• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deretan Kisah Mengerikan Pemerkosaan Massal Mei 1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Deretan Kisah Mengerikan Pemerkosaan Massal Mei 1998"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Deretan Kisah Mengerikan Pemerkosaan Massal Mei 1998

Yuliawati & Priska Sari Pratiwi, CNN Indonesia

Kamis, 19/05/2016 12:47 WIB

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160519124757-20-131898/deretan-kisah-mengerikan-pemerkosaan-massal-mei-1998/

Ilustrasi. (Thinkstock/Artem Furman)

Jakarta, CNN Indonesia -- Dewi, nama samaran, berusia 23 tahun saat Mei 1998. Dia

baru tiba dari Jakarta setelah menyelesaikan pendidikan psikologi dari sebuah universitas di Inggris. Dewi pulang ke tanah air sembari membawa rencana pernikahan dengan kekasihnya.

Malang tak terduga. Sepekan setelah peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, saat Dewi bepergian dengan taksi seorang diri, tiba-tiba dua-tiga orang masuk ke dalam taksi yang ditumpanginya. Kala itu taksi berhenti di bawah jembatan Semanggi.

Dengan ancaman akan dibunuh, Dewi diperkosa bergantian oleh para pria berbadan tegap. Peristiwa bejat itu terjadi di dalam taksi yang melaju mengelilingi Jakarta selama sembilan jam.

Para pemerkosa kemudian meninggalkan Dewi di pinggir jalan. Sebelum pergi, mereka memintanya tutup mulut.

“Mereka mengancam apabila korban membongkar cerita, seluruh keluarganya akan dibunuh dan dibakar,” kata Sandyawan Sumardi yang ketika itu menjabat Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).

(2)

2 pulang ke rumah. Orangtua Dewi menceritakan pengalaman tragis sang putri kepada Sandyawan.

Sejak peristiwa itu, Dewi empat kali berniat bunuh diri. Dia pun bungkam seribu bahasa. “Selama saya mengunjunginya tiga kali, dia belum bersedia berbicara,” kata Sandyawan. Ketika masih mendampingi Dewi itu, Sandyawan mendapat kabar tentang perempuan lain yang jadi korban pemerkosaan.

Putri, bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa Universitas Tarumanegara, hampir mati akibat pendarahan di alat kelaminnya.

Sekitar akhir Mei 1998, Putri yang tinggal di rumah kos di daerah Sunter, Jakarta Utara, didatangi dua pria. Kedua pria itu hendak memerkosanya. Putri sekuat tenaga melawan. Salah satu pria yang menyerang Putri hendak menggunakan besi gorden untuk menusuk perutnya, dan meleset mengenai alat kelaminnya.

“Dokter Lie Darmawan yang menangani Putri. Meski kritis, Putri akhirnya selamat,” kata Sandyawan.

Baca juga:

Mei 1998, Perempuan Tionghoa Cuma Bisa Berdoa

Sandyawan Sumardi, mantan Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang menangani sejumlah korban pemerkosaan Mei 1998. (CNN Indonesia/Yuliawati)

(3)

3 Selain Dewi dan Putri, Sandyawan bertemu empat perempuan lain yang menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual pada Mei 1998. Kisah keenam korban itu dia buka saat menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Baca juga:

Psikolog ke Relawan Korban Mei 1998: Kenapa Bapak Tidak Gila?

Selain Sandyawan, ada tokoh-tokoh lain yang memberikan kesaksian tentang pemerkosaan massal dan kekerasan seksual selama Mei 1998. Para pemberi kesaksian itu adalah korban, keluarga korban, saksi, dokter dan pendamping (konselor). Menurut data para pemberi kesaksian kepada TGPF, terdapat 85 kasus kekerasan seksual dengan 52 di antaranya merupakan pemerkosaan dalam bentuk gang rape.

Seorang saksi lain menuturkan kepada TGPF mengenai pemerkosaan yang dilihatnya pada 14 Mei 1998 di Muara Angke, Jakarta Utara.

Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua gadis keluar dari mobil.

Mereka melucuti pakaian dua perempuan itu dan memerkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia.

Setelah dua gadis itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati dan mendekapnya. Saya kemudian membantunya mencarikan jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat.

Setelah menolong dua perempuan itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?

Bungkam

Mantan Koordinator TRK Divisi Kekerasan terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, data versi TPGF yang mencatat 85 korban kekerasan seksual, belum mencerminkan jumlah pemerkosaan dan kekerasan seksual sesungguhnya yang terjadi selama Mei 1998.

(4)

4 Begitu juga dengan data Tim Relawan untuk Kemanusiaan Divisi Kekerasan Perempuan yang menyebutkan korban pemerkosaan pada Mei 1998 sebanyak 152 orang dengan 20 orang di antaranya meninggal dunia.

“Jumlahnya bisa lebih besar dari itu karena banyak korban memilih diam,” kata Ita. Penderitaan amat berat yang dialami korban membuat sebagian dari mereka memilih bungkam. Ada korban yang memilih mengubah identitas dan bermigrasi ke luar negeri. Menurut Ita, salah satu korban yang dia kenal memilih tinggal di Amerika Serikat. Korban itu bersama kawannya mengalami penganiayaan. Payudaranya dipotong oleh segerombolan orang di Jembatan Semanggi pada Mei 1998.

Aktivis perempuan Andy Yentriyani mengatakan, alih-alih mengungkapkan apa yang terjadi, para korban yang sebagian besar beretnis Tionghoa memilih menyelamatkan diri ke luar negeri, membentuk keluarga baru, dan melupakan peristiwa yang terjadi.

Baca juga

Kisah Candra saat Mei 98: Pulang Saja, Orang Tionghoa Diincar

Korban yang telah memiliki keluarga baru sama sekali enggan membahas lagi peristiwa tersebut. Mereka khawatir keluarga barunya akan mengetahui tragedi pahit itu. Andy tak tahu pasti berapa banyak korban yang masih bertahan di Indonesia hingga saat ini. "Tahun 2008 ada beberapa yang bertahan di Indonesia. Tapi kalau sekarang saya kurang tahu," kata mantan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan itu.

Negara lalai

Andy Yentriyani menyayangkan ketidakhadiran aparat penegak hukum saat peristiwa kerusuhan dan pemerkosaan selama Mei 1998. Padahal sebelum ada peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, pasukan pengamanan menyebar hampir di seluruh titik ibu kota. Namun dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, nyaris tak ada aparat berjaga.

"Pertanyaannya, di mana pasukan tersebut? Itu penting sebagai pertanggungjawaban negara atas perlindungan rakyat," kata dia, Rabu (18/5).

(5)

5 kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998.

Saat ini pun pemerintah lalai dengan membiarkan laporan dari TGPF. Andy mengkritik aparat yang mensyaratkan adanya laporan korban untuk memproses kasus tersebut. “Padahal ada trauma dan perasaan dari korban bahwa itu aib yang tidak bisa diungkapkan,” kata Andy.

Poses pengungkapan kebenaran ini pun, menurutnya, sampai sekarang dibiarkan menggantung oleh pemerintah.

"Dari data TGPF, ada indikasi kuat keterlibatan negara, baik kekerasannya maupun pembiarannya. Tapi negara lalai dan itu dibiarkan sampai sekarang," kata dia.

Baca juga

Ancaman untuk Relawan Mei 1998: Bunuh Anda Perkara Mudah!

(yul/agk)

Psikolog ke Relawan Korban Mei 1998:

Kenapa Bapak Tidak Gila?

Yuliawati, CNN Indonesia

Kamis, 19/05/2016 16:37 WIB

Peringatan Tragedi Mei 1998 tahun lalu. Seorang relawan Mei 1998, Sandyawan Sumardi, mendampingi korban pemerkosan dan mengangkat jasad yang hangus terbakar. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia -- “Kenapa Bapak tidak gila?”

(6)

6 Sandyawan Sumardi, Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) yang mendampingi para korban kerusuhan Mei 1998.

Kondisi kejiwaan Sandyawan jadi tanda tanya dan memancing rasa penasaran para psikolog dari beragam kampus itu, sebab dia telah melalui pengalaman berat sebagai relawan dan pendamping korban Tragedi Mei 1998.

“Mereka heran dengan apa yang telah saya hadapi. Saya menghadapi korban pemerkosaan massal, juga mengangkat korban hangus terbakar,” kata Sandyawan kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).

Sandyawan berkata, “Saya tidak tahu kalau saya tidak gila. Yang menentukan saya gila atau tidak gila ialah orang-orang sekitar saya.”

Menghadapi Tragedi Mei yang luar biasa keji memberikan Sandyawan pengalaman spiritual, dan membuatnya memandang kehidupan sebagai hal absurd.

“Itu membuat saya lebih menghargai hidup dan berbuat yang terbaik buat sesama,” kata dia.

Ketika menghadapi peristiwa mencekam Mei 1998, meski berat secara fisik dan emosional, Sandyawan dan timnya bekerja terus mengorganisasi perlindungan kepada korban pemerkosaan dan mendata korban kerusuhan.

“Kami sudah terlatih sehingga bisa segera bekerja meskipun situasi sangat berat,” kata Sandyawan.

Pengalaman sebagai aktivis telah dijalani Sandyawan sejak bergabung dengan Institut Sosial Jakarta pada 1989. Dia mulai disorot ketika membantu aktivis yang dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996.

Ketika itu Sandyawan dituduh melindungi orang-orang yang sedang diburu Kepolisian. Setelah 24 kali sidang, dia dibebaskan dari tuduhan.

Pengalaman pada 1996 itu membuatnya membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan sebagai organisasi yang memberikan pendampingan kepada mahasiswa dan kaum miskin perkotaan.

(7)

7 Ketika meletus Tragedi 1998, Sandyawan dan kawan-kawannya di TRK tak gamang menghadapi situasi dan kondisi yang kacau-balau.

Pada 12 Mei 1998, demonstrasi besar berakhir dengan penembakan empat mahasiswa Trisakti. Sehari kemudian meledak kerusuhan serentak di penjuru Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Di sela-sela kerusuhan, merebak informasi terjadi pemerkosaan massal.

“Kami mendapatkan kabar adanya korban pemerkosaan pada malam hari setelah penguburan aktivis mahasiswa 1998,” kata Ita Fatia Nadia kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).

Ita kala itu menjabat sebagai Direktur Kalyanamitra, lembaga swadaya masyarakat yang menerima pengaduan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan.

Sejak mendengar adanya peristiwa pemerkosaan, TRK membentuk Divisi Kekerasan terhadap Perempuan. Ita ditunjuk sebagai koordinator.

Kantor Kalyanamitra di Jalan Kaca Jendela, Kalibata, Jakarta Selatan disulap menjadi posko korban pemerkosaan. Tim mengumumkan lewat media massa agar siapapun yang mengetahui peristiwa pemerkosaan, menghubungi nomor telepon kantor itu.

“Kami membuka tiga nomor hotline. Hampir setiap saat telepon berdering,” kata Ita.

Serba rahasia

Ita sebagai koordinator bekerja sama dengan komunitas lintas agama, baik yang berasal dari Katolik, Kristen dan Buddha. Para komunitas itu memberikan pendampingan (konselor) dan perlindungan di rumah aman bagi para korban pemerkosaan.

“Ketika ada korban pemerkosaan, kami menanyakan kepada korban untuk memilih perlindungan di rumah aman yang mana,” kata Ita.

Menurut Ita, korban pemerkosaan benar-benar dalam kondisi rapuh. Hal utama yang mereka butuhkan adalah perlindungan keamanan. Tim pun memutuskan informasi mengenai rumah aman bersifat tertutup.

“Kami betul-betul menjaga kerahasiaan. Karena saya koordinator, hanya saya yang tahu di mana saja lokasi rumah aman itu,” kata dia.

(8)

8 Demi menjaga kerahasiaan, Ita yang pernah bergabung dengan Tim Gabungan Pencari Fakta selama sebulan memilih mengundurkan diri. Alasannya, salah satu anggota TPGF yang berasal dari kepolisian kerap mendesak dia membuka data lokasi rumah aman yang ditempati para korban pemerkosaan.

“Buat saya yang terpenting adalah perlindungan keamanan korban. Jadi saya memilih mundur,” kata Ita.

Berdasarkan hasil penelusuran ke lapangan, TRK mencatat ada 1.190 korban meninggal akibat kerusuhan. Sementara menurut catatan Divisi Kekerasan terhadap Perempuan, sebanyak 153 orang menjadi korban pemerkosaan dan 20 orang di antaranya meninggal dunia.

Korban sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa yang mengalami pemerkosaan secara massal.

“Sebagian kasus pemerkosaan adalah gang rape di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan pemerkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain,” bunyi laporan tim Divisi Kekerasan terhadap Perempuan.

Penderitaan teramat berat membuat banyak korban pemerkosaan bungkam, mengubah identitasnya, dan meninggalkan Indonesia untuk mencari hidup baru di negeri asing.

Baca juga

Kisah Candra saat Mei 98: Pulang Saja, Orang Tionghoa Diincar

(yul/agk)

Ancaman untuk Relawan Mei 1998:

Bunuh Anda Perkara Mudah!

Yuliawati, CNN Indonesia

Kamis, 19/05/2016 14:05 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Ahad sore bulan Mei 1998, Sandyawan Sumardi diundang

meresmikan pendirian Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) di Gereja Katedral, Jakarta.

(9)

9 Sandyawan yang menjabat Sekretaris TRK menyampaikan perkembangan kondisi di Jakarta dan meminta agar para anggota TRK untuk berhati-hati. Dia bercerita, dalam sepekan terakhir mendampingi dua perempuan korban pemerkosaan yang kondisinya sangat parah.

Usai menyampaikan pesan, Sandyawan memberikan kesempatan kepada para anak muda mengajukan pertanyaan. Seorang pria berbadan tegap dan berambut cepak mengacungkan jari dan bertanya.

“Romo kan juga orang yang seharusnya masuk penjara karena melindungi anak-anak Partai Rakyat Demokratik (dalam peristiwa 27 Juli 1996)?” kata pria tak dikenal itu diulang Sandyawan saat ditemui CNNIndonesia.com, Senin (16/5).

Secara spontan, Sandyawan menjawab, “Anda intel ya?”

Pria itu menyambutnya dengan tertawa terbahak. Melihat gelagat yang mencurigakan, Sandyawan menganjurkan panitia menyudahi pertemuan.

Ketika Sandyawan melangkahkan kaki keluar gereja bersama empat anggota panitia pertemuan yang kebetulan perempuan, pria berambut cepak yang bertanya kepadanya di dalam gereja, mencegatnya.

Pria itu menjinjing tas berwarna hitam, dan berkata kepada Sandyawan bahwa tas itu berisi data operasi selama 12-14 Mei 1998.

“Saya ini bukan intel, tetapi saya salah seorang komandan yang memimpin operasi di sekitar Pasar Minggu. Saya merekrut 60 orang dari berbagai angkatan. Saya bisa perkosa perempuan-perempuan ini (sambil menunjuk empat gadis Tionghoa yang berdiri di samping Sandyawan). Bagi saya, membunuh Anda itu perkara mudah, seperti membalikkan telapak tangan!”

Setelah mengakhiri perkataannya, muncul mobil hitam. Pria itu segera beranjak masuk ke dalam mobil.

Sejak teror itu, Sandyawan dan para relawan membuat keputusan bersama untuk saling menjaga teman perempuan mereka.

(10)

10 ditemani yang laki-laki. Setiap hendak pulang, mereka harus selalu diantar sampai ke rumahnya,” kata dia.

Bukan hanya sekali Sandyawan mendapat ancaman. Dia dikirimi granat aktif di Posko TRK yang berlokasi di Jalan Arus Dalam Nomor 1, Cawang, Jakarta Timur, akhir Mei 1998. Sandyawan melapor kepada polisi dan tim khusus antiteror mendatangi kantor itu. “Namun keesokan harinya Kapolda Metro Jaya Hamami Nata menyebutnya sebagai granat-granatan, padahal menurut Tim Gegana yang mengamankan di lokasi itu granat aktif,” kata Sandyawan.

Ancaman juga diterima Ita Fatia Nadia yang saat itu menjadi Koordinator TRK Divisi Kekerasan terhadap Perempuan. Beberapa kali Ita diancam lewat telepon dan surat kaleng, memaksanya menghentikan kegiatan mengoordinasikan pendampingan kepada korban pemerkosaan.

Setiap menerima ancaman lewat telepon, Ita menjawab tegas bahwa dia tidak akan berhenti menolong korban.

Ancaman-ancaman itu bukan pepesan kosong. Sekitar seminggu setelah menerima ancaman, anak Ita dijemput dua orang tak dikenal. Untung saja, ketika si anak hendak dibawa, guru TK melihat dan menarik anaknya.

“Saya syok betul, sempat down. Sejak itu saya menitipkan kedua anak saya kepada orangtua,” kata Ita.

Hampir seluruh relawan korban pemerkosaan Tragedi Mei 1998 mendapat ancaman. Selain relawan, para korban, keluarga korban, dokter dan pihak rumah sakit mendapatkan teror yang sama.

Teror dimulai ketika para relawan dan aktivis memberikan pendampingan kepada para korban, mengumpulkan data, hingga berupaya menyuarakan ke masyarakat dunia mengenai apa yang terjadi selama Mei 1998.

Dibunuh

Teror paling nyata yang dirasakan para aktivis dan relawan korban pemerkosaan Tragedi Mei 1998 adalah pembunuhan kepada Ita Marthadinata pada Oktober 1998. Ita yang masih 18 tahun dan bersekolah di SMU Paskalis, Jakarta Pusat, dibunuh secara keji oleh

(11)

11 Suryadi alias Otong alias Bram.

Menurut Ita Fatia, kondisi jenazah Ita Marthadinata yang ditemukan di kediamannya sungguh mengerikan. “Lehernya hampir putus dan alat kelaminnya ditancap kayu,” kata dia.

Pembunuhan Marthadinata terjadi seminggu setelah tim relawan mengumumkan akan memberangkatkan beberapa saksi ke Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, untuk memberikan kesaksian mengenai pemerkosaan, kekerasan seksual, dan pembunuhan massal selama Mei 1998.

Ita Marthadinata merupakan salah satu korban pemerkosaan yang bersedia memberikan kesaksian secara terbuka. Ita Fatia meyakini kematian Ita Marthadinata sebagai bentuk teror agar korban berhenti bersuara atas peristiwa pemerkosaan masal.

Kepiluan atas kematian Ita Mathadinata bertambah dengan adanya pemberitaan beberapa media massa yang malah menyudutkan korban.

“Hampir semua media mengkriminalisasi korban, dengan menyebutkan dia memiliki kelainan seksual,” kata Ita.

Meski bekerja dalam ancaman dan teror, tim relawan dan aktivis terus bekerja bahu-membahu. Mereka berhasil mendorong Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menghasilkan dokumen resmi yang menyatakan terjadi pemerkosaan selama Mei 1998. Tim relawan dan para aktivis juga berupaya menyuarakan kepada masyarakat dunia bahwa Tragedi Mei 1998 merupakan bentuk kejahatan hak asasi manusia. Mereka pun berhasil mendorong pemerintah mendirikan lembaga Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). (yul/agk)

Kisah Candra saat Mei 98:

Pulang Saja, Orang Tionghoa Diincar

Priska Sari Pratiwi, CNN Indonesia

(12)

12

Ilustrasi. (ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

Jakarta, CNN Indonesia -- Asap hitam membubung tinggi di kawasan Glodok, Jakarta,

satu hari di bulan Mei 1998. Jarum jam menunjukkan pukul 09.30 WIB. Sepagi itu, Candra Jep dan kawan-kawannya yang berseragam putih-biru berhamburan keluar gedung sekolah.

Sesaat sebelumnya, mereka baru saja menyelesaikan ujian Bahasa Inggris, dan melihat dengan cemas dari balik jendela lantai empat sekolah mereka yang berlokasi tak jauh dari titik munculnya asap hitam tersebut.

“Guru-guru lari meminta kami pulang. Ada kerusuhan katanya,” ujar Candra kepada CNNIndonesia.com di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (17/5).

Ketika itu Candra remaja berusia 15 tahun. Ia bingung, tak tahu pasti apa yang terjadi. Candra makin panik ketika gurunya berseru kepadanya, “Pulang saja, orang Tionghoa nanti diincar.”

Kalimat itu terus melekat di ingatan Candra meski 18 tahun telah berlalu. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa orang Tionghoa seperti dia diincar dan menjadi korban.

Candra pun bergegas pulang ke rumahnya yang hanya berjarak satu kilometer dari sekolah. Tiba di mulut gang tempat tinggalnya, puluhan warga telah membentuk barikade pengamanan. Masing-masing orang membawa alat pukul seperti tongkat, hingga alat tajam seperti golok dan pisau.

Entah Tionghoa, entah pribumi, para tetangganya berjaga mengantisipasi kerusuhan menjalar ke lingkungan mereka.

(13)

13 Begitu menginjakkan kaki di rumah, Candra tak keluar-keluar lagi. Orangtuanya tak mengizinkan dia pergi selama sepekan penuh. Sementara di luar, warga Tionghoa yang biasa berjualan, memilih menutup toko mereka.

Sekolah, kantor, hingga tempat pelayanan publik diliburkan. Kala Jakarta diamuk huru-hara besar, 13-15 Mei, Candra diam di rumah. Informasi soal kerusuhan yang melumpuhkan ibu kota ia dapatkan dari tayangan berita di televisi dan radio.

Candra ingat betul, tiap jam Radio Sonora memberitakan berbagai aksi penjarahan hingga pembakaran yang terjadi di pusat-pusat perbelanjaan.

Baca juga:

Mei 98, Kusmiati Pangku Jasad sang Putra yang Hangus Terbakar

“Saya lihat orang-orang menjarah televisi, kulkas, dan segala macam barang dari Glodok tak jauh dari rumah saya. Enggak cuma pribumi, orang Tionghoa juga ada yang ikut menjarah,” kata dia.

Orang-orang itu, ujar Candra, dengan bangga menceritakan keberhasilan mereka menjarah. Barang-barang hasil jarahan kemudian dijual kembali ke tetangga sekitar. Para pelaku penjarahan biasa beraksi bergerombol. Mereka berbagi tugas. Satu orang berteriak memberi informasi jika ada toko yang bisa dijarah, dan orang lainnya bertugas membongkar gembok toko tersebut.

Menurut Candra, ada pihak yang sengaja memprovokasi orang-orang itu untuk menjarah barang-barang di pusat perbelanjaan dan toko-toko.

“Mereka teriak, ‘Woi, ini bisa dijarah nih!’ Langsung orang-orang di situ datang dan menyerbu,” cerita Candra.

Jalanan pun porak-poranda, menambah kengerian Candra ketika dia berjalan keluar rumah untuk pertama kalinya sejak kerusuhan merebak. Rasa takut dan waswas atas ketiadaan jaminan keamanan membuatnya selalu ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Kondisi kala itu, kata dia, bagai di medan perang. Belasan panser milik TNI berulang kali berpatroli di depan rumahnya tiap malam.

(14)

14 jadi sasaran empuk kerusuhan Mei 1998. Beberapa kerabatnya bahkan terbang ke luar negeri saking takut.

“Ya inilah orang Tionghoa, selalu begini nasibnya. Kami pun bingung kenapa jadi korban,” kata dia, terpekur.

Jangan terulang

Pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa Benny G Setiono mengatakan ada pembiaran dari negara saat kerusuhan Mei 1998. Penjarahan masif di sejumlah pusat perbelanjaan bahkan rumah-rumah warga, ujarnya, akibat ketidakpedulian aparat penegak hukum saat kerusuhan terjadi.

Benny lantas membandingkan dengan aksi penggusuran di Jakarta saat ini yang selalu dijaga ketat ratusan personel Kepolisian maupun TNI.

“Memang ada pembiaran. Kita tidak pernah tahu peristiwa itu untuk mendukung atau menjatuhkan Presiden yang saat itu menjabat. Orang Tionghoa sebenarnya cuma jadi kambing hitam saja,” kata Benny.

Penulis buku Tionghoa dalam Pusaran Politik itu memaklumi pilihan para warga Tionghoa yang kabur ke luar negeri untuk menyelamatkan diri. Pun mereka khawatir kerusuhan Mei 1998 bakal berdampak pada anak-cucu mereka kelak.

Benny menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan enggan menyelesaikan dugaan pelanggaran hak asasi manusa terhadap etnis Tionghoa. Ia menegaskan, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual pada perempuan Tionghoa nyata terjadi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun telah mencatat sejumlah pelaggaran yang dilakukan negara saat peristiwa Mei 1998. Namun kasus tersebut sampai saat ini dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian.

Walau begitu, Benny berpendapat etnis Tionghoa kini berangsur mendapat perlakuan baik di Indonesia, terutama sejak Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut seluruh larangan diskriminatif bagi warga Tionghoa.

Kini, kata Benny, tak ada lagi gerakan anti-Tinghoa. Jika pun isu anti-Tionghoa berniat dimuncukan oleh pihak-pihak yang hendak memancing di air keruh demi kepentingan tertentu, Benny yakin masyarakat sudah cerdas untuk waspada. (agk)

(15)

15

'Jangan Ingkari Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 1998'

Resty Armenia, CNN Indonesia

Sabtu, 14/05/2016 16:47 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

(Komnas Perempuan) mengingatkan negara dan masyarakat bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa, dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta.

Komnas Perempuan sendiri, kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, merupakan lembaga hak asasi manusia nasional yang lahir karena Tragedi Mei 1998. Komnas ini terbentuk atas dorongan masyarakat, terutama perempuan, sebagai respons atas temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 atas peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa.

Temuan dan dokumentasi Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei '98 kembali menegaskan hal-hal yang menjadi temuan TGPF dan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan yang juga hadir di Indonesia.

"(Laporan tersebut membahas) tentang adanya perempuan korban kekerasan seksual dalam bentuk serangan seksual yang beragam saat Tragedi Mei '98 di Jakarta, serta kota-kota besar lainnya di Indonesia," ujar Yuniyanti di Jakarta.

Fakta adanya kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 tersebut, ucap Yuniyanti, menandai keadaan politik masa Orde Baru yang disalahartikan sebagai konflik sosial. Menurutnya, temuan TGPF 1998 menunjukkan bahwa tragedi ini terjadi secara sistematis, meluas, dan hingga kini masih menjadi tanggung jawab negara dalam penyelesaiannya sebagai bagian dari pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Keberadaan para korban beserta keluarga mereka yang mengalami trauma mendalam dan terus-menerus membungkam, kata Yuniyanti, memperkuat penyangkalan publik dan negara atas peristiwa kekerasan seksual tersebut, serta makin menjauhkan pengungkapan kasus ini dari tahun ke tahun.

"Peringatan atas tragedi ini selalu dilakukan oleh berbagai elemen sebagai upaya merawat ingatan publik atas tragedi yang menimbulkan koban. Tetapi upaya ini belum

(16)

16 mampu mendorong langkah maju bagi pengungkapan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi, bahkan nyaris dilupakan," katanya.

Baca juga:

Tragedi Mei 1998 Diusulkan Masuk Kurikulum Nasional

Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Indriyati Suparno, mengatakan Komnas Perempuan bertanggung jawab menjaga ingatan kolektif, khususnya kepada negara, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terhadap perempuan korban kekerasan seksual.

Komnas Perempuan berharap dengan adanya pengakuan negara bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang dinyatakan Presiden Jokowi pada 10 Mei 2016 yang menyebut kekerasan seksual dapat digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka negara tidak boleh lagi mengingkari kekerasan seksual yang terjadi dalam rangkaian Tragedi Mei 1998.

"Sikap negara ini hanya akan menyebabkan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM. Sementara hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan, semakin jauh terabaikan," ujar Indriyati.

Baca juga:

Tak Diakui Negara, Korban Perkosaan Mei 98 Pilih Bungkam

Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan bahwa dalam upaya pengungkapan kebenaran, Komnas Perempuan berusaha mendokumentasikan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi dalam tragedi ini melalui Pelapor Khusus Kekerasan Seksual Mei '98, dan telah menyampaikan laporan tersebut kepada para pengambil kebijakan.

"Langkah selanjutnya adalah membangun memori tentang peristiwa tersebut untuk memelihara ingatan bangsa bahwa sejarah Tragedi Mei '98 masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah Indonesia, dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang telah terjadi adalah hal yang paling sulit diakui, bahkan cenderung disangkal," kata dia.

Pada Mei 1998, kerusuhan pecah di sejumlah daerah di Indonesia, khususnya Jakarta. Kerusuhan antara lain dipicu Tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Ujung dari rangkaian peristiwa itu ialah jatuhnya Presiden Soeharto dan dimulainya era Reformasi di Indonesia.

Baca juga:

Mei 98, Kusmiati Pangku Jasad sang Putra yang Hangus Terbakar

Referensi

Dokumen terkait