BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Umum 1. Pengertian Hakim
Hakim berasal dari kata مكاح- م حي– م ح : sama artinya dengan qadhi yang berasal dari kata ضاق - يضقي – يضق artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang
yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.16
Adapun pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala
Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan
dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan
tugas peradilan.17 Sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk
bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh,
sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya. Hakim sendiri adalah
pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Sedangkan menurut undang-undang Republik Indonesia nomer 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada
Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
16
file://sirkulasiku/pengertian-syarat-dan-fungsi-hakim.html. diunduh Rabu 26 Maret 2014 Pukul 15.48.
17
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993). hlm. 29
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan tersebut.18
Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala
Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yang telah diembannya meneurut undang-undang yang berlaku. Hakim
merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu
sendiri. Kebebasa kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan
hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim.
Oleh karena itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan
dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.
2. Pengertian Otoritas Hakim
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), begitu bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD
1945 Amandemen Ketiga. Sepatutnya pengertian negara hukum dimaksud diartikan
secara dinamis baik dalam tataran sistem hukum eropa kontinental semacam Indonesia
maupun sistem hukum Anglo Saxon. Memang sebagian ahli berpendapat konsep negara
hukum itu cenderung lebih dekat pada sistem kontinental karena mengusung konsep
Supremacy of General Law daripada sistem Anglo Saxon yang menekankan pada asas
stare decisis yang memungkinkan hakim untuk membentuk hukum (judge made law).
Namun demikian pandangan ini sudah berubah, hukum tidak lagi semata-mata
difungsikan sebagai refleksi kekuasaan yang berdaulat, tetapi harus pula dipertanyakan
hakekat dan substansi hukum tersebut. Karena itu menurut Hoogers dan Warmelink
18
sebenarnya patut memfungsikan hakim sebagai deputy legislators atau pseudo
legislators.
Goldstein, menerangkan setidaknya ada 3 (tiga) konsep kedudukan hakim dalam
penegakan hukum (law enforcement). Pertama, dalam kerangka total enforcement
concept, dimana hakim diharapkan menegakkan hukum secara menyeluruh baik norma
maupun nilai yang terkandung didalamnya. Hal ini sulit dilakukan karena dalam
menjalankan hukum itu sendiri terdapat kerangka due process of law sehingga terdapat
pembatasan lain seperti penerapan Hukum Acara. Kedua, full enforcement concept yaitu
terhadap sisi-sisi yang masih grey area hakim memberikan diskresinya atas berbagai
keterbatasan substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum. Ketiga, adalah
actual enforcement concept.19
Oleh karena itulah kekuasaan kehakiman itu tidak hanya mengandung pengertian
otoritas hukum tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan yang melekat
pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan berupa mengadili
dan memutus (adjudication).
Dalam hal penerapan dan pengembangan hukum ini, sangat menarik dan penting
untuk dipelajari kedudukan Pengadilan atau Hakim. Berlainan dengan pendapat kuno
yang antara lain diucapkan oleh Montesquieu dalam bukunya “L‟Esprit de Lois” yang
menyatakan bahwa hakim itu hanya mulut atau corong dari badan legislatif, orang
sekarang mengetahui bahwa selain menerapkan undang-undang , Pengadilan atau Hakim
19
itu juga menemukan atau bahkan sering membentuk hukum baru. Hal ini disebabkan
karena di dalam system hukum Indonesia dikenal asas yang menyatakan bahwa hakim itu
tidak boleh menolak untuk memeriksa satu perkara dengan alasan bahwa hukum
mengenai perkara itu tidak ada atau tidak jelas.
Asas atau prinsip ini dinamakan asas non-liquet. Asas ini termuat di dalam AB
(Algemene Bepalingen van Wetgeving) Pasal 22 yang berlaku dimasa colonial Hindia
Belanda. Sekarang asas ini dapat kita temukan di dalam Pasal 14 UU No. 14 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970) yang
berbunyi:
“(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu
perkara yang diajukan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan dalam ayat 1 tidak menutup kemungkinan untuk usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”
Dari ketentuan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 di atas tampak jelas bahwa
Hakim dalam system hukum di Indonesia bukanlah hakim yang pasif yang merupakan
corong belaka dari badan perundang-undangan seperti digambarkan oleh Montesquieu,
namun aktif berperan didalam munemukan hukum atau membentuk hukum baru. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Hakim itu merupakan unsur yang cukup penting tidak
saja di dalam menemukan hukum tetapi juga di dalam mengembangkan hukum.20
Hal ini dilakukan disamping tugasnya menerapkan undang-undang atau hukum, di
mana tugas hakim adalah memberikan keputusan dalam perkara antara kedua belah pihak
20
yang berperkara di depan Pengadilan yang masing-masing dapat mengartikan ketentuan
undang-undang yang sama secara berlainan dan berbeda.
Jelas bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum kita,
karena ia telah melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan
hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum
(rechtsvinding) dengan perkataan lain hakim dalam sistem hukum kita yang pada
dasarnya tertulis itu mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).
Karena itu sistem hukum Indonesia walaupun merupakan sistem hukum tertulis, namun
merupakan sistem terbuka (open system).21
Fungsi untuk membentuk hukum baru oleh hakim diatas harus dilakukan olehnya
untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara
karena hukum tertulis tidak jelas atau tidak ada. Fungsi yang sangat penting ini dilakukan
hakim dengan jalan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum.22
Dalam perspektif ushul fikih, Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang
memutuskan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga sebagai orang yang
memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal ini dengan Qadhi. Ulama Ushul Fiqh
sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah
Allah SWT. Hal ini didasarkan pada al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 57:
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S. H., LL.M. dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H., 1999. Pengantar Ilmu Hukum.
Bandung: P. T. Alumni. Hal. 99
22
Artinya: “...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang menerangkan
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An‟am/
6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah
SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat
Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah saw
atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya.23
Adapun sebelum datangnya wahyu, ulama berselisih peranan akal dalam
menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan
orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam Islam tidak ada syariat kecuali dari
Allah SWT. baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram,
makruh dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi (sebab, syarta,
halangan, sah, batal, fasid, azimah dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama‟
hukum diatas itu semuanya bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad saw
maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori Istinbath, seperti qisas, ijma‟
dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.
dalam hal ini para ulama‟ fiqh menetapkan kaidah :
هاا م حا
Artinya: “tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah SWT.”
23
Dari kaidah diatas, ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah
SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan
maupun wadhi‟.24
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah:44).
Q. S. Al Maidah: 49
Diakhir ayat 45 Surat AL Maidah
Allah, mak mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Maidah:45).
24
Keharusan untuk merujuk kepada AL Qur‟an dan sunah apabila terjadi perbedaan
pendapat
... خ أا مويلا و هااب نو مؤت مت ك نا وس لاو ها ىلا ود ف ئيش ىف متع ا ت ناف..
Artinya: “...apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul (sunnah), jika kamu beriman kepada
Allah dan Hari Kiamat” (QS. An-Nisa‟: 59)
Keharusan untuk menggunakn hukum Allah SWT. dalam surat an-Nisa‟: 65
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa‟: 65)25
Dalam hal ini tidak ada perbedaan, yang mengatakan bahwa hakim adalah Allah
SWT. Yang dibedakan oleh para ulama dalam hal ini hanya tentang mengetahui hukum
Allah SWT. Tentang perbedaan ini Mayoritas Ulama‟ Ahlusunnah wal Jamaah dan
Mazhab al-Asy Ariah Mengatakan : “Bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan
hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang
diturunkan Allah kepadanya.sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bila tidak ada
25Rachmat Syafe‟i
Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada hukum Allah, dan manusia pun tidak akan
mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau ingkar
kepada Allah , mendapat dosa atau pahala bila telah datang Rasul membawa wahyu Allah
dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang Rasul.”26
Akal manusia tidak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa perantara
Rasul dan wahyu-Nya. Alasan menurut pendapat ini adalah dalam surat al-Isra‟(17:15)
Artinya: “ kami tidak akan mengadzab seseorang sebelum kami mengutus Rasul”.
Dalam ayat ini secara jelas Allah maniadakan perhitungan dan azab atau siksa
terhadap seseorang sebelum kepadanya sampai (diutus ) seorang Rasul yang membawa
risalah Ilahi.27
3. Pengertian Perempuan
a. Pengertian Umum
Perempuan adalah salah satu dari dua jenis kelamin manusia; satunya lagi
adalah lelaki atau pria. Berbeda dari wanita, istilah "perempuan" dapat merujuk
kepada orang yang telah dewasa maupun yang masih anak-anak.
Awal hadirnya perempuan yaitu kehadiran hawa, yang diciptakan untuk
menemani Adam menjalani perintah Tuhan di dunia ini.28 Pada cerita Adam dan Hawa pertama kali diturunkan ke bumi, perempuan sudah dimaknai sebagai biang
masalah. Diceritakan bahwa Hawa merupakan penyebab mereka turun ke dunia,
26
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Hal. 348
27
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta : Logos Wacana Ilmu: 1997)., Hal. 289
28
dikarenakan Hawa tergoda bujuk rayu setan yang menyuruhnya untuk mengambil
buah kuldi (buah yang dilarang untuk dimakan). Hawa dan Adam yang
memakannya langsung diperintahkan untuk turun ke dunia. Cerita inilah yang
menjadi salah satu wacana yang selalu dibicarakan terkait dengan perempuan biang
keladinya masalah.
Dalam sejarah penciptaan manusia secara Islam di dalam al-Quran, Allah
sengaja menciptakan manusia untuk menjadikan mereka pemimpin di dunia.
Mereka yang akan menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan di dunia. Itulah
sebabnya manusia muncul dengan dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan.
Perempuan diciptakan untuk menjadi pasangan atau teman laki-laki. Pada dasarnya
saat menciptakan manusia, Allah telah menciptakan dalam bentuk jiwa dan raga,
beserta sifat-sifat dasar manusia seperti ingin dicintai dan mencintai, kebutuhan
seksual, dan sebagainya. Maka dari kedua jenis manusia itu diciptakan berbeda
untuk saling mengisi.
b. Perspektif Gender
Dalam Islam umumnya dan dalam peradaban Melayu khususnya, tiada istilah
yang tepat untuk memberi satu world-view jelas tentang istilah gender. Senario ini
tidak bermakna, dalam tradisi masyarakat muslim tiada sebarang persoalan gender
dalam hubungan lelaki dan wanita. Namun, prinsip ajaran Islam serta nilai dan
norma dalam tradisi masyarakat muslim menjadi hubungan timbal balik dalam
menentukan pola hubungan di antara keduanya. Justeru, istilah gender dipinjam ke
al-naw„ al-ijtima„i dan dalam Bahasa Melayu dengan ejaan yang sama iaitu gender.
Istilah gender mula digunakan dalam bidang psikoanalisis sebelum dikembangkan
dalam wacana feminisme.29
Secara etimologinya, gender30 merupakan perkataan Inggeris, yang dipinjam dari kosa kata lama Perancis gendre genre yang bererti kind, genus, style, yang
mana sumber ambilannya dari bahasa Latin gener yang bermaksud race, kind.31 Dalam penggunaan biasa, ia bermaksud jenis kelamin atau jantina. Manakala dalam
bahasa Malaysia, perkataan gender hanya masuk dalam daftar leksikon oleh Dewan
Bahasa dan Pustaka pada tahun 2005.32 Namun pengertiannya masih sama dengan erti asalnya kerana gender dari segi literalnya masih diertikan sebagai jantina33
ataupun klasifikasi seksual.34
Dalam leksikon bahasa Indonesia, ia diterjemahkan sebagai jender bagi
memberikan satu gambaran yang jelas dalam masyarakat setempat.35 Dalam penggunaan bahasa Arab, ia seerti dengan perkataan al-jins dan al-naw„ ataupun
29Pada tahun 1976, istilah ini mula digunakan dalam bengkel “Subordination of Women” di University of Sussex.
Lihat Jane L. Parpart et al., eds. Theoretical Perspectives on Gender and Development (Ottawa, Kanada: International Development Research Centre (IDRC), 2000),hal. 37.
30
Gender (Bahasa Inggeris), Geschlecht (Bahasa Jerman), Genre (Bahasa Perancis), Género (Bahasa Sepanyol).
Perbincangan lanjut pengertiannya dapat dilihat dalam Donna L. Haraway, “„Gender‟ for a Marxist Dictionary: The
Sexual Politics of a Word”, eds. Elizabeth Anne Castelli & Rosamond C. Rodman, Women, Gender, Religion: A
Reader (New York: Palgrave Macmillan, 2001), hal. 51-52
31
Walter W. Skeat, The Concise Dictionary of English Etymology (Hertfordshire, UK: Wordsworth Editions, 1993), 173; Friedrich Kluge & Frederick Lutz, English Etymology (Charleston, South Carolina: BiblioBazaar, 2008), hal. 87.
32
Noresah Baharom et al., eds. Kamus Dewan, ed. ke-4 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005), hal. 457. 142 Jurnal Fiqh, No. 9 (2012) hlm. 137-162
33
naw„ al-ijtima„i tetapi perkataan al-naw„ al-ijtima„i36 telah diterimapakai
berbanding perkataan al-jins. Namun terdapat usaha untuk mengarabkan perkataan
Inggeris tersebut ke dalam leksikon Arab menjadi al-jindar.37 Namun, istilah ini masih tidak diterima sepenuhnya dalam khalayak intelek Arab, khususnya para
ulama. Mereka berpendapat pengertian perkataan gender masih lagi kabur dan
berasaskan peradaban Barat.38
Dari aspek terminologi, terdapat pentakrifan yang bervariasi terhadap
perkataan gender. Ini kerana wacana gender telah mendapat perhatian yang serius
dalam pelbagai disiplin ilmu, di antaranya sosiologi, biologi, psikologi dan
neurologi. Kebiasaannya, pentakrifan ini didominasi oleh para feminis dan ia selari
dengan aliran perjuangan mereka.
Istilah gender biasanya dihuraikan sebagai perbezaan antara lelaki dan wanita hasil daripada konstruksi sosio-budaya. Menurut Corsini, gender ditakrifkan
sebagai aspek-aspek sosial atau kemasyarakatan yang berkaitan dengan seks. Ia
merujuk kepada sifat maskulin (masculinity) dan feminin (femininity) yang
dipengaruhi dengan kebudayaan, simbolik, stereotaip dan pengenalan diri.39 Dalam Encyclopedia of Women and Gender, istilah gender dari segi sosialnya ditentukan
36
Munir al-Ba„albaki, al-Mawrid, cet. 33 (Bayrut: Dar al-„Ilm li al-Malayin, 1999), hlm. 383.
37
Umaymah Abu Bakr dan Shirin Shukri, al-Mar‟ah wa al-Jindar: Ilgha‟ al-Tamyiz al-Thaqafi wa al-Ijtima„i bayn al-Jinsayn (Bayrut: Dar al-Fikr al-Mu„asir, 2002).
38
Mathna Amin al-Kurdistani dan Kamiliya Hilmi Muhammad, al-Jindar: al-Mansha‟ - al-Madlul - al-Athar
(„Amman: Jam„iyyah al-„Ifaf al-Khayriyyah, 2004), hal. 40.143 Analisis Gender Dalam Hukum Islam
39
konsep seseorang menjadi wanita (feminin) dan lelaki (maskulin).40 Begitu juga pentakrifan di dalam Encyclopedia of Human Ecology, istilah gender merujuk
kepada cara di mana wanita dan lelaki dijangka untuk bertindak sebagai wanita
(feminin) atau lelaki (maskulin) dalam masyarakat.41
Berdasarkan pentakrifan gender tersebut, dapat dirumuskan beberapa perkara
asas. Di antaranya, perbincangan gender melibatkan lelaki dan wanita. Walaupun
begitu perbincangan dalam kalangan feminis lebih menfokuskan kepada wanita
sahaja, sedangkan dalam realiti masyarakat ketidakadilan tidak hanya terbatas
kepada golongan jantina tertentu, malah dalam keadaan yang lain, kaum lelaki turut
mengalami diskriminasi. Selain perbincangan yang melibatkan kedua-dua jantina,
ia juga merangkumi peranan mereka dalam masyarakat yang mana ia adalah
berasaskan konstruksi sosio-budaya-pensejarahan masyarakat bukan aspek biologi
anatomi ataupun seksual.
Justeru, analisis gender merupakan pendekatan yang digunapakai bagi
melakukan kajian tentang pola hubungan gender di dalam masyarakat. Pada
asalnya, pendekatan ini banyak diaplikasi dalam aspek sosiologi dan ekonomi
dalam rangka melakukan rekayasa terhadap golongan wanita (gender
empowerment).
Ia merujuk kepada suatu proses analisis yang sistematik untuk mencatat
kelaziman dan tingkat penyertaan lelaki dan wanita dalam suatu kegiatan yang
40
Judith Worell et al., Encyclopedia of Women and Gender: Sex Similarities and Differences and The Impact of Society on Gender (San Diego, USA: Academic Press, 2001), hlm.55.
41
membentuk sistem pengeluaran barang dan perkhidmatan tetapi pengembangannya
diarahkan kepada peningkatan kualiti perencanaan (pembangunan) agar lebih
meraikan keperluan sebenar wanita.42 Ia merujuk berbagai cara yang digunakan bagi memahami hubungan di antara lelaki dan wanita, akses mereka terhadap
sumber-sumber, aktiviti-aktiviti mereka, dan kekangan mereka hadapi antara satu
sama lain.
Analisis gender memperlihatkan pelbagai peranan wanita, lelaki, kanak-kanak
wanita dan lelaki mainkan dalam keluarga, masyarakat, dalam struktur ekonomi,
undang-undang dan politik.43 Menurut Jean Davinson, analisis gender merujuk kepada suatu kajian sistematik terhadap perbedaan antara wanita dan lelaki dalam
masyarakat tertentu.44
Selaras dengan itu, analisis gender digunakan untuk mengkaji dengan
mendalam ketimpangan peranan, fungsi dan hubungan di antara lelaki dan wanita.45 Dengan kata lain, ia merupakan satu analisis yang mempersoalkan ketidakadilan
sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin.46 Peranan utamanya adalah untuk
memberi makna, konsepsi, andaian, ideologi dan praktik hubungan baharu antara
lelaki dan wanita serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas
42
Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani, Glosarium Seks dan Gender (Yogyakarta: Penerbit Carasvati Books, 2007), 10.144 Jurnal Fiqh, No. 9 (2012) hlm. 137-162.
43
Canadian International Development Agency (CIDA): http://www.acdi-cida.gc.ca/CIDAWEB/ acdicida.nsf/En/ JUD-31194519-KBD.
44Jean Davison, “Gendered Terrains: Negotiating Land and Development, Whose Reality Counts?”
eds. York W. Bradshaw & Stephen N. Ndegwa, The Uncertain Promise of Southern Africa (Indiana: Indiana University Press, 2001), hlm. 233.
45
Mufidah Ch, Paradigma Gender, cet. 2 (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 2.
46
(sosial, ekonomi, politik dan budaya), yang tidak dilihat oleh teori atau analisis
sosial lainnya. Justeru itu, analisis gender dilakukan untuk menambah serta
melengkapi analisis social47 yang telah ada dan bukan menggantikannya.48
Dalam perbincangan ini, analisis gender diaplikasikan bagi melihat
ketimpangan antara lelaki dan wanita dalam hukum Islam. Ini kerana ia merupakan
disiplin ilmu yang banyak mempengaruhi hubungan sosial dalam masyarakat Islam.
4. Pengertian Hukum Islam (Syari’ah)
Hukum Islam yang ditegaskan dalam ayat Al Qur‟an dan Hadits mutawatir, yang
lafadznya tidak mengandung penafsiran/pentakwilan, statusnya adalah qath‟iy.49 Katagori Hukum Islam yang demikian ini, dalam kajian Ushul Fiqh, dikenal dengan istilah
“Syari‟ah”. Hukum Islam yang termasuk rumpun Syari‟ah adalah ma‟ulima min al Din bi
al-Dharurat (sesuatu yang diketahui dari agama dengan pasti) dan mujma‟ alaihi (yang
disepakati oleh ulama.50
Makna syari‟ah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu (di arab) orang
mempergunakan kata syari‟ah untuk sebutan jalan setapak menuju ke sumber (mata) air
yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri.51 Kata syari‟ah ini juga berarti jalan yang lurus, jalan yang lempang tidak berkelok-kelok, juga berarti jalan raya.
Kemudian penggunaan kata syari‟ah ini bermakna peraturan, adat kebiasaan,
undang-undang dan hukum.
47
Analisis sosial yang telah ada di antaranya analisis kelas dan analisis budaya.
48 49
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, (Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, cetakan I, 1998). Hal. 118.
50
Ibid. Hal 119.
51
Syari‟ah islam berarti segala peraturan agama yang di tetapkan Allah untuk
ummat islam, baik dari Al-Qur‟an maupun dari sunnah Rasulullah SAW. yang berupa
perkataan, perbuatan ataupun takrir (penetapan atau pengakuan).
Pengertian tersebut meliputi ushuluddin (pokok-pokok agama), yang
menerangkan tentang keyakinan kepada allah berserta sifat-sifatnya, hari akhirat dan
sebagainya, yang semuanya dalam pembahasan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Ia juga
mencakup kegiatan-kegiatan manusia yang mengarah kepada pendidikan jiwa dan
keluarga serta masyarakat. Demikian pula tentang jalan yang akan membawanya kepada
kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Ini semuanya termasuk dalam pembahasan ilmu
akhlak.
Menurut pengertian-pengertian tersebut, syariah itu meliputi hukum-hukum Allah
bagi seluruh perbuatan manusia, tentang halal, haram makruh, sunnah dan mubah
pengertian inilah yang kita kenal ilmu fiqih, yang sinonim dengan istilah “undang
-undang”. Para pakar hukum islam selalu berusaha memberikan batasan pengertian
“Syariah” yang lebih tegas, untuk memudahkan kita mebedakan dengan fiqih,yang dia
antaranya sebagai berikut:
a. Imam Abu Ishak As-syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat ushulil ahkam
mengatakan : “bahwasannya arti syariat itu sesungguhnya menetapkan batas tegas
bagi orang-orang mukallaf dalam segala perbuatan,perkataan dan akidah mereka.
b. Syikh Muhammad Ali ath-thawi dalam bukunya kassyful istilahil funun mengatakan:
“Syariah yang telah diisyaratkan Allah untuk para hambanya, dari hukum-hukum
dengan cara pelaksanaanya, dan disebut dengan far‟iyah amaliyah, lalu dihimpun
oleh ilmu kalam dan syari‟ah ini dapat disebut juga pokok akidah dan dapat disebut
juga dengan diin(agama) dan millah.
Definisi tersebut menegaskan bahwa syariah itu muradif (sinonim) dengan diin dan
milah (agama). Berbeda dengan ilmu fiqih, karena ia hanya membahas tentang
amaliyah hukum (ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan
dengan alam ghaib dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.
c. Prof. DR. Mahmud Salthut mengatakan bahwa : Syari‟ah ialah segala peraturan yang
telah diisyaratkan allah,atau ia telah mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia
melaksanakannya, untuk dirinya sendiri dalam berkomunikasi dengan tuhannya
dengan sesama muslim dengan sesama manusia denga alam semesta dan
berkomunikasi dengan kehidupan.”
5. Kedudukan Saksi
Dalam hukum acara pidana saksi termasuk sebagai alat bukti. Hal ini dapat dilihat
dalam pasal 184 KUHP dinyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa saksi termasuk dalam
sebagai alat bukti. Dalam kedudukannya, apabila seseorang telah melakukan suatu tindak
pidana, maka ia selalu berusaha menghilangkan adanya bukti mengenai tindak pidana
tersebut. Sehingga bukti tersebut harus dicari dari keterangan orang-orang yang secara
untuk perkara pidana, maka tepatlah apabila keterangan saksi merupakan alat bukti yang
berada diurutan pertama.52
Dalam KUHAP pasal 1 ayat 26 saksi adalah orang yang dapat memberi
keterangan guna kepentingan penyidikan,penuntutan dan peradilan tentang sesuatu
perkara pidana yang dia dengar sendiri,dia lihat sendiri dan dia alami sendiri.
Syarat menjadi saksi adalah:
1,sehat jiwa dan batinya (tidak gila)
2. baliq(dewasa)
3.berani di sumpah sesuai dengan agama masing masing
4.melihat,mendengar dan mengalami perkara pidana tersebut.
Keterangan saksi yang memenuhi syarat dan bernilai sebagai alat bukti secara
yustiscial haruslah:53
Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana yang
sedang diperiksa. Keterangan saksi haruslah murni berdasarkan kesadaran sendiri dan
didukung oleh latar belakang dan sumber pengetahuannya.
Keterangan saksi yang relavan untuk kepentingan yustisial
- Yang ia dengar sendiri
- Yang ia lihat sendiri
- Yang ia alami sendiri
52
http://www.google.co.id/search?q=hukumonline.com/klinik/detail, diunduh Kamis 27 Maret 2014.
53
- Hasil pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri dimaksud harus
didukung suatu alas an “pengetahuannya” yang logis dan masuk akal
- Jumlah saksi yang sesuai untuk kepentingan peradilan sekurang-kurangnya dua
(pasal 182 ayat 2 KUHAP: unus testis nullus testis, satu sksi bukan saksi).
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
sungguh-sungguhmemperhatikan (Pasal 185 ayat 6 KUHAP):
Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain
Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang sah lainnya
Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan yang
tertentu
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
B. Dasar Hukum Kekuasaan Kehakiman
UUD RI 1945 telah menisbatkan Indonesia sebagai negara hukum. Maka,
berdasarkan atas konsep tersebut dan prinsip penting negara hukum bahwa adanya jaminan
kemerdekaan bagi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, terbebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Berdasarkan sistem UUD RI 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara
negara merupakan salah satu badan penyelenggara negara, selain Presiden, DPR, MPR, dan
BPK.54 Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan
54
kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan penyelenggara negara yang lain hanya
terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan
yang lebih rendah. Maka, sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan
kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lainnya.
Mahkamah Agung (MA) menjalankan kekuasaan kehakiman tertinggi bersama
badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Konstitusi.55 Menurut sistem UUD 1945, fungsi kekuasaan MA, adalah:
a. Menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Dan DPR berperan untuk mengontrol kekuasaan
MA melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, yang diusulkan
oleh Komisi Yudisial.
b. Atas pertimbangan MA, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi.
UUD RI Tahun 1945 telah mengintroduksi Komisi Yudisial (KY) sebagai suatu
lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. KY
ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai berikut :
Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 menyebutkan “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini
secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan, yang menyatakan bahwa ”yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara Negara dan Pemimpin pemerintahan”.
55
Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
1)KY bersifat mandiri dengan wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung,
berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
2)Anggota KY harus mempunyai pengalaman di bidang hukum dan pengetahuan serta
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3)Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
DPR.
4)Susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur dengan undang-undang.
Implementasi atas Pasal 24B UUD 1945, dengan dilahirkannya Undang-undang
No. 22 Tahun 2004, tentang KY. Peranan penting Komisi Yudisial adalah berusaha
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim dengan
melakukan pengawasan terhadap hakim secara transparan dan partisipatif. Komisi Yudisial
merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya
bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.56 Dalam prakteknya KY
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.57
Berdasarkan rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut di atas dapat terlihat
bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan MA, dikembangkan secara seimbang melalui
mekanisme „checks and balances‟. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
56
UU No.22 Tahun 2004, Pasal 2.
57
judisial melalui mekanisme „checks and balances‟ diharapkan ketiga lembaga tersebut dapat
saling mengendalikan dan saling mengimbangi, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan di
antara satu sama lain.
Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam Kekuasaan kehakiman, diberikan kekuasaan untuk memeriksa dan
mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya dalam
koridor perundang-undangan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Badan-badan yang
memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini atas dasar prinsip menjunjung tinggi
hukum dan keadilan diharapkan dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga
dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak . Karenanya badan ini harus
bebas dari pengaruh kekuasaan dari pihak manapun termasuk oleh pemerintah.
Seperti yang dikehendaki Pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah,.58 Hal ini menunjukkan independensi kekuasaan kehakiman sebagai badan yang merdeka, telah diatur secara
konstitusional dalam UUD 1945. Berdasarkan konsepsi negara hukum,59 maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, maka kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
telah dijamin oleh konstitusi tersebut harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan
negara untuk membatasi atau mengurangi wewenangnya. Hal ini merupakan upaya untuk
58Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari „pengaruh‟ kekuasaan pemerintah
itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim.
menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang
dari pemerintah.
Salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah asas kekuasaan kehakiman yang merdeka yang tidak dapat dipisahkan dari asas
negara Indonesia yang berdasarkan atas konstitusi dan negara hukum. Penegasan dalam
UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum sejalan dengan ketentuan tersebut, maka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka harus dipahami dengan doktrin
Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya „pemisahan‟ kekuasaan, yaitu untuk menjamin
keberadaan dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat dalam sebuah negara.
Montesquieu memberikan arti kebebasan politik sebagai:
“a tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to
have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be
afraid of another”.60
Kebebasan berpolitik ditandai dengan adanya rasa tenteram, karena setiap
individu merasa dijamin keamanannya/keselamatannya. Sebagai perwujudan dari kebebasan
politik tersebut, maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar setiap
individu/warga masyarakat tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak
merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya.
60
Penataan badan negara/pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut,
Montesquieu berpendapat perlunya dilakukan pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga
cabang kekuasaan. Karena menurutnya, ”tanpa adanya pemisahan maka tidak akan ada
kebebasan”. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam „The Spirit of The Laws‟ atas doktrin
pemisahan kekuasaan, dia mengungkapkan:
(separation of power), bahwa: “When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end of everything, were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of the people, to the exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolution and of trying the causes of individuals.”61
Kekuasaan kehakiman yang digabungkan dengan kekuasaan legislatif, akan
berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang bagi kehidupan dan
kebebasan seseorang. Di satu sisi, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan
eksekutif, maka kemungkinan hakim akan bertindak menindas dan semena-mena. Dengan
demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), sebagai upaya
menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan kehakiman yang
merdeka merupakan bagian.
Doktrin pemisahan kekuasaan dalam „Trias Politica‟ seperti yang dikemukakan
oleh Montesquieu sejalan dengan sistem kelembagaan di Indonesia sejak terjadinya
61
Perubahan UUD 1945. Karena dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa
Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan dan
kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap
kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan
kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan (balances),
atau „check and balances among of powers‟, untuk mencegah timbulnya
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.62
Dengan membangun doktrin-doktrin hukum seperti ini, dapat dikatakan sebagai
substansi dari keseluruhan cita-cita reformasi berbagai bidang di Indonesia.63 Doktrin-doktrin hukum dalam keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran
penggunaan konsep keberimbangan,64 berkenaan dengan kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman. Karena konsep ”keberimbangan” akan memungkinkan adanya
pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam
kesetaraan dan atau kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan yang berada
dalam keseimbangan guna untuk mencegah kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan
kekuasaan.
62
Lihat Kenneth J. Meier, 1979, Politics And The Bureaucracy, Policymaking in the Fourth Branch of Government, Belmont, California: Duxbury Press, hal. 18-19.
63
Lihat Jimly Asshiddiqie, 2000, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah Seminar, Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Jakarta; lihat pula Jimly Asshiddiqie, 2000, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah Konggres Mahasiswa Indonesia Sedunia, Chicago, Amerika Serikat.
64
Kekuasaan kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas
dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar
pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang.65 Bila dilihat dari doktrin pemisahan kekuasaan, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah bagian dari upaya untuk
menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan
kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya
untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka
tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan atau stelsel pembagian kekuasaan,
tetapi sebagai suatu „conditio sine quanon‟ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya
kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.66
Dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan pada Artikel yang
ke10, yang berbahasa Indonesia: ”Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya
didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan
tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan
pidana yang ditujukan kepadanya.67 Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan
65
Menurut M. Scheltema, dalam Bagir Manan, 1995, Op.Cit., h.5; Negara berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama yaitu (i) asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel); (ii) asas persamaan (het gelijkheids beginsel); (iii) asas demokrasi (het democratische beginsel); dan (iv) asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat (het beginsel van de dienende overheid; government for the people); (M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:Tjeen Willink, hal. 15-17)
66
Bagir Manan, 1995, Ibid., hal. 7
67
Diimplementasikan dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakani:
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,
sebagai suatu refleksi dari „Universal Declaration of Human Rights‟, dan „International
Covenant on Civil and Political Rights‟,68 yang di dalamnya diatur mengenai “independent
and impartial judiciary“.
Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14
dinyatakan,
“… in the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations
in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent,
independent and impartial tribunal established by law”.
Yang di kehendaki dari unsur-unsur di atas yang dapat ditarik beberapa rumusan,
diantaranya:
a. Adanya suatu peradilan/tribunal yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan;
b. Peradilan itu harus independent, tidak impartial dan competent; dan
c. Peradilan diselenggarakan secara jujur dan pemeriksaan secara terbuka. Semua
unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum
perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan konsep negara hukum seperti yang digariskan dalam konstitusi Pasal
1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, dalam
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses
68
peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi, maka harus secara tegas melarang kekuasaan
pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi kewenangan hakim.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell
dalam „Toward a General Theory of Judicial Independence‟: “A theory of judicial
independence that is realistic and analytically useful cannot be concerned with every inside
and outside influence on judges”.69 Dalam hal hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurut Kelsen:
“The judges are, for instance, ordinarily „independent‟ that is, they are subject only to the
laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”.70
Betapa pentingnya kekuasaan kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of
Politics” mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance of the
mechanism of justice”.71 Bahwa peradilan hakim dalam prosesnya hanya tunduk kepada
hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau administratif
yang lebih tinggi. Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam
„De Rechtsstaat‟, mengemukakan:
“Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter is de basis voor een goed
functionerend rechtssystem. Wil men ook garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter over klachten van burgers dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”72
69 Russell, Peter H., and David M. O‟Brien, 1985,
Judicial Independence In The Age Of Democracy, Critical perspectives from around the world, Toronto: Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill, hal. 12
70
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers, Inc., hal. 275
71
Harold J. Laski, 1957, A Grammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd., h.541, dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, h.113-114; lihat pula Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco, hal. 89-90
72
Dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik adalah ketika proses
penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka. Berdasarkan
hukum yang berlaku pada kekuasaan kehakiman yang merdeka, bahwa setiap orang akan
mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku,
dan kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.
Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai
dengan lingkungan peradilan masing-masing. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4
tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup
„merdeka‟, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, menjelaskan tentang kekuasaan
kehakiman yang merdeka. Walaupun di satu sisi dalam melaksanakan wewenang yudisial
bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara
yang baik (general principles of proper justice) sebagai rambu-rambu pengawasan
Kekuasaan kehakiman yang merdeka agar dalam menjalankantugasnta, kekuasaan
kehakiman tidak dijalankan sebebas-bebasnya,73 dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya
73
hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian
kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam
kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum
meliputi otoritas, wewenang, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat
diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana
norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka
kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut
Hukum Acara.
Terdapat rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta
norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik,
kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses
peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini.74 Dengan kata lain,
kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang
bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan
peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif
terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.
Mandat kekuasaan negara yang diberikan pada kekuasaan kehakiman sepenuhnya
untuk mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee agar diwujudkan dalam
suatu keputusan hukum yang bersifat individual dan konkret dan diterapkan pada suatu
74
Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan Tanggungjawab Mahkamah Agung Republik
Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri”, IKAHI, Varia Peradilan, No.178, Juli
perkara hukum yang juga individual dan konkret.75 Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan
bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik yang bersifat individualdan konkret yang
diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.76
Dengan demikian, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret
hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman merupakan sistem yang
berlaku dalam sistem hukum Nasional. Hal yang demikian tidak saja berlaku untuk
perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama
warga negara, akan tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa
antara warga negara dan pemerintah.77
C. Sejarah Kekuasaan Kehakiman Islam
Terbentuknya peradilan Agama seperti sekarang ini tidak bisa terlepas dari proses
sejarah penyelesaian sengketa atau perkara yang muncul di masyarakat. Pada masa awal
islam berkembang di Indonesia.
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Badan Peradilan Agama di Indonesia
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman78 telah cukup memakan waktu yang
75
Moh. Koesnoe, 1997, Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS No.XIX/1966, Varia Peradilan, No.143 Tahun XII, hlm.138.
76
Lihat Paulus Effendie Lotulung, 1999, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian Kelkuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman, hal.156-170.
77
Sunaryati Hartono, 1982, Apakah The Rule of Law Itu ?, Bandung: Alumni, hal. 45.
78
Lihat Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, bunyi pasal tersebut; “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan yang ada di bawahnya meliputi; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Lihat Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004, hlm. 57 2 M. Daud Ali,
sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian,
karena memang Islam adalah merupakan agama hukum dalam arti kata, “Sebuah aturan
yang mengatur manusia dengan Allah Yang Maha Esa (habluminallah) yang sepenuhnya
dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person), juga mengandung
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (habluminannas) dan
berada dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelanggara negara untuk
melaksanakannya secara paripurna”.
Dengan demikian berarti dapat dikatakan bahwa antara Islam dan Hukum Islam
selalu beriringan tidak dapat dipisah-jauhkan.79 Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum Islamnya itu sendiri. Jabatan Hakim dalam Islam
merupakan kelengkapan daripada pelaksanaan syari‟at Islam. Sedangkan peradilannya itu
sendiri merupakan suatu kewajian kolektif (fardlu kifayah), yakni sesuatu yang dapat ada
dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimana pun juga.80
Peradilan Islam di Indonesia yang kemudian dikenal dengan sebutan Pengadilan
Agama, keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka, karena ketika Islam mulai
disebarkan di bumi nusantara Indonesia, pengadilan agama pun telah ada bersamaan dengan
perkembangan kelompok masyarakat di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk
ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.81 Hal ini karena masyarakat
79
M. Daud Ali, Undang-undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, Nomor 634, tanggal 1-10 Januari 1990, Jakarta: hal. 71.
80
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hlm. 29.
81
Islam atau kaum muslimin sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati
hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.82
Peradilan Islam dengan berbagai nama telah dikenal di Indonesia sejak lama yaitu
sebelum kedatangan penjajah Barat. Ia mengalami peran pasang surut sampai sekarang.
Pengembangannya yang naturalistik adalah menuju Pengadilan Islam seperti berlaku pada
masa lalu untuk hal-hal yang masih relevan dan atau Pengadilan Islam yang ideal di masa
depan sesuai cita-cita Islam sebagai agama wahyu, serta dalam rangka upaya
pengembangannya dalam konteks pembangunan hukum Nasional.
Pada mulanya Peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan
masyarakat dan perkara-perkara yang diajukan kepadanya pada masa awal Islam, lalu
berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat.83 Peradilan Islam dalam sejarahnya yang panjang tidak hanya dilakukan hakim pengadilan
secara khusus, tetapi juga oleh pemerintah sebagai penguasa Eksekutif.
D. Tatacara Pengangkatan Hakim Dalam Islam
Peradilan Islam di Indonesia merupakan salah satu institusi Islam yang sangat
tua. Dalam sejarahnya Peradilan Islam mengalami pasang surut. Pada mulanya
diorganisasikan secara sederhana, kemudian menjadi salah satu pelaksana kekuasaan
Pemerintah dalam bentuk dan wewenang yang beraneka ragam. Ia mengalami
perkembangan yang pesat dalam struktur, kekuasaan dan prosedurnya. Posisinyapun
82
Syed Habibul Haq Nadvi, The Dynamic of Islam, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul “Dinamika Islam”, Bandung: Risalah, 1982, hlm. 212.
83
semakin penting, teruman dalam menjalankan fungsinya untuk menegakan hukum dan
keadilan.84
Peradilan merupakan sebuah tempat mencari keadilan bagi orang yang merasa
dilanggar hak-haknya oleh orang lain. Hakim merupakan sebuah jabatan yang bertugas
sebagai ujung tombak dalam menegakkan keadilan.
Pengangkatan hakim di Indonesia diatur dalam peraturan bersama Mahkamah
Agung RI (MARI) dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) No.
01/PB/MA/IX//2012 dan No. 01/PB/P.KY/09/2012 tentang seleksi pengangkatan hakim.
Peraturan ini mencangkup empat bab yang terdiri dari Ketua Umum, Tata Cara Seleksi
Hakim, Pembiayaan, Ketentuan Penutup, dan memiliki 9 pasal.
Dalam pasal 2 Peraturan Bersama MARI dan KYRI dijelaskan bahwa :
Proses seleksi pengangkatan hakim yang dilakukan sebelum ditetapkan peraturan
hakim sebagai pejabat Negara dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku kecuali yang
diatur secara khusus dalam peraturan ini.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa calon hakim merupakan orang yang lulus dari
seleksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Ujian tersebut
mencangkup materi kehakiman, kode etik dan pedoman perilaku hakim. Selain itu, ujian itu
dilakukan secara tertulis dan lisan guna mengetahui kecakapan calon hakim. Kelulusan
peserta pendidikan diatur sesuai dengan proporsi pembobotan nilai yang ditentukan oleh
Mahkamah agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
84
Setelah calon hakim telah dinyatakan lulus, Mahkamah Agung melakukan
penjajakan kemampuan calon hakim baru dengan mengirimnya pada Pengadilan Agama
untuk melakukan Magang. Ketikan calon hakim melaksanakan tugas magang, Komisi
Yudisial melakukan monitoring dan menilai terhadap calon hakim yang melakukan magang
tersebut. Hasil penilaian ini diserahkan kepada Panitia Pendidikan Calon Hakim dalam
rangka pembinaan.85
Dalam pasal 6 peraturan bersama MARI dan KYRI No. 01/PB/MA/IX//2012 dan
No. 01/PB/P.KY/09/2012 tentang seleksi pengangkatan hakim dijelaskan bahwa : “Nama
-nama peserta pendidikan calon hakim kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari
sejak penetapan kelulusan”.
Dalam pasal 7, dijelaskan pula :
Ketua Mahkamah Agung mengusulkan peserta seleksi hakim yang telah lulus
untuk diangkat menjadi hakim kepada Presiden paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pemberitahuan penetapan kelulusan.
Berdasarkan pada kedua pasal ini, calon hakim yang sudah yang dinyatakan lulus
oleh panitia pengangkatan hakim baru langsung diajukan oleh Mahkamah Agung sebagai
lembaga induk Peradilan di Indonesia. Setelah diterima oleh MA, kemudian MA tidak bisa
mengangkat secara sendiri hakim-hakim yang sudah dinyatakan lulus tersebut. Calon hakim
yang sudah dinyatakan lulus tersebut diajukan oleh MA kepada Presiden yang berjangka
waktu 30 hari sejak pemberitahuan kelulusan oleh panitia pengangkatan hakim.
85
Dari penjelasan diatas, tatacara pengangkatan hakim dilakukan oleh panitia
pengangkatan hakim yang dibentuk oleh Mahkamah Agung. Calon hakim melakukan
serangkaian seleksi yang difasilitasi oleh panitia guna menjaring hakim-hakim secara
profesional. Dengan melalui seleksi ini hakim akan teruji kecakapan materi yang
dikuasainya, sehingga hakim baru benar-benar menguasai materi tentang kehakiman.
Setelah dinyatakan lulus dari seleksi calon hakim, calon hakim mengikuti
serangkaian pembinaan dari panitia yang dibentuk oleh Mahkamah Agung. Pembinaan ini
meliputi kode etik seorang hakim dan pedoman perilaku hakim. Setelah selesai masa
pembinaan calon hakim ini, calon hakim dikirim ke berbagai Pengadilan untuk melakukan
magang. Selama magang ini seorang calon hakim tidak dilepas begitu saja, akan tetapi ada
pengawasan yang dilakukan oleh panitia, MA dan KY. Hasil dari monitoring ini berguna
untuk calon Hakim baru.
Setelah selesai melakukan magang, Selanjutnya nama-nama calon hakim baru ini
diajukan oleh panitia Kepala Mahkamah Agung guna diajukan kepada presiden untuk
dilakukan pengangkatan jabatan hakim. Setelah Mahkamah Agung mengajukan
pengangkatan hakim kepada Presiden, kemudian Presiden siap untuk mengangkat hakim.
Maka, setelah Presiden mengangkat hakim yang diajukan calonnya oleh MA
melalui seleksi yang dilakukan oleh panitia yang dibentuk oleh MA, maka hakim tersebut
telah dinyatakan sah. Dengan demikian hakim di Indonesia diangkat oleh Presiden melalui
seleksi yang dilakukan oleh panitia yang dibentuk oleh Mahkamah Agung (MA).86
86