PENDAHULUAN
Masyarakat umumnya mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap beras sebagai sumber karbohidrat dan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras maka perlu menggali potensi lokal yang berbasis non beras (Suyastiri, 2008). Dalam perspektif strategi, pangan lokal dapat dijadikan komplementer atau memberi ruang alternatif bagi konsumen guna memilih selain atau dikombinasikan bersama beras sebagai makanan pokok yang murah dan terjangkau oleh konsumen (Purwindasari, 2011). Jagung adalah salah satu bahan makanan pokok setelah beras. Jawa Tengah merupakan salah satu propinsi penghasil jagung yang cukup besar di Indonesia (Rahayu dan Tarno, 2006). Berdasarkan warnanya, jagung kering dibedakan menjadi jagung kuning (90% bijinya berwarna kuning), jagung putih (90% bijinya berwarna putih) dan jagung campuran yang tidak memenuhi syarat – syarat tersebut (Hariyadi dkk, 2009). Salah satu varietas unggul jagung untuk dipilih sebagai benih adalah Bisi 2 (Prihatman, 2000). Kandungan proksimat Jagung Varietas Bisi 2 menurut Arief dan Asnawi (2009) adalah kadar air 9,70%, kadar abu 1,00%, kadar protein 8,40%, kadar serat kasar 2,20%, kadar lemak 3,60% dan kadar karbohidrat 75,10%.
Bekatul adalah bagian luar atau kulit ari dari beras yang merupakan hasil sampingan dari proses penggilingan padi, biasa berupa serbuk halus berwarna krem atau coklat muda (Triwahyuni, 2010). Tepung bekatul per 100 gram mengandung air 8,09% , abu 8,72%, protein 8,97%, lemak 15,79%, karbohidrat 66,53%, serat larut 1,89%, serat tidak larut 15,55% dan total serat pangan 16,44% (Damayanthi dan Madanijah (2001 , dalam Aftasari, 2003). Bekatul dapat diolah menjadi pilihan makanan yang layak dengan gizi cukup serta mampu menjadi makanan fungsional yang meningkatkan perbaikan gizi dan status kesehatan masyarakat (Auliana, 2009).
Peningkatan kandungan gizi jagung dapat dilakukan dengan memodifikasinya dengan penambahan bekatul yang kaya akan gizi melalui fermentasi menjadi MOCORIN. Fermentasi biasa digunakan untuk menyederhanakan karbohidrat kompleks dan membentuk protein dalam suatu bahan (Pratiwi dkk., 2011). Salah satu cara meningkatkan nilai tambah jagung dan bekatul adalah dengan mengolahnya
menjadi berbagai produk olahan yang tahan lebih lama seperti tepung. Pemanfaatan tepung jagung dan bekatul yang terfermentasi (MOCORIN) perlu dikembangkan yaitu dapat diolah menjadi berbagai makanan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan membandingkan nilai gizi MOCORIN antar berbagai perbandingan jagung kuning varietas Bisi 2 dan bekatul serta menentukan perbandingan MOCORIN yang ideal dalam pembuatan cookies “Lidah Kucing” berdasarkan nilai organoleptik.
METODE PENELITIAN Bahan dan Piranti
Bahan baku yang digunakan ialah jagung kuning varietas Bisi 2 yang diperoleh dari petani jagung Desa Krembes, Kec. Bringin, Kab. Semarang, bekatul (Prima Sehat, Yogyakarta), dan ragi tempe (Raprima, LIPI). Bahan kimia yang digunakan antara lain akuades, kapur, CuSO4. 5H2O (PA, E-Merck, Germany), Natrium Kalium Tatrat (PA, E-Merck, Germany), NaOH (PA, E-Merck, Germany), BSA (Bovine Serum Albumin) (PA, E-Merck, Germany), Anthrone (PA, E-Merck, Germany), H2SO4 (PA, E-Merck, Germany), Glukosa (PA, E-Merck, Germany), HCl (PA, E-Merck, Germany), Na2CO3 (PA, E-Merck, Germany), Eter (derajat teknis), Etanol (derajat teknis).
Piranti yang digunakan antara lain piranti gelas, rotary evaporator (Buchi R-114),
drying cabinet, grinder, spektrofotometer (Optizen 2120 UV), neraca (Mettler H-80), neraca (Acis A300), neraca (Scout Pro SPS 602F), Furnace (Vulcan A-550), kertas saring, oven (Memmert U30), waterbath (Smic 5064), centrifuge (Eba 21), pH meter (Hanna HI 9812), pompa vakum, corong buchner, desikator, ayakan.
Metode
Fermentasi Jagung dan Bekatul (Marsono, 1997 dan Alam, 2010 yang dimodifikasi)
Jagung mentah direbus dengan konsentrasi larutan kapur 3% selama 30 menit. Perebusan Jagung dilanjutkan dengan air bersih selama 60 menit lalu ditiriskan. Jagung yang sudah direbus dihaluskan dengan grinder. Bekatul ditambah dengan air dengan
perbandingan bekatul : air adalah 1 : 6 (b/v) lalu dikukus selama 15 menit. Jagung yang sudah halus dicampur bekatul dengan variasi perbandingan antara jagung : bekatul adalah 100:0; 87,5:12,5; 75:25; 62,5:37,5; dan 50:50 (b/b) dengan berat total 100 gram. Campuran jagung dan bekatul ditambah ragi tempe sebesar dan 7% (b/b). Setelah itu dibungkus dalam plastik yang sudah dilubangi dan didiamkan pada suhu kamar selama 31 Jam.
Penepungan Hasil Fermentasi
Jagung dan bekatul yang sudah difermentasi dikeringkan menggunakan drying cabinet dengan suhu 50˚C selama 1 malam, setelah itu digiling hingga halus kemudian
diayak dan hasil akhir ini disebut MOCORIN.
Pengukuran Kadar Air (Sudarmadji dkk., 1997)
Satu gram MOCORIN ditimbang dalam cawan petri yang telah diketahui bobotnya lalu dipanaskan dalam oven bersuhu 105˚C selama 3-5 jam kemudian dimasukkan dalam desikator hingga dingin kemudian ditimbang. Pemanasan dilakukan kembali setiap 1 jam hingga diperoleh massa yang konstan (selisih kurang dari 0,2 mg).
Pengukuran Kadar Abu (Sudarmadji dkk., 1997)
Dua gram MOCORIN dimasukkan dalam cawan porselen yang kering dan telah diketahui bobotnya. Tepung dipijarkan dalam furnace dengan suhu 800˚C selama 1 jam
sampai diperoleh abu berwarna putih. Cawan porselen dan abu dimasukkan ke dalam desikator dan bobot abu ditimbang setelah dingin.
Pengukuran Kadar Protein Terlarut dengan Metode Biuret (AOAC, 1995)
Satu gram MOCORIN ditambah 10 ml akuades dan 1 ml NaOH 1 M kemudian dipanaskan pada suhu 90˚C selama 10 menit. Larutan digenapkan dengan akuades pada labu ukur 50 ml hingga garis tera, selanjutnya larutan dipusingkan selama 30 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Satu ml supernatan larutan diambil 1 ml dan ditambah
dengan 4 ml reagen biuret, kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Absorbansi sampel diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.
Pengukuran Kadar Karbohidrat dengan Metode Anthrone (Sadasivam dan Manickam, 2007)
Seratus mg MOCORIN ditimbang kemudian dihidrolisis dengan 5 ml larutan 2,5 N HCl dan dipanaskan dalam waterbath selama 3 jam, setelah dingin dinetralisir dengan Na2CO3. Larutan sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan digenapkan dengan akuades hingga garis tera lalu dipusingkan selama 30 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. 0,5 ml supernatan ditambah 2 ml reagen Anthrone, lalu dipanaskan dalam
waterbath selama 8 menit pada suhu 40˚C, setelah dingin dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm.
Pengukuran Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet (Sudarmadji dkk., 1997)
Sepuluh gram MOCORIN dibungkus dengan kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam soxhlet. Air pendingin dialirkan melalui kondensor dan tabung ekstrasi dipasang pada alat destilasi soxhlet dengan pelarut eter secukupnya selama 4 – 6 jam. Eter yang telah mengandung ekstrak lemak dan minyak dalam kolf diuapkan dengan rotary evaporator sampai eter menguap seluruhnya.
Pengukuran Kadar Serat (SNI, 1992)
Dua gram MOCORIN yang sudah bebas dari lemak dipindah ke dalam erlenmeyer 500 ml ditambah 100 ml larutan H2SO4 1,25% lalu ditutup dengan pendingin balik dan dididihkan selama 30 menit kemudian ditambah 200 ml NaOH 3,25% dan dipanaskan lagi selama 30 menit. Larutan disaring dengan kertas saring kering yang sudah diketahui bobotnya, sambil dicuci berturut-turut dengan air panas, H2SO4 1,25%, air panas, dan alkohol 96%, kemudian kertas saring dengan residu dipindahkan ke dalam cawan yang sudah diketahui bobotnya dan dikeringkan pada 110ºC sampai berat konstan. Setelah itu cawan dipijarkan dan ditimbang sampai bobot tetap.
Resep Dasar ”Lidah Kucing”
Lima puluh gram gula halus ditambah 62,5 gram mentega dan setengah sendok teh vanili lalu dikocok hingga lembut. Campuran ditambah dengan 1 butir putih telur yang telah dikocok kaku dan 62,5 gram MOCORIN dengan berbagai perbandingan jagung dan bekatul yaitu 100:0; 87,5:12,5; 75:25; 62,5:37,5; dan 50:50 (b/b), lalu dicampur hingga rata. Adonan dimasukkan ke dalam plastik segitiga yang ujungnya sudah dipotong sedikit lalu adonan disemprotkan pada loyang yang sudah diolesi mentega. Setelah itu adonan dipanggang dengan api kecil selama 15 menit.
Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik meliputi warna, rasa, aroma, tekstur dan keseluruhan “Lidah Kucing” dilakukan dengan uji kesukaan. Sampel berupa “Lidah Kucing” diuji cobakan kepada 30 orang panelis dengan kode tertentu. Skala hedonik untuk warna, rasa, aroma, tekstur dan keseluruhan “Lidah Kucing” adalah 1= sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4=Netral, 5= Agak suka, 6=suka dan 7=sangat suka
Analisis Data (Steel dan Torie, 1989)
Data dianalisis dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 5 perlakukan dan 5 ulangan, sebagai perlakuan adalah persentase penambahan bakatul yaitu 0%, 12,5%, 25%, 37,5% dan 50% (b/b), sedangkan sebagai kelompok adalah waktu analisis. Antar purata perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%.
Data organoleptik dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 30 panelis sebagai ulangan, sedangkan sebagai perlakuan adalah persentase panambahan bekatul yaitu 0%, 12,5%, 25%, 37,5% dan 50% (b/b). Antar perlakuan dilakukan uji beda nyata jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
MOCORIN dengan perbandingan jagung : bekatul sebesar 100:0; 87,5:12,5; 75:25; 62,5:37,5; dan 50:50 (b/b) disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. MOCORIN berbagai perbandingan Jagung & Bekatul
Keterangan : 1= MOCORIN dengan perbandingan Jagung : Bekatul (100 : 0) 2= MOCORIN dengan perbandingan Jagung : Bekatul (87,5 :12,5) 3= MOCORIN dengan perbandingan Jagung : Bekatul (75 : 25) 4= MOCORIN dengan perbandingan Jagung : Bekatul (62,5 : 37,5) 5= MOCORIN dengan perbandingan Jagung : Bekatul (50 : 50)
Kadar Air
Air merupakan faktor kritis dalam pertumbuhan kapang. Rhizopus sp. tumbuh pada kondisi lingkungan yang kering dan lembab (Medikasari dan Desiana, 2009). Kadar Air MOCORIN antar berbagai perbandingan jagung dan bekatul dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2. Purata kadar air (% ± SE) MOCORIN berbagai perbandingan Jagung dan Bekatul berkisar antara 7,76 ± 2,87% sampai dengan 8,81 ± 1,09%. Hasil Uji BNJ 5% menunjukkan bahwa kadar air MOCORIN berbagai perbandingan Jagung dan Bekatul tidak berbeda secara bermakna. Hal ini disebabkan semua sampel dikeringkan dengan alat pengering kabinet pada suhu 50˚C. Proses pembuatan tepung melalui tahap pengeringan dengan alat pengering kabinet menyebabkan proses pengeringan lebih cepat dan mengurangi tingkat kerusakan pada tepung yang dihasilkan (Adegunwa et al., (2011, dalam Rasulu dkk., 2012).
Tabel 1. Kadar Air MOCORIN (% ± SE) Antar Berbagai Persentase Bekatul
Perlakuan (Persentase Penambahan Bekatul)
0% 12,5% 25% 37,5% 50% Purata + SE W = 1,81 8,08 ± 2,77 (a) 7,76 ± 2,87 (a) 8,46 ± 2,22 (a) 8,51 ± 1,27 (a) 8,81 ± 1,09 (a) Keterangan: * W = BNJ 5 %
* Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna sebaliknya bila diikuti angka berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna keterangan ini berlaku untuk tabel 2 s/d7
Gambar 1. Histogram Kadar Air
Kadar Abu
Nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Kadar Abu MOCORIN dengan berbagai perbandingan Jagung dan Bekatul dapat dilihat pada Tabel 2. Purata Kadar abu (% ± SE) MOCORIN dengan penambahan berbagai konsentrasi bekatul antara 1,69 ± 0,27% sampai dengan 6,86 ± 0,70%. Hasil uji BNJ 5% menunjukan bahwa kadar abu dengan penambahan berbagai konsentrasi bekatul berbeda secara bermaka.
Tabel 2. Kadar Abu MOCORIN (% ± SE) Antar Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
Perlakuan (Persentase Penambahan Bekatul)
0% 12,5% 25% 37,5% 50% Purata + SE W = 0,58 1,69 ± 0,27 (a) 2,92 ± 0,30 (b) 4,25 ± 0,78 (c) 5,37 ± 0,32 (d) 6,86 ± 0,70 (e)
Gambar 3. Histogram Kadar Abu
Kadar abu hasil penelitian semakin meningkat seiring dengan penambahan bekatul ini dapat terlihat pada Gambar 2. Hal ini disebabkan karena bekatul mengandung lebih banyak mineral dari pada jagung. Menurut Damayanthi dan Madanijah (2001, dalam Aftasari, 2003), kadar abu bekatul sebesar 8,72%, sedangkan menurut Arief dan Asnawi (2009) kadar abu Jagung Varietas Bisi 2 sebesar 1,00%. Bekatul merupakan sumber mineral yang sangat baik, setiap 100 gramnya mengandung kalsium 500-700 mg, magnesium 600-700 mg, dan fosfor 1.000-2.200 mg (Astawan, 2012).
Kadar Protein Terlarut
Fermentasi merupakan proses yang melibatkan mikroorganisme sehingga kualitas produk fermentasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor selama proses fermentasi itu
berlangsung. Lama fermentasi dan jumlah inokulum merupakan faktor penting dalam proses fermentasi (Medikasari dan Desiana, 2009). Purata kadar protein (% ± SE) MOCORIN berbagai perbandingan jagung dan bekatul berkisar antara 7,68 ± 0,48% sampai dengan 31,33 ± 0,25%. Pada Tabel 3 hasil Uji BNJ 5 % menunjukkan bahwa kadar protein terlarut MOCORIN berbagai perbandingan Jagung dan Bekatul berbeda secara bermakna.
Tabel 3. Kadar Protein Terlarut MOCORIN (% ± SE) Antar Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
Perlakuan (Persentase Penambahan Bekatul)
0% 12,5% 25% 37,5% 50% Purata + SE W = 0,705 7,68 ± 0,48 (a) 11,65 ± 0,21 (b) 14,30 ± 0,62 (c) 28,37±0,38 (d) 31,33±0,25 (e)
Kadar protein terlarut MOCORIN hasil penelitian semakin meningkat seiring dengan penambahan bekatul dapat dilihat pada Gambar 3. Kadar protein terlarut tertinggi pada penambahan bekatul 50% yaitu sebesar 31,33%. Peningkatan kadar protein terlarut ini dikarenakan adanya penambahan bekatul yang kaya akan protein melalui proses fermentasi.
Kadar Karbohidrat
Kadar Karbohidrat MOCORIN dengan berbagai perbandingan jagung dan bekatul dapat dilihat pada Tabel 4. Purata kadar karbohidrat (% ± SE) MOCORIN berbagai perbandingan jagung dan bekatul berkisar antara 38,30 ± 0,30% sampai dengan 59,73 ± 0,58%. Hasil Uji BNJ 5 % menunjukkan bahwa kadar karbohidrat MOCORIN berbagai perbandingan jagung dan bekatul berbeda secara bermakna.
Tabel 4. Kadar Karbohidrat MOCORIN (% ± SE) Antar Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
Perlakuan (Persentase Penambahan Bekatul)
0% 12,5% 25% 37,5% 50% Purata + SE W = 0,86 59,73±0,58 (a) 47,61±0,86 (b) 43,39 ± 0,45 (c) 40,21±0,35 (d) 38,30±0,30 (e)
Kadar karbohidrat jagung memiliki kadar karbohidrat yang tinggi berbentuk pati sehingga menyebabkan kadar Karbohidrat MOCORIN semakin menurun seiring dengan penambahan bekatul (Gambar 5). Kadar karbohidarat dari jagung juga lebih tinggi dari kadar karbohidrat bekatul. Karbohidrat pada Bisi 2 sebesar 75,10% ini berbeda dengan MOCORIN persentase penambahan bekatul sebesar 0% karena karbohidrat kompleks telah disederhanakan membentuk karbohidrat yang lebih sederhana melalui fermentasi.
Kadar Lemak
Kadar lemak MOCORIN dengan berbagai perbandingan jagung dan bekatul dapat dilihat pada Tabel 5. Purata kadar lemak (% ± SE) MOCORIN berbagai perbandingan Jagung dan Bekatul berkisar antara 5,52 ± 0,72% sampai dengan 8,36 ± 0,58%. Hasil Uji BNJ 5 % menunjukkan bahwa kadar lemak MOCORIN berbagai perbandingan jagung dan bekatul berbeda secara bermakna.
Tabel 5. Kadar Lemak MOCORIN (% ± SE) Antar Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
Perlakuan (Persentase Penambahan Bekatul)
0% 12,5% 25% 37,5% 50% Purata + SE W = 0,66 5,52 ± 0,72 (a) 6,22 ± 0,34 (b) 6,82 ± 0,24 (c) 7,6 ± 0,50 (d) 8,36 ± 0,58 (e)
Kadar lemak MOCORIN semakin meningkat seiring dengan penambahan bekatul. Kadar lemak tertinggi pada penambahan bekatul 50% yaitu sebesar 8,36% (Gambar 6). Hal ini dikarenakan bekatul mengandung kadar lemak yang cukup tinggi. Menurut Riswanto, dkk (2009) bekatul mudah mengalami kerusakan enzimatis oleh enzim lipase menjadi beraroma tengik akibat kandungan lemak tak jenuh.
Kadar Serat
Bekatul merupakan bahan yang kaya akan serat, diharapkan penambahan bekatul dapat meningkatkan kadar serat MOCORIN. Pada Tabel 6 kadar Serat MOCORIN mengalami peningkatan hingga penambahan bekatul sebesar 37,5% tetapi mengalami penurunan pada penambahan sebesar 50%. Kadar serat tertinggi terdapat pada penambahan bekatul 37,5% yaitu sebesar 4,03%. Hasil Uji BNJ 5% menunjukkan bahwa kadar serat MOCORIN dengan penambahan bekatul sebesar 25% dan 50% tidak berbeda secara bermakna.
Tabel 6. Kadar Serat MOCORIN (% ± SE) Antar Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
Perlakuan (Persentase Penambahan Bekatul)
0% 12,5% 25% 37,5% 50% Purata + SE W = 0,77 0,83 ± 0,56 (a) 2,16 ± 0,17 (b) 3,11 ± 0,86 (c) 4,03 ± 0,45 (d) 3,37±0,30 (c)
Hasil ini berbeda dengan penelitian Setyowati, dkk (2008) yaitu bahwa semakin
banyak penambahan bekatul, kadar serat pada tempe kedelai dengan penambahan bekatul semakin tinggi, sehingga tempe yang dihasilkan kaya akan serat. Produk dikatakan sudah menjadi tempe yang baik jika miselium kapang sudah menutupi kedelai.
Serat terdiri atas berbagai substansi yang kebanyakan diantaranya karbohidrat
kompleks. Serat makanan dibagi menjadi dua kelompok yaitu serat larut (soluble fiber) dan serat tidak terlarut (insoluble fiber) Serat yang larut di dalam air antara lain terdiri atas pektin, getah tanaman dan beberapa hemiselulosa sedangkan serat tidak larut adalah lignin dan selulosa (Herminingsih, 2011). Komposisi kimia dinding sel tidak sama di semua jenis jamur. Dalam beberapa konstituen utama adalah selulosa. Selain itu, telah terbukti pasti bahwa faktor eksternal, seperti komposisi media, pH, dan suhu, sangat mempengaruhi komposisi dinding jamur (Foster (1949, dalam Alexopoulos, 1962).
Pada Gambar 7 terlihat penambahan bekatul sebanyak 50% menyebabkan kadar serat menurun hal ini disebabkan karena pada waktu fermentasi menggunakan ragi, miselium pada persentase penambahan 50% tidak kompak dibanding dengan penambahan bekatul 0%, 12,5%, 25% dan 37,5% yang lebih kompak, maka mengakibatkan selulosa / serat tidak terlarut (insoluble fiber) semakin berkurang.
Gambar 7. Histogram Kadar Serat
Uji Organoleptik “Lidah Kucing”
Cookies Lidah kucing yang berbahan dasar MOCORIN dengan berbagai persentase penambahan bekatul dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil uji organoleptik “Lidah Kucing” dengan parameter warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan “Lidah Kucing” yang berbahan dasar MOCORIN dengan berbagai persentase penambahan bekatul maupun tepung terigu sebagai pembanding disajikan dalam Tabel 7. Penilaian organoleptik adalah salah satu penilaian mutu makanan yang bersifat subyektif karena melibatkan panca indera. Daya penerimaan terhadap suatu makanan sangat ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan makanan melalui indera manusia. Faktor utama yang mempengaruhi daya terima adalah citarasa makanan yang terdiri dari warna, aroma, rasa dan tekstur (Winarno, 2003).
Gambar 8. “Lidah Kucing” dengan berbagai persentase penambahan bekatul
Keterangan : K1= “Lidah Kucing” dengan penambahan bekatul sebesar 0% K2= “Lidah Kucing” dengan penambahan bekatul sebesar 12,5% K3= “Lidah Kucing” dengan penambahan bekatul sebesar 25% K4= “Lidah Kucing” dengan penambahan bekatul sebesar 37,5% K5= “Lidah Kucing” dengan penambahan bekatul sebesar 50% K6= “Lidah Kucing” berbahan dasar Tepung Terigu (Pembanding)
Tabel 7. Hasil Uji Organoleptik “Lidah kucing” Antar Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
PERLAKUAN (Persentase Penambahan Bekatul)
0% 12,5% 25% 37,5% 50% Terigu Warna X ± SE w = 0,68 5,34 ± 0,36 (d) 4,31 ± 0,43 (c) 3,38 ± 0,49 (b) 2,90 ± 0,42 (ab) 2,45 ± 0,48 (a) 6,28 ± 0,35 (e) Aroma X ± SE w = 0,86 4,60 ± 0,51 (b) 4,53 ± 0,49 (b) 3,57 ± 0,51 (a) 3,97 ± 0,62 (ab) 3,33 ± 0,51 (a) 5,63 ± 0,51 (c) Rasa X ± SE w = 0,80 4,03 ± 0,56 (a) 4,67 ± 0,53 (a) 3,97 ± 0,50 (a) 3,47 ± 0,55 (a) 3,43 ± 0.52 (a) 6,07 ± 0,42 (b) Tekstur X ± SE w = 0,82 4,35 ± 0,49 (c) 4,15 ± 0,52 (bc) 3,50 ± 0,55 (ab) 2,73 ± 0,46 (a) 3,92 ± 0,43 (abc) 6,08 ± 0,36 (d) Keseluruhan X ± SE w = 0,66 4,67 ± 0,45 (b) 4,77 ± 0,46 (b) 3,60 ± 0,52 (a) 3,63 ± 0,46 (a) 3,37 ± 0,47 (a) 6,17 ± 0,36 (c) Keterangan: Skor : 1 : Sangat tidak suka; 2 : tidak suka; 3 : Agak tidak suka; 4 : Netral,
5 : Agak suka; 6 : Suka; 7 : Suka sekali
Menurut Moehyi (2002), dalam Machbubatul, 2008) menyatakan faktor-faktor yang dinilai dalam uji organoleptik ini adalah warna, bentuk, aroma, ukuran, tekstur dan citarasa. Dalam melakukan penilaian indera yang memberikan reaksi pertama kali yaitu
mata. Indera kedua setelah mata adalah hidung. Sifat aroma digunakan sebagai kriteria penilaian kualitas kesegaran atau batasan keamanan dari makanan untuk dikonsumsi. Pengecapan rasa adalah ketiga dari penilaian yang menggunakan mulut dengan tujuan untuk membedakan empat rasa dasar yaitu asam, asin, manis dan pahit.
Warna merupakan penentuan mutu bahan makanan pada umumnya tergantung pada faktor mikrobiologis secara visual faktor-faktor penunjang yang lain. Selain sebagai faktor-faktor yang lain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna dapat juga digunakan sebagai indikator penentuan mutu, warna dapat digunakan sebagai indikator kematangan (Winarno, 1997). Pengaruh penambahan bekatul pada berbagai konsentrasi terhadap uji sensoris warna “Lidah Kucing” menunjukkan bahwa semakin besar persentase penambahan bekatul maka semakin tidak disukai oleh panelis. Warna kecoklatan pada bekatul menyebabkan semakin banyak bekatul yang ditambahkan warna “Lidah Kucing” yang dihasilkan semakin coklat dan tidak disukai oleh panelis. Aroma berhubungan dengan indera pembau. Aroma adalah rangsangan yang ditangkap oleh indera penciuman. Komponen aroma bahan makanan dapat digunakan untuk membedakan antar bahan makanan yang satu dengan yang lain dan sifat ini sukar dinilai dengan alat (Winarno, 2003). Penambahan bakatul pada berbagai konsentrasi terhadap uji sensorik aroma menunjukkan bahwa semakin besar persentase penambahan bekatul semakin tidak disukai panelis.
Rasa berbeda dengan bau dan lebih banyak melibatkan panca indra lidah. Pengindraan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit (Winarno, 1991). Pengaruh penambahan bekatul pada berbagai konsentrasi terhadap uji sensoris rasa “Lidah Kucing” menunjukkan semakin banyak penambahan bekatul panelis semakin tidak suka dikarenakan rasa pahit dan asam yang ditimbulkan hal ini sama dengan penelitian Sarbini (2009) bahwa pahit pada biskuit tempe bekatul berkaitan dengan kandungan saponin bekatul dan timbulnya rasa asam pada biskuit karena penambahan tempe yang diolah melalui proses fermentasi. Dari hasil BNJ 5% penambahan bekatul pada berbagai konsentrasi tidak berpengaruh
terhadap uji sensoris rasa “Lidah Kucing” maka penambahan bekatul hingga 50% masih memiliki rasa yang tidak jauh berbeda dengan tanpa penambahan bekatul.
Tekstur dari makanan sangat penting untuk menentukan kualitas makanan. Menurut Winarno (2003) warna, ukuran tekstur tidak pernah konstan akibat adanya perubahan kadar air bahan maupun produk. “Lidah Kucing” berbahan dasar MOCORIN mempunyai tekstur kasar. Menurut Suarni (2009) Jagung mempunyai tekstur agak kasar dan kue kering tidak memerlukan bahan yang volumenya dapat mengembang besar (kandungan gluten tinggi), sehingga dapat memanfaatkan tepung jagung yang hanya mengandung gluten <1%. Semakin besar persentase penambahan bekatul maka semakin tidak disukai oleh panelis.
Hasil Uji organoleptik dengan parameter warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan “Lidah Kucing” semua perlakuan (persentase penambahan bekatul) dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 9. Semua perlakuan berbeda secara bermakna dengan “Lidah Kucing” dari tepung terigu hal ini disebabkan karena dari segi warna tepung terigu lebih putih sedangkan MOCORIN semakin coklat seiring dengan penambahan bekatul. Menurut Richana (2010) komponen terpenting terigu yang membedakannya dengan tepung lain adalah kandungan gluten. Gluten adalah protein yang bersifat lengket dan elastis. Dalam proses pembuatan roti, gluten bermanfaat untuk mengikat dan membuat adonan menjadi elastis sehingga mudah dibentuk. Inilah sebabnya terigu selalu digunakan dalam membuat mi dan roti meskipun aplikasi terigu dapat mencakup banyak produk tetapi tidak semua orang dapat mengonsumsi terigu karena alergi terhadap terigu, seperti penderita autis.
Tingkat kesukaan secara keseluruhan dimaksudkan untuk mengetahui berapa persen MOCORIN dapat diterima oleh konsumen. Pada Tabel 7 dan Gambar 9 terlihat bahwa “Lidah Kucing” dengan penambahan Bekatul paling disukai oleh panelis yang berbahan dasar MOCORIN adalah “Lidah Kucing” dengan penambahan bekatul sebesar 12,5% yang berarti Netral dan berada pada lingkaran luar
Gambar 9. Diagram laba- laba Uji Organoleptik Cookies berbahan dasar MOCORIN dan Tepung Terigu
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Kadar Gizi MOCORIN yang meliputi kadar abu, protein, lemak semakin meningkat seiring dengan penambahan bekatul sedangkan untuk kadar karbohidrat semakin menurun. Kadar abu, protein dan lemak tertinggi pada penambahan bekatul 50% yaitu sebesar 6,86%; 31,33% dan 8,36%. Kadar karbohidrat tertinggi pada penambahan bekatul 0% yaitu sebesar 59,42%. Kadar serat tertinggi pada penambahan bekatul 37,5% sebesar 4,03%.
2. Nilai organoleptik “Lidah Kucing” dengan berbagai perbandingan jagung dan bekatul yang paling disukai panelis adalah “Lidah Kucing” dengan penambahan bekatul sebesar 12,5%.
Saran
1. Perlu dilakukan pengembangan penelitian tentang aplikasi MOCORIN untuk bahan dasar pembuatan makanan yang lebih disukai panelis dan menentukan nilai gizi pada makanan tersebut.
2. Perlu dilakukan pengamatan mikroskopis berkaitan dengan perkembangan miselium yang mempengaruhi kadar serat.
3. Perlu dilakukan penelitian tentang massa simpan “lidah kucing”.
4. Perlu dilakukan penelitian tentang kualitas asam amino dan lemak tak jenuh dari MOCORIN
DAFTAR PUSTAKA
Aftasari, F. 2003. Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Sponge Cake yang Ditambah Tepung Bekatul Rendah Lemak. Skripsi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian , Institut Pertanian Bogor
Alam. 2010. Potensi Jagung Di Indonesia. http ://alambenzosnesia.blogspot.com/.
[27 November 2011]
Alexopoulos, C. J. 1952. Introductory Mycology. 2nd Eds, 3-13. Jonn Wiley & Sons, Inc., New York
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Assoociation of Official Analytical Chemist. AOAC, Washington DC
Arief, R. W dan R. Asnawi, 2009. Kandungan Gizi dan Komposisi Asam Amino Beberapa Varietas Jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 9 (2) : 61-66 Astawan, M. 2012. Kandungan Gizi Bekatul.
http://www.scribd.com/doc/60250251/KANDUNGAN-GIZI-BEKATUL.[11 Februari 2012]
Auliana, R. 2009. Pengolahan Bekatul Sebagai Makanan Fungsional Dalam Pembuatan Aneka Makanan Di Kelurahan Wedomartani Kecamatan Ngemplak Sleman Yogyakarta. Artikel Pelatihan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Negeri Yogyakarta
Hariyadi, N. Aini. P., Tien. R. M dan Nuri. A. 2009. Hubungan Sifat Kimia dan Rheologi Tepung Jagung putih dengan Fermentasi Spontan Butiran Jagung. Forum Pascasarjana Vol. 32 (1) : 33-43
Herminingsih, A. 2011. Manfaat Serat Dalam Menu Makanan.
http://journal.mercubuana.ac.id/data/baruAAT_SERAT_DALAM_MENU_MAKA NAN.pdf. [8 Mei 2012]
Machbubatul. 2008. Pembuatan Kaldu Dari Kepala Ikan Tuna Dengan Cara Hidrolisis Asam (Kajian Penambahan Air Dan Ph). Skripsi Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang
Marsono, Y. 1997. Pengaruh Pengukusan Terhadap Kandungan Oryzanol dan
Perubahan Sifat Kimia Minyak Bekatul Padi Unggul Selama Penyimpanan.
Argitech Vol. 17 (2) : 6-10
Medikasari, M dan E. Desiana. 2009. Produksi Tepung Ubi Kayu Berprotein: Suatu Kajian Awal Karakteristik Berdasarkan Lama Fermentasi dan Jumlah Inokulum dengan Menggunakan Ragi Tempe. Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian
Kepada Masyarakat, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung Pratiwi, W., Erriza. A dan Melati. 2011. Fermentasi Tepung Dedak Menggunakan Ragi
Tape Saccharomyces cerevisiae untuk Meningkatkan Nutrisi Pakan Ikan. Program Kreativitas Mahasiswa, Institut Pertanian Bogor
Prihatman, K. 2000. Jagung (Zea mays L.). Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, Proyek PEMD, BAPPENAS, Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemas-yarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta Purwindasari, H. 2011. Ketergantungan Masyarakat Indonesia Terhadap Beras.
http://nadhiroh.blog.unair.ac.id/stats/?stats_author=HARNILA+PURWINDASARI. [11 Januari 2012]
Rahayu, S dan Tarno. 2006. Prediksi Produksi Jagung Di Jawa Tengah dengan Arima dan Bootstrap. http://eprints.undip.ac.id/1848/1/Sri_Rahayu_dan_P_Tarno.pdf . [27 November 2011]
Rasulu, H., Sudarminto S. Yuwono dan J Kusnadi. 2012. Karakteristik Tepung Ubi Kayu Terfermentasi sebagai Bahan Pembuatan Sagukasbi. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 13 (1) : 1-7
Richana, N. 2010. Tepung Jagung Termodifikasi Sebagai Pengganti Terigu. Warta Penelitian dan Pengembangan Vol. 32 (1) : 6
Riswanto, K., Fitriyah, dan N. Tannia. H. 2009. Pemanfaatan Bekatul Fermentasi sebagai Pangan Fungsional dalam Bentuk Bar yang Memiliki Efek Hipokolesterolemik Dan antistress. Program Kreativitas Mahasiswa, Institut Pertanian Bogor
Sadasivam, S dan A. Manickam. 2007. Biochemical Methods. 3rd Eds, 7 – 8. New Age International, New Delhi
Sarbini, D., S Rahmawaty dan P. Kurnia. 2009. Uji Fisik, Organoleptik, dan Kandungan Zat Gizi Biskuit Tempe-Bekatul Dengan Fortifikasi Fe Dan Zn Untuk Anak Kurang Gizi. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 10(1):18 - 26
Setyowati, R., D. Sarbini dan S. Rejeki. 2008. Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Kadar Serat Kasar, Sifat Organoleptik dan Daya Terima Pada Pembuatan Tempe Kedelai (Glycine max (L) Meriil). Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
SNI. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi Nasional SNI No. 01-2891-1992, Jakarta
Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharatara Karya Aksara, Jakarta
Steel, R.G.D. dan J.H. Torie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia, Jakarta
Suarni. 2009. Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung
Untuk Kue Kering (cookies). Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 28(2) : 63- 71
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta
Suyastiri, N.M.Y.P., 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan Di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 13 (1) : 51 - 60
Triwahyuni, A. 2010. Uji Glukosa dan Organoleptik Kue Bolu dari Penambahan Tepung Gaplek dan Bekatul. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta
Winarno, F.G. 1997. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia, Jakarta Winarno, F.G. 2003. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta