• Tidak ada hasil yang ditemukan

269564655-Laporan-Kasus-Anemia-Aplastik-BACKUP.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "269564655-Laporan-Kasus-Anemia-Aplastik-BACKUP.doc"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Kasus ANEMIA APLASTIK Oleh Mentari Effendi 1102009169 Pembimbing Dr. Ani, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA

(2)

PENDAHULUAN

Anemia aplastik bukan penyakit tunggal, tetapi suatu kelompok penyakit yang berhubungan dengan kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan ketiga tipe sel darah yaitu : sel darah merah, sel darah putih dan platelet 1. Pengurangan jumlah sel

darah merah menyebabkan rendahnya kadar Hb dalam darah tepi, sel darah putih yang berkurang jumlahnya menyebabkan pasien mudah terkena infeksi, pengurangan pembentukan platelet menyebabkan darah sukar membeku 2.

Anemia aplastik adalah sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang 3. Aplasia yang hanya mengenai

sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik); yang hanya mengenai sistem granulopoetik saja disebut agranulositosis (penyakit Schultz) sedangkan yang hanya mengenai sistem trombopoetik disebut amegakariositik trombositopenik purpura (ATP), anemia aplastik mengenai ketiga sistem ini 4.

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 juta kasus persejuta penduduk pertahun. Penelitian The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi di Eropa dan Israel 2 kasus persejuta penduduk. Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada wanita. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan 5.

(3)

Pemeriksaan penunjang pada anemia aplastik berupa pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan darah tepi (blood smear) dan pemeriksaan BMA (Bone Marrow Aspiration) 6.

Terapi anemia aplastik dapat dibagi menjadi terapi primer dan terapi suportif. Terapi primer secara umum terdiri dari transplantasi sumsum tulang dan terapi imunosupresif. Terapi suportif berupa transfusi sesuai dengan sel hemopoetik yang dibutuhkan 7.

Berikut ini akan dilaporkan suatu kasus anemia aplastik pada seorang anak laki-laki berumur 10 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD Cibitung

(4)

LAPORAN KASUS I. IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : An. N

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat & tanggal Lahir : Bekasi, 01 Januari 2005

Umur : 10 tahun 1 bulan

B. Identitas Orangtua

Ayah Ibu

Nama : Tn. N Nama : Ny. T

Umur : 40 tahun Umur : 34 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Ujung Harapan

II. ANAMNESIS

Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, tanggal 11 Februari 2015 pukul 14.00 WITA.

(5)

a. Keluhan Utama

Bercak-bercak kehitaman pada seluruh tubuh dan lrmas b. Riwayat Penyakit Sekarang

Badan timbul bercak-bercak hitam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya muncul bercak-bercak sejak 2 minggu sebelum masuk ruah sakit pada daerah wajah dan leher yang kemudian menjalar keseluruh tubuh. Pasien juga terlihat pucat didaerah bibir, telapak tangan dan kaki. Pasien juga mengeluhkan sakit tenggorokan dan panas badan naik turun sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

d. Riwayat Kehamilan dan Persalinan 1. Riwayat Antenatal

Ibu rajin periksa kehamilan ke Puskesmas dan sudah mendapat suntikan TT 2 kali, selama kehamilan ibu penderita tidak pernah sakit, tidak pernah minum obat-obatan tertentu, makan dan minum seperti biasa dan tidak pernah terkena radiasi atau bahan kimia.

2. Riwayat Natal

Lahir spontan ditolong oleh bidan di rumah sakit, berat badan lahir, nilai APGAR, panjang badan lahir dan lingkar kepala lahir ibu lupa.

(6)

Anak lahir langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna seluruh badan kemerahan. Selama periode ini penderita tidak pernah sakit.

f. Riwayat Imunisasi

Nama Dasar (Umur dalam hari/bulan) Ulangan (Umur dalam bulan)

BCG 2 -Polio 2 3 4 5 -Hepatitis B 3 4 5 -DPT 2 3 4 -Campak 9 -g. Riwayat Makanan

Penderita mendapatkan ASI eksklusif sejak lahir sampai 6 bulan, PASI sejak usia 6 bulan berupa susu kadang diselingi dengan buah-buahan dan bubur nasi. Penderita tidak pernah mengalami gangguan dalam pola makan, saat ini penderita tidak mengalami penurunan nafsu makan. Frekuensi makan 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur dan ikan tapi tidak pernah habis.

h. Riwayat Keluarga

Tidak ada dikeluarga yang menderita penyakit seperti penderita. Tidak ada riwayat penyakit asma, darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan dikeluarga.

(7)

3. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum : tampak pucat

b. Kesadaran : komposmentis, GCS 4-5-6 c. Tanda vital

Tensi : 100/60 mmHg

Nadi : 170 kali/menit, kualitas kuat Suhu : 38,3 °C

Respirasi : 24 kali/menit, teratur Berat Badan : 28 Kg (79% standar BB/U) e. Kepala/leher

Kepala : Bentuk kepala simetris, ukuran mesosefali, ubun-ubun besar datar, ubun-ubun kecil sudah menutup.

Rambut : Rambut berwarna hitam, tebal, distribusi merata, tidak terdapat alopesia.

Mata : Palpebra tidak edema, alis dan bulu mata tidak mudah dicabut dan tidak mudah rontok, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, produksi air mata cukup, pupil berdiameter 3 mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, kornea jernih.

Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada secret, serumen minimal, nyeri tidak ada.

(8)

Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, tidak terdapat pernapasan cuping hidung, tidak terdapat epistaksis, kotoran hidung minimal.

Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, mukosa bibir basah, bercak darah (-). Gusi tidak berdarah dan tidak bengkak. Bibir tampak anemis.

Lidah : Bentuk simetris, anemis, tidak tremor, tidak kotor, warna merah keputihan.

Pharing : Tidak tampak hiperemis, tidak edema, tidak ada abses, tidak ada pseudomembran.

Tonsil : Warna merah muda, tidak membesar, tidak ada abses/pseudomembran.

f. Leher : Pada vena jugularis tidak teraba pulsasi, tekanan vena jugularis tidak meningkat, pembesaran kelenjar leher tidak teraba, kuduk kaku tidak ditemukan, massa tidak ada, tortikolistidak ditemukan.

g. Toraks 1. Pulmo

Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan retraksi dinding dada Pernapasan: Inspirasi dan ekspirasi normal, frekuensi 24 kali/menit,

(9)

Palpasi : Pergerakan napas dada simetris, fremitus fokal simetris kanan dan kiri

Perkusi : Suara ketok sonor

Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing 2. Cor

Inspeksi : Tidak terlihat adanya vousseure cardiaque, pulsasi dan ictus Palpasi : Tidak teraba adanya thrill, apeks tidak teraba

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS kanan Batas kiri : ICS V LMK kiri Batas atas : ICS II LPS kanan

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, tidak terdapat bising, tidak ada takikardia,

frekuensi 96 kali/menit, reguler h. Abdomen

Inspeksi : Bentuk cembung, simetris

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba (tidak ada organomegali), tidak ditemukan massa

Perkusi : Suara ketuk timpani, tidak ditemukan adanya asites Auskultasi : Bising usus (+) normal

i. Ekstremitas

Umum : Akral hangat, tidak edema, tidak ada parese, kedua telapak tangan dan kaki tampak pucat

(10)

Neurologis : Gerakan normal, tonus tidak meningkat, tidak ada atrofi, tidak didapatkan klonus, reflek fisiologis tidak meningkat, reflek patologis tidak ada. Sensibilitas normal. Tanda rangsangan meningeal tidak ada

j. Susunan saraf : Dalam batas normal

k. Genitalia : Jenis kelamin laki-laki. Pemeriksaan genitalia tidak didapatkan adanya kelainan

l. Anus : Positif, tidak ada kelainan

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG 11 Februari 2015 Hematologi Hb : 4,3 gr% (normal L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%) Leukosit : 2200/µL (normal : 4700 – 10.500 µL) Hematokrit : 11,2% (normal L : 40-50%; P : 35-45%) Eritrosit : 1,8 jl/mm3 (normal: 3,8-5,8 jl/mm3) Trombosit : 30.000/µL (normal : 150.000-350.000) SGOT : 33 U/L (normal : <38U/L)

SGPT : 24 U/L (normal : <41U/L) Ureum : 35 mg/dl (normal : 15-45 mg/dl) Kreatinin : 0,5 mg/dl (normal: 0,7 -1,2 mg/dl) Apusan Darah Tepi

(11)

Eritrosit : mikroitik hipokrom, anisopoikilesitosis

Sel target (+), sel pensil (+), fragmentosit (+), polikromasi (+), Leukosit : kesan jumlah normal, morfologi normal

Hitung jenis : basophil 0%, eosinophil 0%, batang 0%, segmen 30%, limfosit 61%, monosit 9%

Trombosit : kesan jumlah kurang, morfologi normal Kesan : Pansitopenia

Saran : Retikulosit Si, TIBC, Feritin Analisa Hb BMP 13 Juli 2005

5. RESUME

Nama : An. D

Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 11 tahun Berat Badan : 28 kg

(12)

Uraian : Sejak 25 hari yang lalu penderita pucat dan lemas, terdapat tanda anemia, terdapat tanda perdarahan di kulit, tidak terdapat tanda infeksi, tidak terdapat kelainan jantung.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : tampak pucat

Kesadaran : komposmentis (GCS 4-5-6) Tensi : 100/60 mmHg

Nadi : 96 kali/menit, kualitas kuat

Suhu : 35,6 ºC

Pernafasan : 24 kali/menit, teratur Gizi : sedang (79%)

Kulit : anemis, purpura (-) Kepala : tidak ada kelainan Mata : konjungtiva anemis Hidung : tidak ada epistaksis Telinga : tidak ada kelainan Mulut : bibir anemis Lidah : merah mudah Leher : tidak ada kelainan Toraks : tidak ada kelainan Abdomen : tidak ada kelainan

(13)

Susunan saraf : tidak ada kelainan Genitalia : tidak ada kelainan Anus : tidak ada kelainan

6. DIAGNOSA a. Diagnosa Banding Anemia aplastik ITP Leukemia b. Diagnosa Kerja Anemia aplastik c. Status Gizi Sedang (79%) 7. PENATALAKSANAAN IVFD KAEN I B 6-8 tetes/menit IV : Ampicillin 3 x 500 mg Oral : Medol 3 x II tab

Imbrost 2 x cth II Transfusi WB 250 cc

(14)

8. USUL DAN SARAN Foto torak

9. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam Quo ad functionam : dubia ad malam Quo ad sanationam : dubia ad malam

10. PENCEGAHAN

Pencegahan infeksi sekunder dan trauma serta menghentikan paparan terhadap insektisida

PEMBAHASAN

Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam darah tepi, sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. Sistem yang mengalami aplasia meliputi sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Sebenarnya sistem limfopoetik dan RES juga mengalami aplasia, tetapi relatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoetik lainnya4,8.

Anemia aplastik termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika Serikat memiliki angka kejadian 2 : 1.000.000 penduduk. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Asia, angka kejadian di Bangkok adalah 4 : 1.000.000 penduduk,

(15)

angka kejadian di Thailand adalah 6 : 1.000.000 penduduk dan angka kejadian di Jepang 14 : 1.000.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di Asia berkaitan dengan lebih banyaknya paparan terhadap bahan kimia yang terjadi1,7,9.

Anemia aplastik dapat terjadi pada segala umur1,7. Kecuali jenis kongenital,

anemia aplastik biasanya terdapat pada anak besar berumur lebih dari 6 tahun. Depresi sumsum tulang oleh obat atau bahan kimia, meskipun dengan dosis rendah tetapi berlangsung sejak usia muda secara terus-menerus, baru akan terlihat pengaruhnya setelah beberapa tahun kemudian. Misalnya pemberian kloramfenikol yang terlampau sering pada bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan menyebabkan gejala anemia aplastik setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Di samping itu pada beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa saat setelah ia kontak dengan agen penyebabnya4.

Sekitar 50-75% etiologi anemia aplastik merupakan idiopatik. Sekitar 5% etiologi berhubungan dengan infeksi virus terutama hepatitis. Sekitar 10-15% berhubungan dengan obat-obatan 6,9.

Etiologi dari anemia aplastik dapat dibagi menjadi:4

a. Faktor kongenital

Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.

b. Faktor didapat

(16)

2. Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin), santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, methotrexate, TEM, vincristine, rubidomycine dan sebagainya)

3. Radiasi : sinar rontgen, radioaktif

4. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain 5. Infeksi : tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya

6. Idiopatik merupakan penyebab yang paling sering

Pada kasus ini, anemia aplastik yang terjadi bersifat idiopatik dan terjadi setelah anak berumur 11 tahun. Hal ini berdasarkan riwayat penyakit penderita dan riwayat penyakit keluarga. Anak tidak pernah menderita sakit sebelumnya. Anak tinggal bersama orang tua yang bergolongan ekonomi menengah ke atas. Lingkungan jauh dari daerah pertanian dan tidak pernah terpapar insektisida atau bahan sejenisnya. Keluarga anak juga tidak ada yang menderita penyakit yang serupa, karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya digolongkan idiopatik.

Manifestasi klinis pada prinsipnya berdasarkan pada gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik, serta aktifitas relatif sistem limfopoetik dan RES. Gejala anemia dapat berupa pucat, sakit kepala, palpitasi dan mudah lelah. Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi dispneu, edema pretibial dan gejala lain yang disebabkan kegagalan jantung. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan pada mukosa dan gusi atau timbulnya petekie dan purpura pada kulit. Granulositopenia sangat memudahkan timbulnya infeksi sekunder dan berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik

(17)

atau tanda infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya1,2,3,4. Pada anemia aplastik tidak

terjadi pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati)2,4.

Manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun pemeriksaan fisik. Dari riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang dapat memperberat kondisi pasien saat ini.

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, perdarahan dan tanpa organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari pemeriksaan sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel)4.

Pada kasus ini didapatkan manifestasi klinis berupa gejala anemia yaitu penderita tampak pucat, mukosa konjungtiva anemis dan tanda granulositopenia berupa petekie yang tampak di seluruh tubuh. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya organomegali.

Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia dan granulositopenia tanpa adanya organomegali. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan penunjang yang mendukung dimana semua sel darah mengalami penurunan jumlah. Dari pemeriksaan BMA didapatkan sumsum tulang hiposeluler, aktivitas semua sistem tertekan. Tampak dominasi limfosit dan sel lemak.

(18)

Diagnosis banding yaitu ITP dapat disingkirkan karena pemeriksaan darah rutin dan blood smear pada ITP hanya akan terjadi trombositopenia. Diagnosis leukemia dapat disingkirkan karena biasanya terjadi organomegali dan pada blood smear akan ditemukan sel-sel muda. Kedua diagnosis banding di atas akan jelas dapat disingkirkan apabila dilakukan pemeriksaan BMA.

Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan terapi suportif6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama pada

pasien yang berusia muda. Transplantasi sumsum tulang ini memiliki angka kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka panjang yang baik yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena adanya reaksi penolakan maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit globulin dan siklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%7. Terapi suportif adalah

pemberian transfusi sesuai dengan kebutuhan penderita6,7.

Penatalaksanaan pada anemia aplastik pada FKUI adalah sebagai berikut4:

1. Prednison dan testosteron

Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral, sedangkan testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sebaiknya secara parenteral. Penelitian menyebutkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan oksimetolon yang mempunyai daya anabolic dan merangsang sistem hemopoetik lebih kuat dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari peroral. Pengobatan biasanya berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai dapat bertahun-tahun. Bila telah terdapat remisi, dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel darah diawasi

(19)

setiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps, dosis obat harus diberikan penuh kembali. Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan oksimetolon 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoetik, kemudian sistem granulopoetik dan terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang remisi terlihat pada sistem granulopoetik terlebih dahulu, disusul oleh sistem eritropoetik dan trombopoetik. Pemeriksaan BMA sebulan sekali merupakan indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai bahaya perdarahan yang fatal masih ada, sehingga anak sebaiknya dipulangkan dari rumah sakit setelah jumlah trombosit mencapai 50.000-100.000/mm3.

2. Transfusi darah

Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering, akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam hal ini transfusi darah gagal karena eritropoesit, leukosit dan trombosit akan dihancurkan sebagai akibat timbulnya antibodi terhadap sel darah tersebut. Dengan demikian transfusi darah hanya diberikan bila diperlukan.

(20)

Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalm ruangan yang suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan. 4. Makanan

Disesuaikan dengan keadaan anak, umumnya diberikan makanan lunak. 5. Istirahat

Untuk mencegah terjadinya perdarahan, terutama perdarahan otak.

Pada kasus ini penanganan yang terbaik adalah dilakukan transplantasi sumsum tulang karena umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang yang baik, akan tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena kurangnya sarana dan prasarana yang ada. Pilihan terapi yang lain yaitu terapi imunosupresif. Terapi imunosupresif yang memungkinkan untuk dilaksanakan adalah dengan pemberian kortikosteroid yang dalam hal ini adalah prednison. Program terapi dengan prednison ini hanya dapat kita lakukan apabila didapatkan kepastian diagnosa dari BMA. Sekitar 12 hari setelah diagnosis ditegakkan dengan BMA anak kemudian diberi pengobatan imunosupresif berupa metilprednisolon, kemudian tanggal 4 Agustus 205 setelah dikonsulkan dengan dr. Pudji Andayani, Sp.A, anak mendapatkan terapi Donazol. Pemberian metil prednisolon direncanakan sampai 7 hari. Pemberian Donazol direncanakan sampai 180 hari. Terapi imunosupresif dilakukan pada anak ini dengan alasan agar terjadi perbaikan pada sumsum tulangnya. Pemeriksaan ulang sumsum tulang dilakukan ± 1 bulan setelah terapi dilakukan utuk mengetahui respon sumsum tulang terhadap obat. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan

(21)

prognosis dari penyakit anak.Terapi suportif yang diberikan adalah transfusi sesuai kebutuhan, akan tetapi hal ini tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan terapi primer. Pada pasien ini diberikan terapi suportif berupa transfusi darah karena keadaan umum penderita baik dan dilanjutkan dengan program pemberian imunosupresif.

Imunosupresan glukokortikoid yaitu prednisolon dan prednison. Terhadap respon imun humoral, efek glukokortikoid belum dapat disimpulkan secara tuntas yang jelas terlihat ialah pengurangan jumlah immunoglobulin. Terhadap respon imun selular, glukortikoid menghambat efek MIF sehingga makrofag dibebaskan dari jeratan disekitar tempat pembebasan MIF dan jaringan setempat terhindar dari kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Dalam hal ini, efek glukokortikoid sebenarnya terjadi berdasarkan mekanisme antiinflamasi10.

Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednisone dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi, gangguan cor, atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih kortikosteroid yang efek mineralokortikoidnya sedikit atau tidak ada, terlebih-lebih bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi 11.

Prognosis bergantung pada gambaran sumsum tulang (hiposeluler atau seluler) sehingga parameter yang paling baik dalam menentukan prognosis adalah hasil pemeriksaan BMA. Selain itu, jika kadar Hb F lebih dari 200 mg%, jumlah granulosit lebih dari 2.000/mm3 dan infeksi sekunder dapat dikendalikan maka

(22)

Penyebab kematian terbanyak pada anemia aplastik adalah infeksi sekunder seperti bronkopneumonia atau sepsis atau terjadi perdarahan otak dan abdomen4.

Penyebab kematian pada anak ini diduga adalah terjadinya perdarahan spontan pada otak dan abdomen. Penyebab terjadinya perdarahan spontan pada anak adalah adanya trombositopenia. Selain itu produksi semua komponen darah yang tertekan mempercepat terjadinya proses kegagalan kompensasi tubuh dalam perfusi organ-organ vital sehingga kematian terjadi.

PENUTUP

Demikian telah dilaporkan suatu laporan kaus anemia aplastik pada seorang anak laki-laki berumur 11 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD Ulin Banjarmasin. Diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya gejala anemia, granulositopenia dan trombositopenia ringan tanpa adanya organomegali serta pansitopenia pada pemeriksaan darah rutin dan blood smear. Diagnosa pasti ditegakkan dengan BMA. Etiologi diduga adalah idiopatik. Selama dirawat diberikan terapi suportif berupa transfusi dan direncanakan terapi imunosupresif dengan kortikosteroid. Selama dirawat keadaan anak sempat membaik, kemudian

(23)

perlahan-lahan kembali memburuk dan akhirnya meninggal akibat perdarahan setelah dirawat selama 26 hari di RSU Ulin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Aplastic Anemia (Severe). Dalam : Medical Center, 2004. Dari URL: http://www.medical center.com/

2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of Maryland, 2004. Dari URL: http://www.UMMC.com/

3. Bakhsi S. Aplastic Anemia. Dalam : Emedicine Article, 2004. Dari URL: http://www.emedicine.com/

4. Hasan R, Alatas H ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Buku I, 1985; Jakarta.

5. Salonder, H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga, 2001; Jakarta.

(24)

6. Small BM. Bone Marrow Failure. Dalam : SMBS Education Fact Sheet, 2004. Dari URL: http://www.smbs.buffallo.edu/

7. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information and Guide, 2005. Dari URL: http://www.cancer.org/

8. Young NS. Acquired Aplastic Anemia. Dalam : Annals of Internal Medicine, 2002. Vol 136 No 7 Dari URL: http://www.annals.org/

9. Lee D. Bone Marrow Failure. Dari URL: http://www.medsqueensu.ca/

10. Tirza D dan Handoko T Imunosupresan. Dalam : Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Editor : Sulistia G. Ganiswara. 1995: FKUI, Jakarta hal709-710.

11. Djuanda A Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang Dermato-venerologi. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3. Editor : Adhi Djuanda. 2001: FKUI, Jakarta hal 316

Referensi

Dokumen terkait