• Tidak ada hasil yang ditemukan

Erupsi Paroxysmal Gunungapi Merapi Tahun 1006 Masehi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Erupsi Paroxysmal Gunungapi Merapi Tahun 1006 Masehi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Erupsi Paroxysmal Gunungapi Merapi Tahun 1006 Masehi

Alva Kurniawan1

Abstraksi

Pernyataan Bemmelen tentang terjadinya erupsi paroxysmal Merapi tahun 1006 M hingga saat ini merupakan sebuah polemik dikalangan ahli. Bemmelen mengemukakan hipotesis tentang erupsi paroxysmal Merapi berdasarkan tinjauan geomorfologi dari Gunungapi Merapi serta berdasarkan studi geologi struktural dan tektonisme di Gunungapi Merapi. Dasar Bemmelen yang kuat menyebabkan hipotesis ini diyakini kebenarannya, namun saat ini beragam penelitian yang dilakukan para ahli menyebabkan hipotesis tentang terjadinya erupsi paroxysmal Merapi tahun 1006 M menjadi semakin lemah.

Penelitian dilakukan pada Gunungapi Merapi yang terletak pada provinsi Jawa Tengah dan DIY. Penelitian dilakukan dengan melakukan studi pustaka terhadap berbagai referensi yang terkait dengan letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M. Hasil penelitian yang dilakukan para ahli dijadikan sebagai acuan analisis referensi dengan kondisi nyata yang akan membuktikan kebenaran sebuah hipotesis.

Hipotesis Bemmelen tentang erupsi Gunungapi Merapi tahun 1006 M tidak relevan dan sulit dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M tidak pernah terjadi. Bukti Bemmelen tentang terjadinya sebuah letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M yang mengubur candi-candi disekitarnya tidak relevan. Hasil radio dating pada candi-candi yang terkubur material vulkanoklastik menunjukkan bahwa erupsi yang mengubur candi-candi tersebut tidak terjadi dalam sekali erupsi. Perpindahan masyarakat Mataram Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur bukan akibat letusan Merapi namun akibat serangan Sriwijaya.

Kata kunci : paroxysmal, Gunungapi Merapi, Bemmelen, erupsi.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Tahun 2006 diperingati dan diwaspadai oleh sejumlah ahli ilmu bumi

di Indonesia khususnya Jawa Tengah dan DIY. Tahun 2006 kemarin diperingati sebagai seribu tahun dari letusan dahsyat Gunungapi Merapi tahun 1006. Reinout Willem van Bemmelen mengeluarkan

(2)

hipotesis bahwa Gunungapi Merapi pernah meletus sekitar seribu tahun lalu, yang ditulis dalam buku The Geology of Indonesia.

Penelitian Bemmelen tentang letusan dahsyat Gunungapi Merapi didukung oleh sebagian besar ahli gunungapi, namun saat ini banyak juga ahli gunungapi yang meragukan hipotesis tersebut. Hasil penelitian di lapangan oleh para ahli gunungapi sulit dikalibrasikan dengan hipotesis Bemmelen yang didasari oleh studi geologi struktural dan tinjauan dari geotektonik lempeng. Hingga saat ini fenomena erupsi Gunungapi Merapi merupakan sebuah polemik dikalangan ahli, banyak ahli yang membenarkan hipotesis tersebut namun juga banyak ahli yang menyanggahnya.

1.2. Ruang Lingkup

1.2.1. Lingkup Wilayah Kajian

Lingkup wilayah kajian meliputi zona Gunungapi Merapi, zona lereng kaki Merapi bagian barat daya, sekitar Candi Borobudur, Perbukitan Gendol, zona lereng kaki Merapi bagian selatan. Secara administratif meliputi Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Magelang, Muntilan, Salam, Borobudur.

1.2.2. Lingkup Materi Kajian

Lingkup materi kajian meliputi pendapat hipotesis Bemmelen tentang erupsi paroxysmal Merapi tahun 1006 M, kondisi fisik Gunungapi Merapi, serta analisis hipotesis Bemmelen berdasarkan pandangan para ahli, serta kenyataan yang ada sesuai dengan perkembangan teknologi di bidang ilmu kebumian.

1.3. Tujuan

Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini antara lain untuk :

a. bahan kajian terhadap polemik erupsi paroxysmal Gunungapi Merapi tahun 1006;

b. tinjauan kembali tentang dasar pemikiran dari hipotesis Bemmelen tentang erupsi paroxysmal Gunungapi Merapi;

c. sumber tertulis untuk kajian tentang erupsi paroxysmal Gunungapi Merapi tahun 1006 selanjutnya.

1.4. Metode

Adapun metode penulisan karya ilmiah ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dengan mencari data-data dari buku yang relevan, pengambilan data dari instansi-instansi yang terkait, serta analisis dari data-data yang diperoleh baik berupa data tabular, grafik, diagram, maupun peta.

(3)

Langkah pertama pada penulisan karya ilmiah ini adalah memahami pokok dari hipotesis Bemmelen tentang erupsi paroxysmal Gunungapi Merapi. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data-data yang tentang dasar hipotesis tersebut yang berasal dari referensi, jurnal ilmiah, kajian ilmiah modern, pendapat ahli, serta artikel ilmiah. Langkah berikutnya dilakukan analisis korelasi dari data-data yang dikumpulkan dengan hipotesis Bemmelen. Hasil korelasi tersebut kemudian disimpulkan sehingga diperoleh sebuah hasil yang memperkuat atau memperlemah hipotesis.

Analisis korelasi hipotesis Bemmelen dengan penelitian para ahli dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan fakta-fakta yang ada saat ini. Fakta-fakta tersebut berupa hasil kajian geografis, anthropologis, geologis, dan geofisika dari Gunungapi Merapi. Analisis korelasi hipotesis dengan penelitian yang dilakukan dikaitkan dengan kondisi fisiografi Merapi saat ini dimana prinsip-prinsip dasar geomorfologi, salah satunya adalah the present is the key to the past and the future (Thornbury, 1954).

2. Penelitian dan Hipotesis Bemmelen Tentang Evolusi dari Zona Fisiografi Gunungapi Merapi

Gunungapi Merapi merupakan gunungapi yang sangat aktif. Gunungapi

Merapi terletak pada perpotongan dua patahan yaitu patahan transversal yang memisahkan Jawa Bagian Tengah dengan Jawa Bagian Timur dan patahan longitudinal yang membentuk batas antara Punggungan Kendeng bagian barat dan Subzona Ngawi sebelah utara Simo. Bagian yang lebih tua dari Gunungapi Merapi (terukir dalam oleh erosi, dan terpotong oleh patahan), dan kerucut gunungapi aktif Merapi dapat dibedakan. Kerucut yang lebih tua terdiri dari olivin, basalt, augit-hypersthene, serta horblend-andesit yang sepertinya berada pada tahap pembentukan yang lebih lanjut. Kerucut gunungapi Merapi saat ini hanya menghasilkan augit-hypersthene-andesit dengan bagian bawah hornblend jika tidak ada olivin. Morfologi dari kerucut gunungapi Merapi yang lebih tua menunjukkan bahwa bagian barat mengalami pembenaman yang menyentuh bagian timur sepanjang sejumlah lengkungan, yang kurang lebih membentuk patahan geser hiperbolis yang cekung ke arah barat.

Ledakan yang dahsyat pada tahun 1006 M menghancurkan kerucut gunugapi Merapi tua. Erupsi yang dahsyat tersebut mengusir dan membuat penduduk Mataram Hindu berhamburan meninggalkan lereng-lereng Merapi serta mengubah persawahan subur disekitarnya menjadi hamparan gurun dari abu

(4)

gunungapi hasil erupsi. Kerucut gunungapi Merapi saat ini tumbuh dari reruntuhan sisa kerucut gunungapi Merapi lama pada tahun yang sama. Jumlah magma yang keluar dari Gunungapi Merapi baru pada 120 tahun terakhir diperkirakan sekitar 766 juta cb m. Jika Merapi sudah memproduksi magma selama 940 tahun, sekitar 6 cb km telah diproduksi sejak letusan tahun 1006 masehi. Perkiraan tersebut cocok dan wajar dengan ukuran kerucut aktif saat ini.

Pada kaki barat Gunungapi Merapi, antara Salam dan Muntilan, pada jarak 17,5 km dari puncak Gunungapi Merapi, ditemukan sekelompok bukit aneh ditengah-tengah hamparan sawah padi dari lembah Sungai Progo. Bukit yang paling besar dan tinggi (Gunung Gendol, 452 m diatas permukaan laut, sekitar 80 m diatas dataran alluvial) berada di tengah-tengah dari sekelompok bukit tersebut. Bukit tersebut terdiri dari breksi lahar dengan interkalasi fluviatile tuffaceous. Perbukitan tersebut secara keseluruhan terdiri dari unsur pokok vitrophyric augit-hypersthene-hornblend andesit yang bertipe sama seperti Gunungapi Merapi lama. Batuan vulkanis perbukitan tersebut berbeda dengan batuan vulkanis pada Pegunungan Menoreh, dimana pada tidak ditemukan hypersthene pada Pegunungan Menoreh. Lapisan volkanis pada perbukitan ini secara jelas terlipat, membentuk seberkas antiklinorium,

cekung ke barat dan jauh termampatkan pada bagian tengah Gunung Gendol, sementara busur tertekan ke utara dan bagian selatan dibawah permukaan dataran alluvial. Lipatan ini merupakan hasil dari tergelincirnya endapan Merapi dari kubah yang muncul di bagian barat Sungai Progo atau terbentuk dari runtuhan kerucut gunungapi Merapi tua yang dipengaruhi gravitasi. Berlawanan dengan perkiraan yang pertama lebih lanjut dapat dikatakan bahwa Pegunungan Menoreh tidak tertutupi oleh breksi dan tuff dari Merapi lama. Selama masa kwarter Pegunungan Menoreh telah terbentuk jauh lebih tinggi, mengikuti morfologinya dan sisa-sisa erosi tidak terdapat pada deposit masa kwarter.

Pada sisi lain tampak bahwa antiklinal antara Salam dan Muntilan berada pada bagian tengah antara lengan sistem patahan geser hiperbolis sepanjang runtuhan lereng Gunungapi Merapi tua. Selain itu, arah dip (kemiringan) bagian tengah Antiklinorium Gendol kurang lebih sama dengan sumbu dari sistem patahan geser hiperbolis. Oleh karena itu, endapan vulkanis fluviatile Gendol ini telah terlipat dan menggumpal melawan tepi dari Pegunungan Menoreh oleh kekuatan yang bertepatan dengan sumbu diatas sumbu sistem patahan geser hiperbolis. Hal ini menunjukkan bahwa pemampatan perbukitan itu diimbangi gerakan membentang karena runtuhnya kubah

(5)

Merapi tua. Runtuhnya Merapi pada tahun 1006 M bisa jadi mengawali gerakan tektonik sepanjang patahan transversal besar yang terletak dibawah busur gunungapi Ungaran-Merapi. Daerah sebelah barat di dekat lembah Sungai Progo, secara perlahan-lahan membenam. Konsekuensinya bagian barat dari Merapi tergelincir ke bawah ke arah daerah pembenaman tersebut. Gerakan menggelincir tersebut terhalangi oleh tepian Pegunungan Menoreh yang terkubur, menyebabkan pelipatan dari kaki Merapi tua antara Muntilan dan Salam.

Karakter yang sangat lokal dari fenomena lipatan dangkal tersebut adalah kenyataan bahwa fenomena tersebut terjadi dekat dengan candi Hindu yaitu Borobudur dan Mendut, yang dibangun pada abad kesembilan. Candi-candi tersebut bisa jadi dihancurkan oleh serangkaian gempa dan terkubur dibawah abu letusan paroxysmal Merapi pada tahun 1006 masehi. Satu-satunya efek geologi dari lipatan volkano-tektonik, ditemukan pada sebelah candi yaitu munculnya endapan alluvial muda. Nieuwenkamp seorang pelukis terkenal menyatakan bahwa Borobudur dibangun diatas danau. Survey dari Harloff dan Pannekoek (1940) menunjukkan bahwa keadaan tersebut tidak pada kondisi yang sebenarnya. Meskipun demikian pasti ada sebuah kolam diatas Sungai progo antara Pegunungan Menoreh dengan

Antiklinorium Gendol. Penurunan secara temporal dasar erosi dari area ini mungkin disebabkan oleh pelipatan kaki Merapi tua dekat dengan persimpangan antara Sungai Blongkeng dengan Sungai Progo.

Analisis struktur geologi Merapi dan sekitarnya membawa ke arah kesimpulan bahwa erupsi dahsyat tahun 1006 masehi bisa jadi hasil kombinasi dari kekuatan tektonik, gravitasi, dan vulkanik. Kekuatan tektonik menghasilkan pemicu aksi dengan menghancurkan kohesi dari kerucut gunungapi tua Merapi, gaya gravitasi mengakibatkan runtuh dan longsornya lereng Merapi tua bagian barat ke arah lembah Sungai Progo, dan pada akhirnya tenaga vulkanik yang dilepaskan menyebabkan letusan dahsyat tahun 1006 masehi.

3. Kondisi Fisik Gunungapi Merapi

Gunungapi Merapi berdasarkan koordinat geografis terletak pada koordinat 7º32` S, 110º26` E. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi tipe strato yang memiliki elevasi 2194 m. Merapi merupakan kelompok gunungapi termuda di Jawa Bagian Selatan. Gunungapi Merapi terletak dekat dengan zona subduksi dimana lempeng tektonis Indo-Australia menunjam masuk ke lempeng tektonis Eurasia. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi yang sangat aktif. Gunungapi Merapi terletak pada perpotongan dua patahan yaitu patahan transversal yang memisahkan Jawa Bagian Tengah dengan

(6)

Jawa Bagian Timur dan patahan longitudinal yang membentuk batas antara Punggungan Kendeng bagian barat dan Subzona Ngawi sebelah utara Simo (Bemmelen, 1970).

Gunungapi Merapi terbentuk kurang lebih 400.000 tahun yang lalu atau pada masa akhir Pleistosen. Pada kurun waktu 400.000 hingga 10.000 tahun yang lalu letusan Gunungapi Merapi merupakan sebuah letusan efusif, dimana magma yang dikeluarkan merupakan lava basaltic. Sejak saat itu hinga sekarang letusan Gunungapi Merapi menjadi lebih eksplosif dengan disertai aliran lava andesitic kental yang kadang-kadang membentuk lava dome. Gunungapi Merapi merupakan sebuah sistem yang kompleks. Merapi terbangun oleh material magma dengan kandungan silika yang bervariasi antara 49,5 % sampai 60,5 % berat SiO2. Stratifikasi struktur vulkanisnya terbentuk oleh aktivitas vulkanis yang bervariasi yang seiring dengan waktu. Bagian lebih tua dari Gunungapi Merapi (terukir dalam oleh erosi, dan terpotong oleh patahan), dan kerucut gunungapi aktif Merapi dapat dibedakan. Kerucut yang lebih tua terdiri dari olivin, basalt, augit-hypersthene, serta horblend-andesit dan sepertinya berada pada tahap pembentukan yang lebih lanjut. Kerucut gunungapi saat ini hanya menghasilkan augit-hypersthene-andesit dengan bagian bawah hornblend jika tidak ditemukan olivin (Bemmelen, 1970).

Kubah lava yan terbentuk bila longsor akan menimbulkan aliran lava piroklastik (pyroclastic lava flow) yang sangat khas dalam setiap letusan Gunungapi Merapi. Kadang-kadang longsornya kubah tersebut akan membentuk suatu longsoran panas (hot avalanche) yang menggumpal-gumpal yang disebut Nueès Ardente d’ Avalanche

(awan panas. Awan panas yang terbentuk pada aktifitas Gunungapi Merapi dibedakan atas dua macam, yaitu awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan (Suryo, 1978) serupa dengan St. Vincent type pyroclastics flows

(Escher, 1933 dan Macdonald, 1972) sebagai akibat langsung dari penghancuran batuan atau penutup kubah karena letusan. Awan panas guguran atau dome collapse pyroclastics flows terbentuk akibat hancurnya kubah karena gravitasi, hal ini berkaitan dengan besarnya volume kubah aktif.

Newhall, (2000) membagi endapan letusan Gunungapi Merapi menjadi tiga jenis, yaitu Endapan Proto Merapi, Endapan Merapi Tua, dan Endapan Merapi Muda. Endapan Proto Merapi diperkirakan berumur Pleistosen dan ditemukan di Bukit Turgo dan Plawangan (sisi selatan Gunungapi Merapi). Endapan Merapi Tua terdiri dari lava yang dikenal dengan Lava Batulawang (Bahar, 1984) berselingan dengan endapan piroklstik yang berumur

(7)

9630-60 BP (before present), dapat dijumpai di Srumbung, Cepogo. Proses pembentukan Gunungapi Merapi Tua berakhir dengan pergeseran endapan debris vulkanis dalam tahun 0 Masehi. Proses pembentukan Gunungapi Merapi Muda berlangsung sejak 1883 sampai sekarang. Batuan Gunung Merapi Muda terdiri dari aliran lava andesit piroksen, endapan jatuhan piroklastika, endapan aliran piroklastika, guguran dan endapan lahar muda. Batuan Merapi Tua terdiri dari endapan aliran piroklastika tua, endapan lahar tua, dan aliran lava andesit piroksen.

Berdasarkan rekonstruksi erupsi dan pola pergeseran pusat erupsi, maka urutan pola pergeseran pusat erupsi di kawasan puncak Gunungapi Merapi dikelompokkan dalam tiga periode letusan. Periode letusan berdasarkan pola pergeseran pusat erupsi andalah periode 1786-1823, periode 1832-1872, dan periode 1883-2001. Secara garis besar pergeseran titik letusan dimulai dari sisi baratlaut pindah ke timur kemudian keselatan dan kini kembali menempati sisi barat-baratdaya. Pada prinsipnya kubah lava Merapi yang tidak hancur merupakan bagian dari puncak Merapi, sedangkan kubah yang hancur merupakan bagian dari kawah. Kubah lava yang terbentuk biasanya terletak dekat dengan kubah sebelumnya.

4. Analisis Hipotesis Terjadinya Letusan Paroxysmal Gunungapi Merapi Tahun 1006 Masehi

Perpindahan masyarakat komunitas Hindu Kerajaan Mataram Kuno dalam prasasti disebutkan karena pralaya

(bencana) yang oleh Bemmelen serta Labberton di korelasikan dengan letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M. Korelasi perpindahan komunitas Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Bemmelen karena pralaya (bencana) dari Merapi dapat dikatakan tidak tepat. Berdasarkan Prasasti Pucangan tertanggal tahun 1041 M, pralaya yang dimaksud adalah serangan dari Raja Wura-Wari dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut balas atas serangan Dharmawangsa ke Sriwijaya. Kata pralaya (Mulyaningsih, 2006) terdapat pada dua prasasti yaitu Prasasti Pucangan dan Prasasti Calcutta yang menyebutkan bahwa pralaya yang terjadi adalah serangan Raja Wura-Wari yang tertanggal 938 Caka (1016 M) bukan 928 Caka (1006 M). Perpindahan masyarakat Hindu tersebut (Boechari, 1976) ternyata tidak dipengaruhi oleh letusan Merapi karena masyarakat Hindu telah berpindah ke Jawa Timur pada sekitar tahun 928 M.

Bemmelen menyebutkan bahwa letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M menyebabkan candi Borobudur dan Mendut terkubur oleh abu letusan

(8)

paroxysmal Merapi. Hasil radiocarbon dating dari fragmen-fragmen karbon pada material sedimen volkanis disekitar Borobudur menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada fragmen yang berkorelasi dengan tahun 1006 (Tabel 1). Mulyaningsih (2006) dengan melakukan C-14 dating pada beberapa lokasi ditemukannya candi-candi yang terkubur (Tabel 1) menarik kesimpulan bahwa telah terjadi enam kali periode erupsi Merapi yang terjadi setiap 50-150 tahun. Stratigrafi batuan (Mulyaningsih, 2006) disekitar situs candi menunjukkan bahwa material yang mengubur candi tersebut bukan berasal dari sekali erupsi karena terdiri dari beberapa lapis material vulkanoklastis yang berbeda umur (Tabel 2) sehingga dapat dikatakan tidak terjadi erupsi paroxysmal seperti yang diperkirakan Bemmelen pada tahun 1006 M. Serangkaian penelitian tersebut menunjukkan bahwa tertimbunnya Borobudur maupun candi-candi lainnya disekitar Merapi oleh material volkanis tidak terjadi secara langsung terjadi pada tahun 1006 M, namun melalui proses yang lama hingga ratusan tahun.

Pengamatan pola persebaran candi-candi di Peta Persebaran Candi (Gambar 2) menunjukkan suatu pola yang unik. Bangunan candi yang dibangun oleh masyarakat pada masa lampau biasanya dibangun pada daerah yang subur, terletak

dekat dengan sumber air, dan dekat dengan sumber material yaitu batu-batuan untuk membangun candi. Kondisi tersebut terpenuhi dengan baik di lereng-lereng Merapi sehingga banyak sekali candi-candi yang dibangun disekitar Merapi dari yang berumur 92 M sampai yang berumur lebih dari 954 M (Gambar 2). Berdasarkan pola persebaran pada peta (Gambar 2), candi-candi yang umurnya tua dibangun di lereng Merapi bagian selatan. Hal tersebut dapat dikorelasikan dengan aktivitas Merapi masa lampau yang dominan ke arah selatan sehingga tanah di lereng selatan subur, kondisi airnya baik serta material untuk membangun candi banyak. Candi-candi yang seumur dengan Borobudur dibangun secara mengelompok pada zona lereng kaki Merapi bagian barat (kompleks candi Budha), serta barat daya dan selatan (kompleks candi Hindu). Pola persebaran candi-candi yang seumur dengan Borobudur lebih didominasi pada zona selatan lereng kaki Merapi sehingga berkaitan dengan syarat lokasi pembangunan candi maka aktifitas Merapi saat itu tidak hanya dominan ke sektor selatan namun juga ke sektor barat. Candi-candi muda yang dibangun dominan pada zone selatan lereng kaki Merapi bahkan mendekati kerucut gunungapi Merapi bagian selatan, hal tersebut dapat diasumsikan bahwa pada masa ini (lebih dari 954 M) aktifitas Merapi lebih

(9)

dominan ke arah selatan yang menyuplai bahan dasar pembangunan candi, bukan kearah barat seperti yang dikemukakan Bemmelen.

Bemmelen menyatakan bahwa kerucut Merapi saat ini tumbuh pada kaldera Merapi tua. Bemmelen menyimpulkan bahwa kerucut gunungapi tua longsor ke arah barat akibat tidak adanya daya kohesi, kemudian tergelincir oleh pengaruh gravitasi. Zen (2006) membandingkan hipotesis Bemmelen dengan gunungapi terdekat dengan Merapi yang mengalami letusan dahsyat yaitu Gunungapi Ungaran. Depresi yang terdapat pada Gunungapi Ungaran merupakan sebuah volcano tectonic depression. Depresi tersebut terbentuk oleh dua tenaga utama bumi yaitu tenaga tektonik dan tenaga magmatik seperti yang terjadi pada Kawah Toba, Kaldera maninjau, Kaldera Ranau, dan Kompleks Krakatau. Seluruh Kaldera tersebut secara umum dikelilingi oleh sejumlah massa besar deposit aliran abu riolit atau pumestone-tuff (van Bemmelen, 1949; Westerveld, 1953; Smith et al, 1968; Williams et al, 1956; Zen, 1974). Kompleks Merapi sama sekali tidak dikelilingi oleh massa besar dari deposit aliran piroklastik riolit asam atau sedikitnya tidak ditemukan deposit aliran piroklastik andesitik dalam volume yang sangat besar. Zen (2006) menyatakan bahwa pendapat Bemmelen tentang letusan dahsyat Merapi

mungkin benar karena struktur luar kerucut gunungapi muda merupakan sebuah struktur kaldera namun bukan merupakan kaldera yang terbentuk akibat pengaruh longsornya kerucut gunungapi namun sebuah ledakan langsung yang dahsyat seperti Gunung St. Hellen dan terjadi pada masa lampau jauh sebelum tahun 1006 M. Secara geomorfologi dapat dikatakan bahwa struktur cincin yang terdapat di bawah Kerucut Merapi Muda merupakan sebuah kaldera, namun ditinjau dari mineralogi, petrografi serta deposisi material di sekitar cincin, struktur cincin tersebut bukanlah sebuah kaldera.

Erupsi paroxysmal Merapi memang tidak terjadi pada tahun 1006 M, namun para ahli masih meyakini bahwa erupsi tersebut pernah terjadi. Ditinjau dari segi geomorfologinya maka kerucut gunungapi Merapi saat ini berada dan tumbuh pada sebuah kaldera kerucut gunungapi Merapi tua. Sayangnya tidak ada cukup bukti untuk mengatakan bahwa bentukan tersebut merupakan sebuah kaldera karena material penyusunnya bukan material khas kaldera. Data-data dari hasil analisis masih kurang untuk secara absolut menyatakan bahwa hipotesis Bemmelen tentang erupsi paroxysmal Merapi tahun 1006 M salah, sehingga dibutuhkan studi lebih lanjut dengan data-data yang lebih lengkap untuk secara pasti menyatakan bahwa hipotesis tersebut benar atau salah. Letusan dahsyat

(10)

Merapi tahun 1006 M memang tidak dapat dibuktikan namun timbul permasalahan baru yaitu kemanakah hilangnya kerucut gunungapi Merapi tua. Jika kerucut tersebut hanya longsor maka tidak akan menimbulkan bentukan khas yang seperti sebuah kaldera. Permasalahan ini menjadi tantangan bagi para ahli ilmu bumi selanjutnya khususnya ahli gunungapi. Penelitian lebih lanjut tentang geomorfologi Merapi pada masa lampau sangat dibutuhkan untuk membuka misteri tentang hilangnya kerucut gunungapi Merapi tua.

5. Kesimpulan

a) Berdasarkan radio dating di sejumlah titik disekitar Merapi dapat dikatakan bahwa tidak terjadi erupsi paroxysmal Merapi pada tahun 1006 M.

b) Perpindahan masyarakat Mataram Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tidak terjadi akibat letusan Gunung Merapi tahun 1006 M karena masyarakat Mataram Hindu telah pindah ke Jawa Timur sejak tahun 928 M.

c) Material vulkanoklastik yang mengubur candi-candi disekitar Merapi bukan berasal dari sekali erupsi dari Gunungapi Merapi

namun oleh beberapi kali proses erupsi.

6. Daftar Pustaka

Andreastuti, S.D. 1999. Stratigraphy and Geochemistry of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia. Implication for Assessment of Volcanic Hazards.

Andreastuti, S.D. 2006. Did A Large Eruption of Merapi Occure in 1006 AD ?. Volcano International Gathering, Yogyakarta.

Brotopuspito, Kurbani Sri. 2006. Merapi Volcano Inspires Scientific Curiosity. Volcano International Gathering, Yogyakarta.

Kusumadinata, K. 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia. Jakarta : Direktorat Vulkanologi.

Lipman, Peter W. 1981. The 1980 Eruption of Mount St. Hellens, Washington. Washington DC : United States Government Printing Office.

Mason, Ben G. 2004. The Size and Frequency of The Largest Explosive Eruptions on Earth. Bulletin of Volcanology.

Mulyaningsih, Sri. 2006. Very Old and Younger Temple Discoveries in Yogyakarta Area: Based on Volcano-Stratigraphic Study. Volcano International Gathering, Yogyakarta.

Newhall, Christopher G. 1982. The Volcanic Explosivity Index (VEI): An

(11)

Estimate of Explosive Magnitude for Historical Volcanism. Journal of Geophysical Research.

Ollier, Cliff. 1969. Volanoes. Massachusetts : The MIT Press.

Ratmodipurbo, A. 2000. Evolusi 100 Tahun Morfologi Gunung Merapi. BPPTK Siefferman, R.G. 1990. An Ecosystem Under Acid Rain at Merapi Volcano in Central Java, Indonesia.

Van Bemmelen, R.W. 1970. The Geology of Indonesia (Second Edition). The Hague : Martinus Nijhoff.

Voight, B. 2000. Journal of Vulcanology and Geothermal Research, Special Issue Merapi Volcano.

Zen, M.T. 2006. Merapi : Dishtung und Wahreit. Volcano International Gathering,

(12)

LAMPIRAN

Gambar 1. Peta Geologi Merapi Bemmelen dan profilnya, lingkaran merah menunjukkan Antiklinorium Gendol. (Bemmelen, 1949, fig. 272)

(13)
(14)

Tabel 1. Kalibrasi dari C-14 dalam Masehi pada endapan vulkaniklastik Merapi yang terdapat pada situs candi dan zona disekitarnya. (Mulyaniningsih, 2006)

(15)

Tabel 2. Stratigrafi lokasi situs-situs Candi yang terkubur material volkanoklastis Merapi. (Mulyaningsih, 2006)

(16)

Gambar 2. Peta Persebaran Candi berdasarkan C-14 dating yang dilakukan pada tanah dasar candi berdiri. (Mulyaningsih, 2006)

Gambar

Gambar 1. Peta Geologi Merapi Bemmelen dan profilnya, lingkaran merah  menunjukkan Antiklinorium Gendol
Tabel 1. Kalibrasi dari C-14 dalam Masehi pada endapan vulkaniklastik Merapi yang  terdapat pada situs candi dan zona disekitarnya
Tabel 2. Stratigrafi lokasi situs-situs Candi yang terkubur material volkanoklastis  Merapi
Gambar 2. Peta Persebaran Candi berdasarkan C-14 dating yang dilakukan pada  tanah dasar candi berdiri

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daerah yang terkena luapan banjir lahar, mengetahui penggunaan lahan yang mengalami kerusakan akibat banjir lahar, dan menganalisis tingkat

Perubahan morfologi yang terjadi pada Sungai Code akibat aliran lahar menyebabkan pengikisan dasar sungai hingga tebing sungai sehingga timbul kerusakan beberapa tanggul yang

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik longsor tebing ( debris avalanche ) dan perubahan morfologi hulu Sungai Senowo pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun