• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Akhir Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 menargetkan peningkatan konsumsi batubara domestik hingga 60% produksi nasional atau 240 juta ton pada 2019. Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) Batubara Indonesia telah diterapkan sejak 2009 melalui Keputusan Menteri ESDM No. 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri. Secara historis selama 2010-2015, target DMO batubara tersebut belum pernah tercapai, dengan realisasi konsumsi domestik rata-rata sekitar 20% dari produksi nasional.

Kajian ini disusun untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi isu/permasalahan tidak tercapainya target DMO batubara periode 2010-2015 dan melakukan perhitungan proyeksi konsumsi batubara periode 2016-2019 sebagai dasar analisis ketercapaian target DMO batubara menurut dokumen RPJMN 2015-2019. Berdasarkan proyeksi kebutuhan hasil perhitungan tim kajian dan proyeksi dari sumber data lainnya, target DMO batubara sebesar 60% produksi nasional pada 2019 hanya dapat tercapai sebesar sekitar 45%. Dalam mencapai konsumsi batubara domestik sesuai hasil proyeksi tersebut, direkomendasikan beberapa strategi sebagai berikut: (1) Perbaikan Mekanisme Kebijakan DMO Batubara berdasarkan kesesuaian kualitas batubara produsen-konsumen; (2) Perumusan sistem zonasi pasokan-permintaan batubara domestik untuk PLTU, semen, metalurgi, pupuk, dan lainnya: (3) Penyediaan Infrastruktur Batubara yang terintegrasi melalui perumusan Indonesian Coal Infrastructure Plan; (4) Perumusan Sistem Informasi Penyediaan-Permintaan Batubara Domestik secara online; (5) Penyesuaian mekanisme harga batubara produsen-konsumen (PLTU) untuk mengamankan pasokan dalam negeri dan (6) Strategi hilirisasi batubara (gasifikasi, pencairan, upgrading) untuk mendorong penggunaan batubara tidak hanya sebagai sumber energi melainkan juga sebagai sumber bahan baku.

(4)
(5)

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan perkenan-Nya Laporan Kajian Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019 dapat diselesaikan.

Kajian ini dilatarbelakangi oleh adanya target peningkatan konsumsi batubara domestik dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu mencapai 60% dari produksi nasional atau 240 juta ton pada tahun 2019. Kenaikan persentase target konsumsi domestik yang signifikan pada tahun 2019 menjadi tantangan tersendiri karena realisasi target DMO batubara di beberapa tahun terakhir yang lebih rendah sering tidak tercapai.

Kajian dilakukan oleh Tim Kajian Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan BAPPENAS dengan melakukan penghimpunan data primer dan sekunder untuk melakukan perhitungan proyeksi kebutuhan batubara hingga tahun 2019. Kegiatan FGD juga dilakukan sebagai wadah diskusi dari berbagai narasumber yang merupakan stakeholders dalam kebijakan terkait DMO batubara maupun pelaku industri konsumen dan produsen batubara untuk memperkaya data serta masukan dan analisis mengenai faktor penentu keberjalanan kebijakan DMO batubara dan sebagai dasar perumusan strategi peningkatan konsumsi batubara. Selain itu, juga dilakukan kegiatan seminar untuk mempublikasikan hasil kajian serta menambah pengkayaan materi strategi untuk perumusan berbagai program prioritas yang diharapkan dapat menjadi masukan dalam hal penentuan langkah strategis untuk meningkatkan pengutamaan penggunaan batubara dalam negeri.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan membantu penyusunan laporan ini. Kami berharap bahwa laporan ini dapat menjadi referensi dalam penyusunan kebijakan di sektor pertambangan batubara ke depan.

Jakarta, Desember 2016 Tim Penyusun Kajian

(6)
(7)

ABSTRAK ... 3

Kata Pengantar ... 5

Daftar Isi ... 7

Bab I. Pendahuluan ... 9

1.1. Latar Belakang ... 9

1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan Kajian ... 13

1.3. Ruang Lingkup Kajian ... 14

1.4. Metodologi Kajian... 14

1.5. Keluaran ... 17

Bab II. Tinjauan Batubara Indonesia ... 18

2.1. Sekilas tentang Batubara dan Pemanfaatannya ... 18

2.2. Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia ... 22

2.3. Business Process Pemanfaatan Batubara Indonesia ... 24

2.4. Posisi Indonesia dalam Pasar Batubara Dunia ... 26

2.5. Produksi dan Ekspor Batubara Indonesia 2000-2009 ... 27

2.6. Konsumsi Domestik Batubara Indonesia 2000-2009... 28

Bab III. Kebijakan DMO Batubara... 31

3.1. Tinjauan Dasar Hukum Pengutamaan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri ... 31

3.2. Lahirnya Kebijakan Domestic Market Obligation Batubara ... 32

3.3. Sasaran DMO Batubara sesuai RPJMN 2015-2019 ... 34

3.4. Produksi Batubara Indonesia dan Realisasi Kebijakan DMO Batubara 2010-2015 ... 36

3.4.1. Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun 2010 ... 38

3.4.2. Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun 2011 ... 38

3.4.3. Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun 2012 ... 40

3.4.4. Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun 2013 ... 42

3.4.5. Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun 2014 ... 43

3.4.6. Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun 2015 ... 44

(8)

8

4.1. Time Series Forecasting ... 47

4.2. Perhitungan Kebutuhan Batubara PLTU ... 54

4.3. Perhitungan Kebutuhan Batubara Sektor Industri ... 55

Bab V. Pengolahan Data ... 57

5.1. Proyeksi Kebutuhan Batubara Sektor Pembangkit Listrik ...58

5.1.1. Data yang digunakan ...58

5.1.2. Perhitungan Kebutuhan Batubara PLTU periode 2016-2019 ...58

5.1.3. Rekapituliasi Proyeksi Kebutuhan Batubara PLTU selama 2016-2019 ... 64

5.2. Proyeksi Kebutuhan Batubara Sektor Industri Non Pembangkit Listrik ...65

5.2.1. Data yang digunakan ... 66

5.2.2. Perhitungan Kebutuhan Batubara tiap Sektor Industri Non Pembangkit Listrik 2016-2019 ... 67

5.2.3. Rekapitulasi Proyeksi Kebutuhan Batubara Sektor Industri non Pembangkit Listrik pada 2016-2019... 77

5.3. Hasil Perhitungan Proyeksi Kebutuhan Batubara Domestik periode 2016-2019 ... 78

Bab VI Analisis dan Pembahasan ... 79

6.1. Analisis Isu/Permasalahan Keberjalanan Kebijakan DMO Batubara 2010-2015 ... 79

6.2. Pencapaian Target DMO Batubara sesuai RPJMN 2015-2019 ... 84

6.3. Strategi Pencapaian Proyeksi Konsumsi Batubara Domestik 2016-2019 .... 90

Bab VII Penutup ... 99

7.1. Kesimpulan ... 99 7.2. Rekomendasi ... 100 DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN A ... 105 LAMPIRAN B ... 109 LAMPIRAN C ... 111 LAMPIRAN D ... 113

(9)

Indonesia memiliki potensi sumberdaya dan cadangan batubara yang tersebar sebagian besar di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, serta sebagian kecil sisanya tersebar di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sulawesi dan Papua. Menurut Badan Geologi (2015), total sumberdaya yang dimiliki Indonesia yaitu sejumlah 106,845 milyar ton dan cadangan batubara sejumlah 32,263 milyar ton. Kualitas sumberdaya batubara Indonesia cukup bervariasi baik dalam parameter kalori, kandungan abu, kandungan sulfur, total lengas, dan parameter lainnya. Sebagian besar batubara yang dimiliki Indonesia yaitu sekitar 60% merupakan batubara berkalori sedang atau sekitar 5100-6100 kcal/kg ADB (medium rank) sedangkan 30% sisanya batubara dengan kategori low rank (nilai kalori <5100 kcal/kg ADB). Sedangkan sebagian kecil lainnya yaitu sebesar 7% termasuk dalam kategori high rank (nilai kalori 6100-7100 kcal/kg ADB) dan sebanyak 2% termasuk batubara berkategori very high rank (>7100 kcal/kg ADB).

Produksi batubara Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun 2000 sebesar 77 juta ton, menjadi 256 juta ton pada tahun 2009. Adapun pertumbuhan produksi batubara Indonesia tersebut dapat dilihat pada Gambar I.1 berikut.

(10)

10

Sebagian besar dari produksi batubara nasional tersebut, diekspor ke luar negeri dengan tujuan China, India, Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, Taiwan, Filipina, Thailand, Spanyol dan lainnya. Rata-rata persentase batubara yang diekspor selama tahun 2000-2009 adalah 74,3% produksi nasional. Besarnya persentase ekspor batubara ini di satu sisi mendatangkan manfaat ekonomi berupa tambahan pemasukan negara, namun di sisi lain juga menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya stok batubara nasional, terutama dalam hal keamanan pasokan batubara untuk kepentingan dalam negeri.

Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2009 pemerintah menerbitkan kebijakan pengutamaan pasokan batubara untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation) yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri.Dalam peraturan tersebut, diatur nominal jumlah batubara yang wajib dialokasikan untuk kepentingan dalam negeri, antara lain untuk konsumsi bahan bakar sektor pembangkit listrik (PLTU), serta konsumsi bahan bakar sektor industri (semen, tekstil, pupuk, pulp dan metalurgi/besi baja). Selain itu, juga diatur mengenai persentase dari produksi sejumlah perusahaan tambang (PKP2B, BUMN dan IUP) yang diwajibkan untuk dialokasikan untuk konsumsi dalam negeri. Setiap tahunnya, konsumen batubara domestik akan melaporkan kebutuhan batubaranya dan setiap perusahaan tambang yang diwajibkan, akan melaporkan juga rencana produksi batubaranya dalam bentuk dokumen RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya). Setiap tahun, pemerintah akan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan DMO ini, dan akan memberikan sanksi berupa sanksi adminstratif (teguran tertulis) hingga pemotongan produksi sebesar 50% bagi pihak yang tidak dapat memenuhi kuota pemenuhan batubara dalam negeri.

Kebijakan DMO batubara tersebut telah diterapkan mulai dari tahun 2010. Adapun jumlah produksi batubara nasional, keberjalanan kebijakan DMO beserta realisasi nya pada rentang waktu 2010 hingga 2014 dapat dilihat pada Tabel I.1 berikut.

(11)

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat tren kenaikan produksi batubara nasional sejak tahun 2010 sejumlah 275 juta ton menjadi 435 juta ton pada 2014. Kenaikan produksi nasional tersebut yang cukup signifikan tersebut disebabkan adanya kenaikan harga batubara pada rentang 2010-2011, sebagai akibat dari meningkatnya permintaan batubara dari China dan India. Walaupun terjadi penurunan harga batubara sejak 2012, produksi batubara nasional tetap mengalami peningkatan hingga tahun 2014 yang diiringi dengan peningkatan volume ekspor batubara. Selama tahun 2010 hingga 2014, mayoritas dari produksi batubara nasional diekspor ke luar negeri dengan persentase rata-rata 81%. Kenaikan produksi batubara nasional sebenarnya direspon juga oleh pemerintah dengan peningkatan target konsumsi batubara domestik (target DMO) tiap tahunnya. Namun, target DMO tersebut hanya dapat tercapai pada tahun 2010 dengan realisasi konsumsi domestik sebesar 65 juta ton, sedangkan target DMO di tahun 2011 hingga 2014 tidak tercapai. Rata-rata persentase penyerapan konsumsi batubara domestik selama 2010-2014 pun cukup rendah, yaitu 18,7%. Jika kondisi ini tetap dibiarkan, maka untuk selanjutnya dikhawatirkan batubara Indonesia akan habis karena diekspor, tanpa sempat dioptimalkan penggunaannya untuk industri dalam negeri. Hal ini menyebabkan perlu adanya kebijakan lain yang dapat mendukung kebijakan DMO dalam rangka meningkatkan penyerapan konsumsi batubara dalam negeri.

Pada 2015, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan buku RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 sebagai tindak lanjut dari dokumen RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025. Dalam dokumen RPJMN 2015-2019 tersebut, terdapat target produksi batubara nasional serta target konsumsi batubara domestik yang termasuk dalam Sasaran Utama Penguatan Ketahanan Energi yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015-2019, sesuai Tabel I.2berikut.

(12)

12

Target produksi batubara nasional selama lima tahun tersebut diproyeksikan menurun yaitu sebesar 425 juta ton pada tahun 2015 hingga sebesar 400 juta ton pada tahun 2019, sementara target konsumsi batubara domestik mengalami peningkatan yaitu sekitar 24% atau 102 juta ton pada 2015 hingga mencapai 60% atau 240 juta ton pada 2019. Penurunan target produksi batubara nasional dan peningkatan target konsumsi batubara domestik tersebut dimaksudkan untuk mengamankan penyediaan batubara nasional untuk kepentingan industri dalam negeri. Adapun target konsumsi batubara domestik menurut dokumen RPJMN 2015-2019 tersebut akan dijadikan acuan target konsumsi batubara domestik yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM yang mengatur kebijakan DMO tiap tahunnya.

Kementerian ESDM melalui Keputusan Menteri ESDM No. 2805 K/30/MEM/2015 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri tahun 2015, mengatur target jumlah konsumsi batubara domestik tahun 2015 yaitu 92,31 juta ton. Target konsumsi batubara domestik tersebut lebih rendah dibandingkan dengan target menurut RPJMN 2015-2019, yaitu sebesar 102 juta ton. Adapun realisasi produksi batubara nasional pada 2015 adalah 392 juta ton dengan total konsumsi domestik sebesar 22% atau 87 juta ton. Realisasi konsumsi batubara domestik tersebut tidak dapat mencapai target DMO menurut Kepmen ESDM tersebut, yaitu pencapaiannya sebesar 94%. Apabila diukur berdasarkan target DMO menurut RPJMN 2015-2019, maka pencapaiannya hanya sebesar 85%. Sedangkan menurut dokumen

(13)

tersebut, target DMO batubara diproyeksikan terus meningkat tiap tahunnya, dengan puncaknya yaitu sebesar 60% produksi batubara nasional atau sejumlah 240 juta ton pada 2019.

Dengan demikian, diperlukan suatu kajian untuk dapat menjawab permasalahan apakah target DMO batubara menurut RPJMN di tahun 2019 sebesar 60% tersebut dapat terpenuhi atau tidak. Dalam menyelesaikan perumusan masalah tersebut, perlu dilakukan proyeksi kebutuhan batubara dari sektor pembangkit listrik dan sektor industri lainnya hingga tahun 2019. Selain itu, diperlukan juga pembahasan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar target DMO batubara pada tahun 2019 dapat tercapai.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, beberapa rumusan masalah yang akan dikaji dalam kajian ini yaitu sebagai berikut.

1. Belum optimalnya pemanfaatan produksi batubara Indonesia untuk kebutuhan domestik.

2. Ketidaksetimbangan rasio ekspor dan penggunaan batubara domestik, sementara cadangan batubara Indonesia hanya 3,1% dari cadangan dunia. 3. Potensi ketidaktercapaian realisasi target DMO batubara 2016-2019.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang akan dicapai dari kajian ini adalah sebagai berikut.

1. Melakukan evaluasi dan analisis ketercapaian target konsumsi batubara domestik sesuai kebijakan DMO batubara pada tahun 2010 – 2015.

2. Menghitung kebutuhan batubara periode 2016-2019 di sektor pembangkit listrik (PLTU) sesuai kondisi existing dan rencana pembangunan PLTU periode 2016-2025, serta melakukan proyeksi pertumbuhan industri pengguna batubara domestik lainnya seperti semen, tekstil, pupuk, pulp/paper dan industrI metalurgi pada 2016-2019 serta menghitung jumlah kebutuhan batubaranya.

3. Melakukan analisis potensi ketercapaian target DMO batubara dan perumusan strategi pencapaian DMO batubara sebesar 60% pada tahun 2019.

(14)

14

Analisis dan pembahasan yang dilakukan dalam kajian ini dibatasi dalam ruang lingkup sebagai berikut.

1. Konsumen batubara domestik dibatasi hanya pada PLTU, industri semen, industri pulp, industri metalurgi, industri pupuk dan industri tekstil.

2. Perhitungan kebutuhan batubara untuk PLTU didasarkan pada kebutuhan energi dari sejumlah PLTU yang telah beroperasi (existing) ditambah dengan sejumlah PLTU yang akan beroperasi hingga tahun 2019, dengan asumsi nilai kalori tertentu.

3. Perhitungan kebutuhan batubara untuk industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil didasarkan pada kebutuhan energi batubara tiap industri, dengan didasarkan pada proyeksi pertumbuhan masing-masing industri tersebut.

4. Peramalan pertumbuhan industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil dilakukan dengan time series forecasting method.

Kajian diawali dengan pengumpulan fakta dan data yang ada. Setelah itu, dilakukan perumusan masalah yang selanjutnya dilakukan analisis dan perhitungan terhadap data berdasarkan persamaan dan kriteria yang ada untuk mencapai parameter yang diinginkan. Untuk mengetahui jumlah total proyeksi kebutuhan batubara domestik hingga tahun 2019, dilakukan perhitungan kebutuhan batubara pada sektor pembangkit listrik (PLTU) dan perhitungan kebutuhan batubara pada sektor industri lain (industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil). Perhitungan kebutuhan batubara pada sektor energi (PLTU) didasarkan pada kondisi PLTU existing dan rencana PLTU yang akan beroperasi hingga tahun 2019 menurut dokumen RUPTL PT. PLN (Persero) 2016-2024. Masing-masing PLTU akan dihitung jumlah kebutuhan energinya sesuai besaran kapasitas terpasangnya, lalu dengan asumsi nilai kalori yang digunakan, dihitung pula jumlah kebutuhan batubara tiap PLTU tersebut. Perhitungan kebutuhan batubara pada sektor industri lain (industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil) didasarkan pada kebutuhan energi batubara tiap industri. Kebutuhan energi

(15)

batubara didasarkan pada proyeksi pertumbuhan tiap industri tersebut. Peramalan pertumbuhan tiap industri dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik yang termasuk dalam Time Series Forecasting Method. Masing-masing teknik akan dievaluasi parameter nilai deviasinya terhadap data historis aktual. Teknik peramalan terbaik dipilih untuk tiap industri berdasarkan kriteria nilai deviasi yang terkecil.

Hasil perhitungan batubara dari sektor pembangkit listrik dan sektor industri lain tersebut akan dijumlahkan untuk mengetahui berapa proyeksi jumlah konsumsi batubara dalam negeri tiap tahunnya. Setelah itu akan dilakukan perbandingan jumlah konsumsi batubara antara hasil proyeksi dengan target DMO menurut RPJMN 2015-2019. Hasil perbandingan tersebut akan menjadi dasar analisis untuk pembahasan strategi pemenuhan target DMO. Adapun strategi yang dibahas berupa kebijakan yang dapat diusulkan kepada pemerintah, baik dari sisi hulu hingga hilir dari kegiatan pertambangan batubara. Setelah perumusan strategi tersebut, akan ditarik kesimpulan dan saran dari kajian ini. Adapun alur pikir kajian secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar I.3 berikut.

(16)

16 Β· Β· Β· Β· Β· Β· Β· Β·

(17)

Adapun keluaran yang diharapkan sebagai hasil kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Proyeksi kebutuhan batubara domestik tahunan pada periode 2016-2019 yang

dapat dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan DMO tiap tahunnya oleh Kementerian ESDM.

2. Perumusan strategi pencapaian target konsumsi batubara domestik untuk target 60% produksi nasional pada 2019 berdasarkan dokumen RPJMN 2015-2019, atau untuk target baru sesuai hasil proyeksi perhitungan kebutuhan batubara.

(18)

18

Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat alami, dapat dibakar, menyerupai batu, berwarna coklat sampai hitam, yang berasal sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk akibat suhu dan tekanan tinggi sehingga mengalami proses perubahan fisik dan kimia. Secara umum, batubara terdiri dari unsur dasar yaitu karbon (C), oksigen (O) dan hidrogen (H) serta unsur lain seperti belerang (S), nitrogen (N) dan beberapa unsur logam pengotor yang terjebak saat pembentukan batubara. Di batubara juga dikenal beberapa istilah yang mewakili komposisi material penyusun batubara, seperti lengas (moisture), abu, zat terbang (volatile matter) dan karbon tetap (fixed carbon).

a. Moisture atau lengas merupakan air yang terkandung dalam batubara. Total moisture yang terkandung dalam batubara terbagi menjadi inherent moisture dan surface moisture. Inherent moisture berasal dari pori-pori batubara yang terisi air secara alami, sedangkan surface moisture merupakan kandungan air yang berada di permukaan batubara saat ditambang dan diproses.

b. Abu mewakili mineral (contohnya oksida logam seperti aluminium dan besi) yang terkandung di batubara yang terbentuk sebagai salah satu sisa hasil pembakaran batubara.

c. Zat terbang (volatile matter) adalah gabungan zat organik dan anorganik yang mudah menguap saat pemanasan.

d. Karbon tetap (fixed carbon) merupakan residu yang tersisa setelah moisture dan volatile matter dihilangkan. Nilai fixed carbon merupakan nilai murni penyusun batubara sesungguhnya yang terdiri dari unsur-unsur dasar yaitu karbon (C), oksigen (O) dan hidrogen (H). Semakin tinggi nilai fixed carbon maka semakin tinggi pula rank batubara.

Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan yang disebut sebagai maturitas organik. Perbedaan tingkat maturitas organik dan lingkungan pembentukan akan mempengaruhi jenis dan kualitas batubara yang terbentuk. Jenis dan kualitas batubara dinyatakan dalam istilah rank batubara. Beberapa jenis rank batubara yang umum dijelaskan sebagai berikut.

(19)

a. Gambut (Peat)

Gambut merupakan sedimen organik akumulasi sisa-sisa tanaman. Diperlukan penimbunan, kompaksi dan pembatubaraan untuk mengubahnya menjadi batubara. Kandungan air pada gambut sangat tinggi, sekitar 75%.

b. Batubara muda (lignit)

Proses pembentukan batubara diawali dengan berubahnya gambut menjadi lignit (batubara muda). Batubara jenis ini memiliki maturitas organik yang rendah. Lignit biasanya mengandung kandungan kalori sekitar 2.500 kkal/kg dalam basis as received. Di Eropa dan Australia, lignit juga dikenal dengan istilah batubara coklat (brown coal). Kandungan air pada lignit cukup tinggi sekitar 35%-75%.

c. Batubara sub bituminus

Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda dapat mengalami perubahan secara bertahap, menambah maturitas organiknya dan berubah menjadi batubara sub-bituminus. Batubara dengan tipe ini biasanya mengandung kandungan kalori sekitar 2.500-4.000 kkal/kg dalam basis as received. Kandungan air pada batubara sub bituminus sekitar 25%-35%.

d. Batubara bituminus

Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk bitumen/batubara bituminus. Batubara dengan tipe ini biasanya mengandung kandungan kalori sekitar 4.000-5.000 kkal/kg dalam basis as received. Kandungan air pada batubara bituminus sekitar 10%-25%.

e. Batubara antrasit

Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Batubara dengan tipe ini biasanya mengandung kandungan kalori sekitar diatas 5.000 kkal/kg dalam basis as received. Kandungan air pada batubara antrasit sekitar dibawah 10%.

Dalam industri pemanfaatan batubara, dikenal dua istilah produk batubara, yaitu thermal coal dan coking coal/metallurgical coal. Thermal coal atau steam coal digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Coking coal/metallurgical coal atau kokas merupakan batubara yang digunakan sebagai bahan baku proses peleburan besi dan baja. Pemanfaatan batubara secara umum dijelaskan sebagai berikut.

(20)

20

Pembangkit listrik yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar adalah PLTU. Pembangkit Listrik Tenaga Uap adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi kinetik dari uap sebagai penggerak utama untuk memutar turbin. Prinsip yang digunakan adalah siklus Rankine, dimana air dipanaskan hingga menjadi uap, lalu uap tersebut digunakan untuk menggerakkan turbin yang selanjutnya akan memutar generator sehingga listrik dapat dihasilkan. Selanjutnya uap dialirkan ke kondensor agar menjadi air kembali dan didaur ulang untuk dipanaskan kembali. Gambar II.1 berikut merupakan diagram mengenai komponen komponen yang terdapat di PLTU berbahan bakar batubara.

Semen terbuat dari campuran kalsium karbonat (umumnya dalam bentuk batu kapur), silika, oksida besi dan alumina. Sebuah kiln suhu tinggi, yang berbahan bakar batubara, akan memanaskan material tersebut menjadi bahan setengah jadi pada suhu 1450 Β° C. Proses tersebut akan mengubah karakteristik material secara kimia dan fisika menjadi suatu

(21)

produk yang dikenal sebagai clinker. Clinker yang bertekstur seperti kerikil abu-abu ini menghasilkan karakteristik mengikat (binding) yang penting dalam produk semen. Selanjutnya clinker akan dicampur dengan gipsum dan digerus sampai menjadi bubuk halus untuk membuat semen. Batubara digunakan sebagai sumber energi dalam produksi semen terutama untuk memanaskan kiln. Menurut World Coal (2016), dibutuhkan sekitar 200 kg batubara untuk menghasilkan satu ton semen.

Baja merupakan bahan dasar dari banyak proses manufaktur peralatan dan mesin-mesin untuk mendukung berbagai industri seperti telekomunikasi, transportasi, pertanian, dan lainnya. Baja adalah paduan/alloy yang bahan utamanya merupakan besi. Di alam, keterdapatan besi ada pada bijih-bijih oksida, dalam bentuk FeO2, sehingga diperlukan proses reduksi menghasilkan besi, dengan bantuan reduktor yaitu karbon yang didapat dari coking coal. Coking coal akan diubah menjadi kokas dengan cara dipanaskan untuk menghilangkan unsur pengotor dan menyisakan hampir hanya karbon murni saja. Besi dibuat dengan cara memasukkan umpan berupa bijih besi, kokas dan sedikit fluks (mineral seperti gamping untuk menangkap pengotor) dalam suatu tanur uap. Udara yang dipanaskan sampai sekitar 1200Β° C ditiupkan ke tanur melalui pipa di bagian bawah. Udara panas tersebut akan menyebabkan kokas terbakar, menghasilkan karbon monoksida yang bereaksi dengan bijih besi, serta panas untuk melelehkan besi. Selanjutnya besi cair dan terak dapat ditampung pada lubang tap di bagian bawah tungku.

Briket adalah sebuah blok bahan yang dapat dibakar yang digunakan sebagai bahan bakar untuk memulai dan mempertahankan nyala api. Salah satu bahan utama briket adalah batubara, disamping dapat pula digunakan bahan lainnya seperti arang kayu, biomassa dan gambut. Briket dibuat dengan mencampur bahan utama dan bahan pendukung seperti batu kapur, pati, boraks, dan malam di suatu mesin pembuat briket yang akan menekan dan mengeringkan campuran bahan tersebut menjadi blok yang keras.

Batubara dapat pula digunakan sebagai bahan baku dalam industri kimia seperti pembuatan karbon aktif, serat karbon dan logam silikon. Selain itu, terdapat upaya pemanfaatan lainnya yang termasuk dalam usaha-usaha peningkatan nilai tambah batubara. Contoh upaya pemanfaatan tersebut yaitu Upgraded Brown Coal, Gasifikasi Batubara dan Pencairan Batubara. Upgraded Brown Coal adalah upaya peningkatan kualitas

(22)

22

batubara lignit/brown coal yang mempunyai nilai kalori rendah menjadi batubara berkalori tinggi (bituminus) dengan cara mengurangi kadar moisture batubara tersebut. Gasifikasi batubara adalah proses pembuatan syngas (terdiri dari unsur CH4 , CO, H2, CO2 dan H2O) dari batubara, air, udara dan oksigen. Pencairan Batubara adalah proses pengubahan batubara menjadi hidrokarbon cair, yang dilakukan dengan proses langsung dan tidak langsung. Pada proses langsung (direct liquefaction), batubara dicairkan dengan cara penguraian unsur-unsur pembentuknya dengan cara penggunaan solvent dan katalis dalam kondisi suhu tinggi dan tekanan tinggi. Pada proses pencairan tidak langsung (indirect liquefaction), batubara diubah terlebih dahulu menjadi produk antara berupa syngas melalui proses gasifikasi, lalu diubah menjadi hidrokarbon cair menggunaan proses Fischer-Kosch.

Menurut SNI 5015:2011 tentang Pedoman pelaporan, sumberdaya dan cadangan batubara, terdapat definisi khusus mengenai sumberdaya batubara dan cadangan batubara yang digunakan di Indonesia. Sumberdaya batubara adalah bagian dari endapan batubara dalam bentuk dan kuantitas tertentu serta mempunyai prospek beralasan yang memungkinan untuk ditambang secara ekonomis. Sumberdaya batubara dibagi sesuai dengan tingkat kepercayaan geologi ke dalam kategori tereka, tertunjuk dan terukur. Sedangkan cadangan batubara adalah bagian dari sumberdaya batubara tertunjuk dan terukur yang dapat ditambang secara ekonomis. Penentuan cadangan secara tepat telah dilaksanakan yang mungkin termasuk studi kelayakan, yang telah mempertimbangkan semua faktor-faktor yang berkaitan seperti metode penambangan, ekonomi, pemasaran, legal, lingkungan, sosial dan peraturan pemerintah. Penentuan itu harus dapat memperlihatkan bahwa pada saat laporan dibuat, penambangan ekonomis dapat ditentukan secara memungkinkan. Cadangan batubara dibagi sesuai dengan tingkat kepercayaannya ke dalam cadangan batubara terkira dan cadangan batubara terbukti. Berdasarkan data dari Pusat Sumber Daya Geologi, pada tahun 2015 jumlah sumberdaya dan cadangan batubara di Indonesia dapat dilihat pada Tabel II.1.

Pada Tabel II.2, terdapat pembagian rentang kualitas batubara yang dibagi berdasarkan kelas nilai kalori. Pembagian tersebut didasarkan pada Keppres. No. 13 Tahun 2000 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia Presiden Republik Indonesia yang diperbaharui dengan PP No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis

(23)

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral. Pembagian kualitas batubara tersebut adalah sebagai berikut.

a. Kalori Rendah < 5.100 kal/gr b. Kalori Sedang 5.100-6.100 kal/gr c. Kalori Tinggi > 6.100-7.100 kal/gr d. Kalori Sangat Tinggi > 7.100 kal/gr

(24)

24

Secara umum, pemanfaatan batubara di Indonesia mengikuti skema business process yang dapat dilihat pada Gambar II.3 berikut.

Sesuai dengan skema tersebut, potensi batubara Indonesia berupa keterdapatan sumberdaya dan cadangan batubara yang merupakan hasil dari kegiatan eksplorasi batubara akan dimanfaatkan dengan cara dilakukan proses penambangan. Proses

(25)

penambangan dimulai dari persiapan penambangan (mine development), proses pembersihan lahan dan pemindahan lapisan penutup, penambangan batubara hingga proses pengolahan batubara berupa coal crushing dan pencucian batubara. Hasil dari kegiatan penambangan berupa produk batubara yang dapat bervariasi sesuai dengan profil kualitas cadangan yang dimiliki dan brand tiap perusahaan. Namun secara umum, terdapat dua jenis produk utama batubara yaitu metallurgical coal atau batubara high rank yang dimanfaatkan sebagai kokas dalam industri metalurgi/peleburan logam, dan steam coal atau batubara medium to low rank yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler pada PLTU. Selain itu, terdapat batubara yang berkualitas rendah (nilai kalori < 5.100 kkal/kg, adb) yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan bakar PLTU Mulut Tambang atau dimanfaatkan secara non konvensional melalui teknik upgrading brown coal, coal liquefaction, coal gasification, dan sebagainya. Kedua jenis produk utama batubara yaitu metallurgical coal dan steam coal akan ditransportasikan ke tiap konsumennya. Adapun alur transportasi batubara dapat dilihat pada Gambar II.4 berikut.

Transportasi batubara ke tiap konsumen akan mengikuti alur penjualan batubara, yang dapat ditujukan untuk ekspor ataupun konsumen domestik. Untuk ekspor batubara, beberapa negara tujuan ekspor contohnya yaitu China, India, Jepang, Korea, Taiwan,

(26)

26

Hongkong, Taiwan, Filipina, Thailand, Spanyol dan lainnya. Untuk batubara yang dikonsumsi dalam negeri, konsumen yang menyerap penggunaan batubara adalah konsumen dari sektor pembangkit listrik (PLTU) dan sektor industri (semen, metalurgi, pupuk, pulp, tekstil dan lainnya).

Disamping potensi serta kapasitas produksi batubaranya, posisi suatu negara sangat penting dalam menentukan perannya dalam perdagangan batubara dunia. Posisi Indonesia dalam pasar batubara dunia dapat dilihat pada Gambar II.5 berikut.

Menurut peta perdagangan batubara dunia tersebut, Indonesia merupakan salah satu top coal exporter atau pengekspor batubara terbesar dunia. Pada 2013 dan 2014, ekspor batubara dari Indonesia mencapai nominal 400 juta ton. Bersama dengan Australia, Indonesia mengisi porsi permintaan dari negara-negara yang merupakan mayoritas konsumen batubara dunia, seperti China dan India. China dan India merupakan top coal consumers dunia dengan porsi konsumsi batubara sekitar 55% dari total konsumsi batubara dunia pada 2013. Selain China dan India, beberapa negara lain yang menjadi konsumen batubara terbesar dunia yaitu Amerika Serikat Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa.

(27)

Banyaknya permintaan batubara ke Indonesia dan Australia dikarenakan posisi yang strategis dan dekat dengan negara konsumen dan importir batubara terbesar dunia, yaitu China dan India. Dibandingkan Australia, posisi Indonesia lebih dekat terhadap kedua negara tersebut. Selain faktor lokasi, faktor kualitas batubara Indonesia yang mayoritas adalah medium rank atau batubara thermal sangat cocok digunakan untuk kebutuhan batubara PLTU di China dan India. Hal ini mengakibatkan permintaan batubara dari Indonesia meningkat dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu eksportir batubara terbesar dunia.

Tingginya jumlah ekspor batubara Indonesia tidak sebanding dengan persentase cadangan batubara yang dimiliki Indonesia terhadap persentase cadangan batubara dunia. Dari total 891 milyar ton cadangan batubara dunia, Indonesia memiliki sekitar 30 milyar ton cadangan batubara atau sekitar 3,1% cadangan batubara dunia (BP Statistical Review, 2016). Adapun negara dengan cadangan batubara terbesar yaitu Amerika Serikat (26%), Rusia (17%), China (12%), Australia (8%) dan India (6%).

Pada periode 2000 hingga tahun 2009, produksi batubara Indonesia terus mengalami peningkatan yang juga diiringi dengan peningkatan ekspor batubara. Grafik pertumbuhan produksi dan ekspor batubara Indonesia dapat dilihat pada Gambar II.6 berikut.

(28)

28

Rata-rata laju kenaikan produksi batubara Indonesia selama produksi tersebut adalah sebesar 12 persen per tahun. Kenaikan produksi tersebut disebabkan oleh meningkatnya harga batubara. Pada periode 2000 – 2009 terjadi commodity price boom atau ledakan harga komoditas yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan dari negara-negara berkembang seperti China, India, Taiwan, dan lainnya. Mayoritas harga komoditas primer seperti komoditas pangan dan energi mengalami peningkatan, dan batubara juga terkena dampak peningkatan harga. Hal tersebut dapat dilihat pada peningkatan harga batubara bituminus (kalori sedang) pada periode 2000 hingga 2014, yang dapat dilihat pada Gambar II.7 berikut.

Meningkatnya harga batubara dan permintaan batubara mengakibatkan perusahaan tambang batubara melakukan peningkatan kapasitas produksi. Hal tersebut lah yang mengakibatkan peningkatan produksi batubara Indonesia sesuai Gambar II.6. Sebagai respons dari permintaan ekspor, mayoritas alokasi dari produksi batubara Indonesia ditujukan untuk ekspor ke negara-negara konsumen batubara seperti China, India, Jepang, Korea, Taiwan dan lainnya. Ekspor batubara Indonesia mengalami peningkatan sebesar rata-rata 13% selama 2000 hingga 2009.

Selama periode tahun 2000 hingga tahun 2009, konsumsi domestik batubara Indonesia juga mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi batubara Indonesia. Dominasi dari konsumsi batubara domestik adalah sektor pembangkit listrik atau PLTU, yang mengkonsumsi batubara sebesar rata-rata 61% dari konsumsi batubara nasional.

(29)

Dominasi kedua dari konsumen batubara domestik adalah sektor lainnya sebesar rata-rata 22%, disusul oleh konsumsi dari sektor keramik dan semen sebesar rata-rata 13%. Sektor lainnya yang dimaksud ini adalah dari sektor industri pupuk, tekstil, bahan kimia dan lain sebagainya. Secara detail, konsumsi batubara domestik dari tiap sektor industri dapat dilihat pada Gambar II.8 berikut.

(30)
(31)

Dalam UUD 1945 terutama pada pasal 33 ayat 3, secara tegas telah disebutkan bahwa negara berdaulat atas kekayaan sumber daya alam dan pengeolaannya harus dimanfaatkan secara sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam strategis yang tidak terbarukan mempunyai peran dan nilai yang penting bagi pembangunan bangsa. Dalam upaya mendukung pembangunan nasional menuju rakyat yang makmur, produksi sumber daya alam sudah sewajarnya dimaksimalkan penggunaannya untuk kebutuhan industri dalam negeri.

Batubara merupakan salah satu sumber energi yang mendominasi bauran energi listrik nasional (electricity energy mix). Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 sesuai yang terkandung dalam Peraturan Presiden No.5 tahun 2006, menyebutkan bahwa pada 2025 batubara akan mengisi porsi sebanyak 33% bauran energi nasional. UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, pada pasal 21 mengatakan, β€œpemanfaatan energi dilakukan diantaranya dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi, dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat.” Dengan demikian, dalam mendukung kebijakan pemerintah tentang ketahanan energi tersebut, pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri merupakan hal yang penting dan prioritas untuk dilakukan.

Sebagai bentuk implementasi dari amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan sebagai tindak lanjut dari implementasi dukungan terhadap tercapainya bauran energi nasional, pemerintah kembali menegaskan tentang pengutamaan batubara untuk kepentingan dalam negeri pada UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Bab Penguasaan Mineral dan Batubara UU No.4 tahun 2009 yaitu pada tepatnya pada pasal 5 ayat 1 hingga ayat 5, menyebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. Kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan pengendalian produksi maupun pembatasan ekspor. Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pada pasal 84 ayat 1 menyebutkan bahwa: β€œPemegang IUP Operasi

(32)

32

Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.”

Pada periode 2000-2009, porsi konsumsi domestik dari produksi batubara masih rendah, yaitu hanya sekitar 25,7% dari produksi batubara nasional. Sebanyak 74,3% batubara Indonesia diekspor ke luar negeri. Pada 2009, Indonesia menjadi pengekspor batubara terbesar kedua di dunia setelah Australia dengan jumlah ekspor sekitar 198 juta ton. Cadangan batubara Indonesia sebanyak sekitar 32 milyar ton (Badan Geologi, 2015) hanya sekitar 3% dari cadangan batubara dunia sebesar 826 milyar ton (EIA, 2010). Negara-negara yang memiliki cadangan batubara lebih besar, seperti Amerika (238 milyar ton), Russia (157 milyar ton) dan China (114 milyar ton), mengkonsumsi batubara dalam porsi besar (sekitar 91% dari total produksi batubara nasional) untuk kepentingan dalam negerinya. Dengan demikian, sebagai negara yang tidak memiliki cadangan batubara yang melimpah, sewajarnya Indonesia harus mengutamakan penggunaan batubara untuk konsumsi dalam negeri dibandingkan ekspor. Hal ini dikarenakan jika kondisi dominasi ekspor batubara ini terus berlanjut, maka terdapat kemungkinan suatu saat cadangan batubara Indonesia habis tertambang dan tidak tersedianya stok batubara nasional yang cukup untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri.

Sebagai implementasi amanat UU No.4 tahun 2009 dan berdasarkan penjelasan berbagai landasan hukum tentang pengutamaan batubara untuk kepentingan dalam negeri, pada 31 Desember 2009, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri No 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri, yang dikenal juga dengan istilah Domestic Market Obligation. Di dalam Permen tersebut, diatur kewajiban pemasokan kebutuhan mineral dan batubara bagi badan usaha pertambangan mineral dan batubara yang ditentukan dalam persentase minimal penjualan mineral atau persentase minimal penjualan batubara. Badan usaha pertambangan mineral dan batubara tersebut tetap dapat melakukan ekspor komoditasnya sepanjang persentase minimal penjualan batubaranya terpenuhi. Selain itu, diatur juga mengenai ketentuan pemakai mineral dan pemakai batubara. Pemakai batubara terdiri dari pemakai batubara sebagai bahan baku

(33)

yaitu dari industri briket, pengolahan logam, pencairan batubara, gasifikasi batubara dan peningkatan mutu batubara serta pemakai batubara sebagai bahan bakar yaitu sektor pembangkit listrik, sektor industri, sektor usaha kecil dan sektor rumah tangga. Perencanaan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dengan melihat prediksi kebutuhan mineral dan batubara setahun kedepan yang disampaikan oleh pemakai mineral dan batubara serta prediksi produksi batubara setahun kedepan yang disampaikan oleh badan usaha pertambangan mineral dan batubara dalam bentuk Rencana Kerja Anggaran dan Biaya. Setelah data-data tersebut terkumpul, selanjutnya Direktur Jenderal akan meminta persetujuan Menteri ESDM untuk menerbitkan Keputusan Menteri tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara atau Mineral untuk Kepentingan Dalam Negeri. Keputusan Menteri itulah yang akan dijadikan acuan dan patokan dalam implementasi pemasokan kebutuhan mineral dan batubara. Adapun gambaran mekanisme penentuan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara sesuai dengan Permen No. 34 tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar III.1 berikut.

Pemakai batubara dan produsen batubara akan menyampaikan prediksi kebutuhan dan prediksi produksi batubara kepada Direktur Jenderal paling lambat bulan Maret tahun berjalan, dan keputusan menteri tentang penetapan kebutuhan dan persentase minimal penjualan dalam negeri untuk tahun berikutnya paling lambat dikeluarkan pada bulan Juni

(34)

34

tahun berjalan. Jika terdapat revisi mengenai jumlah kebutuhan dan produksi, dapat disampaikan kepada Direktur Jenderal hingga bulan November, dan revisi keputusan menteri tentang penetapan kebutuhan dan persentase minimal penjualan dalam negeri dapat diterbitkan pada bulan Desember.

Mekanisme pengawasan dan pelaporan dari implementasi kebijakan DMO tersebut dilakukan pada tahun berlakunya, yaitu pelaporan dari pemakai dan produsen batubara tiap tiga bulan, pada Maret, Juni, September dan Desember. Apabila dari pihak produsen batubara tidak dapat memenuhi komitmen presentase penjualan minimum untuk kebutuhan dalam negeri, maka Kementerian ESDM dapat memberikan sanksi berupa peringatan tertulis sebanyak 3 kali dan sanksi pemotongan rencana produksi sebesar 50% pada tahun berikutnya. Sanksi demikian juga berlaku pada pihak pemakai batubara yang tidak dapat memenuhi komitmen pemakaian batubaranya, yaitu sanksi berupa peringatan tertulis sebanyak 3 kali dan sanksi pemotongan rencana konsumsi batubara sebesar 50% pada tahun berikutnya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 merupakan tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang telah ditetapkan melalui UU No. 7 tahun 2007. RPJMN 2015-2019 yang disusun dari rancangan teknokratik Bappenas merupakan pedoman untuk pencapaian visi misi presiden dan pedoman untuk melaksanakan pembangunan agar tetap konsisten dengan amanat UUD 1945 dan RPJPN 2005-2025.

Dalam Buku II RPJMN 2015-2019 tentang Agenda Pembangunan Bidang, pada bagian Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup terdapat penjelasan tentang permasalahan dan isu strategis yaitu dalam hal Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi. Salah satu isu yang berkaitan dengan batubara sebagai sumber energi nasional adalah produksi batubara yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan ekspor dan konsumsi domestik. Pada 2010, produksi batubara nasional sekitar 275 juta ton dengan jumlah ekspor batubara 208 juta ton. Jumlah produksi tersebut meningkat sebesar 158% pada 2014 menjadi 458 juta ton, dimana ekspor batubara mencapai angka 359 juta ton atau 78% dari total produksi nasional. Hal ini menjadi isu strategis dikarenakan timbulnya kekhawatiran akan keamanan pasokan batubara sebagai salah satu

(35)

sumber energi nasional. Sebagai solusinya, pada dokumen RPJMN 2015-2019 terdapat salah satu sasaran utama dalam Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi dalam mengatasi isu produksi batubara tersebut, yaitu penetapan target produksi batubara sebesar 425-400 juta ton dengan konsumsi domestik sebesar 24-60 persen selama kurun waktu 2015-2019. Secara detail, target produksi batubara dan konsumsi domestik tiap tahun selama periode 2015-2019 ditampilkan dalam Tabel III.1 berikut.

Target produksi batubara ditetapkan menurun tiap tahunnya mulai dari 425 juta ton pada 2015, 419 juta ton pada 2016, 413 juta ton pada 2017, 406 juta ton pada 2018 dan 400 juta ton pada 2019, dengan laju penurunan produksi rata-rata 1,5% per tahun. Persentase konsumsi domestik ditargetkan meningkat tiap tahunnya, yaitu 24% atau 102 juta ton pada 2015, 26% atau 111 juta ton pada 2016, 29% atau 121 juta ton pada 2017, 32% atau 131 juta ton pada 2018 serta 60% atau 240 juta ton pada 2019, dengan laju peningkatan rata-rata 8% pada rentang 2015-2018 namun terjadi peningkatan yang cukup signifikan sebesar 83% antara target pada 2018 dan 2019. Penurunan ekspor batubara dilakukan secara bertahap sebesar rata-rata 5% pada rentang waktu 2015-2018, namun terjadi penurunan target ekspor yang cukup signifikan pada 2019 sebesar 41%. Target produksi dan DMO batubara yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Kementerian ESDM dalam menyusun persentase minimal penjualan batubara dalam negeri yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri ESDM tiap tahunnya.

(36)

36

Pada periode 2010-2015, produksi batubara Indonesia mengalami kenaikan dan penurunan. Pada periode ini pula, kebijakan DMO batubara telah mulai diterapkan sejak 2010 dengan bentuk Keputusan Menteri ESDM yang mengatur perkiraan kebutuhan dan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Adapun rencana produksi dan realisasi produksi batubara Indonesia beserta rencana DMO dan realisasi DMO batubara Indonesia dari tahun 2010 hingga 2015 dapat dilihat pada Gambar III.2 berikut.

Pada grafik tersebut, terlihat bahwa pada periode 2010 hingga 2015, realisasi produksi batubara Indonesia terus mengalami peningkatan dan penurunan dengan puncak produksi terjadi pada tahun 2013. Mayoritas batubara digunakan untuk ekspor batubara, dengan rata-rata 77% dari porsi produksi batubara nasional. Hal tersebut terimbas oleh pengaruh fluktuasi harga batubara dimana terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada periode 2009 hingga 2011. Perkembangan harga batubara Indonesia dalam bentuk Harga Batubara Acuan (HBA) selama 2008 hingga 2015 dapat dilihat pada Gambar III.3 berikut.

(37)

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa setelah mengalami peningkatan harga hingga 2011, untuk tahun selanjutnya terdapat tren penurunan harga hingga mencapai 60,73 USD/ton pada 2015. Namun hingga 2014, ekspor batubara tetap meningkat, hal ini dikarenakan adanya pengaruh peningkatan permintaan batubara dari Tiongkok, India, Jepang dan sebagainya.

Menurut Gambar III.2, target DMO batubara diproyeksikan terus meningkat tiap tahunnya. Namun, realisasi konsumsi batubara tersebut mayoritas tidak mencapai target. Hanya pada tahun 2010 target DMO batubara tercapai, sisanya dari tahun 2011 hingga 2015, target DMO tersebut tidak tercapai. Pengguna batubara dalam negeri didominasi oleh sektor pembangkit listrik. Selain penggunaannya dalam bahan bakar pembangkit listrik, pengguna batubara juga berasal dari sektor industri yang menggunakan batubara sebagai bahan baku maupun bahan bakar, yaitu di industri peleburan besi dan baja, industri semen, pupuk, pulp, tekstil, kimia dan lainnya. Pembahasan rinci mengenai target yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM tentang DMO Batubara dan pencapaian konsumsi tiap pemakai batubara dalam kebijakan DMO tersebut dijabarkan dalam penjelasan berikut.

(38)

38

Sebagai tindak lanjut implementasi Peraturan Menteri ESDM No. 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri, pada 19 April 2010 Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1604 tahun 2010 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2010. Permen ESDM tersebut juga diatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2010 yaitu sebanyak 41 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 36 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 6 perusahaan KP atau IUP. Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri (domestic end user) oleh pemakai batubara tahun 2010 adalah sebesar 64,96 juta ton.

Adapun rincian daftar pemakai batubara domestik Indonesia yang dilengkapi dengan volume serta kualitas batubara untuk tahun 2010 beserta realisasi konsumsinya adalah sebagai berikut.

Pada tahun ini, hampir keseluruhan target konsumsi batubara tiap pemakai batubara tidak terpenuhi, kecuali pada industri metalurgi.

Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2360 K/30/MEM/2010 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2011. Kepmen ESDM tersebut diatur mengenai

(39)

persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2011 yaitu sebanyak 53 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 42 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 10 perusahaan KP atau IUP. Menurut Kepmen tersebut, Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri (domestic end user) oleh pemakai batubara tahun 2010 adalah sebesar 78,97 juta ton . Namun pada 1 Desember 2011 terbit Kepmen ESDM No. 1334.K/32/DJB/2011 yang merevisi target konsumsi batubara domestik menjadi 60,15 juta ton.

Adapun rincian daftar pemakai batubara domestik Indonesia yang dilengkapi dengan volume serta kualitas batubara untuk tahun 2011 beserta realisasi konsumsinya adalah sebagai berikut.

(Sumber: Direktorat Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, KESDM 2016)

Melalui Kepmen ESDM No. 1334.K/32/DJB/2011, terdapat revisi target konsumsi pada konsumsi batubara dari target DMO yang telah ditetapkan sebelumnya pada Keputusan Menteri ESDM No. 2360 K/30/MEM/2010. Revisi tersebut dilakukan pada target konsumsi batubara oleh PLTU PT PLN (Persero) dikarenakan mundurnya Commercial Operating Date beberapa PLTU yang tergabung pada Proyek PLTU 10.000 MW. Selain PLTU PT PLN (Persero), pemakai batubara lainnya yang tidak memenuhi target konsumsi adalah industri semen dan industri tekstil. Industri semen hanya menyerap 5,87 juta ton atau 66% dari target konsumsi 8,87 juta ton. Industri tekstil juga tidak mampu mencapai target dengan realisasi pemakaian batubara 0,189 juta ton atau hanya 10% dari target konsumsinya

(40)

40

sekitar 1,97 juta ton. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kesalahan prediksi perhitungan kebutuhan batubara dari sektor industri, atau tidak terpenuhinya kebutuhan industri semen dan tekstil akan batubara dengan kualitas tertentu (4.000 - 6.200 kkal/kg, gar dan 5.000 - 6.500 kkal/kg, gar) dari sejumlah perusahaan yang diwajibkan melaksanakan DMO Batubara. Dengan demikian, total realisasi konsumsi batubara domestik dari beberapa pemakai batubara tersebut adalah 51,35juta ton. Jumlah ini tidak dapat mencapai target baik dari DMO awal yaitu 78,97 juta ton maupun target pada revisi DMO batubara yaitu sebesar 60,15 juta ton.

Pada 25 Agustus 2011, Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1991 K/30/MEM/2011 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2012 yang mengatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2012 yaitu sebanyak 63 perusahaan (40 PKP2B, 1 BUMN dan 22 perusahaan KP atau IUP. Perkiraan kebutuhan batubara domestik tahun 2012 adalah sebesar 78,97 juta ton. Pada 31 Oktober 2012, Kementerian ESDM menerbitkan Kepmen ESDM No. 909.K/32/DJB/2012 sebagai revisi Kepmen sebelumnya yang mengubah target perkiraan kebutuhan batubara domestik menjadi 67,25 juta ton. Rincian target dan realisasi konsumsi batubara domestik untuk tahun 2012 adalah sebagai berikut.

(41)

Melalui Kepmen ESDM No. 909.K/32/DJB/2012, terdapat revisi target konsumsi pada konsumsi batubara dari target DMO yang telah ditetapkan sebelumnya pada Keputusan Menteri ESDM No. 1991 K/30/MEM/2011. Revisi tersebut dilakukan dikarenakan adanya beberpa PLTU yang belum beroperasi pada tahun 2012 dan adanya kenaikan/penurunan target produksi beberapa perusahaan tambang batubara. Revisi terutama pada target konsumsi batubara oleh PLTU PT PLN (Persero) dikarenakan mundurnya Commercial Operating Date beberapa PLTU yang seharusnya beroperasi pada tahun 2012. Pemakaian batubara PLTU PT PLN (Persero), sebesar 37,2 juta ton pada tahun 2012 sesuai dengan revisi target DMO, namun tidak dapat mencapai target DMO awal sebesar 57,2 juta ton.

Realisasi konsumsi batubara pada tahun 2012 untuk beberapa pemakai batubara lainnya, secara mayoritas memenuhi revisi target DMO, kecuali pada industri semen dan tekstil. Industri semen hanya menyerap 0,32 juta ton dari target konsumsi 8,4 juta ton. Industri tekstil juga tidak mampu mencapai target dengan realisasi pemakaian batubara 0,3 juta ton atau hanya 15% dari target konsumsinya sekitar 1,93 juta ton, begitu pula dengan realisasi konsumsi batubara yang tidak mencapai target terjadi pada sektor industri pulp, dengan tingkat penyerapan batubara sebesar 0,6 juta ton serta sektor industri pupuk, dengan tingkat konsumsi batubara sebesar 0,87 juta ton dari target konsumsi 1,3 juta ton. Dengan demikian, total realisasi konsumsi batubara domestik dari beberapa pemakai batubara yang terdaftar pada kebijakan DMO tahun 2012 tersebut adalah 55 juta ton. Jumlah ini dapat tidak dapat mencapai target DMO awal yaitu sebesar 82,07 ton maupun revisi target DMO batubara tahun 2012 sebesar 67,25 juta ton.

(42)

42

Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2934 K/30/MEM/2012 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2013 pada 8 Oktober 2012. Dalam Kepmen ESDM tersebut diatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2013 yaitu sebanyak 71 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 46 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 25 perusahaan KP atau IUP. Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri (domestic end user) oleh pemakai batubara tahun 2013 adalah sebesar 74,32 juta ton. Pada 24 Desember 2013, KESDM menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 4023 K/30/MEM/2013 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri ESDM No. 2934 K/30/MEM/2012 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2013. Total target DMO batubara setelah direvisi adalah senilai 72,07 juta ton.

Adapun rincian daftar kebutuhan pemakai batubara domestik Indonesia beserta kualitas batubara yang digunakan, target, revisi target dan realisasi konsumsi batubara untuk tahun 2013 adalah sebagai berikut.

Melalui Kepmen ESDM No. 4023 K/30/MEM/2013, terdapat revisi target konsumsi pada konsumsi batubara dari target DMO yang telah ditetapkan sebelumnya pada Keputusan Menteri ESDM No. 2934 K/30/MEM/2012. Revisi tersebut dilakukan dikarenakan

(43)

adanya penurunan target konsumsi batubara PLTU PT.PLN akibat beberapa PLTU yang belum beroperasi pada tahun 2013 dan adanya perubahan jumlah produksi beberapa perusahaan tambang batubara. Dengan demikian pencapaian pemakaian batubara PLTU pada tahun 2013 sesuai dengan revisi target DMO.

Realisasi konsumsi batubara pada tahun 2013 untuk beberapa pemakai batubara lainnya, secara mayoritas memenuhi revisi target DMO, kecuali pada industri semen dan tekstil. Industri semen hanya menyerap 7,19 juta ton atau 73% dari target konsumsi 9,8 juta ton. Industri tekstil 1,46 juta ton atau hanya 76% dari target konsumsinya sekitar 1,93 juta ton, begitu pula dengan industri pulp kertas yang hanya mencapai realisasi produksi 0,4 juta ton. Industri yang dapat mencapai target konsumsi adalah industri pupuk dengan pencapaian 0,84 juta ton. Dengan demikian, total realisasi konsumsi batubara domestik dari beberapa pemakai batubara yang terdaftar pada kebijakan DMO tahun 2013 tersebut adalah 72,07 juta ton. Jumlah ini dapat mencapai revisi target DMO batubara tahun 2013 sebesar 72,01 juta ton, namun tidak dapat mencapai target DMO sebelumnya yaitu sebesar 74,32 juta ton.

Pada 30 Juli 2013, Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2901K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2014. Kepmen ESDM tersebut mengatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2010 yaitu sebanyak 85 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 50 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 34 perusahaan IUP. Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri tahun 2014 adalah sebesar 95,55 juta, dengan rincian sebagai berikut.

(44)

44

Pada tahun 2014 ini, target DMO adalah sebesar 95,55 juta ton, namun pencapaiannya hanya sebesar 73,26 juta ton. Hampir semua industri tidak mencapai target konsumsinya, kecuali pada industri pulp. Pencapaian target konsumsi PLTU sebesar 63,05 juta ton, dari target konsumsi sebesar 76,7 juta ton; pencapaian target konsumsi industri metalurgi adalah sebesar 0,3 juta ton dari target 3,23 juta ton; pencapaian target konsumsi industri semen sebesar 7,19 juta ton dari target 9,8 juta ton; pencapaian target konsumsi industri tekstil adalah sebesar 1,46 juta ton dari target 2,06 juta ton dan pencapaian industri pupuk adalah sebesar 0,4 juta ton dati target 1,16 juta ton. Satu-satunya industri yang mampu memenuhi target DMO adalah industri kertas dengan konsumsi sebesar 0,86 juta ton dari targetnya sebesar 0,6 juta ton.

Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2805 K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2013. Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri oleh pemakai batubara tahun 2015 adalah sebesar 92,31 juta ton. Permen ESDM tersebut juga diatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2015 yaitu sebanyak 82 perusahaan tambang batubara ( 47 PKP2B, 1 BUMN dan 34 IUP). Rincian target dan realisasi DMO batubara tahun 2015 adalah sebagai berikut.

(45)

Rekapitulasi keberjalanan kebijakan DMO Batubara sejak 2010 hingga 2015 dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut.

(46)

46

Berdasarkan grafik dan tabel keberjalanan kebijakan DMO selama 2010-2015 tersebut, dapat dilihat profil konsumsi batubara tiap pemakai. Pemakaian batubara oleh PLTU, baik oleh PT PLN, IPP (Independent Power Producer/PLTU Swasta), merupakan pemakaian batubara dengan porsi terbesar untuk tiap tahun, yaitu dengan rata-rata 87% dari total realisasi konsumsi batubara domestik. Namun pemakaian batubara oleh PLTU ini sering menyebabkan adanya revisi pada target DMO, terutama pada tahun 2011 hingga 2013. Revisi ini disebabkan mundurnya COD (Commercial Operating Date) PLTU-PLTU yang tergabung dalam proyek pembangkit 10.000 MW. Hal tersebut menyebabkan target awal DMO PLTU sering tidak tercapai. Dengan demikian, salah satu indikasi awal penyebab tidak terrealisasinya target DMO batubara adalah dari sisi COD PLTU. Selanjutnya, analisis mendalam mengenai isu/permasalahan lainnya yang mempengaruhi ketercapaian target DMO tiap tahun akan dibahas pada Bab VI.

(47)

Peramalan adalah proses prediksi masa depan berdasarkan data yang telah didapat dari masa lampau hingga saat ini. Secara umum, ada dua jenis peramalan yaitu peramalan kualitatif dan peramalan kuantitatif. Peramalan kualitatif adalah teknik peramalan subjektif, berdasarkan pendapat dan judgement narasumber dan ahli, yang cocok digunakan jika data masa lalu tidak tersedia. Beberapa contoh metode peramalan kualitatif adalah metode Delphi, riset pasar dan analogi siklus hidup historis. Peramalan kuantitatif adalah teknik peramalan menggunakan model untuk menghitung prediksi data masa depan berdasarkan historis data masa lalu yang tersedia. Contoh peramalan kuantitatif adalah causal forecasting dan time series forecasting. Causal forecasting adalah peramalan dengan menggunakan hubungan sebab akibat satu atau beberapa variabel yang mempengaruhi perubahan data historis. Time series forecasting adalah peramalan dengan melihat pola dan perilaku data historis dan menjadikannya dasar untuk memprediksi masa depan.

Time series adalah suatu set data pengamatan yang dikumpulkan dalam periode waktu tertentu (Chatfield, 2000). Secara konvensi, ada dua tipe data time series yaitu continous dan discrete. Contoh data continous time series adalah pengamatan aktivitas organ tubuh melalui suatu alat rekam medis. Contoh data discrete time series adalah penjualan tiket pesawat yang dihitung dalam orde bulanan. Analisis yang dilakukan pada data time series mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai berikut.

a. Deskripsi dari data yang ada dengan menggunakan ringkasan statistik atau metode grafis.

b. Penentuan jenis model statistik yang sesuai untuk menggambarkan proses generasi data.

c. Untuk melakukan peramalan terhadap nilai data di masa depan.

d. Melakukan fungsi kontrol terhadap proses saat ini sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat.

Analisis dan peramalan time series biasanya melibatkan penentuan model yang sesuai berdasarkan data yang tersedia. Tahapan pembentukan model statistik dalam analisis time series yaitu terdiri dari identifikasi model, estimasi model dan verifikasi model.

(48)

48

Peramalan dengan menggunakan time series menggunakan data numerik historis dengan asumsi pola dan perilaku data yang telah terjadi dapat terus berlanjut di masa depan dan digunakan sebagai landasan untuk melakukan prediksi. Tahapan peramalan dengan menggunakan time series digambarkan pada Gambar IV.1 berikut.

Sebagai tahap awal, setelah dilakukan plot data dalam bentuk grafik terhadap waktu, penting untuk mengetahui karakteristik dan pola data historis yang terjadi. Sifat data yang dimaksud disini yaitu stasioneritas yang merupakan suatu kondisi dimana nilai rataan dan variansi dari suatu set data historis relatif tidak berganti sepanjang waktu pengamatan. Contoh dari data time series yang stasioner dan data time series yang non stasioner adalah seperti yang ditampilkan pada Gambar IV.2 berikut.

(49)

Adapun pola dari suatu data time series dapat dijelaskan dengan penjelasan komponen-komponen variasi pola data yang sering muncul pada suatu set data time series , yaitu sebagai berikut.

a. Musiman (seasonal)

Variasi musiman merupakan munculnya pola variasi data pada periode tertentu akibat faktor musiman baik yang diamati dalam jangka waktu mingguan, bulanan, tiap triwulan atau caturwulan (quarterly). Variasi musiman terjadi dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Gambar berikut merupakan contoh data dengan pola seasonal.

(50)

50 b. Tren (trend)

Tren merupakan perubahan yang terjadi secara jangka panjang yang mempunyai kecenderungan meningkat, menurun ataupun konstan.

c. Siklus (cyclical)

Variasi berupa pengulangan siklus yang terjadi pada periode lebih dari satu tahun, dan tidak dalam suatu periode pengulangan yang pasti. Gambar berikut merupakan contoh data dengan pola cyclical, dengan periode pengulangan yang tidak sama, antara 8-10 tahun.

(51)

d. Irregullar component

Variasi selain tren, musiman dan siklus yang bersifat tidak beraturan dan acak.

Suatu data time series dapat memiliki satu, dua atau semua jenis pola tersebut. Gambar berikut merupakan contoh plot data historis yang memiliki semua pola data.

Tahapan peramalan selanjutnya setelah pola data diketahui, adalah pemilihan teknik peramalan. Beberapa teknik peramalan time series yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.

(52)

52 1. Linear Regression

Regresi Linear adalah model yang menyatakan hubungan antara suatu parameter y dan parameter x. Hubungan antara kedua parameter tersebut akan dinyatakan dalam suatu bentuk persamaaan y = ax+c, dengan c adalah suatu nilai intercept dengan sumbu y. Antara kedua parameter tersebut dapat dilihat hubungan ketergantungannya melalui nilai R2. Jika nilai R2 bernilai mendekati 1, artinya kedua parameter saling berhubungan. Teknik ini cocok digunakan untuk data yang berpola tren meningkat atau menurun.

2. Moving Average

Teknik moving average adalah teknik peramalan dengan menghitung rata-rata dari nilai pada periode sebelumnya. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.

𝐴𝑑=

𝐷𝑑+ π·π‘‘βˆ’1+ π·π‘‘βˆ’2+ β‹― + π·π‘‘βˆ’π‘+1

𝑁

Dengan At adalah nilai peramalan, Dt adalah data aktual periode saat ini, Dt-1 adalah data aktual 1 periode sebelumnya, dan seterusnya. Sementara N adalah banyaknya periode yang dipertimbangkan dalam peramalan. Contoh, jika N adalah 3 maka yang dihitung adalah rataan dari nilai aktual pada 3 periode ke belakang. Moving average merupakan metode yang cocok diterapkan pada data yang berperilaku acak.

3. Seasonal Index

Teknik ini cocok diterapkan pada data dengan pola seasonal (musiman). Seasonal index disusun dengan cara menentukan periode musiman, lalu menghitung nilai rataan data pada periode musiman tersebut. Selanjutnya dihitunga nilai rataan dari semua periode waktu. Seasonal index ditentukan dengan persamaan berikut.

π‘†π‘’π‘Žπ‘ π‘œπ‘›π‘Žπ‘™ 𝐼𝑛𝑑𝑒π‘₯ = π‘†π‘’π‘Žπ‘ π‘œπ‘›π‘Žπ‘™ π΄π‘£π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘”π‘’ π‘‚π‘£π‘’π‘Ÿ π‘‘π‘–π‘šπ‘’ π‘Žπ‘£π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘”π‘’βˆ— 100

Nilai seasonal index tersebut berlaku sama untuk tiap periode musiman. Peramalan dengan menggunakan seasonal index dilakukan dengan cara mengalikan nilai forecast sebelumnya dengan perbandingan seasonal index kedua data tersebut. 4. Exponential Smoothing

Metode pemulusan ini memberikan bobot yang lebih besar pada data periode baru dan bobot lebih kecil pada data di periode awal. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.

(53)

Dengan At merupakan nilai forecast, Dt merupakan data aktual periode saat ini dan Dt-1 merupakan data periode sebelumnya, dan a adalah smoothing parameter yang bernilai antara 0 dan 1. Pemilihan smoothing parameter akan mempengaruhi bobot yang diberikan pada data periode baru. Teknik ini cocok digunakan untuk data time series yang memiliki kecenderungan pola acak atau campuran.

5. Time Series Decomposition

Dekomposisi dari suatu set data time series merupakan deskripsi dari variasi dan pola dari suatu set data yang tersedia. Beberapa jenis variasi dan pola tersebut adalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti pola data trend, pola data seasonal dan pola data irregular. Madriakis et. al (1998) memberikan representasi umum dari suatu model dekomposisi time series yaitu sebagai berikut.

π‘Œπ‘‘ = 𝑓(𝑆𝑑, 𝑇𝑑, 𝐸𝑑)

Dimana Yt adalah data aktual pada periode t, St adalah seasonal index pada periode t, Tt adalah trend cycle component pada periode t, dan Et adalah irregular component pada periode t. Terdapat 2 tipe dekomposisi yaitu additive dan multiplicative. Additive decomposition mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut.

π‘Œπ‘‘ = 𝑆𝑑+ 𝑇𝑑+ 𝐸𝑑

Additive decomposition cocok diterapkan pada data yang perilaku musimannya relatif tetap dan tidak berganti terhadap waktu. Sementara itu, jika perilaku musiman data berfluktuasi terhadap waktu, metode yang cocok ditetapkan adalah multiplicative decomposition, yang dapat merespons fluktuasi data tersebut. Persamaan multiplicative decomposition adalah sebagai berikut.

π‘Œπ‘‘ = π‘†π‘‘βˆ— π‘‡π‘‘βˆ— 𝐸𝑑

Penentuan teknik peramalan terbaik didasarkan pada penentuan akurasi peramalan tiap teknik yaitu dengan membandingkan peramalan data hasil forecast dengan data historis. Model peramalan terbaik akan dipilih berdasarkan tingkat akurasi tiap model yang dilihat dari tingkat error tiap teknik peramalan (akurasi statistik). Semakin baik suatu model peramalan, maka semakin kecil error-nya terhadap data aktual. Parameter yang umum digunakan dalam penentuan akurasi statistik tiap teknik peramalan adalah sebagai berikut.

Gambar

Gambar I.3. Alur pikir kajian
Gambar berikut menampilkan grafik proyeksi pertumbuhan kebutuhan batubara sektor  industri non PLTU periode 2016-2019

Referensi

Dokumen terkait