• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan (Setyohadi 1997). Pengelolaan sumberdaya perikanan laut dihadapkan pada tantangan-tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional.

Sumberdaya perikanan laut termasuk pada kriteria sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun demikian pemanfaatan sumberdaya ini harus tetap rasional untuk menjaga kesinambungan produksi dan kelestarian sumbernya. Sumberdaya hayati laut yang telah dimanfaatkan oleh perikanan meliputi ikan (Pisces), kelompok Udang (Crustacea), binatang berkulit lemak (molusca) dan rumput laut. Sebagai suatu negara yang terletak didaerah tropis, Indonesia tergolong dalam perikanan multi species. Sumberdaya perikanan dikelompokkan menjadi kelompok sumberdaya perikanan Demersal dan Pelagis (Dahuri et al. 2001).

Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia belum optimal, dimana tingkat pemanfaatan untuk ikan-ikan pelagis kecil baru sekitar 35 %, ikan demersal baru dimanfaatkan 27% sedangkan untuk Cakalang sekitar 51% dan Tuna 54%. Tingkat pemanfaatan Udang dikategorikan cukup tinggi yaitu sekitar 79% yang telah dimanfaatkan, sementara untuk jenis sumberdaya Cumi dan Sotong baru sekitar 37% yang telah dimanfaatkan (Ayodhyoa et al. 1995).

FAO (1997) melaporkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 5.649.600 ton dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil (small pelagic) yaitu sebesar 4.041.800 ton atau 18,30 % dan perikanan Skipjack sebesar 295.000 ton (5,22 %). Tabel 1 menyajikan estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut khususnya pelagis besar di kawasan perairan Indonesia.

(2)

Tabel 1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Indonesia

Wilayah Potensi Produksi Pemanfaatan

(103 ton/tahun) (103 ton/tahun) %

Selat Malaka 27,67 35,27 >001

Laut Cina Selatan 66,08 35,16 53,21

Laut Jawa 55 137,82 >001

Selat Makassar & Laut Flores 193,6 85,1 43,96

Laut Banda 104,12 29,1 27,95

Laut Seram & Teluk Tomini 106,57 37,46 35,17

Laut Sulawesi & Samudera Pasifik 175,26 153,43 87,54

Laut Arafura 50,86 34,55 67,93

Samudera Hindia 386,26 188,28 48,74

Perairan Indonesia 1.165.36 736.17 63.17

Sumber: Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia tahun 2001 2.2. Sumberdaya Ikan Pelagis

1) Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies cakalang yang tersebar di seluruh dunia yaitu Katsuwonus pelamis (Waldron & King 1963) diacu in Taeran (2007). Klasifikasi cakalang menurut FAO (1991) adalah sebagai berikut:

Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Perciformes Subordo: Scorbroidae Genus: Katsuwonus Species: K. Pelamis

Badan memanjang, gelendong dengan penampang melintang bundar. Kepala bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, badan kurang bersisik. Pangkal ekor ramping dengan plat tulang yang kuat. Kepala dan badan bagian atas biru kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan dan sirip-sirip kehitaman. Hidup diperairan pantai dan oseanis, ukurannya dapat mencapai 100 cm, tersebar luas di perairan tropis dan sub tropis (Paristiawady 2006 in Taeran 2007).

Khususnya di kawasan timur Indonesia, ikan Cakalang tersebar di wilayah perairan terutama laut Maluku, Laut Banda, laut Seram dan laut Sulawesi. Perairan tersebut termasuk daerah migrasi kelompok ikan di Samudera Pasifik bagian selatan,

(3)

khusus jenis ikan cakalang. Populasi cakalang yang dijumpai memasuki perairan timur Indonesia terutama mengikuti arus. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu perairan (Uktolseja et al. 1991). Selanjutnya Nontji (2002), menyatakan bahwa faktor pembatas yang penting bagi keberadaan ikan cakalang di suatu perairan adalah suhu dan salinitas. Telah diketahui bahwa cakalang hidup di perairan lapisan permukaan dengan suhu 16-32˚C dan salinitas 32-36‰.

Lokasi penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ditentukan oleh musim yang berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara umum dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim bervariasi pula menurut lokasi penangkapan. Musim dengan hasil lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan musim dengan hasil penangkapan lebih sedikit disebut musim paceklik (Nikijuluw 2002).

2) Ikan Tongkol (Euthynnus sp)

Secara umum Tongkol terdiri dari 2 genus dan 5 spesies dan diklasifikasikan sebagai berikut (Collete & Nauen 1983 in Taeran 2007).

Filum: Chordata Kelas: Pisces

Ordo: Percomorphi Subordo: Scombroidea Famili: Scombridae Genus: Euthynnus auxis

Species:E.Affinis; E.Alletteratus; E.Lineatus; A.thazard; A.rochei

Ciri morfologi tongkol (Euthynnus affinis) adalah badan memanjang dan penampang melintang agak bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, ujung sirip tidak melewati bagian depan area yang kurang bersisik. Kepala dan badan atas biru tua kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik diatas garis rusuk dengan garis-garis bergelombang menyilang kehitaman. Sirip perut dan dubur keputihan. Sirip ekor, sirip dada dan sirip punggung kehitaman. Hidup diperairan pantai dan oseanis, dapat

(4)

mencapai 100 cm, tersebar luas di bagian tengah Indo Pasifik (Paristiwady 2006 in Taeran 2007).

Sedangkan ciri morfologi tongkol (Auxis thazard) adalah badan memanjang dengan penampang melintang bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai setelah mata hampir lurus, sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, ujung sirip melewati bagian depan area yang kurang bersisik. Kepala dan badan bagian atas biru tua kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik diatas garis rusuk dengan garis-garis menyilang kehitaman. Sirip punggung, dada, perut dan dubur keputihan. Sirip ekor kehitaman. Hidup di perairan pantai dan oseanis, dapat mencapai 58 cm, tersebar luas di perairan tropis dan sub tropis (Paristiwady 2006 in Taeran 2007).

3) Ikan Layang (Decapterus sp)

Lima jenis Layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies ikan layang hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari kepulauan Seribu hingga pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali) Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhan Ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup dilaut dalam dan tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji 2002).

Ikan Layang tergolong ikan stenohaline (diatas 30‰) yang suka pada perairan dengan salinitas 32‰ - 34‰. Sebagai ikan pelagis yang suka berkumpul dan bergerombol, pemakan zooplankton serta senang pada perairan yang jernih, banyak tertangkap pada perairan sejauh 20-30 mil dari pantai (Hardenberg 1937 in Taeran 2007).

Ciri morfologi Layang (Decapterus russelli) adalah badan memanjang, panjang kepala lebih besar daripada tinggi badan, panjang moncong lebih besar daripada garis tanda mata, maxilla bagian belakang tidak mencapai bagian depan mata, garis rusuk yang lurus dengan 30-31 sisik tebal. Kepala dan badan bagian atas biru tua, bagian bawah putih keperakan, sirip punggung dan sirip dubur sedikit kekuningan, sirip perut

(5)

keputihan. Hidup diperairan pantai dengan ukuran dapat mencapai 27 cm (Paristiwady 2006 in Taeran 2007).

Ciri dari Decapterus macrosoma adalah badan memanjang seperti cerutu. Bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian bawah berwarna putih perak, sirip-siripnya kuning pucat, satu totol hitam pada bagian atas penutup insang dan pangkal sirip dada. Ukuran panjangnya dapat mencapai 40 cm). Klasifikasi ikan layang menurut Direktorat Jenderal Perikanan 1979 adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in Taeran 2007: Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Subordo: Percoidea Famili: Carangidae Genus: Decapterus

Species: D.russelli; D.kurroides; D.lajang; D.macrosoma; D.maruadsi. 4) Ikan Kembung (Rastrelliger sp)

Ikan Kembung dibagi atas dua jenis yakni kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastelliger brachysoma). Kembung lelaki mempunyai tubuh yang lebih langsing, dan biasanya terdapat diperairan yang agak jauh dari pantai. Kembung perempuan sebaliknya mempunyai tubuh yang lebih lebar dan lebih pendek, dijumpai di perairan dekat pantai.

Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, badan tinggi dan agak pipih, kepala bagian atas hingga mata hampir lurus sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Panjang kepala sama atau lebih kecil daripada tinggi badan. Sirip dada pendek, kepala dan badan bagian atas kehijauan, bagian bawah putih keperakan. Pada kembung perempuan terdapat bercak-bercak di badan yang membentuk garis kehitaman memanjang. Sedangkan Kembung lelaki dibadan bagian atas terdapat strip kehitaman memanjang. Klasifikasi ikan Kembung adalah sebagai berikut (Paristiwady 2006 in Taeran 2007):

Filum: Chordata Kelas: Pisces

(6)

Ordo: Perchomorphi Subordo: Scombroideae Famili: Scombridae Genus: Rastrelliger

Species: R.branchysoma; R.kanagurta

Ikan Kembung lelaki (Rastreliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32‰, sedangkan kembung perempuan (Rastreliger branchysoma) dijumpai di perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 2002). Penyebaran utama ikan kembung (Rastreliger spp) adalah Kalimantan di perairan barat, timur dan selatan serta Malaka, sedangkan daerah penyebarannya mulai dari pulau Sumatera bagian barat dan timur, Pulau Jawa bagian utara dan selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian utara dan selatan, Maluku dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in Taeran 2007). Jenis ikan ini biasanya ditangkap menggunakan sero, jala lompa dan sejenisnya, kadang-kadang masuk trawl, jaring insang lingkar dan pukat cincin.

5) Ikan Julung-Julung (Hemirchamphus sp)

Bentuk badan memanjang dengan rahang atas pendek membentuk paruh sedangkan rahang bawah panjang dan membentuk segitiga. Sirip-sirip tidak mempunyai jari-jari keras. Sirip punggung dan sirip dubur terletak jauh dibelakang, sirip dada pendek. Garis rusuk terletak dibadan bagian bawah (Paristiwady 2006 in Taeran 2007).

Daerah penyebaran terdapat diperairan pantai,lepas pantai, terutama Indonesia timur (laut Flores, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda) dan perairan yang berbatasan dengan Samudera Indonesia. Tergolong ikan pelagis lapisan atas. Penangkapan dengan soma antoni, jala oras, jala buang, soma giob (Direktorat Jenderal perikanan 1979 in Taeran 2007).

2.3. Model Bioekonomi Perikanan

Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga.

Pada perikanan terbuka (open access) dimana terdapat kebebasan bagi nelayan untuk ikut serta menangkap ikan sehingga terdapat kecenderungan pada nelayan untuk

(7)

menangkap sebanyak mungkin sebelum didahului oleh nelayan lainnya. Kecenderungan ini menyebabkan usaha tidak lagi didasarkan pada efisiensi ekonomi. Oleh karena itu pengembangan upaya penangkapan ikan terus dilakukan hingga pendapatan nelayan sama dengan biaya penangkapan ikan, atau harga ikan setara dengan rata-rata biaya penangkapannya. Dengan kata lain TR (penerimaan total) sama dengan TC (biaya total). Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan bionomic dalam kondisi akses terbuka dimana nelayan atau pelaku perikanan tidak mendapatkan keuntungan (Soemokaryo, 2001).

Pada kondisi akses terbuka (tidak ada pengaturan) setiap tingkat effort E > EO

akan menimbulkan biaya yang lebih besar dari penerimaan, sehingga menyebabkan effort berkurang sampai kembali ke titik E = EO. Sebaliknya, jika terjadi kondisi

dimana E < EO

Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan hal yang sangat penting dalam manajemen penangkapan. Menurut Suyedi (2001), hasil tangkapan per unit upaya (CpUE) adalah ; 1) suatu indeks kelimpahan suatu stok ikan yang dikaitkan dengan tingkat eksploitasinya, 2) CpUE dan jumlah penangkapan sangat berguna untuk menentukan apakah suatu eksploitasi sumberdaya perikanan sudah dalam keadaan penangkapan yang berlebih atau dalam taraf under exploited.

, penerimaan akan lebih besar dari biaya. Dalam kondisi akses terbuka, hal ini akan menyebabkan entry pada industry perikanan. Entry ini akan terus terjadi sampai manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol (Fauzi dan Anna, 2005)

Perkembangan fishing ground menyebabkan sumberdaya ikan semakin menurun baik alat tangkap yang berukuran besar maupun yang berukuran kecil. Dimana kapasitas dari masing-masing alat tangkap berbeda dalam operasi penangkapan ikan. Seperti Catch per Unit Effort (CpUE) dari alat tangkap pole and line, purse seine dan gillnet serta alat tangkap lainnya berbeda dengan kapasitasnya. Tetapi setiap ikan dapat didominasi penangkapannya oleh alat tangkap tertentu, sehingga belum tentu alat tangkap yang besar kapasitasnya akan mendominasi hasil tangkap dari alat tangkap lain. Dari hal tersebut maka sangat penting dilakukan suatu standarisasi alat tangkap ikan pelagis bila dilihat dari CpUE masing-masing alat tangkap.

Standarisasi alat tangkap adalah untuk menyatukan suatu effort kedalam bentuk satu satuan yang dianggap standart. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan satuan effort yang seragam sebelum dilakukan pendugaan kondisi MSY (Maximum Sustainable

(8)

Yield), yaitu suatu kondisi dimana stok ikan dipertahankan pada kondisi keseimbangan (Setyohadi, 1995).

2.4. Nilai Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan antar suatu wilayah. Perbedaan ini erat kaitannya dengan kondisi dan potensi wilayah tersebut dilihat dari segi biogeofisik, sosial, ekonomi, dan budaya serta kelembagaan dan sekaligus mengindikasikan adanya keterbatasan yang dihadapi oleh setiap wilayah dalam upaya memacu pembangunannya. Perbedaan ini menuntut adanya strategi pengelolaan sumberdaya dalam pembangunan di setiap wilayah yang bersifat spesifik (Kusnadi 2002).

Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berbasis pada potensi sumberdaya domestik, terutama sektor primer, seperti perikanan serta sektor-sektor sekunder dan tersier sebagai pendukung. Artinya masing-masing wilayah memiliki berbagai fungsi sesuai potensi yang dimiliki. Sehingga pengembangan usaha tersebut yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut dapat tumbuh dan berkembang mendukung aktifitas dan perkembangan ekonomi wilayah. Keunggulan tersebut meliputi produksi, produktifitas maupun luasan produksi, pemasaran, penduduk, tenaga kerja, dan akses terhadap fasilitas infrastruktur.

Salah satu tolok ukur yang relatif mudah digunakan dan bisa dijadikan persepsi bersama dalam penilaian sumberdaya ekonomi perikanan adalah dengan memberikan harga (price tag) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi dari sumberdaya alam.

Secara umum nilai ekonomi merupakan pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa lainnya. Menurut Cuningham, nilai ekonomi produk perikanan adalah melalui pembelian dan penjualan dipasar dengan harga sebagai ukuran nilai per unit. Jika harga ikan konstan, maka permintaan akan mengalami kenaikan. Sedangkan apabila harga mengalami penurunan, maka produk perikanan cenderung dialihkan ke wilayah yang mempunyai kemampuan membeli yang besar (Fauzi 2005). Sebagaimana dalam ekonomi produksi, pengelolaan sumberdaya perikanan membutuhkan faktor produksi, seperti tenaga kerja, kapal, peralatan tangkap dan sebagainya.

(9)

Beberapa usaha di atas dimaksudkan untuk peningkatan produktifitas sumberdaya perikanan serta mencapai keuntungan ekonomi yang maksimum. Dengan demikian perlu pengembangan melalui perluasan usaha tangkapan, perbaikan teknologi penanganan pasca panen, pemasaran dan transportasi, hasil produksi perikanan dan pembangunan infrastruktur, seperti tempat pendaratan ikan (landing place), tempat pelelangan ikan (TPI), serta fasilitas pendingin dan lain-lainnya. Sehingga diharapkan secara kumulatif, pengembangan usaha tersebut akan menciptakan berbagai peluang serta spasial multiplier yang lebih besar dalam pembangunan dan pengembangan wilayah seperti peningkatan produk lokal dan permintaan lokal, penyerapan tenaga kerja, serta aktifitas sektor jasa baik formal maupun informal.

2.5. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang unik yaitu open acces sehingga dalam pemanfaatannya mengalami overfishing. Sumberdaya laut tersebut meliputi berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, moluska, rumput laut dan sebagainya. Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut dilakukan eksploitasi dengan penangkapan. Untuk daerah-daerah tertentu tingkat eksploitasinya telah melebihi dari sumberdaya yang tersedia (overfishing). Oleh karena itu diperlukan suatu usaha pengelolaan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan.

Dalam Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus.

Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi:

1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY)

2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan.

3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.

(10)

Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:

1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.

2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan.

3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nutfah) yang mempengaruhi ciri-ciri, sifat dan bentuk kehidupan.

4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industi yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.

Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan: tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu

2. Pengendalian alat tangkap: tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu. Berdasarkan prinsip tersebut maka Purnomo (2002), menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut:

1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi.

2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin.

3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan secara langsung maupun tidak langsung.

Bentuk-bentuk manajemen sumberdaya perikanan menurut Sutono DHS (2003) dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan antara lain:

1) Pengaturan Musim Penangkapan

Pendekatam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda, dan baru kemudian menjadi

(11)

ikan dewasa. Bila salah satu siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan. Untuk pengaturan musim penangkapan ikan perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya ikan, serta bagaimana reproduksi. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Kendala yang timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah 1). Belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, 2). Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat, 3). Hukum diberlakukan tidak konsisten, 4). Terbatasnya sarana pengawasan.

2) Penutupan Daerah Penangkapan

Kebijakan penutupan dilakukan apabila pada daerah tersebut sudah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang biak sehingga populasinya dapat bertambah. Dalam penentuan suatu daerah penangkapan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut meliputi dimana dan kapan terdapatnya ikan serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan untuk penangkapan. Penutupan daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan terhadap daerah-daerah yang merupakan habitat vital seperti daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery ground). Penutupan daerah ini dimaksudkan agar telur-telur ikan, larva dan ikan yang kecil dapat bertumbuh. Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan ikan, diperlukan regulasi dan pengawasan yang ketat oleh pihak terkait seperti dinas perikanan dan kelautan setempat bekerjasama dengan Angkatan Laut, Polisi Air dan Udara (POLAIRUD) dan Stakeholders (nelayan).

(12)

Kebijakanan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan stok ikan berdasarkan struktur umur dan dan ukuran ikan. Dengan demikian ikan yang tertangkap telah mencapai ukuran yang sesuai. Sementara ikan-ikan yang kecil tidak tertangkap sehingga memberikan kesempatan untuk dapat bertumbuh. Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap, adalah:

1) Penentuan ukuran minimum mata jaring (mezh size) pada alat tangkap gill net, purse seine dan pancing lingkar seperti pukat dan lain-lain.

2) Penentuan ukuran mata pancing pada long line

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat tangkap, peran nelayan sangat penting. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multigears) yang beroperasi di Indonesia. Kendala lain dalam kebijakan ini yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk modifikasi alat tangkap yang sudah ada di nelayan. Sehingga perlunya peran masyarakat untuk memodifikasi alat sesuai dengan lokasinya dengan aturan yang ada.

4) Pelarangan Alat Tangkap

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi ikan dan yang paling buruk yaitu punahnya ikan. Seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potas, cyanida. Seringkali pelanggaran terhadap peraturan penggunaan alat atau bahan berbahaya tidak ditindak sesuai aturan yang ada sehingga nelayan tersebut tidak jera. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan tersebut tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung dengan penerapan aturan yang berlaku dan harus konsisten.

Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap juga perlu adanya keterlibatan secara aktif dari nelayan dan masyarakat pesisir sebagai pengawas. Pengawasan yang dilakukan oleh nelayan dan masyarakat pesisir dapat membantu aparat dalam menindak oknum yang

(13)

melakukan penangkapan dengan alat yang membahayakan dan merusak ekosistem sumberdaya perikanan.

5) Kuota Penangkapan

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowble Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan di Perairan Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, maka nilai TAC harus dibawah Maximum Sustainable Yield (MSY). Implementasi dari kuota dengan TAC adalah:

1) Penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atau suatu jenis ikan diperairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai usaha penangkapan mencapai total TAC yang ditetapkan maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama.

2) Membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

3) Membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui.

6) Pengendalian Upaya Penangkapan

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada maupun jumlah trip penangkapan. Untuk menentukan batas upaya penangkapan perlu adanya data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan dan jumlah upaya penangkapan di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif yaitu dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah

2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

2.6.1. Geografis dan Administrasi Pemerintahan

Wilayah Kota Administratif Ternate dengan luas wilayah 5.797,24 km2 terdiri dari 5.547,55 km2 perairan dan 249,79 km2 daratan, yang mencakup delapan pulau yaitu Pulau Ternate (110,7 km2), Pulau Moti (24,6 km2), Pulau Hiri (12,4 km2), Pulau Mayau

(14)

(78,4 km2), Pulau Tifure (22,1 km2), Pulau Maka (0,5 km2), Pulau Mano (0,05 km2) dan

Pulau Gurida (0,05 km2), tiga pulau terakhir disebut Gura Mangofa atau pulau tidak berpenghuni. Pulau-pulau tersebut terletak dalam lingkup yang bergerak melalui kepulauan Filiphina, Sangihe Talaud dan Minahasa dan dilengkapi dengan lengkung Sulawesi dan Pulau Sangihe. Secara geografis, Kota Ternate berada diantara 30 Lintang Utara sampai 30 Lintang Selatan dan 1240 sampai 1270

* Sebelah Utara dengan Laut Maluku.

Bujur Timur berbatasan dengan (BPS Kota Ternate 2006-2009) :

* Sebelah Selatan dengan Laut Maluku. * Sebelah Timur dengan Selat Halmahera, dan * Sebelah Barat dengan Laut Maluku.

Sejak tahun 2001, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah serta dengan adanya perkembangan dan kemajuan daerah Kota Ternate pada umumnya dan juga adanya tuntutan aspirasi masyarakat serta untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, maka Kota Ternate telah dimekarkan menjadi 7 kecamatan yang terdiri atas 77 kelurahan dimana 79,22% atau 61 kelurahan berada dikawasan pesisir/pantai, diantaranya:

• Kecamatan Ternate Utara : 17 Kelurahan • Kecamatan Ternate Selatan : 12 Kelurahan • Kecamatan Ternate Tengah : 14 Kelurahan • Kecamatan Pulau Ternate : 13 Kelurahan • Kecamatan Pulau Moti : 6 Kelurahan • Kecamatan Pulau Batang Dua : 6 Kelurahan • Kecamatan Pulau Hiri : 6 Kelurahan

Tabel 2 Banyaknya desa pantai dan bukan pantai serta Luas wilayah per kecamatan di KotaTernate.

No Kecamatan Desa Pantai Desa bukan Pantai Luas km2

1 Pulau Ternate 16 1 72,58

2 Ternate Selatan 13 3 19,44

3 Ternate Utara 12 3 14,16

4 Ternate Tengah 6 9 18,52

5 Pulau Moti 6 - 24,6

6 Pulau Batang Dua 5 - 101,55

7 Pulau Hiri 3 - 12,4

Jumlah 61 16 249,75

(15)

Pembagian wilayah Kota Ternate berdasarkan topografi cukup bervariasi namun dalam berbagai publikasi dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori yaitu kategori rendah yakni ketinggian dari 0 - 499 m dimana dari kategori ini sekitar 67 kelurahan atau 83%, kategori sedang dengan ketinggian 500 – 599 m berjumlah 6 kelurahan atau 10% sedangkan yang termasuk ketegori tinggi dengan ketinggian diatas 700 m berjumlah 4 kelurahan atau 7%. Sedangkan musim di wilayah Kota Ternate beriklim tropis sehingga keadaan iklimnya sangat dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya heterogen sesuai ciri indikasi umum iklim tropis. Di wilayah ini juga mengenal dua musim yaitu musim utara-barat dan musim timur-selatan yang biasanya diselingi dengan dua kali masa pancaroba setiap tahun. Melalui stasiun Meteorologi dan Geofisika Ternate, selama tahun 2008 diperoleh informasi tentang klimatologi yaitu temperatur rata-rata 26,700

2.6.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan

C, kelembaban nisbi rata-rata 84%, tingkat penyinaran 54% dan kecepatan angin rata-rata 8,6 km/jam dengan kecepatan maksimum mutlak rata-rata 33,2 km/jam.

Penduduk di Kota Ternate berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2009 sebanyak 182.109 jiwa, yang terdiri dari Kecamatan Pulau Ternate 16.373 jiwa atau 8,99%, Kecamatan Ternate Selatan 61.785 jiwa atau 33,93%, Kecamatan Ternate Utara sebanyak 42.374 jiwa atau 23,27%, Kecamatan Ternate Tengah sebanyak 53.997 jiwa atau 29.65%, Kecamatan Pulau Batang Dua sebanyak 2.896 jiwa atau 1,59%,Kecamatan Pulau Moti 4.681 jiwa atau 4,30% dan Kecamatan Pulau Hiri sebanyak 1.683 jiwa atau 28%. Kota Ternate yang memiliki luas wilayah 250,85 km2 mempunyai kepadatan penduduk rata-rata 484 jiwa/km2. Kecamatan Ternate Selatan merupakan wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan keenam kecamatan lainnya yakni sekitar 3.178 jiwa/km2 sementara keenam kecamatan masing-masing; Ternate Utara 2.992 km2, Pulau Ternate 2,915 jiwa/km2, Pulau Moti 225 jiwa/km2, Pulau Batang Dua 190 km2, dan Pulau Hiri 243 km2

Rasio jenis kelamin penduduk Kota Ternate adalah 103. Hal ini memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk lelaki di Kota Ternate lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan. Bila dilihat per kecamatan, Pulau Moti dan Pulau Batang Dua memiliki komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan dengan rasio sebesar 99,7 dan 99,6. Sedangkan hasil registrasi penduduk tahun 2009 di

(BPS Kota Ternate 2009).

(16)

Kota Ternate menunjukkan jumlah rumah-tangga sebanyak 36.720 rumah-tangga dengan rataan anggota rumah-tangga sebanyak lima orang, sedangkan untuk masing-masing kecamatan besarnya bervariasi, antara 3 sampai dengan 6 jiwa per rumah-tangga (BPS Kota Ternate 2009).

Tabel 3 Jumlah penduduk, kepadatan, rumahtangga dan rasio jenis kelamin di Kota Ternate menurut kecamatan

N o Kecamatan Penduduk(%) Rasio Jenis Kelamin Kepadata n (%) Rumah tangga (%) Lelaki Perempuan 1. Pulau Ternate 8.268 8.108 102 225 3.250 2. Ternate Selatan 31.527 30.258 104,2 3.178 11.689 3. Ternate Utara 21.514 20.860 103,1 2.992 8.443 4. Ternate Tengah 27.476 26.521 103,6 2.915 11.509 5. Pulau Moti 2.337 2.344 99,7 190 976 6. P Batang Dua 1.445 1.451 99,6 28 853 Total 59.803 61.062 0,98 484 22.873

Sumber : BPS Kota Ternate Dalam Angka, 2009.

Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kota Ternate berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2008 sekitar 46,18%. Hal ini mengindikasikan bahwa dari 100 penduduk usia 15 tahun keatas sebanyak 46 orang diantaranya adalah merupakan angkatan kerja.

Tabel 4 Persentasi penduduk usia 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan tahun 2008 di Kota Ternate

No. Jenis Kegiatan Penduduk(%) Lk + Pr(%)

Lelaki Perempuan

1. Angkatan Kerja

- Bekerja 70,45 38,93 54,43

- Mencari Kerja 5,41 10,26 7,88

2. Bukan Angkatan Kerja 24,14 50,81 37,69

Jumlah Tenaga Kerja 100 100 100

Sumber : BPS Dalam Angka, 2009.

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pada tahun 2009 sektor pertanian termasuk di dalamnya sub sektor perikanan mempunyai jumlah tenaga kerja terbanyak. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini sebanyak 51.561 jiwa atau 72,54% dengan laju kenaikan sebesar 0,17. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan dan sektor jasa yang masing-masing sebesar 6.751 jiwa dan 5.438 jiwa atau 9,50% dan 7,65%. Struktur perekonomian tersebut menggambarkan bahwa penduduk di Kota Ternate sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan meskipun banyak juga yang berpendidikan lebih tinggi berorientasi ke sektor perdagangan, sebagai pegawai

(17)

dan wirausaha (BPS Kota Ternate 2009). Untuk jelasnya tabel tentang angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha tahun 2008 , rinciannya sebagai berikut.

Tabel 5 Jumlah angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha di Kota Ternate.

No. Sektor Lapangan Kerja Tahun 2008 Persentase Tahun 2009 Persentase (%) (%) 1. Pertanian 32.034 72,38 51.561 72,54 2. Pertambangan/Penggalian 269 0,61 315 0,44

3. Industri/Listrik, Gas dan Air 3.285 7,42 3.843 5,41

4. Bangunan 841 1,9 984 1,38

5. Perdagangan 4.134 9,34 6.752 9,5

6. Perhubungan dan Angkutan 142 0,32 1.335 1,88

7. Keuangan/Asuransi 94 0,21 109 0,15

8. J a s a 3.319 7,5 5.438 7,65

9. Lain-lain 142 0,32 738 1,04

J u m l a h 44.260 100.00 71.075 100.00

Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Ternate, 2010.

2.6.3. Gambaran Perekonomian dan Struktur Sosial

lndikator utama dalam mengukur pertumbuhan perekonomian suatu wilayah adalah dengan melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tabel 6 memperlihatkan PDRB Kota Ternate pada tahun 2008 atas dasar harga konstan sebesar 516.574 juta rupiah atau meningkat sebesar 7,92% (BPS Kota Ternate 2009).

Struktur perekonomian lebih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan serta sektor pertanian. Hal ini terlihat dari kontribusi masing-masing sektor tersebut terhadap pembentukan PDRB tahun 2008 atas dasar harga konstan didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 66.918 juta rupiah atau 33,20%, begitu juga PDRB tahun 2009 dimana sektor tertinggi masih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 68.946 juta rupiah atau 33,58%, sedangkan sektor pertanian pada tahun yang sama menduduki urutan kelima yakni sebesar 22.937 juta rupiah atau 15,58% (BPS Kota Ternate 2009).

Sementara itu laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi daerah Kota Ternate tahun 2008 pada umumnya bervariasi. Laju pertumbuhan ekonomi sektoral di Kota Ternate pada periode 2006-2008 mengalami peningkatan dari -0.93 menjadi 2,83. Bila ditinjau pada masing-masing sektor terlihat bahwa pertumbuhan tertinggi periode 2008

(18)

menurut harga konstan 2007 terdapat pada sektor pengangkutan dan komunikasi atau 6,84%, dan pada tahun ini sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi terdapat pada perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan pada tahun 2008 sektor pengangkutan dan komunikasi kembali menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 4,98%, diikuti oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 4,84%, dan yang terendah terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,63%.

Tabel 6 PDRB Kota Ternate menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006-2009

No Sektor

Tahun (%)

2006 2007 2008

1. Pertanian 64.756 76.963 108.284

2. Pertambangan dan Penggalian 5.111 5.761 7.373

3. Industri Pengolahan 31.343 34.049 37.925

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 7.645 8.114 10.508

5. Bangunan 27.686 30.032 39.906

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 166.854 187.741 199.348

7. Pengangkutan dan Komunikasi 77.338 89.648 114.500

8. Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 32.824 36.794 55.764

9. Jasa-jasa 104.365 115.658 121.272

Produk Domestik Regional Bruto 517.921 585.660 694.884

Sumber : BPS Kota Ternate, 2008.

Kondisi sosial Kota Ternate dapat terlihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, penerapan keluarga berencana dan kondisi sosial lainnya. Untuk pendidikan jumlah sekolah yang terdapat di wilayah Kota Ternate secara umum cukup memadai dibandingkan dengan wilayah lainnya dimana jumlah sekolah dasar negeri maupun swasta sebanyak 104 unit dan tersebar merata di setiap kecamatan, sekolah menengah berjumlah 26 unit dimana belum tersebar secara merata dan hanya terpusat pada daerah-daerah tertentu, sedangkan sekolah menengah umum berjumlah 15 unit dan menengah kejuruan 7 unit. Selain jenjang pendidikan dasar dan menengah, di kota ini juga terdapat enam perguruan tinggi. Sementara itu rasio murid-guru untuk jenjang pendidikan dasar adalah 19 murid per seorang guru di SD Negeri dan 22 murid per seorang guru di SD Swasta. Untuk SLTP Negeri tercatat 16 murid per seorang guru dan 14 murid per seorang guru di SLTP Swasta, sedangkan untuk pendidikan menengah atas tercatat rasio 17 murid per seorang guru untuk SMU Negeri dan 13 murid per seorang guru untuk SMU Swasta (BPS Kota Ternate 2009).

(19)

Bidang kesehatan mencakup pengembangan sumberdaya manusia melalui program pembangunan kesehatan dengan mengutamakan upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk memperlancar pelaksanaan program dimaksud maka sejak tahun 2008 tercatat sebanyak 8 buah Rumah Sakit, 8 buah Puskesmas, 13 unit Puskesmas Pembantu, 1 buah Rumah Bersalin dan ditunjang dengan 162 unit Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

Berkaitan dengan kondisi kesehatan, terdapat upaya penerapan penurunan angka kelahiran melalui keluarga berencana dengan cara mendorong kesadaran masyarakat dalam pemakaian alat kontrasepsi keluarga berencana yang mana dari tahun ke tahun semakin nampak hasilnya, sesuai dengan kebijakan yang berkaitan dengan kuantitas penduduk berdasar keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara jumlah penduduk dan daya dukung dan daya tampung serta kondisi perkembangan sosial ekonomi dan sosial budaya. Pada tahun 2006/2008 terjadi realisasi melebihi yang ditargetkan yaitu sebesar 94,1% dari target semula 1.000 pasangan. Sedangkan tahun sebelumnya 2005 pencapaian peserta KB baru, hanya 68% dari yang ditargetkan (34.248 pasangan) dan pada tahun 2007/2008 pencapaian peserta KB baru melebihi target 10,13% (BPS Kota Ternate 2009).

Kondisi sosial lainnya yang cukup berperan yakni kehidupan beragama dalam kehidupan sosial yang sangat berkaitan dengan budaya masyarakat, dimana sebagian besar masyarakat di Kota Ternate adalah pemeluk agama Islam. Secara umum pemuka adat yang terpilih di daerah ini adalah tokoh agama Islam yang terpandang dan disegani masyarakat. Kepatuhan masyarakat pada agama Islam dapat dilihat pada beberapa elemen yakni peranan para ulama yang tidak dipisahkan dari tempat peribadatan yang digunakan sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan dan aktivitas lainnya.

2.6.4. Gambaran Sumberdaya Perikanan

Kota Ternate dengan luas wilayah lautan yang lebih besar yaitu 69.031% yang jika dibandingkan dengan luas daratan yang hanya 30.969% mengandung beraneka ragam sumberdaya hayati laut. Ketersediaan sumberdaya laut yang ada memungkinkan terjadinya aktifitas di bidang perikanan dan hal ini dapat dilihat dengan beragamnya jumlah alat tangkap, jumlah armada dan peningkatan produksi hasil tangkapan dari tahun ketahun. Gambaran tentang alat tangkap yang ada menunjukkan bahwa usaha

(20)

penangkapan yang ada di Kota Ternate masih dapat digolongkan bersifat tradisional dan dalam usaha skala kecil.

1. Unit Penangkapan pole and line (huhate) a. Kapal Ikan

Spesifikasi umum kapal pole and line yang beroperasi di Kota Ternate dirincikan pada tabel 7. Konstruksi dan tata letak kapal pole and line adalah terdiri atas bagian haluan yang terdapat tempat duduk untuk para pemancing yang disebut flying deck dan plat form. Flying deck adalah dek yang menjorok keluar dari bagian haluan kapal dan plat form adalah berupa sayap yang menonjol dari dek kesisi-sisi kapal. Pada bagian ini juga terdapat pila-pila yaitu penyangga yang berfungsi sebagai pijakan atau tumpuan para pemancing. Water spayer atau penyemprot air terdapat pada bagian depan dan samping pada pila-pila kapal berperan sangat penting saat pemancingan yaitu untuk mengaburkan penglihatan ikan terhadap mata pancing ataupun pemancing. Pada bagian haluan juga terdapat tempat penyimpanan alat tangkap dan jaring yang akan digunakan untuk penangkapan umpan. Berikut ini tabel mengenai spesifik kapal pole and line di Kota Ternate.

Tabel 7 Spesifikasi kapal pole and line di Kota Ternate

Spesifikasi Keterangan

Tipe Kapal F.R.P. 15 GT

Bahan utama Fibre glass Reinforced Plastic

Panjang 12,7 meter

Lebar 2,7 meter

Dalam 1,2 meter

Isi kotor 6,69 GRT

Isi bersih 4,02 GRT

Mesin penggerak Yanmar 6 CHE, 105 PK

Kecepatan maksimum 14 knot

Daya jelajah 60 jam

Isi tangki 1.100 liter

Pemakaian bahan bakar 16,2 liter/ jam

Kapasitas palkah 4 – 5 ton

Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan, 2010

Pada bagian tengah kapal terdapat dua buah bak umpan sebagai tempat penampungan umpan hidup, empat buah palkah sebagai tempat penampungan dan penyimpanan hasil tangkapan dan sebuah palkah gudang yang tidak difungsikan

(21)

sehingga digunakan sebagai palkah penampung hasil tangkapan. Pada bagian anjungan terdapat ruang ABK dan ruang kemudi yang didalamnya terdapat beberapa alat navigasi dan komunikasi yang sederhana seperti kompas, peta, teropong dan sebuah radio komunikasi. Pada bagian bawah terdapat ruang mesin dan bagian buritan terdapat ruang dapur dan sedikit ruang yang selalu digunakan ABK kapal untuk belajar memancing bagi pemancing pemula.

b. Alat Tangkap

Konstruksi alat tangkap pole and line terdiri atas joran (pole), tali (line) dan mata pancing (hook). Joran yang digunakan nelayan terbuat dari bambu dengan tingkat kelenturan yang cukup tinggi. Panjang joran dan tali yang digunakan nelayan bervariasi antara 2 - 4 m dan 1,5 – 3 meter sesuai dengan keinginan pemancing untuk mempermudah pemancingan dan disesuaikan dengan besarnya kapal. Pada umumnya panjang pole and line yang berkisar 3,5 – 5 meter digunakan oleh pemancing bagian haluan dan panjang pole and line yang berkisar 6 – 7 meter digunakan oleh pemancing bagian samping atau buritan.

Umumnya tali pemancing yang digunakan nelayan perikanan cakalang di Ternate terdiri atas tiga bagian yaitu tali kepala (head line), tali utama (main line) dan tali pengikat (string line). Panjang tali kepala berkisar 0,3 – 0,5 meter dari bahan kuralon yang ujung satunya diikatkan pada joran dan ujung satunya lagi diikatkan pada tali utama. Tali utama yang panjangnya bervariasi antara 1 – 3 meter terbuat dai bahan polyethylen (PE), salah satu ujungnya diikatkan pada ujung tali kepala secara tetap dan salah satu ujungnya diikatkan pada tali pengikat dengan simpul yang dapat dilepas. Hal tersebut dimaksud untuk dapat dilepaskan setelah selesai melakukan pemancingan dan akan dipasang lagi apabila akan memulai pemancingan.

Panjang tali pengikat berkisar 0,3 – 0,4 meter terbuat dari bahan nylon monofilament diikatkan pada ujung simpul tali utama dan mata pancing yang diberi lobang. Mata pancing yang digunakan tidak berkait balik dan terbuat dari baja dengan maksud agar ikan yang tertangkap akan lebih mudah terlepas dari mata pancing jika disentak dan mata pancing tidak mudah berkarat. Pada mata pancing dipasangkan bulu ayam atau tali rafia yang berwarna-warni dengan maksud agar mengelabui penglihatan ikan terhadap mata pancing sehingga ikan akan menganggap sebagai umpan.

(22)

c. Nelayan

Anak buah kapal (ABK) kapal pole and line merupakan tenaga kerja yang harus trampil, ulet dan mempunyai fisik yang kuat. Jumlah ABK kapal berkisar antara 9 – 13 orang dengan masing-masing tugas dan tanggung jawabnya sebagai berikut:

1. Nahkoda (Skipper) : Bertanggung jawab terhadap keselamatan pelayaran, ABK dan keberhasilan usaha penangkapan

2. Wakil Nahkoda (Mualim) : Membantu nahkoda dalam pelayaran

3. KKM (Chief enginer) : Bertanggung jawab terhadap seluruh pekerjaan di dalam kamar mesin dan mengawasi masinis dan olimen dalam pekerjaannya

4. Masinis (Ass. Enginer) : Membantu KKM

5. Olimen (oiler) : Membantu KKM dan masinis dalam mengawasi mesin agar kapal dapat berjalan dengan baik dan lancar

6. Juru mudi : Membantu nahkoda dan mualim dalam mengawasi kemudi selama pelayaran

7. Boy-boy : Menjaga dan merawat umpan agar tetap dalam kondisi baik serta menaburkan umpan pada saat kegiatan penangkapan

8. juru masak (Cook) : Bertanggung jawab terhadap makan dan minum para ABK kapal selama pelayaran

9. Pemancing : Memancing ikan, menangani hasil tangkapan selama diatas kapal dan mempersiapkan sarana produksi pada saat akan melakukan operasi penangkapan d. Kegiatan operasi penangkapan pole and line

Faktor yang sangat berperan penting dalam kegiatan operasi penangkapan cakalang dengan pole and line adalah ketersediaan umpan hidup. Awal kegiatan operasi penangkapan dimulai dari persiapan ABK untuk menyediakan perlengkapan kapal, alat dan sarana produksi lainnya serta perbekalan (konsumsi) pada pukul 18.00 – 19.00 WIT. Setelah itu kapal menuju lokasi penangkapan atau pengambilan umpan pada pukul 20.00 WIT. Umpan yang tersedia harus memadai dan mencukupi untuk penangkapan satu hari (one day fishing). Setelah umpan tersedia, kapal menuju daerah penangkapan

(23)

(rumpon) pada pukul 04.00 – 05.00 WIT. Kapal tiba di lokasi rumpon pada pukul 06.00 WIT saat menjelang fajar. Saat itu nafsu makan ikan cakalang sangat baik sehingga operasi penangkapan selalu diusahakan pada waktu yang sama. Ketika di lokasi rumpon semua ABK telah siap pada tempatnya dan mengamati schooling ikan. Para pemancing dengan pole and line telah duduk di haluan kapal (flying deck dan plat form). Boy-boy telah siap untuk menebarkan umpan. Nahkodapun mendekati gerombolan ikan dengan menjalankan kapal secara perlahan dengan memperhatikan arah renang ikan dan arah angin. Kapal mendekati schooling ikan dari arah lambung dimana terdapat boy-boy. Umpan ditebarkan dan ikan cakalang mulai mengejar dan mendekati umpan yang berenang berbalik menuju kapal. Kapal diusahakan memotong arah renang ikan hingga berada di bagian depan ikan agar ikan dapat melihat umpan yang ditebarkan dan mendekati kapal. Bersamaan dengan itu water sprayer dijalankan untuk mengaburkan pandangan ikan terhadap mata pancing maupun pemancing.

Proses penangkapan dimulai setelah ikan cakalang telah banyak bergerombol mendekati kapal. Para pemancing dengan cekatan dan cepat melakukan pemancingan dengan sistem banting. Sistem ini biasanya dipakai jika pemancingnya telah berpengalaman. Ikan hasil tangkapan disentak hingga terpelanting jatuh pada bagian dek kapal. Diusahakan agar ikan tidak kembali jatuh kedalam air karena dengan jatuhnya ikan yang telah ditangkap akan menyebabkan gerombolan ikan lainnya akan segera menjauh dan meninggalkan kapal ataupun berenang kearah yang lebih dalam. Selain itu ada beberapa pemancing yang melakukan pemancingan pada bagian buritan kapal dengan sistem dijepit. Biasanya sistem ini diberlakukan bagi pemancing pemula.

Setelah 30 menit sampai 1 jam pemancingan dilakukan, schooling cakalang semakin sedikit bahkan menjauh meninggalkan kapal. Nahkoda kembali menjalankan kapalnya menuju rumpon berikutnya untuk melakukan penangkapan selanjutnya. Para ABK kapal lainnya mulai menyortir dan membersihkan ikan hasil tangkapan dan menyusunnya ke dalam palkah. Perjalanan menuju rumpon berikutnya membutuhkan waktu satu sampai dua jam. Umumnya penangkapan dilakukan hingga sore hari pada pukul 16.00 WIT sampai pukul 17.00 WIT. Kapal kembali ke fishing base dan tiba pada pukul 19.00 WIT. Hasil tangkapan dibongkar dan ABK kembali mempersiapkan diri untuk melakukan operasi penangkapan selanjutnya.

(24)

2. Unit Penangkapan purse seine (pajeko) a. Kapal

Kapal yang dioperasikan di Kota Ternate untuk kegiatan penangkapan ikan menggunakan tipe dua buah kapal (two boat system) yaitu terdiri atas kapal utama (tipe lembut) yang berfungsi untuk melingkarkan pukat cincin pada saat operasi penangkapan berlangsung dan menarik purse line setelah pelingkaran pukat cincin selesai, dan kapal jhonson (slep) yang berfungsi sebagai tempat hasil tangkapan untuk dibawa ke fishing base. Kedua kapal tersebut terbuat dari bahan kayu.

Gambar 1: Kapal Utama (tipe lembut)

Kapal utama (tipe lembut) di kota Ternate memiliki ukuran berkisar 13,21 – 17,63 GT dengan panjang (L) antara 12,80 – 13,90 m, lebar (B) 3,15 – 3,30 m dan dalam (D) 1,90 – 2 m, sedangkan untuk kapal jhonson (slep) (gambar 2) memiliki ukuran 5,82 – 7,40 GT dengan panjang antara 10 – 11,50 m, lebar 2,50 – 2,60 dan dalam 1,20 – 1,30 m. Spesifikasi kapal pukat cincin yang di operasikan di Kota Ternate dapat dilihat pada tabel 10.

Tenaga penggerak yang digunakan untuk kedua kapal adalah sama yaitu baik kapal utama maupun kapal jhonson menggunakan mesin tempel (outboard) masing-masing berjumlah dua buah dengan kekuatan 40 PK yang bermerk Yamaha (tabel 10). Tenaga penggerak pada kedua kapal menggunakan bahan bakar campuran yaitu minyak tanah, bensin dan oli.

(25)

Tabel 8 Spesifikasi kapal purse seine (pukat cincin) di Kota Ternate

Spesifikasi Kapal Utama (Tipe

Lembut) Kapal Jhonson (Tipe Slep)

Dimensi Utama

a. Panjang (L) 12,80 – 13,90 m 10 – 11,50 m

b. Lebar (B) 3,15 – 3,30 m 2,50 – 2,60

c. Dalam (D) 1,90 – 2 m 1,20 – 1,30 m

Tonage 13,21 – 17,63 GT 5,82 – 7,40 GT

Mesin Outboard (Yamaha enduro

40 PK)

Outboard (Yamaha Enduro 40 PK)

Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan 2010

Kapal utama pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate juga terdapat palkah. Kapasitas dari palkah tersebut dapat memuat hasil tangkapan sekitar 2 – 3 ton. Palkah ini hanya dipergunakan jika pada saat kegiatan penangkapan memperoleh hasil tangkapan yang banyak dan pada kapal jhonson tidak dapat lagi meletakkan hasil tangkapan, namun pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh akan diletakkan pada kapal jhonson. Kapasitas hasil tangkapan untuk kapal jhonson berkisar antara 4 – 6 ton.

Perawatan kapal pukat cincin (purse seine) biasanya dilakukan setiap bulan pada saat tidak melakukan kegiatan penangkapan, yaitu pada saat bulan purnama. Kapal pukat cincin (purse seine) dalam sebulan tidak melakukan kegiatan penangkapan selama 7 – 10 hari. Perawatan yang dilakukan meliputi pengecatan dan perbaikan-perbaikan jika kerusakan pada kapal.

(26)

b. Alat Tangkap

Pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate yang menjadi objek penelitian lebih dikenal dengan nama pajeko. Alat tangkap pukat cincin ini terdiri dari kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir badan jaring (selvedge), tali ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat (sinkers), pelampung (floats) dan cincin (purse rings).

Panjang pukat cincin berkisar antara 200 – 600 m dan lebar berkisar 40 – 60 m. Kantong sebagai tempat berkumpulnya ikan terbuat dari bahan PA 210/D12 dan PA 210/D9 dengan ukuran mesh size 0,75 inci1- 1 inci. Badan jaring terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size sebesar 1 inci. Bagian sayap yang berfungsi sebagai pagar pada waktu penangkapan gerombolan ikan dan mencegah ikan keluar dari bagian kantong, terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 1,25 inci.

Jaring pada pinggir badan jaring (selvedge) terbuat dari bahan PVA 380/D15 dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1 inci yang terdiri dari 3 mata untuk arah kebawah. Tali ris atas (floatline) terbuat dari bahan PVA dengan panjang 410 m, dan diameter tali sebesar 14 mm, sedangkan tali ris bawah (leadline) terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali sebesar 14 mm yang memiliki panjang 470 m.

Jumlah pemberat dalam satu unit alat pikat cincin terdiri dari 2200 buah, dengan berat 100 gram/buah. Pemberat pada pukat cincin memiliki panjang 2,9 cm dengan diameter tengah 2,8 cm yang terbuat dari bahan timah hitam. Jarak antar pemberat berkisar 10 – 15 cm. Tali pemberat pada pukat cincin terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali 12 mm. Jumlah pelampung dalam satu unit pikat cincin terdiri dari 1100 buah, dengan jarak antar pelampung sekitar 15 – 20 cm. Pelampung pukat cincin berbentuk elips dengan panjang 12,7 cm dan diameter tengah 9,5 cm yang terbuat dari bahan sintetis rubber.

Jumlah cincin dalam satu unit rata-rata terdiri dari 50 buah. Cincin digunakan oleh nelayan pajeko di Ternate memiliki diameter luar 10 cm dan diameter dalam 6,6 cm. Cincin yang digunakan terbuat dari bahan kuningan dengan jarak antar cincin berkisar 5 – 110 m. Purse line pada pukat cincin terbuat dari bahan PVA dengan

(27)

diameter tali 20 mm yang memiliki panjang 700 m. Desain jaring pukat cincin ( purse seine) dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3: Desain jaring pada purse seine di Kota Ternate Keterangan:

1. Tali selembar 6. Pemberat 11. Tali ris bawah

2. Pelampung 7. Selvedge 12. Kantong

3. Tali kolor 8. Float line 13. Sayap

4. Tali ring 9. Singker line 14. Panjang jaring

5. Ring 10. Tali ris atas 15. Tinggi jaring

c. Nelayan

Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam usaha penangkapan di Kota Ternate, terutama dalam mengelola faktor-faktor yang terdapat dalam unit penangkapan sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada. Kapal pajeko dioperasikan oleh nelayan berkisar antara 19 – 22 orang. Sebagian besar nelayan yang mengoperasikan pajeko merupakan penduduk asli daerah setempat. Sebagai nelayan merupakan mata pencaharian utama, sedangkan jika kapal tidak melakukan kegiatan penangkapan yaitu terutama pada musim kurang ikan nelayan bekerja sampingan sebagai petani dan memancing.

Pembagian tugas nelayan pajeko adalah sebagai berikut:

1. Juragan laut (1 orang) : Bertugas sebagai penanggung jawab dalam mengoperasikan kapal utama (lambut) untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan

(28)

2. Juru Tawur (2 orang) : Bertugas melempar pukat cincin pada saat proses setting dilakukan

3. Juru Mesin ( 2 orang) : Bertugas dalam masalah mesin baik untuk mesin pada kapal utama maupun kapal jhonson

4. Juru Pantau (1 orang) : Bertugas mendeteksi gerombolan ikan

5. Juru Pelampung (2 orang) : Bertugas mengatur dan merapikan pelampung sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan

6. Juru Pemberat (2 orang) : Bertugas mengatur dan merapikan pemberat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan

7. Nelayan Biasa : Bertugas menarik, merapikan dan memperbaiki pukat cincin jika ada kerusakan

8. Juru mesin kapal jhonson/slep (1 orang) : bertugas menyiapkan kapalnya untuk tempat penampungan ikan hasil tangkapan

9. Juru hasil tangkapan (2 orang) : Bertugas mengambil hasil tangkapan untuk ditempatkan pada kapal jhonson, dua orang tersebut berada di kapal Jhonson bersama Juru Mesin.

Pembagian tugas tersebut sudah menjadi kesepakatan dalam satu unit pajeko. Tugas nelayan yang satu dapat dikerjakan juga oleh nelayan yang lain. Seperti pada saat penarikan pajeko, juru pelampung juru pemberat dan juru pantau juga melakukan tugas ini.

Nelayan pajeko di Kota Ternate terbagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik rata-rata berpendidikan terakhir SMP dan SMA, sedangkan nelayan buruh berpendidikan terakhir dari tingkat SD sampai SMA. Nelayan pemilik umumnya hanya memiliki masing-masing satu unit alat tangkap.

Sistem pembagian hasil yang berlaku dalam pola perikanan pajeko di Kota Ternate, dimana setelah diperoleh hasil penjualan (laba kotor) dan setelah dikurangi dengan biaya operasional (pendapatan bersih) kemudian 50% hasil penjualan (laba bersih) menjadi hak pemilik kapal (pemilik usaha), sedangkan 50% sisanya dibagi untuk nelayan, bagian untuk juragan laut (fishing master) 2 bagian dan sering mendapat bonus

(29)

dari pemilik. Bagian untuk juru mesin 1,5 bagian dan untuk nelayan ABK lainnya memperoleh 1 bagian untuk masing-masing.

Gambar 4: Diagram Alir Sistem bagi hasil usaha perikanan purse seine di Kota Ternate

d. Kegiatan operasi Penangkapan Purse Seine

Berdasarkan pengamatan langsung dalam 2 kali trip operasi penangkapan dan wawancara dengan nelayan pajeko (purse seine), umumnya nelayan berangkat pada pagi hari (sekitar pukul 03.00 WIT) hingga menjelang siang yaitu sekitar jam 07.00 WIT dan selesai atau kembali ke pantai sekitar jam 09.00 WIT. Informasi mengenai metode operasi penangkapan pajeko dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu meliputi tahap persiapan, penurunan jaring dan penarikan jaring.

1) Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan tahap yang harus dilakukan setiap sebelum penangkapan ikan. Tahap persiapan ini meliputi kegiatan pemeriksaan mesin baik mesin utama maupun mesin jhonson, pemeriksaan alat tangkap, persiapan bahan bakar (minyak tanah, bensin, oli) es, serta konsumsi. Hal ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan penangkapan ikan

2). Kapal pajeko berangkat menuju rumpon yang merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam untuk menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan berdasarkan

(30)

hasil pemantauan oleh nelayan pemantau yang telah dilakukan pada malam harinya sebelum kapal pajeko berangkat, dan jika kegiatan penangkapan sebelumnya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, maka kegiatan penangkapan berikutnya tidak akan jauh dari daerah penangkapan (rumpon) 3) Setting

Setelah tiba didaerah penangkapan ikan (rumpon), kemudian dilakukan proses setting yang diawali dengan penurunan pukat cincin pada bagian kantong dari kapal utama yang berada dibagian buritan sebelah kiri. Tali selambar pada bagian pajeko dilemparkan pada kapal jhonson untuk dilakukan proses setting. Kapal jhonson menunggu proses setting hingga selesai untuk melakukan proses selanjutnya yaitu penarikan purse line. Proses pelingkaran gerombolan ikan oleh kapal utama (ketinting) harus dilakukan dengan kekuatan penuh. Hal ini dilakukan agar gerombolan ikan yang menjadi target tidak lolos baik dari arah horisontal maupun vertikal. Proses pelingkaran gerombolan ikan membutuhkan waktu ± 5 menit. Dalam satu trip nelayan pukat cincin melakukan setting atau tawur rata-rata sebanyak 1-2 kali. Hal ini sangat ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan yang diperoleh.

4) Hauling

Setelah proses pelingkaran gerombolan ikan selesai oleh kapal utama (lambut), salah satu nelayan yang berada pada kapal utama melempar purse line pada kapal jhonson untuk dilakukan penarikan purse line dengan kekuatan penuh yang arahnya menjauhi kapal utama. Pada saat dilakukan penarikan purse line oleh kapal jhonson, proses penarikan kapal pukat cincin juga dilakukan oleh nelayan pada kapal utama. Setelah proses penarikan purse line selesai, kapal jhonson kembali dan mendekati pukat cincin yang sudah membentuk sebuah mangkuk, kemudian dilakukan pengangkatan pelampung yang berada dikantong. Penarikan pukat cincin selesai hingga tersisa bagian kantong. Maka dilakukan pengangkatan hasil tangkapan oleh nelayan yang berada pada kapal jhonson untuk diletakkan pada kapal jhonson. Proses penarikan (setting) pukat cincin hingga selesai membutuhkan waktu 45 – 90 menit

(31)

5) penanganan hasil tangkapan

Penarikan pajeko (purse seine) hingga bagian kantong, ikan hasil tangkapan diambil oleh nelayan yang berada pada kapal jhonson dengan menggunakan serok untuk ditempatkan pada kapal jhonson. Pukat cincin yang selesai digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, disusun dan dirapikan kembali sebagai persiapan untuk kembali kepantai.

Gambar

Tabel 1  Estimasi potensi, produksi dan tingkat  pemanfaatan  sumberdaya  ikan  pelagis di Indonesia
Tabel 2  Banyaknya desa pantai dan bukan pantai serta Luas wilayah per kecamatan  di KotaTernate
Tabel 3  Jumlah penduduk, kepadatan, rumahtangga dan rasio jenis kelamin di Kota  Ternate menurut kecamatan
Tabel 5    Jumlah angkatan kerja yang bekerja dirinci  menurut  sektor  lapangan  usaha  di Kota Ternate
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

menanyakan kepunyaan mengukuhkan informasi yang telah diketahui menanyakan cara dipergunakan dalam kalimat tanya retoris Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Semenjana Kelas

dijabarkan sebagai berikut : 1) sebagian kecil anak belum mampu untuk membaca gambar. Anak salah dalam membaca gambar yang bentuk dan warnanya hampir sama, misal

Pada kursus Electric Guitar ini sebaiknya dimulai pada usia 11 dan 12 tahun, dimana pada awalnya disesuaikan dengan kemampuan jari pada siswa tersebut dan

Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang berbentuk padat maupun cair yang berasal dari kegiatan rumah sakit baik kegiatan medis maupun non medis yang kemungkinan besar

Sekretariat Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.. Kusniawati 16/9/2014

Kalium (K) merupakan unsur makro yang berperan penting terhadap pertumbuhan dan peningkatan kandungan gula pada tanaman jagung manis. Unsur K sebenarnya sudah tersedia

“Kejadian Hernia Inguinalis pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia Periode Januari 2008 – Desember 2013 di Rumah Sakit PHC Surabaya”.. benar-benar merupakan hasil karya