• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dosis dan Optimasi Waktu Iradiasi Terapi Pi-Meson Negatif Pada Kanker Prostat Menggunakan Program PHITS

N/A
N/A
Bachtiar Muhammad Arif

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis Dosis dan Optimasi Waktu Iradiasi Terapi Pi-Meson Negatif Pada Kanker Prostat Menggunakan Program PHITS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Dosis dan Optimasi Waktu Iradiasi Terapi Pi-Meson Negatif Pada Kanker Prostat

Menggunakan Program PHITS

Bachtiar Muhamad Arif1, Andang Widi Harto2, Yohannes Sardjono3*

1,2 Departemen Teknik Nukir dan Teknik Fisika FT UGM Jalan Grafika 2 Yogyakarta 55281 INDONESIA

1bachtiar.muh.arif@mail.ugm.ac.id

2andangwh@ugm.ac.id

3 Pusat Riset dan Teknologi Akselerator (PRTA) ORTN-BRIN Jalan Babarsari, Yogyakarta 55281 INDONESIA

3ysardjono@batan.go.id

Intisari— Terapi pi-meson negatif memiliki potensi sebagai alternatif metode radioterapi karena tingkat radiasi yang tinggi, sedangkan organ sehat di sekitarnya mendapatkan dosis radiasi yang rendah. Terapi berbasis pi-meson negatif sangat sesuai untuk target tumor yang terdapat banyak organ vital disekitarnya, salah satunya adalah kanker prostat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dosis serta waktu iradiasi terapi pi-meson negatif untuk kasus kanker prostat. Simulasi dijalankan pada program PHITS dengan memodelkan kanker prostat pada geometri tubuh beserta organ dan jaringan didalamnya. Sumber radiasi yang digunakan adalah pion negatif dengan intensitas 2,5 × 108 pion/detik dengan rentang energi 40 MeV hingga 58 MeV. Optimasi dilakukan dengan menempatkan puncak Bragg-nya pada area kedalaman target serta menentukan bobot dosis dan waktu iradiasi. Penyinaran dilakukan dalam 25 fraksi dengan besar dosis per fraksi 2 Gy. Diperoleh waktu iradiasi per fraksi sebesar 91,23 detik. OAR yang ditinjau pada penelitian ini adalah kulit, kandung kemih, testis, rektum & usus besar, sumsum tulang belakang, ginjal dan jaringan lunak. Dosis yang diterima OAR tersebut secara berturut-turut 0,09023 Gy; 1,35349 Gy; 0,22417 Gy; 0,38557 Gy; 0,00622 Gy; 0,00438 Gy dan 0,11899 Gy..

Kata kunci— Pi-meson negatif, waktu iradiasi, kanker prostat, PHITS.

Abstract— Negative pi-meson therapy has potential as an alternative radiotherapy method because it has a high radiation level, while healthy organs around it receive a low radiation dose. Negative pi-meson-based treatment is suitable for targeting tumours with many vital organs around them, one of which is prostate cancer. This study aims to analyse the dose and time of irradiation of negative pi- meson therapy for prostate cancer cases. The simulation is run on the PHITS program by modelling prostate cancer on the geometry of the body organs and tissues. The radiation source is negative pion with an intensity of 2.5 × 108 pion/second with an energy range of 40 MeV to 58 MeV. Optimization is done by placing the Bragg peak in the target depth area and determining the dose weight and irradiation time. The irradiation was carried out in 25 fractions with a dose per fraction is 2 Gy. The irradiation time per fraction was 91.23 seconds. The OARs reviewed in this study were the skin, bladder, testes, rectum & large intestine, spinal cord, kidney and soft tissue. The doses received by the OAR respectively were 0.09023 Gy; 1.35349 Gy; 0.22417 Gy; 0.38557 Gy; 0.00622 Gy; 0.00438 Gy and 0.11899 Gy.

Keywords— Negative pi-meson, irradiation time, prostate cancer, PHITS.

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 2020 berdasarkan data dari Global Cancer Observatory (GLOBOCAN), kanker prostat berada pada peringkat 3 untuk penambahan kasus baru dengan jumlah 1.414.259 kasus dan peringkat 8 untuk tingkat mortalitas dengan jumlah kematian 375.304 kasus [1]. Di Amerika, sekitar 74% kasus kanker prostat terdeteksi pada tahap lokal.

Kebanyakan kasus terdiagnosis pada kondisi kanker tahap lokal atau regional, sekitar 80-85% dari total kasus. Hampir seluruh pasien yang terdiagnosis dan mendapat pengobatan pada tahap tersebut akan mendapatkan kesembuhan total setelah 5 tahun.

Berdasarkan data yang dirangkum oleh The American Cancer Society, nilai harapan hidup 5 tahun untuk pasien tahap lokal dan regional hampir 100%, serta tahap distant (jauh) sebesar

30% dengan rerata untuk semua tahap adalah 98%. Dari data yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa sejatinya penderita kanker prostat terlebih terdiagnosis sejak awal dan segera mendapat pengobatan memiliki angka harapan hidup yang tinggi.

Beberapa metode terapi atau pengobatan dapat menjadi pilihan dalam penanganan kanker prostat pada tahap lokal.

Radioterapi eksternal (berbasis foton), brakhiterapi, operasi, dan pengawasan aktif serta beberapa kombinasi pengobatan dapat digunakan untuk pengobatan kuratif kanker prostat tahap lokal (terlokalisasi) [2]. Radioterapi eksternal menjadi salah satu metode pengobatan yang sering digunakan hampir di semua grup memiliki risiko. Beberapa kelebihan menjadikan radioterapi eksternal sebagai pilihan di antaranya bersifat kuratif, tidak ada tindakan pembedahan, tidak ada anestesi,

(2)

aktivitas rutin harian masih dapat berjalan, dan pemantauan menggunakan PSA (Prostate Specific Antigen) untuk mendeteksi potensi kambuh [6]. Namun, terdapat kekurangan utama dari metode radioterapi eksternal dengan menggunakan sumber foton, salah satu yang paling menonjol adalah Organ- at-Risk (OAR) yang masih terpapar dosis yang tidak diperlukan.

Sifat penetrasi dosis relatif dari foton yang mengalami peningkatan dan mencapai puncak (1-2 cm di bawah kulit) dan kemudian menurun melewati organ hingga menembus tubuh menyebabkan OAR sebelum dan sesudah arah penyinaran mendapat dosis yang tidak perlu, di lain sisi organ target (prostat) belum mendapatkan dosis maksimal [3].

Salah satu metode terapi radiasi lain yang lebih efektif adalah terapi hadron. Hal ini karena pelepasan energi terapi hadron pada tubuh pasien ditandai dengan deposit besar yang terlokalisasi dalam beberapa milimeter terakhir di ujung jangkauan mereka, di wilayah yang disebut puncak Bragg, di mana mereka menghasilkan kerusakan parah pada sel-sel saat keduanya dilalui. dan jaringan sehat yang terletak lebih dalam [4].

Pi meson negatif atau pion negatif, adalah partikel bermuatan negatif yang memiliki massa 273 kali dari elektron.

Ini diproduksi dalam siklotron atau linier akselerator menggunakan proton berenergi 400 hingga 800 MeV yang ditembakkan pada target berilium. Pion negatif yang terbentuk akan di arahkan ke target tumor dan menghasilkan puncak Bragg yang berasal dari terbentuknya proton, neutron, dan partikel alfa [5]. Seperti halnya neutron, bentuk-bentuk radiasi ini memiliki efektivitas radiobiologis yang tinggi dan ketergantungan yang rendah pada oksigen. Sehingga berpeluang besar dapat memberikan lethal damage pada target tumor.

Salah satu program yang dapat digunakan untuk menyimulasikan analisis tersebut adalah Particle and Heavy Ion Transport code System (PHITS). PHITS merupakan program simulasi partikel berbasis pada metode Monte Carlo, yang mampu menyimulasi interaksi dan pergerakan partikel pada rentang energi yang luas. PHITS dipilih karena menunjukkan tingkat ketelitian yang lebih tinggi dalam melakukan simulasi mikrodosimetri dibandingkan program Monte Carlo lainnya seperti MCNP/MCNPX.

II. METODOLOGI PENELITIAN A. Pemodelan Geometri

Untuk geometri target berupa phantom yang akan digunakan yaitu phantom ORNL yang dibuat oleh Oak Ridge National Laboratory, serta geometri kanker yang referensinya diambil dari hasil citra CT Scan.

Pada kasus ini, objek dari penelitian ini adalah kanker prostat. Oleh karena itu, geometri yang akan digunakan adalah phantom model pria dewasa pada area pelvis. Jenis code yang digunakan untuk model phantom masih dalam format MCNP, sehingga perlu dilakukan modifikasi sebelum dapat digunakan dalam program PHITS. Selain melakukan modifikasi format phantom ke PHITS, pada penelitian ini juga ditambahkan geometri tumor berbentuk semi sferis dengan diameter ±3,2 cm

pada bagian prostat. Keterangan fraksi massa material penyusun phantom organ dan tumor diperoleh dari International Commission on Radiation Unit and Measurements (ICRU) [6].

B. Pemodelan Sistem Produksi dan Ekstraksi Pi Meson Negatif

Pemodelan sistem ekstraksi pion negatif bertujuan untuk mengetahui bagaimana karakteristik keluaran pion negatif yang diproduksi dan diekstraksi dari hasil interaksi proton berenergi tinggi terhadap material target. Sumber proton yang digunakan merupakan Synchroton-based yang telah di optimalisasi [7].

Proton yang dipercepat dari akselerator yang kemudian diarahkan ke target berilium untuk menghasilkan pion negatif.

Proton dihasilkan di dalam sinkroton dengan mengakselerasi ion hidrogen untuk menghasilkan proton berenergi 400 MeV dengan arus 1 mA [7]. Berkas sinar proton ini kemudian diteruskan ke target berilium dengan bentuk silinder jari-jari 2 cm dan panjang 20 cm dengan celah masuk berbentuk kerucut sepanjang 5 cm untuk memfokuskan berkas proton yang menumbuk inti berilium. Berkas pion negatif yang dihasilkan kemudian diekstrak menggunakan medan magnet.

Terdapat dua jenis medan magnet yang digunakan, yaitu dipole untuk membelokkan partikel bermuatan dan quadrupole untuk memfokuskan partikel bermuatan.

Sebagai perisai digunakan material Boron Carbide (B4C) sebagai penyerap partikel neutron dan Lead Oxide (PbO) sebagai penghalang proton dan radiasi foton. Sedangkan Osmium (Os) digunakan untuk memfokuskan partikel pion negatif yang terbentuk dikarenakan densitasnya yang tinggi sehingga mampu bertindak sebagai reflektor pion negatif.

Model geometri dan parameter disusun dan disimulasikan pada program PHITS, dan digunakan fungsi tally t-track dengan mesh tipe reg (region), untuk mendapatkan nilai fluks masing-masing partikel pada keluaran sistem ekstraksi. Hasil keluaran yang diharapkan berupa berkas pion negatif mono- energi, linier, bebas dari kontaminan partikel lainnya, dan memiliki intensitas yang cukup untuk digunakan dalam radioterapi.

C. Verifikasi Jangkauan Pion Negatif dalam Air

Sebelum dilakukan simulasi penyinaran pada phantom ORNL, perlu dilakukan pengujian jangkauan penetrasi pion negatif pada PHITS. Pengujian dilakukan dengan memverifikasi jangkauan pion negatif menggunakan phantom air (H2O cair) pada lingkungan yang berisi udara. Phantom air dibuat berbentuk balok dengan lebar sisi pada arah sumbu x dan y sebesar 30 cm dan panjang pada arah sumbu z sepanjang 50 cm. Pada lingkungan di luar balok diberi ruang udara (80% N, 20% O). Kemudian, didefinisikan sumber pion negatif berbentuk lingkaran dengan jari-jari 2,6 cm. Energi pion negatif divariasikan dari 10 𝑀𝑒𝑉 hingga 100 𝑀𝑒𝑉 dengan interval 5 𝑀𝑒𝑉.

Pengujian jangkauan pion negatif PHITS didapatkan dengan fungsi tally untuk menghitung intensitas partikel pion negatif di sepanjang kedalaman phantom air. Jangkauan pion negatif ditentukan berdasarkan besar intensitas partikel sebesar

(3)

±50% dari 𝐼0 yaitu intensitas pada permukaan phantom dari arah sumber [8].

D. Menjalankan Program Simulasi Pion Negatif Dengan Variasi Energi

Posisi penyinaran dilakukan dari arah anterior-posterior (AP) sejajar dengan sumbu z. Dengan sumber pion negatif didefinisikan berbentuk silindris seukuran dengan jari-jari target sebesar 2,6 cm.

Pion negatif memiliki karakteristik puncak Bragg yang mampu memberikan dosis besar pada satu titik kedalaman tertentu. Untuk memaksimalkan dosis pada setiap titik kedalaman target tumor, diperlukan suatu kombinasi puncak Bragg dengan berbagai energi. Kombinasi dari puncak Bragg dengan bobot yang tepat akan membentuk kurva dengan puncak yang mendatar kurva ini disebut dengan kurva Spread Out Bragg Peak (SOBP), sehingga kanker akan menerima dosis merata dari bagian depan hingga belakang.

Pengukuran laju dosis terserap oleh target dihitung menggunakan fungsi tally [t-deposit] pada keseluruhan jenis radiasi. Tipe mesh yang digunakan adalah r-z dengan jari-jari mengikuti ukuran sinar, yaitu 2,6 cm. Keluaran PHITS secara bawaan menghasilkan laju dosis dalam satuan 𝐺𝑦 /partikel- sumber. Dengan mendefinisikan intensitas sumber pada program, keluaran dari PHITS akan menjadi 𝐺𝑦/detik.

E. Optimasi Terapi

Hasil dari simulasi pion negatif pada phantom ORNL dengan berbagai energi tersebut nantinya akan didapatkan data laju dosis di sepanjang kedalaman. Selain sebagai verifikasi jangkauan pion negatif, data tersebut juga akan digunakan dalam optimasi dosis terapi pion negatif.

Energi dari pion negatif yang mampu mengenai target akan dikombinasikan untuk penyinaran multienergi. Untuk memberikan dosis yang homogen pada target perlu ditentukan bobot penyinaran untuk setiap energi. Sehingga terbentuk homogenitas dosis yang digambarkan dalam bentuk kurva SOBP. Metode optimasi yang digunakan mengacu ke metode optimasi pada penelitian dilakukan oleh Muhammad Ilham dalam [9]. Apabila nilai laju dosis efektif pada kedalaman 𝑗 dengan energi ke-𝑖 dilambangkan sebagai 𝑦𝑖,𝑗 serta waktu penyinaran tiap energi pion negatif dilambangkan sebagai 𝑡𝑖, maka dosis efektif total penyinaran multienergi pada kedalaman 𝑗 (𝑧𝑗) dinyatakan sebagai berikut.

𝑧𝑗 = ∑ 𝑦𝑖,𝑗× 𝑡𝑖 𝑛

𝑖=1

(1)

Karena persamaan (1) linier, maka setiap komponen dapat dilakukan perhitungan dalam bentuk matriks sebagaimana tertera pada persamaan (2). Untuk menentukan waktu penyinaran (𝑡𝑖) maka variabel 𝑦𝑖,𝑗 dipindahkan ke posisi yang sama dengan variabel 𝑧𝑖 mengikuti aturan perkalian matriks seperti pada persamaan (3). Dengan 𝑧𝑖 dibuat seragam sesuai dengan dosis yang sudah ditentukan per fraksi, yaitu sebesar 2 Gy.

[𝑍] = [𝑌][𝑇] (2)

[𝑇] = [𝑌]−1[𝑍] (3)

Hasil dari penentuan nilai penyinaran ini digunakan untuk menentukan pembobotan untuk setiap energi. Dosis total diharapkan membentuk kurva yang datar dan tinggi pada target, sedangkan untuk daerah di sekitar target akan didapatkan kurva yang rendah. Faktor bobot radiasi (𝑤𝑖) ditentukan dengan mengonversi nilai 𝑡𝑖 menggunakan persamaan berikut.

𝑤𝑖= 𝑡𝑖

𝑛 𝑡𝑖 𝑖=1

(4) Nilai faktor bobot radiasi setiap tingkat energi kemudian digunakan sebagai fraksi fluks pion negatif pada simulasi penyinaran multienergi. Tujuan dari simulasi ini untuk menghitung nilai laju dosis yang diterima target dan organ di sekitarnya. Selain itu, dilakukan visualisasi distribusi dosis menggunakan tally [t-deposit] dengan tipe mesh xyz dan untuk mendapatkan nilai laju dosis spesifik pada cell tertentu digunakan mesh reg. Laju dosis partikel yang dihitung pada simulasi multienergi adalah pion negatif, muon negatif, elektron, proton, neutron, alfa, inti-inti berat, dan foton.

F. Analisis Dosis

Nilai laju dosis serap hasil simulasi dikonversi dengan cara mengalikan laju dosis serap tiap partikel dengan nilai RBE-nya masing-masing Pada penelitian ini RBE pion negatif terbagi menjadi RBE plateau dan RBE peak. Nilai RBE plateau pada pion negatif diasumsikan setara dengan radiasi gamma yaitu 1 [10]. Sementara nilai RBE untuk peak region pada penelitian ini diasumsikan bernilai 1,5, mengacu pada nilai RBE yang ditetapkan untuk pion negatif [11]. Sehingga laju dosis efektif total pion negatif dapat digunakan persamaan berikut.

𝐷̇𝑅𝐵𝐸= (𝐷̇𝑃𝑙𝑎𝑡𝑒𝑎𝑢× 𝑅𝐵𝐸𝑃𝑙𝑎𝑡𝑒𝑎𝑢) + (𝐷̇𝑃𝑒𝑎𝑘× 𝑅𝐵𝐸𝑃𝑒𝑎𝑘) (5) 𝐷̇𝑅𝐵𝐸= (𝐷̇𝑝𝑖𝑜𝑛+ 𝐷̇𝑚𝑢𝑜𝑛+ 𝐷̇𝑒𝑙𝑒𝑘𝑡𝑟𝑜𝑛+ 𝐷̇𝑓𝑜𝑡𝑜𝑛) × 1

+ (𝐷̇𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑛+ 𝐷̇𝑎𝑙𝑓𝑎+ 𝐷̇𝑛𝑢𝑘𝑙𝑒𝑢𝑠

+ 𝐷̇𝑛𝑒𝑢𝑡𝑟𝑜𝑛) × 1,5

(6)

Setelah didapatkan nilai dosis RBE dapat ditentukan lama waktu penyinaran. Waktu yang diperlukan untuk iradiasi per fraksi diperoleh dari optimalisasi metode terapi pada persamaan (4). Untuk penentuan nilai sebaran dosis (D) setiap organ, maka nilai dosis efektif (𝐷𝑅𝐵𝐸) dikali dengan waktu terapi per fraksi dikali jumlah fraksi (𝑓).

𝑡 = ∑ 𝑡𝑖 𝑛

𝑖=1

(7)

Untuk penentuan nilai sebaran dosis (D) setiap organ, maka nilai dosis efektif (𝐷𝑅𝐵𝐸) masing-masing jaringan dikali dengan waktu terapi per fraksi dikali jumlah fraksi (𝑓).

𝐷 = 𝐷̇𝑅𝐵𝐸× 𝑡 × 𝑓 (8)

Dikarenakan geometri CTV dan PTV terpisah, maka perhitungan CTV dan PTV dihitung menggunakan cara yang

(4)

berbeda. Dikarenakan CTV seharusnya mencakup volume GTV ditambah ekstensi marginnya dan PTV seharusnya mencakup volume CTV ditambah ekstensi marginnya.

Sehingga dosis yang diterima oleh CTV dan PTV dapat dihitung menggunakan persamaan berikut.

𝐷𝐶𝑇𝑉=𝑉𝐺𝑇𝑉× 𝐷𝐺𝑇𝑉+ 𝑉𝐶𝑇𝑉× 𝐷′𝐶𝑇𝑉

𝑉𝐺𝑇𝑉+ 𝑉𝐶𝑇𝑉

(9)

𝐷𝑃𝑇𝑉=𝑉𝐺𝑇𝑉× 𝐷𝐺𝑇𝑉+ 𝑉𝐶𝑇𝑉× 𝐷′𝐶𝑇𝑉+ 𝑉𝑃𝑇𝑉× 𝐷′𝑃𝑇𝑉

𝑉𝐺𝑇𝑉+ 𝑉𝐶𝑇𝑉+ 𝑉𝑃𝑇𝑉 (10) dengan:

𝐷𝐺𝑇𝑉 : Dosis yang diterima GTV (𝐺𝑦) 𝑉𝐺𝑇𝑉 : Volume GTV (cm3)

𝐷𝐶𝑇𝑉 : Dosis yang diterima CTV hasil simulasi (𝐺𝑦) 𝑉𝐶𝑇𝑉 : Volume CTV (cm3)

𝐷𝑃𝑇𝑉 : Dosis yang diterima PTV hasil simulasi (𝐺𝑦) 𝑉𝑃𝑇𝑉 : Volume PTV (cm3)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemodelan Phantom ORNL dan Target Tumor

Phantom ORNL beserta target tumor dibuat di dalam PHITS kemudian divisualisasikan secara 2 dimensi maupun 3 dimensi.

Proses pemodelan yang dilakukan berhasil, karena tidak terdapat sel yang saling tumpang tindih maupun tidak terdefinisi ketika divisualisasikan.

Tidak semua bagian dari keseluruhan phantom ORNL digunakan. Karena kasus kanker yang akan diteliti adalah kanker prostat, maka hanya tubuh bagian bawah yang digunakan untuk pemodelan. Jaringan dan organ tubuh yang dimodelkan di antaranya kulit, jaringan lunak abdomen dan femur, pelvis, prostat, kandung kemih, ginjal, testis, usus halus, rektum dan sumsum tulang belakang. Selain target tumor, keseluruhan organ tersebut akan dianalisis sebagai OAR.

Phantom ditampilkan secara 2 dimensi dalam potongan coronal, axial dan sagital. Setiap sel diberikan warna dan keterangan yang berbeda untuk memudahkan dalam mengidentifikasi setiap organ.

Gambar 1. Potongan coronal phantom ORNL dan target tumor

Gambar 2. Potongan axial phantom ORNL dan target tumor

Gambar 3. Potongan sagital phantom ORNL dan target tumor B. Sistem Ekstraksi Pi Meson Negatif

Interaksi antara proton berenergi tinggi dengan berilium menghasilkan berbagai macam partikel, di antaranya pion negatif, pion positif, neutron, alfa dan foton. Sehingga dibutuhkan serangkaian perisai radiasi dengan sistem ekstraksi medan magnet untuk memisahkan pion negatif dari partikel- partikel lain sekaligus menyeleksi energi pion negatif yang akan digunakan dalam radioterapi. Model geometri sistem produksi-ekstraksi pion negatif yang dibuat adalah sebagai berikut.

(5)

Gambar 4. Sistem produksi-ekstraksi pion negatif

Pada penelitian ini dilakukan simulasi sistem ekstraksi pion negatif yang berasal dari hasil tumbukan partikel proton dengan energi 400 𝑀𝑒𝑉 ke target berilium menggunakan PHITS. Pion negatif yang dihasilkan kemudian diekstraksi menggunakan medan magnet dipole untuk membelokkan partikel pion negatif dan memisahkan partikel pengotor lain seperti sisa proton dan pion positif ke arah berlawanan. Pada kasus ini, medan magnet dipole yang digunakan pada sel 107 adalah 64 𝑘𝐺 (kilogauss).

Sedangkan pada sel 109 medan magnet yang digunakan sebesar 28 𝑘𝐺. Untuk memfokuskan pion negatif yang telah dibelokkan digunakan magnet quadrupole ganda pada sel 114 dan 117 yang masing-masing memiliki magnitudo sebesar 15 𝑘𝐺 dan -15 𝑘𝐺 . Besar magnitudo medan magnet diperoleh dengan metode trial and error sampai didapatkan besaran medan magnet yang sesuai untuk membelokkan partikel pion negatif.

Dengan menembakkan proton dari koordinat (0,0,-20) ke target berilium (sel 100) didapatkan hasil dengan visualisasi partikel sebagai berikut.

Gambar 5. Hasil tracking pion negatif yang terproduksi dan diekstraksi menggunakan medan magnet

Target pion negatif yang dipisahkan dalam sistem ini adalah pion negatif dengan energi 70 𝑀𝑒𝑉 . Hasil yang didapatkan

pada keluaran (sel 300) berupa pion negatif pada energi 70 𝑀𝑒𝑉 dengan fluks sebesar 7.67E + 09 sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 1.

TABELI

FLUKSPARTIKELPADAKELUARANSISTEM

Jenis Partikel Fluks

(1/cm2/detik)

Pion- 7,67 × 109

Pion+ 0

Proton 0

Neutron 9,82 × 1010

Alfa 0

Hasil tersebut masih belum sempurna karena masih banyak partikel pengotor seperti proton dan neutron yang mampu melewati shielding. Untuk hasil yang lebih baik, ukuran shielding perlu dipertebal dan jalur lintasan pion negatif dibuat lebih panjang. Akan tetapi, dalam perhitungan monte carlo semakin besar ukuran geometri maka akan semakin banyak interaksi partikel yang diperhitungkan. Sehingga diperlukan perangkat komputer dengan spesifikasi yang lebih tinggi untuk menjalankan simulasinya. Oleh karena itu, untuk simulasi- simulasi berikutnya pada penelitian ini akan digunakan nilai intensitas dari TRI University Meson Facility (TRIUMF) Biomedical Pion Channel sebesar 2,5 × 108 partikel/detik [12].

C. Verifikasi Jangkauan Pi Meson Negatif

Penentuan jangkauan pion negatif berdasarkan intensitas 50%

dari intensitas permukaan phantom air. Akan tetapi, tidak terdapat intensitas dengan nilai tepat 50% dari 𝐼0. Sehingga jangkauan pion negatif diasumsikan terletak di antara dua mesh yang memiliki intensitas mendekati nilai 50% intensitas permukaan.

TABELII

JANGKAUANPIONNEGATIFDENGANVARIASITINGKATENERGI PADAPHANTOMAIR

Energi (MeV)

Kedalaman (cm)

Energi (MeV)

Kedalaman (cm)

0 0 55 10,75

10 0,54 60 12,4

15 1,17 65 14,1

20 1,9 70 15,84

25 2,86 75 17,61

30 3,92 80 19,5

35 5,1 85 21,42

40 6,4 90 23,35

45 7,75 95 25,3

50 9,15 100 27,4

(6)

Gambar 6. Kurva jangkauan pion negatif dengan variasi energi pada phantom

air (hasil simulasi)

Gambar 7. Kurva jangkauan pion negatif dengan variasi tingkat energi pada phantom air (referensi) [13]

Hasil pengukuran jangkauan pion negatif menggunakan PHITS didapatkan hasil yang secara visual dapat diasumsikan sesuai dengan referensi pada gambar 7. Namun hasil tersebut tidak dapat ditentukan besar galat terhadap referensi dikarenakan tidak ditampilkan data tabel secara spesifik.

Sehingga hanya dapat dibandingkan secara visual saja.

Bagaimanapun halnya, hasil pada gambar 6 dan tabel 2 dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan rentang energi yang akan digunakan untuk simulasi terapi pada phantom ORNL.

D. Hasil Pengujian Dengan Variasi Energi

Simulasi pada phantom ORNL menggunakan pion negatif pada rentang energi 40 𝑀𝑒𝑉 hingga 60 𝑀𝑒𝑉 sesuai dengan prediksi berdasarkan jangkauan energi pion negatif. Nilai dosis keluaran pada program PHITS merupakan laju dosis serap.

Untuk mendapatkan laju dosis efektif, laju dosis serap perlu dikonversi menjadi laju dosis efektif menggunakan persamaan 6. Data laju dosis efektif diubah ke dalam bentuk grafik sebagaimana pada gambar 8.

Gambar 8. Grafik laju dosis efektif pion negatif dengan variasi energi di sepanjang kedalaman target tumor pada phantom ORNL

Berdasarkan grafik yang divisualisasikan pada Gambar 8 bahwa seiring bertambahnya energi pion negatif maka akan semakin dalam posisi dari puncak Bragg. Seiring pertambahan energi, laju dosis semakin berkurang dikarenakan adanya interaksi pion negatif selama melewati medium. Selain itu masih terdapat fluktuasi nilai puncak dan pelebaran kurva Bragg terutama pada kurva energi tinggi. Penulis berhipotesis bahwa fenomena ini terkait dengan jumlah iterasi yang dilakukan masih belum mencapai konvergensi. Sehingga diperlukan pengujian dengan jumlah iterasi yang lebih banyak supaya dihasilkan nilai yang lebih akurat.

Dari grafik pada gambar 8 dapat diamati bahwa puncak pada energi 59 𝑀𝑒𝑉 melebihi target kedalaman 8,1 cm.

Sehingga simulasi energi untuk variasi energi pada phantom dihentikan, dan energi yang akan digunakan untuk terapi dan optimasi yaitu pion negatif pada rentang 40 𝑀𝑒𝑉 hingga 58 𝑀𝑒𝑉.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 5 10 15 20 25 30

Energi (MeV)

Kedalaman Phantom Air (cm)

-0.01 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1

0 2 4 6 8 10 12

Laju Dosis Efektif (Gy/s)

Kedalaman (cm)

40 MeV 41 MeV 42 MeV 43 MeV

44 MeV 45 MeV 46 MeV 47 MeV

48 MeV 49 MeV 50 MeV 51 MeV

52 MeV 53 MeV 54 MeV 55 MeV

56 MeV 57 MeV 58 MeV 59 MeV

(7)

E. Optimasi Dosis dan Waktu Terapi

Tujuan dari dilakukannya optimasi adalah supaya target tumor mendapatkan dosis yang homogen di setiap kedalamannya. Optimasi dosis yang bertujuan untuk membentuk kurva SOBP tentu akan memberikan hasil yang lebih homogen dan tepat sesuai dengan bentuk target tumor jika dilakukan pada seluruh titik target. Namun dikarenakan penyinaran multienergi dengan variasi posisi dan kedalaman sekaligus memerlukan analisis yang lebih rumit. Maka hanya dilakukan penyinaran multienergi dengan variasi kedalaman pada target. Sehingga penentuan waktu iradiasi dan pembobotan dalam optimasi dapat dikalkulasikan secara linier berdasarkan persamaan 3 dan 4. Waktu iradiasi yang didapat digunakan untuk menentukan nilai pembobotan tiap energi.

Nilai pembobotan yang didapatkan diverifikasi dengan menjadikannya kurva SOBP.

Gambar 9. Grafik dosis efektif hasil optimasi dalam bentuk SOBP

Berdasarkan hasil optimasi, total waktu iradiasi per fraksi adalah 95,18 detik. Pada gambar 9 dapat diamati bahwa tidak terdapat hotspot, yaitu daerah kedalaman target dengan dosis melebihi dosis preskripsi 107% yaitu 2,14 𝐺𝑦. Namun masih terdapat coldspot pada titik target, yaitu daerah yang mendapatkan dosis kurang dari 95% dosis preskripsi yaitu 1,9 𝐺𝑦. Coldspot terletak pada titik kedalaman 3,8 cm.

Idealnya perlu dilakukan optimasi ulang dengan cara menyesuaikan waktu iradiasi sehingga didapatkan bentuk kurva SOBP yang ideal. Optimasi ulang diterapkan dengan menurunkan waktu iradiasi untuk energi 40, 41 dan 42 𝑀𝑒𝑉 dan menaikkan waktu iradiasi untuk energi 43 𝑀𝑒𝑉 . Pengubahan nilai waktu iradiasi dilakukan dengan metode trial and error. Optimasi ulang dilakukan untuk menghilangkan coldspot dengan tetap menghindari terbentuknya hotspot di

sepanjang kedalaman target. Dengan dilakukan optimasi ulang waktu iradiasi per fraksi yang diperoleh menjadi 91,23 detik.

Gambar 10. Grafik dosis efektif hasil optimasi ulang F. Visualisasi Berkas Radiasi dan Pemetaan Dosis

Metode simulasi penyinaran dilakukan menggunakan pion negatif multienergi sebanyak 19 tingkat energi diskrit dengan nilai pembobotan radiasi yang didapatkan dari hasil optimasi.

Gambar 11. Distribusi laju dosis serap total potongan axial 0.E+00

5.E-01 1.E+00 2.E+00 2.E+00 3.E+00

0 2 4 6 8 10

Dosis Efektif (Gy)

Kedalaman (cm)

Kurva SOBP

Batas Toleransi Dosis 95%

Batas Toleransi Dosis 107%

Kedalaman Minimum Kanker Kedalaman Maksimum Kanker

0.E+00 5.E-01 1.E+00 2.E+00 2.E+00 3.E+00

0 2 4 6 8 10

Dosis Efektif (Gy)

Kedalaman (cm)

Kurva SOBP Hasil Optimasi Ulang Batas Toleransi Dosis 95%

Batas Toleransi Dosis 107%

Kedalaman Minimum Kanker Kedalaman Maksimum Kanker

(8)

Gambar 12. Distribusi laju dosis serap total potongan sagital

Gambar 13. Distribusi laju dosis serap total potongan coronal

Dosis yang diterima target tumor dan OAR yang berada di sekitar target menjadi indikator penting dalam pelaksanaan radioterapi. Hasil dari simulasi multienergi berupa data laju dosis serap partikel pion negatif, muon negatif, proton, neutron, alfa, inti-inti berat, elektron dan foton pada setiap organ. Laju dosis serap tersebut dikonversi menjadi laju dosis efektif menggunakan persamaan 6. Data laju dosis efektif yang didapatkan dikalikan dengan total waktu iradiasi dan jumlah fraksi dosis. Sehingga diperoleh nilai dosis yang diterima target tumor dan OAR.

TABELIII

DOSISYANGDITERIMATARGET

Target

Dosis per Fraksi

(𝑮𝒚)

Dosis Total (𝑮𝒚)

Persentase Dosis Preskripsi

GTV 2,01891 50,47276 100,95%

CTV 2,02888 50,72207 101,44%

PTV 2,02777 50,66349 101,33%

Berdasarkan hasil simulasi, nilai dosis yang diterima target GTV, CTV dan PTV sudah sesuai dengan dosis preskripsi yaitu di antara 95% dan 107% dosis total yang ditargetkan. Dosis tertinggi ada pada CTV dan PTV menempati posisi kedua, sementara dosis terendah ada pada GTV. Hal tersebut dikarenakan densitas dan material penyusun tumor yang sedikit berbeda dibandingkan dengan organ sekitarnya. Densitas dan material penyusun CTV dan PTV berbeda dengan GTV, dikarenakan keduanya adalah bagian dari jaringan atau organ sehat yang dalam kasus ini adalah prostat dan kandung kemih.

Sehingga didapatkan interpretasi hasil yang berbeda dengan target tumor.

TABELIV

DOSISTOTALBESERTADOSECONSTRAINTOAR

Jaringan/Organ Dosis Total

(𝑮𝒚) Dose Constraint

Kulit

0,09023

𝐷𝑚𝑎𝑥≤ 32 (6,4 𝐺𝑦/𝑓𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖) 𝑉30 𝐺𝑦 < 10 𝑐𝑐 8,12469

(𝑏𝑒𝑎𝑚 𝑙𝑖𝑛𝑒)

Kandung kemih 1,35349 𝐷𝑚𝑎𝑥≤ 65 𝐺𝑦

Testis 0,22417 𝐷𝑚𝑎𝑥≤ 35 𝐺𝑦

Usus besar & Rektum 0,38557 𝐷𝑚𝑎𝑥≤ 38 (7,6 𝐺𝑦/𝑓𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖)

Tulang Panggul 0,02574 -

Sumsum tulang

belakang 0,00622 𝐷𝑚𝑎𝑥≤ 50 𝐺𝑦

Ginjal 0,00438 𝐷𝑚𝑎𝑥≤ 28 𝐺𝑦

Usus Halus 0,01551 𝑉45 𝐺𝑦 < 195 𝑐𝑐

Jaringan lunak (tubuh bagian bawah)

0,11899

𝐷𝑚𝑎𝑥≤ 50 (10 𝐺𝑦/𝑓𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖) 22,86411

(𝑏𝑒𝑎𝑚 𝑙𝑖𝑛𝑒)

Dosis yang diterima target menjadi tujuan dari penelitian ini.

Namun, dosis yang diterima OAR menjadi indikator penting dalam keberhasilan pelaksanaan radioterapi. OAR yang ditinjau pada penelitian ini adalah jaringan lunak yang terdapat pada tubuh bagian bawah, kulit, kandung kemih, testis sumsum tulang belakang, ginjal, usus besar dan rektum. Setiap jaringan/organ yang didefinisikan sebagai OAR memiliki nilai dose constraint atau batasan dosis masing-masing. Terdapat beberapa referensi untuk nilai dose constraint, dan untuk penelitian ini nilai dose cosnstraint diambil dari Quantitative Analysis of Normal Tissue Effects in the Clinic (QUANTEC) untuk fraksinasi konvensional (1,8 -2 𝐺𝑦/fraksi) [14], [15].

Dose constraint pada kulit adalah dosis maksimumnya tidak boleh mendapatkan dosis lebih dari 32 𝐺𝑦 atau 6.4 𝐺𝑦 dalam satu fraksi. Syarat lainnya adalah volume yang menerima dosis 30 𝐺𝑦 untuk volume kurang dari 10 𝑐𝑐 . Pada penelitian ini didapatkan dosis total rerata 0,09023 𝐺𝑦 . Dan dosis total sepanjang jalur penyinaran 8,12469 𝐺𝑦. Nilai tersebut jauh dari batas dose constraint-nya. Sedangkan untuk jaringan lunak secara umum pada sekitar target didapatkan dosis total rerata sebesar 0,11899 𝐺𝑦. Dan dosis total sepanjang jalur penyinaran 22,86481 𝐺𝑦. Dengan dose constraint sebesar 50 𝐺𝑦, dengan dosis per fraksi tidak melebihi 10 𝐺𝑦. Hal ini karena dosis yang dihitung oleh PHITS merupakan dosis rerata. Maka secara

(9)

spesifik tidak diketahui besar dosis terutama pada kulit dan jaringan lunak pada daerah di luar jalur penyinaran. Untuk menentukan dosis dengan mempertimbangkan volume dari jaringan atau organ tertentu diperlukan analisis menggunakan Dose Volume Histogram (DVH), tetapi PHITS belum memiliki fitur tersebut.

Begitu pula untuk usus halus yang memiliki dose constraint 45 𝐺𝑦 untuk setiap volume kurang dari 195 𝑐𝑐. Dengan dosis total rerata yang diterima usus halus pada simulasi PHITS sebesar 0,01551 𝐺𝑦. Dosis rerata yang diterima relatif lebih kecil dibandingkan dengan OAR lain seperti kandung kemih, rektum & usus besar dan testis yaitu 1.35349 𝐺𝑦, 0,38557 𝐺𝑦 dan 0,22417 𝐺𝑦. Hal ini karena posisi usus halus lebih jauh dari target penyinaran. Walaupun diasumsikan usus halus berada pada posisi yang aman. Namun untuk hasil yang spesifik perlu dianalisis dengan menggunakan DVH. Hal ini karena PHITS belum terdapat fitur untuk menggambarkan DVH di dalam phantom ORNL. Sehingga penilaian dilakukan secara umum dengan menggunakan informasi yang terbatas.

Untuk dose constraint pada ginjal tidak boleh melewati dosis lebih dari 28 𝐺𝑦. Dosis total rerata yang diterima ginjal pada simulasi PHITS adalah 0,00438 𝐺𝑦 . Untuk sumsum tulang belakang yang posisinya bersebelahan dengan organ ginjal didapatkan dosis total rerata sebesar 0,00622 𝐺𝑦. Dengan dose constraint tidak lebih dari 50 𝐺𝑦. Berdasarkan nilai keluaran tersebut, dapat dikatakan bahwa dosis yang diterima oleh ginjal dan sumsum tulang belakang berada jauh di bawah batasan toleransi. Secara umum, dosis rerata yang diterima oleh OAR dalam simulasi ini tidak ada yang melebihi dose constraint dari jaringan ataupun organ masing-masing.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

1) Pada penelitian ini jaringan dan organ yang didefinisikan sebagai OAR yaitu kulit, kandung kemih, testis, rektum & usus besar, sumsum tulang belakang, ginjal dan jaringan lunak. Nilai dosis total rerata yang diterima OAR tersebut secara berturut-turut yaitu 0,09023 𝐺𝑦; 1,35349 𝐺𝑦; 0,22417 𝐺𝑦; 0,38557 𝐺𝑦;

0,00622 𝐺𝑦; 0,00438 𝐺𝑦 dan 0,11899 𝐺𝑦. Dan dosis total pada jalur penyinaran untuk kulit dan jaringan lunak secara berturut-turut yaitu 8,12469 𝐺𝑦 dan 22,86411 𝐺𝑦. Dari keseluruhan OAR tersebut, tidak ada dosis OAR yang melebihi dose constraint masing- masing.

2) Waktu iradiasi terapi pion negatif dengan intensitas 2,5 × 108 pion/detik dan target dosis per fraksi sebesar 2 𝐺𝑦 untuk kasus kanker prostat dengan jari- jari PTV sebesar 2,6 cm pada kedalaman 5,5 cm adalah 91,23 detik.

REFERENSI

[1] H. Sung et al., “Global Cancer Statistics 2020: GLOBOCAN Estimates of Incidence and Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries,” CA. Cancer J. Clin., vol. 71, no. 3, pp. 209–249, 2021, doi: 10.3322/caac.21660.

[2] A. Barrett, J. Dobbs, S. Morris, and T. Roquess, Practical Radiotherapy Planning, 4th ed. London: Hodder Arnold, 2009.

[3] H. Ishikawa et al., “Particle therapy for prostate cancer: The past, present and future,” Int. J. Urol., vol. 26, no. 10, pp. 971–979, 2019, doi: 10.1111/iju.14041.

[4] S. Braccini, “Scientific and technological development of hadrontherapy,” Astroparticle, Part. Sp. Physics, Detect. Med.

Phys. Appl. - Proc. 11th Conf., pp. 598–609, 2010, doi:

10.1142/9789814307529_0099.

[5] C. M. Yashar, Basic principles in gynecologic radiotherapy, Ninth Edit. Elsevier Inc., 2018.

[6] R. McConn, C. Gesh, R. Pagh, R. Rucker, and R. William, Radiation Portal Monitor Project : Compendium of Material Composition Data for Radiation Transport Modeling, Revision 1.

Washington: Pacific Northwest National Laboratory, 2011.

[7] IAEA, Radiological Safety Aspects of the Operation of Proton Accelerators, Technical. Vienna: International Atomic Energy Agency, 1988.

[8] N. Tsoulfanidis and S. Landsberger, Measurement & Detection of Radiation, 4th Editio. Boca Raton: Taylor & Francis Group, 2015.

[9] M. Ilham, A. W. Harto, and Y. Sardjono, “Analisis Dosis dan Waktu Iradiasi Terapi Proton Pada Kanker Serviks Menggunakan PHITS,” Universitas Gadjah Mada, 2022.

[10] N. Nakamura, G. K. Lam, K. Sakamoto, and S. Okada,

“Radiobiological studies of pi-meson at TRIUMF using mouse L5178Y cells,” Radiat. Oncol. Biol. Phys., vol. 6, pp. 1179–1185, 1990, doi: 10.1016/0360-3016(80)90171-6.

[11] G. B. Goodman et al., “Pi Meson Radiotherapy at TRIUMF,”

Japanese Soc. Ther. Radiol. Oncol., vol. 2, pp. 85–99, 1989, doi:

https://doi.org/10.11182/jastro1989.2.85.

[12] R. W. Harrison and D. E. Lobb, “A Negative Pion Beam Transport Channel for Radiobiology and Radiation Therapy at TRIUMF,”

IEEE Trans. Nucl. Sci., vol. 20, no. 3, pp. 1029–1031, 1973, doi:

10.1109/TNS.1973.4327317.

[13] M. R. Raju, “Negative Pion Beams for Radiotherapy,” pp. 33–62, 1971.

[14] B. Emami, J. Lyman, and A. Brown, “Tolerance of Normal Tissue to Therapeutic Radiation,” Int. J. Radiat. Oncol. Biol. Phys., vol.

21, pp. 109–122, 1991.

[15] L. A. B. M. Arks et al., “Use of Normal Tissue Complication Probability Models in The Clinic,” Int. J. Radiat. Oncol. Biol.

Phys., vol. 76, no. 3, pp. S10–S19, 2010, doi:

10.1016/j.ijrobp.2009.07.1754.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui kondisi religiusitas dan OCB di Unsoed digunakan analisis deskriptif kualitatif.Hasil penelitian membuktikan bahwaDimensi Religiusitas yaitu dimensi

Walaupun sebagian besar pemeriksaan endoskopi aman untuk dilakukan pada pasien tersebut, terdapat beberapa hal utama terkait manajemen pemberian antitrombotik yang harus

Dari definisi teori goal setting atau penentu tujuan diatas dapat direalisasikan pada organisasi kelurahan pemerintahan Petemon terutama dalam program pemberdayaan lingkungan

“Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Kacang Okra Hijau (Abelmoschus Esculentus L) di Pasar Raya Medan Mega Trade Center Kecamatan Percut Sei Tuan,

44 Penggunaan bakteri indigen hidrokarbon dari tanah disekitar tambang minyak bumi Wonocolo berpotensi untuk mendegradasi minyak bumi di lingkungan yang tercemar

Sampan untuk memancing berbeda dengan sampan yang biasa dipakai untuk menyeberangkan orang dari sisi sungai yang satu ke sisi sungai yang lain?. Sampan seperti itu biasanya

Penelitian in1 bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak P.australts dalam menyembuhkan ikan kerapu tikus yang terinfeksi bakteri V. alginolitycus, dengan membandingkan