• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendengar suara purba di tengah budaya: telaah semiotik atas musik "Daily" karya I Wayan Sadra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Mendengar suara purba di tengah budaya: telaah semiotik atas musik "Daily" karya I Wayan Sadra - USD Repository"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

MENDENGARKAN SUARA PURBA DI TENGAH BUDAYA

Telaah Semiotik atas Musik “Daily” Karya I Wayan Sadra

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program

Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh

Joko Suranto NIM: 046322007

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Mendengarkan Suara Purba di Tengah Budaya: Telaah Semiotik atas Musik “Daily” Karya I Wayan Sadra” merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Klaten, 30 Juni 2009

(5)

MOTTO

Orang lupa, apabila pada waktu pagi, ia memandang apa yang akan ia kerjakan. Sedangkan orang yang berakal, ia melihat (memikirkan) apa yang akan ditetapkan Allah

(6)

PERSEMBAHAN

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Tesis ini, sebagai sebuah teks, tidak lepas dari cakrawala pemikiran yang dibentuk oleh lingkungan ruang dan waktu di mana penulis berada dan berkarya. Untuk itu peran serta manusia dan kebudayaan di sekitar penulis adalah hal penting bagi lahirnya teks seperti tesis ini.

Ucapan terima kasih pertama kali diucapkan kepada Tuhan yang senantiasa menjaga di setiap waktu di mana saya berkarya. Tak lupa kepada Pak Nardi selaku pembimbing utama yang, dengan kesabarannya mau menemani untuk “mencari bersama” proses kajian musik secara semiotika ini. Juga kepada Mas Djohan Salim selaku pembimbing pendamping yang memompa spirit penulis untuk segera merampungkan penulisannya.

Kepada almarhumah istri tercinta, Nana Agustina, “Nafasmu masih berasa menemaniku setiap waktu berkarya, sayang”. Juga kepada anak-anak terkasih, si kembar Kinnara dan Gitakara, “Gairah hidupku membuncah setiap menatapmu, sayang”. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada staf akademika Program Pascasarjana IRB-USD dan teman-teman yang telah menemani untuk menyelami studi Kajian Budaya. Dan ucapan tak terkira disampaikan kepada Beli Wayan Sadra yang telah berkenan menyediakan data-data yang dibutuhkan, keluarga besar Syamsu—Mas Dwi, Mas Gono, Mas Bali, Mbak Tri, Mas Bagong, Mas Prie berikut keluarganya semua—juga Wuk Popi. Mereka semua telah berjasa mewarnai pemikiran penulis sehingga lahirlah tesis ini dengan kelebihan dan kekurangannya.

(9)

ABSTRAK

Salah satu yang menarik dari musik kontemporer adalah munculnya keniscayaan komposer untuk memilih, mencari, atau menemukan cara baru dalam membangun komposisi musiknya. I Wayan Sadra, sebagai salah satu komposer yang bekerja di wilayah itu, telah banyak melakukan cara atau pendekatan tersebut hingga melahirkan karya-karya yang menjadi perbincangan dalam jagat musik kontemporer. Salah satu karya yang berjudul “Daily” dianggap sebagai milestone, menjadi tonggak sejarah dalam karya musik multimedia dan mendapat penghargaan bergengsi New Horizons Award dari International Society for Art, Sciences and Technology di Berkeley California pada tahun 1991.

Penelitian ini menganalisis bagaimana cara tersebut beroperasi dan makna apa yang diproduksi dari karya tersebut. Melalui pendekatan semiotik yang dipadukan dengan teori dekonstruksi Derrida, penelitian ini menunjukkan bahwa “Daily” tidak menampakkan adanya jalinan struktur musik yang secara musikologis mengacu pada konvensi-konvensi musik yang sudah ada, baik tradisional maupun modern. Pengkaburan unsur-unsur (tanda) musikologis (nada, melodi, jalinan ritme) tersebut pada akhirnya mengacaukan hubungan sintagmatik dalam struktur karya musiknya. Di sisi lain, pengkaburan tanda-tanda musikologis ini dengan sendirinya juga menunjukan adanya dekonstruksi atas struktur komposisi musiknya. Kekacauan sintagmatik dan struktur komposisi “Daily” yang tidak bisa dinilai dengan ukuran estetika baku ini, berujung pada apa yang disebut “khaos” atau sublimsemacam fenomena (suara) purba—seperti kerusakan linguistik yang oleh Jakobson disebut aphasia.

Rupanya, momen seperti itulah yang dikehendaki Sadra. Bahwa dengan “mengacaukan” hubungan sintagmatik maupun paradigmatiknya, ia telah melakukan new configuration

Derridean atau dekomposisi (“teks baru”—Bartesian). Dekomposisi yang dilakukannya itu telah melahirkan efek pembongkaran pemahaman alat musik gong tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang sakral. ”Daily” dengan demikian mengantarkan audiens untuk bertamasya ke wacana posmodern yang di dalamnya bernaung ruang-ruang pembebasan hasrat manusia, termasuk pembebasan dari dogmatisme tradisional. Tradisi, bagi Sadra, hanyalah bahan baku yang senantiasa lentur dan terbuka terhadap berbagai model pembaruan.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Judul………. i

Halaman Persetujuan……..……… ii

Halaman Pengesahan…….……… iii

Pernyataan……….……..………iv

Motto………..…….……… v

Persembahan……….. vi

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya untuk Kepentingan Akademis……….. vii

Kata Pengantar……….. viii

Abstrak……….. ix

Daftar isi……….… x

BAB I: PENDAHULUAN 1. Latar Belakang……….……….. 1

2. Batasan dan Rumusan Masalah………. 3

3. Tujuan Penelitian……….……….. 5

4. Manfaat Penelitian………. 6

5. Tinjauan Pustaka……… 7

6. Landasan Konseptual………. 9

(11)

BAB II: SADRA: “BEBASKAN MUSIK DARI BEBAN KULTURNYA”

1. Kesenian Itu Mencakup Semua Media………..……….. 17

2. Dari Banjar Menuju Seniman Kosmopolitan…….……….……… 20

3. Bebaskan Musik dari Beban Kulturnya…………..……….…… 28

4. Medan Kreatif: dari Idealis hingga Konformis……..………….………. 32

BAB III: KOMPOSISI “DAILY” KOMPOSISI “DAILY” KHAOS, SUBLIM, DAN PURBAWI 1. Fisika Bunyi: Deskripsi Komposisi……….……… 39

1.1.Elemen Musikal……….………... 45

1.2.Elemen Gerak……….……….. 46

1.3.Elemen Visual……….……….. 47

2. Peran dan Kontribusi Alat dan/atau Media………..….………….. 49

3. Gramatika Musikal Komposisi Daily………..……… 51

3.1. Mencoba Mencari (Post) Struktur………..………….. 53

3.2. Kontribusi Media Memproduksi Makna Concept Art…...………... 61

BAB IV: DEKOMPOSISI, REKOMPOSISI, DAN REKULTURASI GONG DALAM “DAILY” 1. Gong: Pada Mulanya………..………. 67

2. Sakralitas (Sakralisasi) Gong……….………. 68

3. Peran dan Fungsi Gong dalam Ensambel………..…….. 74

(12)

3.2Penggiat Ritme……….…... 77

3.3Peranan Melodis……….…. 78

2. Dekomposisi atau Rekomposisi Gong………... 79

3. Rekulturisasi-Demitologisasi Kultur Gong……….… 85

BAB V: PENUTUP Penutup……….… 88

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Musik garapan baru—sering pula disebut dengan istilah musik kontemporer, musik eksperimental, new age, concept art—telah mendapat tempat tersendiri dalam diskursus para komponis dan akademisi musik di Indonesia. Ia sekaligus telah menjadi praktik bermusik “baru” bagi para komponisnya. Di Indonesia, gejala ini muncul terutama sejak diadakannya even Pekan Komponis Muda yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakakarta pada akhir 1970-an1. Boleh dikata, inilah era munculnya komponis yang mempertontonkan praktik garapan musik “baru”, dengan mendasarkan pada semangat kepenolakan pada kemapanan (tradisi) musik tertentu. I Wayan Sadra, seniman musik yang bergelut pada dunia musik ini, adalah satu di antara para komponis di Indonesia yang muncul pada era tersebut dan hingga kini konsisten membuat karya-karya eksperimental.

I Wayan Sadra, sebagaimana disebut Dieter Mack2, hampir tidak melewatkan obyek apapun tanpa mengeksplorasikan bunyi-bunyinya. Dalam artian, Sadra memiliki minat yang kuat atas segala bunyi dan media, tetapi sekaligus dia sangat sadar tentang implikasi masing-masing sumber itu dan dia selalu mengolah materi itu secara sangat terkonsentrasi. Bisa saja dia menggarap musik dari batu-batu yang terserak di jalanan, namun pengolahan bunyi-bunyi itu yang paling penting buat dia. Di sinilah kekayaan Sadra, yaitu mengolah sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang sangat kaya dan

(14)

bervariasi. Minatnya yang cukup besar pada garapan musik seperti itulah yang kemudian menjadikan karya-karyanya bersifat “mixed media”.3

Mixed media, di dalam khasanah musik Barat, sering dianalogkan dengan karya-karya para pemusik “Fluxus”. Mack menyebut, fluxus merupakan salah satu aliran yang tak mempunyai batasan estetis tertentu. Bahkan istilah ini justru menggambarkan cirri khasnya, yaitu sesuatu yang mengalun antar semua kategori, baik yang berhubungan dengan kategori seni itu sendiri maupun yang berhubungan dengan suatu gaya atau hal-hal di luar seni. Fluxus mencabut diri dari sebuah pendekatan ilmiah dan rasional, karena justru pendekatan demikian ini merupakan salah satu sasaran utama yang ingin dibongkar oleh para penganutnya.4

Sadra, menurut Mack, adalah salah satu komponis Indonesia yang kerap menciptakan karya musik secara mixed media. Salah satu karya mixed media Sadra lainnya yang cukup fenomenal adalah “Daily”. Karya yang menurut dirinya berangkat dari rasa empati setelah melihat realitas kaum black smith (pembuatan alat musik Gong) di besalen tersebut, secara embrional telah ditampilkan pada tahun 1994 dengan judul “Otot Kawat Balung Wesi.”. Karya ini dipentaskan dalam Asian Composer League di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo. Kemudian, pada even seni Nur Gora Rupa (1995), komposisi ini diolah ulang menjadi karya yang diberi judul “Gong Seret.” Dan selanjutnya, secara berturut-turut karya ini pernah dipentas-ulangkan di beberapa even musik di Indonesia. Di antaranya—setelah diolahkembangkan menjadi karya berjudul “Kesibukan Mengamati Batu-batu Dari Balik Pintu”—karya ini dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (Jakarta) pada tahun 1996. Pada pementasan waktu itu, Sadra

(15)

berkolaborasi dengan teaterawan Afrizal Malna. Empat tahun kemudian, komposisi yang memiliki pendekatan dan cara ungkap seperti yang dilakukan oleh para penganut mixed media yang fenomenal dalam jagat musik posmodern itu, juga dimainkan pada acara Sacred Rhythm di Denpasar; dan terakhir—setelah diadaptasikan dengan konteks yang berbeda hingga kemudian diberi judul “Daily”—karya yang hendak dipakai untuk membongkar mitos (gamelan) Gong ini dipentaskan di acara Art Summit IV pada tahun 2004 di Jakarta.

(16)

2. Batasan dan Rumusan Masalah

Persoalan musik eksperimental, lebih khusus lagi yang beraliran mixed media atau fluxus, teramat kompleks permasalahannya. Mencoba untuk mendefinisikan saja, sebenarnya sudah bertentangan dengan sifat dasarnya, yang oleh para penganutnya ditolak untuk didekati dengan pendekatan ilmiah dan rasional lantaran, justru pendekatan itulah yang terutama hendak dibongkar olehnya. Karena itu, untuk tidak terjebak pada wacana peristilahan (definitif), maka pembahasan tentangnya akan fokus pada praktik musik yang dilakukan oleh komponis I Wayan Sadra, yang oleh banyak pengamat/kritikus dipandang mewakili aliran musik tersebut. Pembahasan ini terutama dengan cara melakukan operasi atas salah satu karyanya yang berjudul: “Daily”.

(17)

Selamatan Gong yang dimaksudkan untuk memohon berkah dan keselamatan pemesannya yang dilakukan oleh seorang penari spiritual, Suprapto Suryodarmo. Dari pengamatannya atas upacara ini Sadra sampai pada kesimpulan bahwa sesaji dan piranti ritus hanya disikapi dengan kegembiraan asumsi tunggal yang melahirkan bentuk-bentuk penghalusan yang diciptakan pada saat Gong berpindah tangan ke kaum “kuat”: saudagar, calo, pejabat atau birokrat yang merangkap bakul (penjual). Di sini, mitos berpendar-pendar menjadi nilai jual yang mahal.5

“Daily” merupakan komposisi yang dibangun dari beberapa alat musik Gong, gergaji berukuran besar, plat baja, lempeng (panel) baja yang dipanaskan, dan hampir seratusan butir telur. Gong dimainkan dengan cara diseret di atas lantai (alas) panggung, dan dipukul oleh para pemain dengan tidak secara lazimnya memukul alat musik tersebut; gergaji digesek dan dipukul dengan tongkat besi; puluha telur dilemparkan ke lempeng baja yang dipanaskan.

Dengan memfokuskan pada karya komposisi “Daily” yang dimaksudkan oleh sang komposer sebagai satu untuk melakukan upaya demitologi alat musik Gong, selanjutnya bisa dirumuskan permasalahannya seperti berikut:

1. Bagaimana struktur (semiotikk) komposisi “Daily” karya I Wayan Sadra?

2. Bagaimana peran dan kontribusi media-media yang digunakan dalam karya tersebut?

3. Bagaimana Gong didekomposisi dan direkomposisi dalam “Daily”?

(18)

3. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan semua unsur (tanda) dalam komposisi “Daily”, baik secara (bunyi) musikal, visual, maupun gerak yang dilakukan oleh para pemainnya.

2. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari struktur komposisi “Daily” serta menunjukkan peran yang dihadirkan oleh alat atau media-media yang digunakan, baik yang berupa material bunyi, visual, maupun gerak pemainnya.

3. Dan dari dua temuan tersebut, tujuan selanjutnya adalah untuk mengetahui dan mendiskripsikan makna komposisi musik tersebut. Darinya diharapkan akan terungkap juga referensi, dasar-dasar pijakan karya (resources), gaya dan atau aliran musikal, serta penerapan metode penciptaan yang didedahkan oleh I Wayan Sadra.

4. Manfaat Penelitian

(19)

2. Selain itu, penelitian ini tentu juga diharapkan sangat bermanfaat bagi pengembangan studi Kajian Budaya, terutama bagi yang hendak mengembangkan minatnya pada studi musik kontemporer yang pendekatan kompositoriknya cenderung personal, subversif, atau melawan arus utama kesenian yang menjadi tradisinya.

5. Tinjauan Pustaka

Penilitian tentang musik kontemporer masih cukup jarang dilakukan oleh para peneliti kesenian, terlebih yang menggunakan pendekatan teori semiotik. Sungguhpun beberapa buku tentang semiotika telah mencoba mendiskusikan persoalan semiotika musik, namun perdebatan tentang material (obyek musik) yang hendak dibaca secara semiotik masih kerap dijumpai.6

Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk semakin meramaikan perdebatan wacana tersebut, melainkan justru ingin langsung mempraktikkan teori tersebut untuk melihat fenomena musik. Karenanya buku-buku teori semiotik sangat dibutuhkan sebagai pijakan untuk operasionalnya.

Jean Jacques Nattiez, dengan bukunya Music and Discourse: Toward a Semiology of Music, selain membahas basis teori semiologi, fokus studinya tentang semiologi musik sangat membantu, setidaknya untuk melihat dan memulai untuk memparktikkan prosedur atau cara membaca musik secara semiotik: Bagaimana status suara sebagai obyek semiotik (obyek dari sebuah analisa musik)? Bagaimana maknanya? Dan, bagaimana musik mengonstruksi dan mengorganisasi bunyi dalam komposisinya?

(20)

Memang seperti yang ditulis oleh Winfried Noth dalam Handbook of Semiotics,

penelitian tentang semiotika musik masih sering diperdebatkan. Dan eksplanasi Noth, yang lebih merupakan bunga rampai kajian semiotika di hampir seluruh bidang kajian (iklan, seni rupa, film, gerak/tari, dst.), menjadi penting terutama untuk melihat perdebatan semiotika musik tersebut. Darinya justru bisa diambil “celah” di mana penelitian ini akan masuk, dan dari mana pendekatan semiotika ini akan dioperasikan.

Buku Semiotika Negativa sangat penting terutama untuk menentukan langkah atau metode analisis semiotik dari momen ilmiah Saussurean menuju analisis tekstual pos-Saussurean. Bahasan semiotika Barthesian di dalam buku karangan ST. Sunardi ini sangat membantu untuk memulai memasuki wilayah bahasa “baru”, after the fact—

Sebuah wilayah yang menurut ST. Sunardi bisa dipakai untuk memasuk diskusi tentang hubungan antara modern dan posmodern.

Sementara, tulisan Rustopo berjudul Panggah dan Sadra, Anak Desa yang menjadi Komponis Dunia cukup penting terutama untuk melihat perjalanan karir Sadra semasa menekuni dunia musik (karawitan) di bangku sekolah konservatori dan akademi seni. Naskah ini lebih merupakan laporan (sejarah) deskriptip, tapi justru dari tulisan itulah persoalan-persoalan yang tersembunyi di balik peristiwa (beyond) musik yang dibuatnya itu niscaya akan terkuak. Dengan mengeksplorasi beberapa naskah lain, seperti

(21)

6. Landasan Konseptual

Fenomena munculnya fluxus, mixed media (termasuk juga new age, happening art, postminimalism, world music, sound art, cross culture) beriringan dengan kehadiran posmodernisme dalam dunia sastra.7 Gejala tersebut merupakan bias dari teori-teori sosial postmodernisme yang berkembang pada era itu. Jika dikaitkan dengan sejarah musik modern dalam dunia musik Barat—yang telah memiliki hukum-hukum (struktur) tetap, beserta perkembangannya yang ditandai dengan munculnya beragam gaya, corak, aliran, baik yang mengacu pada struktur maupun jaman (era) di mana (gaya) musik itu muncul (seperti: gaya dan atau era musik klasik, romantik, barock, reanaisance hingga kemunculan istilah musik modern itu sendiri}—sinyalemen itu relevan, sebab dengan adanya konstruks dalam musik modern, dengan sendirinya memungkinkan untuk “dibongkar” sebagaimana yang terjadi dalam posmodernisme (post-strukturalisme).

Istilah “dekonstruksi” yang muncul dalam posmodernisme kemudian acap dipakai seniman musik dengan melahirkan karya-karya di atas. I Wayan Sadra, dalam berbagai kesempatan, sering mengaskan bahwa karya musiknya selalu berangkat dari jargon: “Bebaskan musik dari beban kulturalnya”. Jargon ini bukan saja mendekonstruksi strukturnya, melainkan juga membongkar dimensi kultur musik itu sendiri. Dengan kata lain, konsep “membebaskan” bagi Sadra bukan hanya untuk menolak konstruksi material musik modern, tetapi juga menolak kultur (ekstra-musikal) yang membelenggu kreativitas bermusik. Seperti terlihat dalam salah satu konsep karyanya yang berjudul “Gong Seret”. Di sini, Gong secara struktural (musik) sudah tidak lagi berperan untuk mengakhiri sebuah “bentuk” gending, sebagaimana struktur (pakem) gending yang terjadi dalam karawitan Jawa. Dan, cara memainkannya pun tidak lagi dipukul secara digantung,

(22)

tapi diseret di lantai, dan dipukul dengan tangan secara langsung untuk menjalin komposisinya. Di sinilah Sadra, selain mendobrak struktur, ia juga “menghancurkan”, ia mendemitologisasikan kultur Gong yang, setidaknya bagi masyarakat Jawa acap dianggap sebagai sesuatu yang sakral.8

Dengan menggunkan konsep dekonstruksi Derrida, penelitian ini hendak mengkaji adakah “pendobrakan” Sadra atas (teks) kultur Gong merupakan usaha sebagaimana dekonstruksi Derrida yang berusaha memperlihatkan tumbangnya hierarki konseptual yang menstukturkan sebuah teks. Dengan kata lain, lewat dekonstruksi, sebuah teks tak lagi merupakan tatanan makna yang utuh, melainkan sebuah pergulatan antara upaya penataan dan khaos.9 Derrida dalam hal ini memperkenalkan konsep “New Configuration” sebagai jalan dekonstruksi dalam menemukan bentuknya.

Dengan melihat musik modern yang telah memiliki struktur (hukum) musik yang pakem (nada, struktur melodi, harmoni, irama, warna nada, dan seterusnya), dengan demikian bisa dipastikan bahwa musik telah memiliki gramatika yang jelas sebagaimana gramatika dalam ilmu bahasa. Di sinilah teori posmodernisme itu kemudian dipakai untuk mendekonstruksi struktur tersebut.

Karya musik I Wayan Sadra cukup representatif untuk memulai diskusi tentang musik posmodern. Musik ini, selain asing di telinga awam, pengertiannya pun kerap beragam. Ia bisa dikaji secara material musik, sekaligus aspek ekstra-musikalnya. Dari sini kita bisa melihat bahwa karya musik Sadra telah menunjukkan dua arti sekaligus: aliran (suatu kesatuan ide, characteristic of present) dan era (time frame).

8 Wawancara dengan Sadra

(23)

Di sisi lain, karya seperti ini juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah musik diatonis Barat (musik seni, musik klasik, atau apapun padanannya). Dan ini tidak sekadar berhubungan dengan kurun waktu, namun menunjuk pada gaya atau aliran-aliran yang spesifik: dari musik-musik abad ke 20 atau sejak masa emansipasi disonan (ada juga yang berpendapat sejak impressionisme), lalu liberasi bunyi paska PD II, hingga trend munculnya new age, happening art, posminimalis, world music, sound art, cross culture—entah dalam satuan-satuan ide yang masih berujud gerakan maupun yang sudah terkulminasi menjadi gaya atau aliran. Dari pandangan ini, Arnold Schoenberg, Bella Bartok, Igor Stravisky, Philip Corner, Philip Glass, John Adams, Sinakagawa, Abdul Syukur atau I Wayan Sadra dikategorikan sebagai komponis-komponis yang berhaluan liberasi bunyi tersebut.10

Perdebatan yang muncul dalam postmodern adalah bahwa gejala posmodernisme (termasuk yang terjadi di jagat musik) dianggap telah mengobarkan semangat anything goes (apapun boleh-boleh saja), penganjur “relativisme” yang ekstrem, terlalu permisif, membiarkan dan membenarkan apa saja. Di sisi lain, dekonstruksi yang dirayakan posmodernisme juga kerap dituduh serba negatif, menghancurkan yang sudah ada, bersikap nihilistik, atau melumpuhkan perjuangan yang mulia.11

Sebaliknya, kalangan yang sepaham dengannya melihat postmodernisme membuka berbagai kemungkinan yang semula tidak masuk akal, mustahil atau tabu. Ia pejuang keterbukaan yang radikal. Dalam bahasa Ariel Heryato, postmodernisme bagaikan bunyi sebuah puisi ketimbang instruksi militer atau resep makanan. Puisi,

(24)

seturut Ariel, membentangkan kemungkinan makna-makana dan terbuka pada pembaca(an) yang bermacam-macam. Banyak puisi yang “bagus” bersifat ambigu, serba menantang pembacaan yanga aktif dan bisa membingungkan. Tapi ini tidak berarti semua teks yang membingungkan dan penuh ambiguitas-seperti ramalan lotre nasional- dengan sendirinya adalah puisi yang “bagus”. Dalam dunia postmodern persoalannya bukan pada mana yang “salah” dan “benar” atau mana yang “bagus” dan “buruk”, tapi bagaimana karya itu membentangkan makna yang terbuka.12

Penelitian ini lebih merupakan studi tekstual atas karya musik I Wayan Sadra. Dan pendekatan tekstual ini akan dilakukan dengan “membaca” secara semiotik atas karyanya. Pendekatan semiotika musik memang masih rawan debat, misalnya terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana musik menghadirkan makna bagi penikmatnya (audiens)? Apakah “bunyi” bisa dipelajari sebagai “tanda”, “komposisi” sebagai “pesan”, dan “musik” sebagai sebuah “sistem semiotik”—sebagaimana pernah diperdebatkan oleh Benveniste dan Ruwet13—sehingga bisa digali maknanya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah lama menjadi perdebatan dalam diskursus studi semiotika, karena “sistem tanda” dalam musik itu non linguistik, tidak juga visual. Lebih dari itu, musik juga mensyaratkan prosedur yang membuat musik itu ada (baca:

score [partitur] dan kehadiran bunyinya). Apakah dengan demikian musik tidak bisa diperiksa maknanya secara semiotik?

Jean-Jacques Nattiez14 mengemukakan, memang musik bukan sekadar seperti “teks” (bahasa), bukan juga sekadar struktur komposisi bunyi. Tetapi, ia tetap merangsang aksi penafsirkan. Dengan demikian, dengan melihat sistem semiotik

12Ibid, hal 84.

13 Winfried Noth, hal 429.

(25)

Saussurean, yang mengandaikan “tanda” bisa berupa apapun (termasuk fenomena/citra bunyi), maka makna musik sebenarnya bisa dilihat dari bagaimana musik mengkonstruksi dan mengorganisir nada dalam komposisinya. Barthes—yang mengembangkan ide Saussure yang telah disempurnakan Hjelemslev dalam memeriksa tanda non linguistik dengan memformulasikan significatioan sebagai hubungan (relation) antara ungkapan (expression) dan isi (content)—menyejajarkan expression dengan

signifier, dan content dengan signified.15

Jika teori-teori tersebut dipakai untuk memeriksa komposisi musik, maka— sebagaimana disebutkan Eco16—susunan nada (juga irama, pola ritme, warna nada, dst.) adalah signifier, sedangkan keseluruhan komposisi (isi) adalah signified. Signification

tergantung pada hubungan antara signifier dan signified-nya. Namun karena struktur “bahasa” musik adalah struktur non linguistik (nada, warna nada, kontur melodi, harmoni, irama, pola ritme dan seluruh material musiknya terbaca lewat bunyi), maka

transfer of meaning barangkali hanya terjadi pada audiens yang telah mengalami internalisasi bunyi dan telah menstruktur dalam ingatan kolektif pemusik dan audiensnya.

Pandemen musik gamelan Jawa, misalnya, dengan mudah menyebut gending ketawang

hanya dengan mendengar pola ritme suara kendangnya. Kenapa demikian, sebab

pandemen tersebut sudah mengalami internalisasi bunyi kendang dalam gending ketawang yang telah mempunyai struktur yang tetap. Begitupun para pecinta musik-musik konvensional pada umumnya. Fenomena seperti inilah yang kemudian memproduksi pola hubungan paradigmatik yang muncul dalam serangkaian hubungan sintagmatiknya sendiri.

(26)

7. Metode Penelitian

Seperti telah dijelaskan dalam landasan teoritisnya, penelitian ini lebih merupakan studi semiotik “tingkat lanjut” (negatife) atas karya musik I Wayan Sadra. Semiotika negatife tidak sekedar merekonstruksi struktur atau sistem signifikasi obyek yang sedang diperiksa, melainkan tulisan. Untuknya, seperti disebut Barthes dalam St. Sunardi,17 diperlukan langkah-langkah, yaitu: (1) menentukan “rule of exclusion” dengan mengungkap “prinsip perbedaan”, (2) menentukan “signifying of units”, (3) menentukan

“rule of association”, dan (4) mengidentifikasi rituals of use (ideologi). Langkah-langkah tersebut akan dapat membantu untuk melihat signification, value, dan

articulation. Dengannya, system of signification obyek yang sedang diteliti akan dapat dirumuskan.

Setiap bidang kajian memiliki rules of exclusion sendiri. Prinsip yang dipakai adalah prinsip perbedaan. Lewat cara ini peneliti akan dapat menentukan satuan-satuan yang dapat dilihat sebagai tanda atau bukan tanda.

Selanjutnya, untuk menentukan struktur, pertama-tama akan dilihat dulu mulai dengan hubungan sintagmatik. Hubungan (teks) yang sifatnya logis akan dipegang lebih dulu. Kalau tidak, bisa dimulai dengan istilah atau ungkapan-ungkapan tertentu yang, barangkali akan mengingatkan pada makna lain, dengan tetap kembali ke pencarian hubungan sintagmatik kembali.

Judith Becker, dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Kalau Bahasa Dapat Diterjemahkan, Mengapa Musik Tidak?”18 menjelaskan bahwa hubungan sintagmatik di dalam karya musik adalah hubungan keterikatan seperti pada rangkaian mata rantai, yang

17Semiotika Negativa,.

(27)

satu mengait dengan yang lain, dan seterusnya. Maksudnya, hubungan linear yang terdapat pada (teks) bahasa terdapat pula dalam rangkaian melodi (bunyi).

Langkah berikutnya adalah menentukan hubungan paradigmatik yang, jika mengacu Judith Becker adalah hubungan di antara kata atau nada-nada yang berbeda yang dapat saling menggantikan seperti yang terdapat di dalam suatu paradigma.untuk menemukan nilai tanda yang sedang diteliti. Hal ini dilakukan untuk menentukan sistem obyek yang sedang diteliti. Untuk memulai langkah-langkah tersebut, pertama-tama akan dilakukan pendeskripsian dan atau mentranskripsi karya komposisi “Daily”. Pendeskripsian dilakukan dengan melihat rekaman video pertunjukan, secara detail, agar bisa menggambarkan peristiwa “bunyi” secara utuh. Adapun transkripsi dilakuikan untuk menuliskan symbol atau notasi bunyi (dengan pendekatan teori musik Barat) dari rekaman audionya (kaset/CD). Dengan mendeskripsikan dan mentranskripsikan karya-karya tersebut, maka peristiwa bunyi itu telah berubah menjadi fenomena bahasa. Dan darinya, pembacaan secara semiotik mulai dijalankan.

Seperti disebutkan di atas, penelitian ini lebih merupakan studi tekstual atas karya musik I Wayan Sadra. Namun demikian, untuk melengkapi pembahasan atasnya perlu diulas juga profil komponis tersebut. Adapun untuk menelisik data-data tentang profil komponis, akan dilakukan dengan cara mewawancarainya. Topik wawancara terutama berkisar pada hal-hal yang terkait dengan latar belakang kesenimanannya, sikap dan cara berpikir, bertindak, dan cara mewujudkan gagasannya ke dalam karya.

(28)

realitas kehidupan musik I Wayan Sadra. Beberapa teks baik yang belum atau tidak dipublikasikan, maupun yang telah dipublikasikan akan menjadi referensi pendukung penulisan sosok I Wayan Sadra.

(29)

BAB II I WAYAN SADRA

BEBASKAN MUSIK DARI BEBAN KULTURNYA

1. Kesenian Itu Mencakup Semua Media

Suatu ketika, di sebuah malam pementasan musik bertajuk “Bunyi Bagi Suara

Yang Kalah” pada tahun 1997, seorang komposer menampilkan seekor sapi di atas

panggung. Dengan dituntun sesosok kakek tua renta, binatang itu melenggang memasuki

arena pementasan yang berlangsung di Teater Arena Taman Budaya Surakata. Sesaat sapi

itu sampai di pelataran panggung—yang telah ditata menyerupai sudut rumah di

pedesaan—para pemusik memainkan berbagai alat musik gamelan, gitar dan bass

elektrik, drum set, keyboard, serta beberapa alat perkusi tradisional. Alat-alat musik itu

menyesaki panggung bagian belakang.

Tidak berapa lama kemudian musik bertalu. Lalu, croot… Sapi berak,

mengeluarkan kotorannya, mencret, berceceran di atas panggung dan tentu meruapkan

bau tak sedap—Sebuah sensasi pertunjukan yang otentik karya seorang komponis yang

menuai impresi atau sebaliknya “hujatan” dari penonton yang menyesaki gedung

berkapasitas 500-an orang itu. Sensasi yang, menurut profesor musik Dieter Mack,

dipandang sebagai semacam cara atau bentuk baru dalam percaturan dunia penciptaan

karya musik yang tidak bisa terlepas dari berbagai kecenderungan di Amerika pada akhir

tahun 50-an, yang pada umumnya disebut ”concept art” dan ”fluxus.”19 Atau, konsep “indeterminacy” dan “mixed media” yang pernah dilakukan oleh John Cage melalui

19 Fluxus mencabut diri dari sebuah pendekatan ilmiah dan rasional, karena justru pendekatan demikian ini

(30)

konsep-konsep sinestesis antarcabang kesenian. Sebuah sensasi yang tidak bisa diartikan

sebagai suatu aliran tertentu, melainkan merupakan suatu sikap atau cara komposisi yang

bisa muncul dalam konteks fluxus dan happening, mixed media bahkan musik minimalis

dan lain-lainnya.20 Dengan kata lain, ia tidak menuju pada suatu gaya tertentu, walaupun prinsip ini kebanyakan digunakan oleh para komponis dalam konteks cara bermusik pada

fluxus, happening, ataupun mixed media itu sendiri. Konsep-konsep sinestesis

antarcabang kesenian concept art itu dengan demikian bisa meliputi unsur auditif, visual,

ruang dan lain-lain. Keseluruhannya dapat digabungkan menjadi suatu karya seni.21 Sensasi “sapi mencret” itu ditampilkan I Wayan Sadra—komposer yang oleh

Dieter Mack dianggap tidak bisa melewatkan suatu obyek apapun tanpa

mengeksplorasikan bunyi-bunyinya.22 Walaupun kesan demikian barangkali agak ekstrim, namun dengan melihat salah satu ciri khas Wayan Sadra, yaitu “keterbukaan”23 dan semacam “penasaran” terhadap segala media dan segala sesuatu yang berbunyi, maka

hal tersebut membuat argumen ini cukup beralasan. Tetapi Sadra tidak hanya menyusun

bunyi-bunyi atau media-media yang tidak biasa, dalam artian: ia memang terbuka

terhadap segala bunyi dan media, tetapi sekaligus ia sangat sadar tentang implikasi

masing-masing sumber itu. Artinya, dia bisa melakukan apa saja, termasuk menuntun

sapi di atas panggung musiknya, akan tetapi pengolahan terhadap media itulah yang

paling penting buatnya. Dalam hal ini, unsur visual dan teateral juga menonjol.

20 Ibid, hal 247.

21 Ibid, hal 248: Secara sekilas boleh dikatakan bahwa dalam estetika ‘Concept Art’ seorang pencipta hanya

merumuskan berbagai tindakan, proses atau aturan yang harus dilaksanakan. Kemudian yang penting adalah pelaksanaannya saja daripada hasil konkret sendiri.

22 Ibid, hal 559.

23 Maksudnya, mengutamakan proses garapan melalui kerjasama dengan musisi lain, sehingga tidak

(31)

Di situ, masih menurut Dieter, terletak salah satu kekayaan karya Wayan Sadra,

yaitu sesuatu yang sangat terbatas dan sederhana diolah menjadi sesuatu yang sangat

kaya dan bervariasi dalam berbagai batasan tertentu, sesuai dengan kepribadian materi

(bahan) yang digunakan.24 Dengan kata ain, ia menjadikan sesuatu yang ”biasa” menjadi ”luar biasa.” Dan kelak, kreatifitas anak seorang petani di pinggiran Kota Denpasar ini

memang tak diragukan lagi: ia mendapat penghargaan bergengsi New Horizons Award

dari International Society for Art, Sciences and Technology di Berkeley California pada

tahun 1991. Dia orang Asia pertama yang meraih penghargaan itu setelah setahun

sebelumnya diundang dalam forum Composer to Composer di Colodaro, USA.25 Selain itu, dia juga meraih piagam yang diberikan UNESCO atas keterlibatan dengan persoalan

anak-anak pada tahun 2003; penghargaan dari Deparsenbud atas usaha mengangkat

musik tradisi sebagai sumber penciptaan musik baru pada tahun 2001; di samping

merupakan pemusik non jazz yang mendapat penghargaan dari Jak Jazz Festival 1997,

atas kebolehannya dalam meramaikan festival tersebut.

I wayan Sadra. (Foto: Sukhmana)

24 Mack, ibid, hal 559.

(32)

2. Dari Banjar menuju Seniman Kosmopolitan

Kelahiran 1 Agustus 1953 di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar, Bali, I Wayan

Sadra datang ke dunia seakan telah digariskan sebagai seniman musik yang ‘nakal’. Ia

hidup dan dibesarkan dalam lingkungan kesenian yang kondusif. Sejak kecil dunia

gamelan telah digelutinya. Bahkan ia telah biasa mewakili peran orang tuanya sebagai

penabuh gamelan dalam rangka atau konteks ritual di berbagai upacara di pura-pura

tertentu. Ia, di saat massih usia belasan, telah pula diminta untuk mengajar di pura

Kendran, Tegalalang Ubud. Dan pada masa-masa menuju remaja itu, Sadra telah diminta

sebagai penabuh atau bahkan penari pada saat kehidupan tari Janger marak di Pulau

Dewata itu.

Pada tahun 1969, saat menginjak remaja, Sadra pun mendaftar dan diterima di

Konservatori Karawitan (KOKAR) Bali yang menjadi salah satu barometer pendidikan

atau institusi kesenian yang terpercaya pada waktu itu. Bersama teman-teman sekolahnya

ini ia mulai semakin sering berpentas di desa-desa di Bali. Pernah juga mengikuti tour

pentas ke Sumbawa, juga ke Singapura. Semasa sekolah ini Wayan Sadra pernah menjadi

penabuh Sendratari Ramayana pada sebuah festival seni internasional yang

diselenggarakan di Pandaan Jawa Timur pada tahun 1971. Di samping kegiatan di bawah

payung sekolah seni tersebut, ia juga aktif menjadi anggota sekeha (kelompok gamelan di

banjarnya, atau terlibat dengan pementasan-pementasan karawitan yang dilakukan oleh

sekeha-sekaha lainnya seperti Gong Kalingga Jaya, Tainsiat, Kayumas Kaja, juga sekeha

Gong Sadmerta-Belaluan.

Setamat dari KOKAR, yaitu pada tahun 1974, Wayan Sadra hijrah ke Jakarta

(33)

dalam kegiatan kesenian. Akan tetapi, mengingat suasana batin pada waktu itu yang

sangat membutuhkan gerak yang dinamis, ia pun mengurungkan niat awalnya itu dan

malah menjadi anggota sanggar tari Bali di ibu kota. Pada waktu itu, di Jakarta memang

telah berkembang subur sanggar-sanggar kesenian Bali seperti Sanggar Tari Bali

pimpinan I Nyoman Gingsir, Sanggar Tari Bali pimpinan I Ketut Darma, Sanggar Rasa

Devani pimpinan I Wayan Diya atau Saraswati di bawah pimpinan I Gusti Kompyang

Raka.

Pada sanggar-sanggar tersebut di atas kegiatan yang paling rutin adalah

mengiringi latihan para siswa tari dengan gamelan. Dari situlah, dalam beberapa

kesempatan Wayan Sadra diberi kesempatan untuk memberikan pelajaran atau mengajar

gamelan pada para siswa. Kesempatan hidup di dunia sanggar ini dimanfaatkan Sadra

untuk mempertajam kepekaan rasa musikalnya. Hingga, belum sampai setahun ia hidup

di sanggar, seorang koreografer yang sudah cukup ternama saat itu, yaitu Sardono W

Kusumo, merekrutnya menjadi salah seorang musisi dalam rangka tour pentas karya

tarinya yang berjudul “Dongeng dari Dirah” di negara-negara Eropa dan Asia Proses

penciptaan ”Dongeng dari Dirah” ini mengambil lokasi di Banjar Teges Kanginan dan

Puri Kerambitan Tabanan. Selama proses penciptaan karya itu sangat dimanfaatkan Sadra

untuk banyak mengamati dan membaca pengalaman seniman besar seperti I Pasek

Tempo, I Made Gerindem, Ida Bagus Putu Geriya, seelain juga bertemu kembali dengan I

Made Pugra yang pernah diiringinya pada waktu masa kecil. Pun juga ketika proses

latihan repertoar ini kemudian berpindah ke Solo, selama satu bulan berporses itu pula

(34)

dengan rombongan Sardono ke beberapa negara seperti Perancis, Belanda, Swiss,

Denmark, Belgia dan Iran itu.

Sepulangnya dari tour Eropa dan Asia tersebut, Sadra justru mendaftarkan

masuk Jurusan Seni Rupa di Lembaga Pendidikan Kesenin Jakarta-Institut Kesenian

Jakarta (IKJ). Namun, karena kemampuannya dalam memainkan musik sangat mumpuni,

terutama musik gamelan Bali, maka di lembaga pendidikan tersebut ia kemudian malah

diangkat sebagai pengajar gamelan Bali pada jurusan musik. Bahkan, lantaran kemampua

ini juga ia kemudia juga diminta untuk mengajar gamelan di Fakultas Teknik, Fakultas

Kedokteran dan Psikologi Universitas Indonesia (UI), selaain juga di beberapa

Gelanggang Remaja di Jakarta. Walhasil, studinya di seni rupa itu akhirnya hanya bisa

dilakoni selama dua semester.

Kepintarannya bermain sekaligus mengajar gamelan itu rupanya tercium oleh

SD Humardani, seniman tari sekaligus direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia

(ASKI) Surakarta. Sosok yang sohor dipanggil Gendon Humardani itu pun meminta

Sadra untuk menjadi pengajar di kampus yang dipimpinnya tersebut. Saat itu tahun 1983,

Sadra tidak menampik kesempatan tersebut, dan mulai resmi mengampu mata kuliah

Gamelan Bali dan Komposisi Baru. Unuknya, karena pada saat itu ia belum memiiki

ijazah kesarjanaan, maka sambil mengajar sadra juga melanjutkan studi Strata I di

jurusan yang sama. Kelak, ketika Program Pascasarjana di kampus yang sekarang

menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu dibuka, Sadra menjadi mahasiswa

angkatan pertama. Persis 4 semester tenggat waktu yang disediakan untuk kuliah, ia pun

menyelesaikannya dengan membuat karya tugas akhir berupa pementasan musik berjudul

(35)

Sejak menjadi bagian di sivitas seni tersebut, maka mualailah ia menjadi warga

kota Surakarta. Berbagai karya telah dilahirkan selama menjadi pengajar sekaligus

mahasiswa di kampus di sini. Meskipun, sesungguhnya kegiatan kreatifnya sudah dimulai

sejak tahun 1976, terutama membuat karya komposisi karawitan ataupun untuk

mengiringi berbagai kegiatan seni pertunjukan teater maupun tari, di antaranya iringan

tari “Duta Buta”, iringan tari “Mecanda”, dan iringan tari “Niwatakawaca”. Di samping

itu ia juga membuat komposisi musik untuk ilustrasi teater, misalnya pada lakon berjudul

“Setahun di Bedahulu” oleh kelompok teater Lisendra Buana, juga lakon “Mahbeth”

yang dimainkan kelompok teater Bulungan. Ia juga sesekali membuat musik untuk film

animasi, seperti pada film “Apple Journey” karya Gotot Prakoso. Sadra pernah juga aktif

sebagai pemusik untuk grup Swara Mahardika pimpinan Guruh Sukarno Putra.

Pada tahun 1977 ia melawat ke Jepang bersama rombongan Direktorat Kesenian

dalam rangka Children Festival ke berbagai kota di negeri Matahari Terbit itu. Setahun

kemudian ia telah membuat karya komposisi karawitan berjudul “Lanyad” yang

dipentaskan di Teater Arena Taman Ismail Marzuki Jakarta. Disusul kemudian komposisi

“Lad-Lud-an” pada tahun 1979 yang dipentaskan dalam rangka Pekan Komponis Muda

yang diselenggarkan Dewan Kesenian Jakarta. Sebagai komposer ia juga pernah

membuat musik untuk mengiringi peragaan busana rancangan Harry Darsono dalam

sebuah even di Sydney, Australia. Kemudian pada tahun 1980 mengikuti Asian Festival

di Hongkong, dilanjutkan dengan mengikuti Cervantes Festival di Mexico City pada

tahun 1981, dan menjadi penabuh gender Ki Dalang Made Sija dalam rangka Asian Art

& Qolluqium di Seoul Korea Selatan pada 1982. Di samping mengerjakan berbagai

(36)

dalam lakon “Ritus Topeng”, juga iringan musik teater berjudul “Sobrat” prduksi

Bengkel Teater dengan sutradara WS Rendra.

Sementara selama awal-awal di ASKI Surakarta, di samping sebagai mahasiswa

dan pengajar, ia terlibat dalam pementasan karya karawitan berjudul “Gender” bersama

maestro karawitan Marto Pangrawit di Bentara Budaya, Yogyakarta. Selain itu, ia juga

mementaskan karya berjudul “Triple X” di monumen Pers Surakarta, dilanjutkan dengan

membuat iringan musik untuk teater Byakossa dari Jepang yang dipentaskan di SMKI

Yogyakarta. Ia juga melatih karawitan warga keturunan Bali yang ada di Semarang dan

Yogyakarta. Selama kesibukannya itu, Wayan Sadra juga sempat membuat iringan musik

untuk tari berjudul “Kusalawa”, yang sepenuhnya menggunakan gamelan Bali yang

dipentaskan pada Pesta Kesenian Bali pada tahun 1985. Pada tahun 1986, bersama

rombongan seniman dari ASKI Surakarta, selama enam bulan, ia menjadi penabuh untuk

kegiatan Expo di Vancouver, Canada.

Dan seterusnya, karir kesenimanan Sadra kian moncer dengan ditandai oleh

keterlibatannya dalam forum-forum musik dunia, di antaranya: mengikuti Pasific Ring

Music Festival di Sandiego State University, USA. Ia juga merupakan peserta

(komposer) termuda pada sebuah festival musik yang diprakarsai oleh Jhon Cage

bertajuk “Composer to Composer” yang diselenggarakan di Telluride, Colorado, USA,

tahun 1990. Lalu, pada tahun 1991, karyanya yang berjudul “Bayu Bajra” dipentaskan

keliling berbagai kota di Amerika Serikat. Pada tahun ini pula ia menjadi artis residen di

Darthmouth College, New Hemshire USA, untuk belajar musik elektronik pada Bergman

(37)

residensi ini Sadra kemudian membuat karya musik elektronik bertajuk “Snow have

Dream” dan “Work in Progress.”

Sepulang dari Amerika, pada tahun 1992, Sadra membuat iringan musik tari

berjudul “Tempest in Borobudur”. Karya yang merupakan hasil kolaborasi dengan penari

Butoh, Katsurakan, ini dipentaskan di kota-kota di Negara Jepang, yaitu Osaka, Fukuoka,

Nagoya dan Kyoto. Pada tahun berikutnya ia diundang ke Wellington, New Zealand,

dalam rangka Asia Pasific Composer & Conference. Di festival ini Sadra mementaskan

karya berjudul “Tanpa Judul”.

Dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun, Sadra senantiasa melahirkan

karya-karya musiknya baik untuk konser, untuk mengiringi tari, maupun teater. Pada tahun

1994 ia membuat komposisi yang diberi judul “Gatra Swara” untuk pembukaan pameran

patung karya Hajar Satoto di Taman Budaya Surakarta. Dilanjutkan kemudian, membuat

karya iringan tari “Dong Feng” garapan Keiko Contemporary Dance Company. Karya

tari ini dipentaskan di Tokyo (Jepang) dan Bangkok (Thailand). Masih di tahun yang

sama, Sadra juga membuat iringan musik untuk tarian berjudul “Naga Sada” karya

koreografer Susane Krober. Selanjutnya ia diundang ke Thailand untuk mementaskan

beberapa karyanya dalam rangka ”Rendez-vous of Art di Kota Chiang Mai.” Sepanjang

tahun 1996 ia antara lain diundang oleh Isjbraker dari Amsterdam Muziek Centrum untuk

menampilkan karya “Aku dan Buka” dalam rangka Indonesie Muziek Week di berbagai

kota di Belanda. Sepulang dari Belanda, Wayan Sadra mencipta karya berjudul “Korupsi

Suara di Meja Makan”. Karya teaterikal ini dipentaskan pada acara WR Supratman Art

Festival di Surabaya. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1997, ia diundang untuk

(38)

improvisasi ini kemudian dipentaskan juga pada acara “Bim Huis-jazz and

Improvisation,” di Amsterdam Belanda. Sepulangnya dari Amsterdam, Sadra diminta

untuk membuat musik iringan tari karya koreografer Ayu Bulan Jelantik. Karya tari

berjudul “Asmarandana” ini dipentaskan di Moskow dan Leningrad Rusia.

Gairah penciptaan Wayan Sadra seperti tak terbendung. Segera setelah usai

bekerjasama dengan Bulan Jelantik, ia membuat komposisi musik berjudul “Laras

Lurus”. Karya yang dimainkan bersama kelompok musik Bond Bali ini dipentaskan di

Gedung Kesenian Jakarta dalam rangka ”Pekan Komponis Muda” yang diadakan oleh

Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun 1998 karya “Laras Lurus” itu digarap dalam versi

musik combo (band-elektronik) bersama Sono Seni Ensemble dan dipentakan pada

pertunjukan musik bertajuk ”Suita Suit.” Dilanjutkan kemudian, pada tahun 1990 ia

mementaskan “Otot Kawat Balung Wesi” pada Festival Sacred Rhytm di Puta Samuan

Tiga Bedulu, Bali; lalu mementaskan karya “Gender Plus” di Saporo Music Festival,

Jepang yang dilanjutkan dipentaskan pada Weimar Kultur Festival, Jerman.

Memasuki era 2000, Sadra mengawali dengan pementasan karyanya pada

”Compostella Milenium Fest” di Spanyol; kemudian dilanjutkan membuat komposisi

”Nyanyian Negeri,” yang dihasilkan dari proses kolaborasi dengan pemusik jazz dari

Jepang, Takahito Hayasi. Lalu pada tahun 2001 ia juga melakukan pentas kolaborasi di

Sumida hall-Tokyo bersama komponis Yuji Takashi dan koreografer Sardono W

Kusumo. Ia juga membuat komposisi musik untuk ”Hamlet” yang dipentaskan di

Kronborg dan Kopenhagen, Denmark, tahun 2002, di samping juga menyusun komposisi

“Beringin Kurung” “Kodok Ngorek” “Sungsang” yang dipentaskan di Pendopo STSI

(39)

dari India dan Jepang yang kemudian menghasilkan karya komposisi “Silent River”, yang

dipentaskan di New Delhi, Channigar (India), dan Tokyo Jepang. Di tahun 2004

diundang ke Vancouver New Music dengan karya “Wind”; dilanjutkan dengan

mementaskan “Daily” pada Art Summit di Gedung Kesenian Jakarta. Dan di tahun 2005

dia membuat karya musik untuk Bengkel Teater Rendra dengan judul ”Sobrat”;

Mementaskan karya komposisi musik “Bayu dan Enerji” pada Festival Seni Surabaya

2006, dan pentas kolaborasi dengan kelompok Jazz Mazzola Duo dari Swiss di candi

Prambanan.

Di samping sebagai seniman musik, Sadra juga kerap diundang juga sebagai

pembicara, pemakalah, atau pemberi workshop, baik di Indonesia maupun manca negara,

seperti: menjadi pembicara pada Pekan Komponis Muda DKJ pada tahun 1984, dengan

makalah Pemberontakan Setengah Hati. Pernah pula menjadi pembicara pada World

Music yang diadakan oleh radio KPFA, Berkeley, USA, pada tahun 1990; Memberi

workshop di Departement of Music, MIT-Boston (1991) dan di Boston Art School-USA;

menjadi pembicara pada radio Zender, Amsterdam (1996); memberi Workshop tentang

musik Indonesia di Roterdam Conservatorie (1996); Mengikuti workshop Flyng Circus

yang diadakan oleh Theatre Work Singapore (1997); Memberi workshop tentang

Indonesia Contemporary Music di Simon Fraser Univ dan British Columbia University di

Vancouver, Canada (2000); Memberi workshop pada project Mecong Diary di Luang

Prabang, Laos (2003); dan menjadi pembicara pada Internasional Gamelan Festival

Amsterdam (2007). Di luar itu, Sadra juga menyempatkan menulis kritik musik yang

(40)

Jawa Post, Solopos,Kompas, Suara karya, Bali Post, D&R, Tempo, Gatra, dan Majalah

Gong (Indonesia).

I Wayan Sadra, one of Indonesia's most interesting and influential experimental composers, is showcased on this highly anticipated third Volume in Lyrichord's series of new music from Indonesia. Working with musicians, dancers, poets and instruments from Java, Bali, Sunda, Sumatra and in the U.S., Sadra combines a unique contemporary aesthetic with his early training in Balinese music and his knowledge of the varied regional traditions of Indonesia to create a compelling body of music that is both Indonesian and International.(www.lyrichord.com)

I Wayan Sadra, belajar musik karawitan (Bali) sejak kecil. (Foto: Sukhmana)

3. Bebaskan Musik dari Beban Kulturnya

Semua orang tahu, nakal adalah sisi buruk manusia. Tetapi, Sadra mampu mengolahnya menjadi energi kreatif. Dia juga pembelot tradisi.26

I Wayan Sadra sedari kecil memang dididik dalam disiplin musik tradisi

(gamelan) Bali yang ketat. Banyak kritikus juga menilai Sadra tidak bisa begitu saja

(41)

dilepaskan dari konteks musik gamelan Bali yang menjadi latar belakang musiknya

tersebut. Hal itu tercermin dalam penggunaan instrumen maupun idiom musikal gamelan

yang kerap menjadi medium ekspresinya, betapapun penggunaan tersebut kadang harus

dicampurkan dengan alat maupun media lainnya. Namun, komposer ini menempati

catatan tersendiri terutama oleh karena pendekatannya yang sangat konseptual, ekstrim

dan radikal dalam membeberkan kebaruan konsep musiknya.

Karya-karyanya adalah buah dari learning by proccess dari perjalanan proses

kreatifnya. Melalui komposisi “Gender” (diciptakan pada tahun 1984), misalnya, dia

nampak sekali mengutamakan eksplorasi terhadap kemungkinan suara-suara baru yang

dihasilkan dari instrumen gender. Karya tersebut berlanjut pada komposisi “Gender II”

(1996) yang secara khusus menggarap aspek-aspek improvisasi dari instrumen tersebut.

Di tahun 1999, komposisi ini sampai pada terminal “revolusi” hibridasi—yang kemudian

diberi titel “Gender Plus”—yang menggabungkan sepasang instrumen gender dengan

beberapa instrumen lintas etnik. Keunikan Sadra yang cukup menonjol adalah tidak

pernah menganggap karyanya itu selesai dalam pengertian sebenarnya, sebab karya-karya

itu merupakan termin-termin yang setiap saat bisa dirombak atau direkonstruksi ulang

menurut kebutuhan pendekatannya. Di sisi lain, karya-karya konseptual Sadra dikenal

kritikus sebagai karya yang melampaui dimensi penciptaan yang terlalu dibebani oleh

kultur atau pendekatan kompositorik yang baku dan lempeng. Untuk karya “Gong Seret”

atau “Otot Kawat Balung Wesi”, misalnya, ia mendasari konsep bermusiknya lewat

tuturan pengalaman seperti ini:

(42)

begitu banyak mengeluarkan peluh dan tenaga. Potret kelabu tentang nasib pekerja. Ruangan bengkel penuh debu yang setiap detik menyerang paru-paru. Belum lagi cipratan material panas yang sanggup melepuhkan kulit. Sementara, tak ada jaminan kesehatan kerja. Situasinya betul-betul keras. Sebuah medan perjuangan sekadar mempertaruhkan kebutuhan hidup sehari-hari. Dan sama sekali tidak ada aura wingit, mitos dan magis seperti yang dikatakan orang. Mitologi dan kepercayaan yang kompleks niscaya tak lahir dari orang-orang yang kepepet, tetapi justru bentuk-bentuk penghalusan lahir pada saat Gong sudah berpindah tangan ke kaum kuat, saudagar, ningrat, calo, pejabat atau birokrat yang merangkap bakul. Di sini, mitos berpendar-pendar menjadi nilai jual yang aduhai mahalnya. Kesenjangan ini menolak saya menjadi romantis. Bagi saya, mereka membutuhkan suatu pembelaan.”27

Secara panjang lebar konsep ini saya kutip semata untuk menunjukkan empati

sosialisme Sadra yang kemudian diwujudkan dalam karya “Otot Kawat Balung Wesi”.

Karya ini dipentaskan pada tahun 1994 untuk pertemuan Asian Composer Workshop di

Solo. Kemudian, pada event seni Nur Gora Rupa (1994), konsep tersebut dikembangkan

dalam karya berjudul “Gong Seret”. Karya ini pernah diulang-pentaskan juga dalam

karya “Kesibukan Mengamati Batu-batu Dari Balik Pintu” di Taman Ismail Marzuki

(Jakarta) berkolaborasi dengan penyair Afrizal Malna, tahun 1996. Karya yang antara

lain menggunakan alat Gong, terompah, karet, pelat baja, meja-kursi, mulut dan bahkan

batok kepala itu menghadirkan suasana yang mengingatkan naluri-naluri hewani pada

manusia sekaligus dalam balutan religiusitas yang kental.

Seperti dituturkan Sadra, di Bali, kesenian itu total melibatkan seluruh indera.

Mata dirangsang oleh ragam hias janur, hidung oleh bau dupa, kulit oleh percikan air

pemangku dan lidah oleh beras kuning. Impresi yang didapat dari sini melahirkan konsep

kerkayaannya yang cenderung multi media. Bahkan, beberapa karyanya justru lebih

terbaca dari aspek seni rupa pertunjukan ketimbang musiknya sendiri.

(43)

“Pada dasarnya kebudayaan atau kesenian selalu takluk atas keinginan rasionalisasi manusia. Klasifikasi dibuat atas dasar kemudahan pemahaman. Seni musik tak luput dari hal tersebut, seperti yang kerap dinyatakan bahwa musik adalah ungkapan perasaan manusia lewat medium suara. Bahwa dari mana asal muasal suara tersebut, hal ini sering dikesampingkan. Media untuk memproduksi suara tak begitu penting. Padahal, ia sesuatu yang inheren, menyatu. Artinya, tak ada audio tanpa visual atau sebaliknya. Sepertinya pemahaman ini adalah memberikan hak yang lebih demokratis bagi penonton. Berangkat dari visi dan persepsi semacam ini maka saya hendak segera mewujudkan karya “Gong Dekonstruksi”, suatu peristiwa musikal yang mengutamakan target pencapaian dalam bentuk visual.” 28

Konsep ini telah menggambarkan pemikiran Sadra yang melampaui batas

estetika musik menuju kontekstualitas tema sosial, politik, dan “Kebudayaan Gong” di

Jawa secara umum. Konsep ini juga mengimpresikan suatu gugatan substansial atas

perjalanan panjang sebuah bangsa. Menurutnya, kebudayaan Gong selama ini sudah

mencapai titik tertinggi, mapan dalam kepura-puraan yang mencuatkan kejenuhan dalam

berbagai aspek kehidupan. “Alternatif kultural perlu digagas sebagai pertimbangan kita

bersama,” katanya.29 Itulah core dari imajinasinya tentang sebuah kultur Gong. Untuk menegaskan konsepnya, secara material, musik harus dibebaskan dari kultur yang

mengikatnya. Sadra terobsesi untuk mengembalikan musik ke hakekat asalnya, bunyi

yang bebas nilai. Kalaupun musik harus dimainkan oleh instrumen musik tertentu, ia

harus dimainkan dengan cara yang tidak biasa. Dengannya, menurut Sadra, hasrat dan

imajinasi liar akan senantiasa hadir untuk mengukuhkan otensitas dan kesegaran karya.

"Instrumen, kan, hanya alat. Kita harus menemukan cara-cara tertentu untuk memukul

28 Ibid.

(44)

atau menggeseknya sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang juga bisa disebut baru,"

kata I Wayan Sadra.30

''Sadra memainkan instrumen-instrumen biasa menurut caranya sendiri. Dalam arti, tidak mengacu pada permainan yang baku dan konvensional sehingga memancing daya tarik tersendiri bagi penonton, sekaligus meninggalkan persoalan jika dibandingkan musik biasa,'' kata musikolog Suka Hardjana.31

3. Medan Kreatif: dari Idealis hingga Konformis

Kepeduliannya pada tema-tema sosial, di sisi lain, seringkali menjadikan konsep

karyanya berbau sosialis. Ia sering mengutip motto tokoh Partai Komunis Indonesia, DN

Aidit, tentang menumbuhkan pertimbangan individualistik dalam kerangka pertemuan

dengan kearifan orang banyak. Motto ini kerap mempengaruhi situasi batin Sadra ketika

dihadapkan pada realitas kapitalisme yang mulai menyusup dalam hampir setiap individu

manusia. Karya komposisinya yang berjudul “Bunyi Bagi Suara yang Kalah” (1997)—

yang menghadirkan seekor sapi ke atas pentas—bagaimanapun merupakan refleksi

simbolik yang meledek manusia sebagai makhluk paling mulia. Dan karya ini baginya

sama sekali bukan untuk menampilkan kenakalan atau sensasi murahan, melainkan

merupakan kesepakatan ide, gagasan, konsep dan perwujudannya sendiri. Kekuatan

konsep ini memiliki derajat yang tak jauh berbeda ketika ia mendedahkan konsep bunyi

yang merambah aspek non musikal sebagaimana tertuang dalam karya “Telor Busuk”

yang menghantarkannya meraih penghargaan New Horizon Award seperti yang telah

disebutkan di bagian sebelumnya.

Sadra, di sisi lain, juga berkeyakinan bahwa musik itu sebenarnya bisa sangat

matematis. Artinya, hitungan nada yang dimainkan bisa menjadi sesuatu yang pasti.

(45)

Perasaan bisa dibentuk oleh kepastian nada yang dimainkan. Bukan sebaliknya, perasaan

yang mencocokan nada atau irama seperti yang dilakoni pemusik, terutama pemusik

tradisi. Saat mengutak-atik hitungan-hitungan nada itulah emosinya berubah-ubah.

Berbulan-bulan, Sadra mencoba konsep tersebut. Setiap kali keajegan yang dimainkan

hendak diubah dengan keajegan lain, selalu memunculkan masalah. "Belum berhasil,

karena hitungan ketukan yang kami mainkan sering kali masih terkecoh dengan perasaan

sendiri. Logika itu ternyata dipengaruhi oleh perubahan ritmik,” ujarnya.32

Akan tetapi, walaupun sangat ekstrim secara konsep bukan berarti Sadra

menafikan aspek musikal yang menjadi dasar pembuatan komposisi baru. Ia seorang

virtuoso, tapi ia juga seorang pendobrak kebekuan musik tradisi. Karenanya, tidak semua

karyanya menyandarkan pada kekuatan konsep, melainkan juga penuh pertimbangan

kompositorik.

Jika demikian lantas di mana hubungannya dengan musik tradisi (Bali) yang

menjadi latarbelakang musikalnya selama ini? “Hubungan ini sangat nyata dalam hal

sikap, keterbukaan, serta cara kerjasama,” kata Dieter Mack.33 Proses akulturasi tanpa menimbulkan hakekat latar belakang budaya merupakan sikap serta orientasi Wayan

Sadra. Maka tidak mengherankan jika dia juga tidak menolak menggunakan medium

musik elektronis, bahkan komputer. Salah satu karya yang menjadi hasil “pertemuan”

dengan medium baru itu adalah “Work in Progress” yang dimainkan dengan alat

gamelan, suling Bali, chimes, suara (vocal) manusia, dan alat elektronis yang dipakai

secara “interaktif” (hanya untuk memproseskan bunyi-bunyi asli).

(46)

Juga untuk karya-karyanya setelah membentuk kelompok Sono Seni Ensemble.

Malah dengan membentuk kelompok ini, Sadra cenderung menggeser orientasi musiknya

pada konformitas atau toleransi musik yang lebih “enak didengar”. Kelompok ini sejak

semula memang terproyeksi untuk mensosialisasikan pemikiran-pemikiran kontemporer

agar bisa mendapatkan ruang publik yang lebih luas dengan memanfaatkan instrumen

musik yang lebih populis di masyarakat, yaitu alat combo band seperti gitar, bas,

keyboard dan drum set yang lazim dikenal dalam domain musik pop. Ia seorang

pengrawit tradisi, tapi ia mampu mengembangkan konsep bermusiknya dalam ekspresi

alat-alat non tradisi. Komposisi “Laras Lurus”—salah satu buah karyanya yang

menggabungkan dengan alat-alat non tradisi yang ditampilkan bersama Sono Seni

Ensembel dalam pementasan bertajuk “Suita Suit” pada tahun 1998—menggambarkan

pergumulan situasi musik pop dengan musik kontemporer. Di sinilah Sadra berupaya

mengembalikan bunyi sebagaimana kodratnya. Bukan bunyi yang terbebani nilai-nilai

kultural yang membelenggu dalam perwujudan alatnya. Gitar, misalnya, tidak

diperlakukan sebagaimana wajarnya, melainkan dikembalikan ke hakikat sumber bunyi

yang bebas nilai. Demikian seterusnya untuk alat-alat musik combo yang lainnyas.

Selain menjaga salah satu bagian dari tradisi tadi, Wayan memanfaatkan semua alat musik untuk mendapatkan karakter asli musik, baik tradisional maupun modern. Mulai gendang sampai keyboard. Mulai sitar sampai bas gitar. Ada perkusi ada pula drum. Masing-masing ditempatkan pada proporsi yang tepat sehingga nada yang dihasilkan tak terdengar aneh dan cukup akrab di telinga. "Kita ingin mengembalikan harkat alat musik pada hakikat sejatinya," kata Sadra.34

“Beringin Kurung” merupakan salah satu karya, di mana Sadra menempatkan

alat-alat musik Barat dengan pendekatan yang kurang lazim. Tema karya musik yang

(47)

diilhami oleh keberadaan sepasang beringin kembar yang tumbuh di alun-alun utara kota

Solo ini memperlihatkan suatu rangkaian bentuk ungkapan musikal yang lahir atas dasar

pengamatan intens dari komponis terhadap gothek, rumor, fakta sejarah dan realitas manusia di lokasi ini untuk kemudian dipadukan dengan angan-angan, hasrat dan

imajinasi musiknya. Seperti disebutkan Sadra, sesungguhnya substansi beringin kurung

adalah sebuah potret abadi dari harapan. Konon, menurutnya, daun beringin yang

sungsang (terbalik) itu memancarkan aura wingit dan keajaiban mistik—sejak dulu ia

telah mampu menghipnotis kaum marjinal dan utopis untuk merasa terobati lewat mujijat,

wangsit, ratu adil, tiban pulung atau lewat wewangian dupa menyan yang disebukan oleh

para peramal judi yang berada di sekitar beringin terebut. Adanya tradisi pepe sejak

imperium Mataram, Plered dan Kartosuro sebagai bentuk protes rakyat kepada penguasa

adalah bukti bahwa beringin kurung dan alun-alun telah menjadi ruang publik

pertumbuhan demokrasi pada saat itu. Meskipun, pada sisi lain, babad Sultan Agung dan

babad Kartasura melukiskan sisi yang buram dan paradoks bahwa di sekitar ponon

beringin di alun-alun ini jugalah hak-hak asasi manusia dilanggar lewat pembunuhan

bermotif ideoogi-politis, dan bumi menjadi basah oleh darah orang yang dianggap

bersalah. Betapapun ada sisi buruknya, namun sejak dulu beringin kurung—dan

beringin-beringin lain di mana pun berada—telah menjadi pakon mistik masyarakat tradisional

Jawa. Jaman feodal telah berlalu dan beringin berubah menjadi simbol rekayasa politik

yang tampaknya telah berhasil memanipulasi kepercayaan rakyat yang hanya hidup

dengan harapan: pada saatnya nanti mereka akan hidup tenteram, adil dan diayomi.

Namun kini, di sekitar beringin kurung dan alun-alun itu, yang ditunggu-tunggu orang

(48)

khas rakyat, seronoknya tampilan audio-visual, jenis, kualitas dan warna komoditi yang

dijajakan adalah cermin impian glamour-nya rakyat. Berangkat dari studi dan

pengamatannya pada fenomena masyarakat pengunjung beringin itu, Sadra

menjadikannya sebagai tema komposisinya. Tema beringin kurung ini dapat dikatakan

menjadi konsep dasar yang menjadi payung berbagai varian penciptaan komposisi musik

lainnya, seperti: ”Sungsang,” ”Ode Buat Negeri Ini” dan ”Gobyog”. Komposisi ini biasa

dimainkan oleh kelompok Sono Seni Ensamble.

Dengan melibatkan teman-temannya dari Sono Seni Ensemble, Sadra juga telah

menerbitkan album “Gender” tahun 2000. Tampil dalam format yang lain, ia mengangkat

beberapa khasanah gending dan vokabuler garap alat musik gender Bali dan Jawa dalam

perspektif sinkretisme beberapa ricikan alat lintas etnik. Di antaranya, gender dan suling

Bali, gitar, biola, flexotone, kecapi Sunda, sarwan (gitar China), rinding, rebab dan alat

perkusi seperti kendang Banyuwangi dan jembe. Komposisi “Gend-dot”, misalnya,

bersumber pada vokabuler tabuhan gender Bali, sekar gendotan, dan pola tabuhan

debyang debyung dalam tradisi karawitan Jawa. Vokabuler tersebut diaransir dan

disesuaikan agar instrumen lain mendapat porsi yang layak dalam komposisi ini. Bersama

Sono Seni Ensemble, Sadra aktif berkarya dengan konsep “Learning by procces” dan

mengkaji dampak sosiologis dari sistem pembelajaran seniman tentang belajar dari

kearifan orang banyak. Bersama kelompok Sono Seni Ensemble pula, Sadra telah turut

menelurkan album “Suita 42 Hari” (2001), “Autis 4 J” (2003), “Suita Suit” (2005) dan

album “No End In Sight” pada tahun yang sama. Di luar itu, karya-karya I Wayan Sadra

sejak tahun 1998 telah diterbitkan oleh Broadcasting Music Incorporation (BMI),

(49)

Kini, selain masih terlibat aktif di Sono Seni Ensemble, Sadra juga kerap

diundang di berbagai pelatihan dan festival musik nasional maupun internasional.

Sementara sebagai pengajar di ISI Surakarta, ia mengampu mata kuliah Kritik Seni,

Estetika Karawitan, Tinjauan Musik Nusantara dan Komposisi. Di kampusnya ini, sejak

tahun 2002, ia diangkat sebagai Ketua Jurusan Karawitan. Di luar itu ia juga membidani

sejumlah event seperti Festifal Jimbe di Blitar, Temu Musik September 1998, Pentas

Musik Akhir Bulan Genap dan Bukan Musik Biasa yang diselenggarakan setiap 2 bulan

sekali sejak tahun 2007 hingga sekarang. Ketiga even yang terakhir semuanya diadakan

di Taman Budaya Surakarta. Selain itu, sadra juga menjadi kurator musik di berbagai

festival musik di Indonesia, seperti Surabaya Art Festival, Surabaya Full Music, Solo

International Ethnic Musik Festival and Forum, dan lainnya.

Melacak sejarah penciptaan Wayan Sadra sama dengan mencermati sebuah

progresivitas. Ia pribadi yang selalu “bergerak” dan ia meyakini, menjadi seniman itu

harus serba bisa, meskipun tidak harus ahli. Sadra sadar, tak ada bunyi baru yang

dihasilkan dalam pencariannya selama setengah abad ini. "Yang ada sesungguhnya

hanyalah kesan baru karena pengolahan estetika. Jadi kalau ada musisi yang mengaku

menemukan sesuatu yang baru sesungguhnya dia adalah maling yang tak mau mengaku,"

ujarnya.35

(50)

I Wayan Sadra bersama kelompok musik Sono Seni Ensemble dalam konser bertajuk “No End In Sight”, 5 Mei 2005. (Foto: Sukhmana)

(51)

BAB III

KOMPOSISI “DAILY” KHAOS, SUBLIM, DAN PURBAWI

1. Fisika Bunyi: Deskripsi Komposisi

Gedung Kesenian Jakarta, 13 Sepetember 2004. Panggung tampak gelap.

Beberapa saat kemudian, “Tang trang tang tang…” Terdengar suara berdentang cepat,

seperti bunyi gemerincing lonceng yang kian bergemuruh. Sebuah lampu menyorot

temaram ke satu titik di mana seorang laki-laki bermbut

Referensi

Dokumen terkait