• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

14

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pemerintah Daerah

a. Pengertian Pemerintahan Daerah

Pemerintahan daerah menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pemerintah daerah identik dengan istilah otonomi. Pengertian otonomi pada bidang politik diartikan sebagai hak mengatur sendiri kepentingannya. Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa otonomi sendiri berkaitan sebagai bentuk keleluasaan untuk mengatur masalah internal tanpa diintervensi oleh pihak lain dengan kata lain apabila dikaitkan dengan kata daerah maka otonomi daerah sendiri berarti pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk mengatur pemerintahannya sendiri dengan caranya sendiri. Melaksanakan urusan pemerintah daerah dengan asas otonomi bukan berarti kebebasan seluas - luasnya untuk mengatur daerahnya sendiri, kebebasan itu diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab mengingat pusat berperan sebagai pemegang mekanisme kontrol atas implementasi otonomi daerah tersebut agar norma-norma yang terkandung dalam otonomi tidak berlawanan dengan kebijakan yang digariskan oleh pemerintah pusat. Terlebih lagi pada konsep otonomi daerah yang

(2)

dianut Indonesia adalah negara kesatuan (Wasisto Raharjo Jati. 2012: 746).

Ciri – ciri pemerintah daerah menurut Oppenheim antara lain : (1) Adanya lingkungan atau daerah batas yang lebih kecil dari

pada negara;

(2) Adanya jumlah penduduk yang mencukupi;

(3) Adanya kepentingan-kepentingan yang coraknya sukar dibedakan;

(4) Adanya organisasi yang memadai untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan tersebut;

(5) Adanya kemampuan untuk menyediakan biaya yang diperlukan. (Prabawa Utama, 1991: 11)

b. Penyelenggara Pemerintahan Daerah

Dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah, terdapat unsur – unsur penyelenggara pemerintahan daerah, yaitu antara lain sebagai berikut:

1) Kepala Daerah

Kepala daerah merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

“Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.”

Sedangkan tugas dari kepala daerah berdasarkan Pasal 65 ayat (1) Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

(3)

a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang

RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;

e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan

f. dihapus.

g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Untuk menunjang tugasnya, kepala daerah memiliki wewenang berdasarkan Pasal 65 ayat (2) Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang:

a. mengajukan rancangan Perda;

b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah; d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak

yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat;

e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan unsur kedua sebagai penyelenggara pemerintahan daerah setelah kepala

(4)

daerah sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 4 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

“Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.”

Tugas dan wewenang DPRD Provinsi diatur berdasarkan Pasal 101 ayat (1) Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

“DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda Provinsi bersama gubernur;

b. membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernur;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda Provinsi dan APBD provinsi;

d. dihapus.

d1.memilih gubernur dan wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan; e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada

Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah provinsi;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah provinsi; dan

j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”

(5)

Tugas dan wewenang DPRD Provinsi diatur berdasarkan Pasal 154 ayat (1) Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

“DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali

kota;

b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;

d. dihapus.

d1. memilih bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan;

e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada

Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah;

j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”

3) Perangkat Daerah

Perangkat daerah dibentuk untuk membantu kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah sebagaimana diatur pada Pasal 208 ayat (1) Undang – Undang

(6)

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

“Kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah.” c. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan daerahnya memiliki tiga asas berdasarkan Pasal 5 ayat (4) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut:

“Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.”

1) Asas Desentralisasi

Desentralisasi menjadi salah satu alternatif yang muncul atas dinamika perkembangan pemerintahan daerah. Terdapat tiga alasan mengapa desentralisasi menjadi pilihan ideal dalam menjalankan urursan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain:

a) Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-sentris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain cenderung bahkan dijadikan objek “perahan” pemerintah pusat.

b) Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. c) Ketiga, kesenjangan (disparitas) sosial antara satu

daerah dengan daerah lain sangat mencolok (Andik Wahyun Muqoyyidin. 2013: 108)

Asas desentralisasi menurut Pasal 1 angka 8 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dikutip sebagai berikut:

(7)

“Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.”

Eko Prasojo dan Defny Holidin menuliskan “not only does momentum of reform movement in 1998 have positive correlations with changes in administrative system but also implies to decentralizasion practices toward vertical balance of power among governments at all levels (momentum gerakan reformasi 1998 tidak hanya berhubungan dengan perubahan sistem administrasi pemerintahan saja, melainkan juga berimplikasi pada desentralisasi di tingkat pemerintahan daerah)” (Eko Prasojo dan Defny Holidin. 2012; 149)

Melaksanakan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah diperoleh dari pemerintah pusat yang memberikan kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan kepada satuan pemerintahan tingkat lebih rendah yang mandiri. Desentralisasi mengandung arti pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat yang lebih tinggi kepada satuan pemerintahan yang lebih rendah, yaitu pemerintah daerah (Ni’matul Huda. 2012: 32)

2) Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi menjadi asas kedua setelah desentralisasi. Di beberapa literatur buku menyebutkan bahwa adanya dekonsentrasi merupakan bagian dari adanya desentralisasi. Akan tetapi terdapat perbedaan antara desentralisasi maupun dekonsentrasi. Henry Maddick berpendapat “the delegation of authory adequate for the discharge of specified function to staff of a central department who are situated outside the headquarters (pendelegasian kewenangan sebagai fungsi –

(8)

fungsi khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada di bawahnya)” (Lukman Hakim, 2012: 21 – 22)

Asas dekonsentrasi menurut Pasal 1 angka 9 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dikutip sebagai berikut:

“Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.”

Amrah Muslimin menafsirkan dekonsentrasi sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat bawahan dalam lingkungan administrasi sentral, yang menjalankan pemerintahan atas nama pemerintah pusat, seperti gubernur, walikota dan camat. Mereka melakukan tugasnya berdasarkan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang berada di daerah (Ni’matul Huda, 2012: 65).

3) Asas Tugas Pembantuan

Pasal 1 angka 11 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dikutip sebagai berikut:

“Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.”

Tugas pembantuan memiliki tujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pembangunan serta pelayanan umum kepada masyarakat di daerah. Hal ini dikarenakan tidak semua kewenangan dapat dilaksanakan

(9)

melalui desentralisasi dan dekonsentrasi. Selanjutnya, pemberian tugas pembantuan ini agar memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu mengembangkan pembangunan di daerah sesuai karakteristiknya (Ni’matul Huda, 2012: 68)

Tugas pembantuan dalam pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja yang ditetapkan oleh pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan oleh pemerintah daerah tingkat atasnya (Prabawa Utama, 1991: 13). Sedangkan menurut Irawan Soejito, tugas pembantuan itu dapat berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas eksekutif. Daerah yang mendapat tugas pembantuan diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan (Irawan Soejito, 1981: 117).

d. Urusan Pemerintahan

Urusan pemerintahan menurut Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:

“Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.”

Urusan pemerintahan menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

“Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.”

(10)

Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar menurut Pasal 12 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:

“Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. pendidikan; b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan

f. sosial.”

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota membagi urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (4):

“Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi : a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum; d. perumahan; e. penataan ruang; f. perencanaan pembangunan; g. perhubungan; h. lingkungan hidup; i. pertanahan;

j. kependudukan dan catatan sipil;

k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m. sosial;

n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; o. koperasi dan usaha kecil dan menengah; p. penanaman modal;

q. kebudayaan dan pariwisata; r. kepemudaan dan olah raga;

(11)

t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. statistik;

w. kearsipan; x. perpustakaan;

y. komunikasi dan informatika; z. pertanian dan ketahanan pangan; aa. kehutanan;

bb. energi dan sumber daya mineral; cc. kelautan dan perikanan;

dd. perdagangan; dan ee. perindustrian.”

Pembagian urusan pemerintahan sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pengaturan urusan pemerintahan tercantum pada lampiran undang – undang tersebut. Pada ketentuan penutup Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang inisemua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pembagian urusan pemerintahan menurut Lampiran Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:

(12)

1. Upaya kesehatan

a. Pengelolaan UKP Daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat Daerah kabupaten/kota.

b. Pengelolaan UKM Daerah kabupaten/kota dan rujukan tingkat Daerah kabupaten/kota.

c. Penerbitan izin rumah sakit kelas C dan D dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat

2. Sumber daya manusia kesehatan

a. Penerbitan izin praktik dan izin kerja tenaga kesehatan. b. Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk

UKM dan UKP Daerah kabupaten/kota.

3. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman

a. Penerbitan izin apotek, toko obat, toko alat kesehatan dan optikal.

b. Penerbitan izin usaha mikro obat tradisional (UMOT). c. Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1 (satu)

tertentu dan PKRT kelas 1 (satu) tertentu perusahaan rumah tangga.

d. Penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga.

e. Pengawasan post-market produk makanan minuman industri rumah tangga

4. Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui tokoh kabupaten/kota, kelompok masyarakat, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha tingkat kabupaten/kota.

Selain diatur oleh Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan kesehatan pemerintah daerah juga diberikan distribusi kewenangan oleh Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dimana pemerintah daerah diberi wewenang untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Pasal 115 ayat (2) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dikutip sebagai berikut:

(13)

“Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.”

Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dikutip sebagai berikut:

“Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya dengan Peraturan Daerah.”

2. Tinjauan tentang Implementasi

Implementasi menurut kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn (1975) merumuskan implementasi ini adalah sebagai tindakan – tindakan yang dilakukan baik oleh individu – individu, pejabat – pejabat, atau kelompok – kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan – tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Solichin Abdul Wahab, 2008: 64).

Pengertian implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan – keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata; baik yang dikehendaki atau yang

(14)

tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan-perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/ peraturan yang bersangkutan Beranjak dari rumusan implementasi tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa “to implementation (mengimplementasikan) berkaitan dengan suatu aktifitas yang terlaksana melalui penyediaan sarana (misalnya: undang-undang, peraturan pemerintah, pedoman pelaksanaan, sumber daya dan lain-lain) sehingga dari aktifitas tersebuat akan menimbulkan dampak/ akibat terhadap sesuatu (Solichin Abdul Wahab, 2008: 68)

3. Tinjauan tentang Sistem Hukum

Menurut Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari Stamford University mengemukakan tiga unsusr sistem hukum (Three Element of Legal System) yang juga kriteria tersebut didukung oleh Robert Seidmen bahwa unsur – unsur sistem hukum tersebut antara lain subtantive rules of law, legal institute, and a new construct, the legal culture (Achmad Ali. 2012: 176). Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Subtansi Hukum (Legal subtance)

Struktur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2015, 16), yaitu::

“Subtansi tersusun tersusun dari peraturan – peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi – institusi itu harus berperilaku. H. L. A. Hart berpendapat bahwa ciri khas suatu sistem hukum adalah kumpulan ganda dari peraturan – peraturan.”

Subtansi hukum antara lain meliputi aturan – aturan, norma – norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan – keputusan yang dikeluarkan atau aturan baru yang disusun. Mengenai hal ini

(15)

Lawrence Meir Friedman menuliskan: “Subtance is what we call the actual rules of norms used by institusion (or as the case may be) the real observable behavior paterns”. (subtansi adalah apa yang kita ketahui sebagai peraturan yang berlaku atas norma yang digunakan oleh institusi (atau bisa jadi adalah sebuah kasus) pola tingkah laku nyata yang dapat diobservasi)

Komponen subtantif sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan – peraturan, keputusan – keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun diatur (Esmi Warasih. 2005: 5). Subtansi hukum sebagaimana dimaksud pada penelitian ini adalah Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok.

b. Struktur Hukum (Legal structure)

Struktur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2015, 15), yaitu::

“Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya; ia adalah bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut, tulang – tulang keras yang kaku yang menjaga agar proses mengalir dalam batas – batas batasnya.”

Struktur hukum sebagaimana dimaksud oleh Lawrence Meir Friedman menekankan pada peran dari sebuah institusi atau lembaga penegak hukum atas aturan yang telah dibentuk. Di Indonesia lembaga penegak hukum antara lain lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pengawai Negeri Sipil selaku penyidik, lembaga Kejaksaan selaku penuntut umum atau pengacara negara dan Mahkamah Agung selaku badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Penegakan hukum dapat pula dilaksanakan oleh lembaga tertentu sebagaimana hal tersebut ditentukan oleh aturan hukumnya. Institusi sebagaimana dimaksud pada penelitian ini adalah institusi – institusi yang diberi tugas untuk menegakan Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun

(16)

2010 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok.

c. Kultur Hukum (Legal culture)

Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2015, 17), yaitu::

“Kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Istilah kekuatan sosial itu sendiri merupakan sebuah abstraksi; namun begitu, kekuatan – kekuatan demikian tidak secara langsung menggerakan sistem hukum. Orang – orang dalam masyarakat memiliki kebutuhan dan membuat tuntutan – tuntutan; semua ini kadang menjangkau dan kadang tidak menjangkau proses hukum – bergantung pada kulturnya.”

Pernyataan Lawrence Meir Friedman yang menyatakan bahwa kultur hukum adalah apa yang masyarakat rasakan terhadap hukum dan dan sistem hukumnya. Tetapi kemudian Lawrence Meir Friedman memperluas lagi bahwa budaya hukum bukan sekedar pemikiran saja, tetapi juga cara pandang dan cara masyarakat menentukan bagaimana sebuah hukum itu digunakan. Pada akhirnya, pemahaman kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah setiap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah susunan, pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya (Achmad Ali. 2001: 9). Kultur hukum sebagaimana dimaksud pada penelitian hukum ini adalah cara pandang dan cara masyarakat Surakarta menentukan bagaimana Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok digunakan.

(17)

B. Kerangka Pemikiran

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Tabel 1. Kerangka Berpikir Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

Pemerintah Kota Surakarta Menjalankan Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan

Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun 2010 Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok

1. Implementasi 2. Hambatan

(18)

Keterangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Indonesia menjabarkan bahwa kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap orang. Hak kesehatan sebagaimana dimaksud tercantum pada Pasal 28H ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dikutip sebagai berikut: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”. Atas aturan tersebut, lembaga pembentuk undang – undang membentuk Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan di dalamnya memberikan distribusi kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk peraturan pemerintah untuk mengatur ketentuan lebih lanjut kawasan tanpa rokok. Selanjutnya lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang memperbarui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan berlaku, telah ada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun 2010 Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok sebagai peraturan pelaksana dari perintah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Oleh karena itu, penelitian hukum ini berfokus pada implementasi dan hambatan dari implementasi Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok di Kota Surakarta.

Gambar

Tabel 1. Kerangka Berpikir  Undang  –  Undang  Nomor  32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Perihal : Undangan Pembuktian Kualifikasi Paket Pekerjaan Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Peningkatan Jalan Pertanian Tanjung Ning Simpang ke Tanjung Ning

Sama halnya dengan bila komputer crash hanya beberapa saat sebelum qmail-send memberikan tanda DONE kepada sebuah email, maka pada tahap berikutnya setelah

Kesimpulan dari permasalah dan penelitian diatas maka peneliti lebih menitik beratkan kepada analisis kompresi citra dengan file tipe yang lebih baik yaitu *.bmp dan

The purpose of this interface is to load the SRC_ORDERS table of orders and the SRC_ ORDER_LINES table of order lines from the Orders Application - HSQL model into the

[r]

[r]

Tidak semua siswa yang pandai selalu mempunyai nilai ijazah yang lebih baik daripada yang bodoh.. Budi mempunyai nilai ijazah yang lebih buruk

Maka dari itu, penulis tertarik dan bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur gotik apa saja yang terdapat dalam novel ini dan bagaimana karakter utama mempunyai peranan dalam