• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pati gandum yang digunakan pada kegiatan penelitian, diperoleh melalui. proses ekstraksi dengan menghilangkan sebanyak munglun komponen protein dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pati gandum yang digunakan pada kegiatan penelitian, diperoleh melalui. proses ekstraksi dengan menghilangkan sebanyak munglun komponen protein dan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

1V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Pati Gandum

Pati gandum yang digunakan pada kegiatan penelitian, diperoleh melalui proses ekstraksi dengan menghilangkan sebanyak munglun komponen protein dan komponen non pati lainnya (modifikasi metode Kearsley and Dziedzic, 1995). Hasil ekstraksi pati gandum dengan menggunakan metode di atas, menghasilkan rendemen sebesar 22,OO %. Adapun komposisi kimia pati gandum yang diperoleh disajikan pada Tabel 9.

Tabt:l9. Komposisi kimia pati gandum hasil ekstraksi

*

Kearsley and Dziedzic (1995)

Salah satu modifikasi proses ekstraksi yang dilakukan adalah adanya penambahan NaCl sebanyak 2,5 % dari berat tepung. Penambahan NaCl akan memudahkan dan menyempurnakan proses pemisahan pati karena sifat-sifat fisik gluten yang menjadi lebih baik. Perbaikan sifat fisik gluten tersebut, disebabkan lebih kokohnya matriks gluten yang terbentuk dengan adanya penambahan NaCI.

Adapun modifikasi lainnya dilakukan dalam bentuk pengecilan butiran pati hingga berukuran kurang dari 50 mesh. Modifikasi didasarkan pada hasil penelitian

Standar (% bk)*

14,OO - -

- - -

-

0,30 Rlrameter

K.adar air Kadar pati Kadar protein

I

Hasil Pengujian (% bk)

Rata-rata 13,76 96,78 1,19 Ulangan I

13,91 96,05 1,Ol

Ulangan I1 13,61 97,5 1 1,37

(2)

45

Triwiyono, et ul. (1997), yang menunjukkan bahwa ukuran butiran pati akan mencntukan kesempurnaan pembentukan suspensi pati pada proses hidrolisis pati.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dlbandingkan dengan komposisi pati gandum menurut Kearsley and Dziedzic (1995), pati gandum hasil ekstraksi cukup memenuhi syarat. Lebih tingginya kadar protein pati gandum hasil ekstraksi, diduga karena perbedaan komposisi tepung terigu yang &@an serta proses pemisahan pati clan protein selama kegiatan penelitian yang dilakukan secara manual, sehingga masih ada komponen protein yang tidak terpisah sempurna.

4.2 IPengujian Aktivitas Enzim a-amylase

Pengujian aktivitas enzim a-amylase dilakukan berdasarkan metode Rahman (1992), dan dlnyatakan sebagai aktivitas volumetrik (unit/ml). Salah satu alasan pemllihan metode adalah kesesuaian prosedur dengan bentuk sediaan enzim yaitu dalmn bentuk cair. Jumlah pati yang mampu dihidrolisis oleh enzim, ditentukan secara tidak langsung dengan mengukur kandungan pati sisa setelah proses pengujian.

Penentuan kandungan pati sisa dilakukan berdasarkan kurva standar pati seperti dapat dilihat pada Gambar 10.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa enzim a-amylase yang digunakan merr~iliki aktivitas volumetrik sebesar 201,25 unit/ml. Dibandingkan dengan aktivitas mahima1 enzim a-amylase yang telah dimurnikan menurut Rahman (1992) yaitu sebesar 504 unit/ml, maka enzim yang digunakan memiliki aktivitas yang lebih rendah. Lebih rendahnya aktivitas enzim ini, diduga karena perbedaan kemurnian

(3)

enzim, serta enzim yang digunakan mungkin sebelumnya telah mengalami proses penyimpanan dan bukan merupakan sediaan baru

0.0 0.2 0.4 0.6

Kadar pati (96)

Gambar 10. Kurva standar pati untuk penentuan aktivitas enzim a-amylase

4.3 Pengamatan Struktur Membran dan Prinsip Pemisahan Sampel

Membran utama yang digunakan pada kegiatan penelitian adalah membran milipre tipe PLAC dengan nilai MWCO (Molecular Welghl Cut Ofj? 1000 dan tipe PLBC dengan nilai MWCO 3000. Membran tersebut merupakan membran selulosa (regenerated cellulose) asimetrik yang terdiri dari dua lapisan utama berbeda.

Lapisan membran bagian atas merupakan lapisan utama yang secara visual tekstumya lebih licin, mengkilap (glossy) dm bersifat hidrofobik, karena adanya lapisan gliserin pada pemukaan membran. Adapun lapisan membran bagian bawah merupakan lapisan propilen support, yang secara visual lebih mudah dibedakan karena kurang bersifat hidrofobik, kurang licin, dan tidak mengkilap dibandingkan lapisan utama.

.9dapun prinsip pemisahan sampel adalah proses pemisahan larutan sampel (feed) m e n j d dua fraksi utama yaitu fraksi yang tidak dapat melewati membran (retenfate)

(4)

47

berupa padatan yang akan tertahan pada permukaan membran, dan fraksi utama yang bersifat dapat melewati membran (permeate) berupa larutan yang mengandung padatan dengan BM lebih rendah dibandingkan MWCO membran. Berdasarkan prinsip pemisahan sampel tersebut, maka proses separasi membran selama kegiatan penelitian hanya dapat digunakan untuk memisahkan komponen dengan BM lebih besa~: dari BM senyawa yang diharapkan.

4.4 Pengujian Selektifitas Membran

'Uji selektifitas membran dilakukan untuk menentukan tipe membran yang dapat digunakan pada kegiatan penelitian utama. Adapun membran yang diuji selektifitasnya adalah membran dengan MWCO 1000 dan 3000. Uji selektifitas menibran dl atas, dllakukan berdasarkan persen rejeksi dari luas area kromatografi (metode normalisasi) dengan menggunakan maltodekstrin standar sebagai sampel pada proses pemisahan. Hasil uji selektifitas membran MWCO 1000 dan 3000 dapat dilihat pada Tabel 10.

IBerdasarkan hasil uji selektifitas dapat dilihat bahwa hanya membran dengan MWCO 1000 yang memenuhi syarat untuk digunakan pada kegiatan penelitian utan~a. Sedangkan membran MWCO 3000, tidak dapat dlgunakan karena kemampuannya untuk menolak (rejected) oligosakarida dengan DP > 9 relatif amat rendah (64,14 %).

:Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa membran MWCO 1000 mampu men~~lak secara sempurna senyawa oligosakarida dengan DP > 9, seperti dapat dilihat pada Gambar 11, sedangkan membran MWCO 3000 hanya memiliki

(5)

kemi~mpuan sebesar 64,14 % sehingga sampel hasil pemisahan masih mengandung oligc~sakarida dengan DP > 9

Tabel 10. Hasil uji selektifitas membran MWCO 1000 dan 3000 pada pemisahan senyawa oligosakarida DP 1-2, DP 3-9, dan DP > 9

N WCO m e m h c A Cr % R CA Cr %R CA CT % R

Yo ("h) (%I W) Ch)

17,11 19.02 sO,00 69,W 80,98 m0,OO 13,OS tt * 100,OO

ISeterangan tabel

CA = konsentrasi awal (% kromatograf) CT = konsentrasi akhir (% kromatograf)

% R = persen rejeksi tt = tidak terdeteksi

13erdasarkan nilai MWCO membran (1000), maka secara teoritis sebenamya membran tidak akan mampu melewatkan oligosakarida mulai dari DP 7 (BM 1.134).

Masih adanya oligosakarida dengan DP 7 clan 8 pada sampel diduga berkaitan dengan tolerimsi ukuran pori-pori membran yang masih memungkinkan untuk lewatnya molekul-molekul berukuran lebih kecil dari pori-pori membran. Tidak terdeteksinya senyiiwa oligosakarida dengan DP > 9 pada sampel hasil pemisahan, menunjukkan b a h w membran MWCO 1000 memenuhi syarat untuk digunakan pada kegiatan pene litian.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan prosentase area kromatograf (metode normalisasi) dapat menggambarkan secara kuantitatif jumlah masing-masing komponen oligosakarida dengan berbagai nilai DP. Hal ini antara

(6)

lain terlihat dari teridentifikasinya konsentrasi senyawa asing non sakarida pada kromatograf pada konsentrasi yang sangat rendah (0,50 %).

Kete~mgan Gambar :

Gamklar 1 1. Kromatograf maltodekstrin standar yang telah diseparasi dengan

.

membran

MWCO

1000

-

Nmna Peak

-

!

:I LI :i

(i .I

It

4.5 I'engujian Driving Force Separasi Membran

Sesuai dengan karakteristik membran ultrafiltrasi, maka diperlukan driving force berupa tekanan agar sampel dapat melewati membran. Adapun perlakuan besar

D P a h i d a

1 2 3

J 5 6 7 8

K-wi addm

8PO 11,02 9,88 939 15.70 22.87 17.95 9 9 . a 2.A

Kmvnmi wM.h n o n d h i P/.)

8.04 Il,OS

9,93 9 . a 15.78 22.99 18.04

xu

Io0.M)

K * w ~ ~ a n

1. Sa~yawa membcnuk isonlcr diidcntirbrh JeogM ratu pen);

2. Pad. melode nornlalisasi. luas &run p d konbminan d i r b a h dsn l u r u r a rcnyawa ylng diiiginbn dikonvursikan nxrjadi lo0 %

(7)

50

tekanan yang digunakan sesuai dengan spesifikasi alat dan membran adalah tekanan vakum, 1 atm, 1.5 atm, 2 atrn, dan 2.5 atm. Tekanan vakum diperoleh melalui penggunaan pompa vakum, sedangkan tekanan 1, 1.5, 2, dan 2.5 atm diperoleh melalui pengaliran gas nitrogen.

Hasil percobaan (Tabel l l ) , menunjukkan bahwa semakin kecil nilai MWCO melrtbran maka diperlukan tekanan yang lebih besar agar sampel dapat melewati membran. Diperlukannya tekanan yang lebih besar pada membran dengan MWCO yang: lebih kecil ini, berkaitan dengan semakin kecilnya ukuran pori-pori membran dan liemakin tinggi konsentrasi padatan yang akan ditolak oleh membran.

Hasil percobaan juga menunjukkan bahwa semakin besar tekanan yang digunakan maka permeabilitas membran akan semakin besar. Pada Tabel 11 juga dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan sampel maltodekstrin standar maka pada membran dengan MWCO yang sama, sampel maltodekstrin hasil proses lanjutan memerlukan driving force yang lebih besar agar dapat melewati membran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan tekanan 2,5 atm (tekanan maksimurn opeclsional alat sebesar 2 atm), sampel maltodekstin hasil penelitian belurn dapat melewati membran MWCO 1000.

.4danya perbedaan besarnya tekanan yang diperlukan sebagai driving force antara sampel maltodekstrin standar clan maltodekstrin hasil proses lanjutan diahbatkan perbedaan karakteristik antara keduanya. Perbedaan karakteristik tersebut antara lain akan menyebabkan te jadinya perbedaan resistensi spesifik sampel, specrfic cuke resistunce = a, untuk melewati membran (Toledo, 1991). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang sama, sampel

(8)

maltodekstrin hasil proses lanjutan merniliki viskositas yang lebih besar dibandingkan maltodekstrin standar. Menurut Toledo (1991), pada tekanan yang t e t a ~ ~ fluks membran akan semakin tinggi dengan semakin rendahnya viskositas samld, seperti dapat dilihat pada persamaan (1). Optimasi lebih lanjut terhadap malt.odekstrin hasil penelitian berupa pemanasan sampel dan penurunan konsentrasi sampel (dibahas pada sub bab 4.6.1), menunjukkan bahwa melalui upaya optimasi tersebut sampel dapat melewati membran MWCO 1000 pada tekanan 2 atm

Tabel 1 1. Hubungan antara besar tekanan dan permeabilitas membran MWCO 3000 dan 1000

tidak lewat tidak lewat tidak lewat tidak lewat Besar tekanan

Vakum

Keterangan tabel

Sampel A : Maltodekstrin standar lo%, suhu kamar (29°C -30°C) Sampel B : Maltodekstrin hasil penelitian, konsentrasi

10 %, suhu kamar (29°C -30°C)

1,s atm 2 atm 2,s atm

4.6 Optimasi Proses Separasi Membran

Permeabilitas membran MWCO 3000 (mV cm2 . detik)

4.6.1 Optimasi permeabilitas membran

Sampel A

Permeabilitas membran MWCO 1000 (mV cm2 . detik)

18,OO. 10

"

32,Ol. 10"

mengucur

Menurut Toledo (1991), dua faktor utama yang sangat berpengaruh pada

Sampel B Sampel A

desa~n dan operasional proses separasi membran yang menggunakan tekanan sebagai

tidak lewat

I

tidak lewat

Sampel B

tidak lewat 20,57 . 10 41,lS.

tidak lewat

I

tidak lewat

tidak lewat tidak lewat 6,07. 10.'

tidak lewat tidak lewat tidak lewat

(9)

driving force adalah fluks membran (transmembrane f l u ) dan sifat penolakan metr~bran terhadap padatan (solute rejection properties of membrane)

Fluks membran tersebut dinyatakan dengan persamaan berikut :

dimana dV1dt

A A P

: fluks membran (transmembraneflux) : area filtrasi Cfilter area)

: perbedaan tekanan pada kedua sisi membran (pres.~ure differential across the filrer) : volume filtrat

: viskositas filtrat

: konsentrasi cake (padatan yang akan tertahan pada permukaan membran) pada filtrat

: resistensi spesifik cake (spec@ cake resistance), a = a, A P" untuk padatan yang bersifat compressible : compressibility factor, 1 untuk padatan yang bersifat

compressible sempurna dan 0 untuk padatan yang bersifat uncompressible

Berdasarkan persamaan ini, dapat dlihat bahwa j l u h membran akan berbimding lurus dengan besar tekanan yang digunakan selama proses, tetapi berbmding terbalik dengan viskositas sampel. Hal ini bemrti, flub membran dapat ditingkatkan dengan memperbesar tekanan selama proses atau dengan menurunkan viskositas membran. Menurut Rao (1994), viskositas sampel antara lain akan dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi padatan pada sampel.

Pengaruh temperatur terhadap viskositas menurut Rao (1994), dapat dinyi~takan dengan persamaan Arhenius berikut

dimana :

q a : viskositas apparent

q m : limit viskositas pada infinite shear rate

(10)

Ea : energi aktivasi R : konstanta gas T : temperatur

Menurut Rao (1994), kombinasi pengaruh temperatur dan konsentrasi sampel terhstdap viskositas juga dapat dinyatakan dalam bentuk satu persamaan berikut :

% = a exp (EaRT) C' (3)

dimana :

C : konsentrasi sampel a,

p

: konstanta

Upaya untuk meningkatkan permeabilitas membran terhadap sampel maltodekstrin hasil penelitian pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan JIuks membran. Oleh karenanya, pada kegiatan penelitian peningkatan permeabilitas

membran dilakukan melalui kombinasi perlakuan tekanan, konsentrasi, dan suhu sampel.

Hasil penelitian pa& Tabel 12, menunjukkan bahwa perlakuan penurunan konsentrasi hingga 5 % dan pemanasan sampel pada 45"C, akan menyebabkan membran memiliki permeabilitas yang memadai untuk memisahkan sampel pada tekartan 2 atm.

Meningkatnya kemampuan sampel untuk melewati membran pa& tekanan 2 atm berkaitan dengan tejadinya penurunan viskositas larutan dengan semakin kecilnya konsentrasi dan adanya peningkatan suhu sampel. Walaupun pada tekanan 2,5 a h n membran akan memiliki permeabilitas yang lebih hesar, tetapi penggunaan tekanan tersebut tidak dilakukan karena keterbatasan kemarnpuan tekanan maksimum

(11)

Tabc:l 12. Hubungan antara besar tekanan, konsentrasi sampel, dan suhu sampel terhadap permeabilitas membm MWCO 1000

1

Perlakuan

/

Permeabilitas rata-rata

I

b:kanan 2 atm, konsentrasi 5%, suhu 4 5 ' ~

I

12,26.104 (mll cm2

.

detik)

h:kanan 2 atm, konsentrasi lo%, suhu 29-30'~

I

Tidak lewat

I

2 atm, konsentrasi 5%, suhu 29-30'~

/i:kanan 2 atm, konsentrasi lo%, suhu 4 5 ' ~

1 - . I -

~ i d a k lewat

b:kanan 2.5 atm, konsentrasi 5%, suhu 29-30'~ Tidak lewat h:kanan 2.5 atm, konsentrasi 5%, suhu 4 5 ' ~

I

20,58 .lo5 b:kanan 2.5 atm, konsentrasi lo%, suhu 29-9-30'~

1

Tidak lewat b:kanan 2.5 atm, konsentrasi lo%, suhu 4 5 ' ~ 12,OO. 10"

4.6.2 Optimasi produktivitas membran

Upaya untuk meningkatkan produktivitas membm yang telah dilakukan pada tahal) proses lanjutan adalah proses filtrasi pendahuluan menggunakan filter whatman dan ~membran filter 0,2 mikron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa adanya prosc:s filtrasi pendahuluan maka membran MWCO 1000 akan mengalami penyumbatan pada menit ketiga proses.. Adanya proses filtrasi pendahuluan akan menyebabkan membran tetap memiliki permeabilitas yang memadai dan tidak mengalami penyumbatan hngga menit ke dua puluh proses. Pola perubahan pemieabilitas membran ahbat perlakuan filtrasi pendahuluan pada sampel dlsajikan pada Gambar 12.

Terjadinya penurunan produktivitas membran sangat terkait dengan proses terja~linya penyumbatan pada membran. Hasil penelitian pada Gambar 12,

(12)

men~mjukkan bahwa semakin cepat tejadi penyumbatan pada membran maka akan semilkin cepat pula te jadmya penurunan produktivitas membran.

-.:I- perlakuan

0 10 20 30

menit proses

Gambar 12. Pola perubahan permeabilitas membran MWCO 1000 akibat perlakuan filtrasi pendahuluan pada sampel (kondisi operasi : konsentrasi sampel 5%, suhu sampel 4S°C, tekanan 2 atm, serta laju aliran sampel 10 ml per menit)

Berkurangnya gejala penyumbatan pada sampel yang telah mengalami perlakuan filtrasi pendahuluan, sangat berkaitan dengan semakin berkurangnya partikel berukuran besar pada sampel. Hal ini didukung oleh data pengamatan total padatan pada sampel yang umumnya berkurang sebesar 15-20 % akibat adanya perlakuan filtrasi pendahuluan. Tanpa adanya perlakuan tersebut, maka partikel- parti kel berukuran besar akan tertahan pada pemukaan membran dan mempercepat terjatlinya penyumbatan. Semakin tinggi konsentrasi padatan yang tertahan pada permukaan membran, maka akan semakin tinggi konsentrasi cake. Menurut Toledo (199 I), konsentrasi cake akan berbanding terbalik dengan besarnya fluks membran,

(13)

56

seperti dapat dilihat pada persamaan 1. Hasil pengamatan secara visual juga menimjukkan bahwa terbentuknya lapisan pada permukaan membran sebagai hasil pola~isasi konsentrasi padatan merupakan indikator mulai tejadinya penurunan pem~eabilitas membran.

4.7 Optimasi Parameter Proses Hidrolisis

Optimasi parameter proses hidrolisis dilakukan agar produk rnaltodekstrin DP 3-9 !~ang dihasilkan memiliki komposisi sakarida optimal, yang antara lain dicirikan oleh rendahnya kandungan sakarida DP 1-2 dan oligosakarida DP > 9 pada produk.

Sela~n komposisi sakanda optimal, melalui optimasi proses hidrolisis juga diharapkan dapat diperoleh maltodekstrin DP 3-9 dengan rendemen yang cukup tinggi.

Secara teoritis, optimasi komposisi sakarida maltodekstrin DP 3-9 merupakan fungai dari keberhasilan optimasi proses hidrolisis dan optimasi proses separasi membran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses separasi membran telah cukup optimal untuk memisahkan sakarida dengan DP > 9, tetapi kurang sesuai digunakan untuk memisahkan sakarida DP 1 dan 2 pada produk hasil hidrolisis (Ganibar 11). Berdasarkan ha1 tersebut, maka optimasi proses hidrolisis akan difokuskan berdasarkan parameter kandungan sakarida DP 1 dan 2. Sedangkan pem~lihan perlakuan terbaik dilakukan berdasarkan perlakuan yang memiliki kandungan sakarida DP 1-2 terendah, dengan mempertimbangkan karakteristik komlmnen oligosakarida lainnya (oligosakarida DP 3-9 dan DP > 9) serta rendemen malt~~dekstrin DP 3-9 yang diperoleh.

(14)

4.7.11 Optimasi Berdasarkan Kandungan Sakarida DP 1-2

Hasil penelitian pada Tabel 13, menunjukkan bahwa terdapat sebelas perlakuan (nomor 1, 2, 3, 4, 5, 10, 11, 12, 13, 19, dan 20) yang memiliki kandungan sakarida DP :I-2 kurang dan 15 %.

Tab14 13. Kandungan sakarida DP 1-2 pada berbagai perlakuan parameter hidrolisis (27 perlakuan, 2 ulangan)

Perlakuan

I

DP1-2

/

(15)

58

Kesebelas perlakuan tersebut memiliki kandungan sakarida DP 1-2 terendah diantara perlakuan lainnya. Hasil analisis BNT (Lampiran 4), juga menunjukkan bah~va kesebelas perlakuan tersebut memiliki kandungan sakarida yang tidak berbeda nyata satu dengan lainnya (P > 0,05). Sesuai dengan metode optimasi (sub bab 4.7) maka kesebelas perlakuan tersebd akan dijadikan basis optimasi proses.

Histogram kandungan sakarida DP 1-2 pada perlakuan hasil optimasi dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa kesebelas perlakuan tersebut bewariasi pada berbagai kombinasi perlakuan konsentrasi pati, konsentrasi enzim, dan lama hidrolisis. Kandungan sakarida DP 1-2 terendah (11,28%), dicapai padal kombinasi perlakuan konsentrasi pati 200 g/l, konsentrasi enzim 1207,50 unit/], dan lama hidrolisis 15 menit. Adapun kandungan sakarida DP 1-2 tertinggi (14,75

%), dicapai pada kombinasi perlakuan konsentrasi pati 200 gll, konsentrasi enzim 603,75 uniVl, dan lama hidrolisis 60 menit.

Hasil analisis BNT pada hstogram Gambar 13, juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kesebelas perlakuan. Adanya fenomena tersebut, menunjukkan bahwa kandungan sakarida DP 1-2 yang rendah dapat mcapai mektlui berbagai kombinasi perlakuan rasio enzim-pati dan lama hdrolisis.

4.7.2: Optimasi Berdasarkan Kandungan Sakarida DP > 9

Karakteristik kandungan sakarida pada kesebelas perlakuan hasil optimasi disajikan pada Gambar 14. Pada Gambar 14, terlihat bahwa terdapat dua perlakuan (perlakuan J dan K) yang memiliki kandungan sakarida berbeda sangat nyata dari perktkuan lainnya (P < 0,Ol).

(16)

perlakuan hidrolisis

I

- - - - J

Ketermgan

(I) h i s perlakuan berdasarkan konsentrasi pati, konsentrasi enzim, dan lama hidrolisis P, = 200 gil; 603,75 unit/]; 15 menit G = 250 gil; 603.75 unit/l; 30 menit E; = 200 gil; 603,75 unit/l, 30 menit H = 250 gll; 603.75 unit& 60 menit C! = 200 gil; 603,75 unit/l; 60 menit I = 250 gil; 1207,50 unitll; 15 menit

= 200 gil; 1207,50 unitll; 15 menit J = 300 gil; 603,75 unit/l; 15 menit E = 200 gil; 1207,50 unit/l; 30 menit K = 300 gfl; 603.75 unit/l; 30 menit F = 250 gil; 603,75 unidl; 15 menit

(2) perlakuan yang diikuti humf yang sama, berarti tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada uji BNT Gambar 13. Histogram perbedaan kandungan sakarida DP 1-2 pada perlakuan hasil

optimasi

Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa perlakuan yang akan menghasilkan maltodekstrin DP 3-9 dengan kandungan sakarida DP > 9 tinggi adalah perlakuan dengan konsentrasi pati tinggi dan konsentrasi enzim rendah. Fenomena tersebut, men~rnjukkan bahwa semakin rendah rasio konsentrasi enzim-pati, maka akan semakin tinggi kandungan oligosakarida DP > 9 pada produk. Hal ini menunjukkan bahura rasio enzim-pati merupakan faktor utama penentu kesempurnaan suatu proses hidrcllisis. Rasio enzim-pati akan menentukan laju perombakan subtrat pati dan laju suatu. reaksi hldrolisis enzimatis (Hollo et al., 1983)

(17)

Tingginya kandungan oligosakarida DP > 9 pada kedua perlakuan (J dan K), berk:aitan dengan kesempumaan proses hidrolisis. Pada rasio konsentrasi enzim-pati yang rendah, maka pemutusan polimer pati tidak berlangsung secara optimal, akibatnya hasil hidrolisis akan mengandung oligosakarida DP > 9 dengan konsentrasi yang tinggi. Semakin tinggi kandungan oligosakarida tersebut, maka akan semakin kecil jumlah yang mampu ditahan oleh membran, sehingga sebagian oligosakarida tersebut akan melewati membran dan terdeteksi pada produk akhir.

7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1

.oo

0.00

A B C D E F G H I J K perlakuan hidrolisis

Ketei angan

(1) Jenis perlakuan berdaswkan konsentrasi pati, konsentrasi enzim, dan lama hidrolisis f i = 200 gll; 603,75 unit/l; 15 menit G = 250 gll; 603,75 unitn; 30 menit II = 200 gll; 603,75 unitn, 30 menit H = 250 gll; 603,75 unit/l, 60 menit

( = 200 gll; 603.75 unitll; 60 menit I = 250 gll; 1207,50 unit/l; 15 menit 1) = 200 g/l; 1207,50 unit/l; 15 menit J = 300 @; 603,75 unitll; 15 menit E = 200 gll; 1207,50 unit/l; 30 menit K = 300 gil; 603,75 unit/l; 30 menit I' = 250 gil; 603,75 unit/l; 15 menit

(2) perlakuan yang diikuti humf yang sama, berarti tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada uji BNT Gambar 14. Histogram perbedaan kandungan sakarida DP > 9 pada perlakuan

hasil optimasi

(18)

4.7.3 Optimasi Berdasarkan Kandungan Sakarida DP 3- 9

Karakteristik kandungan sakarida DP 3-9 pada kesebelas perlakuan terbaik disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa perlakuan J dan K yang memiliki perbedaan kandungan oligosakarida 3-9 yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan laimya (P < 0,Ol).

.

perlakuan hidrollsls

I

Keter;mgan

(1) L:nis perlakuan berdasarkan konsentrasi pati, konsentrasi enzim dan lama hidrolisis

P. = 200 g/l; 603,75 unitn; 15 menit G = 250 gil; 603,75 unit/l; 30 menit

B = 200 g/l; 603,75 unitll, 30 menit H = 250 gll; 603,75 unit/l; 60 menit C = 200 gil; 603,75 uNt/l; 60 menit I = 250 gil; 1207,SO unit/l; 15 menit Cl = 200 gll; 1207,50 unit/l; 15 menit J = 300 g/l; 603,75 unit/l; 15 menit E = 200 gil; 1207,50 unit/l; 30 menit K = 300 gil; 603,75 unidl; 30 menit F = 250 g/l; 603,75 unit/l; 15 m e ~ t

(2) Perlakuan yang diikuti huruf yang sama, berarti tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada uji BNT Gambar 15. Histogram perbedaan kandungan sakarida DP 3-9 pada perlakuan

basil optimasi

Rendahnya kandungan oligosakarida 3-9 pada kedua perlakuan, menunjukkan bahwa kandungan oligosakarida DP 3-9 pada produk akan sangat berkaitan dengan kandungan oligosakarida DP > 9. Semakin tinggi kandungan oligosakarida DP > 9, maka: akan semakin rendah kandungan oligosakarida DP 3-9 pada produk, begitupun sebaliknya dengan terjadinya p e n m a n kandungan sakarida DP > 9 maka akan

(19)

semiilun tinggi kandungan oligosakarida DP 3-9 pada produk. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah rasio enzim-pati maka akan semalan tinggi kanclungan oligosakarida DP > 9 dan semakin rendah kandungan oligosakarida DP 3-9.

4.7.41 Optimasi Berdasarkan Rendemen Maltodekstrin DP 3- 9

Rendemen maltodekstrin DP 3-9 menunjukkan perbandingan antara jumlah malt,odekstrin DP 3-9 yang diperoleh pada akhir proses dibandingkan dengan jurnlah bahan baku pati awal. Dengan perkataan lain, rendemen maltodekstrin DP 3-9 akan mentmjukkan besar produktivitas masing-masing perlakuan.

Karakteristik rendemen maltodekstrin DP 3-9 pada perlakuan hasil optimasi, disajikan pada Gambar 16. Pada Gambar 16, terlihat bahwa keseluruhan perlakuan hasil optimasi akan menghasilkan maltodekstrin dengan rendemen yang bervariasi antara 13,13 % (terendah) hingga 52,77 % (tertinggi). Berdasarkan variasi rendemen tersebut, maka pemilihan perlakuan terbaik akan dhsarkan pa& perlakuan yang akan menghasilkan rendemen tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

4.7.5 Pemilihan Perlakuan Terbaik

Berdasarkan karakteristik komposisi saacarida perlakuan-perlakuan hasil optinlasi (Tabel 14), maka terlihat bahwa perlakuan terbaik adalah perlakuan dengan kons~:ntrasi pati 200 gil, konsentrasi enzim 1207,50 unitll, dengan lama hidrolisis 30 menit. Perlakuan tersebut akan menghasilkan rendemen maltodekstrin DP 3-9 sebesar 52.77 %.

(20)

Keterangan

(1) Jenis perlakuan berdasarkan konsentrasi pati, konsentrasi enzim, dan lama hidrolisis

I\ = 200 gll; 603,75 unitll; 15 menit G = 250 gA; 603,75 unitll; 30 menit 1% = 200 gil; 603,75 unit/l, 30 menit H = 250 gfl; 603,75 unit/l; 60 menit ( 2 = 200 gfl; 603,75 unitn, 60 menit I = 250 gfl; 1207.50 uniUl, 15 menit 1) = 200 gil; 1207,50 unidl; 15 menit J = 300 gil; 603,75 unidl; 15 menit li = 200 gil; 1207.50 unitll; 30 menit K = 300 gtl; 603,75 unit/l; 30 menit F = 250 gil; 603.75 unitn; 15 menit

(2) F'erlakuan yang diikuti huruf yang sama, berarti tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada uji BNT Gambar 16. Histogram perbedaan rendemen maltodekstrin DP 3-9 pada perlakuan

hasil optimasi

4.8 Ibrakterisasi Maltodekstrin DP 3-9

Karakterisasi maltodekstrin DP 3-9, dilakukan pada perlakuan terbaik hasil optirnasi proses yaitu perlakuan dengan konsentrasi pati 200 gll, konsentrasi enzim 1207,50 unitll, dengan lama hidrolisis 30 menit. Sesuai dengan tujuan penelitian makii karakterisasi maltodekstrin dititikberatkan pada tujuan penggunaannya sebagai sumber karbohidrat pada minuman olahraga isotonik. Karakterisasi dilakukan dalam bentuk karakterisasi kimia, fisik, dan biologs. Melalui tahap kegatan karakterisasi diharapkan dapat disimpulkan potensi penggunaan maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) sebagai sumber karbohidrat pada minuman olahraga isotonik.

(21)

Tabel 14. Karakteristik komposisi sakarida perlakuan-perlakuan hasil optimasi

603,75 unitn; lama hidrolisis 15 menit

Konsentrasi uati 200 dl, konsentrasi enzim 1 13.26

1

86.54

1

0.20

1

25.96 Perlakuan

Konsentrasi pati 200 dl, konsentrasi enzim

Komposisi sakarida (Yh hmatograf)

603,75 unit/{ lama hirhlisis 30 menit Konsentrasi pati 200 g/l, konsentrasi enzirn 603,75 unit/l, lama hidrolisis 60 menit Konsentrasi pati 200 d l , konsentrasi enzim 1207,50 unitll, lama hidrolisis 15 menit Konsentrasi pati 200 d l , konsentrasi enzim 1207,50 unitll, lama hidrolisis 30 menit Konsentrasi pati 250 d l , konsentrasi enzim 503,75 unitn, lama hidrolisis 15 menit Konsentrasi pati 250 dl, konsentrasi enzim

Pada kegiatan karakterisasi, digunakan glukosa dan atau maltodekstrin

503,75 unit/[ lama hidrolisis 30 menit Konsentrasi pati 250 dl, konsentrasi enzim ,503,75 unit/l, lama hidrolisis 60 menit

Konsentrasi pati 250 d l , konsentrasi enzim 1207,50 unit/l, lama hidrolisis 15 menit

-

Konsentrasi pati 300 gA, konsentrasi enzim '503,75 unitn, lama hidrolisis 15 menit Konsentrasi pati 300 g/l, konsentrasi enzim 1503,75 unitn, lama hidrolisis 30 menit

komersil sebagai pembanding. Digunakannya glukosa sebagai pembanding,

DP > 9

DP 1-2

14.75 11.28 11.84 11.27 11.90

didasarkan pada pertimbangan teknis, bahwa formulasi minuman olahraga isotonik

12.03

/

87.53

/

0.44

DP 3-9

14.58 13.72 14.02 14.33

saat ini umurnnya menggunakan glukosa sebagai sumber karbohidrat utama.

85.36 88.52 87.96 87.89 87.56

Sedslngkan penggunaan maltodekstrin komersil, didasarkan pada pertimbangan

85.22 86.07 79.40 80.05

teoritis bahwa produk maltodekstrin hasil penelitian akan memiliki karakteristik yang

0.20 0.20 0.20 0.84 0.54

lebii~ ideal untuk digunakan sebagai sumber karbohidrat pada formulasi minuman

44.01 25.89 52.77 18.35 26.06 0.20

0.21 6.59 5.61

olahraga isotonik.

30.06 20.66 22.66 29.35

(22)

4.8.l Karakterisasi Kimia

4.8.1.1 Komposisi Sakarida Maltodekstrin DP 3-9

Pengujian komposisi sakarida maltodekstrin DP 3-9 dilakukan menggunakan alat HPLC (Htgh Performance L~qurd Chromatography) dengan menggunakan mallodekstrin komersil sebagai pembanding. Adapun metode kuantifikasi yang digunakan adalah metode standar eksternal menggunakan k u ~ a kalibrasi.

Perbedaan komposisi sakarida antara maltodekstrin hasil penelitian (maltodekstrin DP 3-9) dan maltodekstrin komersil disajikan pada Tabel 15. Pada Tabd tersebut terlihat bahwa secara statistik, komposisi sakarida DP 1-2 dan oligosakarida DP 3-9 maltodekstrin hasil penelitian berbeda nyata dibandingkan mallodekstrin komersil, dan terdapat kecenderungan bahwa maltodekstrin hasil penelitian akan memiliki kandungan sakarida DP 1-2 yang lebih rendah (10.87 %), dan kandungan oligosakarida DP 3-9 lebih besar (89.13 %). Hasil analisis statistik (uji t), juga menunjukkan bahwa maltodekstrin hasil penelitian memiliki kandungan oligosakarida DP > 9 yang berbeda nyata dibandingkan maltodekstrin komersil.

Tidak terdeteksinya oligosakarida DP > 9 pada sampel maltodekstrin hasil penelitian, menunjukkan bahwa proses separasi membran yang dilakukan telah cukup optimal men~isahkan oligosakarida dengan DP > 9.

Berdasarkan karakteristik komposisi sakarida tersebut, terlihat bahwa komponen oligosakarida DP 3-9 merupakan komponen utama pada maltodekstrin hasil penelitian. Berdasarkan karakteristik tersebut, dapat disimpulkan bahwa

(23)

mal1:odekstrin yang dihasilkan pa& kegiatan penelitian adalah maltodekstrin DP 3-9 dengan kemurnian kurang lebih 90 %

Tabel 15. Perbedaan komposisi sakarida antara maltodekstrin hasil penelitian dan maltodekstrin komersil

t~altodekstrin hasil penelitian

/

10.87 (a)

/

89.13 (c) tidak terdeteksi (e)

/

Perlakuan

IMaltodekstrin komersil

I I I

/

16.07 (b)

1

78.66 (d)

1

5.27 ( f )

Komposisi sakarida (%) DP 1-2

1

DP 3-9

1

DP > 9

Keterangan

Pasangan perlakuan yang diikuti huruf berbeda, berarti berbeda nyata (P < 0,05) pa& uji t

Lebih tingginya kandungan sakarida DP 1-2 pada maltodekstrin komersil diduga merupakan karakteristik khas pada maltodekstrin tersebut. Berdasarkan kantlungan sakarida DP 1 (dekstrosa) yaitu sebesar 6.58 % maka dapat disimpulkan bahwa maltodekstrin komersil yang digunakan pada kegiatan penelitian adalah maltodekstrin yang memiliki grade nilai DE sebesar 4.00 - 7.00 %.

Hasil uji komposisi sakarida (Tabel 15), juga menunjukkan bahwa maltodekstrin komersil mengandung oligosakarida DP > 9 sebesar 5.27 %. Jumlah tersebut diduga lebih rendah dari kondisi sebenarnya, mengingat pada uji komposisi dilakukan terlebih dahulu penyaringan dengan membran 0.45 mikron. Penyaringan dengan membran 0.45 mikron yang merupakan prosedur standar pada analisis HPLC, akar~ menurunkan kandungan oligosakarida dengan DP yang sangat tinggi (memiliki ukuran molekul lebih besar dari ukuran pori-pori membran). Hal tersebut didukung

(24)

67

oleh hasil penelitian Zakour et al. (1993), yang menunjhkkan bahwa membran 0,2 mikn~n cukup efektif dlgunakan pada pemisahan pektin pada sari buah apel.

4.8.1.2 Tipe Pembeutukan Kompleks Warna antara Maltodekstrin DP 3-9 dengan Larutan Iodium

Pengujian dilakukan dengan mengamati wama yang terbentuk setelah larutan Iodium 0,01 N ditambahkan dengan 2-3 tetes larutan maltodekstrin DP 3-9. Sebagai pembanding, diamati pula tipe pembentukan kompleks warna antara larutan Iodium 0,01 N dengan larutan glukosa clan maltodekstrin komersil. Menurut Kearsley and Dzie1:dzic (1995), tipe pembentukan kompleks warna antara larutan iodum dengan larutan pati hasil hidrolisis, dapat digunakan untuk memprediksi derajat polimerisasi produk hasil hidrolisis yang dihasilkan. Setiap satu molekul Iodium akan terperangkap dalam suatu struktur per turn helix polimer glukosa. Semakin tinggi derajat polimerisasi, berarti sernakin banyak molekul Iodium yang terperangkap, dan semakin nyata intensitas warna biru yang dihasilkan.

Hasil pengujian menunjukkan, maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) memiliki karakteristik yang lebih menyerupai glukosa dibandingkan maltodekstrin komersil (Tabel 16).

Terbentuknya kompleks wama kuning pada maltodekstrin DP 3-9, menlmjukkan produk memiliki kandungan sakarida dengan DP kurang dari 12.

Peml~entukan kompleks warna ungu kemerahan pada maltodekstrin komersil, menimjukkan produk juga mengandung oligosakarida dengan DP lebih dari 20 (Kearsley and Dziecdzic, 1995).

(25)

Tabel 16. Perbedaan karakteristik tipe pembentukan kompleks wama dengan larutan Iodium antara maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) dengan glukosa dan maltodekstrin komersil

r

Perlakuan

[

Tipe pembentukan kompleks wama

1

4.8.1: Karakterisasi Fisik

-

Glukosa

Maltodekstrin hasil penelitian Maltodekstrin komersil

4.8.2.1 Pengujian Stabilitas Maltodekstrin DP 3-9

Pengujian stabilitas maltodekstrin DP 3-9 dilakukan dalam bentuk pengamatan terbentuknya endapan pada bagian bawah larutan selama penyimpanan 0, 1, 2, sampai 8 minggu, dengan menggunakan glukosa dan maltodekstrin komersil sebagai pembanding. Terbentuknya endapan tersebut merupakan inmkasi bahwa larutan telah menurun stabilitasnya.

Pengamatan stabilitas penyimpanan pada kegiatan penelitian, dilakukan pada konclisi suhu kamar dan suhu refrigerasi dengan perlakuan tanpa dan dengan sterilisasi larutan. Penggunaan dua kondisi penyimpanan didasarkan pada pertimbangan realistis bahwa produk-produk minuman olahraga isotonik umumnya disirnpan pada dua kondisi tersebut.

Adapun penggunaan perlakuan sterilisasi didasarkan pada hasil penelitian pendlahuluan bahwa selama penyimpanan pada suhu kamar, terdapat indikasi adanya pertumbuhan mikroba akibat kontaminasi yang makin nyata seiring dengan

dengan larutan iodium kuning

kuning Ungu kemerahan

(26)

peningkatan lama penyimpanan. Adanya kontamisasi tersebut juga didukung oleh fakta. bahwa keseluruhan perlakuan mengandung gula-gula sederhana yang bersifat mudah termanfaatkan oleh mikroba. Hal lain yang juga dijadikan alasan penggunaan prosc:s sterilisasi adalah analogi ketahanan daya simpan larutan glukosa dalam bentuk larutan infus. Tetap hgunakannya perlakuan tanpa sterilisasi didasarkan pada pertimbangan teknis bahwa aplikasi produk hasil penelitian pada minuman isotonik sebeiknya dlakukan dengan perlakuan pemanasan yang relatif ringan, mengmgat formulasi produk yang mengandung vitamin dan nutrisi yang bersifat mudah rusak oleh panas. Data pengamatan kondisi pembentukan endapan selama penyimpanan pada perlakuan disajikan pada Tabel 17.

Tabe:l 17. Kondisi pembentukan endapan maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) dibandingkan dengan glukosa dan maltodekstrin komersil selama penyimpanan.

Keterangan

- - - - -- -

: tidak terbentuk endapan hingga lama penyimpanan 8 minggu +++ (1) : mulai terbentuk endapan pada penyimpanan minggu ke-1

+++

(4) : mulai terbentuk endapan pada penyimpanan minggu ke-4 Jenis larutan1

Perlakuan penyimpanan Glukosa 10%

Maltodekstrin

I-

Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 17, maka dapat disimpulkan bahwa maltodekstrin hasil penelitian memiliki stabilitas penyimpanan suhu refrigerasi yang

Suhu kamar Tanpa

sterilisasi ---

---

Suhu refrigerasi Sterilisasi

--- ---

T a n ~ sterilisasi ---

---

sterilisasi

---

---

(27)

lebih baik dibandingkan maltodekstrin komersil baik pada perlakuan sterilisasi maupun tanpa sterilisasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perlakuan sterilisasi secara urnum akan meningkatkan stabilitas penyimpanan. Pada perlakuan malt~~dekstrin komersil, adanya proses sterilisasi akan menyebabkan meningkatnya stabilitas hingga lama penyimpanan minggu ke-4.

4.8.2.2 Pengujian Warna Maltodekstrio DP 3-9

Pengujian wama maltodeksbin DP 3-9 dilakukan dalam bentuk pengamatan derajat putih dengan menggunakan maltodekstrin komersil sebagai pembanding.

Nilai derajat putih pada produk maltodeksbin merupakan salah satu karakteristik fisik yang penting terutama dikaitkan dengan tujuan penggunaannya lebih lanjut.

Penentuan derajat putih bahan dilakukan berdasarkan nilai L (Iighness value) dengan menggunakan alat Chromameter. Hasil pengujian derajat putih ditampilkan pada Tabel 18.

Tabel 18. Hasil pengukuran derajat putih maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) dlbandingkan dengan maltodekstrin komersil

Kete rangan

Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua perlakuan berdasarkan uji t

(Sdev = 0,5627; tht = to,os(z) = 430; to,o~(z, = 9,93) maltodekstrin hasil penelitian)

Derajat putih ( L value) . Ulangan 1

93,45 92.57

Ulangan 2 93,5 1 92,45

Rata-rata 93.48 92.51

(28)

Hasil pengujian pada Tabel 18, menunjukkan bahwa maltodekstrin hasil penelitian, memiliki derajat putih yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) dibandingkan rnaltodekstrin komersil. Dihasilkannya produk maltodekstrin dengan nilai derajat putih yang cukup baik, menunjukkan bahwa proses bleachrng yang dilakukan pada kegistan penelitian telah cukup optimal.

4.8.2.3 Pengujian Derajat Osmolalitas Maltodekstrin DP 3-9

Pengujian derajat osmolalitas maltodekstrin DP 3-9 dilakukan secara tidak langsung melalui penentuan berat molekul rata-rata pada produk dengan menggunakan glukosa dan maltodekstrin komersil sebagai pembandmg. Berat molekul rata-rata pada produk maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil dipe~oleh melalui pengarnatan penurunan titik beku melalui pengujian produk dengan nilai molalitas yang sebelumnya telah diketahui. Hasil penentuan berat molekul rata- rata produk maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil berdasarkan karalrteristik penurunan titik beku, disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Hasil penentuan berat molekul rata-rata produk maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) dan maltodekstrin komersil

Perlakuan

I I I I 1

*

diperoleh dari hasil rata-rata dua ulangan Maltodekstrin DP 3-9

Maltodekstrin komersil

Konsentrasi (g/100 g air)

5 5

Penurunan titik beku

Berat molekul rata-rata (m°C)*

92 47

1011 1979

(29)

Berdasarkan hasil penentuan berat molekul rata-rata produk maltodekstrin DP 3-9 thn maltodekstrin komersil (Tabel 19), maka selanjutnya dapat ditentukan nilai osmolalitas produk dengan menggunakan basis 1 mol glukosa (BM 180) sebagai stantlar. Hasil penentuan nilai osmolalitas maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil dapat dilihat pada Tabel 20

Berdasarkan hasil penentuan nilai osmolalitas produk pada Tabel 20, maka dapat disimpulkan bahwa maltodekstrin DP 3-9 memiliki nilai osmolalitas yang lebih besar dibandingkan maltodekstrin komersil, tetapi memiliki nilai osmolalitas yang lebih kecil dibandingkan glukosa.

Tabel 20. Hasil penentuan nilai osmolalitas produk maltodekstrin DP 3-9

(maltodekstrin hasil penelitian) dan maltodekstrin komersil dengan menggunakan basis 1 mol glukosa (BM 180) sebagai standar

Nilai osmolalitas sumber karbohidrat merupakan salah satu karakteristik

- Perlakuan Glukosa

-

Ivlaltodekstrin DP 3-9

-

lvlaltodekstrin komersil

-

penting pada produk minuman olahraga isotonik, yang dirancang untuk memiliki nilai osmolalitas setara dengan nilai osmolalitas cairan tubuh, agar produk mudah

Berat molekul rata-rata

180 101 1 1979

disemp oleh tubuh. Nilai osmolalitas sumber karbohdrat yang tinggi, akan menyebabkan terbatasnya jumlah karbohidrat yang dapat ditambahkan pada produk,

mol produk (basis 180 g)

1 mol

0,178 mol 0,091 mol

Nilai osmolalitas produk 1 Osmolkg (1000 mOsmolikg)

0,178 Osmolkg (178 m0smolikg)

0,091 Osmolikg (9 1 mOsmol/kg)

(30)

yang berarti juga akan membatasi jumlah kalori dan mineral yang mampu hsediakan oleh produk.

Dibandingkan glukosa, maltodekstrin DP 3-9 memiliki nilai osmolalitas lebih rend;& (5,6 kali lipat). Lebih rendahnya nilai osmolalitas maltodekstrin DP 3-9, disebabkan dominannya kandungan oligosakarida DP 3-9 (89 %) pada produk.

Oligosakarida DP 3-9, akan memiliki berat molekul yang jauh lebih besar dibaridingkan glukosa. Fenomena penurunan nilai osmolalitas tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan maltodekstrin DP 3-9 sebagai sumber karbohidrat pada minuman isotonik dapat 5,6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan glukosa, sehir~gga penggunaannya akan memunglankan untuk meningkatkan kandungan kalori dan mineral pada produk.

Dibandingkan maltodektrin komersil, maltodekstrin DP 3-9 memiliki nilai osmc~lalitas yang lebih besar. Lebih tingginya nilai osmolalitas tersebut, terutarna disetlabkan karena perbedaan komposisi oligosakarida berantai panjang (DP > 9) antar kedua produk. Oligosakarida berantai panjang yang memiliki berat molekul lebih besar, akan menyebabkan lebih rendahnya nilai osmolalitas maltodekstrin komersil. Walaupun dibandingkan maltodekstrin komersil, penggunaan maltodekstrin DP 3-9 sebagai sumber karbohidrat pengganti glukosa akan menurunkan osmolalitas lebih kecil, tetapi penggunaan maltodekstrin DP 3-9 akan lebih berpotensi terutama karena karakteristik biologis dan stabilitasnya yang lebih baik.

(31)

4.8.2:.4 Pengujian Viskositas Maltodekstrin DP 3-9

Hasil penelitian menunjukkan bahwa maltodekstrin DP 3-9 memiliki nilai viskositas lebih besar dibandingkan glukosa tetapi lebih kecil dlbandngkan maltodekstrin komersil. Hasil pengujian viskositas maltodekstrin DP 3-9 dibandingkan glukosa dan maltodekstrin komersil disajikan pada Tabel 2 1.

Tabcl2 1. Hasil pengujian viskositas maltodekstrin DP 3-9 dibandingkan glukosa dan maltodekstrin komersil pada dua konsentrasi berbeda (nilai rata-rata dari dua ulangan)

Keterangan

Perlakuan yang diikuti huruf yang sarna, berarti tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada uji t

Walaupun hasil analisis statistik dengan uji t, menunjukkan bahwa hanya perb(:daan nilai rata-rata viskositas glukosa 4 % dan maltodekstrin 5% yang berbeda

Viskositas pada konsentrasi 5% (cSt)*

1,29 (ab) 1,37 (ab) 1,42 (b) Perlakuan

Glukosa

Maltodekstrin DP 3-9 Maltodekstrin komersil

nyata, tetapi terdapat kecenderungan adanya perbedaan nilai viskositas antara ketiga perlakuan dan adanya peningkatan viskositas seiring dengan peningkatan konsentrasi

Viskositas pada konsentrasi 4% (cSt)*

122 (a) 1,29 (ab) 1,37 (ab)

larutan uji. Adanya perbedaan nilai viskositas antara ketiga perlakuan, menunjukkan bahvra perbedaan nilai viskositas terutama disebabkan oleh adanya perbedaan berat molekul. Semalun tinggi bobot molekul rata-rata suatu senyawa, maka cenderung akan semahn tinggi nilai viskositasnya.

(32)

Lebih tingginya nilai viskositas maltodekstrin hasil penelitian dbandngkan glukosa, yang akan terus meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi, menunjukkan bahwa viskositas tersebut hams dijadikan salah satu pertimbangan utarrla pada penggunaan maltodekstrin DP 3-9 sebagai surnber karbohidrat pengganti glukosa.

4.8.2:.5 Pengujian Tingkat Kemanisan Maltodekstrin DP 3-9

Pengujian tingkat kemanisan maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) dilakukan secara organoleptik, dengan menggunakan glukosa dan maltodekstrin komersil sebagai pembanhng. Pengujian perlakuan maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil dilakukan pada konsentrasi yang berbeda dibandingkan glukosa karena kedua perlakuan memiliki nilai ambang batas terdelteksinya kemanisan pada konsentrasi yang relatif jauh lebih tinggi. Rekapitulasi hasil pengujian tingkat kemanisan (Tabel 22), menunjukkan bahwa glukosa memililu tingk.at kemanisan setara dengan sukrosa 2% pada konsentrasi 3,25 hingga 3,50 %.

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa perlakuan maltodekstrin hasil penelitian dan maltodekstrin komersil memiliki tingkat kemanisan yang relatif sama yaitu antara 27,50 hingga 32,50 %.

Tidak berbedanya tingkat kemanisan antara perlakuan maltodekstrin hasil penelitian dan maltodekstrin komersil, menunjukkan bahwa tingkat kemanisan lebih disetlabkan oleh kandungan senyawa sakarida berantai pendek (glukosa dan maltosa).

Hal ini sesuai dengan pendapat Kearsley and Dziedzic (1995), bahwa kandungan senyitwa sakarida berantai pendek merupakan komponen paling dominan penentu

(33)

tinglcat kemanisan suatu campuran hasil ludrolisis. Seperti diketahui bahwa maltodekstrin hasil penelitian dan maltodekstrin komersil memiliki perbedaan kanclungan sakarida DP 1-2 yang tidak terlalu besar (10 % dan 16 %). Bervariasinya persepsi panelis terhadap tingkat kemanisan maltodekstrin hasil penelitian dan maltodekstrin komersil , diduga karena konsentrasinya yangl tinggi dan rasa manis yang ditimbulkan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan glukosa dan

Tabel 22. Rekapitulasi penilaian 20 panelis terhadap tingkat kemanisan glukosa, maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) dan maltodekstrin komersil pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan lamtan sukrosa 2% sebagai standar

Jumlah panelis yang menyatakan

berbeda Perlakuan

Glukosa 3,OO % 3,25 % 3,50 % 3,75 % 4,OO % maltodekstin 25,OO % D:P 3-9 27,50 % 30,OO % 32,50 % 35.00 %

Dengan menggunakan sukrosa sebagai standar tingkat kemanisan, hasil Jumlah panelis yang

menyatakan sarna

maltodekstrin kc~mersil

pengujian menunjukkan glukosa memiliki tingkat kemanisan 57,OO-6 1,00 sedangkan 7

17 16 5 4 5 17 18 16 6

13 3 4 15 16 15 3 2 4 14 25,OO %

27.50 %

7 17

13 3

(34)

maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil memiliki tingkat kemanisan antara 6,15 hingga 7,20 (Tabel 23). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dengan tingkat pena,mbahan yang sama, maltodekstrin hasil penelitian akan memiliki tingkat kemanisan kurang lebih sepuluh kali lebih rendah dibandingkan gluhrosa.

Tabel 23. Perbedaan tingkat kemanisan relatif, maltodekstrin DP 3-9 dibandingkan dengan maltodekstrin komersil dan glukosa, dengan menggunakan tingkat kemanisan sukrosa (100) sebagai standar

(

Maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin

1

6,15

-

7,20

I

r

Perlakuan Tingkat kemanisan relatif

4.8.3; Karakterisasi Biologis

Pengamatan karakteristik biologis maltodekstrin hasil penelitian, dilakukan dala~n bentuk pengukuran laju absorpsi produk oleh tikus percobaan (metode in vivo) dibaiidingkan dengan larutan glukosa dan maltodekstrin komersil. Pola laju absorpsi produk pada tikus percobaan dikarakterisasi berdasarkan pola perubahan kadar gluk~ssa darah pada menit tertentu setelah pemberian larutan. Modifikasi metode dilakukan berdasarkan metode Heine et al. (2000), yang menggambarkan pola perulmhan kadar gula darah pada menit tertentu setelah larutan glukosa diinjeksikan pada hewan percobaan (mencit) yang telah dipuasakan selama kurmg lebih 17 jam.

Agar hasil pengujian dapat secara representatif menggambarkan pola laju absorpsi prodluk oleh tubuh maka dilakukan beberapa modifikasi penting pada metode

hs~sil penelitian)

Maltodekstrin komersil

I-

6,15

-

7,20

(35)

pengujian. Modifikasi utama yang dilakukan pada metode pengujian adalah metode pemberian l a t a n dan lama tikus dipuasakan hlngga siap dlberikan perlakuan

Pada kegiatan penelitian, pemberian lamtan tidak dilakukan dengan cara injel~si, tetapi dengan cara pemberian secara oral (metode cekok). Alasan utarna dilakukan modifikasi didasarkan pada pertimbangan teoritis bahwa larutan maltodekstrin hasil penelitian dan maltodekstrin komersil memerlukan proses metribolisrne lebih lanjut sebelwn dapat diserap oleh darah dalam bentuk glukosa.

Modifikasi utarna lainnya dilakukan terhadap lama tikus dipuasakan hngga siap diamati responnya terhadap perlakuan. Pada kegiatan penelitian, lama tikus dipuasakan ditambah menjaQ 24 jam. Modifikasi dilakukan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa respon tikus terhadap perlakuan relatif lebih mudah Qdeteksi pada kadar glukosa darah normal batas minimal.

Berdasarkan standar kadar glukosa darah normal pada manusia yaitu sebesar 80-100 mg per 100 ml darah (80-100 mgldl), maka perlakuan puasa 17 jam dan 28 jam kura~ng sesuai digunakan untuk menggambarkan pola laju absorpsi produk oleh tubuli. Secara lengkap, kondisi perubahan kadar glukosa darah tikus &bat perlakuan puas13 disajikan pada Tabel 24.

Berdasarkan Tabel 24, dapat dilihat bahwa tikus yang diberi perlakuan puasa hingga 17 jam masih memiliki kadar gula darah di atas normal. Kondisi seperti ini dianggap akan kurang representatif untuk menggambarkan laju absorpsi penyerapan prod& oleh tikus percobaan. Dikhawatirkan mekanisme metabolisme oligosakarida akan menjadi relatif lebih lambat, mengingat masukan glukosa dari luar, terlebih dalarn bentuk kompleks (oligosakarida) belum terlalu diperlukan oleh tubuh untuk

(36)

menjaga kadar gula darah dalam kondisi normal. Kondisi seperti ini dapat diistilahkan sebagai upaya untuk meminimalisasi kesalahan negatif (nilai pengamatan lebili rendah dari kondisi sebenarnya).

Tabel 24. Kondisi kadar glukosa darah Tikus Sprague Dawley jantan berurnur 2.5 bulan, tanpa dan dengan perlakuan puasa

*

Surnber : Setianingrat (1989) Kondisi

Tanpa puasa

Puasa 17 jam Puasa 24 jam Puasa 28 jam

Tikus yang dipuasakan hingga 28 jam ternyata akan memiliki kadar glukosa darah 1 bawah normal, walaupun belum mendekati kondisi hipaglikemia (kurang dari 60 mg/dl). Kondisi demikian juga dikhawatirkan akan kurang representatif, kareina dikhawatirkan selain masukan glukosa dari luar tubuh, tikus juga akan merr~etabolisme cadangan energi dalam bentuk lain (misalnya dalam bentuk cadangan glikc~gen) untuk menjaga kadar gula darah dalam kondisi normal. Kondisi seperti ini dapat diistilahkan sebagai upaya untuk meminimalisasi kesalahan positif (nilai pengamatan lebih tinggi dari kondisi sebenarnya).

Hasil penelitian mengenai pola perubahan kadar glukosa darah sebagai respon terhadap pemberian larutan maltodekstrin DP 3-9 dibandingkan dengan glukosa dan maltodekstrin komersil disajikan pada Gambar 17. Berdasarkan Gambar 17 dapat

Kadar glukosa darah (mg/dl)

153

112.5 92 64.5

Keterangan

di atas kadar @la darah normal manusia (mendekati kondisi hiperglikemidlebih dari 160)*

di atas kadar gula darah normal manusia (80- 100)*

normal

*

di bawah kadar gula normal*

(37)

80

dilihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara pola perubahan kadar glukosa daral~ akibat pemberian larutan maltodekstrin hasil penelitian dibandingkan dengan pemberian larutan glukosa dan maltodekstrin komersil, hingga lama pengamatan 120 mem t.

/ -+

Glukosa > kltodekstrin DP 3-9 -

-

Maitodektrin komersil

1

Waktu setelah pemberian larutan (menit)

Gambar 17. Pola perubahan kadar glukosa darah tikus Sprague Dawley jantan berurnur 2.5 bulan, sebagai respon terhadap pmberian larutan maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian) dibandingkan dengan glukosa dan maltodekstrin komersil (dosis pemberian larutan 0,3 g /kg berat badan, lama puasa 24 jam)

Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa sejak dari lima menit waktu pemberian larutim, telah terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada semua perlakuan. Pada perlakuan glukosa, peningkatan tersebut akan terus terjadi hingga menit ke-30, sedangkan pada perlakuan maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil penirigkatan tersebut hanya akan terjad hingga menit ke-15.

Terjadrnya peningkatan kadar glukosa darah pada perlakuan maltodekstrin DP 3-9 tlan maltodekstrin komersil sejak menit ke-5 waktu pemberian, diduga kuat

(38)

berlraitan dengan adanya kandungan gula-gula sederhana pada ke dua perlakuan (berupa glukosa dan maltosa) yang bersifat relatif mudah diserap oleh tubuh. Hal tersebut didukung oleh data karakteristik kandungan sakarida maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil (Tabel 15).

Terjadinya penurunan kadar glukosa darah mulai dari menit ke-15 pada kedua perlakuan, dduga karena kandungan gula-gula sederhana tersebut telah mulai menipis, dan tikus mulai mencerna karbohidrat dalam bentuk lain yang lebih kornpleks (oligosakarida). Karbohdrat dalam bentuk kompleks (oligosakarida) akan tercerna oleh tubuh dalam waktu yang relatif lambat &ban&ngkan karbohidrat dalam bentuk sederhana (glukosa dan maltosa). Fenomena tersebut didukung oleh data pengamatan pada perlakuan glukosa (kandungan senyawa sederhana dalam bentuk glukosa lebih tinggi), &mana kadar glukosa akan terus naik dengan proporsi yang lebill tinggi dibandingkan perlakuan maltodekstrin DP 3-9 dan maltodekstrin komersil. Adanya kecenderungan penurunan kadar glukosa darah sejak menit ke-30 padzt perlakuan glukosa, menunjukkan bahwa keseluruhan larutan yang diberikan telah terserap oleh tubuh.

Berdasarkan pola perubahan kadar glukosa tersebut, maka &pat disimpulkan bahwa dibandingkan dengan perlakuan maltodekstrin DP 3-9 maka perlakuan glukosa akan terabsorpsi oleh tubuh dalam waktu yang relatif lebih singkat (kurang dari 30 menit).

Pada perlakuan maltodekstrin DP 3-9 dan perlakuan maltotdekstrin komersil setelah adanya kecenderungan penurunan, maka terjadi fenomena peningkatan kemljali kadar glukosa darah. Walaupun demikian, terdapat perbedaan pola

(39)

kecenderungan peningkatan antara kedua perlakuan. Pada perlakuan maltodekstrin komlersil peningkatan kadar glukosa darah baru akan terjaQ pada menit ke 60 dan terus menunjukkan kecenderungan peningkatan hingga menit ke-120, sedangkan pada perlsikuan maltodekstrin DP 3-9 peningkatan telah mulai te rjadi sejak menit ke 30 dan mula~i menunjukkan kecenderungan menurun sejak menit ke-60.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dibandingkan maltodekstrin komersil makii maltodekstrin DP 3-9 akan terabsorsi oleh tubuh relatif lebih cepat. Lebih cepatnya laju absorpsi pada perlakuan maltodekstrin DP 3-9, sangat berkaitan dengan kandungan oligosakarida berantai panjang yang lebih rendah serta kandungan oligclsakarida berantai moderat (DP 3-9) yang lebih tinggi (Tabel 15). Oligosakarida berantai panjang (DP > 9), &duga akan sulit terabsorpsi oleh tubuh. Karbohidrat dalarn bentuk oligosakarida, akan diuraikan terlebih dahulu menjadi gula-gula sederhana pada fase brush border agar dapat diserap oleh tubuh (Muchtadi, 1998).

Kesi~npulan tersebut didukung pula oleh fenomena peningkatan kadar glukosa darah pada perlakuan maltodekstrin DP 3-9 yang meningkat dengan proprsi relatif lebih tinggi dibandingkan perlakuan maltodekstrin komersil hingga waktu pengamatan pada menit ke-60.

Berdasarkan pola perubahan kadar glukosa darah tersebut, maka dapat disin~pulkan bahwa urutan laju absorpsi antara ketiga perlakuan mulai dari yang tercepat hingga terlambat adalah glukosa > maltodekstrin DP 3-9 (rnaltodekstrin hasil penel itian) > maltodekstrin komersil. Perbedaan karakteristik laju absorpsi antara ketiga perlakuan dirangkum secara detil pada Tabel 25.

(40)

Tabel 25. Karakteristik laju absorpsi maltodekstrin DP 3-9 dibandingkan dengan glukosa dan maltodekstrin komersil

I

Perlakuan

I

Karakteristik laju absorpsi

I

Glukosa

-

Maltodekstrin DP 3-9 (maltodekstrin hasil penelitian)

(lebih lakbat dibanlngkam glukosa dan maltodekstrin DP 3-9). Produk tetap Terabsorpsi oleh tubuh secara cepat (kurang dari 30 menit).

Terabsorpsi oleh tubuh secara moderat (lebih lambat lbandingkan glukosa tetapi lebih cepat dibandingkan maltodekstrin komersil). Waktu optimal laju absorpsi

-

maltodekstrin komersil

menunjukkan indikasi terabsorpsi oleh tubuh hingga lebih dari menit ke-120.

hingga menit ke-60.

Terabsorpsi oleh tubuh secara larnbat

Gambar

Gambar  10.  Kurva standar pati untuk penentuan aktivitas enzim a-amylase
Tabel 1 1.  Hubungan antara besar tekanan dan permeabilitas membran MWCO 3000  dan 1000
Gambar  12.  Pola perubahan permeabilitas membran  MWCO  1000 akibat perlakuan  filtrasi pendahuluan pada sampel (kondisi operasi  :  konsentrasi sampel  5%, suhu sampel  4S°C,  tekanan 2 atm, serta laju aliran sampel  10 ml per  menit)
Tabel  14.  Karakteristik komposisi sakarida perlakuan-perlakuan hasil optimasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan film pendek bergendre drama berjudul “Aku Maih Yang Dulu” dengan teknik heandheal/saky, membuat film yang

Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan jenis pisang yang berbeda, dan kondisi subjek yang berbeda dengan tujuan mengetahui pengaruh pemberian

Metode B ackpropagation Neural Network (BPNN) pertama kali diperkenalkan oleh Paul Werbos pada tahun 1974, kemudian dikemukakan kembali oleh David Parker di tahun

Sebagai agama yang bervisikan keadilan dan kemaslahatan, Islam sangat menekankan perlunya membangun masyarakat sejahtera. Teks-teks Islam yang menyerukan untuk

Adapun yang membuat kegiatan pembinaan ini menurun dari pesertanya adalah orang tua tidak memberikan dukungan yang penuh pada anak-anaknya untuk mengikuti

Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. 21 Dikatakan sementara karena jawaban yang

terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata prates dengan nilai rata-rata pascates. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan analisis teks

Nafkah Anak Yang Ditetapkan Dalam Putusan Pengadilan Agama Semarang ”.. 2) Data sekunder. Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan penulis