1
TIGA SUMBER ANCAMAN PALING BERBAHAYA TERHADAP BALI
I Wayan Pastika
wayanpastika59@yahoo.com
Ancaman terhadap Bali dapat dikategorikan sebagai ancamanan jangka pendek dan
ancaman jangka panjang. Ancaman kategori pertama datang dari kekuatan luar, sementara
ancaman kategori kedua datang dari dalam. Terorisme merupakan ancaman mematikan yang
datang dari luar Bali. Pasukan pembunuh yang berideologi impor ini telah mampu
memporakporandakan tatanan ekonomi, politik, sosial, dan keamanan terhadap suatu negara,
tetapi dampaknya bersifat jangka pendek. Lihat, misalnya, pengeboman Bali 12 Oktober 2002
dan berulang pada tahun 2005, serta pengeboman Gedung Pusat Perdagangan Dunia di New
York pada 11 September 2001—kondisi perekonomian dan suhu politik dapat dipulihkan tanpa
banyak dihantui oleh peristiwa pengeboman tersebut. Namun, ancaman terbesar dan berakibat
permanen justru datang dari dalam Bali sendiri, bukan dari terorisme. Ada tiga sumber ancaman
dari dalam: kerusakan lingkungan, ledakan jumlah penduduk, dan praktek tradisi yang kaku dan
ketat.
Kerusakan lingkungan sebagai ancaman terbesar
Pertama, kerusakan lingkungan yang terjadi di Bali memang bukan sepenuhnya
disebabkan oleh ulah penghuni pulau ini, tetapi secara lebih dahsyat disebabkan oleh evolusi
alam yang terjadi, yang secara universal juga disebabkan oleh ulah manusia. Pantai-pantai di
Bali, misalnya, sebagian besar telah mengalami abrasi yang dahsyat sehingga menenggelamkan
wilayah daratan pantai dalam lebar ratusan meter, terutama dalam kurun waktu belasan tahun
2
terjadi di Bali, tetapi juga terjadi di pulau-pulau lain atau di negara-negara lain. Pulau-pulau kecil
di wilayah Pasifik Selatan, misalnya, mengalami nasib serupa, bahkan keadaannya lebih dahsyat
lagi, karena beberapa pulau kecilnya justru tenggelam sama sekali.
Bali Post, beberapa tahun lalu, telah menampilkan foto-foto udara yang memperlihatkan
betapa ukuran pulau Bali telah mengecil secara signifikan. Penyusutan wilayah daratan ini terus
berlangsung sehingga dipastikan bahwa ukuran pulau Bali akan terus mengecil. Penyebab
langsung dari abrasi pantai Bali ini, tentu bukan datang dari kegiatan pengurugan sisi timur pulau
Serangan yang dilakukan sebelumnya dan bukan pula karena kegiatan penimbunan batu kapur
pembangunan jalan tol di sepanjang pantai Benoa, melainkan karena peningkatan permukaan air
laut sebagai akibat dari mencairnya es di antartika. Proses mencairnya es di antartika tidak
terlepas dari peningkatan suhu bumi yang juga disebabkan oleh ulah manusia, tetapi manusia
Bali tidak mempunyai peran yang cukup berarti dalam menggandakan panas bumi.
Ancaman abrasi pantai merupakan ancaman teramat besar terhadap Bali karena secara
perlahan-lahan wilayah perairan lautnya akan semakin meluas, sementara wilayah dataran
rendahnya semakin mengecil. Jika Bali kehilangan banyak tanah pijakan, di masa depan, masih
mungkinkah dilakukan pemindahan penduduk dalam jumlah besar ke pulau lain, seperti yang
selama ini dilakukan melalui program transmigrasi. Ancaman abrasi pantai yang dahsyat ini
harus dicarikan pemecahan nyata dan dilakukan secara sistematis, terukur, dan
berkesnambungan. Usaha kecil-kecilan ke arah itu memang telah dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten dan Kota, misalnya, Pemerintah Kota Denpasar telah membuat tanggul yang kuat
sepanjang pantai Padang Galak dan Sanur; Pemerintah Gianyar secara setengah-setangah juga
3
berkesinambanungan dan hanya menjangkau sebagian kecil pantai. Pemerintah Kabupaten:
Klungkung, Karangasem, Buleleng, Jembrana, dan Tabanan semestinya juga melakukan langkah
serupa. Cara inilah yang paling nyata dapat dilakukan, tetapi harus dibangun dengan kekuatan
kontruksi jangka panjang seperti yang telah dilakukan di negara-negara lain.
Dalam kaitan dengan perlindungan wilayah pantai Bali, keberadaan hutan pantai,
misalnya, pemeliharaan hutan bakau harus terus diperluas dengan penanaman pohon bakau yang
lebih banyak, bukan dengan memberi izin usaha di atasnya, walaupun dengan dalih pemeliharaan
lingkungan. Tugas investor yang utama memang mencari untung, tetapi jika mereka mempunyai
dana sosial untuk pemeliharaan lingkungan, sebaiknya dana itu dihibahkan secara langsung
untuk pemeliharaan lingkungan, bukan mencari keuntungan ekonomi dari lingkungan itu.
Kedua, peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali telah menyebabkan
eksploitasi alam dan budaya secara berlebihan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Dewasa ini
Bali yang memiliki luas 5.632,8 kilometer persegi dihuni oleh penduduk yang melebihi jumlah
ideal. Daya dukung idealnya hanya 1,5 juta jiwa, tetapi dihuni oleh 4,1 juta jiwa. Jumlah tiga kali
lipat dari daya dukung ideal ini, tidak termasuk sekitar empat juta wisatawan dalam dan luar
negeri yang berlibur ke Bali setiap tahunnya (Sensus Penduduk Bali, 2010). Kenyataan
demografis seperti ini menjadikan Bali sebagai salah satu wilayah terpadat di dunia sehinga alih
fungsi lahan tidak terhindarkan. Manusia Bali dengan tradisi pertanian yang kuat telah terbiasa
hidup dengan pola yang dikendalikan oleh kekuatan alam: hujan, angin, hama, tipe tanah, jenis
tanaman, musim, dan berbagai tipe upacara ritual. Transformasi dari tradisi bertani menjadi
pelaku industri pariwisata tentu tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat apabila tidak ada
4
karena proses pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pasca panen diatur
berdasarkan kebutuhan petani baik kelompok maupun perorangan. Tradisi waktu yang lentur ini
tentu sulit bisa berterima pada dunia pariwisata yang lebih mengutamakan layanan terukur:
ketepatan waktu, ketepatan mutu, ketepatan layanan, dan ketepatan etika. Orang Bali bisa jadi
memiliki kelebihan pada ketepatan etika karena mereka meiliki keramahan yang tulus,
kedamaian hati, kecerdasan emosi, dan kelemah-lembutan, tetapi dalam urusan tiga ketapatan
pertama tersebut mereka menghadapi banyak kendala karena interferensi budaya Bali yang
membelenggu. Dalam kondisi inilah kehadiran pendatang diperlukan oleh lapangan pekerjaan
karena memang sejatinya pekerjaan yang membutuhkan ketepatan waktu, target penyelesaian
yang pasti dan mutu yang jelas tidak terpenuhi oleh tenaga kerja yang banyak libur karena
urusan adat. Jangankan menjadi manajer hotel berbintang, mengisi pekerjaan biasa saja harus
bergantung pada pendatang. Misalnya, saat pendatang harus mudik massal, tidak ada tempat
untuk mencukur rambut dan membeli sebagian kebutuhan pokok. Ketergantungan ini merupakan
ancaman terhadap orang Bali, tetapi akar ancaman bukan datang dari pendatang, melainkan dari
orang Bali sendiri: keterbelengguan tradisi, keterbatasan variasi profesi, dan ketergantungan pada
aset keluarga sebagai sumber pembiayaan keluarga dan upacara besar.
Ketiga, kekakuan dan keketatan menjalankan tradisi telah memaksa sebagaian besar
orang Bali untuk tetap bertahan di dalam lingkungan desa adat sehingga tidak berkesemptan
memutakhirkan pengetahuan dan pengalamannya dalam mengantisipasi perkembangan terkini.
Salah satu bentuk tradisi yang kaku dan ketat adalah pelaksanaan upacara besar baik di tingkat
rumah tangga maupun di tingkat desa. Menurut pengamatan penulis, upacara-upacara ritual
5
adatnya, alih-alih muatan filosofi agamanya. Dari sisi ekonomi, memang benar anggapan
sejumlah cendekiawan Bali yang menyatakan bahwa pengeluaran biaya upacara dapat membantu
menghidupkan perekonomian Bali. Namun, harus diingat bahwa sebagian sumber pembiayaan
tersebut bukan sepenuhnya datang dari pendapatan profesi, melainkan terjadi dari penjualan aset
keluarga, pemotongan dana kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan. Warga desa
yang miskin tidak memiliki kemampuan menepikan wacana tradisi apalagi menolaknya sehingga
mereka tidak pernah bangkit dari keterpurukan, sementara para tokoh desa, dengan dukungan
penuh dari Brahmana, akan merasa ketokohannya teruji dengan terselenggaranya upacara besar.
Dalam kaitan inilah pendapat Clifford Geertz (1980) menjadi sangat gayut yang menyatakan
bahwa sejatinya Bali merupakan sebuah negara, tetapi negara panggung di mana para kesatria
puri berlaku sebagai impresario atau penasehat, pendeta sebagai sutradara, dan masyarakat
kebanyakan sebagai pemain dan sekaligus penonton. Segala bentuk sumber daya dikerahkan
untuk menciptakan panggung megah sebagai obsesi budaya, tetapi dalam keseharian panggung
megah tersebut hanya menyisakan ketimpangan sosial dan kebanggaan status semu.
Akhirnya, alam dan tradisi Bali tidak dapat terus dieksploitasi tanpa langkah-langkah
pemulihan dan penyelamatan. Tanpa tindakan pemulihan, kedua unsur ini akan tetap menjadi
ancaman yang pada gilirannya berpotensi meniadakan penghuni aslinya. Ketika penghuni asli
mulai terdesak, tidak ada alasan mereka untuk melakukan pengusiran terhadap pendatang karena
pendatang juga mempunyai peran positif.