KEDUDUKAN ALAT
Abstract: Human activities that have started using electronics have an effect on the condition of the evidence, namely the electronic device
process is the emergence of a variety of electronic transactions which then gave birth to certain electronic transactions, which on the other hand are evidence that can be used in the future.
procedural law has not been proven through electronic evidence. If this phenomenon is ruled out, then evidence as an effort to provide certainty and truth about the existence of certain events will be hampered. Each piece of evidence has i
The type of research used in compiling this journal is library research by reviewing and researching various documents or literature, such as: books, fiqh books, laws and regulations, jurisprude
related to this research. The results of this study are how to prove by using Electronic Information evidence in a case in a religious court the same as submitting written or letter evidence, which is submitted in a civil trial, namely in the
matched. with the original first. Electronic evidence brought to trial must be verified. If the evidence produced by the electronic object is true, then the electronic evidence must be classi
Keywords: Position, Electronic Evidence, Religious Court
Abstrak: Aktivitas manusia yang sudah mulai menggunkan elektronik berpengaruh pada kondisi alat bukti yakni alat elektronik itu sendiri. Permasalahan yang muncul sebagai sebuah problem dalam proses pembuktian adalah, munculnya ragam transaksi elektronik yang kemudi
elektronik tertentu, disatu sisi merupakan sebuah alat bukti yang dapat dipergunakan dikemudian hari.
Padahal undang-undang hukum acara belum mengatur perihal pembuktian melalui bukti elektronik. Jika fenomena ini dikesampingkan, maka pembuktian sebagai upaya untuk memberikan kepastian dan kebenaran kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu akan terhambat. Masing
mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri yang telah ditentukan oleh undang yang digunakan dalam menyusun jurnal ini
dan meneliti berbagai dokumen atau literature, seperti: buku undangan, yurisprudensi yang ada kaitannya
melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara di pengadilan agama sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan pe yakni dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Bukti elektronik yang dibawa ke persidangan harus diuji kebenarannya. Apabila bukti yang dihasilkan oleh benda elektron
dikelompokkan sebagai alat bukti.
Kata kunci: Kedudukan, Bukti Elektronik, Pengadilan Agama
Received ; 25 Agustus 2022;
Al-Mabsut
Jurnal Studi Islam dan Sosial Vol. 16 No.2 September 2022 DOI: 10.56997/almabsut.v16i2.686
The article is published with Open Access Journal at Al-Mabsut Studi Islam & Sosial
Commons Attribution 4.0 International
ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERKARA DI PENGADILAN AGAMA
Yusuf Wibisono [email protected]
Human activities that have started using electronics have an effect on the condition of the evidence, namely the electronic device itself. The problem that arises as a problem in the verification process is the emergence of a variety of electronic transactions which then gave birth to certain electronic transactions, which on the other hand are evidence that can be used in the future.
procedural law has not been proven through electronic evidence. If this phenomenon is ruled out, then evidence as an effort to provide certainty and truth about the existence of certain events will be hampered. Each piece of evidence has its own strength of evidence which has been determined by law.
The type of research used in compiling this journal is library research by reviewing and researching various documents or literature, such as: books, fiqh books, laws and regulations, jurisprude
related to this research. The results of this study are how to prove by using Electronic Information evidence in a case in a religious court the same as submitting written or letter evidence, which is submitted in a civil trial, namely in the form of a copy or photocopy of the written evidence, and must be matched. with the original first. Electronic evidence brought to trial must be verified. If the evidence produced by the electronic object is true, then the electronic evidence must be classified as evidence.
Position, Electronic Evidence, Religious Court
Aktivitas manusia yang sudah mulai menggunkan elektronik berpengaruh pada kondisi alat bukti yakni alat elektronik itu sendiri. Permasalahan yang muncul sebagai sebuah problem dalam proses pembuktian adalah, munculnya ragam transaksi elektronik yang kemudian melahirkan beberapa transkrip elektronik tertentu, disatu sisi merupakan sebuah alat bukti yang dapat dipergunakan dikemudian hari.
undang hukum acara belum mengatur perihal pembuktian melalui bukti elektronik. Jika ngkan, maka pembuktian sebagai upaya untuk memberikan kepastian dan kebenaran kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu akan terhambat. Masing
mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri yang telah ditentukan oleh undang-undang. Jenis
yang digunakan dalam menyusun jurnal ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan mengkaji dan meneliti berbagai dokumen atau literature, seperti: buku-buku, kitab fiqih, peraturan perundang undangan, yurisprudensi yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini ialah c melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara di pengadilan agama sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan pe yakni dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Bukti elektronik yang dibawa ke persidangan harus diuji kebenarannya. Apabila bukti yang dihasilkan oleh benda elektronik itu memang benar , maka bukti elektronik tersebut haruslah
Kedudukan, Bukti Elektronik, Pengadilan Agama
25 Agustus 2022; Accepted 30 Agustus 2022; Published 18 September 2022
Jurnal Studi Islam dan Sosial Vol. 16 No.2 September 2022 DOI: 10.56997/almabsut.v16i2.686
ed with Open Access Journal at https://ejournal.iaingawi.ac.id/index.php/almabsut Mabsut Studi Islam & Sosial by LP2M Institut Agama Islam Ngawi is licensed under a
International License. Based on a work at http://ejournal.iaingawi.ac.id/
BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERKARA
Human activities that have started using electronics have an effect on the condition of the itself. The problem that arises as a problem in the verification process is the emergence of a variety of electronic transactions which then gave birth to certain electronic transactions, which on the other hand are evidence that can be used in the future. Even though the procedural law has not been proven through electronic evidence. If this phenomenon is ruled out, then evidence as an effort to provide certainty and truth about the existence of certain events will be ts own strength of evidence which has been determined by law.
The type of research used in compiling this journal is library research by reviewing and researching various documents or literature, such as: books, fiqh books, laws and regulations, jurisprudence that are related to this research. The results of this study are how to prove by using Electronic Information evidence in a case in a religious court the same as submitting written or letter evidence, which is form of a copy or photocopy of the written evidence, and must be matched. with the original first. Electronic evidence brought to trial must be verified. If the evidence
fied as evidence.
Aktivitas manusia yang sudah mulai menggunkan elektronik berpengaruh pada kondisi alat bukti yakni alat elektronik itu sendiri. Permasalahan yang muncul sebagai sebuah problem dalam proses an melahirkan beberapa transkrip elektronik tertentu, disatu sisi merupakan sebuah alat bukti yang dapat dipergunakan dikemudian hari.
undang hukum acara belum mengatur perihal pembuktian melalui bukti elektronik. Jika ngkan, maka pembuktian sebagai upaya untuk memberikan kepastian dan kebenaran kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu akan terhambat. Masing- masing alat bukti undang. Jenis penelitian adalah penelitian pustaka (library research) dengan mengkaji buku, kitab fiqih, peraturan perundang-
Hasil dari penelitian ini ialah cara melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara di pengadilan agama sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan perdata, yakni dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Bukti elektronik yang dibawa ke persidangan harus diuji kebenarannya. Apabila maka bukti elektronik tersebut haruslah
18 September 2022
https://ejournal.iaingawi.ac.id/index.php/almabsut is licensed under a Creative http://ejournal.iaingawi.ac.id/
PENDAHULUAN
Pengaruh globalisasi disertai kemajuan Ilmu Pengetahuan & Teknologi mengubah pola pikir dan cara pandang hidup manusia. Kegiatan manusia sudah mulai disertai kemajuan teknologi demi mempermudah aktivitas sehari-hari, dari sistem yang sederhana(konvensional) berubah menjadi sistem elektronik dan digital. Keadaan tersebut harus diakomodasi dalam aturan perundang-undangan sebab, hukum harus menyesuaikan dan berjalan beriringan dengan laju dan perkembangan masyarakat.
Karena hukum harus dinamis, tidak boleh statis dan harus tetap mengayomi masyarakat.142
Hubungan hukum yang dibangun berpeluang menimbulkan suatu konflik atau sengketa. sengketa bisa terjadi dari perselisihan paham yang kemudian antar para pihak tidak terselesaikan antara para subjek hukum yang sebelumnya telah mengadakan hubungan hukum, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditimbulkannya berjalan tidak harmonis.143 Proses penyelesaian sengketa yang paling krusial dalam tahapan penyelesaian sengketa secara litigasi adalah masalah pembuktian. Oleh karena itu, esensi dari pembuktian sangat penting, karena hal ini akan bermuara kepada benar tidaknya dalil-dalil yang disangkakan, dan terungkapnya fakta hukum di persidangan, yang akan dikukuhkan dengan putusan pengadilan yang menyatakan pihak yang kalah dan pihak yang menang dalam suatu perkara.
Hilman Hadikusuma menyatakan pembuktian dalam acara perdata, berarti perbuatan hakim dalam usahanya menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang diperkirakan itu terbukti, artinya benar-benar ada atau tidak. Untuk itu hakim harus melihat bahan-bahan bukti dari kedua pihak yang berperkara. 144Pembuktian
adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim terhadap suatu kebenaran peristiwa yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim. Pembuktian diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan UU.145 Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Umum.146
Pembuktian harus sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh undang-undang yakni hukum acara yang mengatur mengenai tertib hukum dalam proses mencari keadilan dan kebenaran. Perihal pembuktian diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu alat bukti surat, alat bukti saksi, persangkaan,
142 Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum. (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 6.
143 Suyud Margono, “ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 12.
144 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia. (Cet. IV; Bandung: Alumni, 2010), hlm. 160.
145 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,cet. ke-5,(Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 227.
146 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 143.
pengakuan, dan sumpah. Oleh karena hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum maka alat-alat bukti yang diatur dalam pasal-pasal tersebut juga berlaku di Pengadilan Agama, kecuali yang telah diatur secara tersendiri (pasal 54 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989).
Pengaruh globalisasi disertai kemajuan Ilmu Pengetahuan & Teknologi tentu berpengaruh pada persoalan hukum acara terutama perihal pembuktian. Aktivitas manusia yang sudah mulai menggunkan elektronik akan berpengaruh pada kondisi alat bukti yakni alat elektronik itu sendiri. Permasalahan yang muncul sebagai sebuah problem dalam proses pembuktian adalah, munculnya ragam transaksi elektronik yang kemudian melahirkan beberapa transkrip elektronik tertentu, disatu sisi merupakan sebuah alat bukti yang dapat dipergunakan dikemudian hari. Padahal undang-undang hukum acara belum mengatur perihal pembuktian melalui bukti elektronik. Jika fenomena ini dikesampingkan, maka pembuktian sebagai upaya untuk memberikan kepastian dan kebenaran kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu akan terhambat apabila bukti elektronik tidak diakomodir dalam proses pembuktian dengan alasan aturan hukum belum mengaturnya (asas legalitas).
Di sisi lain hakim diwajibkan untuk memberi putusan yang berkualitas kepada pencari keadilan. Pasal 53 UU No. 48 Tahun 2009, dan kemudian dalam pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, berikut penjelasanya dinyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim harus mampu berinovasi menurut kemajuan jaman agar hukum tidak tertinggal dari dinamika sosial yang sangat dinamis. Hal ini sejalan dengan konsep hukum responsif yang menginginkan hukum dapat memenuhi kebutuhan sosial dengan cara mendorong institusi hukum untuk lebih menyeluruh mempertimbangkan fakta sosial. Dengan demikian hukum mampu memenuhi keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.147
MASALAH
Masing- masing alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri yang telah ditentukan oleh undang-undang. Bagi para hakim, tugas mereka untuk menilai suatu kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti. Maka dari itu, rumusan masalah yang dikaji pada penelitian ini ialah pertama, bagaimana kedudukan pengadilan agama?, kedua, bagaimana kedudukan alat bukti elektronik dalam perkara di pengadilan agama?.
147 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, edisi ke VII, diterjemahkanoleh Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2013, hlm. 83-84.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif analitik, yaitu metode penelitian yang mengacu pada kondisi objek alamiah yakni obyek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi, dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada objek tersebut. Kedudukan peneliti adalah instrumen kunci. Rumusan masalah dalam penelitian kualitatif merupakan fokus penelitian yang masih besifat sementara dan akan terus berkembang berdasarkan fenomena sosial tertentu dengan maksud untuk memahami gejala sosial yang kompleks. Gejala sosial tersebut pada penelitian ini berfokus pada kedudukan alat bukti elektronik dalam perkara di pengadilan agama.
PEMBAHASAN
Kedudukan Pengadilan Agama
Masuknya agama Islam ke Indonesia salah satunya melalui perdagangan yang dimulai di daerah pesisir dengan cara damai dan persuasif, sehingga ajaran-ajaran Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia. Seiring berjalannya waktu, pengikut agama Islam semakin banyak dan membentuk sebuah komunitas masyarakat Islam. Dalam komutitas tersebut tak jarang tibul masalah, baik yang bersifat peribadatan mapun hubungan sosial. Hal ini tentu mempengaruhi terhadap kebutuhan suatu lembaga yang mampu memberi solusi dan memutus perkara yang muncul dalam komunitas Islam. Orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama berdasarkan hukum Islam.Muhakkam (orang yang ditunjuk sebagai hakim) adalah orang yang memiliki pengetahuan secara luas. 148Proses inilah yang kemudian dinilai sebagai cikal bakal munculnya pengadilan agama.
a. Kesultanan Islam.
Proses Islamisasi yang terjadi membuat Islam bercorak majemuk. Kondisi ini tergantung pada proses dan kondisi penyebaran Islam dan akulturasi budaya lokal.
Proses Islamisasi juga tidak tidak lepas dari pengaruh pejabat agama dan ulama.
Kemajemukan ini mengilhami lahirnya peradilan yang memiliki daerah otonomi sendiri yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing.149
Sultan tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat Peradilan Surambi. Meski terjadi perubahan nama dari Pengadilan Pradata menjadi Pengadilan Surambi, wewenang kekuasaannya masih tetap seperti peradilan pradata.150
Pengadilan agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi masjid setempat. Pengangkatan penghulu dilakukan oleh sultan atau raja. Penghulu mendapat delegasi kewenangan dari raja karena dinilai sebagai orang ahli dalam urusan agama Islam.
148 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 191
149 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 113.
150 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 201
b. Masa Penjajahan
Masuknya Belanda menjajah Indonesia memberikan pengaruh terhadap munculnya beberapa macam peradilan, setidaknya terdapat lima buah tatanan peradilan pada masa penjajan Belanda yakni anatara lain sebagai berikut:151
a. Peradilan Gubernemen , b. Peradilan Pribumi, c.Peradilan Swapraja, d,Peradilan Agama, e,Peradilan Desa.
c. Masa Kemerdekaan.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, tatanan hukum Indonesia masih belum lepas sepenunya dari tatanan hukum yang pernah dibentuk oleh penjajah. Walaupun sudah memiliki hukum dasar yakni Undang-undang 1945 akan tetapi dalam pasal aturan peralihan masih memungknkan untuk mengakomodasi segala aturan maupun badan yang sudah ada bekas peninggalan penjajah sebelum dibuat aturan maupun badan yang baru. Peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri melebur menjadi bagian dari Peradilan Umum.
Pengertian dan Jenis Alat Bukti
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim terhadap suatu kebenaran peristiwa yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim. Pembuktian diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan UU.152 Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Umum.153
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Pasal 163 HIR (289 RBg) dan Pasal 1865 KUHPerdata disebutkan bahwa pembuktian diwajibkan bagi setiap orang yang mendalikan sesuatu guna memperkuat dalilnya maupun membantah dalil orang lain.
Alat-alat bukti menurut Pasal 164 HIR/284 RBg/1866 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
a. Surat
Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah pikiran seseorangdan dipergunakan sebagai pembuktian.
b. Saksi
Kesaksian yaitu alat bukti yang diberitahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi untuk memberikan keterangan kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan.
151 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Cet. 4. Hlm.
116-117.
152 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,cet. ke-5, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 227.
153 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 143.
c. Persangkaan
Berdasarkan Pasal 1915 BW, persangkaan adalah kesimpulan dari suatu peristiwa yang memperjelas suatu peristiwa.
d. Pengakuan
Pengertian pengakuan yaitu suatu pernyataan dengan bentuk tertulisan tau lisan dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil. Macam-macam pengakuan:154
e. Sumpah.
Menurut pembagiannya sumpah dibagi menjadi dua jenis yaitu sumpah pelengkap (supletoir) dan sumpah pemutus (desicoir). Sumpah supletoir ialah sumpah yang diperintahkan hakim kepada salah satu pihak guna melengkapi alat bukti dalam suatusengketa perkara.Sumpah desicoir ialah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.
Adapun fakta-fakta hukum yang tidak harus dibuktikan dipersidangan mencakup mengenai hal-hal:155
1. Apabila pihak tergugat/tergugat mengakui kebenaran suatu gugatan
2. Apabila pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat gugatan penggugat atau para penggugat karena dianggap mengakui kebenaran surat tersebut.
3. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah pemutus.
4. Apabila majelis hakim/hakim karena jabatannya dianggap telah mengetahui fakta- faktanya.
Dalam pembuktian, hakim akan melakukan beberapa tindakan dalam proses pembuktian yang diajukan oleh pihak yang berperkara, yaitu: pertama mengonstatir perkarayaitumelihatbenar tidaknya peristiwa dan fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak yang berperkara, sebagaimana halnya pembuktian. Kedua, mengualifisir peristiwa yang telah dikonstatir hukumnya atau mengadili menurut hukum dan yang ketiga, menetapkan dan menerapkan hukumnya untuk keadilan.156 Pembuktian menjadi bagian krusial dalam persidangan. Pembuktian akan memberikan kepastian bahwa suatu pristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi sehingga mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan proses penyelesaian perkara dalam hukum keluarga Islam. Penyelesaian sengketa secara damai antara lain: kesukarelaan dalam berproses, prosedur cepat, hemat waktu, hemat biaya, win-win solution serta terpelihara hubungan baik antarpihak yang
154 Sarwono, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.
277-278.
155 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 92-93.
156 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 53-54.
bersengketa.157 Jika mediasi atau upaya damai tersebut gagal, berdasarkan Pasal 18 Perma Nomor 1 Tahun 2008 mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan hal tersebut kepada Hakim. Selanjutnya persidangan dilanjut dengan acara biasa.
Kedudukan Alat Bukti Elektronik
Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi dunia hukum terutama dalam sistem peradilan.
Salah satu pengaruh teknologi dalam hukum adalah munculnya alat bukti baru yang dapat dipakai dalam setiap hukum acara khususnya hukum acara perdata. Alat bukti baru yang dikenal dengan nama alat bukti elektronik.
Proses pembuktian perkara di pengadilan bertujuan untuk memperjelas atau memberikan titik terang atas sengketa/peristiwa yang terjadi. Pada tahapan ini, dalil- dalil yang dikemukakan di muka persidangan harus mampu dibuktikan sehingga hakim dapat menilai dengan benar dan terang mengenai suatu perkara. Sesuai yang dirinci dalam pasal 164 HIR (pasal 284 RGB) atau pasal 1866 KUH perdata alat bukti yang sah terdiri atas: a.) Tulisan (akta) b.) Keterangan saksi c.) Persangkaan d.) Pengakuan e.) Sumpah. Pembuktian tersebut terbilang masih sangat sederhadan bentuknya. Alat bukti yang secara terbatas tercantum dalam HIR, RBg, dan KUH Perdata, akan memunculkan masalah dalam proses pembuktian jika tidak mampu mengadopsi perkembangan teknologi.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), secara yuridis merupakan suatu dasar hukum bagi berlakuya transaksi elektronik dan informasi elektronik yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Oleh karena itu setiap kegiatan yang berkaitan dengan sistem informasi elektronik berlaku ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk respon terhadap upaya ke arah pembaharuan hukum.
Pasal 5 (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) membuka ruang pembuktian menjadi lebih luas karena mampu menagakomodir Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya menjadi alat bukti hukum yang sah. Alat bukti elektronik dan/ atau hasil cetakannya dapat diterima sebagai alat bukti yang sah sepanjang memenuhi syarat formil dan materiil.
Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus harus dalam bentuk tertulis. Adapun syarat materiil diatur dalam Pasal6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat
157 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 74
dijamin keotentikannya, keutuhannya dan ketersediaannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materiil tersebut dibutuhkan digital forensik. Persyaratan materiil tersebut dibutuhkan jika alat bukti tersebut dibantah oleh pihak lawan. Oleh karena itu Informasi Elektronik mempunyai kekuatan pembuktian seperti alat bukti tulisan jika dapat ditampilkan ataupun dicetak dan pemilik mengakui kepemilikanya.
Hal tersebut dapat dipahami dengan diundangkanya UU ITE maka Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik sebenarnya merupakan perluasan alat bukti yang secara limitatif telah diatur dalam Pasal 164 HIR/ Pasal 284 RBg dan 1866 KUHPerdata. alat bukti dalam perkara perdata di pengadilan Agama menurut Pasal 164 HIR/Pasal 284 R.Bg ialah: a. Alat bukti surat b. Alat bukti saksi c. Alat bukti persangkaan d. Alat bukti pengakuan e. Alat bukti sumpah. Jika berdasarkan pada pasal tersebut maka proses pembuktian dalam perkara perdata seharunya tidak boleh melenceng dari dari kelima macam alat bukti tersebut. Namun jika merujuk pada Pasal 5 (1) UU ITE yang menyebutkan bahwa: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah” membuka ruang pembuktian baru yang lebih luas dengan memanfaatkan keberadaan teknologi.
Menurut majelis yang menyidangkan perkara terserbut dalam pertimbangannya bahwa setidak-tidaknya foto yang merupakan bukti matrial dapat dipakai sebagai bukti rechtelijkevermoedens (persangkaan berdasarkan kenyataan). Pertimbangan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 5 (2) UU ITE yang menyebutkan bahwa: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atauhasilcetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku diIndonesia”
Urutan tata cara pembuktian merujuk pada Pasal 163 HIR, yaitu barang siapa mendalilkan maka harus membuktikan dalilnya tersebut. Dalam hal ini maka penggugatlah yang harus membuktikannya. Selain itu merujuk juga pada Pasal 7 UU No.
11 Tahun 2008: “Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundangundangan”. Pasal 7 UU ITE ini menjelaskan bahwa Dokumen Elektronik dan/ atau Informasi Elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu hak. Namun demikian agar Dokumen Elektronik dan/ atau Informasi Elektronik dapat dinilai sebagai alat bukti maka diperlukan seorang ahli untuk melakukan penilaian.
Cara melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara di pengadilan agama sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan perdata, yakni dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Keberadaan benda elektronik misalnya photo atau rekaman video tidak selamanya menunjukan fakta yang sebenarnya. Karena tidak menutup kemungkinan
terjadinya rekayasa (edit). Hal yang sama mungkin juga terjadi pada bukti yang lain sebagaimana yang diatur dalam hukum acara perdata baik bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan apalagi sumpah juga dapat dibuat sesuai dengan keinginan yang mengajukan alat bukti. Informasi Elektronik sebagai alat bukti, dalam penyajiannya di persidangan sedikit ada perbedaan, yaitu harus sudah ada pengakuan dari pemiliknya, setidaknya dapat diperlihatkan atau ditampilkan di pengadilan, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah seperti alat bukti tertulis lainnya.
Diperlukan pengakuan dari pemiliknya, karena yang terpenting adanya pengakuan agar bukti tersebut menjadi sah.
Apabila dalam acara pembuktian suami atau isteri mengajukan bukti elektronik untuk memperkuat dalil-dalil gugatan atau sanggahan dalam perkara perceraian, misalnya gugatan perceraian dengan alasan perselingkuhan dengan menggunakan bukti berupa hasil cetak foto, Rekaman/Video maupun fotokopi print out percakapan yang diambil dari media elektronik maka bukti tersebut dapat dibawa ke persidangan untuk selanjutnya hakim harus memeriksa bukti elektronik tersebut.
Bukti elektronik yang dibawa ke persidangan harus diuji kebenarannya. Apabila bukti yang dihasilkan oleh benda elektronik itu memang benar (apalagi pihak lawan mengakui) maka bukti elektronik tersebut haruslah dikelompokkan sebagai alat bukti.
Sebaliknya apabila disangkal oleh pihak lawan maka hakim harus mendalami lagi alat bukti bilamana diperlukan dengan menghadirkan saksi ahli yang mengetahui tentang keakuratan suatu bukti yang dihasilkan oleh benda elektronik dan memastikan bahwa tidak ada rekayasa dalam bukti elektronik (edit). Hakim juga harus menghubungkan photo-photo tersebut dengan keterangan saksi yang hadir di persidangan. Dalam prosesnya hakim menanyakan tentang pengetahuan saksi atas bukti elektronik yang diajukan. Apabila hal tersebut dilakukan oleh hakim maka hakim bertindak sebagai pemutus yang benar-benar mendasarkan pada faktafakta. Apabila pengajuan bukti elektronik memiliki kesesuaian dengan apa yang disampaikan oleh suami dan atau istri di persidangan pengadilan maka sangat layaklah bukti elektronik tersebut juga dimasukan dalam pertimbangan hukum dalam putusan walaupun dalam hukum acara tidak termasuk dalam alat bukti.
Pada proses ini terjadi jawab menjawab dan replik duplik disusul kemudian dengan pembuktian. Jika mengacu pada Pasal 1866 KUH Perdata dan pasal 164 HIR adapun alat bukti dalam sengketa ekonomi syariah diatur, yaitu : Bukti tulisan atau surat; Saksi; Persangkaan; Pengakuan; Sumpah.
Kemajuan teknologi direspon dengan melahirkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).undang-undang tersebut memberi pengaruh pada proses pembuktian yang sebulumnya bersifat konvensioanal sebaimana Pasal 164 HIR/Pasal 284 R.Bg, berubah menjadi lebih luas dan mengakomodir kondisinterkini dengan kemajuan teknologi dan informasi. Secara umum Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia meliputi Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, yang tertuang tuangkan dalam Pasal 5 s/d Pasal 12 UU ITE.
Pemanfaatan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam ekonomi harus dijamin dan dilindungi hukum. Setidaknya, dalam pemanfaatan elektronik yang sering dijumpai dalam lalu lintas perdata adalah lahirnya perjanjian yang dilakukan secara elektronik (online).
Jika mengacu pada definisi ini maka suatu kontrak elektronik dapat dianggap sebagai suatu bentuk perjanjian yang memenuhi ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut. Namun pada prakteknya suatu perjanjian biasanya ditafsirkan sebagai perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan bila perlu dituangkan dalam bentuk akta notaris padahal seiring perkembangan jaman perjanjian dapat dibuat dalam bentuk elektronik.
Dalam UU ITE dijelaskan setiap perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya disebut sebagai transaksi elektronik. Pada dasarnya dalam transaksi elektronik, para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronikyang disepakati. Aturan ini juga mencakup disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem Elektronik yang bersangkutan mulai dari cara transaksi hingga prosedur penyelesaian sengketa.
Undang-undang bahkan melegalisasi keberadaan Dokumen Elektronik sebagai bagian dari proses pembuktian. Legalitas tersebut terdapat dalam rumusan pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 selengkapnya berbunyi sebagai berikut; “Setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”
Alat bukti elektronik sebenarnya memiliki tempat dalam pembuktian di pengadilan akan tetapi ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Analisis kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti elektronik, sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (4) menyebutkan bahwa alat bukti elektronik tidak dapat berlaku untuk hal-hal tertentu seperti; a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis. b.
Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pasal tersebut memberi batas atau syarat terhadap hdair nya alat bukti elektronik dalam proses pembuktian.
Alat bukti elektronik tertentu yang dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang, harus dibuat secara tertulis atau harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau pejabat pembuat akta. Pengecualian mengenai kedudukan serta kekuatan alat bukti elektronik selain yang disebutkan pada pasal di atas, dinyatakan sah dan dapat diterima dalam proses pembuktian di pengadilan.
Melihat fenomena penggunaan teknologi dalam lalu lintas perdata dan adanya dasar hukum yang memayungi, maka penggunaan alat bukti untuk pembuktian tidak lagi hanya sekedar mengacu pada Pasal 1866 KUH Perdata dan pasal 164 HIR adapun alat bukti dalam sengketa ekonomi syariah diatur, yaitu : Bukti tulisan atau surat; Saksi;
Persangkaan; Pengakuan; Sumpah. Bahkan jika alat bukti terkait dengan pemanfaatan media elektronik para pihak yang berperkara dapat menghadirkannya dalam persidangan.
Akan tetapi penyelesaian sengketa tersebut, hakim tidak mutlak hanya menyadarkan pada keyakinan nya atau sebatas percaya pada keadaan bukti elektronik yang dibawa para pihak. Hal ini mengingat bukti elektronik dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap keaslian alat bukti yang dihadirkan. Oleh sebab itu penting untuk pembuktian dokumen atau informasi elektronik di pengadilan melalui peran ahli forensik. Hal ini dilakukan agar dasar pertimbangan bagi hakim agar dapat dicapai suatu keputusan yang objektif.
PENUTUP
Kemajuan Teknologi Informasi membuka ruang alat bukti elektronik menjadi pengaruh besar dalam Peradilan Agama, khususnya hukum perdata. Dalam persfektif pembuktian menjadi lebih luas karena mampu mengakomodir Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya menjadi alat bukti hukum yang sah dan bersifat konvensional. Secara Yuridis Kekuatan pembuktian dengan bukti elektronik di wilayah hukum indonesia telah diatur dalam undang-undang sebagai bentuk respon terhadap upaya ke arah pembaharuan hukum. Bukti elektronik menghadirkan informasi dan dokumen elektronik yang keontetikannya, keutuhan dan ketersediaannya harus terpenuhi dalam kebutuhan digital forensik. sesuai UU ITE dan perluasan alat bukti secara liminatif.
Pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara di pengadilan agama sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan perdata, yakni dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Bukti elektronik yang dibawa ke persidangan harus diuji kebenarannya. Apabila bukti yang dihasilkan oleh benda elektronik itu memang benar (apalagi pihak lawan mengakui) maka bukti elektronik tersebut haruslah dikelompokkan sebagai alat bukti. Bukti elektronik menjadi salah satu dasar hakim untuk bertindak sebagai pemutus perkara yang benar mendasarkan pada fakta karna kesesuaiannya dengan apa yang disampaikan di Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Alaiddin Koto, sejarah peradlan islam Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2012
Abdul Manan ,Penerapan Hukum acara Perdata di lingkungan peradilan Agama ,Cet, ke 5 Jakarta,Kencana ,2008
Amiruddin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Peneletian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2012.
A. Mukti Arto, Praktik Perkara PerkaraPerdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2010
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah”, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Jakarta:
Sinar Grafika, 2009
Jaenal aripin, jejak langkah peradilan agama di Indonesia, Jakarta: kencana prenada media group 2013
Hensyah Syahlani, Pembuktian Dalam Beracara Perdata & Tahnis PenyusunanPutusan Pengadilan Tingkat Pertama, Jakarta: Grafgab Lestari, 2007
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia. Cet. IV; Bandung: Alumni, 2010
Ibnu Qayyimn Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Terjemahan dari Kitab (Al- Thuruq alHukumiyyah fi al-Siyasah al-Syari’iyah), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syariah, Cet. I; Jakarta:
Sinar Grafika, 2009
M Subana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung, Pustaka Setia, 2001
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cet IX September 2017
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, edisi ke VII, diterjemahkanoleh Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2013
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006 Sarwono, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika,
2011
Subekti, Hukum Pembuktian, cet 12, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Perencanaan: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1998
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).