• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori - HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI DENGAN KEJADIAN GAWAT JANIN DALAM PERSALINAN DI RUMAH SAKIT UMUM PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO TAHUN 2013 - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori - HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI DENGAN KEJADIAN GAWAT JANIN DALAM PERSALINAN DI RUMAH SAKIT UMUM PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO TAHUN 2013 - repository perpustakaan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Ketuban Pecah Dini (KPD) a. Pengertian

Ketuban pecah dini merupakan pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan atau sebelum ada tanda-tanda persalinan (Prawirohardjo, 2009; hal:677). Definisi lain menyebutkan KPD sebagai pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi in-partu (Manuaba, 2008). Ketuban pecah dini juga disebutkan sebagai pecahnya ketuban sebelum pembukaan < 4 cm (fase laten), KPD dapat terjadi pada akhir kehamilan atau jauh sebelum waktu melahirkan (Nugroho, 2012; hal:150).

(2)

biofisik rendah atau cairan amnion berkurang, kehamilan kembar, dan di beberapa institusi, pecah ketuban.

Rata-rata serviks menonjol ke vagina 4 cm. Penipisan dapat dinyatakan dalam presentase (100 persen berarti setipis kertas) atau dalam sentimeter. Jika penipisan dinyatakan dalam sentimeter, harus diingat bahwa panjang serviks internal dapat jauh lebih panjang daripada bagian eksternal yang dapat dipalpasi.

Pada ketuban pecah dini selaput ketuban merupakan selaput yang membatasi rongga amnion, sebagai penghasil cairan ketuban serta melindungi janin terhadap infeksi. Pecahnya selaput ketuban secara normal terjadi pada proses persalinan.

Kejadian KPD pada usia kehamilan sebelum 37 minggu disebut KPD pada kehamilan preterm (Prawihardjo, 2009; hal:677-678). Sedangkan KPD memanjang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan (Nugroho, 2012; hal:150). Ada beberapa batasan tentang KPD yaitu 2 atau 4 atau 6 jam sebelum inpartu, KPD terjadi sebelum pembukaan servik 3 cm atau 5 cm, KPD pada prinsipnya yaitu ketuban yang pecah sebelum waktunya (Norma, 2013; hal:247).

(3)

9,078% dari 1.421 total persalinan. Berbeda dengan daerah Kabupaten Tegal, kejadian ketuban pecah dini merupakan masalah morbiditas ibu bersalin terbesar dimana terdapat 19,46% dari seluruh kasus persalinan patologis dengan angka sebanyak 1.235 kasus (Fatkhiyah, 2008).

b. Etiologi

Beberapa sumber menyatakan penyebab KPD belum dapat diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa faktor predisposisi yang mengakibatkan terjadinya KPD (Norma, 2013; hal:247-248) yaitu sebagai berikut:

1) Infeksi: Infeksi yang terjadi langsung pada selaput ketuban dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban yang mengakibatkan KPD.

2) Servik yang inkompetensia, dimana terdapat kanalis serikalis yang selalu terbuka, yang terjadi akibat trauma persalinan atau curetage.

3) Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan misalnya trauma, hidramnion, gamelli.

4) Trauma dari hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amniosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.

5) Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak terdapat bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.

(4)

7) Faktor lain:

a) Faktor golongan darah yang diakibatkan oleh golongan darah ibu dan janin yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jaringan kulit ketuban.

b) Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.

c) Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.

d) Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). 8) Riwayat kelahiran prematur

9) Merokok

10) Perdarahan antepartum

11) Inkompetensi servik (leher rahim)

12) Polihidramnion (cairan ketuban berlebih) 13) Riwayat KPD sebelumnya

14) Kelainan atau kerusakan selaput ketuban 15) Kehamilan kembar

16) Servik (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu.

17) Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis. c. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala saat terdapat ketuban pecah dini yaitu sebagai berikut:

(5)

2) Dapat disertai demam apabila sudah terdapat infeksi.

3) Janin mudah diraba, pada pemeriksaan dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering.

4) Pada pemeriksaan inspekulo tampak selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering atau tampak air ketuban mengalir (Sukarni, 2013; hal: 242).

5) Keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina dengan bau manis dan tidak seperti bau amoniak.

6) Bercak vagina yang banyak 7) Nyeri perut

8) Denyut jantung janin bertambah cepat yang merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Norma, 2013; hal:247-248) d. Diagnosis

Penegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin. Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara:

1) Anamnesa

(6)

Terdapat pengeluaran cairan ketuban dari vagina yang tampak oleh mata, apabila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak maka pemeriksaan ini akan lebih jelas (Norma, 2013; hal:249-250).

3) Palpasi

Palpasi abdomen dilakukan untuk memastikan volume cairan amnion. Apabila ketuban benar-benar pecah maka saat palpasi abdomen kadang-kadang dapat mendeteksi berkurangnya cairan karena terdapat peningkatan molase uterus serta dinding abdomen disekeliling janin dan penurunan ballotement (Kriebs, 2010; hal:399).

4) Pemeriksaan dengan spekulum steril

a) Inspeksi genitalia eksternal untuk melihat adanya cairan. b) Melihat cairan yang mengalir dari ostium serviks.

c) Melihat adanya genangan cairan amnion.

d) Minta pasien untuk mengejan, tekan fundus dengan lembut atau angkat bagian presentasi per abdomen sehingga cairan bisa mengalir.

e) Mengobservasi cairan untuk mengetahui adanya lanugo atau vernik kaseosa.

f) Melihat serviks untuk mengetahui adanya prolaps tali pusat atau ekstremitas janin (Kriebs, 2010; hal:399).

(7)

dipertimbangkan, apabila kehamilan masih kurang bulan yang belum dalam persalinan maka tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam, karena jari pemeriksa akan mengakumulasisegmen bawah rahim dengan flora normal vagina. Mikroorganisme tersebut dapat dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan pada KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin (Norma, 2013; hal:249).

5) Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium

(1) Pemeriksaan leukosit darah: > 15.000/uI bila terjadi infeksi.

(2) Tes lakmus merah berubah menjadi biru. (3) Amniosintesis

(4) USG: menentukan usia kehamilan, indeks cairan amnion berkurang (Sukarni, 2013; hal:153-154).

(5) Tes pakis positif, tes pakis lebih reliabel daripada tes kertas nitrazin karena zat selain cairan amnion memiliki pH netral (~7,0) yaitu lendir serviks, rabas vagina yang disebabkan oleh vaginosis bakteri atau trikomonas, darah, urine, semen dan bedak pada sarung tangan. (6) Tes nitrazin positif.

(8)

(9) Semakin cepat dilakukan pemeriksaan setelah ketuban pecah, semakin mudah menegakkan diagnosis ketuban pecah. Apabila sudah berlalu lebih dari 6 hingga 12 jam, banyak observasi diagnostik menjadi tidak reliabel karena kurangnya cairan.

(10) Observasi cairan yang berasal dari ostium serviks menunjukkan diagnosis ketuban pecah.

(11) Apabila tidak dilakukan pengamatan langsung terhadap cairan ostium serviks, riwayat yang menunjukkan ketuban pecah disertai tes pakis positif mengindikasikan diagnosis (Kriebs, 2010; hal:400).

e. Mekanisme Ketuban pecah Dini

Ketuban pecah dini terjadi saat ada pembukaan servik sebelum waktunya (pembukaan prematur servik) serta membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi dan nekrosis serta dapat diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban semakin berkurang dan melemahkan daya tahan ketuban. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim (enzim proteolitik, enzim kolagenase) (Manuaba, 2008; hal:112).

(9)

asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal diantaranya akibat merokok (Prawihardjo, 2009; hal:678).

f. Komplikasi ketuban pecah dini

Komplikasi dari KPD yang peling sering terjadi yaitu sindrom distress pada janin, hal ini sering terjadi pada KPD ssebelum usia 37 minggu dan terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. KPD dapat pula menyebabkan korioamnionitis (radang pada korion dan amnion) serta prolaps tali pusat. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada kasus KPD preterm, insidennya mencapai 100% (Norma, 2013; hal:250-251). Selain komplikasi tersebut, KPD dapat menyebabkan komplikasi lain, yaitu:

1) Infeksi intrauterin 2) Tali pusat menumbung 3) Prematuritas

4) Distosia

5) Persalinan pelahiran kurang bulan 6) Oligohidramnion (Kriebs, 2010; hal:398)

Usia kehamilan dapat juga mempengaruhi ketuban pecah dini yaitu dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal (Prawihardjo, 2009; hal:678).

g. Penatalaksanaan

(10)

janin serta apakah dalam keadaan inpartu terdapat gawat janin. Penanganan ketuban pecah dini dilakukan secara konservatif dan secara aktif, pada penanganan konsevatif yaitu rawat di rumah sakit (Prawirohardjo, 2009; hal:679-680)

Masalah berat pada ketuban pecah dini adalah kehamilan dibawah minggu ke-26 karena mempertahankannya memerlukan waktu lama. Apabila sudah mencapai berat 2000 gram dapat dipertimbangkan untuk diinduksi. Apabila terjadi kegagalan dalam induksi maka akan disertai infeksi yang diikuti histerektomi. Pemberian kortikosteroid dengan pertimbangan akan menambah reseptor pematangan paru, menambah pematangan paru janin. Pemberian betametason 12 mg dengan interval 24 jam, 12 mg tambahan, maksimum dosis 24 mg, dan masa kerjanya 2-3 hari.pemberian betakortison dapat diulang apabila setelah satu minggu janin belum lahir. Pemberian tokolitik untuk mengurangi kontraksi uterus dapat diberikan apabila sudah dapat dipastikan tidak terjadi infeksi korioamnionitis. Menghindari sepsis dengan pemberian antibiotik profilaksis (Manuaba, 2008; hal:112-113).

(11)

terdapat demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih dari 6 jam, maka berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta UI intramuskular dan ampisilin 1 g peroral.

(12)

2. Gawat janin dalam persalinan a. Pengertian

Gawat janin (fetal distress) adalah istilah tertekannya janin intrauterin oleh berbagai sebab terutama kekurangan nutrisi dan oksigen secara maksimal sertya terjadi perubahan metabolisme dengan sumber energi utama glukosa yang akhirnya tanpa sisa dan langsung menjadi air dan karbondioksida (Manuaba, 2008; hal:188). Gawat janin dalam persalinan merupakan keadaan janin yang denyut jantungnya kurang dari 100 kali per menit atau lebih dari 140 kali permenit dan air ketuban hijau kental (Nugroho, 2012; hal:177).

Keadaan gawat janin biasanya menandakan kekhawatiran obstetris tentang keadaan janin yang kemudian berakhir dengan seksio sesarea atau persalinan buatan lainnya (Prawirohardjo, 2009; hal:620).Definisi lain menyebutkan bahwa kondisi gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ). DJJ normal antara 120 dan 160 kali permenit (Manuaba, 2010; hal:105).

b. Sistem peredaran darah dan pernapasan janin

(13)

dibuat setelah aktivitas tulang sempurna. Menjelang persalinan, janin membuat adult hemoglobin (A) sebagai persiapan kelahiran.

Bentuk gerakan pernapasan inrauterin janin terdapat pada gerakan dinding dada, tetapi air ketuban tidak masuk ke dalam paru-paru. Gerakan pernapasan dikendalikan oleh saturasi O₂ dan bukan oleh CO₂. Bila saturasi O₂ menurun maka saturasi CO₂ akan berfungsi untuk mengendalikan gerak pernapasan. Pada persalinan paru-paru berkembang sendiri karena rangsangan mekanis saat membersihkan jalan napas dan terdapat lesitin dan spingomielin yang memberikan peluang berkembangnya paru-paru.

Peredaran darah janin berlangsung selama kehidupan intrauterin,plasenta memegang peran sangat penting. Kegagalan plasenta dapat menimbulkan penyulit dalam pertumbuhan dan perkembangan janin. Selain plasenta, pengaruh cairan ketuban juga berperan penting karena mempengaruhi sistem transportasi O₂ dari plasenta ke janin (Manuaba, 2008; hal:104-106).

c. Etiologi

Gawat janin merupakan kondisi dimana janin berisiko yang disebabkan oleh:

1) Kekurangan oksigen

(14)

mengakibatkan aliran makanan dan oksigen ke janin terganggu (Indiarti, 2007; hal:30).

3) Partus lama 4) Infus oksitosin

5) Perdarahan antepartum 6) Infeksi

7) Insufiensi plasenta yang menyebabkan gangguan aliran nutrisi ke janin, gangguan aliran oksigen ke janin, dan terdapat timbunan karbondioksida dalam darah janin

8) Ibu diabetes

9) Kehamilan pre dan posterm

10) Prolapsus tali pusat (Nugroho, 2012; hal:177) d. Komplikasi gawat janin

Perubahan denyut jantung janin dari normal antara 120-140 mengalami gangguan. Awalnya gangguan semakin meningkat dan akhirnya diikuti makin lambat sampai dengan kematian ingrauterin. Pada letak kepala janin akan mengeluarkan mekoneum sehingga air ketubanya berwarna mekoneum (Manuaba, 2008; hal:188).

e. Monitoring janin dalam persalinan

(15)

membuat diagnosis dan membedakan macam-macam dan beratnya gawat janin.

Auskultasi menggunakan stetoskop jain merupakan cara tertua serta paling banyak dilakukan. Monitoring terus menerus digunakan dengan atau tanpa sistem pencatat yang tetapi dengan mikrofon yang dililitkan pada perut ibu. Monitoring juga dapat dilakukan dengan ultrasonografi menggunakan efek doppler maupun dengan elektrokardiografi dengan lempengan yang ditempatkan pada perut ibu atau penjepit unipolar dipasang pada kepala atau bokong janin melalui cervix.

Bradikardia dan hipoksia merupakan reaksi dari stress terhadap DJJ. Keadaan tersebut dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1) Deselerasi awal (penukikan tipe I)

a) Bradikardi timbul bersama permulaan kontraksi dan DJJ kembali normal ketika kontraksi selesai.

b) Umumnya didapatkan pada kala I akhir dan kala II.

c) Sebab fetal distress salah satunya dimungkinkan karena kompresi kepala janin.

d) Hal tersebut tidak termasuk bahaya. Nilai apgar normal dan tidak ada asidosis pada janin.

2) Deselerasi akhir (penukikan tipe II)

a) Bradikardia timbul terlambat selama kontraksi dan menetap untuk 30 sampai 60 detik setelah kontraksi selesai.

(16)

uterus yang menyebabkan aliran darah intervillous berkurang sehingga terjadi insufisiensi unteroplasenter dan oksigenasi janin berkurang (hipoksia atau anoksia) maka terjadilah bradikardia.

3) Deselerasi berubah-ubah: tanpa pola

a) DJJ turun sampai 100 atau kurang yang terjadi secara tiba-tiba.

b) Diperkirakan terjadi akibat penekanan tali pusat yang menyebabkan aktivitas vasovagal.

c) Pemberian oksigen kepada ibu tidak ada pengaruhnya. d) DJJ dapat dirubah dengan perubahan posisi ibu, gerakan

anak secara spontan atau dengan manipulasi dan pemberian atropin.

e) Apabila bradikardia hanya sebentar janin dilahirkan dalam keadaan baik dengan nilai apgar normal tanpa asidosis. f) Oleh karena perubahan secara mendadak keadaan ini

darurat dan seringkali dilakukan sectio caesarea yang sebetulnya tidak perlu (Oxorn, 2010; hal:505-506).

4) Auskultasi interminen

Auskultasi interminen dijelaskan sebagai berikut:

(17)

b) Auskultasi harus dilakukan setelah selesai suatu kontraksi untuk memberi kesempatan pada jantung berubah ke denyut jantung normal.

f. Pengelolaan gawat janin

Kadaan janin dipantau melalui denyut jantung janin (DJJ) dengan cara sebagain berikut:

1) Kasus risiko rendah dengan auskultasi teratur DJJ selama persalinan yaitu setiap15 menit selama kala I, setiap setelah his pada kala II kemudian hitung selama satu menit apabila his telah selesai.

2) Kasus risiko tinggi dengan pemantauan DJJ elektronik secara berkesinambungan serta disediakan sarana untuk pemeriksaan pH darah janin.

3) Pemantauan denyut jantung janin (DJJ) yang teratur selama persalinan dilakukan setiap 15 menit pada kala I dan setiap setelah kontraksi pada kala II. Denyutnya harus dihitung selama 1 menit, dimulai pada saat terjadi kontraksi sehingga dapat mendeteksi deselerasi.

(18)

5) Kasus dengan pewarnaan mekonium dalam cairan amnion ditindak lanjuti dengan pencatatan DJJ secara berkesinambungan diteruskan, hindari hiperstimulasi uterus karena akan mempercepat hipoksia janin dan mengurangi risiko seksio sesarea gawat janin, asidemia janin dan sindroma aspirasi mekoneum dengan amnioinfusion.

6) Untuk memperbaiki aliran darah ke umbilikus yaitu dengan merubah posisi ibu, berikan oksigen pada ibu dengan kecepatan 6-8 l/menit (Prawirohardjo, 2009; hal:622-624). 3. Hubungan KPD dengan gawat janin dalam persalinan

Secara luas istilah gawat janin telah banyak dipergunakan, tapi definisi istilah ini sangat terbatas. Istilah gawat janin biasanya menandakan kekhawatiran obstetris tentang keadaan janin, yang kemudian berakhir dengan seksio sesarea atau persalinan buatan lainnya. Keadaan janin dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan terdapat mekonium didalam cairan amnion. Sering dianggap sebagai DJJ yang tidak normal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis (Prawirohardjo, 2009; hal:620).

(19)

juga oleh hipertermia, sekunder dari infeksi intrauterin. Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janini atau asidosis. Sebaliknya bila DJJ normal, adanya mekoneum dalam cairan amnion tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin.

Sebagai kepentingan klinik perlu ditetapkan kriteria apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin bila ditemukan denyut jantung janin diatas 160/menit atau dibawah 100/menit, denyut jantung janin tidak teratur, atau keluarnya mekoneum yang kental pada awal persalinan (Prawihardjo, 2009; hal:621).

Ketuban pecah dini merupakan komplikasi yang mempunyai kontribusi besar kepada angka kematian perinatal terutama pada bayi yang kurang bulan. Sementara pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu (preterm) sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS (respiration dystress syndrome) (Nugroho, 2009; hal:150).

4. Kewenangan bidan

Penanganan kasus ketuban pecah dini yang termasuk dalam kewenangan bidan yaitu :

a. Memberikan inform consent pada pasien dan keluarga setelah dilakukan beberapa rangkaian pemeriksaan objectif pada pasien. b. Melakukan penatalaksanaan awal terhadap kasus ketuban pecah

(20)

c. Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan yang lebih memadai jika pasien berada di bidan praktek mandiri atau melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan dokter spesialis untuk diberikan antibiotik profilaksis dan dilakukan induksi persalinan di Puskesmas atau Rumah Sakit (Maryunani A, 2013; h:216-217)

Penanganan kasus gawat janin yang termasuk dalam kewenangan bidan menurut Sarwono (2010), pemantauan dasar janin salah satunya yaitu auskultasi DJJ yang teratur selama persalinan, hendaknya dilakukan setiap 15 menit dan setelah setiap kontraksi pada kala II. Apabila ditemukan gawat janin, maka dilakukan tindakan resusitasi intrauterin yaitu penderita dimiringkan ke sebelah kiri, beri oksigen dengan masker dan hentikan pemberian oksitosin serta hidari hiperstimulasi. Hal ini dilakukan selama 20 menit kemudian evaluasi tindakan. Gawat janin yang tidak teratasi merupakan kekhawatiran obstetris yang perlu dilakukan tindakan persalinan dengan seksio sesarea.

B. Kerangka Teori

(21)

meninngi serta polihidramnion, kemudian faktor janin yaitu gamelli dan kelainan letak serta faktor lain dari keadaan sosial ekonomi dan merokok yang kemudian mengakibatkan KPD (Norma, 2013).

KPD dapat menimbulkan beberapa komplikasi yaitu prematuritas dan persalinan kurang bulan (Varney, 2010). KPD juga dapat menimbulkan infeksi intrauterin, oligohidramnion dengan berkurangnya cairan ketuban yang menjadikan tekanan langsung tali pusat dan isolasi retroplasenter sirkulasi kemudian terjadi baroreseptor (terangsang karena perubahan tekanan darah) dan kemoreseptor (terangsang karena PO₂ dan perubahan pH darah), sehingga menyebabkan gangguan keseimbangan saraf otonom janin pada saraf parasimpatis yaitu mengalami bradikari dan pengeluaran mekoneum yang terjadi akibat peristaltik usus dan sfingter ani terbuka.

(22)

Gambar 2.1 Kerangka Teori

(Kriebs, 2010, Norma, 2013, Manuaba, 2008)

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait