• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pada kenapa sih kok lemes? Aku tahu kok kalo kalian tuh lagi nggak sakit, ujarnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pada kenapa sih kok lemes? Aku tahu kok kalo kalian tuh lagi nggak sakit, ujarnya."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1

Malika menghampiri kedua sahabatnya, Susi dan Anna, yang tengah tiduran di ruang UKS. Segera cewek manis berambut panjang dan berponi tersebut menyapa mereka dengan tatapan heran.

“Pada kenapa sih kok lemes? Aku tahu kok kalo kalian tuh lagi nggak sakit,” ujarnya.

Anna dan Susi tak segera menjawab. Mereka bangkit, lalu berpandangan sesaat, kemudian kembali merebahkan tubuhnya dengan malas-malasan.

“Kenapa sih tiap kali habis latihan basket bukannya tambah semangat, eh, malah jadi loyo? Bukannya kalian sendiri yang bilang kalo di klub basket tuh ada makhluk yang tampannya luar biasa, yang bisa kalian anggap sebagai oase di tengah padang pasir yang gersang, yang bisa membuat hidup kalian senantiasa bersemangat?” Malika berujar dengan gaya dramatis. “Lah, kalo kayak gini mending gak usah gabung sama klub basket aja kenapa? Buang-buang waktu tau,” cewek itu duduk di samping mereka.

“Semua sia-sia, Ka. Usaha kami nggak membuahkan hasil,” Anna membuka suara. Malika mengangkat alis. “Maksudnya?”

Kedua sahabatnya itu kembali bangkit, menarik nafas panjang, hampir bersamaan.

“Kamu „kan tahu, Ka. Tujuan kami ikut klub basket „kan untuk mendekati si Moreno itu. Tapi, ya ampun, tuh anak belagu banget. Sombongnya selangit. Ia ibarat bongkahan es dari kutub utara yang tak terjamah oleh manusia. Jarang senyum, jarang ketawa, jarang ngomong. Sekali ngomong, eh, nyakitin perasaan tau gak?” Anna mulai curhat.

“Iya nih, cakep-cakep tapi juteknya minta ampun,” Susi menambahkan. Malika mendengarkan mereka dengan gaya sok.

Ya, ia juga udah tahu kok tentang sosok Moreno. Mereka bener. Keponakan pak Kepala Sekolah itu emang gantengnya selangit. Pokoknya, tingkat kegantengannya di atas rata-rata deh. Selain itu, ia juga pinter, pinter banget malahan.

Beberapa kali ia mewakili sekolah untuk mengikuti lomba maupun olimpiade. Dan hasilnya tak pernah mengecewakan. Cuma ya itu tadi, dia punya masalah dengan attitude. Anaknya belagu, sombong dan gak pernah bisa ramah dengan orang lain.

Tapi meskipun begitu, tetap aja tuh seabrek cewek-cewek yang rela jatuh bangun untuk ngejar-ngejar cintanya. Banyak yang mengatakan bahwa memperjuangkan cinta Moreno serasa ikut lomba lari marathon 100 km.

Wuih, kesannya sih jadi kayak sebuah tantangan besar gitu!

“Udah deh, nggak usah ngejar-ngejar dia kenapa sih? Dia „kan udah punya banyak penggemar. Pastinya, saingan kalian tambah banyak,” ucap Malika kemudian.

Anna dan Susi berpandangan.

“Wah, nggak bisa gitu dong, Ka,”

(2)

“Biarpun Moreno jutek, tetep aja ia cakep. Tetap aja ia nyenengin. Nyenengin untuk dilihat, nyenengin untuk di deketin, dan nyenengin juga untuk di kejar-kejar. Pokoknya kami tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan, Ka. Cowok itu emang pantes untuk diperjuangkan,”

Malika melongo melihat tingkah kedua temannya.

“Kalian ini gimana sih? Katanya nyebelin, kok masih aja dikejar-kejar? Heran deh,” Anna dan Susi nyengir.

“Habisnya, tuh cowok bener-bener keren sih,” Susi menambahkan. Malika hanya mencibir. “Sinting deh,” gerutunya.

“Tapi, tetep aja dia harus dikasih pelajaran,” “Siapa?”

“Ya Moreno-lah. Siapa lagi?” Anna menatap Malika dengan yakin.

“Maksudnya?” Malika hanya bengong. Sementara Anna dan Susi saling berpandangan dengan yakin. Jelas, ada sesuatu yang mereka rencanakan.

“Ntar sore aja kita ke rumahmu, Ka. Kita bicarakan ini di rumahmu. Oke?” Malika kembali menatap kedua sahabatnya dengan bego.

“Ada apaan sih?” teriaknya. Tapi percuma, toh kedua sahabatnya menolak memberitahunya sekarang.

~ * ~

Sorenya, Anna dan Susi menyeruak ke dalam kamar Malika tanpa permisi, seperti biasanya. Dan mereka langsung menghempaskan tubuh mereka ke atas tempat tidur.

“Oke, ada kepentingan apa kalian dateng kemari?” tanya Malika heran sambil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa yang berda di dekat jendela.

“Lho, sejak kapan maen ke rumah temen sendiri di larang?”

“Lah, siapa yang melarang? Aku „kan cuma nanya, ada kepentingan apa kalian dateng kemari?” Malika berjengit.

“Oh gitu ya? Hehe,” Anna nyengir.

“Udah, ngomong aja ada apa. Aku tahu kok kalo kedatangan kalian ke sini, pasti ada udang di balik rempeyek,” ucap Malika lagi.

Kedua sahabatnya saling tatap. Tuh „kan, pasti ada yang gak beres.

“Emang ada udang di balik rempeyek kok,” jawab mereka kemudian. “Apaan?”

(3)

Kedua cewek cantik itu memperbaiki posisi duduknya lalu menatap Malika dengan serius. Astaga, Malika jadi deg-degan kalo situasinya jadi serius begini?

“Kamu masih ingat „kan tentang pembicaraan kita tadi pagi?” Malika mengernyitkan dahinya.

“Pembicaraan yang mana?” “Tentang Moreno,”

“Oh, itu. Terus?”

“Kita berdua udah sepakat kalo si Moreno itu sebaiknya di kerjain aja,” Malika melotot.

“Dikerjain? Ya, terserah. Suka-suka kalian aja-lah,” jawabnya. Cewek manis itu mulai merasakan ada yang tidak beres ketika kedua sahabatnya menatapnya dengan tatapan aneh.

“Oh, enggak, enggak. Aku nggak mau terlibat urusan apapun dengan cowok itu. Kalau kalian emang mau ngerjain dia, kalian kerjakan aja sendiri,” Malika menebak dengan cepat apa yang tengah dipikirkan oleh kedua sahabatnya tersebut.

“Tapi, Ka. Ini cuma cocok di kerjain sama kamu. Ayolah, just for fun aja kok,” “Kenapa harus aku?” Malika protes.

“Kamu „kan dasarnya udah jahil. Jadi pas banget deh,” “Enggak,”

“Cuma nyumbangin suara aja kok,”

“Maksudnya?” Malika kembali mengernyitkan dahinya. “Iya, tugasmu cuma neror dia pake hape. Mudah „kan?”

“Kalo gitu, kenapa gak kalian sendiri aja yang melakukannya?” “Kita gak bisa akting,” Susi menyela.

“Ya udah, di sms-in aja terus, ntar juga keganggu „kan?” “Kalo cuma di-sms sih gak seru, Ka,”

Anna meraih tas plastik hitam yang sejak tadi di bawanya, lalu mengeluarkan sebuah hape baru dan berpuluh-puluh kartu perdana. Malika melongo.

“Ya ampun, apa-apaan ini?” tanyanya.

“Kita udah nyiapin semuanya. Ada hape baru, dan berpuluh-puluh kartu perdana. Habis telpon, langsung buang „n ganti kartu baru. Dengan begitu, kita gak akan ketahuan. Gimana?”

Malika cepat-cepat menggeleng.

“Enggak ah. Aku mending nonton film daripada melakukan hal-hal gak penting kayak gini,” ucapnya.

(4)

“Ya udah deh, mau dvd film apa? Biar kami belikan. Asaaaal, kamu mau melakukan hal ini untuk kami,”

Kedua mata Malika mulai jelalatan ketika mendengar tawaran itu. Dvd film apa? Tentu saja ia punya seabrek judul film yang ingin ia beli sejak berbulan-bulan yang lalu, dan tentunya untuk nambah koleksi dvd film yang udah numpuk di rak kamarnya. Tawaran itu terdengar menggiurkan. Tapi___

“Enggak deh, aku bener-bener gak mau berurusan dengan Moreno,” jawabnya kemudian. Ia benar-benar kekeuh menolak rencana Anna dan Susi. Bahkan ketika mereka berkali-kali memohon dengan tulus padanya, Malika tetap saja menolak.

Tapi, kejadian di siang itu ternyata merubah pendiriannya...

Waktu itu, pas waktu istirahat kedua, Malika tengah menatap ulangan di tangannya. Raut mukanya ditekuk, cemberut, jalanpun seenaknya. Bete, jelas!

Ulangan matematikanya dapat empat! Dan remidi pasti sudah menunggu di depan matanya. Berkali-kali cewek berhidung bulat itu menggerutu dan menyalahkan dirinya sendiri. Siapa suruh dia bodoh dalam matematika?

Tiba-tiba, wuuurrr…

Angin nakal berhembus hingga menyebabkan kertas ulangan di tangannya melayang dan jatuh beberapa meter darinya. Ia beranjak untuk memungutnya, tapi niatnya keburu di dahului oleh orang lain. (Ih, klise banget „kan? Tapi emang bener gitu kejadiannya!) Dan kini, kertas ulangan itu berada di tangan seorang cowok jangkung berkulit bersih. Moreno!

Kok bisa kebetulan yang teramat kebetulah sih? (Whatever-lah...)

“Ini hasil ulanganmu?” cowok itu bertanya sambil menatap kertas ulangan di tangannya. Entah kenapa Malika merasa bahwa ia perlu menyiapkan kuda-kuda. Well, peperangan akan segera di mulai,

maybe ...

“Soal segini mudah cuma dapat nilai empat? Adikku yang baru kelas 5 SD aja bisa ngerjain ini dengan mudah hanya dalam waktu lima menit,”

Malika melotot. Kata-kata cowok di depannya ibarat bongkahan batu yang melesat ke kapalanya. Cepat-cepat ia menyambar kertas ulangan tersebut dari tangan Moreno.

“Aku nggak minta pendapatmu untuk mengomentari hasil ulanganku!” ucapnya ketus. Moreno menatapnya lekat.

“Kamu anak baru ya? Kok aku baru melihatmu?” Jreeeengg! Malika terlonjak.

Dia menyebutku anak baru!?

Cewek itu berkacak pinggang sambil menatap Moreno dengan tatapan penuh amarah.

“Denger ya, aku tuh udah sekolah di sini selama hampir 2 tahun. Kelasku bahkan berada tepat di depan kelasmu!! Bagaimana mungkin kamu menyebutku anak baru!?,” teriaknya. Malika beranjak.

(5)

Moreno menatap kepergiannya dengan heran.

Dan, sejak saat itulah, Malika berubah pikiran soal rencana kedua sahabatnya. Ia setuju untuk ngerjain Moreno!

“Okeee, aku harus ngomong apa?” tanya Malika sambil menimang-nimang phonsel di tangannya.

Anna dan Susi tersenyum hampir bersamaan. Mereka membisikkan sesuatu ke telinga Malika. Malika terhenyak.

Whattt?? Kenapa harus bilang begitu? Yang lain aja kenapa sih?” teriaknya.

“Udah, lakuin aja-lah. Ditanggung seru,” Malika terdiam sesaat.

“Aku pasti udah gila,” gumamnya. Anna dan Susi mengiyakan ucapan Malika.

Yep,” mereka menjawab hampir bersamaan.

Malika melotot ke arah teman-temannya dengan kesal.

~ * ~

Moreno sedang rebahan di tempat tidur sambil membolak-balik majalah otomatif ketika phonselnya berdering. Jam di dinding kamarnya yang bernuansa biru menunjukkan tepat pukul Sembilan malam.

Dengan berbekal rasa malas karena ia merasa tak kenal dengan nomor yang tertera di layar, tetap saja ia menerima telpon tersebut.

“Hallo,”

“Selamat malam, Moreno?”

“Ya, dari siapa ya?” Sejenak tak ada jawaban.

“Ini dari Dewi Cinta, pacarmu,”

Moreno mengernyitkan dahinya. “Pacar__siapa?”

“Pacarmu,”

“Maaf, kamu pasti salah sambung,”

“Secepat itukah kamu melupakanku?,”

(6)

“Apakah kamu nggak cinta sama aku lagi?”

“Eh?”

Moreno kembali mengernyitkan dahinya.

“Kenapa kamu lakukan ini padaku, Moreno? Bukankah kita sudah saling mengenal sejak usia kita 10 tahun? Kita bahkan sudah berikrar kalau kita akan menjadi sepasang kekasih yang tidak terpisahkan. Kamu bahkan sudah berjanji bahwa kamu akan menikahi aku kalo usia kita udah 25 tahun. Semudah itukah kamu melupakan semuanya? Tentang kita?”

Moreno tergelak.

“Sori, ini pasti salah___”

“Kamulah segalanya bagiku, Moreno. Aku bener-bener gak bisa hidup tanpa kamu. Ingatlah itu,”

Moreno melongo. Belum sempat ia bicara lagi, telpon keburu di tutup. Ia menatap phonselnya dengan gemas.

“Dasar cewek aneh,” ia menggumam sembari kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia tak mengacuhkan telpon tadi dan menganggapnya salah sambung.

Kenyataannya, kejadian hari itu terulang lagi, di hari berikutnya…

Moreno sedang makan malam dengan seluruh anggota keluarganya ketika telpon rumah berdering. Tadinya mamanyalah yang hendak beranjak untuk mengangkat telpon tersebut, tapi Moreno mencegahnya.

“Biar Moreno aja, Ma, yang angkat. Mama lanjutian aja makan malamnya,” ucapnya seraya bangkit dari tempat duduknya dan bergerak ke arah telpon yang tengah berdering dengan nyaring.

“Selamat malam,” sapanya. Sejenak tak ada jawaban dari si penelpon. “Halo, selamat malam,” ia kembali menyapa.

“Halo, ini aku, Dewi cinta, pacarmu,”

Moreno mengangkat alis. “Kamu?”

“Kenapa kamu nggak mau menghubungi aku? Nggak mau nemui aku? Apakah aku sudah nggak berarti lagi untukmu?”

“Tunggu,”

“Aku nggak mau putus denganmu, Moreno. Tolong jangan lakukan ini padaku. Aku pasti jadi pacar yang baik buat kamu karena aku bener-bener nggak bisa hidup tanpa kamu,”

Moreno kelabakan, suara cewek dari seberang sana mulai terisak. Ia menangis! “Kamu siapa sih?”

(7)

“Aku Dewi Cinta, pacarmu. Harus berapa kali aku bilang padamu?”

“Aku nggak kenal sama kamu,”

Tangis dari seberang sana kian menjadi-jadi. Dan Moreno kembali melongo. Tiba-tiba telpon di putus. “Pake nangis lagi?” ia menggumam.

“Siapa sayang?” tanya mamanya. Moreno mengangkat bahu seraya kembali ke tempat duduknya.

“Salah sambung, Ma,” jawabnya. Ia ingin melupakannya, tapi ia tak bisa.

“Eh, Ma, dulu waktu aku masih kecil, apakah mama masih ingat kalo aku punya temen sepermainan bernama Dewi Cinta?” Akhirnya ia menanyakan hal itu. Papa dan mama Moreno terdiam sesaat dan saling pandang.

“Kamu „kan menghabiskan masa kecilmu di Belanda bersama nenekmu. Kamu baru kembali ke Indonesia ketika usiamu sudah 12 tahun,”

“Emang sih,” Moreno manggut-manggut,

“Lantas, apa di sana kamu punya temen yang bernama Dewi Cinta?” Moreno menggeleng.

“Kalo di sini?”

“Seingatku sih enggak, Ma. Temen-temen masa kecilku di sini „kan cuma Sonia, Miko, Santi, Astrid dan Mita. Seingatku sih nggak ada yang namanya Dewi,”

“Nah, kalo kamu aja nggak ingat, apalagi kami,”

“Iya juga sih, Pa,” Moreno kembali manggut-manggut.

“Memangnya ada apa sih, sayang?” tanya mamanya lagi. Cowok beralis tebal itu tersenyum dan menggeleng.

“Nggak ada apa-apa kok, Ma. Cuma nanya aja,” jawabnya.

Moreno ingin mengabaikan telepon tersebut, tapi ternyata kejadian itu terus terulang. Lagi, dan lagi.

Dewi Cinta tidak hanya menelponnya, tapi terkadang mengirimkan puisi cinta dan juga kata-kata manis lewat pesan singkat, dan selalu dari nomor yang berbeda...

Aku akan jadi pacar yang baik buat kamu Moreno... [ Dewi Cinta]

(8)

Jangan pernah meninggalkanku .... [ Dewi Cinta ]

Aku akan selalu mencintaimu, dengan sepenuh hatiku. Sampai maut memisahkan... [ Dewi Cinta ]

Cinta kita abadi selamanya .... [ Dewi Cinta ]

Dan Moreno hanya bisa menatap pesan-pesan singkat itu dengan gemas dan geregetan!

Referensi

Dokumen terkait