• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amenore sentral atau hipogonadotropin hipogonadismee. Oleh : Rikka Mulya, Budi Wiweko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Amenore sentral atau hipogonadotropin hipogonadismee. Oleh : Rikka Mulya, Budi Wiweko"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Amenore sentral atau hipogonadotropin hipogonadismee Oleh : Rikka Mulya, Budi Wiweko

Abstrak

Tujuan: Untuk mengetahui penyebab amenore primer karena kelainan pada tingkat sentral, pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan dan penatalaksanaannya.

Tempat : Divisi Imunoendokrinologi Departemen Obstetri dan Ginekologi Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Metoda : Laporan Kasus

Hasil: Dua orang wanita masing-masing ber usia 27 tahun dan 29 tahun dengan keluhan amenore primer, dilakuka n pemeriksaan perkembangan seks sekunder sesuai kriteria Tanner, pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menilai organ genitalia interna, profil hormon FSH, LH, estradiol 17-ß dan prolaktin, kariotipisasi serta uji GnRH. Pada satu pasien dilakukan pemeriksaan laparaskopi diagnostik.

Pada ke dua kasus ditemukan perkembangan seks sekunder yang abnormal dari pertumbuhan payudara, rambut aksila dan rambut pubis. Pada pemeriksaan USG didapatkan hipoplasia uterus dan ovarium dengan hasil pemeriksaan kariotip 46XX. Pemeriksaan profil hormon FSH, LH dan estradiol menunjukkan kadar yang rendah pada keduanya. Dengan uji GnRH, satu kasus memberikan uji positif, berarti kelainan berada pada tingkat hipothalamus sedangkan kasus lainnya diperoleh hasil negatif, berarti kelainan pada tingkat hipofisis. Pada kedua kasus diberikan terapi substitusi hormonal dan pada satu kasus uterus bertambah besar mencapai ukuran normal, terjadi

(2)

pertumbuhan endometrium yang menimbulkan perdarahan bercak diikuti perdarahan yang siklik seperti menstruasi.

Kesimpulan: Amenore primer karena gangguan pada tingkat sentral dapat disebabkan karena kelainan pada hipothalamus maupun hipofisis, uji GnRH merupakan cara memastikannya. Terapi substitusi hormonal estrogen dan progesteron diberikan untuk merangsang pertumbuhan seks sekunder dan organ genitalia interna , mencegah osteoporosis dan perlindungan terhadap kardiovaskular.

Kata kunci : Amenore primer, amenore sentral, hipogonadotropin hipogonadisme, uji GnRH.

(3)

Pendahuluan

Menstruasi terjadi karena maturasi poros hipothalamus-hipofisis, terdapatnya minimal satu buah ovarium dengan saluran genitalia yang normal. Kelainan salah satu dari tiga hal tersebut dapat menyebabkan amenore primer. Mentruasi yang teratur merupakan tanda kesehatan yang baik, berarti poros hipothalamus-hipofisis-ovarium berfungsi normal untuk memproduksi hormon ovarium dan menimbulkan ovulasi.1

WHO mengklasifikasikan gangguan ovulasi menjadi tiga kelompok yaitu amenore hipothalamus (hipogonadotropin hipogonadism, amenore sentral), disfungsi hipothalamus hipofisis dan kegagalan ovarium.2

Amenore sentral terjadi bila hipothalamus dan hipofisis gagal untuk memberikan stimulasi gonadotropin yang adekuat ke ovarium sehingga terjadi kegagalan ovulasi atau produksi estradiol dan progesteron yang tidak normal.3 Hipogonadotropin hipogonadism terjadi karena disfungsi hipothalamus yang dapat disebabkan oleh lesi struktural (tumor, trauma), mutasi gen pada neuron yang meghasilkan GnRH atau reseptornya serta faktor-faktor fungs ional lainnya.4,5

Pasien dengan amenore hipothalamus mengalami defisiensi sekres i pulsatil GnRH. Defisiensi GnRH terisolasi dapat berhubungan dengan keadaan anosmia/hiposmia (sindrom Kallmann) atau tanpa defisit olfaktori (isolated

hypogonadotropin hypogonadism/IHH), yang terjadi karena tidak adanya GnRH atau

(4)

Laporan Kasus

Kasus 1. Nyonya N, usia 27 tahun dengan keluhan tidak pernah mentruasi, menikah dua bulan dan tidak ada keluhan senggama. Perkembangan seks sekunder, aksila (A)1,

mammae (M)2, pubis (P)1. Indeks massa tubuh (IMT) 19,5. Vagina normal dan uterus

retrofleksi dengan panjang uterus 5 cm. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) didapatkan uterus ukuran 28 x 12 x 9 mm, ovarium kiri ukuran 16 mm dan ovarium kanan ukuran 16 mm. Profil hormon follicle stimulating hormone (FSH) < 0,1 mIU/ml, luteinizing hormone (LH) < 0,1 mIU/ml, prolaktin 12.46 ng/ml dan estradiol 17 ß < 20.00 pg/ml. Pemeriksaan kariotipisasi 46XX. Dilakukan uji gonadotropin releasing hor mone (GnRH) dengan hasil FSH menit ke 30 dan 60 adalah 0,1 mIU / ml dan 0,1 mIU/ml, LH menit ke 30 dan 60 adalah adalah 0,1 mIU / ml dan 0,1 mIU/ml. Kesimpulan uji GnRH negatif dengan gangguan pada tingkat hipofisis. Diberikan estrogen (Lynoral 25 ug) dan setelah empat bulan pasien mengalami perdarahan bercak. Dilakukan USG didapatkan uterus normal ukuran 53 x 30 x 32 mm, tebal endometrium 6 mm dengan gambaran tiga lapis, ukuran ovarium kiri dan kanan masing-masing 16 mm. Kemudian pasien diberikan kombinasi estrogen dan progesteron (microgynon) dan selama tiga bulan minum pil pasien mengalami perdarahan siklik (menstruasi) dan payudara membesar.

Kasus 2. Nona M, usia 26 tahun datang dengan keluhan belum pernah mentruasi. Perkembangan seks sekunder A0M2P1 dan IMT 21,3. Pada pemeriksaan USG, uterus

ukuran 36 x 14 x 22 mm dan ovarium ukuran 13 x 17 mm, kesan hipoplasia genitalia interna. Pemeriksaan kariotip 46XX. Profil hormon FSH 1,3 mIU/ml, LH 0,60 mIU/ml dan estradiol 17-ß 10.00 pg/ml. Dilakukan uji GnRH dan diperiksa kadar LH menit ke 30 dan FSH menit ke 60. Kadar FSH 10.10 mIU/ml dan LH 8.40 mIU/ml, kesimpulan uji

(5)

GnRH positif dengan kemungkinan kelainan di tingkat hipothalamus . Laparaskopi diagnostik didapatka n hipoplasia uterus dan ovarium. Terapi yang diberikan adalah estrogen (premarin 0,625 mg ) hari 1 sampai 25 dan progesteron (provera 10 mg) hari 16 sampai 25 selama 2 bulan, kemudian diganti dengan pil kontrasepsi (microgynon). Diskusi

Supresi poros hipothalamus-hipofisis -gonad dimulai segera setelah lahir dan poros ini tetap disupresi sampai adanya sinyal yang memulai pubertas. Fungsi hipothalamus -hipofisis yang abnormal dapat dihubungkan dengan berbagai disfungsi ekspresi pubertas. 1

Perubahan awal pubertas adalah refleksi sekresi androgen adrenal (adrenarche) berupa pertumbuhan rambut pubis dan aksila. Pada saat yang hampir bersamaan akan terjadi perkembangan payudara (telarche). Pertumbuhan payudara mencerminkan pengaruh estrogen dan gangguan perkembangan payudara tanpa karakteristik seks sekunder lainnya dapat dipastikan bahwa tidak ada estrogen yang disekresikan.1

Amenore primer didefinisikan tidak terjadinya menstruasi sampai usia 14 tahun tanpa disertai pertumbuhan seks sekunder atau usia 16 tahun bila terdapat pertumbuhan seks sekunder, sehingga beberapa ahli tidak menganjurkan evaluasi sampai usia 16 tahun.1,4 Tidak terjadinya mentruasi yang siklik dan amenore sebagian besar merupakan refleksi kelainan pada hipothalamus , hipofisis dan atau kelainan ovarium.6

Amenore yang disertai kadar FSH dan LH yang tinggi maka sebagian besar penyebabnya adalah kegagalan gonad. Pemeriksaan kariotip harus dilakukan untuk menyingkirkan beberapa penyebab kelainan ini.1

(6)

Hipogonadotropin hipogonadisme adalah sindrom klinis yang ditandai oleh kegagalan gonad akibat defisiensi gonadotropin karena disfungsi pada susunan saraf pusat, hipothalamus atau hipofisis. Sindrom ini bisa bersifat kongenital atau didapat dengan gejala klinis bervariasi tergantung onset dan besarnya defisiensi hormon yang terjadi. Hipogonadotropin hipogonadisme karena disfungsi hipothalamus dapat disebabkan karena fungsional, gangguan psikiatri, mutasi gen pada neuron dan reseptor serta karena lesi struktural atau organik.5

Penyebab fungsional amenore hipothalamus yang sering dikaitkan adalah penurunan berat badan, peningkatan latihan fisik dan stress, tapi bagaimana sebenarnya mekanisme yang menyebabkan gangguan dalam sekresi GnRH masih be lum diketahui. Stres dan penurunan berat badan akan menginduksi perubaha n kadar beta endorphin yang dapat mempengaruhi sekresi GnRH oleh hipothalamus.7

Frisch8 menyimpulkan bahwa jumlah lemak tubuh yang kritikal sangat penting untuk mencapai dan mempertahankan fungsi reproduksi yang normal. Leptin merupakan hormon adiposit yang berhubungan dengan penyimpanan energi untuk reproduksi. Konsentrasi leptin meningkat pada obesitas dan akan menurun dengan cepat selama puasa. Reseptor leptin terdapat di neuron hipothalamus dan akan mengontrol keseimbangan energi dan fungsi reproduksi. Leptin meregulasi sintesis dan sekresi GnRH, gonadotropin dan steroid seks dan pada hipogonadotropin hipogonadisme ditemukan defisiensi leptin.

Evaluasi pada wanita yang mengalami amenore primer harus besifat menyeluruh. Anamnesis tidak kalah penting dari pemeriksaan fisik dan laboratorium karena dengan anamnesis yang tepat bisa memprediksi dimana letak kelainannya, pada poros

(7)

hipothalamus -hipofisis-ovarium atau pada anatomi saluran genitalia. Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan yang menyeluruh tentang status gizi dan kesehatan secara umum , penilaian perkembangan seks sekunder meliput pemeriksaan payudara, rambut aksila dan rambut pubis dan pemeriksaan untuk menilai anatomi saluran genital. Bila anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak dapat menemukan penyebab amenore primer maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu FSH, LH, estradiol, prolaktin dilanjutkan dengan pemeriksaan USG untuk menilai lebih jauh tentang organ genitalia interna.3 Wanita dengan amenore primer dengan kadar estrogen dan gonadotropin yang rendah, pemeriksaan magnestic resonance imaging (MRI) harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya tumor .1

Pada kasus diatas keduanya mengalami amenore primer tapi baru memeriksakan diri setelah usia dewasa. Dari anamnesis dan peme riksaan fisik tidak ditemukan kelainan organik yang mungkin menjadi penyebab amenore primer, keduanya mempunyai IMT normal meskipun pada kasus pertama nilai IMT berada pada tingkat normal rendah yang masih mungkin berhubungan dengan defisiensi leptin. Pada pemeriksaan ditemukan perkembangan seks sekunder yang terlambat baik adrenarche maupun telarche, ukuran uterus lebih kecil tapi vagina normal. Pemeriksaan USG tidak menemukan kelainan anatomi lain selain mengkonfirmasi adanya suatu hipolasia organ genitalia interna. Semua kelainan ini merupakan akibat defisiensi estrogen yang dihasilkan oleh ovarium.

Pemeriksaan kariotip kedua pasien adalah 46XX, berarti defisiensi estrogen bukan karena kelainan genetik. Pemeriksaan kadar hormon gonadotropin dan estroge n menunjukkan nilai yang rendah pada kedua kasus dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan

(8)

uji GnRH untuk menentukan apakah kelainannya berada pada tingkat hipothalamus atau hipofisis.

Sekresi GnRH endogen tidak dapat dinilai pada manusia karena dekapeptida ini dimetabolisme dengan cepat dalam waktu 2-4 menit di sirkulasi perifer. Untuk menentukan apakah hipogonadotropin disebabkan karena defisiensi GnRH alami akibat defek di hipothalamus atau karena defek langsung di hipofisis harus dilakukan uji menggunakan GnRH agonis. Uji GnRH juga penting untuk menilai derajat maturasi poros hipothalamus-hipofisis-gonad.7,9,10 Sampel darah pertama diambil lima belas menit sebelum penyuntikan GnRH dan kadarnya dipakai sebagai nilai awal. Selanjutnya dilakukan penyuntikan agonis GnRH 100 ug intravena, 30 dan 60 menit kemudian diambil sampel darah, hal ini dianggap cukup untuk interpretasi klinik. Respon yang normal adalah peningkatan LH mencapai sekurang-kurangnya 20mIU/ml setelah 30 menit dan FSH mencapai 5 mIU/ml setelah menit ke 60, dikatakan uji GnRH positif. Uji GnRH positif berarti terjadi defisiensi releasing hormone yang dihasilkan oleh hipotahalamus, sedangakan uji GnRH yang negatif berarti kelainan pada hipofisis. 10

Pada kasus pertama, setelah penyuntikan GnRH agonis, tidak terjadi peningkatan kadar FSH dan LH baik pada menit ke 30 maupun menit ke 60, kadar FSH dan LH sama seperti kadar basal dan disimpulkan hasilnya negatif. Kasus kedua, uji GnRH memberikan hasil positif yaitu terjadi peningkatan FSH 7,7 kali dan LH sebanyak 14 kali dibandingkan kadar basal.

Defisiensi GnRH terisolasi yang disertai anosmia (sindrom Kallmann) atau tanpa defisit olfaktori disebut hipogonadotropin hipogonadisme terisolasi (isolated hypogonadotrpin hypogonadism/IHH) karena tidak adanya GnRH atau karena kegagalan

(9)

hipofisis untuk mengenal GnRH.5 Sindrom Kallmann terjadi karena kegagalan neuron GnRH bermigrasi dari bulbus olfaktori ke hipothalamus selama perkembangan embrio sehingga keadaan hipogonadotropin hipogonadism terjadi bersamaan dengan anosmia atau hiposmia. 4

Sindrom Kallmann maupun IHH menyebabkan gagalnya fungsi gametosis dan produksi steroid seks. Kelainan ini pada wanita muncul dengan berbagai variasi genotip, mulai dari gambaran enukhoid yang klasik sampai perkembangan payudara yang moderat. Amenore primer adalah hal yang sering menyertai dan pada ovarium biasanya hanya terdapat folikel primordial.5,9 Kadar FSH dan LH sering berada di bawah dari kadar normal yang dapat diukur. Sebagian besar pasien memberikan respon pelepasan FSH dan LH terhadap stimulasi GnRH bisa berupa tidak terjadinya peningkatan FSH dan LH, peningkatan FSH dan LH yang sesuai dan peningkatan salah satu komponen saja, FSH atau LH. Ovarium juga akan memberikan respon terhadap stimulasi GnRH atau gonadotropin eksogen bila fungsi hipofisis normal dan ovulasi serta kehamilan mungkin terjadi.9

Berdasarkan penilaian secara keseluruhan bisa disimpulkan bahwa kasus pertama adalah suatu IHH dimana kelainan terletak pada hipofisis yang tidak memberika n respon terhadap GnRH (uji GnRH negatif). Adapun kasus kedua mungkin merupakan sindrom Kallman dimana terjadi defisiensi GnRH alami yang dihasilkan hipothahamus, karena dengan pemberian agonis GnRH terdapat respon berupa peningkatan FSH dan LH (uji GnRH positif). Pada kasus ini mungkin terdapat hiposmia yang tak terdiagnosis saat anamnesis. Amenore pada kasus pertama yang letak kelainannya di hipothalamus dan

(10)

kasus kedua yang letaknya di hipofisis, kedua keadaan ini menimbulkan hipoestrogenemia..

Bila pas ien menginginkan fertilitas maka induksi ovulasi dapat dilakukan dengan hormon gonadotropin atau dengan pemberian GnRH pulsatil, sedangkan pada wanita yang tidak ingin hamil maka kontrasepsi oral dapat diberikan untuk menimbulkan mentruasi dan sebagai substitusi estrogen.8,9

Ovulasi yang disertai kehamilan normal setelah terapi dengan GnRH pulsatil diperkirakan lebih dari 90% setelah enam siklus sedangkan dengan gonadotropin angka kehamilan kumulatif 72% setelah enam siklus.5 Kesrouni dkk,11 melakukan penelitian untuk menilai efektifitas protokol GnRH pulsatil dalam mengobati infertilitas pada 44 wanita dengan amenore hipothalamus primer menggunakan 5 ug bolus tiap 90 menit. Angka ovulasi mencapai 95%. Folikel tunggal dihasilkan pada 91% siklus dengan angka kehamilan rata-rata tiap kehamilan persiklus adalah 45%. Pada pasien-pasein pernah mendapat gonadotropin eksogen diperoleh hasil yang lebih jelek. Mereka menyimpulkan bahwa GnRH pulsatil adalah metoda yang efektif dan aman karena stimulasi ovulasi yang norma l.

Tujuan terapi substitusi estrogen adalah untuk menginduksi perkembangan ciri seks sekunder. Pada sebagian besar individu yang menggunakan pil kontrasepsi menunjukkan terjadinya perkembangan seks sekunder baik parsial maupun lengkap dan pasien harus dimonitor selama interval 2 sampai 3 bulan.5,10 Estrogen tunggal dapat diberikan oral atau dengan transdermal. Bila perdarahan bercak terjadi atau setelah satu tahun pemakaian estrogen, progesteron harus ditambahkan. Pil kontrasepsi dapat diberikan, alternatif lain ada lah pemberian estrogen saja selama sebelas hari pertama dan

(11)

selanjutnya ditambahkan progesteron mulai hari ke 12 sampai 21 pada tiap bulan, setelah itu sampai akhir bulan tidak diberikan terapi apapun. Setelah perkembangan seks sekunder optimal, tetap diperlukan dosis minimal estrogen untuk mencegah perdarahan bercak, mempertahankan siklus mentruasi yang teratur dan mempromosi deposit kalsium.5

Pada kasus pertama, estrogen tunggal diberikan selama empat bulan dan kemudian terjadi perdarahan bercak, payudara dirasakan membesar. Uterus membesar mencapi ukuran normal disertai pertumbuhan endometrium. Selanjutnya pasien diberikan kombinasi estrogen progesteron agar terjadi perdarahan siklik. Pada kasus kedua juga diberikan terapi estrogen dengan progesteron selama dua bulan, kemudian diganti dengan pil kontrasepsi sampai pasien akan menikah.

Hipoestrogenemia menimbulkan risiko jangka panjang berupa berkurangnya densitas mineral tulang. Massa tulang bisa berkurang mencapai 2-5% pertahun pada tiga tahun pertama sampai 5 tahun setelah terjadinya amenore.9 Estrogen berperan penting dalam mempromosi massa tulang pada remaja dan dewasa muda serta mempertahankan massa tulang pada wanita dewasa. Densitas massa tulang pada pasien dengan amenore hipothlamus secara sigifikan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol yang normal dan hal ini tidak berhubungan dengan usia dan lamanya amenore. Adapun penanda perubahan (turn over) tulang lebih meningkat pada populasi ini sehingga risiko terjadinya osteoporosis dan fraktur meningkat.12,13

Sudah lama diketahui bahwa keadaan hipoestrogenemia berhubungan dengan penyakit kardiovaskular. Keadaan ini lebih sering terjadi pada wanita usia lanjut yang

(12)

yang dini (sebelum usia rata-rata menopouse), risiko ini jelas akan lebih meningkat. Estrogen sangat berperan dalam metabolisme kolesterol dan keseimbangan sistem koagulasi tubuh, oleh karena itu substitusi estrogen pada kasus hipoestrogenemia penting untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.4

Daftar Kepustakaan

1. Schalff W. Evaluation of patients with primary amenorrhea. Post Grad Obstet Gynecol 2006; 26: 1-8.

2. Fertility assessment and treatment for people with fertility problem. Investigation of fertility problems and management strategies. National collaborating centre for women’s and children’s health clinical guidelines. February 2004.

3. Nelson LM. Amenorrhea. E medicine. Last update : May 17 2005.

4. Amenorrea. In : Speroff L, Fritz MA, editors. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, 7th ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins ; 2005: 401-64.

5. Amenorrhea .National Institutes of Health.

http://www.tjclarkinc.com/d_amenorrhea.htm .

6. Berga SL, Yen SSC. Reproductive failure due to central nervous system-hypothalamic-pituitary dysfunction. In : Yen and Jaffe’s Reproductive Endocrinology. 5th ed. Philade lphia: Elsevier Saunders; 2004: 537-95.

7. Perkins R, Hall JE, Martin KA. Neuroendocrin abnormalities in hypothalamic amenorrhea: spectrum, stability and respons to neurotransmitter modalities. J Clin Endoc Met 1999; 84 (6): 1905-11.

(13)

8. Ahima RS. Body fat, Leptin and hypothalamic amenorrhea. N Eng J Med 2004; 351 (10): 959-62.

9. Liu JH. Central causes of amenorrhea 2003.Endotext.com

10. Carmina E, Lobo R. Evaluate of hormonal status. In : Yen and Jaffe’s Reproductive Endocrinology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004: 939-64.

11. Kesrounari A, et al. Gonadotropin-releasing hormona l for infertility in women with primary hypothalamic amenorrhea. Toward more-interventional approach. J Reprod Med 2001; 46 (1): 23-8.

12. Greenspoon SK, Freedman AJ, Muller K, Olson WH, Warren MP. Effect of riphasic combination oral contraceptive containing norgestimate? Ethynil estradiol on biochemical markers of bone metabolism in young women with osteopenia secondary to hypothalamic amenorrhea. J Clin Endoc & Met 2003; 88(8): 3651-56.

13. Hergenroeder AC, et al. Bone mineral changes in young women with hypothalamic amenorrhea trated with oral contaceptives, medroxyprogesterone, or placebo over 12 months. Am J Obstet Gynecol 1997; 176: 1017-25.

Referensi

Dokumen terkait