Tenurial, Tata Kelola dan Bisnis Kehutanan
Pengalaman dan Peluang untuk Asia pada Konteks Perubahan
Menyingkap
Potensi
Hutan
Melalui
Reformasi
Tenurial
Pesan dan rekomendasi utama dari Konferensi Internasional tentang Tenurial, Tata Kelola dan Usaha
Kehutanan: Pengalaman dan Peluang untuk Asia pada Konteks Perubahan
Lombok, Indonesia – 11‐15 July 2011
Disponsori oleh Pemerintah Indonesia, Konferensi Internasional tentang Tenurial, Tata Kelola dan Usaha
Kehutanan: Pengalaman dan Peluang untuk Asia pada Konteks Perubahan berlangsung di Santosa Villas
dan Resorts, Lombok, Indonesia. Konferensi ini diorganisir oleh Kementerian Kehutanan Indonesia,
International Tropical Timber Organization (ITTO), Rights and Resource Initiatives (RRI), dengan
dukungan dari 20 organisasi lain, termasuk Global Alliance of Community Forestry (GACF).
Upacara pembukaan dilakukan oleh Wakil Presiden Boediono, dan dihadiri oleh Zulkifli Hassan, Menteri
Kehutanan; Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan; Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja
Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan; TGH. M. Zainul Majdi, Gubernur
Provinsi Nusa Tenggara Barat; Emmanuel Ze Meka, Direktur Eksekutif ITTO; Hedar Laujeng, Ketua
Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional Indonesia; dan Andy White, Koordinator Rights and
Resources Initiative.
Sekitar 300 peserta yang terdiri dari sejumlah ahli dari Indonesia dan berbagai negara lain di wilayah
Asia‐Pasifik (Australia, Banglades, Cina, Fiji, India, Jepang, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Selandia
Baru, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Sri Lanka, Thailand, Vietnam), dari Eropa (Italia, Belanda,
Norwegia, Inggris), Afrika (Kamerun, Kenya, Liberia), Amerika (Bolivia, Brasil, Guatemala, Nikaragua,
Amerika Serikat), organisasi regional (RECOFTC, REFACOF, Samdhana Institute), dan organisasi
internasional (FAO, GACF, ICRAF, ITTO, RRI, TRAFFIC, UNFF, WRI), perwakilan pemerintah, masyarakat
sipil, masyarakat setempat, pemimpin adat, beberapa pejabat terpilih, dan sejumlah donor (Ford
Foundation/Climate and Land Use Alliance, GIZ, EU‐EFI FLEGT Asia, JICA, UK Climate Change Unit)
ikut ambil bagian pada pertemuan yang penting ini, yang terdiri dari sesi pleno, sesi paralel dan
kunjungan ke lapangan.
Pada Konferensi Internasional tentang Tenurial, Tata Kelola dan Usaha Kehutanan: Peluang Baru untuk
Afrika Tengah dan Barat yang diselenggarakan di Yaounde pada tahun 2009, para peserta merumuskan
sebuah pernyataan yang mendukung diselenggarakannya pertemuan pada tahun 2011 untuk membahas
perkembangan baru dalam reformasi tenurial dan tata kelola hutan dengan fokus di Asia. Agenda
tersebut kemudian diintegrasikan dan disahkan sebagai kegiatan kebijakan strategis 47 dari Program
Kerja Dua Tahunan ITTO 2010‐2011.
Tujuan dari konferensi Lombok ini adalah untuk mengkatalisasi berbagai aksi baru dan lebih luas dalam
memajukan reformasi tenurial, meningkatkan tata kelola hutan dan mendukung usaha hutan berbasis
masyarakat di wilayah Asia Pasifik. Perubahan konteks peraturan dan kelembagaan dari lanskap hutan
akan berkontribusi bagi tujuan yang lebih luas dalam meningkatkan penghidupan kaum miskin,
memastikan investasi, mendorong pembangunan ekonomi masyarakat, dan menangani perubahan
iklim.
Keluaran yang diharapkan dari konferensi ini adalah:
1. Meningkatnya pemahaman dasar dan pertukaran informasi tentang kebijakan tenurial hutan
yang inovatif, perundang‐undangan, pengaturan kelembagaan, dan inisiatif lain dalam konteks
nasional dan global yang senantiasa berubah, dengan acuan khusus pada wilayah Asia‐Pasifik
dan perubahan iklim.
2. Pemahaman baru tentang implikasi dari tren dan perkembangan tenurial pada pengelolaan
hutan oleh masyarakat untuk negara‐negara Asia‐Pasifik.
3. Refleksi pada pengalaman dalam memanfaatkan hak tenurial dan sumber daya hutan pada
sejumlah negara di Asia‐Pasifik untuk memperkuat pengelolaan hutan lestari dan meningkatkan
penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan.
4. Adanya peningkatan mekanisme bagi partisipasi para pemangku kepentingan dan pembagian
manfaat yang berkeadilan atas pemanfaatan dan konservasi sumber daya hutan tropis yang
5. Pemahaman tentang status reformasi dan inisiatif tenurial hutan, pembelajaran dan
rekomendasi untuk langkah reformasi berikutnya.
Para peserta konferensi mengidentifikasi sejumlah isu utama, tantangan dan pembelajaran, serta
menyusun rekomendasi bagi pemerintah, donor dan organisasi internasional, masyarakat, serta
organisasi masyarakat sipil. Mereka mencatat bahwa 2011 adalah Tahun Hutan Internasional dan
mengakui Deklarasi Tingkat Menteri pada Sesi ke‐9 pada Forum Hutan PBB, di mana sejumlah menteri
berkomitmen untuk “meningkatkan penghidupan rakyat dan masyarakat dengan menciptakan kondisi
yang diperlukan bagi mereka untuk secara lestari mengelola hutan, termasuk melalui penguatan kerja
sama dalam bidang keuangan, perdagangan, transfer teknologi, peningkatan kapasitas dan tata kelola,
serta dengan mendorong tenurial lahan yang pasti, pembuatan keputusan partisipatif dan pembagian
keuntungan.” Hasil konferensi dirangkum pada bagian di bawah ini.
Isu
‐
isu
dan
tantangan
utama
dalam
tenurial
hutan,
tata
kelola
dan
bisnis
masyarakat
di
Asia
‐
Pasifik
Umum
• Tenurial hutan tidak seimbang terjadi di banyak negara di Asia, dan banyak rakyat yang tidak
memiliki akses legal terhadap lahan. Meskipun masyarakat memiliki hak adat pada sejumlah
besar wilayah hutan, hal ini jarang diakui dalam undang‐undang. Pada banyak negara, hak
masyarakat adat dan masyarakat setempat untuk mengelola hutan mereka sendiri masih
diabaikan, dan tidak terdapat mekanisme legal untuk mendukung masyarakat adat dan
masyarakat setempat dalam mengelola lahan dan wilayah hutan mereka.
• Sekitar 68% dari hutan di Asia‐Pasifik dikelola oleh pemerintah, dibandingkan dengan 32% di
Amerika Latin. Pada beberapa negara Asia, hampir semua hutan dikelola oleh pemerintah. Pada
hutan publik, sangat sedikit hutan yang diperuntukkan bagi pemanfaatan oleh masyarakat adat
dan masyarakat setempat. Pada banyak negara tingginya tingkat kepemilikan negara
merupakan warisan dari era kolonial.
• Tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan pada banyak negara di Asia adalah terkait dengan
ketidakadilan dalam penguasaan lahan dan kurangnya akses masyarakat yang bergantung pada
hutan terhadap hak kepemilikan.
• Para rimbawan cenderung berfokus pada aspek teknis dan ekonomis kehutanan, padahal hutan
juga memiliki aspek sosial dan politik. Para rimbawan tidak terlatih dengan baik untuk mengatasi
permasalahan semacam itu.
• Beberapa pemerintah di Asia‐Pasifik memiliki program untuk menyediakan akses yang lebih
besar bagi masyarakat kampung hutan, dan untuk meneruskan reforma agraria, namun
• Pembalakan liar, korupsi, dan perambahan berlanjut semakin meluas, sebagian disebabkan oleh
ketidakjelasan tenurial.
• Bahkan pada negara dengan tenurial masyarakat yang relatif tinggi, negara seringkali
mempertahankan hak untuk membatasi pemanfaatan ekonomi lahan, atau bagian dari lahan
tersebut, tanpa kompensasi. Sebagai contoh, diharuskannya pemegang ijin untuk
mengalokasikan persentase tertentu lahan supaya tidak dipanen.
• Kurangnya penelitian yang mendukung reformasi tenurial hutan, termasuk pada kepemilikan
lahan adat dan dampak dari reformasi tenurial pada konservasi hutan, keadilan sosial, dan
pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan dan pembangunan
• Sebagian penduduk termiskin di Asia‐Pasifik merupakan masyarakat yang bergantung pada
hutan, namun demikian bantuan pembangunan telah terus‐menerus gagal dalam memperbaiki
penghidupan para penduduk ini.
• Pemanenan dari hutan yang dikelola masyarakat dibatasi oleh peraturan yaitu hanya pada hasil‐
hasil untuk kebutuhan pokok saja. Masyarakat sangat terbatasi untuk memanen hasil‐hasil yang
bernilai tinggi, khususnya kayu.
• Kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat membatasi akses masyarakat
terhadap sumber daya, program dan pasar, juga menghambat partisipasi yang adil dalam proses
pengembangan kebijakan. Dalam banyak kasus hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kapasitas
masyarakat. Kompleksitas dari berbagai peraturan hutan menjadi halangan bagi pengembangan
masyarakat.
• Donor memiliki fleksibilitas yang rendah dalam menyediakan dana bagi masyarakat adat dan
masyarakat setempat berikut federasi, asosiasi dan jaringan kerja mereka.
Perubahan iklim
• Deforestasi dan degradasi hutan di wilayah Asia‐Pasifik merupakan kontributor signifikan bagi
emisi gas rumah kaca global. Sebagai contoh, mayoritas emisi gas rumah kaca bersumber dari
perubahan tata guna lahan dan kehutanan. Hak tenurial yang jelas dan pasti serta akses
terhadap sumber daya merupakan hal yang sangat penting untuk mitigasi emisi gas rumah kaca
dari sektor tata guna lahan.
• Pertimbangan bagi pengetahuan tradisional kebanyakan tidak diikutkan dalam debat
internasional tentang mitigasi perubahan iklim.
• Lambatnya negosiasi tentang REDD+ menyebabkan ketidakpastian pada tingkat nasional dan
Konflik
• Pengaturan tenurial hutan yang tidak jelas, tidak adil dan saling tumpang tindih telah
menyebabkan terjadinya konflik – antar masyarakat, antara masyarakat dengan perusahaan,
dan antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik‐konflik ini dapat dan terkadang melibatkan
kekerasan terhadap masyarakat.
• Pada banyak negara tidak terdapat mekanisme penyelesaian konflik yang efektif untuk
menyelesaikan sengketa atas tenurial hutan, yang dapat diperparah oleh akses yang tidak adil
terhadap informasi, ketidakseimbangan struktur kekuasaan dan lemahnya kapasitas.
Gender
• Perempuan sering secara tidak adil dipengaruhi oleh konflik atas tenurial hutan yang
menyebabkan disintegrasi moral dari nilai‐nilai keluarga dan masyarakat.
• Terdapat bias gender dalam lembaga pembangunan, dimana perempuan mendapatkan peran
berdasarkan norma‐norma budaya dan interpretasi keagamaan.
• Apapun jenis reformasi tenurial yang ada, akan mempengaruhi laki‐laki dan perempuan dengan
cara yang berbeda. Perempuan dapat dimarjinalisasi dengan adanya proses reformasi tenurial
lahan. Hak yang lebih besar bagi masyarakat tidak secara otomatis berarti hak bagi perempuan.
Seringkali merupakan hal yang sulit bagi perempuan untuk terlibat dalam proses reformasi
lahan.
• Bahkan jika telah terdapat kebijakan yang menyeru pada gender, terdapat tantangan untuk
implementasinya. Nampaknya perempuan dengan tingkat pendidikan yang rendah tidak akan
dapat dijangkau oleh program‐program pemerintah atau pembangunan berbasis hutan.
Perencanaan dan jaring pengaman
• Perencanaan tata ruang untuk hutan dan lahan pertanian cenderung dipicu dari atas ke bawah
dan mengabaikan pemanfaatan, kepemilikan dan pengetahuan masyarakat, dan hanya terdapat
sedikit koordinasi lintas sektoral. Hanya sedikit pemerintah yang telah mengintegrasikan
pemetaan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang mereka.
• Jaring pengaman seperti halnya partisipasi dan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa
paksaan (free prior and informed consent/FPIC) belum sepenuhnya dilembagakan dalam proses
reformasi tenurial hutan. Penerapan FPIC memberikan hasil yang mengecewakan pada
beberapa hutan, sebagian disebabkan oleh kurangnya pemahaman atas konsep tersebut.
Pembelajaran utama
• Pemicu reformasi tenurial hutan. Peluang untuk reformasi tenurial lahan, termasuk reformasi
perubahan model tata kelola (misalnya dari kediktatoran menjadi demokrasi, atau dari
sentralisasi menjadi desentralisasi); aktivisme oleh pengguna hutan, masyarakat adat dan
masyarakat setempat; serta komitmen internasional atas hak dan tanggung jawab.
• Identitas dan perubahan positif. Hak tenurial diperlukan untuk memastikan identitas, warisan
budaya dan tradisi masyarakat adat dan masyarakat setempat, dan untuk memungkinkan
penduduk pada masyarakat yang bersangkutan untuk hidup dengan martabat dan harga diri
yang baik. Reformasi tenurial bukan merupakan awal dan akhir dari permasalahan hutan,
namun ini merupakan kondisi kunci untuk mengatasi deforestasi, degradasi hutan dan
pembangunan masyarakat.
• Konflik. Lembaga dan mekanisme yang independen dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik
terkait tenurial hutan, baik formal maupun informal. Lembaga dan mekanisme tersebut haruslah
bersifat transparan dan mudah diakses. Model‐model penyelesaian konflik yang berhasil pada
tingkat lokal paling baik dikembangkan dengan menggunakan pendekatan partisipatif.
Pemetaan masyarakat sering kali merupakan langkah pertama yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik.
• Pendekatan lintas sektoral. Reformasi tenurial bukan merupakan masalah satu sektor;
melainkan bersifat multi dimensional. Hubungan tenurial lahan merupakan kesatuan dari
kekuatan sosial, budaya, teknis, kelembagaan, hukum, ekonomi dan politik yang mendorong dan
menarik, sebuah proses yang dapat menciptakan tekanan besar. Koordinasi yang sungguh‐
sungguh antar sektor, berbagai tingkat pemerintah yang berbeda, LSM dan masyarakat
merupakan hal yang sangat penting untuk perencanaan tata ruang yang efektif dan untuk
mempercepat reformasi tenurial dan penyelenggaraan hutan yang dikelola oleh masyarakat.
Reformasi tenurial hutan membutuhkan koordinasi antar instansi yang kuat, dan harus berbasis
multi‐pemangku kepentingan.
• Pemetaan masyarakat. Pemetaan masyarakat merupakan alat penting dalam reformasi tenurial.
Peta ini dapat digunakan, sebagai contoh, untuk penetapan kawasan; pendaftaran lahan;
revitalisasi hukum adat; transfer pengetahuan untuk generasi yang lebih muda; memperkuat
identitas masyarakat; menyelesaikan konflik antar keluarga, masyarakat, perusahaan dan
pemerintah; serta litigasi. Adanya partisipasi yang berarti dalam pemetaan masyarakat sangat
penting, dan ini bukan merupakan hal yang mudah; diperlukan pendekatan yang berkeadilan
gender dan yang memastikan diperolehnya partisipasi dari kelompok marjinal.
• Kepastian tenurial. Tenurial hutan tidak hanya terkait distribusi lahan dan sumber daya hutan;
melainkan juga bagaimana untuk mengamankan dan memanfaatkan sumber daya hutan,
termasuk kayu, untuk meningkatkan penghidupan dan mencapai pengelolaan hutan yang lestari
pada tingkat desa. Kepastian tenurial untuk suatu kelompok bergantung pada tiga faktor – yaitu
diakui secara hukum; diterima secara sosial; dan hak tersebut secara eksternal dapat
• Investasi dan bisnis. Memperoleh kendali lokal atas hutan merupakan suatu proses yang dimulai
dengan reformasi tenurial dan juga melibatkan investasi untuk menstimulasi pengembangan
bisnis pada masyarakat kampung hutan. Penguatan keuangan dapat menyebabkan peningkatan
otonomi dan membantu pemegang hak untuk memperoleh kepastian tenurial jangka panjang.
• Komitmen politik. Reformasi tenurial hutan merupakan sebuah proses yang panjang dan terus
berubah, sehingga diperlukan komitmen politik jangka panjang. Mewujudkan inisiatif berbasis
pengelolaan hutan oleh masyarakat yang berhasil sering kali membutuhkan suatu proses
panjang untuk peningkatan kapasitas dan pembangunan, dan oleh karena itu diperlukan
komitmen jangka panjang dari pihak‐pihak yang terlibat. Oposisi terhadap reformasi, khususnya
dari kelompok penguasa yang berkepentingan, mungkin akan kuat, namun hal ini dapat diatasi
dengan mempromosikan cerita‐cerita sukses.
• Reformasi kelembagaan. Transisi dari pembuatan keputusan terpusat menjadi demokratis
membutuhkan reformasi politik dan kelembagaan. Masyarakat membutuhkan akses terhadap
pasar, informasi, teknologi dan infrastruktur, namun mereka juga memiliki kapasitas untuk
mengelola lembaga mereka sendiri, jika terdapat kepastian tenurial. Menyelesaikan konflik atas
tenurial dan pemanfaatan hutan akan memerlukan lembaga untuk mentransfer sebagian dari
otoritas mereka terhadap sumber daya. Menyederhanakan peraturan hutan untuk
memungkinkan berkembangnya bisnis berbasis masyarakat sering kali merupakan unsur yang
penting untuk memastikan bahwa masyarakat dapat berperan besar dalam perkembangan
reformasi tenurial.
• Mitigasi perubahan iklim. Mengurangi emisi gas rumah kaca yang terkait hutan, dan mencapai
pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang tidak saling berkesesuaian, namun reformasi
tenurial hutan sangat penting untuk keduanya. Peluang pasar baru bagi hasil‐hasil hutan berikut
jasanya, termasuk pasar karbon, harus ditelusuri untuk mendorong pengelolaan sumber daya
hutan berbasis masyarakat.
• Gender dan jaring pengaman. Proses reformasi tenurial harus secara aktif melibatkan partisipasi
perempuan dan kelompok marjinal lain dengan cara yang efektif. Membangun jaring pengaman
ke dalam kebijakan, hukum dan sejumlah proses akan membantu melindungi kelompok rawan
dari diskriminasi dan penyerobotan manfaat oleh kelompok elit. Rimbawan perlu mendapatkan
pendidikan tentang sejumlah pendekatan pada masyarakat dan untuk kaderisasi, termasuk
perempuan, dengan pengetahuan yang lebih luas.
Prinsip‐prinsip panduan
Semua pihak – pemerintah, lembaga, industri, masyarakat, LSM dan organisasi internasional – harus
menerapkan prinsip‐prinsip tata kelola yang baik: akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektivitas,
responsif, berpandangan ke depan dan kepastian hukum.
Reformasi tenurial hutan memerlukan kebijakan jelas yang seharusnya ditetapkan sebelum penyusunan
Rekomendasi
Saatnya telah tiba untuk memajukan kehutanan masyarakat ke tingkat yang baru untuk menyingkap
potensi hutan agar dapat berkontribusi yang signifikan, konsisten dan lestari bagi masyarakat dan
pembangunan nasional. Dengan mengembangkan hasil yang sejauh ini dicapai pada sejumlah negara
tropis atas pengakuan hak masyarakat dan pengembangan kebijakan yang tepat, terdapat suatu
kebutuhan dan peluang untuk memastikan tercapainya keuntungan ekonomi yang konkrit dan dibagi
secara merata. Donor dan berbagai organisasi internasional dipersilakan untuk berkolaborasi
memajukan generasi baru dari reformasi tenurial ini dan inisiatif kehutanan yang menargetkan
pembangunan lokal dan nasional yang berkelanjutan.
Semua pihak
• Memberikan kepercayaan lebih kepada masyarakat adat dan masyarakat setempat.
• Mengembangkan kriteria yang disepakati secara meluas untuk menilai keberhasilan reformasi
tenurial hutan.
• Mengumpulkan dan memantau cerita‐cerita sukses dan proses‐proses aktif, dan menyediakan
data bagi semua pihak untuk lebih mempublikasikan manfaat dan tantangan reformasi tenurial
hutan dan pengelolaan serta bisnis hutan berbasiskan masyarakat.
• Melaksanakan penelitian tentang sistem tenurial lahan adat dan pendekatan inovatif untuk
reformasi tenurial. Tidak menggunakan alasan kekurangan penelitian sebagai pembenaran atas
lambatnya reformasi.
• Pemerintah dan LSM – memberikan bantuan dan pelatihan terkait peraturan hutan bagi
masyarakat, termasuk perempuan, kaum miskin dan penduduk marjinal lain.
• Memberikan perhatian yang lebih besar untuk memastikan hak masyarakat dalam memanen
sumber daya hutan yang bernilai tinggi, termasuk kayu, dan kapasitas mereka dalam
memberikan nilai tambah dan memasarkan sumber daya yang bersangkutan.
• Mendukung peran usaha kehutanan berbasis masyarakat melalui pengembangan kapasitas,
reformasi peraturan dan meningkatkan akses untuk kredit.
• Mengembangkan alat dan mekanisme yang sederhana untuk memastikan bahwa sejumlah
proyek dan program mengintegrasikan kepentingan perempuan sebagai komponen intinya.
• Menerjemahkan konsep seperti FPIC dan jaringan pengaman lain ke dalam bahasa dan sejumlah
model berdasarkan pengetahuan dan praktik‐praktik tradisional.
• Meningkatkan investasi dalam peningkatan kapasitas bagi masyarakat setempat dan pemerintah
• Berpartisipasi dan mendukung tindak lanjut untuk memastikan implementasi dari rekomendasi
yang disebutkan dalam laporan ini, sesuai relevansinya pada masing‐masing negara.
• Memantau dan melaporkan implementasi dari rekomendasi tersebut pada selang waktu
tertentu.
• Meningkatkan akses pendanaan bagi pengelolaan hutan berbasis masyarakat Pemerintah
• Meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi, deklarasi dan kesepakatan PBB yang
mengakui, menghormati dam melindungi hak‐hak masyarakat adat dan masyarakat setempat
yang bergantung pada hutan.
• Bagi pemerintah yang belum melakukannya, ratifikasi dan laksanakan Kesepakatan International
tentang Kayu Tropis (International Tropical Timber Agreement) tahun 2006 sebagai kerangka
kerja bagi pembangunan sosial ekonomi hutan.
• Menggunakan instrumen internasional atas hak masyarakat adat dan masyarakat setempat
untuk memandu pemerintah dan kebijakan sektoral dan, jika memungkinkan, mengembangkan
hukum nasional yang memayungi untuk melindungi hak‐hak tersebut.
• Mendukung, menyadarkan dan meningkatkan kapasitas untuk usaha kehutanan berbasis
masyarakat dalam rangka memenuhi persyaratan dari sejumlah inisiatif seperti halnya
peraturan kayu EU FLEGT, US Lacey act, dan berbagai peraturan terkait impor yang lain, dan juga
sertifikasi.
• Meningkatkan kondisi yang mendukung untuk bisnis kecil, sehingga masyarakat hutan dapat
mendaftarkan bisnis, mengakses pelayanan keuangan, menegosiasikan kemitraan dan menarik
investasi yang berkelanjutan.
• Menciptakan atau mempercepat registrasi, pengakuan dan perlindungan atas hak‐hak
masyarakat adat dan masyarakat setempat, serta penataan batas kawasan hutan.
• Menerapkan FPIC serta jaringan pengaman lain pada semua kebijakan pemerintah untuk
memastikan bahwa hak‐hak masyarakat adat dan masyarakat setempat dihormati dan nilai
lingkungan dilindungi.
• Menerapkan prosedur yang memastikan bahwa perempuan, kaum miskin dan kelompok
marjinal lainnya berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses reformasi tenurial hutan. • Menyelenggarakan dan memperkuat jaringan kerja untuk perempuan, kaum miskin dan
kelompok marjinal lain pada tingkat desa.
• Menyelenggarakan atau memperkuat program hutan, dengan anggaran, yang berfokus pada
• Menciptakan, sesuai kebutuhan, lembaga atau mekanisme independen yang secara formal
menyelesaikan konflik yang terkait tenurial hutan.
• Mengevaluasi prosedur penerbitan instrumen tenurial untuk masyarakat, dan untuk
administrasi hasil hutan kayu maupun non kayu serta jasa pada lahan hutan masyarakat
maupun swasta, dengan maksud untuk membuat proses aplikasi dan pengesahan lebih cepat,
sederhana dan murah.
• Mengembangkan kerangka kerja hukum dan kebijakan yang terintegrasi dan harmonis terkait
tenurial hutan dan lahan.
• Memastikan bahwa terbitnya peraturan yang berdampak pada tenurial hutan masyarakat diikuti
oleh akses terhadap informasi dan peningkatan kapasitas.
• Mengadopsi pemetaan masyarakat yang berkeadilan gender sebagai komponen penting dalam
perencanaan tata ruang dengan menggunakan kombinasi dari pendekatan atas ke bawah (top
down) dan dari bawah ke atas (bottom up).
• Mengembangkan alat dan mekanisme yang sederhana untuk memastikan bahwa proyek dan
program mengintegrasikan perhatian terhadap masyarakat adat dan masyarakat setempat.
• Meningkatkan peran pihak ketiga yang independen dalam pemantauan program‐program
pemerintah.
• Memastikan bahwa rencana ekonomi yang luas memprioritaskan pembangunan rendah karbon
dan, jika relevan, mengikutsertakan “pembayaran premium hijau” untuk menghasilkan produk‐
produk dan jasa secara berkelanjutan.
Organisasi Masyarakat Sipil
• Memasukkan anggaran yang sensitif terhadap gender dan jaringan kerja pada semua tingkat dan
menyatukan data untuk membantu kaum miskin dalam masyarakat di tingkat desa untuk
meningkatkan hak tenurial dan kapasitas untuk meningkatkan penghidupan mereka.
• Melanjutkan bekerja dengan masyarakat untuk memetakan lahan adat menggunakan proses
partisipatif, dan memastikan pengakuan hukum.
• Memastikan penyediaan nasihat hukum untuk masyarakat dalam penyelenggaraan bisnis
berbasis hutan, kepastian tenurial dan komponen tata kelola. Menyediakan dukungan untuk
mengakses pasar, dan mencatat kekayaan intelektual masyarakat.
• Bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pusat, jika relevan, untuk melaksanakan dan
memantau kegiatan terkait reformasi dan tata kelola tenurial hutan.
• Menjembatani kegiatan program antara pemerintah dengan masyarakat, termasuk pemetaan
• Sedapat mungkin, memfasilitasi pemahaman dan pemanfaatan peraturan pemerintah yang ada
di kalangan masyarakat untuk mewujudkan reformasi tenurial hutan.
• Mendorong proses‐proses multi pemangku kepentingan untuk mereformasi hukum, peraturan
dan lembaga, termasuk lembaga pengadilan dan semi‐pengadilan.
• Memfasilitasi akses yang lebih baik terhadap sumber daya dengan memungkinkan perubahan
dalam peraturan fiskal.
• Bekerja dengan pemerintah untuk memperbaiki dan menyederhanakan peraturan hutan. • Membantu menyiapkan usaha kehutanan masyarakat – dengan penekanan pada perempuan –
untuk mengakses pasar bagi produk dan jasa mereka.
• Memastikan bahwa peningkatan kapasitas yang sesuai dilaksanakan untuk memungkinkan
masyarakat dan penduduk setempat mengelola sendiri hutan mereka.
• Bekerja dengan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dan menciptakan tekanan untuk
bernegosiasi dengan pemerintah untuk menghilangkan kebijakan, undang‐undang dan lembaga
yang kontradiktif dalam tenurial hutan.
• Bekerja dengan masyarakat untuk membangun forum tingkat akar rumput untuk mewujudkan
perubahan kebijakan yang bermanfaat dengan memobilisasi para pembuat kebijakan.
• Bekerja dengan pemerintah untuk melaksanakan reformasi perundang‐undangan dan
implementasi tenurial lahan.
• Bekerja dengan pemerintah untuk meneliti, mendokumentasi, mediasi dan menyelesaikan
konflik lahan.
• Negosiasi dengan sektor swasta untuk mendukung proses‐proses reformasi tenurial lahan. Masyarakat
• Memobilisasi untuk ikut berpartisipasi dan menyedikan input untuk proses perencanaan tata
ruang, seperti melalui pemetaan masyarakat.
• Mengatur dan menetapkan jaringan kerja sehingga kelompok marjinal pada masyarakat dapat
secara efektif berpartisipasi dalam proses reformasi dan untuk menyampaikan pendapat dan
menuntut hak untuk tenurial hutan.
• Dengan berhati‐hati memilih mitra yang dapat memfasilitasi peluang pasar untuk
mengkomersialkan barang dan jasa hutan.
• Melanjutkan konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang lestari. • Mengusahakan keberlanjutan ekonomi dalam mengelola hutan mereka.
Donor dan organisasi internasional
• Segera mengusahakan berbagai cara untuk meningkatkan jumlah dana yang menjangkau
kelompok paling miskin dan penduduk paling marjinal yang bergantung atas hutan, dan
menyediakan dukungan melalui jaringan kerja kelompok target. Dalam hal ini, mendorong
pemanfaatan kapasitas nasional dalam melakukannya.
• Pada program kerja untuk hutan dan sektor sosial, mendukung negara mitra dalam
implementasi reformasi tenurial hutan dan bisnis pada tingkat masyarakat.
• Menyediakan mekanisme yang transparan untuk distribusi bantuan donor untuk memastikan
bahwa distribusi ini berkeadilan dan menjangkau pihak yang paling membutuhkan.
• Dalam bermitra dengan sektor swasta, mendukung pengembangan generasi baru bagi inisiatif
kehutanan masyarakat yang bertujuan untuk pembangunan setempat yang berkelanjutan, di
mana keuntungan finansial dari pemanfaatan lestari atas barang dan jasa hutan diinvestasikan
pada bisnis lokal sebagai landasan untuk ekonomi pedalaman.
• ITTO – memobilisasi Kelompok Penasihat Masyarakat Sipil untuk membantu memajukan dan
mendorong berbagai proyek dan program, termasuk penambahan nilai untuk produk‐produk
hijau dan implementasi pragmatis dari sertifikasi. Langkah ke depan
Sebagai kesimpulan konferensi, Pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat sipil Indonesia,
termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sepakat untuk mengadakan pertemuan lagi
dalam tiga sampai enam bulan ke depan untuk mengembangkan mekanisme kerja sama untuk:
• Memperkuat pemangku kepentingan Kementerian Kehutanan, Dewan Kehutanan Nasional
berikut WGT (Working Group on Tenure).
• Mengembangkan suatu sistem untuk identifikasi dan pencatatan wilayah hutan yang dimiliki
secara adat.
• Bekerja secara bersama‐sama untuk mengimplementasikan rekomendasi yang dibuat dalam
pernyataan ini.
Kelompok Masyarakat Sipil yang hadir pada konferensi berkomitmen untuk:
• Memastikan terjadinya proses‐proses partisipatif.
• Melaksanakan analisis strategis atas isu‐isu tenurial dan tata kelola yang utama dan
mempublikasikan serta mengkomunikasikan analisa tersebut kepada para pembuat kebijakan
• Membentuk sebuah kelompok kerja untuk menindaklanjuti, memantau dan melaporkan
implementasi atas rekomendasi yang tercantum dalam pernyataan ini.
• Menentukan kelompok target untuk aksi masyarakat sipil.
• Membantu organisasi perempuan di dalam masyarakat adat dan lokal untuk lebih memperoleh
keterwakilan dan untuk mengembangkan mekanisme dalam pembuatan keputusan.
RRI berkomitmen untuk:
• Berkolaborasi dengan komite perancang untuk melakukan finalisasi atas deklarasi ini,
mengintegrasikan sejumlah komentar dari peserta.
• Mempublikasikan prosiding rangkuman pada situs internet RRI.
• Menilai kembali rencana aksi dari sebelas mitra aktif RRI di Asia‐Pasifik dan secara lebih luas
dalam rangka deklarasi dan prosiding pertemuan, dan mengusahakan koordinasi yang lebih luas
dengan berbagai inisiatif regional dan nasional.
• Menawarkan kerja sama kolaboratif dengan sejumlah lembaga Pemerintah Indonesia dan
dengan organisasi masyarakat sipil Indonesia untuk memeriksa berbagai kemungkinan sinergi,
dan jika diperlukan, memanfaatkannya untuk memfasilitasi peran untuk menghubungkan
dengan pembuat kebijakan internasional.
• Menyediakan sejumlah perhatian pada: o analisis hukum dan ekonomi
o penilaian pilihan tenurial saat ini
o menjelaskan relevansi instrumen dan kewajiban internasional sebagai materi untuk
proses reformasi
• Mengusahakan kolaborasi dengan donor lain.
• Memberikan penekanan lebih besar untuk penyelesaian konflik.
• Memunculkan bukti yang lebih banyak dari keuntungan (maupun kerugian) dan efektifitas
proses‐proses pengelolaan yang berbasis masyarakat dibandingkan dengan pengelolaan oleh
perusahaan, pemerintah maupun swasta.
• Mengklarifikasi implikasi dari perubahan visi untuk mengubah kerangka kerja perusahaan dan
lingkungan yang memungkinkan berkembangnya bisnis‐bisnis berbasis masyarakat.
• Mengklarifikasi bahwa pengakuan atas teritori masyarakat adat dan wewenang leluhur berada
• Mengklarifikasi perbedaan visi tentang “hutan” yang dijadikan acuan oleh pihak‐pihak yang
berbeda dan mengeksplorasi implikasi dari perbedaan ini terkait hak dan pemanfaatan lahan
adat.