representation of 23 SKPD in Banyumas District. The results of this research indicate that formalities in incentives system on local government have a significant effect on perceptions of distributive justice of employees in their agencies, but participation in performance evaluation was found have no effect on employee perceptions of local government in Banyumas District. The implications of this research, to get better perception of justice in performance evaluation, Banyumas District Government have to implement incentives in their institutions with formal methods such as on with written form, objective and clear. So that employees feel more fair in performance assessment.

Keyword: Distributive Justice, Performance Evaluation, Employee Participation.

Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu: 1) mengidentifikasi persepsi keadilan pada instansi pemerintah atas proses penilaian kinerja dan partisipasi dalam pengambilan keputusan; 2) Mengidentifikasi persepsi keadilan pada instansi pemerintah kabupaten Banyumas dari sudut pandang karyawan. Analisis data dilakukan dengan melakukan uji beda dan analisis regresi. Sampel penelitian berasal dari SKPD di Kabupaten Banyumas, metoda pengambilan data dilakukan dengan melakukan survey. Total 137 responden berpartisipasi dalam penelitian ini yang merupakan representasi dari 23 SKPD di Kabupaten Banyumas. Hasil dari riset ini menunjukan bahwa formalitas dalam hal insentif pada pemerintah daerah berpengaruh signifikan pada persepsi keadilan distributive karyawan pada instansinya, namun partisipatif dalam penilaian kinerja ditemukan tidak berpengaruh pada persepsi karyawan pada pemda di Kabupaten Banyumas. Implikasi dari riset ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas baiknya melaksanakan insentif pada instansinya dengan metoda yang formal dengan bentuk tertulis, objektif dan jelas. Sehingga karyawan lebih merasa adil dalam hal penilaian kinerjanya.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sistem evaluasi kinerja masih menjadi topik yang mendominasi dalam penelitian akuntansi manajemen (Harris dan Durden, 2012). Lebih lanjut Harris dan Durden (2012) menjelaskan bahwa sistem evaluasi kinerja masih menjadi pusat dalam praktik dan penelitian akuntansi manajemen. Oleh karena itu topik sistem evaluasi kinerja masih relevan untuk dikaji lebih mendalam dengan tidak hanya melihat aspek pengukuran kinerja saja tetapi juga proses evaluasi kinerja, yang dalam hal ini terkait dengan bagaimana evaluasi kinerja dilakukan oleh atasan. Sistem evaluasi kinerja pun berkembang tidak hanya mempertimbangkan informasi finansial atau akuntansi namun juga informasi nonfinansial sebagai pengukuran kinerja. Hal tersebut dikaji oleh Franco-Santos, dkk. (2012) dengan mengembangkan rerangka konseptual untuk memahami konsekuensi sistem pengukuran kinerja kontemporer yang terdiri atas pengukuran kinerja finansial dan nonfinansial dan teori yang mendasari konsekuensi ini.

Literatur-literatur organisasional mengatakan bahwa partisipan dalam organisasi membentuk persepsi tentang fairness tentang prosedur yang dilakukan organisasi terhadap mereka, kemudian persepsi ini akan dapat menjelaskan luaran pekerjaan yang penting, seperti motivasi, komitmen, dan kinerja tugas (Hartmann & Slapnicar, 2012). Salah satu prosedur dalam organisasi yang dipersepsikan fair dalam hal ini adalah praktik evaluasi kinerja. Hartmann & Slapnicar (2012) mengatakan pula bahwa karakteristik yang menyebabkan evaluasi kinerja dipersepsikan fair masih terbatas.

Secara normatif prinsip procedural fairness terdiri atas konsistensi dan akurasi. Oleh sebab itu, atasan yang bersikap konsisten dan akurat dalam memberikan evaluasi kinerja akan dinilai lebih fair dalam proses evaluasi. Namun, Hartmann & Slapnicar (2012) mengatakan bahwa masih sedikit literatur yang menjelaskan perilaku atau prosedur aktual apa yang dapat meningkatkan konsistensi dan akurasi untuk mencapai fairness. Kurangnya dasar teoretis mengakibatkan penelitian terdahulu memberikan prediksi pengaruh fairness

terhadap karateristik evaluasi kinerja yang tidak konsisten. Karakteristik evaluasi kinerja dalam hal ini sebagai contoh adalah ukuran non-finansial yang dianggap lebih akurat namun tidak konsisten.

Penelitian ini mencoba melihat evaluasi kinerja bukan dari metriks pengukurannya (finansial dan non-finansial) namun lebih pada proses evaluasi kinerja itu dilakukan dalam organisasi. Trade-off yang terjadi antara konsistensi dan akurasi menyebabkan fairness tidak lagi dilihat dari pengukuran evaluasi kinerja namun dari proses evaluasi kinerja. Karakteristik proses evaluasi meliputi formalitas evaluasi kinerja dan partisipasi bawahan dalam proses evaluasi. Penelitian ini mencoba menguji pengaruh proses evaluasi kinerja terhadap persepsi proseduralfairness.

Penting bagi organisasi untuk mendesain evaluasi kinerja sesuai dengan tujuan organisasi dan menggunakannya untuk mencapai tujuan stategis organisasi. Telah dipaparkan bahwa desain evaluasi kinerja telah berkembang seiring dengan berkembangnya organisasi dan dipengaruhi oleh budaya maupun perilaku individu dalam organisasi. Hal ini dilihat dari penelitian-penelitian terkini yang semakin luas mengkaji evaluasi kinerja tidak hanya dari aspek organisasi namun individu di dalamnya.

Replikasi dilakukan dalam penelitian ini dengan menguji tingkat generalisasi temuan penelitian sebelumnya pada konteks yang berbeda. Seperti yang dikatakan Leung (2005) dalam Agritansia & Sholihin (2011) bahwa prosedural fairness masih perlu diuji dalam berbagai konteks. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengaruh prosedural fairness tidak dapat

(3)

digeneralisasi dalam segala konteks. Penelitian sebelumnya, Hartmann & Slapnicar (2012) menguji pengaruh proses evaluasi kinerja dalam industri perbankan. Hasil penelitiannya menunjukkan partisipasi (voice) memengaruhi persepsi prosedural fairness.

Persepsi fairness dapat memberikan dampak kepada perilaku individu dalam menjalankan pekerjaannya. Semakin tinggi persepsi fairness maka akan meningkatkan motivasi, komitmen dan kinerja. Oleh karena itu penelitian ini mencoba mengonfirmasi prediksi bahwa proses evaluasi kinerja berpengaruh pada persepsi fairness. Penelitian dilakukan di Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas dengan pertimbangan sistem evaluasi telah dibangun untuk menilai kinerja pegawai. Namun, sampai saat ini masih belum dilakukan upaya evaluasi sejauh mana evaluasi kinerja ini dinilai fair oleh pegawai sehingga dapat meningkatkan motivasi dan komitmen mereka. Pengujian ini diharapkan memberikan hasil bahwa proses evaluasi kinerja yang tepat dapat menghasilkan penilaian fair dari pegawai yang akan meningkatkan motivasi dan komitmen.

Sistem penilaian kinerja digunakan oleh organisasi agar dapat memotivasi anggota dari organisasi bekerja sesuai dengan aturan dan target yang telah ditetapkan oleh organisasi. Pemerintah daerah merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah provinsi dalam melaksanakan berbagai kegiatan kepemerintahan, sedangkan pemerintah provinsi merupakan perwakilan pemerintah pusat yang terdapat di provinsi. Ketercapaian target kegiatan dari pemerintah pusat hanya dapat diraih ketika pemerintah daerah dapat mencapai sasaran kinerja per daerah. Sistem evaluasi kinerja berkontribusi melakukan kontrol atas perilaku pegawai pemerintah daerah dalam mencapai target dan sasaran dari daerahnya.

Kabupaten Banyumas memiliki duapuluh tujuh satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) berdasarkan Peraturan Daerah No. 25, 26 dan 27 tahun 2009. SKPD di Kabupaten Banyumas merupakan representatsi dari Pemerintah Provinsi di Semarang. Penelitian mengenai sistem evaluasi kinerja yang adil selama ini berada di organisasi non pemerintah. Penelitian ini ingin menguji persepsi keadilan pegawai negeri sipil di daerah Kabupaten Banyumas. Penelitian ini akan berkontribusi terhadap evaluasi sistem kinerja pegawai negeri sipil di Kabupaten Banyumas. Penelitian ini merupakan penelitian dasar tahun pertama yang diharapkan dapat mengidentifikasi kondisi pegawai pemerintah daerah dalam menilai sistem evaluasi kinerja di instasinya. Formalitas dan keterlibatan dalam penyusunan target sasaran kinerja merupakan dua variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengindentifikasi kondisi kedua variabel tersebut pada SKPD di Kabupaten Banyumas. Apabila pada penelitian ini ditemukan pegawai sudah merasa adil, maka penelitian selanjutnya akan mengembangkan sistem penilaian kinerja yang lebih competitive. Namun apabila temuan penelitian ini yaitu pegawai merasa belum adil, maka penelitian selanjutnya akan mengusulkan sistem penilaian kinerja yang lebih adil dan feasible di Pemerintah Daerah.

Luaran penelitian ini yaitu 1) teridentifikasinya keadilan sistem penilaian kinerja pada pemerintah daerah Kabupaten Banyumas sebagai penelitian awal dari penelitian terapan yang akan datang berdasarkan hasil dari penelitian ini; 2) Melakukan submisi pada jurnal akreditasi nasional.

Penelitian mengenai proses evaluasi kinerja dikembangkan pertama kali oleh Hartmann & Slapnicar (2009) yang menguji formalitas evaluasi kinerja memengaruhi kepercayaan individu terhadap atasannya. Hartmann dan Slapnicar (2009, 2012) melihat evaluasi kinerja tidak dari metrik pengukuran kinerja akan tetapi dari proses evaluasi kinerja yang dalam hal ini adalah tingkat formalitas evaluasi kinerja dalam organisasi dan peran partisipasi bawahan (voice). Hartmann dan Slapnicar (2009) menguji pengaruh proses evaluasi kinerja, yaitu tingkat formalitas, terhadap kepercayaan melalui persepsi procedural fairness dan kualitas umpan balik. Hartmann dan Slapnicar (2012) menambahkan

(4)

karakteristik dalam proses evaluasi kinerja yaitu tidak hanya tingkat formalitas, namun juga adanya partisipasi bawahan (voice). Kedua karakteristik proses evaluasi diuji pengaruhnya terhadap persepsi procedural fairness. Hasil penelitian Hartmann dan Slapnicar (2012) menunjukkan bahwa dalam kondisi yang tidak pasti, voice lebih signifikan mempengaruhi

procedural fairness.

Dalam konteks Indonesia, penelitian yang berfokus pada persepsi procedural fairness telah dikembangkan oleh Agritansia & Sholihin (2011) dan Desriani & Sholihin (2012). Agritansia & Sholihin (2011) mengembangkan penelitian Lau & Moser (2008) yang menguji pengaruh evaluasi kinerja nonfinansial terhadap kinerja manajerial yang dimediasi

procedural fairness, dengan menambahkan kepercayaan individu sebagai pemediasi pengaruh pengukuran nonfinansial dan kinerja manajerial. Sedangkan Desriani & Sholihin (2012) mengembangkan penelitian Hartmann dan Slapnicar (2009) dengan menambahkan faktor distributive justice dan menguji pengaruh kepercayaan terhadap adanya kesenjangan anggaran.

Penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengujian pengaruh proses evaluasi kinerja terhadap persepsi procedural fairness dalam konteks organisasi yang bergerak di bidang Pemerintah. Desriani & Sholihin (2012) melakukan penelitiannya dalam industri kedirgantaraan, yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan penelitian ini. Evaluasi sistem kinerja menjadi salah satu hal yang penting bagi Perkembangan sumberdaya manusia di Pemerintah Daerah. Ketertarikan mahasiswa lulusan di Indonesia untuk berkontribusi di Instansi Pemerintah Pusat maupun organisasi non pemerintah, karena instansi tersebut dapat memberikan jaminan sistem penilaian kinerja yang adil bagi seluruh pegawainya. Apabila penelitian ini bisa dilaksanakan, diharapkan akan ada kontribusi sistem penilaian kinerja yang lebih adil pada instansi pemerintah daerah. Diharapkan setelah ada evaluasi sistem penilaian kinerja, maka pemerintah daerah dapat menjadi salah satu tujuan favorit dari lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Efek domino dari adanya sistem penilai kinerja yang adil yaitu terjadinya pemerataan sumberdaya manusia yang berkualitas baik di Instansi Pusat dan Instansi Daerah. Sehingga perkembangan kedua instansi tersebut dapat bergerak maju bersama dengan cepat untuk mencapai tujuan dari sebuah negara.

Identifikasi Masalah

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menilai persepsi keadilan dalam proses evaluasi kinerja di pemerintah daerah Kabupaten Banyumas. Lebih khusus, proses evaluasi kinerja itu meliputi formalitas dan adanya partisipasi bawahan dalam menyusun sistem evaluasi kinerja. Oleh karena itu permasalahan khusus yang diangkat dalam penelitian ini adalah.

a. Apakah formalitas evaluasi kinerja memengaruhi persepsi procedural fairness?

b. Apakah partisipasi bawahan dalam proses evaluasi memengaruhi persepsi

procedural fairness?

c. Apakah kondisi keadilan proseduran di Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas sudah dipersepsikan adil oleh Pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas? Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum menyelidiki bagaimana proses evaluasi kinerja dapat memengaruhi persepsi procedural fairness. Lebih spesifik lagi, penelitian ini bertujuan:

a. Menguji pengaruh formalitas evaluasi kinerja terhadap procedural fairness. b. Menguji pengaruh partisipasi bawahan dalam proses evaluasi kinerja terhadap

procedural fairness.

(5)

Kabupaten Banyumas.

Tinjauan Literatur dan Pengembangan Hipotesis Studi Pendahuluan

Sistem evaluasi kinerja bertujuan untuk mengimplementasikan strategi. Strategi dalam hal ini mendefinisikan faktor penting dalam merancang sistem evaluasi kinerja yaitu jika faktor tersebut terukur dan dihargai, maka akan memotivasi individu untuk mencapainya (Anthony dan Govindarajan, 2007). Untuk mendesain sistem evaluasi kinerja dalam organisasi diperlukan penetapan tujuan organisasi yang jelas agar kepentingan masing- masing stakeholder dapat terpenuhi.

Merchant dan Otley (2007) mengatakan bahwa dalam organisasi kinerja dapat dievaluasi dalam berbagai bentuk. Salah satu cara untuk mengklasifikasikan adalah dengan membedakan pengukurannya, yaitu finansial dan nonfinansial. Kriteria evaluasi juga diusulkan oleh Merchant dan Otley (2007) yaitu congruence, keinformatifan, obyektifitas,

timeliness, yang dapat dipakai untuk membedakan seperangkat pengukuran kinerja baik atau buruk. Hal yang umum dalam menentukan apakah pengukuran itu baik atau tidak adalah apakah pengukuran tersebut mencerminkan kemajuan dalam mencapai tujuan organisasi.

Procedural fairness merujuk pada konsekuensi psikologis sosial dari variasi keadilan, yang menitikberatkan pada efek prosedur pada penilaian keadilan (Thibaut dan Walker, 1975 dalam Lau dan Moser, 2008). Dijelaskan pula bahwa (1) persepsi procedural fairness akan meningkatkan kepuasan, (2) procedural fairness adalah penentu yang paling penting dalam pilihan prosedur, dan (3) prosedur pengendalian proses yang tinggi akan membawa pada penilaian keadilan yang tinggi juga. Terkait dengan pengukuran kinerja, bawahan akan menilai evaluasi kinerjanya fair jika (1) penilaian kinerja yang berdasar informasi yang akuran dan lengkap, (2) merefleksikan kepentingan jangka panjang, (3) mengandung ketentuan yang menolak penilaian unfair, (4) merefleksikan kinerja yang dalam pengendalian, (5) melindungi kepentingannya, dan (6) mengindikasikan perlakukan yang sopan dan pantas (Lau dan Moser, 2008).

Prosedur akan dipersepsikan fair ketika konsisten sepanjang waktu dan antar individu, terbebas dari bias, akurat, berisi mekanisma untuk memperbaiki keputusan yang salah, melekat dengan konsep moralitas umum, dan mewakili pendapat individu yang terlibat. Sistem pengendalian manajemen memiliki aspek procedural fairness karena sistem pengendalian manajemen berdasarkan prosedur yang mendefinisikan seberapa obyektif ditetapkan, pengukuran kinerja dan pemberian penghargaan (Langevin dan Mendoza, 2013). Penelitian sebelumnya telah menguji pengaruh procedural fairness terhadap perilaku individu yang akan meningkatkan kinerjanya. Namun, pengaruhnya bervariasi baik langsung maupun tidak langsung (Supriyadi, 2010). Procedural fairness pada evaluasi kinerja mempengaruhi kepuasan kerja melalui tingkat kepercayaan terhadap atasan, komitmen organisasi, dan fairness of outcome (Lau, dkk., 2008). Model dalam penelitian ini diuji kembali dengan menggunakan subyek yang berbeda untuk menilai generalisasi hasil penelitian oleh Sholihin dan Pike (2009). Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan dengan penelitian sebelumnya oleh Lau, dkk. (2008). Namun demikian, terdapat hasil yang tidak konsisten pengujian pengaruh pengukuran kinerja pada persepsi procedural fairness. Sedangkan Lau dan Moser (2008) mengindikasikan bahwa persepsi procedural fairness

manajer lebih fair pada pengukuran kinerja nonfinansial karena dipandang lebih lengkap dan akurat. Salah satu alasan yang mungkin dari ketidak konsistenan penelitian ini adalah pentingnya proses penilaian kinerja.

(6)

Konstruk formalitas evaluasi kinerja pertama kali dibangun dari penelitian Hartmann dan Slapnicar (2009) yang menguji model hubungan yang terkait dengan sistem evaluasi kinerja yang dipakai oleh atasan dengan kepercayaan bawahan. Konstruk formalitas terkait evaluasi kinerja dikembangkan oleh Hartmann dan Slapnicar (2009) karena menurut mereka penelitian sebelumnya memberikan bukti bahwa sistem evaluasi kinerja memiliki potensi berdampak pada kepercayaan, namun juga menimbulkan pertanyaan mengenai aspek sistem evaluasi kinerja mana yang mempengaruhi kepercayaan dan bagaimana pengaruhnya. Maka, Hartmann dan Slapnicar (2009) menguji dari aspek proses evaluasi kinerja yaitu seberapa formal evaluasi kinerja dilakukan dalam sebuah organisasi.

Hartmann dan Slapnicar (2012) mengusulkan karakteristik kedua dalam proses evaluasi kinerja, yaitu mengarah pada partisipasi bawahan dalam proses evaluasi kinerja. Hartmann dan Slapnicar (2012) mengemukakan karakteristik patisipasidalam proses evaluasi kinerja dengan tujuan untuk meningkatkan konsistensi dan akurasi dalam proses evaluasi kinerja. Partisipasididefinisikan menurut Leventhal (1980) dalam Libby (1999) adalah kemampuan bawahan terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan mengomunikasikan pandangan mereka kepada atasannya. Voice dalam penelitian sebelumnya digunakan untuk menguji persepsi keadilan dalam setting penganggaran seperti yang dilakukan Libby (1999) dan Lindquist (1995).

Teori Penunjang

Hopwood (1972) mengawali studi tentang evaluasi kinerja dengan menguji peran data akuntansi dalam evaluasi kinerja. Dalam hal ini Hopwood (1972) mengungkapkan bahwa atasan menggunakan informasi akuntansi yang dianggap sebagai sumber informasi formal dalam mengevaluasi kinerja bawahan. Sistem evaluasi kinerja pun berkembang tidak hanya mempertimbangkan informasi finansial atau akuntansi namun juga informasi nonfinansial sebagai pengukuran kinerja. Hal tersebut dikaji oleh Franco-Santos, dkk. (2012) dengan mengembangkan rerangka konseptual untuk memahami konsekuensi sistem pengukuran kinerja kontemporer yang terdiri atas pengukuran kinerja finansial dan nonfinansial dan teori yang mendasari konsekuensi ini.

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji pengaruh evaluasi kinerja terhadap konsekuensi perilaku individu dari metriks pengkuran yang digunakan. Lau dan Buckland (2001) menguji pengaruh pengukuran kinerja yang melibatkan ukuran finansial terhadap tekanan pekerjaan melalui kepercayaan dan partisipasi. Hasil penelitian Lau dan Buckland (2001) mengisyaratkan bahwa pengukuran kinerja yang menitikberatkan pada pengukuran finansial secara tidak langsung mempengaruhi tekanan pekerjaan melalui kepercayaan dan partisipasi. Lau dan Sholihin (2005) menguji pengaruh ukuran nonfinansial terhadap kepuasan kerja melalui persepsi keadilan dan kepercayaan. Hasil yang penting pada penelitian Lau dan Sholihin (2005) adalah bahwa pengukuran kinerja nonfinansial memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja yang tidak berbeda dengan pengukuran kinerja finansial. Hall (2008) menguji pengaruh sistem pengukuran kinerja komprehensif/comprehensive performance measurement system terhadap kinerja melalui kejelasan peranan (role clarity) dan psychological empowerment. Penelitian ini menggarisbawahi peranan mekanisme kognitif dan motivasional dalam menjelaskan pengaruh sistem akuntansi manajemen terhadap kinerja manajerial.

Hartmann dan Slapnicar (2009, 2012) melihat evaluasi kinerja tidak dari metrik pengukuran kinerja akan tetapi dari proses evaluasi kinerja yang dalam hal ini adalah tingkat formalitas evaluasi kinerja dalam organisasi dan peran partisipasi bawahan (voice). Hartmann dan Slapnicar (2009) menguji pengaruh proses evaluasi kinerja, yaitu tingkat formalitas, terhadap kepercayaan melalui persepsi procedural fairness dan kualitas umpan

(7)

balik. Hartmann dan Slapnicar (2012) menambahkan karakteristik dalam proses evaluasi kinerja yaitu tidak hanya tingkat formalitas, namun juga adanya partisipasi bawahan (voice). Kedua karakteristik proses evaluasi diuji pengaruhnya terhadap persepsi procedural fairness. Hasil penelitian Hartmann dan Slapnicar (2012) menunjukkan bahwa dalam kondisi yang tidak pasti, voice lebih signifikan mempengaruhi procedural fairness.

Penelitian ini mengikuti penelitian Hartmann dan Slapnicar (2012) yang mengemukakan dua karakteristik proses evaluasi yaitu formalitas evaluasi kinerja dan pentingnya voice atau keterlibatan bawahan dalam proses pengambilan keputusan dalam proses evaluasi kinerja. Penelitian yang dilakukan dalam konteks Indonesia juga dilakukan oleh Desriani & Sholihin (2012) namun tidak menambahkan proses partisipasi dalam evaluasi kinerja.

Penelitian ini menduga bahwa pendekatan formal dalam evaluasi kinerja akan mempengaruhi persepsi procedural fairness ketika bawahan diberikan kesempatan berpartisipasi dalam proses evaluasi kinerja. Formalitas akan dapat membantu meningkatkan konsistensi, sedangkan voice diharapkan dapat meningkatkan akurasi dalam proses evaluasi kinerja karena adanya keyakinan bahwa bawahan lebih mampu mengendalikan outcome

proses (Hartmann dan Slapnicar, 2012). Langevin dan Mendoza (2013) juga berpendapat bahwa adanya kesempatan berpartisipasi merupakan alat komunikasi antara bawahan dan atasan yang memampukan bawahan untuk bertukar dan mencari informasi dari atasan.

Sharing informasi dalam partisipasi akan meningkatkan akurasi data yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini dikemukakan sebagai berikut.

H1: formalitas memengaruhi persepsi procedural fairness

H2: partisipasi dalam evaluasi kinerja memengaruhi persepsi procedural fairness

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey dengan cara menyebarkan kuesioner kepada pegawai negeri sipil di Kabupaten Banyumas. Alasan dipilihnya metoda survey adalah karena dua pertimbangan. Pertama, tidak ada arsip data public tentang konstruk yang dipakai dalam penelitian ini. Kedua, studi tentang fairness biasanya dianggap sebagai rahasia pribadi, yang mengharuskan bahwa pengumpulan data menjadi anonym, hal ini mudah dicapai dengan metoda survey (Hartmann & Slapnicar, 2009).

Penelitian ini akan dilakukan di Satuan Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas yang telah menetapkan sistem evaluasi kinerja bagi pegawainya. Penelitian dilakukan pada satu kabupaten dengan beberapa alasan. Pertama, dengan fokus di satu kabupaten memungkinkan kita untuk mendapatkan data yang sangat rinci baik informasi individu maupun informasi kualitatif lainnya. Dalam hal ini penelitian ini dapat mengaitkan data rinci pada formalitas evaluasi kinerja dari pegawai individu. Kedua, SKPD Kabupaten Banyumas memiliki dua puluh tujun instansi berupa Dinas, Badan, Inspektur, Rumah Sakit dan Sekretariat sehingga memberikan kemungkinan variasi yang berarti dari variable penelitian, terlebih lagi penelitian ini dilakukan pada level individu.

Metoda pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, dengan kriteria (1) sudah menjabat pada posisi tersebut minimal satu tahun untuk memastikan familiaritas mereka pada sistem evaluasi kinerja, (2) ada atasan yang mengevaluasi kinerjanya, (3) sudah pernah dievaluasi.

Variabel independen dalam penelitian yaitu formalitas dan partisipasi. Varibel formalitas sistem evaluasi kinerja diukur dengan menggunakan instrument yang dikembangkan Hartmann & Slapnicar (2009). Instrumen ini mengukur sistem evaluasi kinerja sebagai konstruk laten. Konstruk ini dikembangkan menjadi tiga sub sistem

(8)

formalitas yang berbeda sebagai berikut: 1) formalitas target setting diukur menggunakan dua item pertanyaan apakah target setting dibuat oleh atasan dalam bentuk tertulis dan kuantitatif (lebih formal) atau sebaliknya, 2) formalitas pengukuran kinerja menggunakan dua item pertanyaan mengenai cara atasan melakukan penilaian kinerja apakah berdasarkan informasi obyektif dan kuantitatif (lebih formal) atau sebaliknya menggunakan penilaian pribadi dan bersifat kualitatif (kurang formal), 3) formalitas rewarding diukur dengan 4 item yang menunjukkan obyektivitas penentuan reward. Seluruh instrumen ini dinyatakan dalam skala likert 5 poin dengan penskalaan numerikal, yang dalam hal ini semakin mendekati 1 berarti kurang formal, dan sebaliknya semakin mendekati 5 berarti lebih formal.

Partisipasi dalam evaluasi kinerja diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Hartmann & Slapnicar (2012). Partisipasi dalam penelitian ini adalah sejauh mana individu diijinkan untuk berperan dalam menentukan sasaran, dan secara aktif memberikan umpan balik dalam proses evaluasi kinerja. Tiga item pertanyaan dikembangkan yaitu (1) menanyakan apakah tujuan kerja ditentukan dengan mempertimbangkan masukan bawahan, (2) apakah ketika atasan menilai kinerja, memerhatikan penjelasan bawahan, dan (3) apakah ketika menentukan tujuan kerja atasan mempertimbangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan.

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah prosedural fairness yang diukur dengan empat item pertanyaan yang dikembangkan Hartmann & Slapnicar (2009). Item pertanyaan meliputi sejauh mana responden percaya bahwa subsistem dari target setting, pengukuran kinerja dan rewarding, serta sistem secara keseluruhan, mengarah ke penentuan gaji yang fair.

Pengujian hipotesis 1 dan 2 yaitu apakah ada pengaruh formalitas evaluasi kinerja dan partisipasi terhadap persepsi procedural fairness dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Untuk menguji masing-masing hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh secara linier antara variabel independen dan variabel dependen. Nilai uji statistik t dapat dilihat dari tingkat signifikansinya, apabila tingkat signifikansi berada di bawah tingkat error yaitu 0,05 atau 5% maka dinyatakan variable independen berpengaruh terhadap variabel dependennya.

Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model regresi (Ghozali, 2009). Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel independen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Kelemahan mendasar penggunaan koefisien determinasi adalah bias terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan ke dalam model. Setiap tambahan satu variabel independen, maka nilai R2 pasti meningkat tanpa memperhatikan apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen atau tidak. Oleh karena itu, banyak peneliti menganjurkan untuk menggunakan nilai adjusted R2 pada saat mengevaluasi suatu model regresi (Ghozali, 2009).

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Hipotesis nol (Ho) yang hendak diuji adalah apakah semua parameter dalam model sama dengan nol, atau: Ho: β1= β2 =….= βk = 0, berarti variabel-variabel independen secara serentak tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Ha alternatif: β1 β2 …. βk 0, berarti variabel-variabel independen secara serentak memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Ghozali, 2009). Cara yang dapat digunakan

(9)

untuk mengetahui ditolak atau tidaknya Halternatif adalah dengan melihat tingkat signifikansi hasil dari uji F. Jika tingkat signifikansi uji F < (0,05), Ho ditolak dan Halternatif diterima. Hal tersebut berarti bahwa variabel independen secara serentak mempunyai probabilitas statistik yang signifikan terhadap variabel dependen.

PEMBAHASAN Pengambilan Data

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan Pegawai Negeri Sipil di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Banyumas. Kuesioner disebarkan pada seluruh SKPD di Kabupaten Banyumas, yaitu sebanyak 26 SKPD. Total 23 SKPD yang menjadi sampel penelitian karena merespon instrument kuesioner yang dibagikan. Total 260 kuesioner disebarkan pada seluruh SKPD di Kabupaten Banyumas, dan kembali 145 kuesioner, dari 145 kuesioner hanya 137 kuesioner yang dapat digunakan. Hal tersebut berkaitan dengan kelengkapan menjawab partisipan pada kuesioner yang diberikan. Waku penyebaran dan pengambilan data yaitu enam puluh (60) hari. Upaya untuk memaksimalkan keseriusan partisipan pada kuesioner yang diberikan, kami memberikan insentif berupa barang dan voucer apabila kuesioner yang diisi memenuhi standar yang kami harapkan.

Penentuan jumlah partisipan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel: 2

Penentuan Jumlah Partisipan

Keterangan Jumlah

Target Awal 260

Merespon Kuesioner 145

Kuesioner yang terpakai (valid) 137

Sumber: Data primer yang diolah

Analisis Data

Instrumen penelitian yang digunakan dalam kuesioner telah diuji terlebih dahulu melalui pilot test. Tujuan dari pilot test tersebut untuk mengetahui apakah instrument penelitian layak digunakan dalam penelitian dalam hal pemahaman instrumen penelitian dan uji validitas dan reliabilitas. Partisipan yang mengikuti pilot test merupakan partisipan yang berbeda dengan partisipan yang mengikuti survey.

Pilot test melibatkan 25 partisipan yang merupakan mahasiswa pascasarjana FEB Unsoed. Memilih mahasiswa pascasarjana dengan beberapa alasan seperti: (1) telah memiliki pengalaman bekerja yang berarti telah mengalami system insentif di kantornya, (2) memahami metoda penelitian yang lebih kompleks, sehingga peserta pilot tes dapat memberikan masukan dan saran terkait instrumen yang diujikan secara pilot.

Uji Asumsi Klasik

A. Uji Multikolinearitas

Hasil uji multikolinearitas menunjukan bahwa korelasi antar variable masih dibawah 0,6, hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi korelasi antara variable satu dengan lainnya.

Tabel: 3 Hasil Uji Korelasi

Average Keadilan Prosedural Average Formalitas Average Partisipasi

Pearson Correlation Average Keadilan Prosedural 1.000 .446 .267

(10)

Average Partisipasi .267 .288 1.000

Sig. (1-tailed) Average Keadilan Prosedural . .000 .001

Average Formalitas .000 . .000

Average Partisipasi .001 .000 .

N Average Keadilan Prosedural 137 137 137

Average Formalitas 137 137 137

Average Partisipasi 137 137 137

a. Heterokedastisitas

Hasil dari Uji Heterokedastisitas dapat dilihat dari gambar scatterplot berikut. Gambar tersebut menunjukan sebaran data tidak cenderung mengumpul dan tidak membentuk pola tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa data tersebut tidak terjadi heterokedastisitas atau bersifat homogenitas.

b. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi data menggunakan model Durbin-Watson, nilai yang dihasilkan 1,872. Hal tersebut menunjukan bahwa model regresi yang diujikan tidak terjadi autokorelasi. Syarat dan ketentuan nilai Durbin-Watson agar tidak terjadi autokorelasi adalah sebagai berikut: (1) Terjadi autokorelasi positif jika DW di bawah -2 (DW < -2). (2) Tidak terjadi autokorelasi jika DW berada di antara -2 dan +2 atau -2 < DW +2.

(11)

Dependent Variable: Average Keadilan ProseduUji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan kriteria pengujian apabila nilai

asymptotic significant > alpha (α = 0,05), maka data berdistribusi normal. Pada hasil diperoleh nilai asymptotic significant sebesar 0,827 > alpha (α = 0,05) maka data

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson 1 .469a .220 .208 .80710 1.872

a.Predictors: (Constant), Average Partisipasi, Average Formalitas

dapat dikatakan berdistribusi normal. Hal ini menunjukan bahwa variabel dependen terdistribusi secara normal dalam setiap kategori varabel independen.

Pengujian Hipotesis

Berdasarkan pengujian sebelumnya, data yang didapat memenuhi seluruh asumsi yang disyaratkan dalam uji statistic anova. Setelah semua asumsi terpenuhi, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji regresi. Uji regresi dilakukan untuk mengetahui pengaruh varibel independen terhadap variabel dependen.

PEMBAHASAN

Terdapat dua hipotesis yang diajukan pada penelitian ini. Yaitu H1: formalitas dalam penilaian kinerja memengaruhi persepsi keadilan prosedural, dan H2: partisipasi dalam evaluasi kinerja memengaruhi persepsi keadilan prosedural. Uji regresi berganda dilakukan untuk membuktikan hipotesis yang diajukan. Berikut adalah hasil dari analisis regresi:

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig. Collinearity Statistics

B

Std.

Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 1.036 .428 2.419 .017

Average

Formalitas .600 .119 .403 5.053 .000 .917 1.091

Average

Partisipasi .149 .079 .150 1.887 .061 .917 1.091

a.Dependent Variable: Average Keadilan Prosedural

Berdasarkan tabel hasil analisis regresi, hal tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Pertama yang diajukan untuk menguj hubungan formalitas dengan persepsi keadilan procedural terdukung dengan data sampel yang diambil, sedangkan hipotesis kedua yang diajukan untuk menguji hubungan partisipasi dengan keadilan procedural menunjukkan bahwa tidak terdukung oleh data dari sampel penelitian.

KESIMPULAN

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa formalitas dipandang oleh PNS di Pemerintah Daerah sebagai sebuah hal penting ketika menilai keadilan distributif pada instansinya. Instansi yang atasannya melakukan penilaian kinerja secara formal dipersepsikan oleh pegawainya sebagai sebuah bentuk adanya keadilan pada instansi tersebut. Berbeda dengan hasil dari hipotesis kedua, hipotesis kedua menunjukkan bahwa tidak terdukung hubungan antara partisipasi pegawai pada saat penentuan kinerja terhadap

(12)

persepsi keadilan distributif. Temuan pada hipotesis kedua menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, mengapa partisipatif pegawai tidak berpengaruh terhadap persepsi keadilan distributif. Hal tersebut bisa terjadi diduga karena tidak adanya partisipatif dalam penyusunan insentif kinerja padImplikasi

Implikasi

Implikasi dari temuan riset ini yaitu, pemerintah daerah dapat mempertahankan skema formalitas dalam penilaian kinerja di pemerintah daerah, karena hal tersebut berdampak baik pada instansi dan pegawainya. Implikasi kedua, pemerintah baiknya mulai mempertimbangkan adanya partisipatif dari pegawai dalam proses penyusunan kinerja di instansinya. dari pegawai dalam proses penyusunan kinerja di instansinya.

DAFTAR PUSTAKA

Agritansia, P. P., & Sholihin, M. (2011). The Attitudinal and Behavioral Effects of Nonfinancial Measures. Simposium Nasional Akuntansi XIV (pp. 1-40). Banda Aceh: IAI.

Anthony, R., & Govindarajan, V. (2007). Management Control System. New York: McGraw Hill.

Desriani, N., & Sholihin, M. (2012). Pengaruh Tingkat Formalitas Evaluasi Kinerja Persepsian Terhadap Aspek Keperilakuan Manajer. Simposium Nasional Akuntansi

(pp. 1-25). IAI.

Franco-Santos, M., Lucianetti, L., & Bourne, M. (2012). Contemporary Performance Measurement System: A Review of Their Consequences and a Framework for Research. Management Accounting Research, 79-119.

Ghozali, I. (2000). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Hall, M. (2008). The Effect of Comprehensive Performance Measurement System on Role Clarity, Psychological Empowerment and Managerial Performance. Accounting, Organizations and Society, 141-163.

Harris, J., & Durden, C. (2012). Management Accounting Reserach: An Analysis of Recent Themes and Direction for the Future. Journal of Applied Management Accounting Research, 21-42.

Hartmann, F., & Slapnicar, S. (2009). How Formal Performance Evaluation Affect Trust between Superior and Subordinate Managers. Accounting, Organization and Society, 34, 722-737.

Hartmann, F., & Slapnicar, S. (2012). The Perceived Fairness of Performance Evaluation: The Role of Uncertainty. Management Accounting Reserach, 17-33.

Hopwood, A. G. (1972). An Empirical Study of the Role of Accounting Data in Performance Evaluation. Journal of Accounting Research, 10, 156-182.

Langevin, P., & Mendoza, C. (2013). How Can Management Control System Fairness Reduce Managers' Unethical Behaviours/. European Management Journal, 31, 209- 222.

Lau, C. M., & Buckland, C. (2001). Budgeting the Role of Trust and Participation: A Research Note. ABACUS(3), 369-388.

Lau, C. M., & Moser, A. (2008). Behavioral Effect of Nonfinancial Performance Measures: The Role of Procedural Fairness. Behavioral Research in Accounting, 55-71.

Lau, C. M., & Sholihin, M. (2005). Financial and Nonfinancial Performance Measure: How They Affect Job Satisfaction. British Accounting Review, 43, 389-413.

(13)

Procedures and Job Satisfaction: the Role of Outcome-Based and Non-Outcome- Based Efect. Accounting and Business Research, 121-135.

Libby, T. (1999). The Influence of Voice and Explanation on Performance in a Participative Budgeting Setting. Accounting, Organization and Society, 24, 125-137.

Lindquist, T. M. (1995). Fairness as an Antecedent to Participative Budgeting: Examining the Effect of Distributive Justice, Procedural Justice, and Referent Cognitions on Satisfaction and Performance. Journal of Management Accounting Reserach, 7, 122- 147.

Merchant, K. A., & Otley, D. T. (2007). A Review of the Literature on Control and Accountability. In C. S. Chapman, A. G. Hoopwood, & M. D. Shield (Eds.),

Handbook of Management Accounting Research (pp. 785-802). Oxford: Elsevier Ltd.

Sholihin, M., & Pike, R. (2009). Fairness in Performance Evaluation and its Behavioral Consequences. Accounting and Business Research, 397-413.

Supriyadi. (2010). The Moderating Effect of Procedural Justice on the Effectiveness of the Balanced Scorecard in Improving Managerial Performance through Organizational Commitment. Gadjah Mada Journal of Business, 12, 415-434.

Gambar

Gambar  tersebut  menunjukan  sebaran  data  tidak  cenderung  mengumpul  dan  tidak  membentuk  pola  tertentu

Referensi

Dokumen terkait

The ex post expectation measure undermines the incentives to work hard (i.e., above the defined minimum level) because the higher the employee’s productivity, the higher the

Seda ngkan dalam Undang-undang Perikanan tidak mengatur nelayan tradisional yang ada adalah nelayan kecil (dengan ukuran kapal di bawah 5 GT) dan dalam kenyataannya menggunakan

[r]

Purawisata sebagai Taman Rekreasi Keluarga yang berlokasi di tengah kota Jogjakarta/ yaitu di bekas THR/ di Jalan Brigjen Katamso/ kini sedang berbenah diri/ menyambut kunjungan

Seperti yang dialami siswa-siswi SMA N 1 Karangtengah yang berasal dari keluarga broken home, siswa-siswi tersebut memilih untuk menjadi anak yang baik dan mampu

tahun 1960 yang akan dialihkan ke dalam bentuk PERJAN dan PERSERO sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat-ayat (1) dan (3) pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Dengan ini kami beritahukan bahwa perusahaan Saudara telah lulus Evaluasi Administrasi, Teknik, Harga dan Kualifikasi untuk Paket tersebut di atas.. Sebagai kelanjutan proses

From a small private wedding to a birthday celebration or family get-together, the often idyllic locations occupied by boutique hotels provide the perfect backdrop for a