BAB III
HASIL PENELITIAN TENTANG PRAKTEK
SEDEKAH BUMI DI KELURAHAN BAPANGAN KEC.
JEPARA KAB. JEPARA
A. Obyek Penelitian
Lokasi atau tempat yang menjadi Obyek penelitian adalah masyarakat Kelurahan Bapangan, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara. Dalam setiap penelitian, pencantuman lokasi peneliti adalah sangat urgen karena sangat berpengaruh terhadap hasil dari penelitian tersebut.
1. Kondisi Geografis Kelurahan Bapangan Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara
Secara Geografis Kelurahan Bapangan terletak di sebelah timur Kecamatan Jepara yang termasuk wilayah Kota, yang berjarak sekitar 1 km dari Kantor kecamatan Jepara dan atau sekitar 1,5 Km dari Kantor Bupati Jepara. Suhu di kelurahan Bapangan berkisar rata-rata
32 0 . dengan luas wilayah 5789 M2.1
Kelurahan Bapangan terbagi menjadi 5 RW dan 20 RT, atau masing masing RW membawahi 4 RT. Keadaaan topografi Kelurahan Bapangan merupakan dataran tinggi, yang terbelah oleh sungai besar yaitu sungai Les atau kali kanal. Sebelah selatan sungai terdiri dari 3 RW yaitu RW, 3,4 dan 5. Sedangkan yang disebelah utara sungai terdiri
1Buku tantang Data statistik Kelurahan Bapangan tahun 2012, hlm, 6
dari 2 RW, yaitu RW, 1 dan 2. Sedangkan pusat pemerintahan berada di sebelah utara sungai atau diwilayah RW.2.
Batas-batas wilayah Kelurahan Bapangan adalah sebagai berikut;
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Saripan dan Desa
Mulyoharjo.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Potroyudan dan
Desa Krapyak
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Saripan dan
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kecapi Kecamatan
Tahunan.2
2. Kondisi Kelurahan Bapangan berdasarkan Sarana dan Prasarana Kelurahan
Sarana pemerintahan
Kantor Kelurahan : 1 buah
Balai pertemuan : 1 buah
Kantor BKM : 1 buah
Kantor Klinik Kesehatan/Posyandu : 1 buah
Sarana PendidikanFormal dan Informal
Taman Pendidikan al-Qur’an : 4 buah
Taman Kanak-kanak : 1 buah
Pendidikan Anak Usia Dini : 2 buah
Sekolah Dasar : 2 buah
Lembaga Kursus (LKP) : 1 Buah
2Ibid, hlm, 15
Sarana Ibadah dan Pesantren
Musholla : 16 buah
Masjid : 5 buah
Pondok Pesantren : 2 buah
Sarana Olah rega
Sanggar senam /Fitnes : 1 buah
Kolam Renang/Water boom : 1 buah
Sarana Umum
Rumah sakit (RSU Kartini) : 1 buah
Wartel : 8 buah
Bendungan (peninggalan Belanda) : 1 buah
Struktur Organisasi
3. KondisiSosial Masyarakat Kelurahan Bapangan Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
Kelurahan Bapangan terletak di wilayah pinggiran perkotaan, sehingga msyarakatnya sangat Homogen. ada yang pegawai di pemerintahan atau di dinas terkait lainnya, Guru, pengusaha, Tukan kayu
Kepala kelurahan ME. PURNOMO Staf Kelurahan Seksi Pemerintahan DJAMA'AH Trantib, kebersihan & Keindahan AMIN Carek/ Sekertaris Lurah/Kelurahan Perekonomian dan sosial WAHIDATUN
dan buruh. Namun tidak sedikit pula yang masih menganggur/ tidak bekerja, disamping karena faktor ekonomi yang sedang lesu juga faktor lapangan kerja yang tersedia sangat terbatas, khususnya pada sektor pertukangan.
Untuk golongan ekonomi masyarakat termasuk golongan menengah kebawah dengan persentase sebagai berikut; untuk golongan ekonomi atas sekitar 15 %, golongan ekonomi menengah sekitar 54 % selebihnya adalah golongan ekonomi lemah.
Dalam hal tingkat pendidikan, masyarakat di kelurahan Bapangan termasuk cukup terpelajar , karena dalam laporan hasil KKN PBA yang dilakukan mahasiswa INISNU Jepara tahun 2007, hanya 1 % saja dari jumlah penduduk yang tidak mengerti baca dan tulis selebihnya sudah dapat/megerti baca dan tulis. Dan rata-rata lulus SLTP dan SLTA. Juga Pondok Pesantren. Dalam hal tingkat pendidikan dan kesantunan masyarakat, antara warga yang tinggal di sebelah selatan sungai dengan
warga yang berada disebelah utara sungai sangat jauh berbeda.3
Untuk masyarakat yang tinggal disebelah selatan sungai, rata-rata terpelajar, agamis dan masyarakatnya lebih santun dan tenang. Kegiatan –kegiatan negatif (penyakit masyarakat) seperti, Judi, Miras, kumpul kebo dan lain-lain hampir tidak ada, kalaupun ada tidaklah
3Tim KKN INISNU Jepara, Laporan Hasil KKN INISNU Jepara di Kelurahan Bapangan
fulgar/sembunyi-sembunyi. Akan tetapi sangat jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di sebelah Utara sungai.
Berdasarkan tingkat pendidikan, untuk masyarakat yang berada di utara sungai tidak jauh berbeda dengan yang tinggal di sebelah selatan sungai, akan tetapi dalam hal kesantunan, ketaatan beribadah dan atau hal-hal lain yang berkonotasi negatif, jauh berbeda dengan masyarakat sebelah selatan sungai.
Untuk masyarakat yang tinggal disebelah utara sungai sangat homogen, dalam arti semua tipe/golongan masyarakat ada, dari ulama, guru, penjudi, pemabuk (miras), pergaulan bebas bahkan wanita penghibur/panggilan juga ada. Sehingga suasana diwilayah ini nampak lebih kaku , keras dan terkesan liar khususnya para remaja dan pemudanya.
4. Kondisi Kelurahan Bapangan Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara berdasarkan Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kelurahan Bapangan adalah 4362 jiwa dengan perincian sebagai berikut:
Jumlah Penduduk
KK : 956 KK
Laki-laki : 3085 Jiwa
Perempuan : 3287 jiwa
Total : 6372 jiwa
Jumlah penduduk berdasarkan Agama
K. Katolik : 15 Orang
Hindu : 5 Orang
Jumlah penduduk berdasarkan Usia
0 - 4 Th : 333 Jiwa 5 - 9 Th : 381 Jiwa 10 - 14 Th : 375 Jiwa 15 - 19 Th : 557 Jiwa 20 - 24 Th : 525 Jiwa 25 - 29 Th : 463 Jiwa 30 - 34 Th : 379 Jiwa 35 - 39 Th : 380 Jiwa 40 Th keatas : 1114 Jiwa
Jumlah penduduk berdasarkan Usia
Baru Sekolah : 5481 Jiwa
Tidak Tamat SD : 86 Jiwa
Tamat SMP/SLTP : 824 Jiwa
Tamat SMA/SLTA : 1314 Jiwa
Tamat Diploma : 759 Jiwa
Tamat Akademi : 152 Jiwa
Tamat PT/S1 : 193 Jiwa4
B. Tradisi Sedekah Bumi di Kelurahan Bapangan, KecamatanJepara, Kabupaten Jepara
Menurut penuturan Bapak Maryadi (76 tahun) adalah sesepuh Kelurahan/pemuka agama yang diwawancari peneliti pada tanggal 17 September 2014, merupakan sesepuh Kelurahan yang sudah tua walaupun
demikian ia masih sehat dan sangat mempercayai bahwa tradisi semacam ini
sering dilakukan yaitu setiap satu tahun sekali tepatnya bulan Dzulqo’dah .
“Sejarah perkembangan sistem kepercayaan orang Jawa telah dimulai sejak jaman pra sejarah, yaitu waktu nenek moyang suku bangsa Jawa beranggapan bahwa semua benda yang ada disekelilingnya itu mempunyai kekuatan, roh, dalam bentuk pemakaman leluhur. Dengan kata lain, di samping kekuatan yang jauh lebih hebat yang ada di luar tubuh manusia. Kekuatan itu mampu membuat kehidupan manusia dan sekelilingnya berubah menjadi baik atau buruk. “Kegiatan keagamaan orang Jawa yang menganut agama Jawa juga mengenal sistem upacara. Bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang adalah salah satu bentuk upacara keagamaan yang dilakukan. Adat untuk mengunjungi makam keluarga dan makam nenek moyang (nyekar) adalah suatu tindakan yang penting dalam agama Jawa. Dan segala bentuk upacara atau slametan yang dilakukan selalu menggunakan berbagai jenis sesaji (sesajen,sajen).”5
Menurut Koentjaraningrat hubungan manusia dengan alam melahirkan kepercayaan yang juga dilestarikan. Dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antara individu dengan leluhurnya ataupun dengan
alam,masyarakat Jawa mengembangkan tradisi slametan maupun ziarah
kubur serta ziarah ke tempat-tempat lain yang dikeramatkan. Hal ini disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa roh yang meninggal itu bersifat abadi.
Orang yang telah meninggal, arwahnya tetap memiliki daya sakti, yaitu dapat memberi pertolongan pada yang masih hidup sehingga anak cucu yang masih hidup senantiasa berusaha untuk tetap berhubungan dan
5Interview pada pukul 20:10 WIB, tanggal 17 September 2014 Di Kediaman Bapak Maryadi (75 tahun) dan Istri.
memujanya. 6Sebelum Islam datang di Jawa, masyarakat Jawa menganut agama Hindu dan Budha serta kepercayaan asli Jawa. Kedua agama tersebut (Hindu dan Budha) didatangkan untuk keperluan legitimasi kekuasaan raja. Disamping itu, Hindu dan Budha didatangkan untuk keperluan istana guna manyerap pengetahuan tentang teknik membuat candi sekaligus merupakan aktivitas untuk menunjukkan kebesaran keraton, upacara istana, teknik memerintah, dan sebagainya. Pengaruh Hindu dan Budha lebih terserap pada kalangan elite dan penguasa daripada kalangan masyarakat umum, yang hidup jauh dari pusat kerajaan. Masyarakat umum lebih banyak melakukan tradisi dari kebudayaan aslinya dan mereka memegang teguh pada adatisti adat serta kepercayaan
lama yang diperoleh dari nenek moyangnya.7
Di dalam hal ini, seperti yang dijelaskan oleh Bapak Maryadi bahwa
dalam ritual sedekah bumi adalah pengaruh masyarakat pada kebudayaannya
yang mampu mengubah sistem kepercayaan suku bangsa Jawa, yang semula mempercayai adanya roh nenek moyang yang menempati suatu tempat sehingga tempat itu dianggap angker, sangat berubah atau bertambah kepercayaannya akan adanya dewa-dewa. Sebagai seorang awam yang
beragama Islam atau kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas
keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi oleh keyakinan,
6Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).hlm, 34
7Buchari, Ibrahim. Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia
konsep, pandangan pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada didalam alam pikirannya.
Mereka yakin adanya Allah, yakin bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yakin adanya nabi-nabi lain, yakin adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat, yakin adanya makhluk - makhlukhalus penjelmaan nenek moyang atau orang yang sudah meninggal,yakin adanya roh-roh penjaga tempat tertentu, kegiatan keagamaan orangJawa yang menganut agama Jawa juga mengenal sistem upacara.Bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang adalah salah satubentuk upacara keagamaan yang dilakukan. Adat untuk
mengunjungi makam nenek moyang (nyekar) adalah suatu tindakan yang
penting dalam agama Jawa. Dan segala bentuk upacara atau slametan bumi
yang dilakukan selalu menggunakan berbagai jenis sesaji (sesajen, sajen).
Hal ini juga sangat menonjol dalam beberapa upacara ritual sedekah bumi
dengan mempertunjukan wayang kulit sebagai pelengkap ritual
tersebut.Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual
tradisional masyarakat di pulau Jawa yang sudah berlangsung secara turun temurun dari nenek moyang orang Jawa terdahulu.
Akan tetapi tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang lebih
dariitu, upacara tradisiona l sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu
bagian yang sudah menyatu dengan masyarakat yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari kultur (budaya) Jawa yang menyiratkan simbol penjagaan terhadap kelestarian serta kearifan lokal, khas bagi masyarakat agraris maupun masyarakat nelayan khususnya yang ada di pulau Jawa.
C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Masyarakat Setempat Tetap Melakukan Tradisi Sedekah Bumi
Menurut pendapat Smith tentang upacara Bersaji bahwa ada tiga gagasan penting mengenai azas-azas religi dan agama yaitu system upacara yang merupakan suatu perwujudan dari religi dan dalam banyak agama upacaranya tetap, tetapi latar belakang keyakinan dan maksudnya berubah.
Agama atau religi mempunyai fungsi sosial untuk
mengintensifkan solidaritas masyarakat, yang menganggap bahwa melakukan upacara adalah hal sosial. Fungsi upacara bersaji adalah sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dan sekaligus sebagai wujud dari upacara yang meriah tetapi keramat. Apa yang dijalani masyarakat Bapangan adalah wujud dari religi berdasarkan keyakinannya, karena religi merupakan segala system tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makluk halus yang menempati alam. Oleh karena itu dengan adanya tradisi ini memberikan manfaat atau pesan yang besar bagi masyarakat yang ada sehingga masyarakat
Bapangan tetap eksis melakukan ritual sedekah bumi, yaitu:
1. Menghibur masyarakat yang haus akan hiburan.
2. Mendidik anak-anak dan remaja, pemuda untuk tetap menghormati dan menghargai orang tua.
3. Sebagai komunitas kecil warga Kelurahan tetap menjaga kerukunan dan selalu mengutamakan sikap kegotong-royongan, dimana manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan dan dibutuhkan oleh manusia lain.
Tindakan mengkeramatkan, mengunjungi, dan melakukan tradisi manganan di atas makam seperti ini, kalau tidak hati-hati akan menimbulkan kesalahan ketauhidan dalam hal keagamaan, tetapi bagi yang sudah paham tata-caranya, maka mereka akan tahu bahwa sumber
segala permohonan itu hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi bagi yang
tidak memahaminya, dikhawatirkan akan mendekati bahkan masuk ke musyrikan. Sikap hati-hati itulah yang mendorong tokoh agama yang ada di Bapangan, Kecamatan Jepara, melakukan perubahan seperlunya terhadap
tradisi sedekah bumi yang semula dilakukan di seputar makam Mbah
Buyut Nyai Suli / Putri Gedong. Dengan menjelaskan sikap perubahan
tradisi sedekah bumi bersama itu dengan ungkapan: al Muhafadhotu ala
al-qodiimi assholih wa a-lakhdzu bi al-jadidii al-ashlah (tetap memelihara tradisi masa lalu yang dianggap sudah baik dan menyempurnakan kemudian dengan cara-cara yang lebih baik).
Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Ia tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan
songo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran
Islam.8
Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat
efesiensinya. Efektifitas dan efesiensinya selalu terupdate mengikuti
perjalanan perkembangan unsur kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akanpernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pasti dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.
Dengan demikian “sedekah bumi” merupakan suatu penegasan dan
penguatan tata kultural umum dan kekuatannya untuk menangkal
kekuatan kekacauan. Dalam bentuk dramatik yang terkendali, sedekah
bumi menegaskan nilai-nilai yang menggerakan budaya petani Jawa
Tradisional, penyesuaian timbal balik dari kehendak-kehendak yang saling bergantung.
8Abu Yasid. Op Cit. 249.