• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPER TUTORIAL PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN. Kebijakan Produksi (Intesifikasi melalui BIMAS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PAPER TUTORIAL PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN. Kebijakan Produksi (Intesifikasi melalui BIMAS)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PAPER TUTORIAL

PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN

“Kebijakan Produksi (Intesifikasi melalui BIMAS)”

Disusun Oleh Kelompok 1:

Nurul Setyaningsih

115040200111086

Nimas Ayu Kinasih

115040201111157

Nurhadi

115040201111172

Novi Bagus Pratama

115040201111258

Nur Izzatul Maulidah

115040201111339

KELAS L

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, dan efisiensi produksi naik, sehingga tingkan penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu.

Meningkatkan produksi pertanian suatu negara adalah tugas yang kompleks karena banyaknya kondisi berbeda yang harus dibina atau diubah oleh orang ataupun kelompok yang berbeda pula. Pada dasarnya pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam. Namun perkembangan tersebut berjalan secara lambat.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan produksi pertanian dengan melakukan berbagai cara, di antaranya adalah intensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian merupakan suatu kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dengan menerapkan panca usahatani di Indonesia seiiring dengan laju pertambahan penduduk yang semakin meningkat. Komoditas pertanian mempunyai peran yang strategis dalam mewujudkan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan devisa.

Pada tahun 1950-an pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi padi dengan cara menekankan perluasan dan pembangunan area sawah serta perluasan sistem irigasi. Pada saat itu peningkatan luas lahan sawah di Indonesia meningkat dengan cepat karena adanya konversi lahan tebu menjadi lahan padi. Pada tahun 1960, swasembada beras sudah menjadi

(3)

program utama bagi pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan produksi padi agar dapat memenuhi kebutuhan dikarenakan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Program intensifikasi pertanian terutama untuk meningkatkan produksi padi mulai dilakukan pada tahun 1960-an melalui program BIMAS (Bimbingan Masal).

BIMAS (Bimbingan Masal) merupakan perangkat terpadu dari kegiatan penyuluhan pertanian disertai dengan penyediaan paket sarana produksi pertanian dan kredit untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi tanaman padi, palawija, hortikultura, peternakan, perikanan, dan perkebunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani, peternak, nelayan, dan keluarganya (KEPPRES Nomor 62 Tahun 1983).

1.2. Tujuan

Setelah mempelajari materi ini, diharapkan agar mahasiswa mampu: 1. Untuk mengidentifikasi dan memahami mengenai kebijakan aspek

produksi pertanian.

2. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi Program Kebijakan Aspek Produksi Pertanian (Intensifikasi) yang ada di Indonesia.

3. Untuk mengidentifikasi variabel ekonomi yang terkait dengan persoalan umum dan terbaru dalam bidang kebijakan aspek produksi pertanian.

(4)

BAB II

ULASAN

Pemerintah Indonesia mencanangkan program intensifikasi usahatani pada tahun 1958, dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan potensi lahan, daya dan dana yang ada secara optimal, serta kelestarian sumber daya alam. Program ini dinamakan Padi Sentra. Dalam program intensifikasi ini diterapkan teknologi Panca Usaha Tani yang meliputi : (1) Penyediaan air dalam jumlah cukup dan waktu yang tepat;

(2) Penggunaan benih unggul dengan potensi hasil tinggi, mempunyai ketahanan hidup yang tinggi dan masa tumbuh yang relatif pendek;

(3) Penyediaan pupuk yang cukup; (4) Pengendalian hama terpadu; dan (5) Cara bercocok tanam yang baik.

(Balitbangtan, 2004)

Mulai tahun 1980 program Bimas dikembangkan menjadi pola intensifikasi khusus (Insus). Pada pola insus diterapkan teknologi Sapta Usaha Tani yang merupakan penyempurnaan dari Panca Usahatani, yaitu dengan menambahkan komponen penyuluhan, penanganan pasca panen dan pemasaran, kemudian dikembangkan menjadi Supra Insus. Supra Insus merupakan upaya untuk mempertahankan swasembada beras yang kita capai tahun 1984.

Penyelenggaraan program Supra Insus menggunakan metode pendekatan Operasi khusus (Opsu). Opsu menerapkan paket teknologi sebagai berikut:

(1) Benih padi unggul bersertifikat dan pergiliran varietas padi; (3) Jarak tanam;

(4) Pengelolaan tanah secara sempurna dan pemupukan berimbang; (5) Penggunaan zat pengatur tumbuh;

(7) Tata guna air ditingkat usaha tani secara efisien; (8) Pemeliharaan tanaman yang baik;

(9) Pola tanam Padi-Padi-Palawija; (10) Penanganan kegiatan pasca panen; (11) Pengendalian hama terpadu.

(5)

Akhirnya pada tahun 1985, program BIMAS diberhentikan secara resmi oleh pemerintah karena dinilai tidak mampu menjangkau para petani miskin secara efektif maupun memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya intensifikasi padi. Akan tetapi, meskipun program BIMAS gagal, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan beras pada tahun 1985 yang merupakan tahun berakhirnya program BIMAS.

Kegagalan program BIMAS terjadi karena banyak faktor. Faktor-faktor kegagalan BIMAS berbeda di setiap desa, namun yang mendasari kegagalan BIMAS, yakni:

a. Tingkat bunga yang disubsidi mencegah kelangsungan institusional; b. BRI tidak diperbolehkan memilih peminjamnya sendiri;

c. Pinjaman dikaitkan dengan paket yang sudah ditentukan dan seringkali tidak cocok atau bahkan kadang-kadang merusak tananam padi;

d. Di banyak daerah subsidi kredit diberikan kepada warga desa yang telah kaya; e. Di beberapa daerah, peminjam dipilih oleh para pejabat pemerintah demi

memenuhi target, meskipun tanah peminjam tidak cocok dengan input yang disediakan atau bahkan untuk penanaman padi;

f. Dalam beberapa tahun terjadi kegagalan panen yang parah, seringkali sebagai akibat langsung dari insektisida yang didistribusikan dalam paket BIMAS; g. Kebijakan Pemerintah untuk penjadwalan ulang pinjaman direncanakan

dengan buruk dan seringkali diimplementasikan dengan korup;

h. Staf BRI Unit tidak dilatih dengan baik, bergaji rendah, tidak termotivasi, dan umumnya tidak dipedulikan dan dipandang rendah oleh bagian BRI yang lain.

(Robinson, 2001)

1. Program Kebijakan Produksi dalam Bidang Pertanian (Intensifikasi) melalui BIMAS

a. Program intensifikasi produksi padi rencana BIMAS MH 1965/1966 meliputi 150.000 ha. Meskipun produktivitas rencana ini tidak sebaik Demas 1964/1965 karena:

(6)

 Kurang lancarnya penyaluran logistik pupuk, obat-obatan, alat-alat seperti sprayer, dan sebagainya.

 Kurang adanya fasilitas pengangkutan.  Kurang lancarnya kredit untuk petani.

 Kurang intensifnya pelaksanaannya, karena setiap unit dibimbing Koperta, sedang mahasiswa pembimbing memegang sektor yang terdiri dari 3-5 unit.

 Karena adanya G30S/PKI, yang membuat suasana di daerah berbahaya dan menyulitkan pelaksanaan penyuluhan.

 Perencanaan yang tergesa-gesa dan tidak sempurna bagi daerah-daerah tertentu, misalnya Kalimantan Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Timur. Tetapi konperensi tersebut dinilai berhasil dalam meningkatkan produksi, walaupun banyak hambatan karena situasi politik akibat G30S/PKI maupun kesulitan biaya untuk menjamin pelaksanaannya. b. Bunga pinjaman semula ditetapkan 3% per bulan.

c. Pelaksanaan kredit dalam program BIMAS diserahkan kepada BRI sebagai intermediary institution.

d. Keputusan pemberian pinjaman bukan berada pada BRI Unit Desa selaku Bank Desa ataupun Cabang BRI selaku intermediary institution, tetapi ditentukan oleh para pejabat Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah, serta Komite yang ditugaskan untuk memenuhi sasaran pemerintah dalam pinjaman BIMAS.

e. Dalam program BIMAS, pemberian kredit kepada petani tidak berupa uang tunai, melainkan dipasok dalam bentuk materi, seperti benih, pupuk, dan insektisida oleh KUD. Namun pengembalian kredit berupa uang tunai. Jumlah pinjaman ditentukan sesuai dengan luas lahan yang akan diolah oleh seorang petani.

f. Pinjaman untuk pengolahan padi disediakan secara terpisah untuk musim kemarau dan musim hujan.

(7)

2. Identifikasi Program Pertanian Aspek Produksi yang Telah Didapatkan

a. Program intensifikasi produksi padi yang terlaksana melalui BIMAS MH 1966/1967 meliputi 220.000 ha (Kretosastro, 1967). Hal ini terjadi akibat antusiasme daerah yang tinggi. Perencanaa ini didasarkan pada komperensi kerja BIMAS SSBM di Tretes, Jawa Timur pada tanggal 19-12 April 1966. Dan diputuskan areal BIMAS 1966/1967 meliputi 1.350.000 ha yang terdiri dari 1 juta ha areal Bimas dan sisanya merupakan proyek intensifikasi yang disebut Projek Dewi Sri Djaja di daerah sekitar Jakarta (Krawang, Subang, Indramayu, dan lain-lain). Untuk mendukung pelaksanaan program yang semakin meluas, terjadi peningkatan areal sekitar 150.000 ha dibanding dengan luas areal target pada masa tanam sebelumnya, dikerahkan tenaga mahasiswa dari perguruan tinggi selain Fakultas Pertanian IPB, yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa.

b. Areal BIMAS dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi produksi per ha cenderung menurun. Walaupun demikian, jumlah produksi padi BIMAS masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi padi non BIMAS.

c. Bunga pinjaman diturunkan menjadi 1% per bulan karena dinilai terlalu berat.

d. Sudah berjalannya pengambilan kredit dari BNI Unit II (BRI). Tetapi petani merasa prosedur ini masih berbelit-belit dan menyita waktu dan tenaga. Jangka waktu peminjaman ditetapkan 7 bulan dinilai sangat merugikan petani karena pada masa pembayaran, harga padi dan beras paling rendah. Ketidaklancaran dalam mengembalikan kredit karena pengambilan kredit dilakukan secara berkelompok, sehingga rasa tanggungjawab pengambilan kredit secara perorangan cenderung tidak ada.

e. Sudah berjalannya penyaluran sarana produksi berupa bibit, pupuk, obat-obatan, alat penyemprot, dan alat pengairan. Tetapi penyaluran mengalami berbagai hambatan. Hambatan tersebut berkaitan dengan belum adanya

(8)

sistem pengadaan sarana produksi yang memadai, yang rencananya dilakukan oleh Koperta.

f. Penyaluran bibit unggul telah dilaksanakan, tetapi sering mengalami hambatan, antara lain karena kuantitas dan kualitasnya tidak sesuai dengan ketentuan dan keterlambatan penyaluran, sehingga petani terpaksa menanam jenis bibit lain.

g. Kualitas pupuk dari PN Pertani dinilai kurang baik karena sudah terlalu lama disimpan dan jumlahnya diduga kurang dari ketentuan. Selain itu jarak antara gudang dengan petani relatif jauh sehingga menimbulkan keterlambatan.

h. Pada masa program Bimas (1965- 1967) kegiatan penyuluhan mengalami banyak penurunan dibandingkan dengan masa-masa Demas.

i. Metode penyuluhan berupa kursus-kursus, demonstrasi, atau percontohan jarang sekali dilakukan. Penyebaran inovasi teknologi dilakukan dalam forum-forum rapat desa dengan penggerak para pamong desa. Dengan demikian penyebaran inovasi kepada petani tidak didasarkan pada prinsip-prinsip pendidikan tetapi cenderung bersifat instruktif. Selain itu diakibatkan oleh sangat terbatasnya dan sibuknya penyuluh dengan kegiatan non-pertanian.

j. Pinjaman BIMAS bukan pada lembaga keuangan yang mengelola kredit tersebut, maka kredit yang seharusnya dicairkan untuk setiap petani yang berpartisipasi pada sebelum musim tanam seringkali diterima para peminjam tidak tepat pada waktu, sehingga para petani terpaksa menanam tanpa pupuk atau input lainnya, atau harus membeli dengan dana dari sumber penghasilan lainnya.

k. Selama periode BIMAS, mayoritas pinjaman jatuh tempo tepat setelah penuaian panen yang menggunakan input BIMAS. Akibatnya, para petani harus membayar pinjaman mereka dari hasil penjualan panen beras mereka pada titik terendah.

(9)

BAB III

KESIMPULAN

Kebijakan produksi dalam bidang intensifikasi pertanian melalui BIMAS, antara lain: program intensifikasi produksi padi seluas 150.000 ha; bunga pinjaman 3% per bulan; pelaksanaan kredit diserahkan kepada BRI; keputusan pemberian pinjaman bukan berada pada BRI Unit Desa; pemberian kredit tidak berupa uang tunai, namun pengembaliannya berupa uang tunai; pinjaman untuk pengolahan padi disediakan secara terpisah; dan masih banyak yang lainnya lagi.

Kebijakan produksi ini pada umumnya bertujuan baik, tetapi terkadang muncul dampak negatifnya akibat implementasinya kurang baik. Implementasi yang telah didapatkan petani dan masyarakat dari kebijakan melalui BIMAS, antara lain: program intensifikasi produksi padi seluas 220.000 ha (areal BIMAS dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi produksi per ha cenderung menurun); bunga pinjaman diturunkan menjadi 1% per bulan; sudah berjalannya pengambilan kredit dari BNI Unit II (BRI); sudah berjalannya penyaluran sarana produksi berupa bibit, pupuk, obat-obatan, alat penyemprot, dan alat pengairan; mayoritas pinjaman jatuh tempo tepat setelah penuaian panen yang; dan msih menggunakan input BIMAS; penyuluhan berupa kursus-kursus, demonstrasi, atau percontohan jarang sekali dilakukan; dan masih banyak dampak lain yang telah diterima petani dan masyarakat.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan, Deptan. 2004. Pedoman Umum Kegiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2004. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian: Jakarta.

Gamal, Merza. 2013. Kajian Empiris Pembangunan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian 1). http://ekonomi. kompasiana. com/ moneter/ 2013/ 03/ 07/ kajian-empiris-pembangunan-ekonomi-rakyat-masa-orde-baru-bagian-1-535024.html. Diakses tanggal 3 Mei 2013.

Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. PT. Penebar Swadaya: Jakarta.

KEPPRES. 1983. KEPPRES Nomor 62 Tahun 1983 tentang Badan Pengendalian BIMAS. Keputusan Presiden Republik Indonesia: Jakarta.

Robinson, MS. 2001. The Microfinance Revolution, Volume 1: Sustainable Finance for The Poor. The World Bank: Washington D.C.

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat dan dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan, (e) ditetapkannya prosedur penilaian yang tepat untuk peserta didik, calon guru dan guru-guru yang telah

Kerupuk merupakan jajanan yang bahan utamanya adalah pati. Bit mempunyai kandungan pati sebesar 35,81%, hal ini dapat membantu proses gelatinasi pati pada pembuatan

Pada masa perpecahan Dinasti Han (zaman tiga negara), seorang kaisar bernama Jin Wudi (Dinasti Jin), yaitu seorang pecinta ilmu pengetahuan membangun sebuah

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan: air lindi Tempat Pembuangan Akhir Piyungan Bantul bersifat toksik terhadap ikan nila hitam

Bahwa sesuai Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 32/2004 juncto UU Nomor 12/2008 dan Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara

Entertainment dapat ditingkatkan dengan cara iklan yang disampaikan mengandung unsur hiburan yang dapat memberikan kesan di hati konsumen, iklan yang disampaikan lebih

Sebagaimana perintah Allah swt untuk senantiasa memelihara setiap keluarganya, melalui nasehat dan pendidikan untuk menjaga keimanaa kepada Allah swt, serta

Hasil percobaan menunjukkan tingkat naungan dan cekaman air berpengaruh nyata pada beberapa variabel pengamatan, yaitu Laju Pertumbuhan Relatif, bobot segar, bobot kering, dan