BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, sumber hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Keduanya juga disebut dalil—dalil pokok hukum Islam karena merupakan petunjuk (dalil) utama hukum Allah. Ada pula dalil yang lain seperti qiyas, istihsan, istishab, dll, namun dalil tersebut hanya sebagai dalil pendukung yang merupakan alat bantu untuk sampai pada hukum-hukum yang dikandung Al-Quran dan sunnah, sehingga disebut pula sebagai metode ijtihad. Salah satu metode ijtihad yaitu Saddu Adz-Dzariah.
Saddu adz-Dzariah merupakan pembahasan seputar zari‟ah (perantara) untuk mencapai pada suatu tujuan yang mendatangkan mudharat, karena setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan manusia pasti mempunyai tujuan yang jelas. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya.
Makalah ini akan membahas tentang Saddu adz-dzariah,
pengelompokannya, beberapa pandangan ulama, serta aplikasinya dalam ekonomi Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan sadd Adz-Dzari‟ah?
2. Bagaimana pengelompokkan dzari‟ah?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang sadd adz-dzariah?
4. Bagaimana aplikasi sadd adz-dzariah dalam ekonomi Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi sadd adz-dzari‟ah
2. Mengetahui pengelompokkan dzari‟ah
3. Mengetahui pandangan ulama tentang saad adz-dzariah
BAB II Pembahasan A. Definisi Dzari’ah dan Sadd adz-Dzariah
1. Dzari‟ah
Secara etimologi (lughawi) al-dzari‟ah berarti:
ءيشلا لىإ ابه لصوتي تيلا ةليسولا
ايونعم وأ ايسح ناك ءاوس
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma‟nawi, baik atau buruk”. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari‟ah dengan “ sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari‟ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang
bertujuan kepada yang dianjurkan. 1
Badran dan Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzari‟ah. Perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju kepada wasilah atau perantara. Pada dzari‟ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Misalnya zina adalah perbuatan pokok dan khalwat adalah perantara. Maka terjadinya zina tidak tergantung pada terjadinya khlawat. Sedangkan pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara, misalnya wudhu yang menjadi perantara shalat.
Perbedaan kedua, dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang ada di balik perantara itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang diperintahkan, maka wasilahnya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang dilarang, maka wasilahnya disebut
dzari‟ah.2
1 Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal. 160 2 Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001, hal. 400
2. Saddu adz—Dzari‟ah
Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-zari’ah
berarti wasilah atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd
adz-dzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.3
Sedangkan menurut istilah, Imam al-Syathibi mendefinisikan dzari‟ah dengan:
ةدسفم لىإ ةحلصم وه ابم لسوتلا
“melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan untukmenuju kepada suatu kemafsadatan”4
Sedangkan al-Syaukani memberi definisi dzari‟ah dengan :
روظلمحا لعف لىإ ابه لصوتيو ةحابلإا اهرهاظ تيلا ةلأسلما
“masalah (sesuatu) yang dilihat secara lahir adalah mubah (boleh), tetapi membawa kepada perbuatan yang terlarang”. Maksudnya, seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhirpada suatu kemafsadatan.5
B. Pengelompokan Dzari’ah
Ada dua pembagian dzari‟ah yang dikemukakakn para ulama Ushul Fiqh. Dzari‟ah dilihat dari dampak (akibat) yang ditimbulkannya dan dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan.
3
Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005, hal.172
4 Nasroen Haroen, Ushul....Op.Cit, hal. 161
5 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam
1. Dengan melihat dari dampak yang ditimbulkannya, Ibn Qoyyim membagi dzari‟ah menjadi empat, yaitu:
a. Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti
meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk merupakan suatu kemafsadatan.
b. Perbuatan yang pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau
dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak. Perbuatan yang mengandung tujuan yang disengaja misalnya seseorang yang menikahi seorang wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan agar suami pertamanya itu bisa menikahinya kembali (nikah at-tahlil). Perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan semula adalah mencaci sesembahan orang musyrik yang diduga keras akan menyebabkan munculnya cacian yang
sama terhadap Allah Swt.6 Dzari‟ah macam ini dibagi lagi menjadi
dua:
1. Perbuatan yang dibolehkan, tidak ditujukan untuk kerusakan
namun biasanya sampai juga pada kerusakan, dan kerusakan tersebut lebih besar daripada maslahahnya. Contohnya adalah berhiasnya seorang wanita yang baru kematian suaminya dalam masa iddah.
2. Perbuatan yang dibolehkan namun terkadang membawa pada
kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dari
maslahahnya. Contohnya melihat wajah perempuan yang akan
dipinang.7
2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syathibi
membagi dzari‟ah kepada empat macam:
a. Dzari‟ah yang membawa kepada kemafsadatan secara pasti
(qath‟i). Artinya, bila perbuatan itu tidak dihindarkan pasti akan
6 Nasroen Haroen, Ushul....Op.Cit, hal. 166 7 Amir Syarifuddin, Ushul...Op. Cit, hal.402
terjadi kerusakan. Misalnya menggali lubang didepan pintu rumah orang lain di malam hari, sehingga orang yang keluar dari rumah tersebut pasti akan jatuh. Walaupun penggalian lubang
diperbolehkan, namun penggalian semacam ini akan
mendatangkan kerusakan8
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau dzari‟ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Contohnya menjual senjata api kepada penjahat dan
menjual anggur kepada produsen minuman keras.9.
c. Dzari‟ah yang boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada
kemafsadatan misalnya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah, karena yang dilarang itu apabila diduga keras perbuatan tersebut membawa kerusakan.
d. Dzari‟ah yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Misalnya bay‟u al- „ajal (jual beli kredit).
Jual beli seperti itu cenderung berimplikasi pada riba.10
C. Pandangan Ulama tentang Sadd adz-Dzariah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode
dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
1. Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum. Jumhur ulama yang pada dasarnya
8 _______, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1996, Hal. 2006 9 Amir Syarifuddin, Ushul...Op. Cit, hal. 403
menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, juga menerima metode sadd
adz-dzari‟ah, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya. 11
Ulama yang menyatakan bahwa sadd adz-dzariah dapat menjadi dalil dalam menetapkan hukum syara‟ diantaranya adalah para ulama Malikiyah dan Hanabilah. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Hal itu disebabkan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan hal tersebut. Contohnya dalam surat AL-An‟am: 08
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”12
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah dibolehkan, bahkan jika perlu memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina akan menyebabkan orang tersebut mencaci Allah maka perbuatan tersebut dilarang. Contoh lain adalah surat an-Nur: 31
“dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.”13
Menghentakkan kaki bagi perempuan adalah hal yang dibolehkan, namun karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi
11 Amir Syarifuddin, Ushul...Op. Cit, hal. 404 12 Q.S. Al-An‟am: 8
dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki menjadi dilarang.
Sedangkan menurut sunnah, dalam sebuah kasus Rasulullah saw melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (H.R Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin mendapatkan harta
warisan.14 Contoh lain adalah haramnya berkhlawat bagi seorang
wanita dan pria yang buakn mahramnya serta larangan bagi wanita untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahramnya (HR Bukhari dan Muslaim), larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya karena hal ini akan membuat putusnya hubungan kekerabatan antara wanita-wanita tersebit (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, dan
Abu dawud)15
Dari beberapa contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Ditempatkannya adz-dzari‟ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara‟ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah itu adalah sebagaimana hukum yang
ditetapkan syara‟ terhadap perbuatan pokok.16
2. Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai
metode istinbath pada kasus tertentu. Akan tetapi Wahbah Zuhaili
menyebutkan bahwa Abu Hanifah dan al-Syafi‟i dalam kondisi—
14 Nasroen Haroen, Ushul...Op.cit, hal. 167-168 15 _______, Ensiklopedi...Op.Cit, pg. 2006 16 Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 400
kondisi tertentu juga menggunakan sadd adz-dzariah. 17 Contoh kasus
Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau
melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau
sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada
tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah
dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab
Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan
tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd
adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu
pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.18
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan
penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah
transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal).
3. Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna
tekstual (zahir al-lafzh). Oleh sebab itu mereka menolak sadd
adz-dzari‟ah dengan berbagai alasan berikut:
a. Dasar pemikiran sadd adz-dzari‟ah itu adalah ijtihad dengan
berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama
17
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986, hal. 888-889
18 Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, , juz 1,
zhahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (nalar) seperti ini.
b. Hukum syara‟ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah
dalam Al-Quran atau sunnah dan Ijma‟ ulama. Adapun yang ditetapkan di luar ketiga sumber tersebut bukanlah hukum syara‟. Dalam hubungannya dengan sadd adz-dzari‟ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma‟ hanyalah hukum pokok atau mawashid, sedangkan hukum pada wasilah atau dzari‟ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau
ijma‟.19
D. Beberapa Aplikasi Sadd adz-Dzari’ah dalam Ekonomi Islam
1. Bay’u al-‘inah
a. Definisi Bay‟u al-„Inah
‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih adri jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali
secara kontan dengan harga lebih murah.20 Jual beli „inah adalah pinjaman
ribawi yang direkayasa denga n praktik jual beli.
Perlu diketahui bahwa ternyata jual beli inah ini, menurut selain madzhab Malikiyah disebut-sebut dengan jual beli „ajal, yaitu yang mengandung siasat menjurus kepada riba, yaitu seseorang menjual barang dengan pembayaran bertempo. Kemudian membelinya lagi pada saat itu juga, Jual beli ini disebut„inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah „ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki „ain (benda) yang dia jual
19 Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 406
20 Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta: 2004,
pada waktu itu juga. Sedangkan menurut Malikiyah jual beli ajal adalah jual beli yang diadakan oleh pembeli dari apa yang telah dia beli kepada
penjual atau wakilnya dengan pembayaran bertempo.21
Gambarannya adalah sebagai berikut: misalnya, Salwa menjual
mobilnya seharga 125.000.000 kepada Najwa secara tempo dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba, Salwa membelinya kembali dari Najwa dengan harga 100.000.000 secara kontan.
Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayar 125.000.000 kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. Selisih 25.000.000 dengan adanya perbedaan waktu merupakan tembahan ribawi
yang diharamkan.22
b. Hukum jual beli „Inah
Para ulama sepakat bahwa jual beli „inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua kedalamnya. Namun para
ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya.23
Menurut Malikiyah, akad jual beli ini batil jika ditemukan indikasi niatan yang tidak baik (dosa). Dengan alasan, untuk mencegah terjerumus dalam kerusakan. Syafi‟iyah dan zahhiriyah menyatakan keabsahan bai‟ ajal karena rukunnya telah lengkap, adapun niatan yang kurang baik, hal itu dikembalikan kepada Allah Swt. Menurut Abu Hanifah, secara dzahir akad jual beli ini sah, dengan catatan terdapat seorang muhalil (pihak
21 http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/ 22 Wahbah Zuhaili, Ushul...Op.Cit, hal. 467-480
ketiga yang melakukan pembelian hp dari pembeli pertama, kemudian ia
menjualnya kepada penjual pertama).24
Ulama malikiyah dan hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan Hanafiyyah dan Syafi‟iyah berpegang kepada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukan. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan pandangan tentang niat dan lafal dalam masalah transaksi (akad). Ulama Hanafiyyah dan Syafi‟iyah mengetakan bahwa dalam suatu urusan transaksi yang dilihat dan diukur adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Apabila akad yang disepakati dua orang telah memenuhi rukun dan syarat, maka akad itu sah. Adapun masalah niat yang
tersembunyi dalam akad, diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt.25
Kesimpulan : jumhur ulama selain Syafi‟iyah menghukumi jual beli inah fasid, karena menjurus pada riba, dan seakan-akan membolehkan apa yang Allah ta‟ala larang, maka tidak dishahihkan, dengan kata lain suaatu alasan
yang mendorong kepada kejelekan itulah yang merusak akad.26
2. Kartu Kredit Bagi Orang Yang Belum Layak
Credit card/ kartu kredit adalah jenis kartu yang dapat digunakan sebagai alat transaksi jual beli barang atau jasa, dimana pelunasan atau pembayarannya kembali dapat dilaukan sekaligus atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu. Jumlah cicilan tersebut dihitung dari nilai saldo tagihan ditambah bunga bulanan. Tagihan pada bulan laluu termasuk bunga (retail interest) merupakan pokok pinjaman pada bulan
24
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Mualamah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2008, hal. 92-93
25 Nasroen Haroen, Ushul....Op.Cit, hal. 170
berikutnya.27 Sedangkan akad yang digunakan pada kartu kredit syariah
adalah akad kafalah dan ijarah.28
Dewasa ini penggunaan kartu kredit telah umum di hampir semua kalangan masyarakat karena kemudahan dan keefisienannya dalam melakukan transaksi. Namun, kartu kredit juga memiliki beberapa kerugian bagi pemegangnya. Biasanya nasabah agak boros dalam berbelanja, hal ini karena nasabah merasa tidak mengeluarkan uang tunai
untuk belanja sehingga hal-hal yang tidak perlu dibeli juga. 29 hal ini tentu
saja bertentangan dengan syariat Islam yang melarang untuk berfoya-foya (mubadzir). Dalam prosesnya, pihak yang mengeluarkan kartu kredit ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatannya penutupan hutang, karena penundaan, atau karena tersendatnya pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Jika ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya, maka pihak yang mengeluarkan kartu tersebut akan membatalkan keanggotaannya, menarik kartu kreditnya, kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Atau bisa juga
dengan mem-black list orang tersebut.30
Selain itu jika nasabah ternyata belum layak dan belum mampu membayar tagihan kartu kredit. Maka pihak bank sebaiknya melakukan penelitian langsung untuk melihat kredibilitas dan kapabilitas nasabah tersebut.
27 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh ...Op.Cit, hal. 280 28
Lihat At-Takyif asy-Syar‟i li Bithaqah al-I‟timan, Nawaf Batubara, hal. 143-146
29 Kasmir, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta:
2008, hal. 346
BAB III Penutup A. Kesimpulan
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama
adalah sadd adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif
agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Dzari‟ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram,
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan, walaupun sebagian tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzari‟ah. Ulama hanafiyah dan hanabilah dapat menerima sebagai fath Az-Dzari‟ah, sedangkan ulama Syafi‟iyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari‟ah. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Walaupun Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadduz dzari‟ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟.
B. Penutup
Sadd adz-dzari’ah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat
bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Metode
ini bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, ,
juz 1, Dar al-Ma‟rifah, Beirut: 1997
Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta:
2004
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Mualamah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta:
2008
Kasmir, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta:
2008
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum
Islam di Indonesia, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999
Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986
_______, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1996