• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK: PERTIMBANGAN, KRITERIA, METODA DAN STRATEGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK: PERTIMBANGAN, KRITERIA, METODA DAN STRATEGI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK:

PERTIMBANGAN, KRITERIA, METODA DAN STRATEGI

SUBANDRIYO

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav-E59, Bogor 16151

ABSTRAK

Konservasi sumberdaya genetik ternak perlu dilakukan, karena ada dua tantangan penting, yakni permintaan akan produk ternak yang terus meningkat dinegara yang sedang berkembang, dan makin berkurangnya sumberdaya genetik ternak dengan cepat hampir diseluruh dunia. Konservasi terhadap sumberdaya genetik ternak dilakukan pada tingkat rumpun, strain, atau galur. Dasar pertimbangan untuk melakukan konservasi adalah dengan jalan mengevaluasi terhadap sifat-sifat ekonomi yang penting, pertimbangan unsur budaya dan sejarah serta pertimbangan keilmuan atau pertimbangan genetik. Metoda konservasi dilakukan dengan mempertahankan populasi ternak hidup maupun kriopreservasi, dan kedua metoda tersebut saling komplementer dan tidak mutually exclusive. Kegiatan konservasi terhadap sumberdaya genetik ternak disamping untuk mempertahankan keragaman genetik juga pengembangan pemuliaan, pengelolaan terhadap ekosistem dan penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian secara berkelanjutan. Dalam penentuan status populasi terancam penggunaan ukuran populasi efektif, Ne lebih dianjurkan dengan mempertimbangkan laju inbreeding per generasi dibawah 1%.

Kata kunci: Konservasi, sumberdaya, genetik, ternak, metoda, strategi, sifat ekonomi, budaya, keilmuan

PENDAHULUAN

Secara umum yang dimaksud dengan konservasi adalah penggunaan sumberdaya alam seperti tanah, air, tanaman, hewan dan mineral secara berkelanjutan (sustainable). Sumberdaya alam pada suatu wilayah adalah merupakan suatu asset dasar, sehingga pemborosan penggunaannya akan mengakibat-kan kehilangan yang sangat berharga dari segi ekonomi, keilmuan, sosial, budaya, maupun estetika. Sementara itu ternak merupakan sumberdaya genetik hewan yang telah melayani kebutuhan manusia baik untuk sandang, pangan dan tenaga kerja sejak berabad-abad yang lalu (PONZONI, 1997). Untuk spesies ternak, terminologi sumberdaya genetik pada umumnya adalah sinonim dari terminologi breed (rumpun atau bangsa atau ras). Rumpun atau bangsa atau ras yang ada sekarang terbentuk karena aktifitas manusia atau karena seleksi alam (SIMON, 1999).

Konservasi sumberdaya genetik ternak perlu dilakukan, karena ada dua tantangan penting, yaitu: (1) permintaan akan produk ternak meningkat dinegara yang sedang berkembang, dan FAO telah memprediksi bahwa permintaan akan daging akan meningkat dua kali lipat selama 30 tahun sejak

tahun 2000 sampai dengan 2030. Sementara itu permintaan akan susu meningkat lebih dari dua kali; (2) Sumberdaya genetik atau plasma nutfah ternak mulai berkurang dengan cepat hampir diseluruh dunia. Selama 15 tahun terakhir, 300 dari 6000 rumpun yang diidentifikasi oleh FAO telah punah. Beberapa faktor penyebab punahnya rumpun ternak antara lain adalah, tekanan ekonomi, tidak ada peningkatan mutu genetik, penggantian rumpun dan persilangan yang tidak terarah dengan rumpun eksotik, penekanan seleksi terhadap beberapa sifat tertentu dengan tidak memperhatikan produktivitas menyeluruh, serta perubahan lingkungan produksi. Disamping itu juga karena pengaruh alam misalnya banjir dan kekeringan, serta karena ulah manusia yang mengakibatkan hilangnya agroekosistem yang sesuai dengan rumpun ternak (PONZONI, 1997; HAMMOND dan LEITCH, 1998; CARDELLINO, 2006).

Argumentasi lainnya perlunya dilakukan konservasi khususnya bagi rumpun yang terancam adalah agar tidak kehilangan keragaman genetik dan dimasa mendatang kemungkinan sangat berguna untuk pemuliaan bagi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk produksi (adverse environment). Selain itu konservasi terhadap rumpun yang terancam

(2)

juga sangat berguna untuk memperluas keragaman genetik bagi penelitian ilmiah, serta sebagai obyek warisan kebudayaan atau budaya atau alasan setempat lainnya (SABRAO, 1980, 1981; TURNER, 1981, dan SIMON, 1999).

Uraian di atas menunjukkan suatu fakta bahwa berkurangnya sumberdaya genetik atau plasma nutfah ternak, adalah sebagai akibat kegiatan positif manusia, oleh karena itu konservasi plasma nutfah ternak menjadi persoalan yang rumit. Di dalam makalah ini akan dikemukakan dasar pertimbangan mengapa konservasi harus dilakukan, kriteria rumpun yang perlu diseleksi serta perlunya keterlibatan masyarakat dalam melakukan kegiatan plasma nutfah ternak.

PENGERTIAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK

Definisi kerja (working definitions) bagi sumberdaya genetik hewan atau ternak (animal

genetic resources) yang ditujukan untuk usulan

melaksanakan konservasi yang digunakan FAO, 1995 disitasi HAMMOND dan LEITCH (1998) adalah konservasi pada tingkat breed (rumpun). Breed (rumpun) yang dimaksud dalam hal ini adalah populasi rumpun yang secara genetik unik, yang dibentuk melalui proses domestikasi didalam setiap spesies hewan yang digunakan untuk produksi pangan dan pertanian, bersama-sama dengan kerabat liarnya. Terminologi rumpun pada definisi ini berarti diterima sebagai terminologi budaya (cultural), daripada sebagai terminologi teknis, yang lebih menekankan kepada kepemilikan, dan termasuk di dalamnya adalah strain dan galur hasil penelitian.

Sementara itu istilah dan definisi yang dipakai untuk keragaman genetik ternak oleh FAO (1995) disitasi HAMMOND dan LEITCH (1998) adalah domestic animal diversity dengan definisi variasi atau keragaman genetik antar spesies, rumpun dan individu, dari semua spesies hewan yang telah didomestikasikan beserta kerabat liarnya.

Dari definisi di atas terlihat bahwa plasma nutfah atau sumberdaya genetik ternak diartikan sebagai sinonim dari terminologi

breed (rumpun atau bangsa atau ras) (SIMON, 1999). Terminologi breed (rumpun atau bangsa atau ras) pada spesies liar (wild species)

biasanya disebut sebagai ras lokal (local race) atau subspecies. Pemulia tanaman sering menganalogikan breed (rumpun atau bangsa atau ras) pada populasi tanaman sebagai varietas, kultivar, galur, atau strain (LUSH, 1994).

Istilah rumpun atau bangsa atau ras telah digunakan dalam ilmu pemuliaan sejak abad ke 16, namun antara kelompok satu dan lainnya masih berbeda dalam mengartikannya, dan masih berlanjut sampai saat ini. Pada umumnya rumpun diartikan sebagai populasi atau kelompok populasi yang dapat dibedakan dari populasi lain dari suatu spesies yang didasarkan pada perbedaan frekuensi alel, perubahan kromosom atau perbedaan karakteristik morfologi yang disebabkan oleh faktor genetika (MAIJALA, 1997). Definisi ini sama dengan yang difinisi klasik yang dikemukakan dalam Breeds of Livestock (http://www.ansi.okstate.edu) yaitu hewan yang setelah melalui seleksi dan pemuliaan menjadi mirip satu dengan lainnya dan menurunkan sifat seragam tersebut pada keturunannya (Animals

that, through selection and breeding, have come to resemble one another and pass those traits uniformly to their offspring). Namun

harus dicatat bahwa klasifikasi spesies menjadi beberapa breed yang berbeda tidak termasuk dalam zoological nomenclature (BREM et al., 1989). Sementara itu TURTON (1974) disitasi MAIJALA (1997) memberikan dua alternatif definisi rumpun atau bangsa atau ras sbb:

a.

kelompok khusus ternak domestik yang seragam dengan karakteristik eksternal-nya yang dapat diidentifikasi sesuai dengan definisi sehingga dapat dipisah-kan secara visual dengan kelompok lainnya yang serupa didalam suatu spesies yang sama.

b.

kelompok ternak domestik yang seragam dimana secara geografi terpisah dengan kelompok yang secara fenotipik serupa, sehingga secara umum identitasnya terpisah.

Dipihak lain CARTER dan COX (1982) disitasi MAIJALA (1997) mendefinisikan rumpun atau bangsa atau ras sebagai sub-kelompok suatu spesies yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat diidentifikasi dan dipertahankan sebagai populasi breeding tertutup (closed breeding population), yang sejarahnya terdapat dalam satu wilayah

(3)

geografi, dan diberi nama sesuai dengan nama wilayah geografi tersebut. Lebih jauh dalam mendiskusikan rumpun ternak dinyatakan bahwa rumpun ternak adalah suatu sub-kelompok ternak yang telah diketahui pembentukannya oleh asosiasi rumpun ternak tertentu atau telah tercatat di dalam official

flockbook. Sedangkan yang dimaksud strain

adalah bagian (subdivisions) dari breed dan termasuk dalam asosiasi breed yang sama.

Hal yang serupa dinyatakan oleh ALDERSON (1985), bahwa rumpun atau bangsa atau ras adalah kelompok suatu ternak yang mempunyai karakteristik yang sama, sehingga apabila dilakukan perkawinan dalam kelompok yang sama akan menghasilkan keturunan yang mempunyai tipe yang sama, sesuai dengan standar yang dipublikasikan oleh suatu asosiasi /organisasi yang telah didaftar. Sehubungan di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya tidak mempunyai organisasi

breeding maka FAO dalam program

sumber-daya genetik ternak mengadopsi definisi TURTON karena memberikan batasan yang lebih luas untuk rumpun berdasarkan keseragaman karakteristik eksternal atau identitas yang dapat diamati suatu spesies ternak yang secara geografi terpisah. Definisi yang dipakai oleh FAO (2000) adalah bagian kelompok tertentu (subspecific group) dari ternak domestik dengan karakteristik eksternal yang dapat diuraikan dan dikenal sehingga dapat dipisahkan dengan penilaian visual dari kelompok lainnya yang serupa pada spesies yang sama, atau kelompok yang dipisahkan oleh suatu geografi dan atau budaya yang secara fenotipik merupakan kelompok yang serupa dan telah diterima sebagai identitas yang terpisah. Definisi FAO (2000) berdasarkan kenyataan bahwa rumpun telah berkembang menurut perbedaan geografi dan budaya, dan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian. Sehingga terminologi rumpun bukan terminologi teknis. Perbedaan visual maupun perbedaan lainnya, antar rumpun lebih banyak merupakan suatu kriteria keragaman yang berhubungan dengan setiap spesies hewan atau ternak. Sehingga rumpun sering dianggap sebagai terminologi budaya daripada terminologi teknis. Selanjutnya dalam pengelolaan plasma nutfah ternak apabila didalamnya terdapat konservasi, definisi

rumpun yang digunakan adalah yang dianjurkan oleh FAO.

Berdasarkan definisi yang dianjurkan oleh FAO tersebut maka pengelompokan plasma nutfah ternak menjadi beberapa rumpun atau bangsa atau ras dengan beberapa strain untuk masing-masing rumpun atau bangsa akan memperkaya keragaman genetik yang ada di Indonesia.

DASAR PERTIMBANGAN KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK

Definisi konservasi secara umum adalah pengelolaan manusia terhadap penggunaan

biosphere sehingga menghasilkan keuntungan

yang berkelanjutan terhadap generasi sekarang, serta mempertahankan potensialnya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Dengan demikian konservasi adalah suatu kegiatan yang positif dan mencakup preservasi, pemeliharaan, penggunaan yang berkelanjutan, restorasi dan perbaikan lingkungan alam (HAMMOND dan LEITCH, 1998; FAO, 2000).

Sementara itu konservasi terhadap domestic

animal diversity adalah jumlah total semua

kegiatan yang berkaitan dengan manajemen sumberdaya genetik ternak, sehingga sumberdaya genetik tersebut dapat digunakan dan dikembangkan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan jangka pendek untuk pangan dan pertanian, dan tetap menjamin keragamannya guna memenuhi semua kemungkinan kebutuhan jangka panjang (HAMMOND dan LEITCH, 1998). Sementara itu yang dimaksud dengan jumlah total semua kegiatan yang berkaitan dengan manajemen sumberdaya genetik ternak adalah semua aktivitas manusia yang berkaitan dengan strategi, rencana, kebijakan (policy) dan aksi yang menjamin bahwa keragaman genetik sumberdaya genetik ternak tetap dipertahankan dan memberikan kontribusi terhadap pangan dan produksi pertanian, serta produktivitas, saat ini dan dimasa mendatang (FAO, 2000). Dengan diratifikasinya Covention on

Biological Diversity, maka semua negara yang

telah meratifikasi mempunyai kekuasaan prerogatif untuk menetapkan strategi nasional terhadap sumberdaya genetik yang terancam (FAO, 2000).

(4)

Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan, penggantian rumpun atau strain yang kurang dapat bersaing dengan rumpun atau

strain yang lebih dapat bersaing dan produktif

pada umumnya dipandang sebagai hal yang wajar dalam proses peningkatan mutu genetik ternak. Seleksi alam pada hakekatnya membuat ternak lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan tertentu, sementara itu seleksi buatan akan merubah proses kearah yang lebih menguntungkan manusia. Seleksi baik alam maupun buatan yang dilakukan oleh manusia kemungkinan merupakan faktor utama yang menentukan pembentukan keragaman rumpun ternak yang saat ini dijumpai. Penggunaan teknologi reproduksi, seleksi buatan antar rumpun maupun dalam rumpun dapat secara serius mengurangi keragaman genetik yang tersedia pada suatu spesies. Oleh karena ternak ruminansia seperti sapi, domba, kambing dan kerbau pada umumnya dipelihara pada lingkungan yang tidak terkontrol, mereka sangat tergantung pada keragaman genetik untuk dapat beradaptasi terhadap iklim, nutrisi dan tantangan terhadap serangan penyakit. Lebih jauh, banyak faktor yang tidak dapat diduga dapat merubah permintaan produk ternak ruminansia yang akibatnya merubah sistem produksi (PONZONI, 1997; SIMON, 1999). Oleh karena itu ada beberapa alasan atau pertimbangan dalam mengkonservasi rumpun ternak ruminansia khususnya domba yaitu: pertimbangan ekonomi, pertimbangan ilmu pengetahuan, pertimbangan budaya dan sejarah (PONZONI, 1997).

Pertimbangan ekonomi

Pertimbangan ini merupakan pertimbangan praktis yang didasarkan pada asumsi bahwa preservasi terhadap rumpun atau strain tertentu akan memberikan kontribusi didalam pening-katan efisiensi dan atau kualitas produksi bagi ternak komersial pada masa mendatang. Hal ini merupakan pertimbangan yang beralasan, karena telah diketahui bahwa produksi dan pemasaran akan selalu berubah dari waktu kewaktu. Keuntungan ekonomi dari konservasi sulit untuk diketahui, karena perubahan untuk masa mendatang tidak dapat diprediksi. Sebagai contoh keuntungan yang diperoleh dari konservasi suatu rumpun yang telah jarang

dan tahan terhadap suatu penyakit tertentu akan tergantung terhadap timbulnya penyakit tersebut dan alternatif teknologi lainnya dalam mengontrol penyakit tersebut. Meskipun kemungkinan penggunaan rumpun yang dikonservasi sangat kecil, program konservasi masih dapat dipertimbangkan secara ekonomi. Didalam konteks ekonomi, pada umumnya program konservasi dapat dibandingkan dengan “gamble“ dengan dua kemungkinan peluang yaitu peluang tinggi tanpa pengembalian (no pay-off), serta peluang rendah dengan pengembalian yang tinggi (high

pay-off). Di negara yang sedang berkembang

dari segi ekonomi program konservasi pada umumnya mempunyai peluang pengembalian yang tinggi, karena evaluasi terhadap rumpun yang telah beradaptasi sering tidak tersedia dan sering penggantian rumpun didasarkan atas analisa produktivitas parsial. Sebaliknya dinegara yang telah berkembang pada umumnya program konservasi, peluang pengembaliannya sangat rendah. Hal ini disebabkan karena permintaan pasar yang kuat dan rumpun yang digunakan telah ditingkatkan mutu genetiknya, serta perubahan yang radikal dalam produksi dan sistem pemasaran membutuhkan penggantian rumpun untuk ternak komersial (PONZONI, 1997).

Dari pertimbangan ekonomi ini maka rumpun yang menjadi calon untuk dilakukan konservasi, khususnya pada domba menurut PONZONI (1997) adalah rumpun yang mempunyai paling tidak satu kriteria sbb:

1. Satu sifat, beberapa sifat atau kombinasi beberapa sifat tertentu yang mempunyai nilai ekonomi penting.

2. Satu sifat, beberapa sifat atau kombinasi beberapa sifat tertentu yang saat ini kurang mempunyai nilai ekonomi penting, namun dimasa mendatang kemungkinan menjadi penting.

3. Terdapatnya frekuensi yang tinggi dari suatu gen dengan pengaruh yang besar (major gene) dari sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomi penting. 4. Terdapatnya frekuensi yang tinggi dari

suatu gen yang mempunyai pengaruh besar (major gene) sifat-sifat yang saat ini kurang mempunyai nilai ekonomi penting tetapi dimasa mendatang kemungkinan menjadi penting.

(5)

5. Sifat yang dimiliki suatu rumpun yang kurang menonjol, namun apabila disilangkan dengan rumpun lain diharapkan mempunyai nilai heterosis yang relatif tinggi.

Pertimbangan keilmuan

Pertimbangan keilmuan untuk memper-tahankan sumberdaya genetik ternak adalah berdasarkan alasan bahwa setiap populasi mempunyai keragaman genetik yang berbeda. Hal ini memegang peranan yang penting dalam menjelaskan berbagai proses biologi. Sehingga apabila keragaman tersebut telah punah maka kesempatan untuk kemajuan ilmu pengetahuan juga akan hilang. Pada beberapa kasus keragaman genetik akan berguna langsung bagi ternak, tetapi pada kasus lain maka ternak dapat dipakai sebagai model untuk spesies lainnya (SPONENBERG, 2000).

Berdasarkan pertimbangan keilmuan (scientific) menurut PONZONI (1997) maka suatu rumpun, strain atau galur perlu dikonservasi apabila mempunyai kriteria sbb:

1. Apabila dilakukan seleksi mempunyai resiko yang besar.

2. Mempunyai sifat/karakteristik yang jarang dijumpai pada populasi lain, meskipun sifat tersebut tidak mempunyai nilai ekonomi penting. Sifat tersebut misalnya tingkah laku (behavior), kemampuan beradaptasi terhadap pakan tertentu, warna yang unik.

3. Apabila terdapat beberapa pilihan, maka yang dikonservasi adalah rumpun yang paling sedikit terkontaminasi oleh persilangan dengan rumpun lain. Prioritas diberikan pada populasi lokal atau rumpun asli yang pada umumnya disilangkan dengan rumpun introduksi.

Pertimbangan kultural dan sejarah

Pertimbangan kultural atau sejarah mempunyai peranan yang penting dalam konservasi terhadap suatu rumpun, strain atau galur suatu spesies ternak tertentu. Konservasi terhadap spesies tertentu, dapat memberikan bukti visual warisan suatu bangsa atau wilayah tertentu. Disamping itu kemungkinan suatu

rumpun tertentu berkaitan dengan suatu tradisi suku bangsa tertentu. Misalnya kerbau belang di Tanah Toraja, dan domba Garut atau Priangan di Jawa Barat. Disamping itu kemungkinan suatu rumpun juga berhubungan dengan kehidupan suku bangsa tertentu.

Pertimbangan kultural dan sejarah terhadap konservasi suatu breed/rumpun menurut PONZONI (1997) diberikan apabila memenuhi salah satu kriteria atau lebih dibawah ini:

1. Mempunyai nilai yang nyata secara nasional maupun regional.

2. Mempunyai kelebihan atau kemampuan dalam mempertahankan keseimbangan lingkungan atau ekologi, dimana rumpun ini dibutuhkan dalam preservasi lingkungan yang rentan.

3. Mempunyai nilai dalam agrowisata, karena bentuknya yang khusus, warna, tingkah laku atau tipe wol atau rambutnya.

Dari uraian di atas terlihat bahwa pertimbangan konservasi terhadap suatu rumpun didasarkan pada pertimbangan ekonomi, keilmuan, serta kultural sejarah, tetapi untuk mengambil suatu keputusan rumpun mana yang akan dikonservasi adalah merupakan hal yang sulit dilakukan, khususnya bagi populasi yang mempunyai morfologi yang hampir sama tetapi secara genetik tidak berbeda, atau sebaliknya morfologinya hampir sama dan secara genetik berbeda. Oleh karena itu dokumentasi sejarah dari suatu populasi, pengetahuan dari ahli dan penduduk lokal, sangat berguna dalam menelusuri asal usul, perkembangan dan distribusi dan kemungkinan migrasi antar populasi dari suatu rumpun tertentu. Nilai dari informasi ini tidak ilmiah, tetapi perlu dipertimbangkan pula.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya genetika molekuler maka dimungkinkan untuk diketahui hubungan genetik antara rumpun yang berbeda, dan dapat dihitung jarak genetik antar rumpun atau antar populasi. Tersedianya informasi jarak genetik antar populasi merupakan indikasi keunikan genetik diantara mereka, dan rumpun yang mempunyai jarak genetik yang jauh dari rumpun lainnya mempunyai prioritas yang lebih tinggi untuk program konservasi. Akan tetapi informasi jarak genetik, tidak dapat memberi informasi tentang pengaruh seleksi alam terhadap adaptasi atau general fitness

(6)

maupun respons seleksi buatan terhadap morfologi dan sifat-sifat ekonomi penting. Hal tersebut dikarenakan lokus yang bertanggung jawab terhadap perbedaan antara seleksi alam dan buatan sering tidak tersedia dalam analisa jarak genetik. Oleh karena itu, BARKER et al. (1993) disitasi PONZONI (1997) menyatakan bahwa informasi jarak genetik hanya dapat digunakan sebagai petunjuk awal dari struktur populasi dan diferensiasi rumpun didalam membuat keputusan program konservasi. Keputusan akhir harus mempertimbangkan pula semua informasi yang tersedia misalnya sifat ekonomi penting, kemampuan ber-adaptasi, terdapatnya gen yang unik dan kepentingan terhadap rumpun tersebut baik lokal maupun regional. Sementara itu dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan tumbuhnya bidang baru yaitu ‘livestock

landscape genetic’ keputusan konservasi in-situ terhadap suatu breed dapat diambil secara

langsung. Livestock landscape genetic tersebut mengkombinasikan informasi geo-referencing

breed distribution, spatial global genetic diversity, dengan iklim, ekologi, epidemiologi

dan informasi sistem produksi, yang selanjutnya akan memfasilitasi dan memberikan keputusan prioritas langsung untuk konservasi in-situ suatu rumpun (HANNOTE dan JIANLIN, 2006).

METODA KONSERVASI

Ada tiga metode utama program konservasi sumberdaya genetik ternak yang telah dilaksanakan masyarakat atau pemulia yaitu : (1) mempertahankan populasi ternak hidup, (2) penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti gamet yakni semen dan

oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio,

dan (3) peyimpanan DNA (deoxyrybonucleic

acid). Metoda konservasi yang akan

didiskusikan secara detail adalah metoda pertama dan kedua. DNA yang disimpan dalam

gene libraries merupakan tambahan

penyimpanan yang bersifat komplementer dengan metoda konservasi lainnya. Meskipun penyimpanan dalam jangka panjang dari DNA merupakan cara penting di masa mendatang, namun masih belum merupakan metode yang dapat dilaksanakan untuk konservasi dan penggunaan sumberdaya genetik ternak. Pada

saat ini isolasi DNA, belum memungkinkan digunakan untuk regenerasi individu ternak hidup (BOARD of AGRICULTURE NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1993; PONZONI, 1997; HAMMOND dan LEITCH, 1998).

Konservasi dengan jalan mempertahankan populasi ternak hidup

Konservasi dengan mempertahankan populasi ternak hidup dikenal sebagai konservasi in-situ. Definisi konservasi in-situ menurut FAO (2000) adalah gabungan semua kegiatan yang bertujuan untuk mempertahan-kan populasi ternak hidup, termasuk ternak yang berada dalam program pemuliaan yang sedang berjalan aktif pada agroekosistem dimana mereka berkembang atau secara normal dijumpai, bersama-sama dengan aktivitas beternak yang ditujukan untuk secara berkelanjutan sumberdaya genetik ternak ini memberikan sumbangan terhadap produksi pangan dan pertanian untuk waktu sekarang dan yang akan datang. Sementara itu, untuk kerabat liarnya, konservasi in-situ atau yang lebih dikenal dengan preservasi in-situ adalah mempertahankan populasi hewan hidup pada lingkungan atau habitat aslinya (adaptive

environment) atau pada habitat atau lingkungan

yang paling mendekati atau serupa dengan habitat aslinya.

Sehingga dengan demikian pengertian konservasi in-situ menurut FAO termasuk di dalamnya adalah recording performans, pengembangan pemuliaan, pengelolaan terhadap ekosistem dan penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian secara berkelanjutan, akan tetapi keragaman genetiknya harus tetap dipertahankan. Oleh karena itu metoda pengambilan contoh dan rancangannya harus diperhatikan (PONZONI, 1997; HAMMOND dan LEITCH, 1998).

Konservasi in-situ mempunyai beberapa keuntungan antara lain bahwa dengan mempertahankan ternak hidup teknologi yang dibutuhkan adalah teknologi sederhana dan seperti yang dilakukan pada program pemuliaan konvensional. Disamping itu ternak yang dikonservasi tetap dapat dilakukan karakterisasi semua sifat ekonomi yang dianggap penting atau yang mempunyai potensi dimasa mendatang. Disamping itu

(7)

merupakan atraksi yang menarik bagi peternak, mahasiswa, anak sekolah maupun pengunjung lainnya, sehingga memberikan sumbangan untuk meningkatkan upaya konservasi disamping sebagai agrowisata. Apabila jumlah ternak yang dikonservasi jumlahnya cukup besar atau melebihi populasi aman, maka ternak yang dikeluarkan dapat merupakan sumber bibit atau produk ternak lainnya. Sementara itu kelemahan konservasi in-situ adalah membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pemeliharaan. Sehingga pada wilayah yang biaya untuk tenaga kerja cukup besar dan lahan terbatas, maka konservasi in-situ sulit untuk dilaksanakan (PONZONI, 1997).

Konservasi dengan jalan penyimpanan beku materi genetik

Konservasi dengan jalan penyimpanan beku termasuk dalam terminologi ex-situ. Terminologi konservasi ex-situ bagi keragaman sumberdaya genetik ternak adalah semua bentuk konservasi materi genetik in vivo, tetapi diluar lingkungan dimana ternak tersebut berkembang, serta konservasi materi genetik in

vitro, dimana termasuk di dalamnya adalah

kriopreservasi semen, oocytes, embrio, sel atau jaringan.

Konservasi ex-situ mempunyai beberapa kelemahan, dan kelemahan terbesar adalah demikian sumberdaya genetik ternak tersebut disimpan beku maka mereka disingkirkan dari proses evolusi yang terjadi di alam, dan pengetahuan tentang ternak yang dikonservasi juga menjadi beku, kecuali apabila ada upaya lainnya. Disamping itu juga tidak ada tekanan seleksi karena adanya perubahan kondisi alam. Pada ternak tertentu, misalnya babi teknologi kriopreservasi sangat membutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam penanganan semen, embrio dan ova. Program global untuk strategi konservasi ex-situ sedang dikembangkan, khususnya dalam penggunaan populasi ternak hidup dalam mendukung pengembangan teknologi kriopreservasi (HAMMOND dan LEITCH, 1998).

Konservasi in-situ dan ex-situ adalah komplementer dan bukan mutually exclusive. Penggunaannya untuk sumberdaya genetik ternak tertentu tergantung peternak yang menggunakannya serta keunikannya. Disamping itu penyimpanan beku materi genetik seperti semen dapat berperan penting dalam mendukung strategi pemuliaan in-situ.

Tabel 1. Gambaran kelebihan dan kekurangan metoda konservasi dengan menggunakan populasi ternak hidup dan kriopreservasi

Metoda konservasi

Parameter Populasi ternak hidup Kriopreservasi

Kebutuhan teknologi Rendah Medium sampai dengan tinggi

Biaya Awal Pemeliharaan

Medium sampai dengan tinggi Rendah sampai dengan medium

Rendah sampai dengan medium Rendah Pertimbangan genetik Drift awal Drift tahunan Karakterisasi rumpun Penggunaan seleksi Adaptasi terhadap Evolusi Tergantung sampling Ada Mungkin Mungkin Sangat kecil Tergantung sampling Tidak ada Tidak mungkin Tidak mungkin Tidak ada Akses Publik Nilai pendidikan Transfer Internasional Ada Ada Sulit Tidak ada Tidak ada Lebih mudah

Resiko Rendah sampai dengan moderat Moderat, tetapi sangat tergantung

keterampilan dan fasilitas dalam mengaplikasikan teknologi

(8)

Misalnya penggunaan inseminasi buatan (IB) pada populasi konservasi in-situ dapat memperbesar seleksi diferensial dan diseminasi dibandingkan dengan kawin alam. Penggunaan IB dalam sistem backcrossing dapat meningkatkan efisiensi dalam regenerasi dari suatu populasi dan merupakan alternatif penggunaan pejantan suatu rumpun dalam sistem reciprocal crossbreeding (HAMMOND dan LEITCH, 1998).

Lebih jauh PONZONI (1997) membanding-kan keunggulan dan kelemahan kedua metoda konservasi tersebut seperti tertera pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa metoda kriopreservasi membutuhkan teknologi tinggi dengan resiko yang lebih besar dibandingkan dengan metoda konservasi dengan meng-gunakan populasi ternak hidup. Dari segi pertimbangan genetik seperti dikemukakan oleh HAMMOND dan LEITCH (1998), konservasi dengan menggunakan populasi ternak hidup mempunyai lebih banyak kelebihan dalam kaitannya dengan proses evolusi dan perubahan adaptasi terhadap lingkungan. Namun dari segi biaya terlihat bahwa kriopreservasi membutuhkan biaya secara keseluruhan lebih rendah, baik dari awal pembiayaan maupun untuk pemeliharaan.

KRITERIA UNTUK MENGKONSERVASI SUATU POPULASI RUMPUN

Disamping pertimbangan ekonomi, budaya dan sejarah, serta pertimbangan keilmuan,

program konservasi sumberdaya genetik ternak juga memerlukan pertimbangan jumlah populasi minimum. Status populasi yang terancam dapat ditentukan dengan menghitung jumlah ternak dewasa, disamping kondisi lainnya yang mempengaruhi keberadaan suatu rumpun dengan cepat, misalnya trend jumlah ternak betina dewasa yang menurun atau meningkat. Namun demikian keputusan untuk menentukan status terancam bagi suatu populasi tergantung pada pertimbangan bahwa apakah ada perubahan genetik pada suatu rumpun yang mengakibatkan ancaman terhadap potensi genetik yang sangat bernilai.

Jumlah ternak betina yang sedikit dapat meningkatkan resiko kehilangan suatu rumpun dengan cepat, karena penyakit, bencana alam atau karena makin berkurangnya perhatian terhadap rumpun tersebut. Untuk mengevaluasi ketepatan status populasi, perlu dilaksanakan sensus populasi dan dinamika populasinya. Dari sensus tersebut dapat diperhitungkan apakah ukuran populasinya stabil atau berubah dan kemungkinan laju perubahan populasinya. Untuk negara maju, telah ditetapkan status populasi yang dikategorikan terancam (endangered), dan disajikan pada Tabel 2 (BOARD of AGRICULTURE NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1993). Untuk skema yang lebih detail yang berhubungan dengan populasi dan penentuan konservasi yang layak atau aksi pengelolaan tertera dalam Gambar 1 (BOARD on AGRICULTURE NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1993).

Tabel 2. Ukuran populasi yang dikategorikan dalam kondisi terancam di Eropa

Spesies ternak Ukuran populasi Perubahan populasi Jumlah betina

dewasa

Jumlah jantan dewasa Sapi

Domba dan Kambing Babi 1.000 – 5.000 500 – 1.000 200 – 500 Menurun Menurun Menurun < 1.000 < 500 < 200 < 20 < 20 < 20

Sumber: BOARD on AGRICULTURE NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1993) Didalam menentukan status kerentanan

suatu populasi, beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap resiko turunnya suatu populasi perlu diperhatikan. Sebagai contoh, suatu populasi ternak dapat beresiko serius menurun populasinya walaupun suatu populasi awalnya cukup besar (beberapa ribu ekor) karena kekeringan atau terjadinya epidemi penyakit. Isolasi geografi dapat pula

menyebabkan penurunan populasi. Program persilangan yang dilaksanakan secara meluas, khususnya jika digunakan teknologi inseminasi buatan dan transfer embrio, dapat secara cepat merubah komposisi genetik suatu populasi. Oleh karena itu FAO menganjurkan perlunya langkah konservasi bila jumlah betina dewasa turun menjadi 5.000 ekor dari populasi total sebanyak 10.000 ekor.

(9)

< 100 100 – 1.000 1.000 – 5.000 5.000–10.000 >10.000

Apakah ada pertim- bangan khusus bahwa

populasi mempunyai ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak

resiko yang lebih besar dari ukuran populasi biasa ?

Monitoring Kritis Terancam Rentan Jarang dan evaluasi Gambar 1. Skema identifikasi klasifikasi rumpun dan populasi ternak dalam hubungannya dengan

pelestarian

(Sumber: BOARD on AGRICULTURE NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1993)

Global Data Bank for Farm Animal Genetic Resources (WWL for Domestic Animal Diversity dari FAO dan UNEF, 2000)

menggunakan kriteria kerentanan populasi menjadi 7 kategori sbb:

Extinct: Rumpun dikategorikan extict atau

punah apabila tidak mungkin membentuk kembali populasi rumpun tersebut. Keadaan ini menjadi mutlak apabila tidak ada sama sekali ternak jantan dan betina dewasa. Kepunahan akan disadari betul sebelum kehilangan ternak yang terakhir, gamet atau embrio.

Critical: Rumpun dikategorikan critical

(kritis) apabila jumlah ternak betina dewasa (breeding female) apabila lebih kurang atau sama dengan 100 ekor atau jumlah total ternak jantan dewasa (breeding male) kurang atau sama dengan 5 ekor. Atau populasi secara keseluruhan kurang atau sama dengan 120 ekor, dan selalu berkurang, dan persentase ternak betina yang kawin dengan pejantan dari rumpun yang sama dibawah 80 persen.

Endangered: Rumpun dikategorikan endangered (terancam) apabila jumlah ternak

betina lebih dari 100 ekor dan lebih kecil dan sama dengan 1.000 ekor atau jumlah total ternak jantan dewasa lebih kecil atau sama dengan 20 ekor dan lebih besar dari 5. Atau seluruh populasi lebih besar dari 1000 dan lebih kecil atau sama dengan 1200, dalam kondisi berkurang, dan persentase ternak betina yang kawin dengan pejantan dari rumpun yang sama kurang dari 80 persen. Atau seluruh populasi lebih besar dari 80 ekor dan kurang dari 100 ekor, dan persentase ternak betina

yang kawin dengan pejantan lebih besar dari 80 persen.

Critical-Maintained atau Endangered-Maintained: Kategori ini menunjukkan

populasi kritis atau terancam, namun program konservasi aktif dilakukan, atau populasi dipertahankan oleh perusahaan komersial atau lembaga penelitian.

Not at risk: Rumpun yang dikategorikan not at risk apabila tidak termasuk kategori

definisi di atas dan jumlah ternak betina dan jantan dewasa masing-masing lebih besar dari 1000 dan 20. Atau apabila populasinya lebih besar dari 1200 dan populasi secara keseluruhan meningkat.

Definisi tersebut di atas digunakan oleh FAO tetapi belum final dan akan dikembang-kan lebih jauh.

Sementara itu kerabat liarnya definisinya dilakukan oleh IUCN, yang sedikit berbeda dari definisi yang digunakan FAO diatas, dengan kriteria sbb:

Extinct (EX): Spesies tidak dijumpai dalam

kondisi liar selama 50 tahun terakhir.

Endangered (E): Taxa terancam punah dan

kemungkinan hidup kecil apabila faktor-faktor yang berpengaruh terus beraksi. Termasuk di dalamnya adalah taxa yang jumlahnya telah berkurang pada tingkat kritis (critical) atau habitatnya secara drastis menurun yang mengakibatkan terancam kepunahan. Juga termasuk di dalamnya taxa yang mungkin sudah punah, tetapi pernah dilihat dalam keadaan liar 50 tahun yang lalu.

(10)

Vulnerable (V): Taxa yang dipercayai

berpindah ke kategori terancam dalam waktu dekat apabila faktor-faktor penyebabnya terus berpengaruh. Termasuk di dalamnya adalah taxa yang seluruh populasinya berkurang karena eksploitasi yang berlebihan, destruksi yang ekstensif dari habitatnya atau terdapat gangguan lingkungan; taxa dengan populasi yang tertekan dan yang keamanannya tidak terjamin; dan taxa yang populasinya cukup besar, namun dalam keadaan terancam dengan faktor-faktor yang sangat membahayakan.

Rare (R): Taxa dengan populasi yang kecil

yang saat ini tidak dalam keadaan endangered (terancam) atau vulnerable (rentan), tetapi mempunyai resiko (at risk).

Indeterminate (I): Taxa yang diketahui endangered (terancam), vulnerable (rentan),

atau rare (jarang) tetapi tidak cukup informasi apakah termasuk dalam tiga kategori tersebut diatas.

Insufficiently known (K): Taxa yang

dicurigai, tetapi tidak secara pasti termasuk dalam kategori di atas, karena tidak adanya informasi yang cukup.

Threatened (T): Adalah terminologi umum

untuk spesies yang endangered (terancam),

vulnerable (rentan), rare (jarang), indeterminate, atau insufficiently known (tidak

cukup diketahui) dan tidak perlu dibingungkan dengan penggunaan terminologi yang sama yang digunakan oleh United States Office of

Endangered Species.

Commercially Threatened (CT): Taxa yang

saat ini tidak perlu dikhawatirkan akan punah, tetapi sebagian besar atau semua populasinya terancam sumber komersial yang ber-kelanjutan, atau akan menjadi sumber komersial, kecuali eksploitasinya diataur. Kategori ini berlaku bagi taxa yang populasinya diasumsikan cukup besar.

Sementara itu DEUTSCHE GESELLSCHAFT fur ZUCHTUNGSCHEKUNDE (DGfZ, 1991) disitasi SIMON (1999) merekomendasikan konservasi didasarkan pada ukuran populasi efektif (effective population size), Ne sebagai faktor utama didalam menentukan populasi suatu rumpun dalam kondisi terancam. Berdasarkan teori genetika populasi (FALCONER, 1989), Ne adalah merupakan indikator peningkatan koefisien silang dalam (inbreeding) per generasi, jumlah random

genetic drift, dan berkurangnya keragaman

genetik pada suatu rumpun. Ukuran populasi efektif, Ne terutama dipengaruhi oleh jumlah ternak jantan dewasa yang dipergunakan untuk perkawinan dan perhitungan Ne adalah dengan rumus sbb:

Ne = 4 x nm x nf/ (nm + nf),

dimana: nm, dan nf adalah jumlah ternak jantan dan betina dewasa yang dipergunakan untuk perkawinan (FALCONER, 1989). Ukuran populasi efektif, Ne tersebut adalah merupakan populasi minimum, oleh karena itu harus dihindari terjadinya tekanan inbreeding. Dalam kebanyakan kasus maka populasi dapat tetap bertahan apabila laju inbreeding-nya, ∆F lebih kecil atau sama dengan 1% per generasi. Dengan laju inbreeding, ∆F dibawah 1% per generasi, maka ukuran populasi efektif yang dibutuhkan adalah Ne = 1/(2∆F) = 1/(2 x 0.01) = 50 (NOTTER et al., 1994; SIMON, 1999). Oleh karena itu untuk memperoleh Ne = 50, jumlah pejantan yang dibutuhkan masing-masing adalah 20 ekor apabila terdapat 35 ekor ternak betina dewasa, 15 ekor untuk 80 ekor ternak betina dewasa, dan 13 ekor untuk 325 ekor ternak betina dewasa. Dengan jumlah pejantan yang kurang dari 13 ekor, kemungkinan 1000 ekor betina atau lebih belum mencukupi kalau kita menghendaki Ne = 50. Dari uraian ter-sebut dapat disimpulkan bahwa apabila kita membatasi peningkatan inbreeding pada suatu populasi, maka akan lebih berarti apabila kita memakai batasan minimum Ne, daripada minimum jumlah ternak betina dewasa.

Formula yang digunakan untuk menghitung Ne, menggunakan asumsi bahwa tidak ada hubungan keluarga antar pejantan dan adanya keragaman acak jumlah anak yang dihasilkan setiap perkawinan. Asumsi ini sebetulnya sulit dilaksanakan, terutama pada populasi dengan jumlah ternak jantan yang digunakan untuk perkawinan yang makin turun jumlahnya, serta pada populasi yang tidak dilakukan rekording. Oleh karena itu pada kondisi yang sebenarnya, ukuran populasi efektif minimum harus dinaikkan dari hasil perhitungan. NOTTER et al. (1994) menyarankan bahwa dalam kondisi perkawinan terkontrol, ukuran populasi efektif harus ditingkatkan sebanyak 50%.

Konservasi terhadap ternak hidup adalah untuk mempertahankan keragaman genetik suatu rumpun, strain atau galur sebesar mungkin untuk waktu yang lama. Namun

(11)

karena laju genetic drift bervariasi dan tergantung pada selang generasi (SG) dari suatu spesies, maka Ne juga bervariasi antar spesies yang dikonservasi. NOTTER et al. (1994) telah memperhitungkan ukuran populasi efektif beberapa spesies dengan asumsi heterosigositas awal sebesar 90%, waktu 100

tahun seperti tertera pada Tabel 3, dan terlihat bahwa makin pendek selang generasi maka Ne minimum makin besar. Misalnya untuk populasi sapi dengan asumsi selang generasi 5 tahun, dibutuhkan Ne sebesar 95, terdiri dari 25 jantan dan 475 betina dewasa.

Tabel 3. Ukuran populasi efektif, Ne untuk beberapa spesies dengan asumsi heterosigositas awal 90% dalam kurun waktu 100 tahun

Spesies Selang generasi (tahun) Ne Jantan Betina

Kuda 8 60 18 90

Sapi 5 95 25 475

Domba 4 120 32 480

Babi 2 237 65 670

Ayam 1 475 140 785

Sumber: NOTTER et al. (1994)

Metoda konservasi dengan populasi ternak hidup dan konservasi adalah komplementer masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya, yang menjadi pertanyaan adalah jumlah minimum pejantan dalam bentuk penyimpanan beku semen yang harus dipreservasi sebagai komplemen dari konservasi populasi ternak hidup. NOTTER (1994) mengambil contoh suatu populasi ternak hidup dengan Ne = 50 dan selang generasi 2 tahun, dan didukung oleh penyimpanan beku 10 ekor pejantan yang tidak mempunyai hubungan keluarga. Tanpa dukungan penyimpanan beku semen, maka dalam kurun waktu 100 tahun, koefisien

inbreeding dari populasi tersebut adalah 39%.

Akan tetapi dengan dukungan penyimpanan beku semen 10 ekor pejantan yang tidak mempunyai hubungan keluarga setiap generasi, maka koefisien inbreeding-nya adalah 11%, atau sama dengan Ne = 230 tanpa dukungan penyimpanan beku semen. Disamping itu, untuk multiple alel, peluang untuk

mempertahankan semua alel pada konservasi populasi ternak hidup yang disertai dengan penyimpanan beku semen akan lebih besar dibandingkan dengan konservasi populasi ternak hidup dengan hanya mengandalkan perkawinan acak (random mating). Lebih jauh SMITH (1984) yang disitasi NOTTER et al., 1994 menyarankan penyimpanan beku semen 25 ekor pejantan yang tidak mempunyai hubungan keluarga dapat mempertahankan keragaman genetik dengan sangat baik, dan pendapat tersebut secara luas dapat diterima.

STRATEGI KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK

Dari uraian di atas terlihat bahwa konservasi terhadap sumberdaya genetik ternak (farm animal genetic resources) dilakukan pada tingkat rumpun, strain atau galur, dengan mempertimbangkan perannya dalam budaya dan sejarah, keilmuan dan perekonomian. Oleh karena itu didalam definisi metoda konservasi terlihat bahwa disamping untuk mempertahan-kan keragaman genetik, juga bertujuan pengembangan pemuliaan, pengelolaan terhadap ekosistem dan penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian secara berkelanjutan. Dari uraian tersebut maka untuk kondisi Indonesia, maka paling tidak ada 3 macam strategi, dimana di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan suatu wilayah tertentu dimana rumpun atau strain itu berada. Strategi konservasi tersebut meliputi konservasi yang berkaitan dengan budaya dan sejarah, sebagai sumber bibit yang digunakan secara berkelanjutan, serta karena populasinya terancam.

Strategi konservasi yang berkaitan dengan budaya, sejarah maupun agrowisata

Konservasi yang berkaitan dengan budaya, sejarah maupun agrowisata pada umumnya berkaitan dengan aspek lokal atau setempat, dan kemungkinan akan beragam dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga

(12)

dukungan dari luar wilayah kemungkinan sangat kecil. Ternak yang berkaitan dengan budaya, sejarah atau agrowisata misalnya adalah kerbau belang di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan yang dipergunakan untuk upacara adat atau ritual, domba Priangan atau Garut yang digunakan sebagai domba tangkas, serta sapi Madura sebagai sapi karapan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam konservasi untuk ternak yang berkaitan dengan budaya, sejarah maupun agrowisata menurut SMITH (1999) adalah:

1. Mempertahankan penampakan luar atau fenotipik lebih penting daripada dengan perkawinan murni.

2. Seleksi dilakukan untuk mempertahan-kan standar rumpun.

3. Konservasi terhadap populasi ternak hidup pada kelompok yang sedang bereproduksi.

4. Inbreeding harus dihindari dengan perencanaan perkawinan, serta dengan mempertahankan peningkatan

in-breeding tidak lebih dari 0.6% per

generasi atau dengan ukuran populasi efektif, Ne sesuai dengan selang generasi suatu spesies, misalnya pada sapi adalah sekitar Ne = 85.

Strategi konservasi untuk sumber bibit untuk digunakan secara berkelanjutan

Strategi konservasi ini berkaitan dengan penggunaan rumpun ternak yang saat ini digunakan memenuhi kebutuhan pangan sehubungan dengan peningkatan populasi penduduk. Masalah yang dihadapi dalam strategi ini adalah untuk melakukan kombinasi antara konservasi potensi genetik yang berhubungan dengan kemampuan adaptasi dan peningkatan mutu genetik untuk sifat produksi. NOTTER et al. (1994) menyarankan bahwa untuk populasi ternak yang belum terancam, maka seleksi harus dilakukan dengan intensitas sekitar 1,5% untuk sapi dan 0,1% untuk ayam, dengan laju inbreeding antara 1 – 2%. Dengan pelaksanaan seleksi seperti tersebut di atas maka jumlah minimum ternak betina dewasa adalah sekitar 2000 ekor untuk domba dan sapi, 500 ekor babi, dan 1000 ekor ayam. Ternak yang dipakai dapat tersebar di beberapa peternak dengan manajemen yang berbeda, sepanjang dilakukan rekording yang seragam

terhadap performansnya, pengolahan data yang terpusat, serta penggunaan pejantan yang terseleksi pada keseluruhan populasi. Meskipun demikian apabila seleksi dilakukan secara intensif maka perlu populasi yang tidak dilakukan seleksi atau melakukan preservasi terhadap semen untuk menyimpan foundation

allel.

Strategi konservasi karena populasinya terancam

Pada prinsipnya semua rumpun, strain atau galur yang populasinya terancam harus dikonservasi, meskipun terdapat rumpun,

strain atau galur yang sama di wilayah lain.

Beberapa spesies ternak yang termasuk dalam kategori ini adalah kambing Gembrong di Bali, sapi Jawa di Kabupaten Brebes dan di Karimun Jawa, sapi Hissar di Sumbawa, NTB, serta kemungkinan sapi Grati.

Disamping ketiga strategi tersebut di atas, maka konservasi perlu pula dilakukan terhadap rumpun yang mempunyai potensi genetik dimasa mendatang. Yang menjadi per-masalahan adalah melakukan konservasi terhadap ternak yang tidak diketahui potensinya untuk kebutuhan yang belum diketahui dimasa mendatang. Strategi ini lebih erat hubungannya dengan eksplorasi dan penelitian. SIMON (1999) menyarankan bahwa untuk tujuan konservasi ini perlu dilakukan langkah-langkah sbb:

1. Cari calon rumpun sebagai tambahan keragaman genetik berdasarkan keunikan genetiknya dan jarak genetik dengan rumpun terancam.

2. Biarkan rumpun tersebut bereproduksi untuk pengkajian selanjutnya terhadap mutasi dan adaptasi.

3. Hindari perubahan genetik, dengan jalan mempertahankan populasi dalam keseimbangan Hardy-Weinberg dengan jalan menghindari persilangan, genetic

drift, inbreeding, dan seleksi terhadap

sifat yang mempunyai heritabilitas tinggi.

4. Ukuran populasi efektif, Ne sekitar 85, dan laju peningkatan inbreeding sekitar 0.6% per generasi, serta perlu peren-canaan perkawinan.

(13)

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Yang dimaksud konservasi terhadap sumberdaya genetik ternak adalah pada tingkat rumpun, strain, atau galur. 2. Dasar pertimbangan untuk melakukan

konservasi adalah dengan jalan meng-evaluasi terhadap sifat-sifat ekonomi yang penting, pertimbangan unsur budaya dan sejarah serta pertimbangan keilmuan atau pertimbangan genetik. 3. Metoda konservasi dilakukan dengan

mempertahankan populasi ternak hidup maupun kriopreservasi, dan kedua metoda tersebut saling komplementer dan tidak mutually exclusive. Kegiatan konservasi terhadap sumberdaya genetik ternak disamping untuk mem-pertahankan keragaman genetik juga pengembangan pemuliaan, pengelolaan terhadap ekosistem dan penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian secara berkelanjutan.

4. Dalam penentuan status populasi terancam penggunaan ukuran populasi efektif, Ne lebih dianjurkan dengan mempertimbangkan laju inbreeding per generasi dibawah 1%.

DAFTAR PUSTAKA ALDERSON,L. 1985. The Conservation of Animal

Genetic Resources in Great Britain. Animal Genetic Resources Information, V.4, pp 26-31. FAO, Rome.

BOARD on AGRICULTURE NATIONAL RESEARCH

COUNCIL. 1993. Managing Global Genetic Resources. Livestock. Committee on Managing Global Genetic Resources: Agricultural Imperatives. National Academy Press, Washington, D.C., USA.

BREED of LIVESTOCK - http://www.ansi.oktate.edu.

BREM, G., B. BRENIG, M. MULLER and K.

SPRINGMAN. 1989. Ex situ Cryopreservation of Genomes and Genes of Endangered Cattle Breeds by Means of Modern Biotechnological Methods. FAO Animal Production and Health Paper, 76. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy.

CARDELLINO, R.A. 2006. Status of the World

Livestock Genetic Resources: Preparation of the First Report on the State of the World’s Animal Genetic Resources. In: RUANE,J., and

A.SONNINO (Eds). The Role of Biotechnology in Exploring and Protecting Agricultural Genetic Resources. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy, pp 3-9.

FAO. 2000. World Watch List for Domestic Animal Diversity, SCHERF, B.D. (Ed). Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy.

HAMMOND, K. dan H.W.LEITCH. 1998. Genetic

Resources and the Global Programme for their Management. In: ROTHSCHILD, M.F. and A.

RUVINSKY (Eds) The Genetics of the Pig. CAB International, Wallingford, Oxon, UK, pp 405-425.

HANOTTE, O., and H. JIANLIN. 2006. Genetic

Characterization of Livestock Populations and its use in Conservation Decision-making. In: RUANE,J., and A.SONNINO (Eds). The Role of Biotechnology in Exploring and Protecting Agricultural Genetic Resources. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, pp 89-96.

LUSH, J.L. 1994. The Genetics of Populations.

Prepared for Publication by A.B. CHAPMAN

and R.R.SHRODE with an Addendum by J.F. CROW. Iowa Agriculture and Home economics

Experiment Station College of Agriculture, Iowa State University, Ames, Iowa, Iowa, USA, 900pp.

MAIJALA, K. 1997. Genetic Aspectts of

Domestication, Common Breeds and Their Origin. In: PIPER,L. and A.RUVINSKY (Ed.).

The Genetics of Sheep, CAB International, Wallingford, Oxon, UK, pp 13-49.

NOTTER,D.R.,A.DA S.MARIANTE, and Z.SHENG. 1994. Modern Approaches to Active Conservation of Domestic Animal Diversity. Proc. 5th World Congress on Genetics Applied to Livestock Production, Dept. Animal and Poultry Science, University of Guelph, Guelph, Ontario, Canada, Vol. 21, pp 509-516.

PONZONI, R.W. 1997. Genetic Resources and Conservation. In: PIPER,L. and A.RUVINSKY

(Ed.). The Genetics of Sheep, CAB International, Wallingford, Oxon, UK, pp 437-469.

SABRAO. 1980. Animal Genetic Resources in Asia

(14)

Society for the Advancement of Breeding Research in Asia and Oceania (SABRAO) held at University of Tsukuba, Tsukuba Science City, September 3-7, 1979. Tropical Agriculture Research Center, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, Yatabe, Tsukuba, Ibaraki 305, Japan.

SABRAO. 1981. Evaluation of Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Proc. the Second SABRAO Workshop on Animal Genetic Resources, Held in Kuala Lumpur, Malaysia, May 5-8, 1981. BARKER, J.S.F.

MUKHERJEE, T.K., TURNER, H.N. and SIVARAJASINGAM, S. (Eds). Society for the Advancement of Breeding Research in Asia and Oceania (SABRAO).

SIMON, D.L. 1999. Genetic Resources and

Conservation. In: R.FRIES and A.RUVINSKY

(Eds). The Genetics of Cattle. CABI Publishing, CAB International, Wallingford, Oxon, UK, pp 475-495.

SPONENBERG, D.P. 2000. Genetic Resources and their Conservation. In: BOWLING,A.T., and A.

RUVINSKY (Eds). The Genetics of the Horse. CABI Publishing, CAB International, Wallingford, Oxon, UK, pp 387-410.

TURNER,H.N. 1981. Animal Genetic Resources. Int.

Gambar

Tabel 1. Gambaran kelebihan dan kekurangan metoda konservasi dengan menggunakan populasi ternak  hidup dan kriopreservasi
Tabel 2. Ukuran populasi yang dikategorikan dalam kondisi terancam di Eropa
Gambar 1. Skema identifikasi klasifikasi rumpun dan populasi ternak dalam hubungannya dengan  pelestarian
Tabel 3. Ukuran populasi efektif, Ne untuk beberapa spesies dengan asumsi heterosigositas awal 90% dalam  kurun waktu 100 tahun

Referensi

Dokumen terkait

Untuk sistem kelas virtual ini mahasiswa dapat mendaftar sebagai peserta yang kemudian diaktifkan oleh bagian administrasi untuk memiliki akses ke dalam

Hal ini berarti guru melakukan pembelajaran tatap muka dengan melibatkan kegiatan siswa yang memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di internet misalnya film, animasi, game dan

Mutu kompon lateks cair yang terbaik terdapat pada perlakukan 4 dengan penambahan alginat sebanyak 0,20 phr yang ditunjukan dengan hasil.. uji viscositas money sebesar 119

Namun, Kode Etik Guru Indonesia juga menampilkan keharusan bagi seorang guru mengetahui bagaimana cara beretika kepada orang tua/wali dari peserta didik, (ada 7 poin),

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang ada beberapa kendala yang menjadi faktor penghambat dalam penerapan E-Government

Paket perizinan juga merupakan sebuah tipologi inovasi kebijakan karena paket perizinan tidak jauh juga merupakan kebijakan dan strategi baru dalam menghadapi

Disampaikan kepada seluruh jemaat bahwa dalam rangka Hari Pekabaran Injil dan Hari Perjamuan Kudus se-Dunia maka pada Hari Minggu 1 Oktober 2017 akan digunakan Tata Ibadah dari

penelitian terhadap kekuatan informasi dari suatu peristiwa terhadap aktivitas perdagangan saham LQ 45 dengan judul “Analisis Pengaruh Pengumuman Hasil Pemilu Presiden dan