• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil

kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu

Nancy Sendra, Frederick George Kuhuwael, AmsyarAkil, Robertus Boy Arfandy Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar - Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Rinitis akibat kerja (RAK) diperkirakan mengenai sekitar 15% pekerja di seluruh dunia yang kebanyakan pekerja industri. Terjadinya RAK dapat melalui mekanisme alergi atau refleks neurogenik. Diagnosis RAK ditegakkan dengan pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung, pemeriksaan nasal peak-flowmetry, rinometri, mucociliary clearance time, tes kulit alergi dan lain-lain. Tujuan: Untuk mengetahui dampak pajanan debu kayu terhadap peningkatan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung. Metode: Penelitian potong lintang pada pekerja di suatu perusahaan penggergajian kayu di Makassar, dari bulan November sampai Desember 2007. Dilakukan anamnesis dan pengambilan kerokan mukosa hidung, kemudian preparat kerokan mukosa tersebut diwarnai dengan pewarnaan Hansel dan kadar eosinofil dihitung di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x. Untuk analisis statistik digunakan program SPSS 11.5 for Windows. Di dalam analisis data, perbedaan relatif antara masing-masing kelompok diestimasi dengan uji Pearson Chi square α 5%. Hasil: Prevalensi pekerja penggergajian kayu dengan hasil eosinofil kerokan mukosa hidung positif adalah 35,7%. Eosinofil yang ditemukan positif pada kerokan mukosa hidung memiliki korelasi yang tidak bermakna dengan beratnya gejala hidung (p>0,05). Intensitas pajanan debu kayu pada tempat kerja tidak berhubungan dengan peningkatan kadar eosinofil (p>0,05), dan lamanya masa kerja di penggergajian tidak berhubungan dengan peningkatan kadar eosinofil (p>0,05). Akan tetapi, pekerja yang sudah ada riwayat atopi, intensitas pajanan debu kayu akan meningkatkan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung secara signifikan (p<0,05). Kesimpulan: Intensitas pajanan debu kayu dapat meningkatkan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pada individu yang atopi.

Kata kunci: rinitis akibat kerja, hitung eosinofil, kerokan mukosa hidung

ABSTRACT

Background: Occupational rhinitis is estimated affecting about 15% of global workers, which mostly are industrial workers. Occupational rhinitis could occur through allergic or neurogenic reflex mechanism. The diagnosis of occupational rhinitis could be established by eosinophils counts from nasal mucosal scrapping, nasal peak-flowmetry, rhinometry, mucociliary clearance time, allergy skin test, etc.

Purpose: To find out the effect of wood dust exposure upon the eosinophil counts in nasal mucosa.

(2)

Methods: A cross sectional research was carried out in a sawmill which processed teak wood in Makassar from November to December 2007. The workers were interviewed about their nasal complaints in their workplace and their atopic history, and underwent mucosal scraping procedure. The specimens were stained with Hansel’s and the eosinophils were counted under light microscope (100x). The statistical analyzes used SPSS for windows 11.5. The relative differences between groups were estimated with Pearson Chi square test a 5%. Results: The prevalence of positive eosinophil count was 35.7% among workers. The amount of eosinophils had no correlation to the severity of nasal symptoms (p>0.05). The intensity of wood dust exposure didn’t affect the increment of eosinophils(p>0.05). As to the duration of employment, it also didn’t affect theeosinophil count (p>0.05). However, in workers with atopic history, the intensity of wood dust exposure would increase the eosinophil count (p<0.05).

Conclusion: The intensity of wood dust exposure will increase theeosinophils of nasal mucosa in atopic workers.

Key words: occupational rhinitis, eosinophils count, nasal mucosa scrapping

Alamat korespondensi: Nancy Sendra, Bagian Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. E-mail: orlunhas@indosat.net.id

PENDAHULUAN

Rinitis akibat kerja adalah rinitis yang diakibatkan oleh substansi yang dibawa melalui udara di tempat kerja dan mempunyai gejala-gejala yang dapat diperantarai baik oleh mekanisme alergi maupun non-alergi. Gejala-gejala tersebut, berupa bersin-bersin, beringus dan atau hidung tersumbat, mungkin baru timbul beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah pajanan pertama. Gejala hidung tersebut dapat dicurigai sebagai rinitis akibat kerja bila mempunyai hubungan waktu dengan saat kerja dan membaik gejalanya bila tidak berada di tempat kerja. 1-4

Menurut penelitian, diperkirakan 15%

pekerja di seluruh dunia menderita rinitis akibat kerja. Pekerja industri adalah pekerja terbanyak yang menderita rinitis akibat kerja (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolah bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah petani, pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu atau cat, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Peningkatan konsentrasi substansi dan lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan risiko menderita rinitis akibat kerja.2,4,5

Menurut penelitian, bahan yang diduga menyebabkan rinitis akibat kerja dibagi menjadi senyawa berberat molekul besar (protein) dan berberat molekul rendah.

(3)

Contoh dari senyawa berberat molekul besar adalah antigen binatang, biji kopi, biji jarak, enzim proteolitik, gandum dan kontaminannya, antigen serangga, gum Arabic/gum acacia, psyllium, dan lateks. Sedangkan contoh senyawa berberat molekul rendah adalah diisosianat, asam anhidrida, colophony dan asam plikatik.1,5

Mekanisme terjadinya rinitis akibat kerja dapat melalui mekanisme alergi atau refleks neurogenik. Pada mekanisme alergi, pajanan IgE pada individu yang telah tersensitisasi dengan alergen yang terdapat di lingkungan kerja dapat mengakibatkan degranulasi mastosit/ basofil dan selanjutnya melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, triptase, leukotrien dan sitokin. Efek dari mediator ini adalah sekresi kelenjar (rinorea), kemotaksis (inflamasi), dan vasodilatasi. Pada mekanisme refleks neurogenik, bahan iritan yang terdapat di tempat kerja dapat menstimulasi reseptor aferen saraf trigeminus, sehingga terjadi refleks parasimpatis dan refleks akson yang melepaskan neuropeptida substansi-P dari cabang aferen saraf trigeminus.6-8

Pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung merupakan salah satu cara pemeriksaan untuk diagnosis rinitis akibat kerja, selain dari pemeriksaan nasal

peak-flowmetry, rhinometry, mucociliary

clearance time, tes kulit alergi dan lain-lain. Untuk pemeriksaan eosinofil, spesimen

mukosa dapat diambil dengan teknik kerokan, usapan kapas lidi, bilasan, brushing dan imprint. Pewarnaan spesimen dengan cara Hansel sangat sensitif untuk melihat eosinofil pada mukosa.9-11

Penelitian ini bertujuan mengetahui dampak intensitas pajanan debu kayu dan lamanya masa kerja terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergajian kayu, mengetahui korelasi antara beratnya gejala hidung dan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung, serta mengetahui dampak riwayat atopi terhadap peningkatan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung.

METODE

Metode penelitian ini adalah potong lintang dengan pendekatan observasional. Penelitian dilakukan dari bulan November sampai dengan Desember 2007 di sebuah penggergajian kayu jati PT. X di Makassar, provinsi Sulawesi Selatan dan laboratorium Patologi Klinik RS Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Sampel pekerja diambil dengan cara simple random sampling dan memenuhi kriteria inklusi penelitian. Pekerja kemudian dikelompokkan menurut intensitas pajanannya terhadap debu kayu, yaitu intensitas tinggi adalah pekerja berada pada ruang penggergajian kayu halus yang tertutup (kadar debu 12,473 mg/m3 diukur

(4)

dengan alat low volume dust sampler); intensitas sedang adalah pekerja yang berada pada ruang penggergajian kayu kasar dengan bukaan udara yang luas (kadar debu 11,012 mg/m3); dan intensitas rendah adalah pekerja administrasi, petugas kebersihan kantor, dan petugas kantin yang masih terdapat dalam wilayah pabrik (kadar debu 1,556 mg/m3) .

Seluruh pekerja dilakukan anamnesis meliputi umur, jenis kelamin, keluhan gejala beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat saat bekerja, rerata waktu pajanan per minggu terhadap debu kayu, lama masa kerja di penggergajian dan riwayat atopi. Kemudian dilakukan pemeriksaan klinis THT, pengambilan kerokan mukosa hidung, pengambilan sampel feses. Pengukuran kadar debu total dilakukan pada beberapa titik di lokasi tempat kerja.

Sampel kerokan mukosa hidung diambil dengan melakukan kerokan pada permukaan konka inferior menggunakan sengkelit, selanjutnya sampel yang diperoleh dipindahkan ke object glass dan disebarkan dengan ukuran apusan minimal berdiameter 1,5 cm. Preparat lalu difiksasi di atas api kemudian dipulas dengan reagen Hansel selama 2 menit (Etil alkohol 95%:4 bagian, Methylen Blue 1%:2 bagian, Eosin 1%:1 bagian). Preparat dicuci dua kali masing-masing dengan air dan etil alkohol 95% dan akhirnya dikeringkan di udara. Hitung eosinofil dilakukan di bawah

mikroskop dengan objektif 100x dan diperiksa pada sepuluh lapangan pandang.

Eosinofil tampak mempunyai bentuk bundar dengan sitoplasma berwarna kemerahan. Penilaian gradasi eosinofil dilakukan dengan kriteria Naclerio, yaitu: negatif (-) bila tidak dijumpai eosinofil/sepuluh lapangan pandang; positif (+1) bila ditemukan 1-5 eosinofil/sepuluh lapangan pandang; positif (+2) bila ditemukan 6-15 eosinofil/sepuluh lapangan pandang; positif (+3) bila ditemukan 16-20 eosinofil/sepuluh lapangan pandang; dan positif (+4) bila ditemukan >20 eosinofil/sepuluh lapangan pandang.9 Pemeriksaan sampel tinja dilakukan di laboratorium Patologi Klinik rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo. Bila ditemukan cacing dalam feses, maka preparat eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja tersebut diekslusi dari penelitian.

Untuk analisis statistik digunakan program SPSS 11.5 for Windows. Di dalam analisis data, perbedaan relatif antara masing-masing kelompok diestimasi dengan uji Pearson Chi square α 5%.

HASIL

Dari 200 orang pekerja, didapatkan 112 orang yang memenuhi kriteria inklusi sebagai sampel, terdiri dari pria 42 orang (37,5%) dan wanita 70 orang (62,5%). Usia termuda 15 tahun dan tertua 61 tahun dengan rerata usia 26,6 ±8,69 tahun dengan

(5)

rerata lama masa kerja di penggergajian adalah 4,8 ±3,74 tahun. Gejala hidung yang paling sering dikeluhkan adalah bersin-bersin sebesar 60,7%, hidung buntu 56,25% dan beringus 50%. Beberapa orang memiliki satu, dua bahkan ketiga-tiganya keluhan hidung.

Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara beratnya gejala hidung dan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung (p>0,05). Sembilan dari 26 orang yang tanpa gejala hidung (34,6%), ternyata memiliki kadar eosinofil positif pada kerokan mukosa hidung. Sedangkan pada 55 dari 72 orang dengan kerokan eosinofil negatif (76,3%) didapatkan adanya keluhan gejala hidung.

Tabel 1. Distribusi gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung menurut intensitas pajanan

di tempat kerja Gradasi

Eosinofil

Intensitas pajanan di tempat kerja Total

Tinggi Sedang Rendah

negatif 38 62,3% 27 67,5% 7 63,6% 72 64,3% +1 22 36,1% 8 20,0% 4 36,4% 34 30,4% +2 1 1,6% 2 5,0% 0 0,0% 3 2,7% +3 0 0,0% 1 2,5% 0 0,0% 1 0,9% +4 0 0,0% 2 5,0% 0 0,0% 2 1,8% TOTAL 61 100% 40 100% 11 100% 112 100%

Gradasi eosinofil positif terbanyak adalah pada derajat +1 (30,4%) dan dapat

ditemukan pada pekerja yang bekerja di lokasi berintensitas pajanan tinggi, sedang maupun rendah. Sementara derajat eosinofil tinggi (+3 dan +4) hanya ditemukan pada pekerja yang berada di tempat kerja berintensitas pajanan sedang. Dampak intensitas pajanan di tempat kerja terhadap gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung dengan pengujian statistik uji Pearson Chi square diperoleh hasil yang tidak bermakna (p>0,05).

Tabel 2. Distribusi gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung menurut lamanya masa kerja

Gradasi Eosinofil

Lamanya masa kerja di penggergajian Total 1-5 th 5.1-10 th 10.1- >15th negatif 50 68,5% 15 50,0% 5 71,4% 2 100% 72 64,3% +1 20 27,4% 12 40,0% 2 28,6% 0 0,0% 34 30,4% +2 0 3 0 0 3 0,0% 10,0% 0,0% 0,0% 2,7% +3 1 1,4% 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 1 0,8% +4 2 2,7% 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 2 1,8% Total 73 100% 30 100% 7 100% 2 100% 112 100

Masa kerja terbanyak adalah pada periode 1-5 tahun di mana gradasi eosinofil positif yang terbanyak ditemukan adalah derajat +1 (27,4%), disusul oleh derajat +3 (1,4%) dan derajat +4 (2,7%). Pada masa kerja lebih dari 15 tahun, hanya ada dua orang pekerja dan keduanya dengan gradasi eosinofil negatif. Dengan uji statistik,

(6)

dampak lamanya masa kerja terhadap gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung adalah tidak bermakna (p>0,05).

Pada pekerja dengan riwayat atopi diperoleh gradasi eosinofil positif pada intensitas tinggi-sedang sebesar 25 orang (86,6%) dan hanya 6 orang (19,4%) yang gradasi eosinofilnya negatif. Sedangkan pada pekerja yang tanpa riwayat atopi diperoleh gradasi eosinofil positif pada intensitas tinggi-sedang hanya 11 orang (15,7%) dan sebesar 59 orang (84,3%) adalah gradasi eosinofil negatif. Dengan uji statistik, diperoleh hasil yang bermakna (p<0,05) pada kelompok yang atopi. Sedangkan pada kelompok yang tanpa riwayat atopi, hasil uji statistik tidak bermakna (p>0,05).

Tabel 3. Distribusi gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung menurut intensitas pajanan

dan riwayat atopi Intensitas Pajanan Eosinofil positif Eosinofil negatif Total Atopi (+) Tinggi-sedang 25 86,6% 6 19,4% 31 100% Rendah 1 20,0% 4 80,0% 5 100% Atopi (-) Tinggi-sedang 11 15,7% 59 84,3% 70 100% Rendah 3 50,0% 3 50,0% 6 100% DISKUSI

Kadar eosinofil dalam darah dan

jaringan relatif rendah, kecuali pada pasien atopi dan infeksi parasit. Walaupun tidak diketahui memiliki surface marker, eosinofil dapat diidentifikasi pada darah dan jaringan melalui afinitas granul sitoplasmiknya terhadap zat warna anilin seperti eosin. Karena eosinofil sulit dideteksi dalam jaringan setelah degranulasi, pewarnaan immunologis untuk protein yang spesifik untuk eosinofil, terutama major basic protein (MBP) dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan adanya eosinofil teraktivasi dalam jaringan.10

Pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung merupakan salah satu cara pemeriksaan rinitis akibat kerja yang murah dan mudah dilakukan. Arjana dkk.11 dan Alimah12 telah menggunakan pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung untuk mendeteksi rinitis alergi, di mana dilaporkan sensitivitasnya 70% dan spesifisitasnya 94%. Kelemahan dari pemeriksaan ini adalah tidak dapat menyaring peningkatan kadar eosinofil yang disebabkan oleh investasi parasit dan non-alergic rhinitis with eosinophylia syndrome (NARES). Pada penelitian ini, pasien yang ditemukan adanya investasi parasit dalam feses akan diekslusi sebagai percontoh penelitian.11,12

Prevalensi pekerja dengan hasil kerokan mukosa hidung positif eosinofil adalah 35,7% dari jumlah seluruh sampel pekerja yang diperiksa kadar eosinofil

(7)

kerokan mukosa hidungnya. Adanya eosinofil dalam kerokan mukosa hidung menunjukkan adanya minimal persistance inflammation, walaupun pada pekerja yang tanpa gejala hidung. Eosinofil dapat menimbulkan hiper-responsivitas mukosa hidung, sehingga dengan rangsangan yang minimal telah dapat menimbulkan iritasi pada jalan napas.6,8

Efek lain dari adanya eosinofil pada mukosa hidung adalah terlepasnya protein berberat molekul rendah yang tersimpan dalam granula sitoplasmiknya, yaitu MBP, eosinophil derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dan ECP bersifat toksik dengan merusak membran sel target melalui interaksi yang diperantarai muatan elektrolit (charge-mediated interaction). MBP juga mengaktivasi trombosit, sel mast dan basofil, yang akhirnya menghasilkan histamin. MBP dapat menginduksi hiper-responsivitas jalan napas dengan secara kompetitif menghambat pengikatan reseptor muskarinik kolinergik (M2) pada saraf parasimpatis, sehingga penghambatan reseptor ini oleh MBP akan mempercepat pelepasan asetilkolin pada jalan napas.

Pada rinitis akibat kerja, beratnya gejala hidung yang dikeluhkan oleh pekerja tidak berbanding lurus dengan kadar eosinofil kerokan mukosa hidungnya. Berbeda dengan penelitian Madiadipoera

dkk.13 yang menyatakan bahwa semakin tinggi akumulasi sel eosinofil di mukosa hidung, semakin berat gejala rinitis alergi. Diduga rinitis akibat kerja yang disebabkan oleh debu kayu jati (Tectona grandis) tidak diperantarai oleh mekanisme alergi, tetapi oleh mekanisme non-alergi, yaitu refleks neurogenik yang menimbulkan refleks parasimpatis dan refleks aksonal.5,13

Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara intensitas pajanan debu kayu dengan peningkatan gradasi eosinofil mukosa hidung. Tidak bermaknanya dampak intensitas pajanan diduga disebabkan oleh jenis kayu yang digunakan adalah jenis kayu Jati (Tectona grandis) yang diduga kurang mempunyai potensi alergenik. Jenis kayu yang pernah dilaporkan mengakibatkan rinitis akibat kerja adalah kayu obeche, west red cedar dan pinus. Pada ketiga jenis kayu tersebut, ditemukan kandungan asam abietik dan asam plikatik yang merupakan protein berberat molekul ringan yang bersifat alergenik.3,5 Faktor lain yang diduga berperan adalah hasil pengukuran kadar debu total pada lokasi pabrik tidak terlalu tinggi melampaui nilai ambang batas yang dianjurkan, yaitu 12,473 mg/m3 dan 11,012 mg/m3 (nilai ambang batas 10 mg/m3).

Lamanya masa kerja di penggergajian dan peningkatan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung tidak bermakna berdasarkan

(8)

uji statistik (p>0,05). Pekerja yang dimasukkan ke dalam sampel sudah dibatasi hanya yang masa kerjanya minimal satu tahun, tetapi adanya mutasi lokasi pekerjaan dalam satu perusahaan tidak dapat dihindari. Sehingga intensitas pajanan tidak konstan selama masa kerja.

Pada pekerja yang mempunyai riwayat atopi ditemukan intensitas pajanan debu kayu mempunyai korelasi bermakna terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung (p<0,05). Artinya pada pekerja yang mempunyai riwayat atopi tampak bahwa semakin kuat intensitas pajanan semakin meningkat kadar eosinofil mukosa hidung. Riwayat atopi pada pekerja hanya diketahui melalui anamnesis riwayat salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, dermatitis atopi atau sudah pernah didiagnosis atopi oleh dokter perusahaannya. Pada penelitian Talini et al14 yang meneliti pekerja furnitur yang sudah ada riwayat atopi (dibuktikan dengan tes kulit positif) juga memiliki kecenderungan rinitis daripada pekerja yang hasil tes kulitnya negatif. Demikian juga Schlunssen15 pada penelitiannya tentang rinitis dan asma akibat kerja melaporkan bahwa individu yang atopi, dengan hasil tes cukit kulit positif, lebih cenderung mengalami hiper-responsivitas jalan napas daripada individu yang non-atopi.

Untuk menilai beratnya gejala yang ditimbulkan oleh rinitis akibat kerja,

sebaiknya di samping melakukan pemeriksaan sitologi hidung (hitung sel pada kerokan mukosa) juga menyertakan salah satu pemeriksaan fisiologi hidung seperti nasal-peak flowmetry, rhinomanometry, mucociliary clearance time, dan Doppler nasal blood flowmetry, sehingga efek sebenarnya dari iritasi atau alergi akibat substansi di lingkungan kerja dapat diukur secara kuantitatif.

Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa pemeriksaan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung dengan pewarnaan Hansel, dapat digunakan sebagai alat pemeriksaan yang murah dan mudah dilakukan untuk rinitis akibat kerja. Didapati bahwa intensitas pajanan terhadap debu kayu dan lama masa kerja tidak bermakna terhadap peninggian kadar eosinofil kerokan mukosa hidung. Individu dengan riwayat atopi akan memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan kadar eosinofil mukosa hidung bila bekerja pada tempat yang tinggi intensitas pajanan debu kayu daripada orang yang tanpa riwayat atopi. Dianjurkan pemakaian alat proteksi diri (masker) untuk menghindari pajanan debu kayu di tempat kerja, terutama bagi pekerja yang sudah ada riwayat atopi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arandelovic, Stankovic, Juvanovic, Borisov, Stankovic S. Allergic rhinitis possible occupational disease-criteria suggestion.

(9)

Acta Dac Med Naiss 2004;21(2):65-71. 2. Dykewicz, Fineman S. Diagnosis and

management of rhinitis complete guidelines of the joint task force on practice parameters in allergy, asthma and immunology. Ann Allergy Asthma Immunol 1998; 81(2):484-6.

3. Mc. Cunney RJ. A Practical approach to occupational and enviromental medicine. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003.

4. IFC international guidelines for occupational health and safety: enviromental and social guidelines for occupational health and safety. New York: Springer; 2003.

5. La Dou J. Current occupational and enviromental medicine. 3rd ed. Boston: McGraw Hill;2004.

6. Bailey BJ, Calhoun KH, Deskin RW. Head and neck surgery otolaryngology. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1998. p. 349-71.

7. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.

8. Bousquet J, Cauwenberge P, Khaltev N. World health organisation in initiative Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). J Allergy Clin Immunol 2001; 108(5):252-8.

9. Naclerio RM, Durham S, Mygind N. Rhinitis mechanism and management. New York: Marcel Decker; 1999.

10. Parslow TG, Stites DP, Terr AI, Imboden JB. Medical immunology. 10th ed. Boston: McGraw Hill; 2001.

11. Arjana IM, Rianto BU, Sudarman K. Eosinofil usapan mukosa hidung kajian terhadap validitas sebagai kriteria diagnostik rinitis alergi. ORLI 2001; 31(4):41-7.

12. Alimah Y. Hubungan jumlah eosinofil mukosa hidung dengan durasi dan beratnya gejala rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA WHO. Tesis. Makassar: Program Pendidikan Dokter Spesialis THT-KL Fakultas Kedokteran. UNHAS; 2005. 13. Madiadipoera T, Surachman, Sumarman I,

Boesoerie T. Parameter keberhasilan pengobatan rinitis alergi. ORLI 2003; 33(2):68-75

14. Talini D, Monteverdi A, Benvenuti A, Petrozzino M, Di Pede F. Asthma-like syndrome, atopy and bronchial responsiveness in furniture workers. Occup Environ Med [serial online]. 1998 [cited 2008 Jan 5]; 55:786-91. Available from: http://www.oem.bmj.com/cgi/content/abstra ct/55/.

15. Schlunssen V, Schaumburg I, Andersen NT, Sigsgard T, Pedersen OF. Nasal patency is related to dust exposure in woodworkers. Occup Environ Med [serial online]. 2002 [cited 2008 Jan 5]; 59:23-9. Available from: http://www.oem.bmj.com/cgi/content/full/5 9/.

Gambar

Tabel 2. Distribusi gradasi eosinofil kerokan  mukosa hidung menurut lamanya masa kerja
Tabel 3. Distribusi gradasi eosinofil kerokan  mukosa hidung menurut intensitas pajanan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengembangnya masih terjadi ketidakmerataan pengembangan, pada wilayah Bali Selatan, pengembangan pariwisata berpusat pada Kabupaten Badung dan Denpasar, hal tersebut

(1) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam lampiran IIA Angka (8) Peraturan

b) Compositional analysis of separator gas and liquid up to heptanes plus fraction, including determination of nitrogen and carbon dioxide fractions as well as calculation

(1) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam lampiran IIA Angka (8) Peraturan

Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh

Keutuhan narendra dan kraton bukan saja dapat dilihat sebagai refleksi dari keutuhan kekuasaan, tetapi juga mengungkapkan ada kesatuan dan keteraturan tata kosmos

Dalam penelitian ini digunakan istilah jangjawokan nyadarkeun, istilah ini digunakan oleh kelompok seni tradisi reak helaran sebagai sebutan untuk mantra menyadarkan

Sibawaihi, Lc mengenai Manajemen kelas VIII di MTs Muallimin Univa Medan sebagai berikut “Manajemen kelas menurut saya adalah usaha yang dilakukan bagaimana kami seorang