• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktikum Ilmu Material 1 Cold Curing Fix

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Praktikum Ilmu Material 1 Cold Curing Fix"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL 1 Topik : Manipulasi Resin Akrilik Aktivasi Kimia ( Cold Cured )

Kelompok : B1b

Tanggal Praktikum : 3 Juni 2014

Pembimbing : Helal Soekartono, drg.,MKes.

Penyusun :

1. Shafira Sheila Arbarani 021311133066 2. Hana Arya Puspita 021311133067 3. Mentari Zaurasari 021311133068 4. Diajeng Ratih Wandasari 021311133069 5. Yessy Andriani Fauziah 021311133070

DEPARTEMEN MATERIAL KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014

(2)

1. TUJUAN

Mahasiswa dapat memanipulasi resin akrilik aktivasi kimia dengan cara yang tepat sebagai bahan denture base dan dapat membedakan manipulasi resin akrilik aktivasi kimia yang digunakan sebagai denture base dan sebagai bahan reparasi.

2. METODE KERJA 2.1 Bahan:

a. Bubuk polimer dan cairan (Pro Base)

b. Bubuk polimer dan cairan monomer (Hillon) c. Cairan CMS

d. Malam perekat

Gambar 2.1 Alat praktikum A. Bubuk polimer dan cairan (Pro Base), B. Bubuk polimer dan cairan monomer (Hillon).

(3)

2.2 Alat:

a. Pot porselin/mixing jar b. Pipet ukur c. Timbangan d. Pisau malam e. Plastik selopan f. Kuvet logam g. Press kuvet h. Kuas

i. Bur dengan mata bur

Gambar 2.2 Alat praktikum A. Pot porselin/mixing jar, C. Timbangan, D. Pisau malam, G. Press Kuvet.

C A

D

(4)

2.3 Cara Kerja:

1. Resin akrilik aktivasi kimia sebagai bahan denture base

a. Cetakan (mould) diisi dengan adonan resin akrilik (packing). b. Siapkan bahan resin akrilik dan peralatan untuk packing.

c. Permukaan mould dan sekitarnya diolesi dengan CMS memakai kuas dan ditunggu sampai kering.

d. Cairan monomer diukur dengan menggunakan gelas ukur sebanyak 2,5 ml (sesuai aturan pabrik) kemudian dituangkan ke dalam pot porselin. e. Bubuk polimer ditimbang sebanyak 4 gr, kemudian dimasukkan ke

dalam pot porselin secara perlahan-lahan sedikit demi sedikit sampai sampai polimer terbasahi oleh monomer.

f. Setelah tahap dough tercapai, adonan resin akrilik dimasukkan ke dalam cetakan (mould).

g. Permukaan adonan resin akrilik dilapisi dengan plastik selopan kemudian kuvet atas dipasang dan dilakukan pengepresan. Setelah pengepresan kuvet dibuka, kertas selopan diangkat dan kelebihan resin akrilik dipotong dengan menggunakan pisau malam tepat pada tepi cetakan.

h. Lakukan pengepresan kedua masih menggunakan kertas selopan dan kelebihan resin akrilik dipotong lagi.

i. Pada pengepresan terakhir tidak menggunakan kertas selopan, kuvet atas dan bawah harus rapat kemudian dipindahkan pada pres masing-masing.

j. Setelah di press minimal 30 menit, sampel diambil dari cetakan.

2. Resin akrilik aktivasi kimia sebagai bahan reparasi dengan teknik salt and pepper

a. Siapkan bahan resin akrilik dan peralatan untuk mereparasi plat akrilik.

b. Permukaan mould dan sekitarnya diolesi dengan CMS memakai kuas dan ditunngu sampai kering.

(5)

c. Ujung-ujung plat akrilik ditandai dengan tanda yang berbeda, juga tandai permukaan gip (ujung mould) sama dengan tanda pada plat akrilik.

d. Sampel pada bagian yang patah diasah secukupnya untuk bahan tempat reparasi.

e. Sampel dimasukkan ke dalam mould dengan menyesuaikan tanda pada akrilik dan pada permukaan gip, plat akrilik di fiksasi dengan menggunakan malam perekat.

f. Bahan reparasi diaplikasikan pada daerah fraktur dengan menggunakan teknik “salt and pepper”.

g. Pada bagian yang fraktur dibasahi dengan monomer, kemudian diberi polimer, selanjutnya diberi monomer lagi demikian seterusnya sampai daerah fraktur penuh dengan bahan tersebut.

h. Sampel yang telah direparasi dimasukkan ke dalam air selama 20 menit.

3. Resin akrilik aktivasi kimia sebagai bahan reparasi dengan teknik wet packing

a. Siapkan bahan resin akrilik dan peralatan untuk mereparasi plat akrilik.

b. Permukaan mould dan sekitarnya diolesi dengan CMS memakai kuas dan ditunggu sampai kering.

c. Ujung-ujung plat akrilik ditandai dengan tanda yang berbeda, juga tandai permukaan gip (ujung mould) sama dengan tanda pada plat akrilik.

d. Sampel pada bagian yang patah diasah secukupnya untuk bahan tempat reparasi.

e. Sampel dimasukkan ke dalam mould kemudian tanda pada akrilik dan pada permukaan gip disesuaikan, plat akrilik difiksasi dengan menekankan ujung jari pada kedua ujung plat.

(6)

f. Cairan monomer dituangkan secukupnya ke dalam pot, lalu bubuk polimer dituangkan ke dalam pot, keduanya diaduk hingga monomer dan polimer tercampur rata.

g. Adonan akrilik diambil lalu diletakkan pada bagian akrilik yang patah dan diratakan sehingga seluruh permukaan akrilik yang patah tertutupi adonan

h. Sampel yang telah direparasi dimasukkan ke dalam air selama 20 menit.

3. HASIL PRAKTIKUM

Pada praktikum kali ini, dilakukan manipulasi resin akrilik dengan aktivasi kimia atau cold cured. Pada analisa ini akan membandingkan hasilnya dengan resin akrilik aktivasi panas (heat cured).

Aktivasi kimia tidak memerlukan penggunaan energi thermal dan karenanya dapat dilakukan pada temperatur ruang. Cold curing memiliki working time yang lebih pendek dibanding heat curing. Untuk mencapai fase dough pada cold curing juga lebih cepat dibanding heat curing. Hal ini karena proses polimerisasi pada heat curing lebih sempurna dibanding cold curing. Perbedaan dasar antara resin aktivasi panas dan kimia adalah cara benzoil peroksida terrpisah untuk melepas radikal bebas. Semua faktor lain dalam proses ini tetap sama, misalnya, inisiator dan reaktor.

Umumnya derajat polimerisasi yang dicapai dengan dengan menggunakan resin aktivasi kimia tidak sesempurna resin aktivasi panas. Ini menunjukkan ada monomer dalam jumlah besar yang tidak bereaksi. Resin yang terpolimerisasi secara kimia umumnya menunjukkan 3%-5% monomer bebas, sedangkan resin yang teraktivasi secara panas hanya menunjukkan 0,2%-0,5% monomer bebas. Monomer bebas dapat bertindak sebagai iritan jaringan yang potensial membatasi biokampatibilitas basis protesa. Bahan tersebut juga bisa sebagai plasticizer, yang menyebabkan penurunan kekuatan transversal basis protesa.

(7)

lebih sedikit dibandingkan dengan aktivasi panas karena polimerisasi yang kurang sempurna. Ini memberikan keakuratan dimensi yang lebih besar pada resin aktivasi kimia.

Cara kerja dari cold curing juga lebih praktis dan proses deflaskingnya juga lebih mudah karena tidak panas apabila dibandingkan dengan heat curing yang harus terlebih dahulu direbus hingga panas.

Kemudian, dari praktikum ini, teknik reparasi dengan mengunakan cold curing acrylic menunjukkan hasil pada manipulasi dengan wet packing terlihat di tengah patahan adonan resin akriliknya timbul dan tidak rata dengan resin akrilik awalnya. Hal ini bisa terjadi karena resin akrilik yang ada di bowl sudah mulai mengalami proses setting. Sedangkan pada pengamatan yang telah dilakukan pada teknik salt and pepper, hasil perlekatannya lebih rapi karena penggabungan bubuk polimer dan cairan monomernya diakukan satu persatu. Sehingga setting yang terjadi pun bisa diukur dan diperkirakan.

Gambar 3.1 resin akrilik dengan aktivasi kimia atau cold cured

4. PEMBAHASAN

Resin akrilik adalah material yang paling sering digunakan dalam pembuatan basis gigi tiruan (Mc Cabe & Walls, p. 112). Resin akrilik sangat populer dipakai sebagai bahan basis gigi tiruan oleh karena bahan ini memiliki banyak kelebihan seperti memiliki penampilan yang baik, memiliki tingkat transisi temperature yang baik, murah, memiliki permukaan yang baik. Akan tetapi, resin akrilik juga memiliki kekurangan seperti

(8)

menyisahkan sisa monomer yang bisa mengakibatkan alergi, memiliki impact strength yang rendah, memiliki flexural strength yang cukup rendah sehingga susah diaplikasikan pada model gigi tiruan yang buruk, fatique life terlalu rendah, radioluency (O’Brien 2002, p. 147).

Resin akrilik dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu resin akrilik aktivasi panas (heat cured), resin akrilik aktivasi kimiawi, resin akriliki aktivasi gelombang mikro, dan resin akrilik aktivasi sinar tampak (Anusavice, 2013, p. 475, 484, 483, 485).

Resin aktivasi kimiawi tidak memerlukan penerapan energi panas untuk aktivasinya, segingga manipulasi resin akrilik dapat diselesaikan dalam suhu kamar. Hal ini menyebabkan resin aktivasi kimia juga disebut sebagai self-curing resins, autoplymerizing resins, dan cold-curing resins (Anusavice, 2013, p. 483).

Komponen resin akrilik aktivasi kimia ini tersedia dalam bentuk bubuk dan cairan. Komponen utama pada cairan adalah monomer methylmethacrylate (MMA) sedangkan komponen utama pada bubuk adalah butir-butir polymethylmethacrylate dengan diameter hingga 100 µm. Polymethylmethacrylate ini jernih, polimer seperti kaca, dan terkadang dalam bentuk seperti ini digunakan sebagai kontruksi basis gigi tiruan. Pada bubuk terdapat inisiator dan juga pigmen (Mc Cabe & Walls, hal 112).

Cairan monomer memiliki sifat yang jernih, tidak berwarna, tidak kental dan memiliki bau yang menusuk serta menguap pada suhu ruangan. Normalnya, cairan juga memiliki cross-linking agent yang berfungsi untuk meningkatkan sifat fisik material set. Penambahan inhibitor dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan caira (Mc Cabe & Walls 2008, hal 113).

Tabel 4.1 Komposisi material resin akrilik.

Cold curing acrylic sebenarnya hampir sama dengan tipe heat curing (waterbath) kecuali agen pereduksinya yang terkandung dalam monomernya. Cold

(9)

curing resin biasa digunakan untuk repairing dan relining denture. Agen pereduksi biasanya adalah teriary aromatic amine, meskipun barbituric acid derivates juga sering digunakan. Agen pereduksi bereaksi dengan benzoyl peroxide pada suhu ruangan untuk memproduksi peroxy free radicals sebagai penginisiasi reaksi polimerisasi dari monomer pada denture base (O’ Brien 2002, p. 151).

Polimerisasi pada resin akrilik cold cured terjadi segera setelah polimer dan monomer dicampur. Cairan monomer pada resin akrilik cold cured mengandung aktivator dimethyl p-toluidine. Aktivator ini akan bereaksi dengan initiator yang terkandung di dalam bubuk polimer (benzoyl peroxide) pada temperatur kamar. Reaksi antara dimethyl p-toluidine dan benzoyl peroxide menghasilkan radikal bebas lalu selanjutnya terjadi reaksi sama seperti akrilik heat cured.

Proses polimerisasi dibagi menjadi dua macam, yaitu reaksi kondensasi dan reaksi adisi. Reaksi kondensasi merupakan reaksi antara dua molekul yang lebih dengan menghilangkan molekul yang lebih kecil, sedangkan reaksi adisi merupakan reaksi kimia antara dua molekul atau lebih untuk pembentukan molekul besar tanpa menghilangkan molekul yang lebih kecil. Reaksi adisi digunakan pada resin akrilik polymethylmethacrylate yang biasa dipakai sebagai bahan basis gigi tiruan lepasan. Terdapat 3 tahap pada polimerisasi adisi ini, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.

Proses polimerisasi membutuhkan penggerak berupa radikal bebas yaitu suatu bahan yang sangat reaktif dan mempunyai inisiator. Radikal bebas ini dapat terbentuk karena proses penguraian peroksida. Pada reaksi ini satu molekul benzoyl peroxide dapat membentuk dua radikal bebas. Radikal bebas inilah yang akan menggerakkan terjadinya polimerisasi dan disebut inisiator. Radikal bebas diaktifkan dengan cara menguraikan peroksida melalui pemanasan atau pemberian bahan kimia lain, misalnya dimetil-p-toluidin atau merkaptan amin tersier maupun dengan penyinaran ultra violet atau radiasi gelombang elektromagnetik. Pada cold-curing resins radikal bebas ini didapatkan dari dekomposisi benzoyl peroxide oleh amina tersier berupa dimetil-p-toluidin. Proses ini disebut sebagai proses inisiasi dan aktivasi (O’Brien 2002, hal 145).

(10)

Gambar 4.1 Proses inisiasi.

Proses propagasi adalah pembentukan rantai polimer dari reaksi antara molekul yang aktif dengan molekul lain. Rantai penyebaran (propagasi) terjadi karena monomer yang diaktifkan bereaksi dengan monomer lainnya, demikian seterusnya sampai terjadi perpanjangan rantai dan monomer yang diaktifkan saling berikatan (O’Brien 2002, hal 146).

Gambar 4.2 Proses propagasi.

Proses terminasi adalah proses pertambahan radikal bebas yang mengakibatkan beberapa mekanisme dan menghasilkan formasi dan cabang-cabang serta rantai yang menyilang. Pengakhiran terjadi ketika 2 radikal bebas berinteraksi dan membentuk suatu ikatan kovalen sehingga terbentuk molekul yang stabil (O’Brien 2002, hal 146).

(11)

Gambar 4.3 Proses propagasi.

Setelah pencampuran antara bubuk dan cairan, resin ini akan mengalami beberapa fase, seperti fase sandy, stringy, dough, rubbery, dan stiff. Setelah adonan mencapai fase dough, kemudian proses packing dilakukan. Adonan diletakan pada mould yang terdiri dari 2 bagian gypsum mould yang ditanam pada kuvet yang sebelumnya telah diolesi oleh CMS (Cold Mould Seal) sebagai bahan separator agar tidak lengket (Mc Cabe & Walls 2008, p. 114).

Mould kemudian ditutup dan dilakukan pres menggunakan press hidrolik dengan tujuan untuk mengepaskan pada mould sesuai dengan ukuruan yang diinginkan. Kelebihan akrilik pada mould kemudian dipotong agar didapatkan bentuk yang sesuai dengan mould (Mc Cabe & Walls 2008, pp. 114,115). Setelah itu kuvet dibiarkan dalam keadaan dipres selama 30 menit agar terjadi proses curing, yakni terjadinya polimerisasi resin akrilik. Setelah 30 menit, kuvet dibuka dan dilakukan proses deflasking. McCabe dan Walls menjelaskan bahwa ketika membuat denture base dari akrilik cold-cured , bubuk dan cairan dicampur sama seperti pencampuran pada resin akrilik heat-cured (Mc Cabe, 2008, hal. 116).

Resin Akrilik aktivasi kimia sebagai bahan reparasi dengan teknik salt and pepper dan wet packing

Syarat suatu bahan yang patah dapat direparasi adalah bahan tersebut harus dapat direposisi. Setelah itu, pada bagian yang patah digrinding secukupnya sebagai tempat bahan reparasi. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam mould yang sebelumnya sudah diolesi dengan cairan CMS. Polimer dan monomer dari resin akrilik aktivasi kimia

(12)

diaplikasikan pada bagian yang patah dengan menggunakan teknik salt and pepper dan wet packing.

Percobaan pertama

Pada percobaan pertama dilakukan terhadap akrilik yang fraktur. Pada percobaan ini teknik yang digunakan adalah salt and pepper. Pada teknik ini, pertama-tama akrilik yang akan disambung di haluskan terlebih dahulu pada bagian yang akan disambung hingga membentuk permukaan yang miring. Setelah itu, kedua patahan yang sudah dihaluskan tersebut diletakkan diatas basis dari gipsum. Setelah itu monomer di teteskan diatas patahan tersebut setelah itu diberi polimer, monomer dibiarkan membahasi polimer sebelum ditetesi lagi. Hal ini dilakukan berkali kali hingga daerah fraktur penuh dengan bahan tersebut.

Percobaan kedua

Pada percobaan kedua teknik yang digunakan adalah wet packing. Pada teknik ini monomer dan polimer dicampur di dalam wadah pot selanjutnya setelah tercampur rata letakkan pada bagian yang fraktur, sehingga seluruh bagian yang fraktur penuh dengan adonan. Setelah pengadukan, campuran lalu dituangkan diatas akrilik dan ditunggu hingga setting.

Teknik wet packing pada resin akrilik self cured pada umumnya digunakan untuk mereparasi gigi tiruan yang patah. Pada teknik ini diawali dengan membentuk base dasar pada bagian yang patah dengan cara grinding. Kemudian adonan akrilik yang sudah mencapai tahap dough diletakkan pada bagian yang fraktur dan sudah di grinding.

Sampel yang telah direparasi tersebut kemudian dimasukkan kedalam air untuk meredam panas yang dihasilkan (eksotermis). Syaratnya adalah resin akrilik sebagai bahan reparasi tersebut sudah mencapai tahap dough atau pada saat bahan reparasi tersebut sudah mulai mengeras. Apabila dimasukkan ke dalam air dalam keadaan masih flow, akan timbul gelembung-gelembung udara yang menyebabkan porus.

Perbedaan teknik salt and pepper dan wet packing adalah pada metode wet packing, monomer dan polimer dimasukkan ke dalam pot porselin kemudian diaduk hingga homogen terlebih dahulu. Bagian base pada denture yang patah ditutup dengan campuran

(13)

akrilik ketika adonan memasuki tahap sandy hingga patahan tertutup secara keseluruhan dan rata. Setelah itu adonan dibiarkan hingga setting, lalu akan mendapat hasil reparasi yang sesuai. Setelah itu, denture yang telah direparasi direndam dalam air dengan maksud menghindari distorsi dan melepaskan monomer sisa yang berpotensi mengiritasi mukosa mulut.

Pada umumnya manipulasi resin akrilik self cured dimulai dengan mencampurkan komponen bubuk dan cairan. Pengadukan kemudian akan menyebabkan peningkatan viskositas sampai tahap dough dicapai. Peningkatan viskositas ini disebabkan karena kombinasi perubahan fisis dan kimiawi yang muncul dalam adonan. Ketika pertemuan peroksida dari bubuk dan aktivator kimiawi dari cairan terjadi selama pengadukan, polimerisasi monomer terinisiasi. Oleh sebab itu, konversi monomer menjadi polimer menyebabkan peningkatan viskositas (McCabe 2008, hal 116)

Pada saat pencampuran polimer dan monomer, aktivator dimetil p-toluidin akan bereaksi dengan inisiator benzoyl peroxide yang ada pada polimer, sehingga terjadi pelepasan radikal bebas sebagai sumber energi untuk memulai reaksi polimerisasi. Reaksi polimerisasi bersifat eksotermik (menghasilkan panas), panas yang dihasilkan ini dapat membantu proses polimerisasi.

Untuk reparasi, adonan cold cure resin yang sangat cair digunakan. Penggunaan monomer yang banyak memastikan wetting fragmen yang akan direparasi dengan baik (McCabe 2008, p.117).

Ketika polimer dan monomer diaduk dengan takaran dan perbandingan yang sesuai, dihasilkan massa yang dapat diproses. Ada lima tahap berbeda yang akan dilalui oleh massa tersebut, yaitu sandy, stringy, dough, rubbery, dan stiff. (Anusavice 2003, p. 727) 1. Sandy stage

Pada tahap ini hanya sedikit atau bahkan tidak ada interaksi pada tingkat molekuler. Butir-butir polimer tetap tidak berubah, serta konsistensi adukan dapat digambarkan sebagai “kasar” atau berbutir (Anusavice 2003, p.727).

2. Stringy stage

Selama tahap ini monomer menyerang permukaan masing-masing butiran polimer. Beberapa rantai polimer terdispersi dalam monomer cair. Rantai-rantai polimer ini melepaskan jalinan ikatan sehingga meningkatkan kekentalan adukan. Tahap ini

(14)

mempunyai ciri berbenang atau lengket bila bahan disentuh atau ditarik (Anusavice 2003, p.727).

3. Dough stage

Dough stage atau tahap adonan pada tingkat molekul, jumlah rantai polimer yang memasuki larutan meningkat. Jadi, dibentuk suatu larutan monomer dan polimer terlarut. Secara klinis, massa bersifat seperti suatu adonan yang dapat dibentuk. Adukan tersebut tidal lagi seperti benang dan tidak melekat pada permukaan cawan atau spatula pengaduk. Karakteristik fisik dan kimia yang terlihat selama fase selanjutnya dari tahap ini adalah ideal untuk molding tekanan. Karena itu, bahan harus dimasukkan ke dalam mould selama fase berikutnya setelah dough stage (Anusavice 2003, p.727). Pada tahap inilah dapat dilakukan packing.

4. Rubbery stage

Setelah melalui tahap adonan, adukan memasuki tahap rubbery yang monomernya dihabiskan dengan penguapan dan penembusan lebih jauh ke dalam butir-butir polimer yang tersisa. Secara klinis, massa dapat memantul apabila ditekan atau diregangkan. Karena massa tidak dapat lagi mengalir dengan bebas, mengikuti bentuk wadah, maka bahan ini tidak dapat dibentuk dengan teknik kompresi konvensional (Anusavice 2003, p.727).

5. Stiff stage

Tahap terakhir yang dilalui adalah adukan menjadi keras karena terjadinya penguapan monomer bebas. Secara klinis, adukan nampak sangat kering dan tahan terhadap deformasi mekanik (Anusavice 2003, p.727).

Terdapat beberapa perbedaan antara heat-curing resins dan cold-curing resins berdasarkan derajat polimerisasi, kestabilan dimensi, kekuatan, dan kestabilan warna. Resin teraktivasi kimia memiliki derajat polimerisasi yang kurang sempurna dibandingkan dengan resin terkativasi panas. Hal tersebut disebabkan karena adanya monomer dalam jumlah lebih besar yang tidak bereaksi dalam resin teraktivasi kimia. Monomer yang tidak teraktivasi ini menyebabkan dua kesulitan utama. Pertama yaitu

(15)

monomer residu berpotensi untuk bertindak sebagai iritan jaringan. Kedua yaitu bahan tersebut bertidak sebagai bahan elastis yang menyebabkan penurunan kekuatan transversal resin (Anusavice, 2013, p. 483).

Berdasarkan kestabilan dimensi, cold-curing resins memiliki shrinkage yang lebih rendah dari heat-curing resins. Hal ini menunjukkan akurasi dimensi yang lebih tinggi untuk cold-curing resins (Anusavice, 2013, p. 483).

Cold curing resins memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan heat curing resins. Hal tersebut dikarenakan, sifat plastis akibat dari monomer residu yang belum terjadi polimerisasi (Van Noort, 2007, p. 218)

Kestabilan warna dari cold curing resins umumnya lebih rendah dibandingkan dengan heat curing resins. Sifat ini berkaitan dengan adanya amina tersier dalam cold curing resins. Gugus amina tersebut rentan terhadap oksidasi sehingga menyebabkan perubahan warna resin yang akan mempengaruhi penampilan resin. Perubahan warna resin tersebut dapat diminimalkan dengan cara menambahkan bahan stabilisator yang dapat mencegah oksidasi (Anusavice, 2013, p. 483).

5. KESIMPULAN

Resin akrilik aktivasi kimia atau cold curing resins dapat digunakan sebagai basis gigi tiruan dan juga bahan reparasi. Resin tipe ini mengalami polimerisasi dengan menggunakan aktivasi kimia berupa dimetil-p-toluidin yang berbeda dengan resin aktivasi panas yang menggunakan panas sebagai aktivatornya. Pada resin akrilik aktivasi kimia sebagai basis gigi tiruan akan dimanipulasi dengan tahapan mixing, packing, curing, dan deflasking. Sedangkan pada resin kimia sebagai bahan reparasi dimanipulasi dengan menggunakan teknik salt and pepper dan wet packing.

(16)

6. DAFTAR PUSTAKA

Annusavice,K. J., 2013, Philip’s Science of Dental Materials 11th, Florida : Elsevier Saunders.

McCabe J.F and Walls W.G, 2008, Applied Dental Material 9th ed, Blackwell Munksgaard, United Kingdom.

O’Brien W.J, 2002, Dental Material and Their Selection 3rd

ed, Quintessence Publishing Co Inc., Michigan.

Van Noort, R. 2007. Introduction Dental Materials. Edinburgh. Mosby Elsevier Science Limited. p. 218.

Gambar

Gambar 2.1 Alat praktikum A. Bubuk polimer dan cairan (Pro Base), B. Bubuk              polimer dan cairan monomer (Hillon)
Gambar 2.2 Alat praktikum A. Pot porselin/mixing jar, C. Timbangan, D. Pisau  malam, G
Gambar 3.1 resin akrilik dengan aktivasi kimia atau cold cured
Tabel 4.1 Komposisi material resin akrilik.
+3

Referensi

Dokumen terkait