• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN PENGEMBANGAN KOMODITAS STRATEGIS BERBASIS KAWASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN PENGEMBANGAN KOMODITAS STRATEGIS BERBASIS KAWASAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012

KAJIAN PENGEMBANGAN KOMODITAS STRATEGIS

BERBASIS KAWASAN

Oleh : Adi Setiyanto Rudy S. Rivai Jefferson Situmorang Miftahul Aziz Yonas H. Saputra

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

(2)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Latar Belakang

1. Pencapaian empat target sukses dilaksanakan dalam bentuk kebijakan operasional yang akan dilaksanakan melalui pengembangan kawasan pertanian untuk memproduksi komoditas unggulan yang berbasis klaster. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memadukan serangkaian program dan kegiatan pembangunan pertanian menjadi suatu kesatuan yang utuh baik dalam perspektif sistem maupun kewilayahan, sehingga dapat mendorong peningkatan daya saing komoditas, wilayah serta pada gilirannya kesejahteraan petani sebagai pelaku usaha tani. Peraturan Menteri Pertanian No 50 Tahun 2012 merupakan upaya untuk mewujudkan pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan secara berkelanjutan yang membutuhkan perencanaan kinerja pengembangan komoditas yang dapat mengakselerasi potensi daya saing komoditas dan wilayah melalui optimalisasi sinergitas pengembangan komoditas (multiple cropping system dan crop livestock system), keterpaduan lokasi kegiatan dan keterpaduan sumber pembiayaan. Keterpaduan pengembangan komoditas yang didukung secara horisontal dan vertikal oleh segenap pelaku dan pemangku kepentingan dalam suatu hamparan kawasan sentra produksi yang berskala ekonomis mensyaratkan suatu pendekatan yang berbentuk klaster (cluster). Mengingat kajian model operasional pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan masih sangat terbatas kalaupun tidak dapat dikatakan masih relatif belum ada, maka kajian pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

2. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi dan menentukan kawasan pengembangan komoditas strategis prioritas; (2) Mengidentifikasi dan mengalisis kriteria, indikator dan faktor-faktor strategis apa saja yang menjadi penentu keberhasilan pengembangan komoditas strategis yang diprioritaskan pada kawasan terpilih; dan (3) Merumuskan alternatif model pengembangan kawasan termasuk sistem pendampingannya.

3. Secara umum keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah rumusan tentang model pengembangan kawasan strategis berbasis kawasan. Secara khusus keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Prioritas kawasan pengembangan komoditas strategis; (2) Bobot prioritas atau nilai skor kriteria, indikator dan faktor-faktor strategis yang menjadi penentu keberhasilan pengembangan komoditas strategis pada kawasan prioritas tersebut; dan (3) Rumusan alternatif model pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan termasuk sistem pendampingannya. Keluaran yang diharapkan memberikan manfaat bagi Kementerian Pertanian, khususnya Eselon I Terkait untuk menentukan prioritas kawasan pengembangan komoditas strategis; menentukan bobot prioritas atau nilai

(3)

ii

skor kriteria, indikator dan faktor-faktor strategis yang menjadi penentu keberhasilan pengembangan komoditas strategis pada kawasan prioritas tersebut dan rumusan alternatif model pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan termasuk sistem pendampingannya dalam rangka pengembangan komoditas strategis.

4. Komoditas strategis yang diteliti mencakup padi, jagung, kedelai, tebu dan sapi potong dengan unit analisis kabupaten/kota yang mencakup 497 kabupaten/kota di Indonesia. Identifikasi dan analisis faktor-faktor strategis kunci pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan kriteria dan indikator penentuan kawasan komoditas strategis dan berdasarkan kerangka sistem agribisnis.

Metoda Penelitian

5. Penelitian ini mencakup lima komoditas strategis yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan sapi potong dengan unit analisis kabupaten/kota yang mencakup 497 kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk studi lapangan dan studi literatur. Data dan informasi yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan bersumber dari berbagai instansi tingkat pusat, tingkat propinsi, dan tingkat kabupaten. Data primer dikumpulkan dengan melakukan kunjungan (survei), Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara, terhadap perseorangan atau kelompok, baik dengan para petani maupun aparat dari instansi terkait di tingkat propinsi, kabupaten, dan kecamatan lokasi terpilih. Kabupaten contoh penelitian terdiri dari Lampung Tengah dan Lampung Utara untuk Propinsi Lampung, Garut dan Tasikmalaya untuk Propinsi Jawa Barat, Blitar dan Malang untuk Propinsi Jawa Timur, Gorontalo dan Pohuwato untuk Propinsi Gorontalo, Sambas dan Bengkayang untuk Propinsi Kalimantan Barat, dan Kutai Kertanegara dan Bulungan untuk Propinsi Kalimantan Timur. Jumlah responden penelitian ini adalah 210 dengan rincian tingkat pusat atau DKI Jakarta 17, Lampung 30, Jawa Barat 29, Jawa Timur 35, Gorontalo 34, Kalimantan Barat 31 dan Kalimantan Timur 34 responden. Berdasarkan profesinya jumlah responden pengambil kebijakan 29, pakar atau peneliti dan praktisi 21, pembimbing atau penyuluh dan pendamping 21, lembaga keuangan 8, pengolah dan pemasar hasil 16, distributor dan pedagang input 12, kelompok tani dan gabungan kelompok tani 24, dan petani, peternak dan pengusaha agibisnis dibidang budidaya atau usahatani skala kecil 74 responden.

6. Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Hirarki Proses (AHP) lengkap dengan analisis pendukung yang dibutuhkan untuk memperingkat seluruh kabupaten/kota dalam pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan. Data dan informasi primer yang dikumpulkan merupakan data persepsi expert dalam penyusunan matriks perbandingan berpasangan dalam penentuan bobot prioritas dalam pendekatan analisis AHP, pengumpulan data dan informasi evaluasi kriteria dan faktor kunci strategis pengembangan kawasan, dan penyusunan model (tentatif) pengembangan kawasan komoditas strategis dan sistem

(4)

iii

pendampingan pengembangan kawasan komoditas strategis. Disamping peringkat kabupaten/kota secara nasional sebagai hasil analisis penelitian ini, juga dilakukan analisis perbandingan dengan daftar kabupaten kota pada Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 dan pembuatan peta potensi dan peringkat nasional masing-masing kabupaten/kota dalam pengembangan komoditas strategis.

HASIL PENELITIAN

Prioritas Kawasan Pengembangan Komoditas Strategis

7. Jumlah kabupaten/kota yang dinilai memenuhi persyaratan sesuai Peraturan Menteri Pertanian no 50 tahun 2012 masing-masing calon lokasi kawasan Padi adalah 245, dimana jika dibedakan anatara padi sawah dan padi ladang masih-masing adalah 247 kabupaten/kota dan 235 kabupaten/kota; kawasan jagung 212 kabupaten/kota, kawasan kedelai 194 kabupaten kota, kawasan tebu 161 kabupaten/kota dan kawasan sapi potong 243 kabupaten/kota. Jumlah tersebut menunjukkan daftar kabupaten/kota dari peringkat pertama hingga jumlah masing-masing komoditas. Dalam rangka implementasi, apabila terdapat keterbatasan anggaran maka kabupaten/kota yang dapat dipilih berdasarkan urutan peringkat masing-masing sesuai dengan komoditasnya.

8. Ada perbedaan antara hasil analisis pada penelitian ini dengan daftar yang dicantumkan pada Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No. 50 tahun 2012, yang diduga daftar pada lampiran tersebut tidak didasarkan atas analisis yang seharusnya sesuai persyaratan yang diminta dalam Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Pertanian Peraturan Menteri Pertanian No. 50 tahun 2012. Kecuali tebu, banyak kabupaten/kota dalam dalam daftar pedoman tersebut tidak memiliki luas lahan atau populasi eksisting dan potensi pengembangannya seperti arahan dan persyaratan yang diminta dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012.

9. Pada kabupaten yang tercatat dalam daftar peraturan tersebut, akan tetapi tidak memenuhi persyaratan, maka diperlukan pendekatan khusus dalam pengembangannya diantaranya dengan cara: (1) Mengembangkan keterkaitan secara struktural dan fungsional dengan kabupaten/kota disekitarnya merupakan salah satu solusi alternatif, agar kabupaten/ kota yang tidak memenuhi syarat luasan tetap dapat dijadikan kawasan pertanian, dimana wilayah tersebut dijadikan pusat atau bagian dari kawasan pertanian secara lintas kabupaten; (2). Menjadikan lokasi tersebut sebagai bagian dari pengembangan kawasan sektor lainnya, misalnya agrowisata atau lokasi wisata ilmiah dan tempat pembelajaran atau laboratorium lapang penelitian dan pengembangan; (3) Mengembangkan kawasan komoditas strategis dikaitan dengan pengembangan kawasan pariwisata, apabila lokasinya berada pada daerah tujuan dan kawasan wisata; (4) Menerapkan strategi dengan memberikan perhatian khusus pada wilayah-wilayah terpencil seperti pulau-pulau di Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku utara, dan Papua atau Papua Barat, pengembangan

(5)

iv

kawasan komoditas strategis perlu dikaitkan dengan peningkatan ketahanan pangan di wilayah itu, karena pada umumnya wilayah tersebut merupakan willayah yang sulit terjangkau sehingga merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan pangan yang tinggi, sehingga pengembangan kawasan pertanian komoditas strategis khusus pangan utama perlu dikaitkan dengan pengembangan ketahanan pangan pada wilayah-wilayah terpencil; (5) Mengaitkan pengembangan kawasan pertanian dikaitkan dengan pengembangan wilayah perbatasan antar negara pada beberapa kabupaten di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua yang berada di wilayah perbatasan antar negara. Kawasan perbatasan memerlukan perhatian khusus dalam pembangunan pertanian karena wilayah itu sebagai halaman terdepan negara, sekalipun dari segi persyaratan area saat ini belum memadai.

Faktor-Faktor Strategis Penentu Keberhasilan Kawasan Pengembangan Komoditas Strategis Berbasis Kawasan

Gambaran Umum Kriteria Pengembangan Komoditas Strategis Berbasis Kawasan Peluang Pencapaian Empat Target Sukses Kementan

Potensi Sumberdaya Lahan dan Kesesuaian Agroekosistem

10. Indonesia memiliki potensi sumberdaya lahan dan kesesuaian agroekosistem untuk tanaman dan ternak, yang cukup besar. Pada tahun 2010, lahan sawah Indonesia untuk pengembangan komoditi strategis seluas 8.06 juta hektar dan lahan non sawah atau lahan kering 17.21 juta hektar. Untuk wilayah kabupaten, terluas di Kabupaten Sambas 63.68 ribu hektar dan terkecil di Kabupaten Pohuwato 3.55 ribu hektar. Terdapat lahan sawah yang tidak diusahakan seluas 1.48 juta hektar, terluas di Kabupaten Kutai kartanegara 296.33 ribu hektar dan terkecil di Kabupaten Malang 0 hektar. Disamping lahan tersebut, Indonesia secara indikatif memiliki potensi sumbedaya lahan untuk pertanian yang tersedia seluas 60.04 juta hektar di seluruh provinsi di Indonesia. Luas areal yang sesuai secara indikatif untuk pengembangan komoditas strategis adalah 31.47 juta Ha. Potensi perluasan yang dapat dibangun atau dicetak menjadi lahan sawah adalah 22.82 juta hektar, dimana 16.77 juta hektar merupakan lahan basah (rawa, lebak, pasang surut) dan sisanya sekitar 6.05 juta hektar merupakan lahan kering yang berpotensi untuk dikonversi menjadi lahan sawah. Hasil analisis pada kabupaten contoh, kabupaten yang secara indikatif memiliki potensi terluas adalah Kutaikertanegara 321.21 ribu hektar terkecil di Lampung Utara 18.41 ribu hektar, rata-rata luas potensi lahan sawah pada kabupaten contoh adalah 78.58 ribu hektar. Berdasarkan data tersebut, Indonesia memiliki potensi sumberdaya lahan yang sangat luas. Hal ini berarti bahwa upaya peningkatan produksi padi melalui perluasan areal atau ekstensifikasi melalui pengembangan kawasan masih sangat memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia.

(6)

v

Peluang Peningkatan Produktivitas, Luas Areal Tanam dan Produksi

11. Berdasarkan asumsi bahwa seluruh potensi yang tersedia saat ini dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan produksi, diperoleh hasil analisis bahwa pada kabupaten/kota yang tercantum dalam Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 (391 kabupaten/kota) terdapat peluang peningkatan produktivitas 31.73 persen dari yang dicapai saat ini, peningkatan areal 15.24 juta ha, peningkatan produksi 30.84 juta ton GKG dan peningkatan produksi 47.69 persen dari produksi yang dicapai saat ini. Sedangkan pada kabupaten berdasarkan hasil analisis penelitian ini (245 kabupaten/kota) terdapat peluang peningkatan produktivitas 28.67 persen dari yang dicapai saat, luas areal 16.58 juta Ha, peningkatan produksi 29.41 juta ton GKG dan peningkatan produksi 50.77 persen. Secara nasional terdapat peluang peningkatan produktivitas 23.51 persen dari yang dicapai saat ini, luas areal 31.23 juta Ha atau peningkatan produksi 52.85 jta ton GKG atau 80.91 persen dari produksi yang dicapai saat ini. Pada kabupaten contoh diperoleh gambaran bahwa secara persentase pada kabupaten contoh di Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki peluang peningkatan produktivitas, luas areal dan produksi relatif lebih rendah dibandingkan Provinsi Lampung, Gorontalo, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dimana diantara keempat provinsi tersebut Lampung dan Gorontalo relatif lebih rendah dibandingkan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah sentra lama penekanan pengembangan lebih fokus pada upaya intensifikasi untuk mempertahankan produksi, sedangkan pada kabupaten sentra baru perlu ditekankan dua hal yaitu intensifikasi dan perluasan areal.

12. Peluang peningkatan produktivitas jagung pada kabupaten Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 (229 kabupaten kota) adalah 45.10 persen dengan peluang peningkatan areal 18.77 juta hektar, produksi 29.38 juta ton jagung pipilan kering atau 233.34 persen dari produksi jagung saat ini. Pada kabupaten hasil analisis (212 Kabupaten kota) terdapat peluang peningkatan produktivitas 70.84 persen, luas areal 22.80 juta hektar, peluang peningkatan produksi 52,54 juta ton atau 410,54 persen. Sedangkan secara nasional terdapat peluang peningkatan produktivitas 85.75 persen, luas areal 36.87 juta hektar dan produksi 89.58 juta ton jagung pipilan kering atau 473.52 persen. Apabila seluruh potensi ini dapat dimanfaatkan dengan baik maka disamping swasembada jagung dapat tercapai, penyediaan bahan baku industri pengolahan jagung dan ekspor jagung juga dapat ditingkatkan. 13. Peluang peningkatan produktivitas kedelai pada kabupaten Lampiran

Permentan No. 50 Tahun 2012 (194 kabupaten kota) adalah 42.10 persen dengan peluang peningkatan areal 10.82 juta hektar, produksi 5.69 juta ton kedelai ose kering atau 535.14 persen dari produksi saat ini. Pada kabupaten hasil analisis (190 kabupaten/kota) terdapat peluang peningkatan produktivitas 44.45 persen, luas areal 16.11 juta hektar, peluang peningkatan produksi 8.83 juta ton atau 818 persen. Sedangkan secara nasional terdapat peluang peningkatan produktivitas 44.61 persen, luas areal

(7)

vi

22.13 juta hektar dan produksi 11.68 juta ton kedelai ose kering atau 984.27 persen dari produksi saat ini.

14. Pada komoditas tebu, pada kabupaten/kota yang tercantum dalam Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 (76 kabupaten/kota) terdapat peluang peningkatan produktivitas 75.69 persen dari kondisi saat ini, peluang perluasan areal 3.37 juta hektar, peluang peningkatan produksi 7.26 juta ton atau 287.56 persen dari produksi saat ini. Pada kabupaten hasil analisis dan Indonesia terdapat peluang peningkatan produktivitas 88.66 persen dari produktivitas sekarang, peningkatan areal 28.36 juta hektar, peluang peningkatan produksi 11.14 juta ton atau 371.09 persen dari produksi sekarang.

15. Limbah pertanian dan rumput merupakan sumber pakan bagi sapi potong. Potensi pakan yang dihasilkan untuk sapi potong dapat dihitung berdasarkan besarnya potensi dari sumberdaya lahan baik dari lahan sawah, lahan kering maupun lahan pertanian yang sementara tidak diusahakan, untuk menghitung daya tampung ternak. Pada tahun 2010, lahan sawah Indonesia untuk pengembangan komoditi strategis seluas 8.06 juta hektar dan lahan non sawah atau lahan kering 17.21 juta hektar. Untuk wilayah Kabupaten, terluas di Kabupaten Sambas 63.68 ribu hektar dan terkecil di Kabupaten Pohuwato 3.55 ribu hektar. Terdapat lahan sawah yang tidak diusahakan seluas 1.48 juta hektar, terluas di kabupaten Kutai Kartanegara 296.33 ribu hektar dan terkecil di kabupaten Malang 0 hektar. Populasi eksisting sapi potong di Indonesia sebanyak 16.73 juta ekor, terbanyak di Malang 318 ribu ekor, dan terkecil di Bulungan sekitar 5 ribu ekor. Dilihat dari daya dukung lingkungan, Indonesia dapat mengusahakan 68.81 juta ekor, terendah di Kabupaten Garut 148 ribu ekor dan tertinggi di Kabupaten Lampung Tengah 349 ribu ekor.

16. Pada komoditas daging sapi, pada kabupaten/kota yang tercantum dalam Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 (298 kabupaten/kota) memiliki peluang peningkatan populasi 236.89 persen dari populasi sekarang dengan peluang peningkatan produksi daging 6,62 juta ton atau 144,06 persen dari produksi sekarang. Sedangkan kabupaten analisis (243 kabupaten/kota) memiliki peluang peningkatan populasi 232.71 persen dan produksi daging 6.24 juta ton atau 152.06 persen dari populasi dan produksi sekarang. Secara nasional peluang peningkatan populasi mencapai 311.37 persen dari populasi sekarang dengan produksi 9.23 juta ton atau 190.27 persen dari potensi produksi sekarang.

17. Besarnya peluang peningkatan produktivitas, perluasan area, populasi maupun produksi komoditas strategis sangat besar, namun demikian memanfaatkan peluang tersebut tidaklah mudah karena banyak sekali kendala-kendala yang dihadapi. Salah satu contohnya adalah bahwa hal yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa sekalipun secara indikatif potensi sumberdaya lahan tersedia, verifikasi dan penetapan kepastian ketersediaan lahan pertanian sangat diperlukan. Hasil pengumpulan data dan

(8)

vii

informasi di Kalimatan Barat dan Kalimantan Timur menunjukkan bahwa pada sebagian besar lahan pertanian yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian tidak dapat dipakai karena lahan-lahan tersebut telah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan-perusahaan tertentu. Pengalihan atau pencabutan HGU membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat dan koordinasi seluruh lembaga yang berwenang, selain kepastian hukum baik dari kementerian yang berwenang maupun dari Gubernur dan Bupati. Diduga salah satu hambatan utama perluasan areal pertanian khususnya untuk tanaman pangan dan peternakan, disamping biaya pembukaan dan pencetakan lahan pertanian yang relatif mahal adalah masalah penguasaan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HGU atas lahan potensial tersebut, sekalipun pada saat ini kondisi lahan tersebut terlantar atau sementara tidak diusahakan, namun sulit untuk dipindah pengelolaannya.

Dukungan Prasarana dan Sarana Pengembangan

18. Pengembangan komoditas strategis baik tanaman maupun ternak, membutuhkan dukungan sarana dan prasana yang memadai, sehingga dapat menjalankan usaha agribisnisnya dengan baik. Jumlah unit usaha pengadaan dan distribusi input untuk pengembangan komoditas strategis tanaman pangan di seluruh Indonesia sebanyak 40 ribu unit, terbanyak dikabupaten contoh adalah Lampung Tengah 452 unit, dan terendah di Kutai Kertanegara hanya sekitar 22 unit. Prasarana pengairan (pompa air) dan sarana pengolahan tanah (traktor) di Indonesia sebanyak 395.41 ribu unit, terbanyak di Kabupaten Lampung Tengah sebanyak 5.61 ribu unit dan terendah di Kabupaten Sambas hanya 156 unit. Di Indonesia penggunaan pupuk anorganik pada tanaman padi, jagung, kedelai di Indonesia secara umum rata-rata telah melebihi 91 persen.

19. Keberadaan alat pengolahan hasil tanaman pangan sangat dibutuhkan dalam menangani pasca panen dan pengolahan hasil panen. Jumlah kebutuhannya tergantung pada luas atau produksi dari hasil tanaman pangan itu sendiri, lauas areal tanam, maka akan semakin besar potensi produksinya dan semakin banyak jumlah peralatan pengolahan hasil yang dibutuhkan. Di seluruh Indonesia, terdapat 329.94 ribu unit pengolahan hasil tanaman pangan strategis, terbanyak di Lampung Tengah 3.94 ribu unit, terendah di Sambas, hanya 99 unit. Demikian pula keberadaan lembaga pemasaran hasil, di seluruh Indonesia, terdapat 25.72 ribu unit lembaga pemasaran hasil, terbanyak di Malang 137 dan terendah di Pohuwato hanya 21 unit. 20. Di seluruh Indonesia rata-rata sekitar 89.38 persen desa dapat dijangkau

dengan kendaraan roda 4 atau motor air. Di Kabupaten Blitar dan Malang sudah seluruh desa dapat di akses, sedangkan di Kabupaten Sambas dan Bengkayang baru 76.63 persen dan 61.29 persen yang dapat diakses. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rangka pengembangan kawasan, peningkatan aksesibilitas lokasi atau pembangunan dan pengembangan prsarana transportasi sangat dibutuhkan. Selain prasarana transportasi, pengembangan komoditas strategis membutuhkan modal usaha, sumber

(9)

viii

permodalan di kabupaten contoh sangat terbatas, masing-masing kabupaten hanya terdapat dua jenis permodalan yang dapat diakses petani, padahal diseluruh Indonesia ada 888 jenis permodalan yang dapat dikases petani. 21. Pengembangan agribisnis komoditas strategis membutuhkan jaringan irigasi

yang baik. Di seluruh Indonesia rata-rata sebanyak 28.38 persen jaringan irigasi rusak berat hingga ringan, dimana 52 persen lebih merupakan wewenang pusat dan selebihnya merupakan wewenang propinsi dan kabupaten. Pada kabupaten contoh jaringan irigasi rusak terbanyak terjadi di Lampung Tengah dan Lampung Utara sekitar 69 persen dan terendah di Bulungan hanya 1.53 persen (tidak memiliki jaringan irgasi teknis), sedangkan rata-rata kabupaten contoh 33.74 persen.

22. Peningkatan produksi sangat ditentukan oleh penggunaan benih unggul, diseluruh Indonesia, hanya 66.17 persen yang menggunakan benih padi varietas produktivitas tinggi, sisanya masih menggunakan benih padi dengan produktivitas rendah. Kabupaten terbanyak menggunakan benih padi potensi produktivitas tinggi adalah adalah Tasikmalaya (81.21 persen) dan terendah adalah Kutai Kertanegara 55.28 persen dan rata-rata kabupaten contoh 67.15 persen. Angka yang relatif sama terjadi pada penggunaan varietas menurut luas tanam kedelai dan jagung, dimana penggunaan varietas produktivitas sedang dan tinggi di Indonesia sudah cukup memadai, sekitar 85 persen. Pada kabupaten contoh, di kabupaten Pohuwato, Gorontalo dan Sambas sudah seluruh petani kedelai menggunakan benih unggul, terendah yang menggunakan benih unggul kedelai adalah Garut. Rata-rata kabupaten yang menggunakan benih varietas produktitas tinggi dan sedang sekitar 88 persen. Pada komoditas tebu, penggunaan bibit varietas tebu dengan produktivitas tinggi di Indonesia sudah cukup baik, mencapai 89.25 persen, tertinggi di Malang mencapai 95.60 persen dan Sambas, 95.31 persen, terendah di Garut, hanya 84.74 persen, sedangkan rata-rata kabupaten contoh 90.15 persen.

23. Tingkat kehilangan hasil komoditas strategis sangat tinggi. Kehilangan hasil padi mulai dari panen dan pasca panen masih cukup tinggi yaitu sekitar 18.20 persen, tertinggi kehilangan hasil di Pohuwato dan Gorontalo, terendah di Kutaikertanegara dan Bulungan. Pengembangan kawasan padi memerlukan perhatian karena tingkat kehilangan hasil baik pada proses budidaya dan penanganan panen dan pasca panen cukup tinggi. Angka yang relatif sama juga terjadi untuk jagung dan kedelai, sedangkan pada komoditas tebu, kehilangan hasil saat panen dan pasca panen tebu di Indonesia mencapai sekitar 16,89 persen, tertinggi di Malang mencapai 20.12 persen dan terendah di Garut, hanya 15.83 persen, sedangkan rata-rata kabupaten contoh 17.51 persen. Serangan hama dan penyakit, bencana kekeringan dan banjir merupakan faktor utama penyebab kehilangan hasil pada tingkat budidaya, sedangkan penanganan pasca panen, pengangkutan, dan peralatan yang digunakan menjadi faktor penyebab tingginya kehilangan hasil pada off farm.

(10)

ix

24. Pada komoditas sapi potong, tercatat di Indonesia ketersediaan lembaga pengadaan dan distribusi input untuk pengusahaan sapi potong sebanyak 19.67 ribu unit, tertinggi di Malang mencapai 132 unit, dan terendah di Bulungan hanya 6 unit. Lembaga pengolahan hasil sangat diperlukan untuk keberlangsungan usaha sapi potong, di Indonesia terdapat 24.71 ribu unit pengolahan hasil, tertinggi di Malang ada 217 unit dan terendah di Pohuwato, 21 unit. Lembaga pemasaran sangat diperlukan dalam sistim agribisnis pengusahaan sapi potong, di Indonesia terdapat 27.87 unit, tertinggi garut 165 unit dan terendah di Pohuwato hanya 21 unit. Pengusahaan sapi potong memerlukan modal usaha yang cukup tinggi, di Indonesia lembaga permodalan yang dapat membantui usaha sapi potong ini ada 2229 unit, tertinggi di Tasikmalaya dan Garut masing-masing mencapai 13 unit dan 12 unit, sedangkan terendah di Lampung Utara dan Sambas masing-masing hanya 2 unit dan 3 unit.

Dukungan Layanan Pengembangan Komoditas Strategis

25. Pada potensi dukungan layangan pengembangan kawasan komoditas strategis, jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Indonesia adalah 59.17 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia, terbanyak di Garut 689 orang, dan terendah di Bulungan dan Bengkayang masing-masing 81 dan 87 orang. Pada semua kelompok tani/ternak yang dapat/biasa mempunyai akses terhadap litbang dan teknologi sekitar 70 persen, tertinggi di kabupaten Garut, Tasikmalaya, Blitar dan Malang sekitar 96 persen), sedangkan terendah di Bulungan (hanya 17.36 persen). Terdapat 2.16 ribu paket kegiatan pendidikan dan pelatihan terkait komoditas padi di seluruh Indonesia, terbanyak di Blitar mencapai 26 kegiatan dan terendah di Bulungan dan Pohuwato masing-masing hanya dua paket pendidikan dan pelatihan.

26. Tingkat akses kelompok tani terhadap litbang dan teknologi rata-rata untuk komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu mencapai sekitar 70 persen, tertinggi di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Blitar dan Malang (sekitar 96 persen), sedangkan terendah di Bulungan hanya 17,36 persen. Terdapat 2160 paket kegiatan pendidikan dan pelatihan sektor pertanian di seluruh Indonesia, terbanyak di Blitar mencapai 26 kegiatan dan terendah di Bulungan dan Pohuwato masing-masing hanya dua paket pendidikan dan pelatihan bagi petani dan kelompok tani.

27. Permodalan sangat diperlukan bagi petani dan peternak Indonesia yang sangat terbatas modal usaha yang mereka miliki. Di seluruh Indonesia terdapat 1187 kredit program yang dapat diakses untuk sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Terbesar di Lampung Utara dan terendah di Pohuwato dan Bulungan, masing-masing hanya dua jenis kredit program. Jumlah kelompok tani di seluruh Indonesia sebanyak 134.21 ribu kelompok tani. Pada kabupaten contoh jumlah kelompok tani terbanyak di Tasikmalaya dan Garut, masing-masing 1425 dan 1396 kelompok, dan terendah di Bulungan hanya 98 kelompok. Jumlah paket kegiatan pemberdayaan kelompok tani di Indonesia adalah 2500 paket kegiatan dan terbanyak di

(11)

x

Tasikmalaya dan Garut, masing-masing 15 dan 13 paket, dan terendah di Pohuwato hanya tiga paket.

28. Dukungan layanan untuk pengembangan sektor peternakan, khususnya pengusahaan sapi potong. Terdapat cukup banyak akses peternak terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan, termasuk pengembangan inovasi teknologi peternakan, di seluruh Indonesia mencapai 3149 kegiatan. Terbanyak di Tasikmalaya dan Garut masing-masing 15 dan 14 kegiatan, dan terendah di Lampung Tengah, hanya tiga kegiatan. Permodalan yang sangat diperlukan untuk pengembangan sektor peternakan, termasuk melalui kredit program seluruh Indonesia terdapat 2474 kredit program. Terbanyak di Tasikmalaya dan Garut masing-masing sebanyak 14 dan 13 kredit program dan terendah di Lampung Tengah hanya dua kredit program. Pengembangan kelompok ternak dapat juga difasilitasi oleh kegiatan pemberdayaan masyarakat yang trersebar diberbagai sektor atau Kementrian/Lembaga Pemerintah maupun Pemerintah Daerah, di seluruh Indonesia tercatat ada 2160 paket kegiatan untuk pengembangan sektor peternakan, terbanyak di Tasimalaya dan Garut masing-masing 13 dan 12 paket kegiatan dan terendah di Lampung Tengah hanya ada satu paket kegiatan.

Kontribusi Terhadap Perekonomian Wilayah

29. Besaran nilai tambah pengusahaan budidaya komoditas padi, jagung dan kedelai rata-rata adalah sebesar Rp 11.42 juta per hektar, dimana nilai tambah pengusahaan terbesar terbesar adalah di Kutai Kertanegara, mencapai Rp 14.16 juta per hektar dan terendah di Garut hanya Rp 8.67 juta per hektar. Usahatani padi dan palawija, cukup banyak menyerap tenaga kerja, untuk seluruh Indonesia mencapai 25.90 juta orang, terbanyak di Malang sebanyak 260 ribu orang dan terendah di Bulungan hanya 13 ribu orang. Secara keseluruhan kontribusi ekonomi sektor pertanian terhadap wilayah, dapat dinilai dari PDRB Pertanian, yang nilainya sebesar Rp 746.43 Trilyun. Sumbangan PDRB pertanian terbesar adalah di Kabupaten Garut, dan terkecil Kabupaten Bulungan. Nilai PDRB tanaman pangan memberikan kontribusi besar untuk perekonomian Indonesia, yaitu sebesar Rp 417.28 Trilyun, Kabupaten Garut juga memiliki nilai PDRB subsektor tanaman pangan terbesar. Berdasarkan harga berlaku, sumbangan subsektor tanaman pangan terhadap PDRB Indonesia cukup besar, yaitu rata-rata 17.50 persen per kabupaten.

30. Pada tahun 2011 produksi padi seluruh Indonesia menghasilkan 65.32 juta ton gabah kering giling (GKG), penghasil padi terbesar di kabupaten contoh adalah Tasikmalaya, Garut dan Lampung Tengah, terkecil adalah Bulungan, Pohuwato dan Bengkayang. Rata-rata nilai penerimaan usahatani padi di Indonesia adalah Rp 15.56 juta per hektar, tertinggi di Garut dan terendah di Pohuwato. Rata-rata pengusahaan padi di Indonesia sekitar 0.51 ha/orang/tahun, tertinggi di Kutai Kertanegara dan terendah di Malang.

(12)

xi

31. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 13.92 juta ton, masih perlu ditingkatkan, karena belum memenuhi kebutuhan dalam negeri dan masih impor. Produksi terbesar di kabupaten contoh adalah Lampung Tengah dan Blitar, terendah di Kabupaten Tasikmalaya, Sambas dan Bulungan. Secara finansial usaha jagung cukup prospektif dengan rata-rata nilai penerimaan usahatani jagung rata-rata mencapai Rp 15.56 juta per hektar. Nilai penerimaan usahatani tertinggi tertinggi di Kabupaten Sambas, tetapi produksinya terbatas, terendah di Blitar, Pohuwato dan Kutai Kertanegara. Skala usahatani jagung di Indonesia masih relatif kecil, rata-rata pengusahaan jagung baru 0.58 per orang per hektar per tahun, tertinggi pengusahaan jagung di Bengkayang dan Pohuwato, terendah di Bulungan dan Kutaikertanegara. Sementara itu, produksi kedelai Indonesia mencapai 1.19 juta ton, dan tertinggi produksi kedelai Garut dan Blitar yang termasuk sentra produksi kedelai dimasing-masing wilayah. Pengusahaan kedelai di Indonesia masih relatif kecil yaitu 0.03 hektar per orang per tahun, relatif besar pengusahaan di Pohuwato, Blitar dan Garut.

32. Produksi tebu Indonesia baru sekitar 3 juta ton, masih belum memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga sampai saat ini masih impor dari berbagai Negara. Dari kabupaten contoh belum semua menghasilkan tebu/gula, karena pengembangan tanaman tebu harus difasilitasi dengan adanya pabrik pengolahan gula. Wilayah yang tersedia pabrik pengolahan gula, yaitu Lampung, sekitar Malang, dan Gorontalo. Nilai finansial usahatani tebu relatif tinggi, walaupun tanaman ini diusahakan hampir satu tahun penuh, rata-rata Indonesia nilai penerimaan usahatani mencapai Rp 40 juta/ha. Luas rata-rata pengusahaan tanaman tebu Indonesia cukup tinggi, yaitu 0.58 hektar per orang, tertinggi di Gorontalo sekitar 1.41 hektar per orang dan Lampung Tengah 0.86 hektar per orang.

33. Komoditas strategis sapi potong perlu terus ditingkatkan untuk substitusi impor yang terus meningkat setiap tahunnya, produksi ternak sapi siap potong Indonesia rata-rata baru mencapai 4850 ribu ekor per tahun, masih dibawah kebutuhan nasional. Produksi sapi potong terbesar di Blitar dan Malang, terendah di Tasikmalaya, Lampung Utara dan Garut. Rata-rata nilai tambah pengusahaan ternak Indonesia sekitar Rp 15.42 juta per ekor yang variasinya cukup beragam antar daerah. Di Kutai kertanegara, Bulungan dan Garut sangat tinggi, dibanding kabupaten contoh lainnya, terendah di Gorontalo, hanya Rp 9.13 juta per ekor. Secara keseluruhan usaha sapi potong dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 10.57 juta orang, jumlah yang cukup besar untuk perekonomian Indonesia, sehingga dengan memajukan usaha ternak sapi potong dapat meningkatkan kesejahteraan banyak peternak. Di kabupaten contoh yang banyak menyerap tenaga kerja peternak adalah di Lampung Tengah dan Blitar, terkecil di Tasikmalaya, Pohuwato dan Bengkayang. Volume perdagangan sapi potong Indonesia mencapai 2.2 juta ekor lebih tersebar di sentra-sentra produksi sapi potong.

34. Pengusaha peternakan yang ada di Indonesia cukup banyak, sekitar satu juta lebih di kabupaten contoh terbanyak di Malang dan Blitar. Sumbangan

(13)

xii

PDRB peternakan terhadap total PDRB pertanian nasional cukup besar, yaitu 5.42 % dari Rp 746 Trilyun. Sumbangan peternakan yang cukup besar di kabupaten contoh adalah Lampung Utara dan Bengkayang. Nilai penerimaan usaha ternak sapi potong terus meningkat setiap tahunnya, saat ini nilai penerimaan sapi potong mencapai Rp 16.67 juta/ekor, nillai tinggi di kabupaten contoh adalah malang dan Gorontalo, sedangkan terendah di Bengkayang, Pohuwato dan Tasikmalaya. Terdapat 4601 paket kegiatan yang terkait dengan kawasan lain, terbanyak di Kutaikertanegara, Bulungan dan Garut. Bila dihitung jumlah tenaga kerja di usaha sapi potong dan jumlah ternak yang dapat diusahakannya, rata-rata Indonesia sebanyak 1.58 ekor per orang, terbesar di Lampung Tengah dan Lampung Utara.

Peluang Pencapaian Empat Target Sukses Kementerian Pertanian

35. Peluang pencapaian empat target sukses kementan diukur dari peluang peningkatan nilai tambah subsistem hulu dan usahatani, peluang peningkatan nilai tambah pada subsistem pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), peluang peningkatan penyerapan tenaga kerja, peluang pengurangan jumlah penduduk miskin, peluang peningkatan pendapatan per kapita, dan peluang surplus produksi dalam rangka swasembada dan swasembada berkelanjutan. Perhitungan didasarkan atas seluruh potensi yang tersedia, berdasarkan hasil analisis pengembangan kawasan dengan memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya yang tersebut pengembangan kawasan komoditas padi secara nasional memiliki potensi untuk peningkatan nilai tambah Rp. 168.43 Trilyun pada subsistem on farm, nilai tambah pengolahan hasil atau off farm Rp. 68.10 Trilyun, peningkatan penyerapan tenaga kerja 47.69 juta orang, pengurangan jumlah penduduk miskin 18.03 juta orang, menambah pendapatan per kapita Rp. 2.10 juta per kapita dan menambah surplus padi 28.73 juta ton GKG.

36. Pada komoditas jagung, berdasarkan asumsi bahwa seluruh potensi sumberdaya yang tersedia dimanfaatkan, pengembangan kawasan jagung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan nilai tambah pengusahaan pada Kabupaten Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012 sebesar (pada 229 kabupaten/kota) Rp. 208.65 Trilyun, pengolahan hasil Rp. 86.94 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 14.77 juta orang, pengurangan jumlah penduduk miskin 5.62 juta orang, peningkatan pendapatan per kapita Rp. 4.54 juta per kapita per tahun dan surplus produksi nasional 35.37 juta ton. Pada hasil kabupaten analisis penelitian ini (pada 212 kabupaten/kota) sebesar Rp. 251.93 Trilyun, pengolahan hasil Rp. 100.78 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 19.77 juta orang, pengurangan jumlah penduduk miskin 7.55 juta orang, peningkatan pendapatan per kapita Rp. 3.99 juta per kapita per tahun dan surplus produksi nasional 60.37 juta ton. Secara nasional kontribusi terhadap peningkatan nilai tambah pengusahaan pada hasil analisis sebesar Rp. 420.83 Trilyun, pengolahan hasil Rp. 538.81 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 37.34 juta orang, pengurangan jumlah penduduk miskin 14.10 juta orang, peningkatan pendapatan per kapita Rp. 3.36 juta per kapita per tahun dan surplus produksi nasional 91.89 juta ton.

(14)

xiii

37. Pada pengembangan komoditas kedelai, potensi peningkatan nilai tambah pada kabupaten/kota Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012 (pada 194 kabupaten/kota) adalah 119.50 trilyun, nilai tambah pengolahan 48.36 trilyun, peningkatan penyerapan tenaga kerja 14.40 juta orang, pengurangan penduduk miskin 16.11 juta orang, peningkatan pendapatan per kapita 1.71 juta per kapita per tahun dan surplus kedelai 3.69 juta ton. Pada pada kabupaten hasil analisis (pada 190 kabupaten/kota) potensi peningkatan nilai tambah adalah Rp. 178.79 trilyun, nilai tambah pengolahan Rp. 75.19 trilyun, penyerapan tenaga kerja 21.69 juta orang, pengurangan penduduk miskin 27.31 juta orang, peningkatan pendapatan per kapita 1.54 juta per kapita per tahun dan surplus kedelai 6.82 juta ton. Secara nasional pengembangan kawasan kedelai akan memberikan dampak pada peningkatan nilai tambah 252.73 Trilyun, nilai pengolahan 323.80 trilyun, penyerapan tenaga kerja 15.84 juta orang, pengurangan penduduk miskin 17.33 juta orang, pendapatan perkapita Rp. 1.10 per kapita per tahun dan surplus produksi 8.03 ton.

38. Peluang peningkatan kontribusi terhadap perekonomian wilayah dan nasional pengembangan kawasan jagung, kedelai dan tebu juga relatif tinggi. Peluang peningkatan peranan pengembangan kawasan komoditas tebu menunjukkan bahwa pengembangan kawasan memilik potensi dan peluang pencapaian empat target kementerian pertanian cukup tinggi, baik bagi kabupaten yang terdaftar dalam Lampiran Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012 maupun hasil analisis. Peningkatan nilai tambah subsektor hulu dan usahatani Rp. 559.66 trilyun, pengolahan dan pemasaran Rp. 584.06 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 5.85 juta orang, pengurangan jumlah penduduk miskin 4.87 juta orang, peningkatan pendapatan per kapita 6.88 juta per kapita per tahun, dan surplus produksi gula 12.71 juta ton.

Dukungan Stakeholder Dalam Pengembangan Kaw asan

39. Dukungan stakeholder ditunjukkan oleh besaran alokasi pembiayaan oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten baik untuk sektor pertanian maupun sektor terkait dan investasi swasta dan masyarakat dalam pengembangan pertanian. Dukungan stakeholders terhadap pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan sangat penting untuk memfasilitasi dan mendorong berkembangnya kawasan yang diharapkan. Dukungan dari Kementrian Pertanian mencapai nilai Rp 5.70 trilyun sumber dana APBN (sekitar 0.27 %). Di Kabupaten contoh, Garut memberikan dukungan terbesar kemudian diikuti oleh Tasikmalaya, Pohuwato, Kutai Kertanegara dan Bulungan. Dukungan dari pemerintah kabupaten (dicerminkan oleh anggaran APBD II) sebesar Rp 8.42 Trilyun. Di kabupaten contoh dukungan tinggi diberikan oleh kabupaten Kutai Kertanegara (tertinggi), kemudian Garut, Malang, Blitar, dan Pohuwato. Dukungan dari APBN terkait pertanian pusat mencapai lebih dari Rp 231 trilyun dan dari APBD terkait kabupaten/kota Rp 62 trilyun. Sedangkan dukungan dari swasta dan masyarakat luas hingga mencapai Rp 192 trilyun.

(15)

xiv Gambaran Umum Penerimaan Masyarakat

40. Trend atau perkembangan pengusahaan menjadi indikator penerimaan masyarakat disamping perkembangan investasi, serangan hama dan penyakit, bencana alam dan kerawanan sosial atau kriminalitas di wilayah itu. Pada komoditas padi terjadi penurunan luas tanam padi sebanyak 1.23 per tahun, penurunan terluas terjadi di kabupaten Sambas dan Bengkayang, peningkatan luas tanam tertinggi di Kutaikertanegara dan Bulungan, secara rata-rata kabupaten contoh terjadi peningkatan luas tanam 0.54 persen per tahun. Berbeda dengan laju perkembangan luas tanam, produksi padi meningkat sebesar 1.42 per tahun, tertinggi laju peningkatan produksi padi pada kabupaten Bengkayang dan Bulungan, tercatat laju penurunan produksi padi di kabupaten Garut, Tasikmalaya, Blitar, Malang, dan Gorontalo. Rata-rata laju peningkatan produksi padi kabupaten contoh sekitar 2.83 persen per tahun. Secara keseluruhan telah terjadi peningkatan produktivitas padi 0.32 per tahun tahun, laju peningkatan tertinggi di Bengkayang dan Lampung Tengah. Penurunan laju produktivitas terjadi di Blitar sampai -4.03 persen per tahun. Laju peningkatan produksi padi Indonesia sedikit lebih rendah dari laju peningkatan jumlah penduduk, hal ini menunjukkan bahwa selama ini laju peningkatan produksi besar lebih rendah dari laju pertumbuhan konsumsi dan jumlah penduduk.

41. Laju peningkatan luas tanam jagung Indonesia menurun 1.23 per tahun tahun, di kabupaten contoh yang menurun luas tanamnya hanya beberapa kabupaten saja, lainnya malah meningkat. Penurunan luas tanam itu tidak disertai dengan menurunnya produksi, tetapi malah terjadi laju peningkatan produksi sebesar 1.42 persen per tahun, walaupun ada beberapa kabupaten contoh mengalami juga penurunan laju produksi. Terbukti secara keseluruhan terjadi peningkatan laju produktivitas jagung, walaupun hanya 0.32 per tahun dan dibeberapa kabupaten contoh juga terjadi penurunan laju produktivitas. Pengolahan hasil mengalami laju peningkatan 7.41 persen per tahun, sementara itu perdagangan jagung meningkat 4.39 persen per tahun, terjadi laju peningkatan perdagangan komoditas tertingi di Sambas dan terendah di Malang. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan permintaan atau pasar komoditas padi lebih tinggi dari laju pertumbuhan produksi. Laju peningkatan investasi pada kegiatan produksi komoditas pertanian dan terkait dengannya mencapai 5.82 persen per tahun, laju peningkatan investasi tertinggi pada kabupaten Kertanegara terendah di Lampung utara.

42. Pada komoditas komoditas kedelai laju peningkatan luas tanam mencapai 3.44 persen per tahun, produksi 2.90 persen per tahun, produktivitas menurun 0.85 persen per tahun, dimana peningkatan luas tanam dan produksi tertinggi di Kabupaten contoh Pohuwato dan Bengkayang dan terendah di Blitar. Pada komoditas tebu menunjukkan berbeda dengan komoditas strategis lainnya, komoditi tebu mengalami laju yang menurun untuk luas tanam, produksi maupun produktivitas, yang masing-masing sebesar -6.91 persen tahun, -5.83 persen per tahun dan -6.74 persen tahun. Penurunan laju luas tanam, produksi dan produktivitas tebu tersebut terjadi

(16)

xv

di semua lokasi kabupaten contoh (yang memproduksi tebu). Laju penurunan luas tanam, produksi dan produktivitas terbesar, terjadi di kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara dan Garut sekitar 30 persen per tahun.

43. Pengembangan komoditas sapi potong cukup memberikan harapan akan terwujudnya swasembada daging sapi. Laju peningkatan populasi sapi Indonesia sebesar 6.23 persen per tahun, di kabupaten contoh peningkatan laju populasi sapi terbesar di Tasikmalaya, Pohuwato dan Bengkayang, tetapi di kabupaten Lampung Utara malah terjadi laju penurunan sebesar -17.52 persen tahun. Laju peningkatan populasi terendah terjadi di Malang, Gorontalo dan Kutai Kertanegara. Rata-rata laju peningkatan populasi sapi potong kabupaten contoh 4.53 persen per tahun. Sejalan dengan laju peningkatan populasi, laju peningkatan pemotongan sapi potong Indonesia juga mengalami peningkatan 5.84 persen per tahun. Dibeberapa kabupaten contoh terjadi penurunan laju pemotongan sapi potong, yaitu di Lampung Tengah, Lampung Utara, Gorontalo dan Kutaikertanegara. Laju peningkatan pemotongan sapi potong terbesar di kabupaten Tasikmalaya, Bengkayang dan Bulungan. Laju peningkatan produksi daging relatif lebih besar disbanding laju peningkatan populasi dan pemotongan sapi potong Indonesia, yaitu sebesar 7.77 persen per tahun. Hanya terdapat satu kabupaten contoh yang mengalami laju penurunan produksi daging, yaitu Lampung Utara, kabupaten lainnya mengalami kenaikan, tertinggi adalah kabupaten Garut, Tasikmalaya, Pohuwato dan Bengkayang (diatas 10 persen), sehingga rata-rata kenaikan produksi daging kabupaten contoh 7.89 persen persen tahun. Demikian pula perkembangan pemasaran dan investasi ternak sapi potong Indonesia mengalami laju peningkatan yang cukup berarti, yaitu masing-masing 4.39 persen per tahun dan 5.82 persen tahun. Potensi Keberlanjutan Pengembangan Kaw asan

44. Pembangunan kawasan komoditas strategis harus pula dipikirkan potensi keberlanjutannya, pembangunan yang tidak berpotensi keberlanjutan, akan tidak dapat berkembang dan lestari sesuai dengan harapan. Ukuran yang digunakan adalah kesesuaian terhadap Program MP3EI, Renstra Kementrian Pertanian, dan kesesuaian dengan Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW/RUTR) kabupaten/kota, dampak perkembangan sektor lain yang ditunjukkan oleh indikator konversi lahan dan potensi dampak positif terhadap output pengembangan kawasan. Berdasarkan skor kesesuaian 1 – 9, kesesuaian pengembangan komoditas padi, padi, jagung, kedelai dan tebu terhadap Program MP3EI untuk rata-rata kabupaten di Indonesia menunjukkan sesuai cukup sesuai dengan skor 5, kurang sesuai untuk pencapaian target sesuai Renstra Kementan dengan skor 3, cukup sesuai untuk kesesuaian terhadap target Renstra Propinsi dengan skor 4, lebih dari sesuai untuk kesesuaian terhadap target Renstra Kabupaten Kota dengan skor 6, sesuai untuk kesesuaian terhadap RTRW Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan skor masing 5 dan lebih dari sesuai untuk potensi replikasi model pengembangan dan keterkaitan dengan dengan kawasan kawasan lain dengan skor 6. Kondisi yang relatif sama untuk kabupaten

(17)

xvi

contoh dengan sedikit perbedaan nilai pada masing-masing komoditas, dimana beberapa kabupaten menjukkan angka kurang sesuai dengan target renstra kementan contohnya adalah Kutai Kertanegara dan Bulungan yang tidak sesuai untuk komoditas jagung, tebu dan kedelai. Sedangkan pengembangan kawasan sapi potong menunjukkan skor kesesuai yang sama untuk kesesuaian dengan MP3EI dan juga skor 4 untuk kesesuain target Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pertanian, namun kurang sesuai untuk indikator lainnnya yaitu dengan skor 3. Kesesuaian pengembangan sapi potong dengan RTRW kabupaten/kota belum sesuai (diperoleh nilai skor 3), demikian pula dengan beberapa kabupaten contoh yang belum sesuai dengan RTRW kabupaten/kota adalah Gorontalo dan Pohuwato.

45. Antispasi terhadap alih fugsi lahan dan desakan perkembangan komoditas, subsektor dan sekor lain dalam upaya mempertahankan swasembada pangan sangat diperlukan. Kondisi ini menyebabkan penurunan produksi akibat dari alih fungsi lahan. Hasil analisis menunjukan penurunan lahan sebesar 10 persen akibat alih fungsi menyebabkan penurunan output (PDRB) sebesar 20 persen lebih. Penurunan output yang cukup besar terjadi di Jawa dan Luar Jawa, sebagai contoh di kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara dan Gorontalo merupakan wilayah yang paling besar potensi turunnya output (sekitar 30 persen). Rata-rata potensi penurunan output di kabupaten contoh adalah 25 persen. Tingginya pengaruh ini disebabkan sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang tinggi pada perekonomian daerah. Namun demikian, dilain pihak potensi peningkatan output akibat pengembangan kawasan komoditas strategis tanaman pangan, dapat meningkatkan output rata-rata untuk seluruh kabupaten kota di Indonesia Indonesia sampai 11 persen. Peningkatan output yang cukup besar diperkirakan terjadi dikabupaten contoh adalah di Lampung Tengah, Lampung Utara, Gorontalo dan Pohuwato.

Faktor-Faktor Strategis Kunci Berdasarkan Kriteria dan Indikator Penentuan Pengembangan Kawasan Komoditas Strategis

Komoditas Padi

46. Berdasarkan kriteria pengembangan kawasan, faktor-faktor yang menjadi pendukung pengembangan kawasan padi pada 245 Kabupaten/Kota calon lokasi yang terpilih untuk pengembangan kawasan adalah terdiri dari potensi keberlanjutan, kesesuaian lahan dan agroekosistem, kontribusi terhadap perekonomian wilayah, dukungan layanan untuk pengembangan kawasan dan penerimaan masyarakat atau kesesuaian terhadap sosial budaya setempat. Sementara itu, faktor yang menjadi penghambat pengembangan kawasan berbasis komoditas padi terdiri dari kriteria kurangnya dukungan prasarana dan sarana pengembangan dan dukungan stakeholder terkait dalam pengembangan komoditas padi. Sementara itu, pada 391 kabupaten/kota yang tercatat pada Lampiran Permentan No 50 Tahun 2012, faktor-faktor yang menjadi pendukung adalah kesesuaian lahan dan agroekosistem, dukungan layanan pengembangan, potensi keberlanjutan, dukungan stakeholder, dukungan prasarana dan sarana,

(18)

xvii

dukungan layanan pengembangan, dan faktor yang menjadi penghambat adalah penerimaan masyarakat.

47. Berdasarkan indikator dari kriteria pengembangan kawasan, faktor pendukung pengembangan kawasan padi, terdiri dari indikator kesesuaian terhadap RTRW Provinsi dan Kabupaten/kota, indikator keadaan ekisting luas tanam dan indikator dampak peningkatan pendapatan petani padi, indikator akses dukungan layanan pengembangan dan indikator dukungan stakeholder terkait. Faktor penghambat pada kriteria dukungan prasarana dan sarana terdiri dari indikator koordinasi dan integrasi, keterkaitan dengan kawasan lain, alokasi anggaran untuk pengembangan kawasan berbasis komoditas padi menjadi indikator yang bisa menghambat pengembangan kawasan berbasis padi.

48. Analisis faktor strategis kunci pengembangan kawasan berbasis komoditas padi dilakukan juga pada lokasi kabupaten contoh. Pada 12 kabupaten dari 6 provinsi secara umum adalah kriteria kesesuaian agroekologi, ketersediaan infrastruktur, penerimaan sosial dan potensi keberlanjutan menjadi faktor pendorong pengembangan kawasan padi. Sedangkan kriteria yang menjadi faktor penghambat ada pada kriteria dukungan layanan pengembangan dan kontribusi perekonomian wilayah yang ditunjukan pada Kabupaten Pohuwato dan Bengkayang dan kriteria dukungan stakeholeder, yang menjadi temuan di kabupaten Lampung Tengah, Tasikmalaya, Blitar, Malang dan Kabupaten Sambas. Indikator dari kriteria yang penghambat pengembangan kawasan terdiri dari dukungan layanan ditunjukan oleh kurangnya akses petani padi terhadap program-program pengembangan SDM yang diadakan, akses petani terhadap pengendalian HPT, akses petani padi terhadap kebijakan dan program-program yang diadakan pemerintah dan program operasional pemberdayaan masyarakat. Sedangkan indikator penghambat pada kriteria dukungan stakeholder secara umum ada pada indikator kurangnya dukungan alokasi anggaran baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan yang terkait di sektor tanaman pangan untuk komoditas padi.

49. Berdasarkan kriteria pengembangan kawasan, faktor pendukung pada 212 Kabupaten/kota hasil analisis calon lokasi pengembangan kawasan jagung terdiri dari kriteria potensi keberlanjutan, kontribusi terhadap perekonomian, kesesuaian lahan dan agroekosistem, penerimaan masyarakat dan dukungan layanan pengembangan. Sedangkan kriteria yang menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan jagung adalah ketersediaan prasarana dan sarana serta dukungan stakeholder. Sementara itu hasil analisis pada 229 Kabupaten/kota lokasi pengembangan kawasan jagung yang tercatat Peraturan Menteri Pertanian No 50 Tahun 2012, kriteria yang menjadi faktor pendukung dan penghambat ditunjukan sama dengan hasil analisis pada penelitian ini hanya saja besarannya yang berbeda.

(19)

xviii

50. Berdasarkan indikator dari masing-masing kriteria yang menjadi faktor pendukung pengembangan kawasan jagung adalah indikator tingginya akses penelitian pengembangan pada komoditas jagung, indikator menimbulkan dampak positif pengembangan wilayah, tingginya trend produktivitas yang berarti bahwa peningkatan produktivitas dalam pengembangan kawasan jagung diterima dengan baik oleh masyarakat, kesesuaian lahan dan agroekosistem, bertambahnya pengolahan hasil dan peningkatan pendapatan petani. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan jagung adalah kurangnya dukungan prasarana dan sarana pada modal serta kurangnya alokasi anggaran pemerintah provinsi pada pengembangan komoditas jagung.

51. Hampir semua kriteria menjadi faktor strategis pendukung pada lokasi kabupaten contoh pengembangan kawasan berbasis komoditas jagung, kecuali di Kabupaten Bulungan untuk kriteria dukungan layanan pengembangan dan penerimaan sosial masyarakat terhadap pengembangan komoditas jagung. Kriteria dukungan layanan pengembangan juga menjadi faktor penghambat di Kabupaten Lampung Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar, Malang dan Sambas. Indikator dari faktor strategis kunci yang menjadi faktor penghambat tersebut adalah kurangnya dukungan petani dalam mengakses hasil-hasil penelitian dan Iteknologi serta akses pada program-program pengembangan SDM. indikator jumlah penduduk miskin rawan pangan menjadi indikator dari faktor penghambat pada kriteria kontribusi perekonomian wilayah. Sedangkan indikator pada kriteria dukungan stakeholder ditunjukan oleh indikator keberpihakan dukungan alokasi anggaran baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan yang terkait di sektor tanaman pangan untuk komoditas Jagung.

Komoditas Kedelai

52. Secara umum faktor yang menjadi pendukung pengembangan kawasan berbasis komoditas kedelai pada 190 kabupaten/kota terpilih ditentukan berturut-turut oleh terdiri dari kriteria potensi keberlanjutan, penerimaan masyarakat, kesesuaian lahan dan agroekosistem, kontribusi terhadap perekonomian serta dukungan layanan pengembangan. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan adalah pada kriteria ketersediaan prasarana dan sarana serta dukungan stakeholder. Sementara itu, pada 194 lokasi pengembangan kawasan yang tercatat Lampiran Permentan No 50 Tahun 2012, factor-faktor yang menjadi pendukung terdiri dari kriteria potensi keberlanjutan, kesesuaian lahan dan agroekologi, kontribusi terhadap pertanian dan kriteria penerimaan masyarakat. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah kriteria dukungan layanan pengembangan, dukungan prasarana dan sarana serta dukungan stakeholder.

53. Hasil analisis indikator dari kriteria pengembangan kawasan kedelai, menunjukkan bahwa 42 indikator dari 60 indikator yang digunakan dalam analisis menjadi faktor pendukung pengembangan. Indikator dari kriteria

(20)

xix

tersebuta diantaranya adalah dampak positif pengembangan kawasan, akses penelitian dan pengembangan, dukungan stake holder dalam pengembangan kawasan yang berbasis komoditas kedelai. Indikator lainnya menjadi faktor penghambat diantaranya kurang koordinasi dan integrasi dalam pengembangan kawasan, kurangnya prasarana dan sarana modal, kebijakan dan peraturan terkait serta alokasi anggaran yang tidak berpihak pada pengembangan komoditas kedelai.

54. Pada kabupaten contoh, kriteria dukungan stakeholder memegang peranan penting dalam pengembangan kawasan berbasis komoditas kedelai, kriteria tersebut ternyata menjadi faktor penghambat pada lokasi di Kabupaten Lampung Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar dan Malang. Hal tersebut ditunjukan oleh indikator kurangnya ataupun keberpihakan alokasi anggaran baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan instansi lain yang terkait di sektor tanaman pangan untuk komoditas kedelai. Di sisi lain kriteria kesesuaian agroekologi, dukungan infrastruktur, besarnya dukungan layanan pengembangan, kontribusi perekonomian wilayah yang didukung oleh penerimaan sosial masyarakat dan potensi keberlanjutan menjadi faktor pendukung pengembangan kawasan berbasis kedelai.

Komoditas Tebu

55. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada pengembangan kawasan komoditas tebu kriteria potensi keberlanjutan, potensi dukungan prasarana dan sarana dan kriteria penerimaan masyarakat menjadi faktor pendukung dalam mengembangkan kawasan tebu. Sedangkan kriteria lainnya yaitu kesesuaian lahan dan agroekosistem, kontribusi terhadap perekonomian, dukungan layanan pengembangan dan dukungan stakeholder menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan tebu pada 161 Kabupaten/Kota hasil analisis. Sedangkan pada lokasi 76 Kabupaten/Kota yang tercatat pada Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 kriteria faktor yang pendukung dan penghambat adalah sama dengan kabupaten hasil analisis, dengan nilai yang berbeda.

56. Hasil analisis indikator dari masing-masing kriteria menunjukkan bahwa 30 indikator merupakan faktor pedukung pengembangan kawasan tebu diantaranya ketersediaan prasarana dan sarana baik itu teknologi pengolahan hasil dalam hal ini pabrik gula, trend produksi tebu yang tinggi yang menunjukan penerimaan masyarakat untuk mengembangkan komoditas tebu. Disamping itu, dukungan prasarana dan sarana modal dari sisi petani tebu dan sudah baiknya indikator dukungan kebijakan dan peraturan terkait untuk pengembangan tebu. Sedangkan untuk 30 indikator lainnya yang termasuk faktor penghambat pengembangan kawasan yaitu indikator pendapatan pada kriteria konrtibusi terhadap perekonomian daerah yang masih rendah, akses community development yang masih kurang, akses diklat dan SDM yang masih rendah pada kriteria dukungan layanan pengembangan, dan kurangnya keterkaitan antar daerah pengembangan kawasan tebu pada kriteria lainnya.

(21)

xx

57. Pengembangan kawasan berbasis komoditas tebu pada kabupaten contoh menunjukkan bahwa faktor penghambat pengembangan kawasan secara umum muncul di sebagian besar kriteria, seperti kriteria kesesuaian agroekologi menjadi penghambat pada kabupaten Tasikmalaya dan Pohuwato, minimnya dukungan stakeholder dan penerimaan masyarakat yang rendah dalam pengembangan kawasan komoditas tebu. Pada kabupaten contoh Kabupaten Lampung Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar, Malang dan Kabupaten Sambas faktor penghambat pengembangan kawasan tebu terdiri dari indikator alokasi anggaran pusat dan daerah terhadap pengembangan komoditas tebu. Penerimaan sosial masyarakat juga menjadi faktor penghambat, hal ini ditunjukan dengan indikator kriteria yang semakin menurun pada perkembangan luas areal tanam, produksi, produktivitas, volume pengolahan hasil, volume pemasaran hasil dan perkembangan investasi.

Komoditas Sapi Potong

58. Hasil analisis faktor pendukung dan penghambat pengembangan kawasan berbasis Sapi Potong pada 243 Kabupaten/Kota semua kriteria yang ada masuk menjadi faktor pendukung. Hal yang sama juga terjadi pada 298 Kabupaten/Kota yang tercatat pada lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012. Kriteria menunjukan dukungan stakeholder yang tinggi, kontribusi terhadap perekonomian daerah yang tinggi, dukungan potensi prasarana dan sarana, dukungan layanan pengembangan, Kesesuaian lahan dan agroekosistem yang cocok serta didukung potensi keberlanjutan dan kriteria penerimaan masyarakat yang baik terhadap program pengembangan kawasan berbasis sapi potong. Hasil analisis terhadap indikator dari kriteria menunjukan berbeda, dimana terdapat 6 indikator yang menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan sapi potong yaitu tingginya serangan penyakit terhadap ternak, akses community development peternak yang masih rendah, keterkaitan kawasan sapi potong antar daerah yang masih kurang, dan indikator potensi replikasi dengan daerah lain yang masih belum merata.

59. Hasil analisis pada kabupaten contoh seperti di Kabupaten Sambas dan Bengkayang kriteria kontribusi pengembangan kawasan terhadap kontribusi perekonomian wilayah menjadi faktor penghambat, ini ditunjukan oleh indikator jumlah penduduk miskin dan rantai nilai komoditas yang rendah di usahatani sapi potong; untuk faktor penghambat kriteria dukungan stakeholder pada Kabupaten Lampung Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar dan Malang ditunjukan melalui indikator kurang keberpihakan alokasi anggaran pusat dan daerah terhadap pengembangan komoditas sapi potong; sedangkan untuk kriteria faktor penerimaan sosial masyarakat yang masih rendah ditunjukan di Kabupaten Lampung Utara.

(22)

xxi

Faktor Strategis Kunci Berdasarkan Kerangka Subsistem Agribisnis (Rantai Nilai Komoditas) dan Faktor Kunci Pengembangan Kawasan Komoditas Padi

60. Faktor strategis kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan komoditas padi secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah akses modal dan pembiayaan; pengadaan dan distribusi input dan kebijakan dan peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Pada pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor Strategis Kunci yang menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota pada seluruh sub sistem, hal yang sama juga terjadi pada kebijakan dan peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Sedangkan untuk pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input menjadi faktor strategis kunci yang menghambat pada subsistem ushatani dan terjadi pada seluruh kabupaten contoh, serta subsistem tertentu tehadap kabupaten kota. Pada faktor strategis kunci lainnya, terjadi hambatan di kabupaten tertentu dan pada subsistem tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi secara detail terhadap masing-masing kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis kunci menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan padi, namun demikian apabila dilihat pada masing kabupaten cenderung tidak terjadi hambatan pada masing-masing subsistem, kecuali pada subsistem agribisnis hulu pada Kabupaten Garut dan Sambas, dan subsistem penunjang pada Kabupaten Bulungan. Komoditas Jagung

61. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat faktor strategis kunci yang menghambat dalam pengembangan kawasan jagung, kecuali pada faktor strategis kunci akses modal dan pembiayaan dalam pengembangan kawasan komoditas jagung secara rata-rata pada seluruh subsistem. Pada pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor strategis kunci yang menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota pada seluruh sub sistem. Pada faktor strategis kunci kebijakan yang mendorong terjadinya iklim usaha, hampir menjadi hambatan pada seluruh kabupaten dan subsistem. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kondisi komoditas jagung dan padi, sehingga evaluasi secara detail terhadap masing-masing kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis kunci tidak menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan jagung, namun demikian apabila dilihat pada masing-masing kabupaten terjadi kecenderung hambatan pada faktor strategis kunci SDM, input, pasar, prasarana dan sarana. Secara rata-rata tidak terjadi hambatan pada masing-masing subsistem, kecuali pada subsistem agribisnis hulu dan subsistem usahatani pada kabupaten, dan subsistem hulu dan usahatani pada Kabupaten Kutaikertanegara.

(23)

xxii Komoditas Kedelai

62. Faktor strategis kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan komoditas kedelai secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah akses modal dan pembiayaan; pengadaan dan distribusi input dan kebijakan dan peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Pada pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor strategis kunci yang menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota pada seluruh sub sistem, hal yang sama juga terjadi pada kebijakan dan peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Sedangkan untuk pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input menjadi faktor strategis kunci yang menghambat pada subsistem usahatani dan terjadi pada seluruh kabupaten contoh, serta subsistem tertentu tehadap kabupaten/kota. Pada faktor strategis kunci lainnya, terjadi hambatan di kabupaten tertentu dan pada subsistem tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi secara detail terhadap masing-masing kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis kunci menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan kedelai, namun demikian apabila dilihat pada masing-masing kabupaten cenderung tidak terjadi hambatan pada masing-masing subsistem, kecuali pada subsistem agribisnis hulu pada pada seluruh kabupaten contoh, kecuali Kabupaten Kutaikertanegara. Komoditas Tebu

63. Faktor Strategis Kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan komoditas tebu secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah akses modal dan pembiayaan; pengadaan dan distribusi input dan kebijakan dan peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Pada pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor strategis kunci yang menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota pada seluruh sub sistem, hal yang sama juga terjadi pada kebijakan dan peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Sedangkan untuk pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input menjadi faktor strategis kunci yang menghambat pada subsistem usahatani dan terjadi pada seluruh kabupaten contoh, serta sbsistem tertentu tehadap kabupaten kota. Pada faktor strategis kunci lainnya, terjadi hambatan di kabupaten tertentu dan pada subsistem tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi secara detail terhadap masing-masing kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis kunci menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan Tebu, namun demikian apabila dilihat pada masing kabupaten cenderung tidak terjadi hambatan pada masing-masing subsistem, kecuali di Kabupaten Garut, Sambas, Bengkayang dan Kabupaten Kutaikertanegara dan pada subsistem agribisnis hilir pada Kabupaten Tasikmalaya. Hambatan cenderung terjadi pada wilayah-wilayah yang tidak terdapat pabrik gula di Kabupaten contoh atau kabupaten yang terdekat dengan kabupaten contoh.

(24)

xxiii Komoditas Sapi Potong

64. Faktor strategis kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan komoditas sapi potong secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah akses modal dan pembiayaan, dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota pada seluruh sub sistem. Sedangkan untuk sumberdaya manusia cenderung menjadi penghambat pada kabupaten contoh Tasikmalaya, Sambas, Bengkayang, Kutaikertenagara dan Bulungan. Pada subsistem pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input menjadi faktor strategis sunci yang menghambat pada subsistem usahatani dan cenderung untuk seluruh subsistem pada Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Sambas, Bengkayang, Kutaikertanegara, Bulungan. Pada faktor strategis kunci kebijakan dan peraturan yang mendorong terciptanyaiklim usaha yang kondusif, hambatan untuk seluruh subsistem cenderung terjadi pada Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara, Sambas dan Bengkayang. Pada faktor strategis kunci koordinasi dan integrasi, cenderung menjadi penghambat untuk seluruh subsistem pada Kabupaten Garut, Sambas dan Bengkayang dan pada subsistem tertentu pada kabupaten lainnya. Pada faktor strategis kunci lainnya, terjadi hambatan di kabupaten tertentu dan pada subsistem tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi secara detail terhadap masing-masing kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis lunci menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan sapi potong, namun demikian apabila dilihat pada masing-masing kabupaten cenderung tidak terjadi hambatan pada masing-masing subsistem, kecuali di Kabupaten Sambas, Bengkayang dan Kabupaten Kutaikertanegara dan pada subsistem jasa penunjang pada Kabupaten Gorontalo dan Pohuwato, dan subsistem hilir dan jasa penunjang pada Kabupaten Kutai Kertanegara. 65. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor strategis kunci baik berdasarkan

kriteria (7 kriteria) dan indikator dari masing-masing kriteria (60 indikator) maupun berdasarkan rantai nilai komoditas strategis dapat disarikan bahwa faktor-faktor strategis kunci keberhasilan pengembangan kawasan komoditas strategis harus memiliki kesinambungan, ketersediaan, keterkaitan dan keterpaduan pada seluruh faktor kunci dan subsistem agribisnis yang merupakan komponen yang tak terpisahkan satu sama lainnya. Rincian intisari faktor strategis dimaksud adalah diantaranya adalah: (1). Perencanaan dan gerakan nasional pengembangan secara konsisten mulai dari pusat hingga lokasi dalam jangka panjang; (2). Ketepatan dalam penyediaan sumberdaya, prasarana dan sarana agribisnis hulu hingga hilir dengan subsistemnya hingga lokasi (tepat jenis, tepat tempat, tepat guna; tepat waktu; tepat jumlah; tepat mutu; tepat penerima; tepat pengelola); (3). Ketepatan dalam intervensi, yaitu pada tahapan mana dan program dan kegiatan apa saja calon lokasi kawasan ditetapkan dan dibangun atau dikembangkan sebagai kawasan produksi komoditas strategis; (4). Kapasitas lembaga pengelola dan penanggungjawab pembangunan atau pengembangan kawasan dari pusat hingga lokasi secara memadai; (5). Kemauan kuat dan dukungan penuh dari kepala pemerintahan pusat hingga Intisari Faktor Strategis Kunci Pengembangan Kawasan

(25)

xxiv

unit kecamatan bahkan desa; (6). Dukungan kuat dari seluruh stakeholder terkait; (7) Penyiapan sumberdaya, prasarana dan sarana modal, informasi, pasar, sumberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan sesuai kebutuhan; dan (8). Koordinasi, sinkronisasi, integrasi dan keterpaduan baik dalam lingkup eselon I Kementan, antara Kementerian atau Lembaga terkait dari pusat hingga daerah.

66. Responden para pengambil kebijakan dan pakar/peneliti pusat menempatkan kontribusi terhadap perekonomian sebagai prioritas pertama kemudian diikuti kelestarian sumberdaya dan lingkungan hidup dan kesesuaian terhadap sosial budaya setempat pada penentuan kawasan komoditas strategis tanaman dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup kemudian diikuti oleh kontribusi terhadap perekonomian wilayah dan kesesuaian terhadap sosial budaya setempat untuk kriteria penentuan kawasan ternak. Namun demikian persepsi para pengambil kebijakan dan para pakar dan peneliti di enam propinsi contoh nampaknya menunjukkan indikasi yang berbeda dimana kesesuaian terhadap sosial budaya menjadi prioritas pertama di Propinsi Lampung, untuk pengembangan kawasan tanaman dan ternak, dan Propinsi Kalimantan Timur untuk pengembangan kawasan tanaman. Pada propinsi lainnya kontribusi perekonomian wilayah menjadi prioritas pertama dan kelestarian lingkungan hidup menjadi prioritas terakhir baik untuk tanaman maupun ternak.

Persepsi Mengenai Fokus Upaya Pencapaian Empat Target Sukses Kementerian Pertanian

67. Pada persepsi mengenai orientasi pembangunan pertanian, diperoleh gambaran bahwa penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha menjadi prioritas pertama menurut responden pusat dan propinsi contoh kecuali Propinsi Jawa Barat. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pengentasan kemiskinan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara ramah lingkungan pada prioritas berikutnya kecuali di Propinsi Jawa Barat untuk tanaman dan ternak dan Jawa Timur untuk ternak yang menempatkan pertumbuhan ekonomi pada prioritas tinggi. Secara umum kecuali di kedua Propinsi tersebut, pertumbuhan ekonomi menjadi pilihan terkahir pada orientasi pembangunan pertanian.

68. Pada persepsi responden mengenai pencapaian empat target sukses Kementan diperoleh gambaran bahwa peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor merupakan prioritas tertinggi pada tingkat pusat dan Propinsi Lampung. Pada lima propinsi lainnya yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan untuk tanaman menempati prioritas pertama dari persepsi responden. Untuk komoditas ternak peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor menempati prioritas pertama. Peningkatan pendapatan petani menempati urutan terakhir di Pusat dan Lampung dan Kalimantan Timur untuk ternak. Secara keseluruhan hasil analisis persepsi ini menunjukkan bahwa pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, peningkatan diversifikasi pangan dan gizi dan peningkatan

Referensi

Dokumen terkait

berkembang dengan pesat itu dapat terlihat dari taraf kehidupan mereka yang sudah meningkat dari hari-kehariFaktor sehingga mereka tidak ingin kembali ke kampung halamanya

Makaampo 002 Sawang Bendar Tahuna Kab Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara 95812... Malahasa Soataloara II 004/00 Soataloara II Tahuna Kab Kepulauan Sangihe Sulawesi

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kinerja sistem antrian pada Bank SulutGo cabang utama sudah optimal karena waktu terpanjang yang dibutuhkan seorang nasabah

Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan jumlah sel Leydig dan sel-sel spermatogenik secara bermakna (p<0,05) pada kelompok hiperlipidemia dan setelah diberi

Oleh karena itu perawat ruang rawat inap cenderung tidak mengalami stres kerja tinggi, dikarenakan salah satu faktor locus of control mereka tinggi begitu pula dari

Seorang mahasiswa interfacing membuat sebuah kotak ajaib yang diberi nama KBPJ (Kotak Saya Belum Punya Judul), Kotak tersebut bisa mendeteksi bola warna merah, putih dan biru, jika

Puri Indah Boulevard blok U1 Jakarta Barat TANGERANG BEST DENKI AEON Mall lt.3 Jl Grand Boulevard BSD City, Tangerang BEKASI BEST DENKI. Summarecon Mall Bekasi