• Tidak ada hasil yang ditemukan

A Study of Histopathology and Malondialdehyde (MDA) Level in Autoimmune Thyroiditis Rat Kidney from Goat's Thyroglobulin Injection

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A Study of Histopathology and Malondialdehyde (MDA) Level in Autoimmune Thyroiditis Rat Kidney from Goat's Thyroglobulin Injection"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Studi Gambaran Histopatologi dan Kadar Malondialdehid (MDA) Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicuss) Autoimmune Thyroiditis Hasil Induksi Thyroglobulin Kambing

A Study of Histopathology and Malondialdehyde (MDA) Level in Autoimmune Thyroiditis Rat Kidney from Goat's Thyroglobulin Injection

Putrika Suryandari, Aulanni’am, dan Agung Pramana W. M. Program Studi Kedokteran Hewan, Program Kedokteran Hewan,

Universitas Brawijaya [email protected]

ABSTRAK

Autoimmune thyroiditis (AITD) merupakan penyakit autoimun yang ditandai adanya kerusakan pada sel-sel tiroid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan gambaran histopatologi dan peningkatan kadar Malondialdehid (MDA) ginjal tikus (Rattus norvegicus) model AITD hasil induksi Capra hircus thyroglobulin (cTg). Tikus dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok A (kontrol) tanpa injeksi cTg, kelompok B dan C diinjeksi 100 μg/mL cTg dan 200 μg/mL cTg yang diemulsikan dengan CFA atau IFA (perbandingan 1:1) sebanyak 0,2 ml/ekor secara subkutan cervical pada hari ke-0, 14 dan 28. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi cTg akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan glomerulus dan tubulus ginjal. Hasil analisis data dengan uji ANOVA dan uji Tukey menunjukkan adanya peningkatan kadar MDA secara signifikan (p<0,05) pasca induksi cTg pada kelompok B dan C berturut turut 194,15% dan 449,6% dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa induksi pada tikus menyebabkan perubahan struktur ginjal dan peningkatan kadar MDA.

Kata kunci : Autoimmune thyroiditis (AITD), capra hircus thyroglobulin (cTg), Malondialdehid (MDA), histopatologi ginjal.

ABSTRACT

Autoimmune thyroiditis (AITD) is an autoimmune disease characterized by thyroid cells damage. The purpose of this study was to determine the changing of histopathological appearance and MDA levels on rats (Rattus norvegicus) kidney injected with Capra hircus thyroglobulin (cTg). Rats were divided into 3 groups: groups A was control group (without cTg injection), B group and C group were injected with 100 μg/mL cTg and 200 μg/mL cTg which were emulsified with CFA or IFA (ratio 1:1) as much as 0.2 ml subcutaneously in the cervical, on days 0, 14 and 28. The results showed that the injection of cTg could damage glomerular and tubular tissue in kidney. Data analysed with ANOVA and Tukey test showed significant differences between treatment groups (p < 0.05) after cTg injection. The increasing of MDA levels in B and C group compared to the control group were 194.15% and 449.6%. It can be concluded that the induction of cTg caused structural alteration in the kidney and increasing levels of MDA.

Key words : Autoimmune thyroiditis (AITD), Capra hircus thyroglobulin (cTg), Malondialdehyde (MDA), kidney histopathology

(2)

2 PENDAHULUAN

Autoimmune disease merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika sistem imun dalam tubuh menyerang sel dan jaringan tubuhnnya sendiri (Lettre dan Rioux, 2008). Salah satu Autoimmune disease yang sering meyerang manusia dan hewan adalah

Autoimmune thyroiditis (AITD).

Autoimmune thyroiditis (AITD) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel inflamasi pada kelenjar tiroid yang diikuti dengan terjadinya hipotiroiditis akibat adanya kerusakan jaringan tiroid (Burex dan Rose, 2008). Menurut Canaris (2000), kejadian AITD pada manusia menyerang 2 - 4 % perempuan dan hampir 1% laki-laki di dunia. Selain menyerang manusia, AITD juga dapat menyerang hewan kesayangan seperti anjing ras dan kucing. Kejadian AITD pada anjing ras tersebut merupakan 80% kasus penyakit autoimun yang menyebabkan hipotiroid sehingga mengakibatkan kerusakan pada kelenjar tiroid, sedangkan pada kucing, hipotiroiditis cenderung menyerang pada masa anak-anak dan hipertiroiditis cenderung menyerang pada umur dewasa (Dodds, 1997, 2000).

Salah satu autoantigen spesifik yang dominan pada AITD adalah Tiroglobulin (Tg) (Rapoport dan Mclachlan, 2001). Tg merupakan endogenous factor yang dapat menyebabkan penyakit AITD dan paling banyak terdapat dalam sel tiroid yaitu 75 % (Ng et al., 2004). Thrasyvoulides dan Lymberi (2004) menyebutkan bahwa dengan pemberian Tg terhadap beberapa spesies hewan seperti kelinci dan babi dapat menyebabkan AITD. Tg dari beberapa spesies seperti manusia, tikus, sapi, babi dan rodensia memiliki kesamaan fisik, struktur molekul dan biokimia (Zhou dan Gill, 2005) sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa Capra hircus tiroglobulin (cTg) atau tiroglobulin kambing yang belum pernah digunakan juga memiliki potensi yang sama dalam menginduksi terjadinya AITD.

AITD selain dapat menyebabkan penurunan hormon tiroid juga berpotensi menimbulkan adanya glomerulonefritis.

Kejadian glumerulonefritis (GN) yang ditemukan di hewan dan manusia baik anak-anak maupun dewasa, paling banyak terdapat pada kasus tiroiditis yang disebabkan oleh AITD (Iglesias, 2009). Menurut Weetman (2004), dua antigen utama yang dikenali saat AITD adalah thyroglobulin (Tg) dan thyroid peroxidase (TPO). Ikatan antigen-antibodi tersebut akan membentuk imunokompleks dimana pada kondisi autoimmune disease, jumlah imunokomplek akan meningkat pada sistem sirkulasi dan sebagian besar berdeposit di membran basal glomerulus (Sethi dan Fervenza, 2012). Imunokompleks akan mengaktifkan sistem komplemen, makrofag, granulosit, dan trombosit. Makrofag akan menghasilkan Reactive Oxigen Species (ROS) (Burex dan Rose, 2008) yang akan menimbulkan stres oksidatif dan menyebabkan kerusakan jaringan ginjal. Stres oksidatif terjadi akibat peroksidasi lipid yang akan menghasilkan produk seperti Malondialdehid (MDA). MDA di produksi secara konstan sesuai dengan proporsi peroksidasi lipid yang terjadi, sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk melihat kecepatan peroksidasi lipid in vivo (Siswonoto, 2008).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak AITD akibat induksi Capra hircus thyroglobulin (cTg), pada organ ginjal dengan melihat gambaran histopatologi dan perubahan kadar malondialdehid (MDA) ginjal.

MATERI DAN METODE Persiapan Hewan Model

Tikus putih (Rattus norvegicus) betina strain Wistar sebanyak 18 ekor dengan umur 8-12 minggu dan berat badan 100-150 gram diadaptasi selama tujuh hari dengan pemberian pakan berupa BR-1 Comfeed dan pemberian minum secara ad libitum. Tikus dibagi dalam 3 kelompok perlakuan, yang masing-masing perlakuan terdiri dari 6 ekor tikus. Alas kandang (bedding) mudah diganti dan disanitasi. Penggunaan hewan coba penelitian telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Universitas Brawijaya No. 140-KEP-UB tahun 2013.

(3)

3 Isolasi dan Perhitungan Kadar Capra hircus thyroglobulin (cTg)

Organ tiroid kambing dicuci dengan PBS, kemudian organ ditimbang 1 gram, dan digerus dengan mortar dingin, ditambahkan 1 mL PBST-PMSF dan pasir kuarsa secukupnya. Setelah itu, homogenat dituang ke dalam microtube dan disentrifus pada kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam microtube baru. Selanjutnya ekstrak protein kasar yang berisi protein tiroglobulin diukur kadarnya menggunakan uji biuret, serta absorbansinya diukur menggunakan spektofotometri pada panjang gelombang 540 nm.

Pembuatan Hewan Coba Model AITD Injeksi cTg

Metode injeksi cTg yang digunakan pada penelitian ini merupakan modifikasi dari Song et al., (2011), tikus diinjeksi pada bagian subkutan cervical pada hari ke-0 dan booster pada hari ke-14 dan ke-28 pada kelompok B dan C. Kelompok B dengan perlakuan tikus yang diinjeksi 100 µg/mL cTg (dalam CFA 1:1) sebanyak 0,2 mL /ekor kemudian dilakukan booster menggunakan 100 µg/mL cTg (dalam IFA 1:1) pada hari ke-14 dan ke-28 secara sebanyak 0,2 mL /ekor. Kelompok C, tikus diinjeksi 200 µg/mL cTg (dalam CFA 1:1) pada hari ke-0 sebanyak 0,2 mL /ekor lalu dilakukan booster menggunakan dosis 200 µg/mL cTg (dalam IFA 1:1) pada hari ke-14 dan ke-28 sebanyak 0,2 mL /ekor.

Pembuatan Preparat Histopatologi Organ Ginjal

Organ difiksasi dengan PFA 4% selama 18-24 jam, dimasukkan ke dalam aquades selama 1 jam, kemudian didehidrasi dengan alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, dan 95%, dan dimasukkan ke larutan xylol selama 1 jam. Tahap selanjutnya adalah proses infiltrasi yang dilakukan dalam parafin cair dan diembedding ke dalam blok. Jaringan pada blok paraffin dipotong dengan mikrotom setebal 4-5 mikron. Irisan diletakkan pada object glass yang sebelumnya direndam dalam poly-L-lysin.

Setelah itu, dilakukan inkubasi 24 jam. Selanjutnya dilakukan proses deparafinasi dengan menggunakan xylol (5 menit), dilanjutkan dengan proses rehidrasi menggunakan alkohol absolut 95%, 90%, 80% dan 70% secara berurutan masing-masing selama 5 menit. Jaringan kemudian dicuci dengan aquades sekali dilanjutkan dengan PBS pH 7,4 sebanyak 15 menit. Jaringan kemudian diwarnai dengan Mayer’s Hematoxylin-Eosin selama 10 menit pada suhu ruang dan dicuci dengan aquades 15 menit. Preparat dikeringkan dan dilakukan mounting menggunakan entellan kemudian ditutup dengan cover glass. Preparat yang telah jadi selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x.

Pengukuran Kadar MDA

Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan metode Thiobarbituric Acid (TBA), dimulai dengan penggerusan organ ginjal dengan berat 0,5 gram ke dalam mortar dingin dan ditambahkan larutan NaCl 0,9%. Homogenat yang terbentuk disentrifugasi dengan kecepatan 800 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil sebanyak 100 µL dimasukkan ke dalam tabung mikro, ditambahkan 550 µL aquades, 100 µL TCA 4% 100 µL HCL 1N, serta 100 µL Na-Thio dan dihomogenkan dengan vortex. Mulut tabung ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam water bath 100ºC. Setelah dingin, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 500 rpm selama 10 menit dan supernatan diambil untuk dipindah ke tabung mikro baru, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum (λmaks = 532 nm) (Aulanni’am et al., 2012).

Pengamatan Preparat Histopatologi

Hasil pembuatan preparat histopatologi ginjal diamati secara visual menggunakan mikroskop Olympus BX51 dengan perbesaran 400x dan gambaran histologis diambil dengan menggunakan kamera. Kriteria kerusakan berupa perubahan morfologi sel ginjal.

(4)

4 Analisis Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitatif untuk mengetahui gambaran histopatologi jaringan ginjal yang dianalisa dan disajikan secara deskriptif, serta data kuantitatif untuk mengetahui kadar MDA dianalisa menggunakan uji Analysis of Variant (ANOVA) dengan taraf kepercayaan sebesar 95% (α=0,05) (Kusriningrum, 2008) dan uji lanjutan Beda Nyata Jujur (BNJ) atau Tukey test menggunakan SPSS 16 for Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Histopatologi Organ Ginjal pada Tikus (Rattus norvegicus) hasil induksi Capra hircus thyroglobulin (cTg)

Pengamatan gambaran histopat ginjal dilakukan untuk mengetahui seberapa besar efek samping AITD terhadap organ ginjal. Sampel A diambil dari tikus kontrol, sampel B diambil dari tikus yang diinjeksi cTg dengan dosis 100 μg/mL, dan sampel C diambil dari tikus yang diinjeksi 200 μg/mL cTg sebanyak 0,2 mL/ekor.

Kelompok A menunjukkan adanya gambaran histologi ginjal normal. Glomerulus pada kelompok A memiliki struktur yang masih kompak dengan kapsula bowman di sekitar glomerulus yang masih terlihat jelas dan tidak rusak. Sel epitel glomerulus meliputi endotel dan podosit, yang ditunjukkan tanda panah hitam, tampak normal, kompak dan masih memiliki inti sel. Kapsula bowman yang tersusun atas sel epitel selapis pipih, terlihat jelas dengan susunan yang masih utuh. Junquiera (2007) menyebutkan bahwa glomerulus normal ditandai dengan struktur yang lengkap dan kapsula bowman yang utuh. Dinding kapiler glomerulus yang terdiri dari sel epitel, membran basal glomerulus dan sel endotel nampak utuh (ditunjukan tanda panah merah). Sel epitel tubulus yang ditunjukkan tanda panah hijau terlihat normal dengan bentuk epitel selapis kubus, tersusun rapat dan teratur dengan inti sel terlihat jelas (Gambar 1.A).

Pada kelompok B, terlihat adanya kerusakan pada bagian glomerulus ginjal

yang ditunjukkan tanda panah hitam berupa inti sel menghilang (kariolisis) dan batas antar sel tidak tampak. Begitu juga dinding kapiler glomerulus yang ditunjukan oleh anak panah warna merah dan bagian epitel tubulus (ditunjukan tanda panah warna hijau) mengalami kariolisis dan batas antar sel epitel sudah tidak dapat dilihat serta jarak antar tubulus melebar (Gambar 1.B).

Pada kelompok C terlihat kerusakan pada bagian glomerulus berupa struktur kapsula bowman tidak kompak dan dinding kapiler glomerulus tampak rusak. Terlihat kerusakan jaringan pada glomerulus berupa hilangnya inti sel dan batas antar sel menghilang. Pada bagian tubulus mengalami kerusakan berupa kariolisis, batas antar sel tidak jelas serta epitel-epitel tubulus yang rusak semakin banyak (ditunjukan tanda panah warna hijau) serta jarak antar tubulus melebar (Gambar 1.C).

Menurut Sethi dan Fervenza (2012), kerusakan dinding kapiler yang disebabkan adanya deposit imunokompleks akibat injeksi cTg yang menginduksi terjadinya AITD. Deposit imunokompleks akan mengaktivasi sistem komplemen dan makrofag. Makrofag akan melepaskan reactive oxigen species (ROS) yang akan merusak dinding kapiler dan membran basal glomerulus.

Protein yang masuk ke tubulus akan menyebabkan proses reabsorbsi membutuhkan energi yang besar sehingga bisa menyebabkan terjadinya hipoksia. Hipoksia yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan kerusakan sel sehingga terjadi kerusakan tubulus berupa nekrosis sel epitel dan kerusakan lumen tubulus yang menyebabkan bentuk tubulus abnormal. Kegagalan filtrasi glomerulus akan menyebabkan protein masuk ke tubulus sehingga kadar protein plasma darah menurun. Hal itu menyebabkan menurunnya tekanan onkotik sehingga cairan dalam pembuluh darah akan masuk kedalam jaringan dan cairan interstitial terakumulasi (edema) sehingga pada gambaran histopatologi kelompok B dan C, nampak jarak antar tubulus melebar.

(5)

5 memperlihatkan bahwa kerusakan jaringan

Gambar 1. Gambaran Histopatologi ginjal tikus (HE, 400x),

Keterangan : A = Tikus sehat (normal), B (Tikus AITD dosis 100 μg/mL): sel glomerulus dengan inti sel kariolisis dan batas antar sel yang tidak jelas, inti sel tubulus nampak kariolisis dan batas antar sel yang tidak jelas serta dinding kapiler glomerulus nampak rusak. C (Tikus AITD dosis 200 μg/mL): sel glomerulus dengan inti sel kariolisis dan batas antar sel yang tidak jelas, inti sel tubulus nampak

kariolisis dan dinding kapiler glomerulus nampak rusak. : sel glomerulus, : sel tubulus, :

dinding kapiler glomerulus

ginjal semakin meningkat seiring dengan peningkatan dosis induksi cTg pada kelompok B dan C dibandingkan dengan kelompok A. Induksi cTg akan menyebabkan AITD sehingga terjadi deposit imunokompleks di glomerulus. Deposit imunokompleks di glomerulus akan menginisiasi makrofag untuk melepaskan ROS yang akan berikatan dengan PUFA yang ada pada membran sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Semakin besar dosis induksi cTg yang dihasilkan akan menyebabkan deposit imunokompleks yang semakin banyak sehingga ROS dalam jaringan meningkat, maka jumlah PUFA yang diikat juga meningkat dan kerusakan jaringan yang terjadipun semakin besar.

Kadar Malondialdehid (MDA) Organ Ginjal pada Tikus (Rattus norvegicus) hasil induksi Capra hircus thyroglobulin (cTg)

Hasil analisa statistik menggunakan ANOVA dan Tukey test menunjukkan bahwa induksi cTg pada kelompok perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kadar MDA ginjal. Kadar MDA kelompok tikus AITD dengan induksi cTg sebanyak 100 μg/mL (10,472 ± 0,273μg/mL) atau kelompok B memiliki perbedaan nyata terhadap kadar MDA kelompok A (kelompok perlakuan kontrol) (3,560 ± 0,730 μg/mL). Kelompok B memiliki satuan yang berbeda dibandingkan kelompok A, hal ini menunjukkan bahwa induksi cTg dosis 100 μg/mL mampu meningkatkan kadar MDA secara signifikan. Kadar MDA kelompok C memiliki perbedaan yang nyata terhadap kadar MDA kelompok A atau perlakuan kontrol (3,560 ± 0,730 μg/mL) (p<0,05). Kelompok C memiliki notasi yang berbeda dibandingkan dengan kelompok normal pada

A B

(6)

6 perlakuan A. Hal ini menunjukkan bahwa induksi cTg dosis 200 μg/mL mampu meningkatkan kadar MDA secara signifikan. Data tersebut menunjukkan bahwa

peningkatan dosis cTg yang diinduksikan memiliki pengaruh dalam peningkatan kadar MDA.

Tabel 1. Kadar MDA organ ginjal tikus

Kelompok Perlakuan Rata-rata Kadar

MDA (µg/mL)

% Peningkatan Kadar MDA

Tikus normal (A) 3,560 ± 0,730 a 0

Tikus AITD dosis cTg 100 µg/mL (B) 10,472 ± 0,273 b 194,15

Tikus AITD dosis cTg 200 µg/mL (C) 19,567 ± 1,211 c 449,6

Keterangan : notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Kerusakan ginjal akibat AITD hasil

induksi cTg dapat dilihat melalui perubahan kadar Malondialdehid (MDA) ginjal pada hewan coba tikus (Rattus novergicus).

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar MDA antara kelompok kontrol (A), kelompok dosis 100 μg/mL (B), dan kelompok dosis 200 μg/mL (C). Peningkatan kelompok B sebesar 194,15 % dibanding kelompok kontrol sedangkan peningkatan kelompok C sebesar 449,6 % terhadap kelompok kontrol. Peningkatan kadar MDA tersebut berbanding lurus dengan peningkatan dosis cTg yang diinjeksikan pada tikus. Hal ini menunjukkan bahwa induksi cTg pada tubuh dapat mengakibatkan peningkatan radikal bebas di ginjal (Tabel 1).

Induksi cTg bersama CFA akan menyebabkan terjadinya AITD sehingga akan terbentuk ikatan imunokompleks yang berlebihan dalam tubuh. Imunokompleks tersebut akan terbawa melalui aliran darah dan terdeposit di ginjal. Hal tersebut didukung oleh penelitian Shima (2009) yang menyatakan bahwa terdapat akumulasi tiroid peroksidase yang tersimpan di ginjal ketika terjadi AITD. Ketika induksi cTg dilakukan, sistem imun dalam tubuh akan mengenali cTg sebagai antigen asing, maka sistem imun tersebut juga akan menyerang tiroglobulin yang ada di dalam kelenjar tiroid karena dianggap sama dengan tiroglobulin yang diinduksi dari luar. Proses tersebut dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan kelenjar tiroid. Saat terjadi inflamasi, imunokompleks dalam berbagai ukuran akan

terbentuk. Tidak semua imunokompleks yang terbentuk bisa dibersihkan oleh makrofag, imunokompleks yang berukuran lebih kecil akan masuk ke dalam pembuluh darah dan terbawa dalam peredaran darah. Induksi cTg dalam IFA yang dilakukan berulang pada hari ke 14 dan 28 akan menyebabkan produksi imunokompleks semakin meningkat sehingga imunokompleks yang masuk ke dalam peredaran darah semakin banyak (Silbernagl, 2000).

Ketika imunokompleks terbawa sirkulasi darah menuju ginjal, imunokompleks tersebut akan terdeposit di membran basal glomerulus. Penumpukan imunokompleks di membrane basal glomerulus akan memicu terjadinya reaksi hipersensitifitas tipe 3. Reaksi hipersensitifitas tipe 3 dipicu oleh adanya deposit atau penumpukan imunokompleks, imunokompleks tersebut tidak hanya mengaktifkan sistem komplemen, namun juga makrofag melalui Fc reseptor yang dimilikinya. Hal ini terjadi terutama ketika imunokompleks tersebut dihasilkan dalam jumlah banyak dan terdapat dalam peredaran darah pada waktu yang lama. Teori tersebut sesuai dengan perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini dimana induksi cTg dalam CFA dilakukan pada hari pertama kemudian induksi cTg dalam IFA diberikan sebagai booster pada hari ke 14 dan ke 28 tanpa adanya terapi sehingga menyebabkan terbentuknya imunokompleks yang berlebih.

Aktifasi makrofag oleh imunokompleks yang terjadi di glomerulus akan menginduksi

(7)

7 terjadinya respon inflamasi dan menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi inflamasi yang terjadi pada membran glomerulus ginjal akan meningkatkan pelepasan radikal bebas yang akan menyerang Polyunsaturated Fatty Acid (asam lemak tak jenuh rantai panjang) dan menyebabkan terjadi proses peroksidasi lipid. Proses peroksidasi lipid ini menghasilkan beberapa produk akhir diantaranya adalah senyawa malondialdehid (MDA). Jumlah radikal bebas yang berlebih mengakibatkan peningkatan proses peroksidasi lipid sehingga produksi MDA juga meningkat. Oleh karena itu, kelompok B dan C mengalami peningkatan kadar MDA seiring dengan peningkatan dosis cTg yang dilakukan.

KESIMPULAN

Induksi tiroglobulin kambing atau Capra hircus thyroglobulin (cTg) menyebabkan perubahan struktur ginjal berupa kerusakan jaringan pada glomerulus dan tubulus serta induksi cTg mampu meningkatan kadar MDA pada tikus sebesar 194,15% pada dosis 100 μg/mL dan 449,6% pada dosis 200 μg/mL dibandingkan dengan kelompok kontrol.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan asisten laboratorium biokimia fakultas MIPA, Universitas Brawijaya yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aulanni’am, A. Roosdiana., and N. L.Rahmah. 2012. The Potency of Sargassum duplicatum Bory Extract on Inflammatory Bowel Disease Therapy in Rattus norvegicus. Journalof Life Science 6. (2012) 144-154.

Burek, C. Lynne and N. R. Rose. 2008.Autoimmune thyroiditis and ROS.Autoimmunity Rev 7:530–537.

Canaris, G.J., N.R. Manowitz, G.M. Mayor, and E.C. Ridgway. 2000. The Colorado Thyroid Disease Prevalence

Studies. Arch. Int. Med. 160,526-534. Dodds, W.J. 1997. Autoimmune Thyroiditis

And Polyglandular Autoimmunity Of Purebred Dogs. Can Pract 22 (1): 18-19. Doods. W.J. 2000. Canine Thyroid And

Autoimmune Disease. The Saluki Welfare Fund Health Seminar 26th March 2000. Santa Monica,California Iglesias, P. and J.J. Díez. 2009. Thyroid

dysfunction and kidney disease. Eur J Endocrinol 160: 503–515.

Junquiera, and Carneiro. 2007. Basic Histology. The McGraw Hil Companies.

Kusriningrum. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press. Surabaya.

Lettre, Guillaume. and J.D. Rioux. 2008.Autoimmune diseases: insights from genome-wide association studies. Oxford Journal 17(R2):R116-R121 Ng, H.P., J.P. Banga and A.W. Kung. 2004.

Development of a Murine Model of Autoimmune Thyroiditis Induced with Homologous Mouse Thyroid Peroxidase. Endocrinology. Vol.145,no.2,pp.809-816. Rapoport, B. and S.M. McLachlan. 2001. Thyroid autoimmunity. J Clin Invest 10: 1253-1259.

Sethi, S and F. C. Fervenza. 2012. Membranoproliferative

Glomerulonephritis. N Engl J Med. 366:1119-1131.

Shima, Y., K. Nakanishi, H. Togawa, M. Obana, M. Sako, M. Miyawaki, K. Nozu, K. Iijima, and N.Yoshikawa. 2009. Membranous nephropathy associated with thyroid-peroxidase antigen. Pediatr Nephrol 24: 605–608.

Silbernagl, S.and F.Lang. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Georg Thieme Verlag.,Germany.

Siswanoto, S. 2008. Hubungan Kadar Malondialdehid Plasma Dengan Keluaran

(8)

8 Klinis Stroke Iskemik Akut [Thesis]. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. Universitas Diponegoro Semarang.

Song, Zan R., C.C Yu and F. Wang. 2011. Effects of modified Haizao Yuhu Decoction in experimental autoimmune thyroiditis rats. Journal of Ethnopharmacology. 135(2011) 321–324. Thrasyvoulides and Lymberi. 2004. Antibodies cross-reacting with thyroglobulin and thyroid peroxidase are induced by immunization of rabbits with an immunogenic thyroglobulin 20mer peptide. Clinical and Experimental Immunology, 138:423– 429. Blackwell Publishing Ltd.

Weetman, A.P. 2004. Autoimmune thyroid disease. Autoimmunity 37(4):337–40 Zhou, J.S. And H.S. Gill. 2005.

Immunostimulatory probiotic Lactobacillus rhamnosus HN001 and Bifidobacterium lactis HN019 Do Not Induce Pathological Inflammation In Mouse Model of Experimental Autoimmune Thyroiditis. International Journal of Food Microbiology. Vol. 103:1, 97– 104.

Gambar

Gambar 1. Gambaran Histopatologi ginjal tikus (HE, 400x),
Tabel 1. Kadar MDA organ ginjal tikus

Referensi

Dokumen terkait