• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. tentang peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. tentang peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan Nasionaladalah suatu proses multidimensional yang mencakup tentang peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat (masyarakat), pemberantasan kemiskinan dan perubahan struktur ekonomi, sikap hidup dan kelembagaan Negara. Oleh karena itu semua kebijakan yang dilakukan pemerintah selalu diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan amanat UUD 1945. Dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 24/HUK/1996 tentang Sistem Kesejateraan Sosial Nasional (SKSN) dinyatakan bahwa pembangunan kesejahteraan rakyatdiarahkan ke tiga sasaran yaitu: (1) Perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat penyandang masalah kesejateraan sosial; (2) Potensi dan sumber kesejahteraan rakyatyang meliputi sistem nilai sosial budaya yang positif dalam tatanan kehidupan masyarakat dan sumberdaya manusia, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Organisasi/lembaga sosial dalam masyarakat.

Untuk mengetahui keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat perlu tersedia instrumen pengukur, yaitu indikator kesejahteraan rakyat. Dengan indikator ini akan dapat diketahui tingkat kemajuan kesejahteraan rakyat yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan baik antar waktu maupun antar wilayah. Ada beberapa indikator kesejahteraan rakyat yang sering digunakan pemerintah untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah,yaitu: (1)

(2)

Indikator Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI); (2) Indikator Kemiskinan;(3) Indeks Gini; (4) Indeks Mutu Hidup; (5) Indeks Kerentanan Sosial; dan (6) Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Dengan adanya indikator-indikator tersebut, diharapkan dapat diketahui tingkat kesejahteraan masyarakat yang telah dicapai serta korelasinya dengan program-program yang telah dilaksanakan pemerintah (BPS, 2010).

Produk Domestik Bruto dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan rakyat sebab PDB memberikan gambaran produksi, pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai suatu wilayah.Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, PDB baru dihitung berdasarkan dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral/lapangan usaha dan dari sisi penggunaan.Selanjutnya PDB juga dihitung berdasarkan harga berlaku dan harga konstan.

Produk Domestik Bruto menunjukkan seluruh nilai dari barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu daerah dalam suatu tahun tertentu. Nilai barang dan jasa akhir tersebut sama dengan nilai tambah yang diciptakan oleh serangkaian proses produksi dari barang dan jasa tersebut (Suparmoko, 2008).

Menurut Kuncoro (2009),meningkatnya pendapatan di semua daerah, yang ditandai dengan meningkatnya nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), telah mendorong terkurasnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan. Semakin menipisnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan hidup diseluruh penjuru dunia telah menjadi perhatian dari Club of Rome pada tahun 1972 dan juga perhatian para pemimpin negara-negara di dunia dalam Konfrensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT

(3)

BUMI) di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Untuk menghindari dampak pembangunan yang semakin parah terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, para pemimpin dunia sepakat untuk menganut suatu paradigma baru, yaitu bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan, sehingga pembangunan itu dapat bersifat berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan dapat disebut berkelanjutan apabila memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu ekonomis, bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya terus mengalami perubahan sejak diperkenalkan pada tahun 1970.Pada tahun tujuh puluhan konsep pembangunan berkelanjutan didominasi oleh dimensi ekonomi yang dipicu adanya krisis minyak bumi pada tahun 1973 dan tahun 1979.Harga minyak dunia melambung yang mengakibatkan resesi di negara-negara maju khususnya di negara pengimpor minyak.Pada masa ini dimensi lingkungan hidup masih terabaikan.Dimensi lingkungan mulai mendapat perhatian pada tahun delapan puluhan. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit)di Rio de Janeiro pada tahun 1992 merupakan titik tolak dipertimbangkannya dimensi sosial dalam pembangunan berkelanjutan. Salah satu hasil penting konferensi ini adalah pembentukan komisi pembangunan berkelanjutan (CSD – Commission on Sustainable Development).Komisi ini telah menghasilkan kesepakatan untuk melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang dalam Agenda 21. Kesetaraan akses akansumberdaya bagi semua lapisan sosial dan wacana pemberantasan kemiskinan juga menjadi agenda penting dalam konferensi ini (Budimanta, 2005).

(4)

Produk Domestik Bruto yang selama ini dihitung, sering disebut sebagai PDB konvensional (cokelat) karena hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi, tanpa memasukkan dimensi lingkungan didalamnya. Oleh karena itu PDB tersebut kurang tepat dan bersifat misleading dalam penghitungan kontribusinya bagi pembangunan daerah atau nasional. Hal ini disebabkan dalam penghitungan PDB tersebut tidak memasukkan dimensi lingkungan, terutama bagikegiatan ekonomi untuk sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam.Sumberdaya yang hilang karena dieksploitasi, dan kerusakan (degradasi) lingkungan sebagai akibat kegiatan eksploitasi itu tidak diperhitungkan sebagai kehilangan (loss) atau kerusakan (degredation) yang seharusnya dibayar.Sehingga nilai-nilai yang tercantum di dalam PDB konvensional (cokelat) belum menunjukkan nilai kemajuan atau kesejahteraan masyarakat sesungguhnya (Departemen Kehutanan, 2007).

Pendapatan hijau atau pendapatan yang berkelanjutan diartikan sebagai pendapatan yang tidak akan mengurangi konsumsi di masa yang akan datang yang diterima oleh generasi yang akan datang. Dengan demikian angka-angka pendapatan nasional yang tercermin dalam nilai Produk Nasional Bruto dan Produk Domestik Bruto perlu direvisi dengan memperhitungkan dan menyesuaikan besarnya nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Hal ini dibenarkan karena deplesi sumberdaya alam jelas mengurangi modal alami (natural capital) dan degradasi lingkungan seringkali mengurangi kapasitas produksi dan sekaligus menyerap modal finansial demi memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak akibat adanya suatu kegiatan produksi. Dengan demikian kapasitas produksi pada periode yang bersangkutan akan berkurang. (Retnaningsih et al, 2006).

(5)

Menurut Suparmoko (2008), PDB konvensional (cokelat) banyak mengandung kelemahan, diantaranya : (a) hanya menghitung produk-produk yang dipasarkan, (b) kehilangan sumberdaya alam dan kerusakan lingkunganbelum dianggap sebagai biaya produksi, (c) biaya perbaikan lingkungan yang rusak dianggap sebagai menciptakan nilai tambah. Dengan PDB hijau (ramah lingkungan) sebagai perangkat perencana pembangunan, diharapkan pembangunan sektoral maupun regional dapat direncanakan secara lebih baik dan akurat karena perencanaan didasarkan pada kinerja perekonomian yang sebenarnya.

Hal ini sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi meliputi; penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan.

Meskipun konsep PDB hijau terbilang baru, banyak pihak telah mulai menyusun PDB tersebut dalam rangka memberikan faktor koreksi terhadap perhitungan PDB konvensional yang cenderung tidak memperhitungkan faktor kerusakan lingkungan dalam proses produksi barang dan jasa.Hasil penelitian di Kabupaten Blora tahun 2006 menunjukkan bahwa nilai penyusutan modal alam sektor kehutanan cukup besar, sekitar 30 (tiga puluh) persen dari nilai PDRB konvensional sektor kehutanan. Jumlah pungutan sektor kehutanan, khususnya dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang diperoleh hanya 10,81 persen dari nilai deplesi sumber daya hutan (Suparmoko, 2006).

(6)

Produk Domestik Regional Bruto konvensional Provinsi Sumatera Utara terus meningkat. Pada tahun 2000, nilai PDRB Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga berlaku sebesar 69.154.112 milyar rupiah, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 314.156.937 milyar rupiah. Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2000 sebesar 3,98 persen, dan pada tahun 2011 seebsar 6,58 persen (BPS, 2011).

Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara juga mengalami peningkatan PDRB konvensional. Pada tahun 2000, PDRB Kota Medan sebesar 18.956.580 juta rupiah, dan pada tahun 2011 menjadi 93.610.757 juta rupiah. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun 2000 sebesar 4,60 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 6,29 persen (BPS Medan, 2011).

Peningkatan nilai PDRB Provinsi Sumatera Utara maupun nilai PDRB Kota Medan masih mengandung nilai biaya lingkungan yang harus dikeluarkan untuk mengganti kehilangan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Biaya lingkungan ini menjadi sumber pendanaan lingkungan hidup, sesuai dengan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009: Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagai mana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi:

a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;

b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan

(7)

Sebagai ibu kota provinsi, Kota Medan menjadi tempat tujuan utama wisata baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Oleh sebab itu, penyedian tempat penginapan sangat dibutuhkan.Hal ini sejalan dengan meningkatnya wisatawan yang menginap di hotel di Kota Medan. Pada tahun 2000, wisatawan di Provinsi Sumatera Utara yang menginap di hotel sebanyak 1,1 juta orang, dan sebanyak 549 ribu orang menginap di Kota Medan. Pada tahun 2011, wisatawan yang menginap di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1,7 juta orang, dan sebanyak 766 ribu orang menginap di Kota Medan (BPS, 2011).

Peningkatan jumlah wisatawan yang menginap di hotel, diikuti juga meningkatnya jumlah hotel di Kota Medan.Pada tahun 2000, jumlah hotel di Kota Medan sebanyak 159 unit dan pada tahun 2011 menjadi 161 unit (BPS, 2010).Peningkatan jumlah hotel di Kota Medan tentu saja berpengaruh positif terhadap peningkatan PDRB Kota Medan, terutama peningkatan PDRB sektor hotel.Perkembangan nilai PDRB sektor hotelatas dasar harga berlaku selama periode 2000-2011 di Kota Medan dari 121,60 milyar rupiah pada tahun 2000 menjadi 522,4 milyar rupiah pada tahun 2011. Sedangkan pertumbuhan ekonomi sektor hotel pada tahun 2000 di Kota Medan sebesar 1,19 persen, meningkat menjadi 6,29 persen, pada tahun 2011.

Menurut Irianto (2011) kegiatan pariwisata memberikan manfaat yang cukup besar dalam perekonomian suatu negara, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kegiatan sektor-sektor lain secara tidak langsung. Beberapa manfaat pariwisata bagi suatu negara, seperti; (1) Pariwisata adalah faktor penting untuk menggalang persatuan bangsa yang rakyatnya memiliki daerah yang berbeda, dialek, adat istiadat,

(8)

dan cita rasa yang beraneka ragam; (2) Pariwisata menjadi faktor penting dalam pengembangan ekonomi, karena kegiatannya mendorong perkembangan sektor ekonomi nasional lainnya.

Menurut Made (2011) semakin pesatnya pertumbuhan industri pariwisata menghasilkan limbah yang semakin meningkat pula. Sarana pariwisata seperti hotel, membutuhkan air yang sangat banyak. Keterbatasan cakupan layanan air bersih oleh PDAM menimbulkan alternatif lain yang dipilih oleh masyarakat/pelaku industri pariwisata untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan mengambil air tanah. Bila pengambilan air tanah tidak sesuai dengan daya dukungnya, akan mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, intrusi air laut. Penurunan kualitas air tanah akan terjadi akibat pencemaran limbah cair hasil dari industri pariwisata yang dibuang ke lingkungan tanpa melalui pengelolaan yang semestinya.

Menurut Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan diketahui bahwa setiap tahun terjadi peningkatan angka stakeholder yang menyampaikan permohonan izin pemanfaatan air bawah tanah dan hingga tahun 2009 terinventarisasi sebanyak 306 unit sumur bor yang memiliki izin, sedangkan yang tidak terinventarisir kemungkinan jumlahnya jauh lebih banyak. Meningkatnya pemanfaatan air bawah tanah yang tidak terkendali tanpa adanya upaya pengelolaan dan pengawetannya akan berdampak terjadinya penurunan permukaan air tanah, sehingga rongga-rongga tanah hanya terisi oleh oksigen (BPPT, 2010). Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan wilayah pesisir yang berdekatan dengan pantai, maka kekosongan yang terjadi di dalam tanah secara perlahan-lahan akan terisi oleh air laut. Beberapa daerah

(9)

di Kota Medan terindikasi telah terjadi intrusi air laut sejauh 13 km dari garis pantai bagian utara Kota Medan (Sastra, 2009).

Selain masalah air, masalah sampah perkotaan juga tidak kalah pentingnya. Persoalan sampah kota tidak hanya teknik, tetapi juga sosial, ekonomi dan budaya. Masalah sampah kota umumnya terjadi pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) terutama di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan. Masalah tersebut diantaranya adalah keterbatasan lahan TPA, produksi sampah yang terus meningkat, teknologi proses yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, serta belum dapat dipasarkannya produk sampingan sampah kota. Padahal produk hasil sampingan sampah sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah, misalnya pupuk organik, biogas, dan tenaga listrik (Sudrajat, 2007).

Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu bentuk konsep yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan. Pengembangan RTH di perkotaan diupayakan membuka peluang terciptanya kawasan hijau yang bersifat alami dengan vegetasi jenis tanaman yang merupakan bagian dari penataan ruang kota sebagai kawasan hijau (Purnomo,2001).

Fungsi RTH di perkotaan antara lain: (1) sebagai penjaga kualitas lingkungan, (2) sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar dan keindahan visual, (3)sebagai paru-paru kota, (4) sebagai penyangga sumber air dalam tanah, (5) untuk mencegah erosi,(6) sebagai unsur dan sarana pendidikan (Simonds, 1983).

Tingkat kesadaran global mengenai lingkungan hidup dan perubahan iklim pada beberapa tahun belakangan ini meningkat dengan tajam. Berbagai gerakan hijau

(10)

pun dilakukan untuk melindungi bumi dengan mengimplementasikan berbagai upaya efisiensi penggunaan energi dan peminimalisiran kerusakan lingkungan. Upaya antisipasi pemanasan global tersebut dilakukan oleh sektor bangunan, mengingat pada kenyataan bahwa bangunan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di bumi ini. Seluruh emisi CO2 yang ada di dunia, 30-40% dihasilkan oleh bangunan, sehingga setiap pengurangan emisi pada bangunan akan berdaya ungkit besar terhadap upaya antisipasi pemanasan global tersebut (Firsani, 2012).

Hotel merupakan salah satu penggunaan energi terbesar. Seiring dengan meningkatnya tarif biaya energi, untuk memberikan kualitas pelayanan terbaik, biaya operasional hingga 30% diantaranya adalah komponen pembelian energi, juga meningkat dengan signifikan. Sebelum krisis tahun 1997, komponen biaya energi di perhotelan hanya mencapai 10% (Elyza, 2005).

Pengaturan pemakaian penerangan listrik yang baik akan membantu mengurangi pemborosan energi listrik. Hotel-hotel besar sering mempunyai koridor yang panjang yang tidak memerlukan penerangan yang banyak. Koridor demikian dapat memakai lampu-lampu yang hemat energi. Kamar tamu dapat dilengkapi dengan peralatan yang menjadi semua lampu akan mati bila tamu meninggalkan ruangan. Otomatisasi gedung akan membawa banyak penghematan energi. Gedung yang serba otomatis itu sering juga dinamakan gedung pintar atau smart building (Kadir, 2010)

Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, harus dilaksanakan insentif dan/atau disinsentif sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 32 ayat (3) huruf b: Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana

(11)

dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk; penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup.

Eksternalitas merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.Keberadaannya menyita perhatian karena lingkungan sering menjadi korban dari adanya eksternalitas, terutama eksternalitas negatif (Hidayat 2007).

Menurut Fauzi (2004) untuk menyelesaikan kasus eksternalitas, ada tiga alternatif pendekatan yaitu, (1) melalui proses internalisasi; (2) pembebanan pajak; dan (3) pemberian hak kepemilikan.Ketiga pendekatan ini pada akhirnya bermuara pada satu persoalan, yaitu nilai eksternalitas, berapa nilai yang harus dibebankan kepada penghasil eksternalitas negatif.

Besaran biaya eksternalitas biasanya dihitung berdasarkan proporsi biaya input produksi barang dan jasa (Sundaya, 2009). Proporsi biaya eksternalitas tersebut diwujudkan dalam bentuk sebuah angka yang disebut koefisien eksternalitas. Besaran koefisien eksternalitas tentu saja tidak akan sama pada semua bidang. Besarannya sangat tergantung pada jenis produksi dan limbah yang dihasilkan akibat proses produksi tersebut.

Sehubungan dengan pengelolaan di atas, meskipun nilai PDRB sektor hotel di Kota Medan terus meningkat, tetapi masih belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena faktor eksternalitas belum diperhitungkan dalam penghitungan PDRB di atas.Berapa besar sebenarnya peningkatan PDRB sektor hotel di Kota Medan jika memperhitungkan biaya eksternalitas sebagai biaya pengganti sumber

(12)

daya alam dan biaya perbaikan lingkungan yang rusak akibat kegiatan sektor hotel di Kota Medan. Dengan mengetahui biaya-biaya tersebut, maka sumbangan kegiatan sektor hotel bagi perekonomian Kota Medan akan dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

1.2 Identifikasi Permasalahan

Dari fenomena-fenomena di atas dapat diidentifikasi permasalahan yang terjadi yaitu sebagai berikut: Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto konvensional sektor hotel di Kota Medan belum dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena biaya pengganti sumberdaya alam dan biaya perbaikan lingkungan yang rusak masih dianggap sebagai menciptakan nilai tambah. Berapa biaya yang harus dikeluarkan dari kegiatan sektor hotel di Kota Medan agar kelestarian sumberdaya alam tetap terjaga dan kegiatan sektor hotel tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.Dengan diketahui besaran biaya tersebut di atas, maka dapat ditentukan faktor koreksi terhadap PDRB konvensional menjadi PDRB hijau, dan dapat diketahui besarnya pengaruh biaya eksternalitas terhadap biaya kegiatan sektor hotel di Kota Medan.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berapa besarnya biaya eksternalitas sektor hotel sebagai faktor koreksi dari PDRB konvensional menjadi PDRB hijau sektor hotel di Kota Medan?

(13)

2. Apakah ada perbedaan besarnya biaya eksternalitas negatif menurut klasifikasi hotel di Kota Medan?

3. Berapa perkiraan besarnya biaya eksternalitas negatif yang dibebankan kepada hotel dengan jumlah kamar dan tingkat hunian kamar sebagai variabel penentu di Kota Medan?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan besarnya biaya eksternalitas sektor hotel sebagai faktor koreksi PDRB konvensional menjadi PDRB hijau sektor hoteldi Kota Medan

2. Mengetahui perbedaan besarnya biaya eksternalitas negatif menurut klasifikasi hotel di Kota Medan

3. Menentukan besarnya biaya eksternalitas negatif yang dibebankan kepada hotel dengan jumlah kamar dan tingkat hunian kamar sebagai variabelpenentu di Kota Medan

1.5 Kerangka Konseptual

Penghitungan Gross National Product sebagai indikator perekonomian mengabaikan kelangkaan Sumberdaya Alam (SDA), dimana SDA tersebut merupakan faktor dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sedangkan pada sisi lain degradasi dan pengerusakan lingkungan berhubungan dengan aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Berdasarkan hal tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan World Bank telah membangun sebuah alternatif indikator secara makro dari perubahan lingkungan, pendapatan dan output. Sebagai hasil dari usaha tersebut,

(14)

Statistical Division of the United Nations (UNSTAT), mempublikasikan handbook System of National Account (SNA) pada tahun 1993 yang menyediakan konsep dasar dalam mengimplementasikan System for Integrated Environmental and Economic

Accounting (SEEA) dan perubahan lingkungan pada GDP (Green GDP) yang

mengilustrasikan hubungan antara lingkungan alamiah dan perekonomian. Menanggapi rekomendasi dari PBB, Economic Planning Agency of Japan (EPA) menerbitkan untuk pertama kali pada tahun 1995 estimasi SEEA dan Green GDP untuk tahun 1985 dan tahun 1990.

Dalam definisi tersebut dapat difahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh 3 pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis, keterkaitan antara 3 komponen dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut: (Sugandhy, 2007).

Gambar 1.1 Tiga pilar pembangunan berkelanjutan SOSIAL

LINGKUNGAN EKONOMI

(15)

Integrasi dari Gross Regional Domestic Product (GRDP) konvensional atau

System Regional Account (SRA) dan lingkungan disebut System of Integrated

Environmental and Economic Accounting (SEEA).SEEA adalah basis dari

penghitungan green GRDP yang mempertimbangkan SDA sebagai modal yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa.Oleh karena itu, juga diperhitungkan deplesi dari modal tersebut. Aktivitas produksi memberikan output yang sangat berguna bagi mahluk hidup dan output yang lain. Output jenis ini dapat merusak kehidupan dan konservasi alami. Usaha untuk mencegah dan menyelesaikan masalah tersebut telah menciptakan aktivitas ekonomi yang baru, yaitu di satu sisi hal tersebut meningkatkan GRDP tetapi di sisi lain menghitungbiaya degradasi lingkungan. Penghitungan biaya tersebut menyebabkan pendapatan perkapita menjadi lebih rendah, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.2 berikut.

(16)

PDRB Konvensional Nilai Tambah =

NilaiProduksi - Biaya Input Antara

Akuntansi Fisik terhadap Sumberdaya Nasional

-

Depresiasi = Akuntansi Moneter terhadap

Sumberdaya Alami PDRN Konvensional

+/-

Penambahan - Pengurangan Deflesi Lingkungan

=

Penghematan Biaya Akuntansi Fisik terhadap

kualitas lingkungan

PDRN 1 (PDRN Semi Hijau)

+/- Akuntansi Moneter terhadap

kualitas lingkungan Degredasi Lingkungan = PDRN 2 (PDRN Hijau)

Gambar 1.2. Green NRDP regional (Sumber : Muchtar et al, 2004)

Skema pada gambar 1.2 menunjukkan penghitungan GRDP pada aspek lingkungan berdasarkan nikai konvensionalnya.Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan analisis dan penyaringan data.Sebenarnya, GRDP adalah konvensional karena tidak memperhitungkan faktor SDA dan lingkungan.Net Regional Domestic

Product (NRDP) adalah GRDP yang sudah termasuk depresiasi.NRDP 1 (semi

green) adalah NRDP yang menghitung deplesi dari SDA dan lingkungan. Deplesi lingkungan dan SDA adalah stock pada tahun t yang dikurangi stock pada tahun t-1. Meskipun, deplesi dapat dihitung stock akhir dikurangi stok awal atau penambahan SDA dikurangi SDA itu sendiri dikurangi faktor-faktor lain. NRDP 2 (green) adalah NRDP 1 yang memasukkan degradasi SDA dan lingkungan.

(17)

Proses terbentuknya green GRDP yang diperlihatkan oleh gambar 1.2, akanmemperjelas tentang sirkulasi perekonomian. Hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan diperkotaan diperkuat oleh sustainable development framework pada gambar 1.1. Berdasarkan framework yang terlihat pada gambar 1.2 dapat dijadikan acuan bahwa, adanya deplesi SDA dan degradasi lingkungan akan menyebabkan nilai PDRB hijau regional akan semakin rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan yang optimal ditunjukkan oleh PDRB yang tinggi yang disertai rendahnya deplesi dan degradasi lingkungan, sehingga dapat tercapai pembangunan kota yang berkelanjutan.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(18)

Gambar 1.3. Kerangka pemikiran 1.6 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:

1. Nilai PDRB konvensional lebih besar dari nilai PDRB hijau sektor hotel di Kota Medan

2. Tidak ada perbedaan besarnya biaya eksternalitas negatif menurut klasifikasi hotel di Kota Medan

Output Sektor Hotel

Biaya Antara Sektor Hotel PDRB Konvensional Sektor Hotel Biaya Eksternalitas Sektor Hotel 1. Biaya Pengolahan Limbah Cair 2. Biaya Pengolahan Sampah 3. Biaya Pengelolaan RTH 4. Penghematan Biaya Energi Listrik PDRB Hijau Sektor Hotel Biaya Eksternalitas Negatif Sektor Hotel 1. Limbah cair

2. Sampah

(19)

3. Besarnya biaya eksternalitas negatif yang dibebankan kepada hotel dengan jumlah kamar dan tingkat hunian kamar sebagai variabel penentu tidaksama menurut klasifikasi hotel.

1.7 Manfaat Penelitian

Manfaat Praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jika besarnya biaya eksternalitas sektor hotel dapat diketahui maka faktor koreksi PDRB konvensional menjadi PDRB hijau sektor hotel dapat ditentukan di Kota Medan.

2. Jika diketahui ada perbedaan besarnya biaya eksternalitas negatif menurut klasifikasi hotel maka dapat ditentukan kebijakan penanggulangan biaya eksternalitas negatif berdasarkan klasifikasi hotel di Kota Medan.

3. Secara teoritis penelitian ini mengembangkan metode penghitungan PDRB hijau dan menentukan besaran biaya eksternalitas negatif yang ditanggung oleh penghasil eksternalitas negatif di Kota Medan.

1.8 Novelty

Indikator Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) konvensional hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi tanpa memasukkan dimensi lingkungan di dalamnya.Indikator ini perlu direvisi dengan memperhitungkan besarnya nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan.

Analisis biaya eksternalitas PDRB hijau untuk pembangunan berkelanjutan sektor hotel di Kota Medan, Sumatera Utarapada penelitian ini, menentukan besarnya faktor koreksi PDRB konvensional sektor hotel yang selama ini digunakan

(20)

sebagai indikator pembangunan menjadi PDRB hijau sektor hotel sebagai indikator pembangunan berkelanjutan.Selain itu, dengan menggunakan model dinamik, hasil penelitian ini dapat menentukan besaran biaya eksternalitas negatif yang dibebankan kepada hotel sesuai dengan klasifikasi hotel.

Gambar

Gambar 1.1 Tiga pilar pembangunan berkelanjutan SOSIAL
Gambar 1.3. Kerangka pemikiran  1.6   Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas adalah tingkat mutu yang diharapkan dan pengendalian keragaman dalam mencapai mutu tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Kualitas memberikan

Dalam kimia, ikatan hidrogen adalah sejenis gaya tarik antar molekul yang terjadi molekul yang terjadi antara dua muatan listrik parsial dengan pularitas yang berlawanan walaupun

Pada tahap proses konsultasi ini, klien yang mengantri di depan ruang konsultasi akan dipanggil oleh sekertaris LPKBH Al-Baihaqy untuk menemui konsultan LPKBH

Hal senanda juga diungkapkan oleh Dalimoenthe (2011) bahwa, masyarakat pertama kali akan menyalahkan istri, dianggap tidak mampu menjaga diri, suami dan

Dalam melakukan rencana keuangan di perjalanan kehidupan Anda, diharapkan Anda melakukan pemantauan (monitoring) dari setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan pribadi Anda

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan dari penelitian yang berjudul Hubungan Peran Kelompok Teman Sebaya Dengan Sikap Agresif Pada Remaja Kelas XI di SMA

a) Struktur bawah jembatan harus direncanakan untuk menanggung beban struktur atas melalui komponen tumpuan, yang sudah merupakan kombinasi terbesar dari semua beban struktur

Pendampingan kegiatan dilakukan oleh pendamping yang ditunjuk oleh Dinas yang membidangi perkebunan dari Dinas Provinsi dan atau Direktorat Jenderal Perkebunan, untuk ikut mengawasi