• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Teknologi dan Material Nano

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Teknologi dan Material Nano"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Teknologi dan Material Nano

Geliat teknologi nano saat ini membawa perkembangan yang fantastis di bidang teknologi material. Para ahli teknologi nano berlomba-lomba mengembangkan material-material baru yang lebih kecil dan rinci daripada yang selama ini sudah ditemukan. Pada dasarnya, teknologi nano merupakan salah satu bidang sains. Bidang itu bertujuan mengawal atom dan molekul secara individu untuk, antara lain, membuat cip komputer dan piranti lain yang lebih kecil daripada yang dimungkinkan teknologi masa kini. Namun, dalam aplikasinya saat ini, teknologi tersebut ternyata telah merambah ke berbagai aspek.

Di bidang biologi, partikel-partikel cahaya berukuran nano diaplikasikan untuk bisa menembus tubuh manusia, hewan, atau tumbuhan dan menciptakan sistem pencitraan terhadap suatu partikel. Dalam dunia biokimia, para ahli berharap bisa mengembangkannya lebih jauh, yakni menjadikan atau menyebarkan virus sebagai kamera-nano untuk mendapatkan gambaran dan informasi yang akurat serta unik dari serangkaian proses dalam sel hidup. Hal itu juga bertujuan memperoleh data mengenai cara kerja virus. Informasi itu amat penting bagi perkembangan dunia pengobatan dan pertanian, apalagi saat ini di tengah-tengah gencarnya serangan berbagai virus yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Dengan mengenal kerja virus diharapkan bisa lebih diketahui cara untuk menghambat atau menanggulangi serangannya terhadap manusia, hewan, atau tanaman (Anonim, 2006).

Material nano didefinisikan berdasarkan standar ukuran suatu materi, baik yang tersusun atas unsur organik maupun inorganik, pada tingkat satuan nanometer. Material nano didefinisikan memiliki dimensi <100 nm. Penelitian pada material nano sangat menarik karena dengan ukuran yang sudah mendekati ukuran suatu atom, maka sifat permukaan dan reaktivitas serta efisiensi dan efektivitas reaksi kimia yang melibatkan suatu material nano dapat dikaji lebih rinci dan lebih mendalam (Abidin, 2003 dalam Sugiarti et al., 2010).

(2)

Mineral Liat

Mineral liat adalah mineral yang berukuran kurang dari 2 µ. Mineral liat dalam tanah terbentuk karena: (1) rekristalisasi (sintesis) dari senyawa-senyawa hasil pelapukan mineral primer atau (2) alterasi (perubahan) langsung dari mineral primer yang telah ada (misalnya mika menjadi illit). Mineral liat dalam tanah dapat dibedakan atas: (1) mineral liat Al-silikat, (2) oksida-oksida Fe dan Al, dan (3) mineral-mineral primer. Mineral liat Al-silikat dapat dibedakan atas: (1) mineral liat Al-silikat yang mempunyai bentuk kristal yang baik (kristalin) misalnya kaolinit, haloisit, montmorilonit, dan ilit; serta (2) mineral liat Al-silikat amorf.

Asal Muatan Negatif pada Mineral Liat

Adanya muatan negatif pada mineral liat silikat disebabkan oleh beberapa hal (Brady 1974):

1. Kelebihan muatan negatif pada ujung-ujung patahan kristal baik pada Si-tetrahedron maupun Al-oktahedron.

2. Disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal. Pada pH rendah (masam) ion H menjadi mudah lepas sehingga muatan negatif meningkat. Keberadaan gugus OH pada tepi kristal atau pada bidang yang terbuka dapat menimbulkan muatan negatif. Khususnya pada pH tinggi, hidrogen dari hidroksil tersebut terurai sedikit dan permukaan liat menjadi bermuatan negatif yang berasal dari ion oksigen. Muatan negatif ini disebut muatan berubah-ubah atau muatan tergantung pH. Besaran dari muatan berubah-ubah ini beragam tergantung pH dan tipe koloid. Jenis muatan ini sangat penting pada liat tipe 1:1, liat oksida besi dan aluminium, dan koloid organik.

3. Substitusi isomorfik, yaitu penggantian kation dalam struktur kristal oleh kation lain yang mempunyai ukuran yang sama tetapi muatan (valensi) yang berbeda. Pada umumnya kation yang menggantikan mempunyai muatan yang lebih rendah daripada yang digantikan, misalnya Mg2+ atau Fe2+ menggantikan Al3+ dalam Al-oktahedron, atau Al3+ menggantikan Si4+ dalam Si-tetrahedron sehingga terjadi kelebihan muatan negatif pada liat. Proses ini dianggap

(3)

sebagai sumber utama muatan negatif dalam liat tipe 2:1. Muatan negatif yang dihasilkan dianggap sebagai muatan permanen, karena tidak berubah dengan berubahnya pH. Kemudahan terjadinya substitusi isomorfik tergantung pada ukuran dan valensi ion yang terlibat. Proses ini hanya terjadi antara ion-ion berukuran sebanding. Perbedaan dalam dimensi ion-ion-ion-ion yang saling berganti dilaporkan tidak lebih dari 15%, dan valensi ion-ion yang saling berganti seharusnya tidak berbeda lebih dari satu satuan (Paton, 1978).

Asal Muatan Positif pada Mineral Liat

Koloid tanah dapat juga menunjukkan muatan positif seperti halnya muatan negatif. Proton tidak hanya dapat terdisosiasi dari gugus OH yang terbuka, tetapi yang disebut belakangan dapat juga menjerap atau memperoleh proton. Proses ini, yang hanya penting pada media sangat masam, menghasilkan muatan positif. Ion-ion H+ dan OH-, yang menyebabkan timbulnya muatan permukaan, juga bertanggung jawab atas potensial permukaan listrik. Oleh karena itu, mereka disebut ion-ion penentu potensial.

Muatan positif memungkinkan terjadinya reaksi pertukaran anion dan sangat penting dalam retensi fosfat. Muatan tersebut diperkirakan berasal dari protonasi atau penambahan ion H+ ke gugus hidroksil. Mekanisme ini tergantung pada pH dan valensi dari ion logam. Biasanya proses ini hanya berarti pada liat oksida Al dan Fe, tetapi hal ini kurang penting pada oksida Si (Tan, 1991).

Alofan sebagai Material Nano

Nano-ball allophane dan nano-tube imogolite adalah mineral aluminosilikat yang banyak ditemukan di tanah-tanah volkan sebagai hasil pelapukan dari abu volkan. Penelitian tentang nano-ball allophane dan nano-tube imogolite dapat dikatakan lambat sekali dibandingkan dengan material nano lainnya seperti carbon nano-ball dan carbon nano-tube. Kedua material terakhir ini baru ditemukan di era tahun 1985-1991. Namun, Robert Curl, Harold Kroto, dan Richard Smalley sudah mendapatkan hadiah Nobel di tahun 1996 di bidang kimia atas penemuan struktur carbon nano-ball (Henmi dan Wada, 1976).

(4)

Allophane dan imogolite sudah ditemukan lebih dari 40 tahun lalu, yaitu pada tahun 60-an. Namun, penelitian mendalam mengenai alofan masih jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti struktur kimianya yang masih sulit dianalisis menggunakan difraksi sinar-X (XRD) dan metode sintesisnya yang hanya bisa dilakukan pada konsentrasi rendah. Analisis XRD pada sample nano-ball allophane akan memberikan suatu difraktogram yang hampir tanpa atau tidak ada puncak. Sementara para ahli mineralogi liat dan kristalografi selalu menyatakan bahwa mineral liat harus memiliki suatu keteraturan dalam struktur kristalnya sehingga dapat dideteksi menggunakan XRD yang ditandai oleh adanya puncak-puncak pada difraktogramnya. Oleh karena itu,

nano-ball allophane sebelum ini selalu didefinisikan oleh para ahli mineralogi liat dan kristalografi sebagai mineral yang tidak memiliki keteraturan atom dalam penyusunan struktur kristalnya atau dikenal sebagai mineral amorf (Henmi dan Wada, 1976).

Abidin (2003 dalam Sugiarti et al., 2010) membuktikan bahwa alofan adalah suatu mineral liat yang memiliki struktur kimia dan bukan mineral amorf dengan didapatkannya suatu keteraturan polyhedral untuk membuat struktur kimia yang bulat. Dengan ditemukannya keteraturan tersebut, struktur alofan dapat disusun menjadi berbagai macam diameter sebagai isomorfiknya. Abidin (2008 dalam Sugiarti et al., 2010) menunjukkan tiga isomorf dari nano-ball allophane

dengan ukuran diameter 1.5, 3.0, dan 4.25 nm. Hasil pengamatan mikroskop elektron menunjukkan bawa diameter alofan adalah antara 3.0 sampai 5.0 nm (Henmi dan Wada, 1976). Lebih lanjut, ukuran dari isomorfik struktur nano-ball allophane yang ideal dan mirip dengan yang ditemukan di lingkungan alam adalah berdiameter 4.25 nm (Abidin et al., 2005). Dengan demikian, alofan dan imogolit tergolong sebagai material nano karena berukuran <100 nm.

Di samping memiliki bentuk yang sangat unik yaitu seperti bola, alofan merupakan mineral liat yang sempurna sebagai satu unit partikel. Dengan demikian telah dibuktikan bahwa alofan merupakan sebuah unit partikel dengan posisi atom-atom penyusun yang telah diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, maka dilakukan pendefinisian baru pada nama allophane sebagai mineral liat yaitu Nano-Ball Allophane (Abidin, 2003 dalam Sugiarti et al., 2010). Penemuan

(5)

ini adalah yang pertama kali di dunia dan struktur kimia nano-ball allophone ini masih terus divalidasi dengan mengunakan simulasi perhitungan kimia (Abidin, 2008 dalam Sugiarti et al., 2010).

Sifat Fisik dan Kimia Alofan

Alofan merupakan mineral liat tanah yang paling reaktif karena mempunyai permukaan spesifik yang sangat luas dan mempunyai banyak gugus fungsional aktif (Farmer et al., 1983). Adanya alofan memberikan sifat-sifat unik pada Andisol. Hal ini karena alofan mempunyai muatan bervariasi (variable charge) yang besar, bersifat amfoter, KTK 20-50 cmol.kg-1, KTA 5-30 cmol.kg-1, struktur acak dan terbuka, serta dapat mengikat fosfat (Tan, 1992; van Ranst, 1995 Wada, 1989). Akibat kuatnya fiksasi fosfat oleh mineral ini, maka ketersediaan fosfat yang mudah larut pada Andisol akan berkurang.

Alofan yang mempunyai rasio molar Al/Si 2,0 telah diidentifikasi pada Andisol di Selandia Baru dan Jepang serta di tanah Podzol di Skotlandia (Parfit dan Henmi, 1982). Hasil identifikasi tersebut menjadi data dasar dalam menentukan pengelolaan Andisol di wilayah tersebut. Alofan termasuk kelompok aluminosilikat alam yang komponen utamanya terdiri dari Si, Al, dan H2O. Rasio

molekul Si/Al mineral ini 1/1 atau 2/1, serta mempunyai struktur mineral yang acak dan terbuka/berpori. Antara lembar tetrahedral dan oktahedral terdapat banyak daerah kosong sehingga molekul air dapat dengan mudah keluar masuk, dan anion seperti fosfat dan amonium dapat terjerap. Alofan mempunyai permukaan spesifik yang luasnya mencapai 1100 m2.g-1. Luas permukaan yang besar ini mengakibatkat sistem koloid tanah menjadi sangat reaktif sehingga pertukaran kation, anion, jerapan air, dan fiksasi menjadi lebih tinggi (Tan, 1992). Identifikasi alofan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: (1) pengukuran pH setelah diperlakukan dengan pengekstrak kuat seperti NaF yang akan menghasilkan data kualitatif dan semi kuantitatif, (2) pengukuran retensi fosfat (Blakemore, 1987) yang menghasilkan data kualitatif, (3) pengukuran dengan DTA (Differential Thermal Analysis) yang mengungkapkan keberadaan alofan secara kualitatif, (4) penggunaan mikroskop elektron yang menghasilkan data kualitatif, (5) pemakaian larutan ammonium oksalat, DCB (Dithionite Citrate

(6)

Bicarbonate) dan asam pirofosfat yang dikenal sebagai selective dissolution untuk menghasilkan data kualitatif dan kuantitatif, serta (6) pemakaian spektroskopi inframerah yang menghasilkan data kualitatif.

Tuf Volkan sebagai Sumber Material Nano Alami

Letusan gunung berapi melontarkan berbagai bahan hamburan dari dalam bumi ke permukaan bumi dan udara. Endapan yang dihasilkan bertekstur klastika. Apabila bahan hamburan itu dihasilkan oleh letusan nonmagmatik, maka endapannya disebut endapan hidroklastika. Bahan hamburan yang langsung berasal dari magma (primary magmatic materials) disebut piroklas, sedangkan onggokan-onggokan piroklas di permukaan bumi disebut endapan piroklastika (pyroclastic deposits) dan setelah mengalami litifikasi menjadi batuan piroklastika (pyroclastic rocks) (Fischer dan Schmincke, 1984 dalam Bronto, 2001). Istilah

pyroclast berasal dari kata pyro (bahasa yunani) yang berarti api atau clast yang berarti bahan hamburan butiran, fragmen, kepingan atau pecahan batuan. Oleh sebab itu, piroklas adalah fragmen pijar atau butiran yang mengeluarkan api (berpendar/membara) pada saat dilontarkan dari dalam bumi ke permukaan melalui kawah gunungapi. Terbentuknya api tersebut dikarenakan magma yang mempunyai temperatur tinggi (900-1200 oC) tiba-tiba dilontarkan ke permukaan bumi yang temperatur rata-ratanya kurang dari 35 oC.

Berdasarkan ukuran butirnya, bahan piroklastika dan hidroklastika dibagi menjadi: (1) bom volkanik atau blok volkanik (volcanic bomb atau volcanic block) yang berdiameter ≥64 mm, (2) lapili yang memiliki diameter 2-64 mm, dan (3) abu volkanik (volcanic ashes) yang berukuran ≤2 mm (Fischer dan

Schmincke, 1984 dalam Bronto, 2001). Abu volkan yang jatuh ke permukaan dan memadat karena air membentuk batuan yang disebut tuf volkan (Anonim, 2008). Dari proses pelapukan bahan induk tuf volkan akan dihasilkan mineral liat aluminosilikat nano-ball allophane dan nano-tube imogolite. Dengan demikian, dari bahan tuf volkan yang sudah melapuk tetapi belum terlapuk lanjut akan dapat diekstraksi alofan dan imogolit, karena ukurannya yang berdimensi <5 nm dan sifat kimia permukaannya yang sangat reaktif, merupakan material nano alami.

(7)

Gunung Lawu

Gunung Lawu secara geomorfologis berada di zona tengah Jawa Tengah. Zona ini merupakan suatu depresi yang diisi oleh endapan vulkanik muda dan termasuk dalam deretan Gunungapi Kuarter dengan bentuk strato. Aktivitas gunungapi pada zona ini umumnya menghasilkan batuan berkomposisi andesitik sampai basaltik, baik berupa batuan lepas dalam bentuk remah-remah gunungapi berbutir halus sampai kasar (piroklastik), maupun batuan padu dalam bentuk aliran maupun kubah lava (Pannekoek, 1949).

Gunung Lawu memiliki ketinggian 3265 meter, dengan koordinat geografis 7.625o LS dan 111.192 BT. Tipe volcanonya adalah stratovolcano. Gunung Lawu terakhir meletus pada tahun 1885 (Anonim, 2006).

Batuan Gunung Lawu dapat dipisahkan menjadi batuan Gunungapi Lawu Tua (kompleks Jobolarangan) dan batuan Gunungapi Lawu Muda. Aliran lava yang bersumber dari beberapa kerucut tersebar di bagian badan Gunungapi Lawu Tua dan Gunungapi Lawu Muda.

Petrografi Kompleks Gunungapi Lawu Tua (Gunung Jobolarangan) adalah sebagai berikut: (a) Breksi Jobolarangan (Qvjb), tersusun atas breksi gunungapi, setempat bersisipan lava andesit. Umumnya menempati bagian puncak kompleks Gunungapi Lawu Tua, yaitu di Kabupaten Karanganyar bagian Selatan dan sedikit di bagian Timurlaut. Warna batuan kelabu kecoklatan, dan bila lapuk menjadi kemerahan, berada pada kemiringan lereng antara 30-50% dengan tebal lapisan mencapai puluhan meter. Kelompok ini disisipi lava andesit berwarna kelabu kehitaman. Contoh sisa breksi gunungapi yang dikelilingi endapan lahar adalah: Gunung Nguworak, Gunung Bulu, dan Gunung Kukusan di Baratlaut Gunungapi Lawu Tua; (b) Lava Sidoramping (Qvsl), berupa lava andesit. Lava ini bertekstur alir yang berasal dari kompleks Sidoramping, Gunung Puncakdalang, Gunung Kukusan dan Gunung Ngampiyungan, yang secara umum mengalir ke arah Barat. Warna dominan kelabu tua dan tersusun atas plagioklas, kuarsa dan felspar.

Petrografi Kompleks Gunungapi Lawu Muda adalah sebagai berikut: (a) Batuan Gunungapi Lawu (Qvl), terdiri atas tuf breksian dan breksi tufaan bersisipan lava andesit. Tuf breksian berwarna coklat kemerahan, umumnya lapuk dan berukuran 2-10 cm. Tersusun atas mineral andesit, kuarsa, felspar, kepingan

(8)

kaca gunungapi, batuapung, dan sedikit piroksin serta amfibol. Felspar sebagian berubah menjadi liat dan klorit, dengan tebal lapisan >2 meter. Breksi tufaan berwarna kelabu coklat, bila lapuk berwarna coklat kemerahan, memiliki ukuran antara 1-10 cm, dengan tebal lapisan >5 meter. Lava andesit berwarna kelabu, tersusun atas mineral plagioklas, felspar sedikit kuarsa dan mineral mafik. Umumnya berstruktur leleran dengan ketebalan lapisan sekitar 2 meter. Satuan batuan ini mempunyai persebaran luas, mulai dari kerucut, lereng, hingga kaki gunungapi; (b) Lava Condrodimuko (Qvcl) terdiri atas lava andesit berwarna kelabu tua, yang tersusun atas mineral andesit, kuarsa, felspar, sedikit hornblende, piroksin, dan mineral bijih. Leleran yang berasal dari kawah Condrodimuko ini mengalir ke arah Baratdaya. Bagian Baratlaut dibatasi oleh sesar turun yang memotong puncak Gunungapi Lawu, sementara aliran yang ke Selatan dibatasi oleh sesar Cemorosewu. Satuan batuan ini mengalir dari kawah Gunung Banyuurip dan menempati morfologi kerucut hingga lereng gunungapi; (c) Lava Anak Lawu (Qvcl) mempunyai karaktersitik seperti Lava Condrodimuko, yang keluar dari salah satu kerucut Lawu Muda di bagian Timurlaut, pada morfologi lereng gunungapi; (d) Lahar Lawu (Qlla) berupa endapan lahar, yang terdiri atas andesit, basalt, dan sedikit batuapung bercampur dengan pasir gunungapi, membentuk perbukitan rendah ataupun mengisi dataran kaki gunungapi. Agihan cukup luas mulai dari Kecamatan Karangpandan hingga batas bagian Barat Kabupaten Karanganyar, yang menempati morfologi kaki hingga dataran kaki gunungapi; (e) Batuan Terobosan Andesitis (Tma), dengan ukuran kristal antara 0,5-1 mm, tersusun atas mineral andesit, ortoklas, kuarsa, bijih, mikrolit plagioklas, dan silika. Sebagian besar felspar berubah menjadi klorit dan liat. Batuan terobosan ini (Gunung Bangun) terdapat pada tekuk lereng antara morfologi kaki dan dataran kaki di bagian Baratdaya (Santosa, 2006).

Amonium sebagai Pencemar Organik Ekosistem Perairan

Ekosistem perairan dapat tercemar oleh pencemar organik ketika terjadi kelebihan bahan organik yang berasal dari pupuk kandang ataupun limbah domestik. Peningkatan kadar bahan organik di perairan mengakibatkan peningkatan jumlah decomposer. Decomposer adalah makhluk hidup yang

(9)

berfungsi untuk menguraikan makhluk hidup yang telah mati, sehingga materi yang diuraikan dapat diserap oleh tumbuhan yang hidup disekitar daerah tersebut (Anonim, 2010). Decomposer ini akan tumbuh dengan cepat dan menggunakan banyak oksigen selama pertumbuhannya. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah oksigen sebagai akibat dari proses dekomposisi yang terjadi. Kurangnya oksigen dapat membunuh organisme perairan. Organisme perairan yang mati akan dipecah oleh decomposer yang mengakibatkan penurunan oksigen lebih lanjut.

Jenis pencemar organik yang dominan adalah amonium, nitrat dan fosfat. Kandungan amonium, nitrat dan fosfat yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan berlebih dari tanaman air dan ganggang. Tanaman dan ganggang yang mati akan menjadi bahan organik di perairan. Peluruhan yang sangat besar dari biomassa tanaman akan menurunkan kandungan oksigen. Proses pertumbuhan tanaman air yang cepat diikuti oleh meningkatnya aktivitas decomposer dan menipisnya kandungan oksigen disebut eutrofikasi.

Sumber pencemar organik di perairan dapat berasal dari aktivitas pertanian dan rumah tangga. Aktivitas pertanian banyak menggunakan pupuk kimia yang bila berlebih akan tercuci ke sungai dan merusak ekosistem perairan serta kehidupan di dalamnya. Kelebihan pupuk dapat meningkatkan kadar amonium, nitrat dan fosfat di dalam air sehingga dapat mengakibatkan proses eutrofikasi. Ternak yang merumput di sekitar sumber air sering menghasilkan produk-produk limbah organik yang tercuci ke dalam air. Hal tersebut juga mengakibatkan kadar bahan organik di air meningkat sehingga kadar nitrogen dalam bentuk amonium atau nitrat meningkat pula dan juga mengakibatkan eutrofikasi.

Selain berasal dari pertanian, pencemar organik juga dapat berasal dari aktivitas rumah tangga atau domestik. Rembesan tinja dari tangki septik ke saluran air terdekat merupakan salah satu sumber pencemaran organik yang menyebabkan eutrofikasi (Anonim, 2006).

Permasalahan yang muncul berkaitan dengan sumber daya air adalah penurunan kualitas air pada beberapa sungai dan sumur. Secara fisik (parameter pH, jumlah zat padat terlarut/ Total Dissolved Solids, dan daya hantar listrik/DHL) sungai-sungai dan sumur yang ada di Indonesia masih dalam keadaan normal. Tetapi secara kimia dan biologi beberapa sungai dan sumur

(10)

terindikasi pencemaran berdasarkan kriteria baku mutu kualitas air (PP 82/2001). Parameter kimia yang terindikasi sebagai bahan pencemar sungai adalah amonium (NH4), fosfat (PO4), detergen (Methylene Blue Active Substance), logam terlarut

Mangan (Mn), Nitrit (NO2), Flourida (F), dan Besi (Fe).

Penyebab utama pencemaran sungai adalah kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk menjaga kualitas perairan sungai. Kebiasaan membuang sampah rumah tangga dan tinja ke sungai-sungai masih saja berlanjut hingga kini. Akibatnya, kadar BOD (Biological Oxygen Demand) menjadi meningkat melebihi baku mutu air Kelas I dan Kelas II. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan aktivitas dekomposisi kandungan bahan organik yang tinggi dalam perairan. Aktivitas dekomposisi bahan organik selalu menghasilkan produk sampingan yang beberapa diantaranya bersifat negatif, seperti zat-zat yang berbau dan beracun. Contoh zat-zat tersebut adalah amoniak dan hidrogen sulfida. Jadi, nilai BOD yang tinggi berkorelasi dengan peningkatan jumlah amoniak dalam sungai. Sehingga nilai BOD yang tinggi menjadi indikator pencemaran sungai-sungai oleh limbah organik. Perairan dengan nilai BOD yang tinggi akan berpotensi mengganggu biota yang terdapat didalamnya bila kandungan oksigen terlarut (DO/dissolved oxygen) rendah (Anonim, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok siswa yang menjadi subjek penelitian, ditemukan nilai rata- rata

Összegezve: történeti olvasmányszociológiai szempontból a retrospektív nemzeti bibliográfia (tehát az országban termelt könyvek jegyzéke) mellett az intézményi és a magángy

Alasan yang dikemukakan peserta yang tidak mengubah pilihan strateginya dari D tetap D adalah pengalaman mendapatkan imbalan yang besar pada sesi pertama, sedangkan peserta

Dengan menggunakan teknik decision tree Data mining dihasilkan variabel-variabel yang menentukan tingkat kepuasan konsumen restoran siap saji dan menemukan variabel

Pendekatan ini dilakukan untuk dapat mengetahui dan sekaligus mengelompokkan program acara “ Yang Muda yang Bertaqwa” serta digunakan sebagai acuan penulis untuk dapat memahami lebih

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Anggara, 2016) yang membandingkan antara pemberian paracetamol pre sirkumsisi dan ibuprofen post

Besarnya stok akhir obat menjadi dasar pengadaan obat karena dari stok akhir tidak saja diketahui jumlah dan jenis obat yang diperlukan, tetapi juga diketahui