• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (M.T.B.) DALAM PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT ANTARA TAHUN 1921 – 2001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERANAN KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (M.T.B.) DALAM PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT ANTARA TAHUN 1921 – 2001"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

 

PERANAN KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA

(M.T.B.) DALAM PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT

ANTARA TAHUN 1921 – 2001

 

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh: Kondidus Lajim

NIM: 071314015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

 

PERANAN KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA

(M.T.B.) DALAM PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT

ANTARA TAHUN 1921 – 2001

 

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh: Kondidus Lajim

NIM: 071314015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

 

HALAMAN MOTTO

“Saya menemukan bahwa bila kita benar-benar

mencintai dan menerima serta mengakui diri kita

apa adanya, maka semua dalam kehidupan ini

akan berhasil”. (Louise Hay)

(6)
(7)

vi

(8)

vii

(9)

viii

 

ABSTRAK

PERANAN KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (M.T.B.) DALAM PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT

ANTARA TAHUN 1921-2001

Kondidius Lajim Universitas Sanata Dharma

2011

Penelitian ini bertujuan : (1) mendeskripsikan latar belakang kedatangan Bruder Maria Tak Benoda (M.T.B.) di Kalimantan Barat, (2) mendeskripsikan peranan Bruder Maria Tak Bernoda dalam pendidikan di Kalimantan Barat antara tahun 1921-2001, (3) mendeskripsikan dampak dari peranan Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) di Kalimantan Barat antara tahun 1921-2001.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, kultural dan religius. Data-data diperoleh dari sumber tertulis melalui studi pustaka, arsip-arsip kongregasi, dokumen kongregasi dan yayasan yang relevan dengan permasalahan serta sumber lisan diperoleh dengan wawancara.

Kongregasi Bruder M.T.B. didirikan oleh Mgr. Johanes van Hooydonk di sebuah kota kecil di Huijbergen Belanda pada tanggal 25 September 1854. Sejak awal didirikan kongregasi ini untuk melayani Allah melalui sesama yang miskin, lemah, menderita dan kurang diperhatikan dengan meneladani Santa Maria, Santo Fransiskus serta Mgr. Johanes van Hooydonk, Simpliciter Et Confindenter (Kesederhanaan dan Kepercayaan). Karya pelayanan para bruder sejak awal terfokus pada pendampingan anak-anak panti asuhan dan sekolah-sekolah. Pada tahun 1920, Mgr. Pasificus Bos, O.F.M. Cap., mengirim surat kepada pimpinan Bruder M.T.B. untuk meminta kesediaan para bruder berkarya di Kalimantan Barat. Pada tangga 11 Maret 1921 lima orang bruder datang ke Kalimantan Barat khususnya di Singkawang menangani HCS.

(10)

ix

 

ABSTRACT

THE ROLE OF CONGREGATION OF VIRGIN MARY BROTHER ON EDUCATION IN WEST KALIMANTAN IN 1921-2001

Kondidius Lajim Sanata Dharma University

2011

This research aims to: (1) describe the background of Virgin Mary Brothers’ arrival at West Kalimantan; (2) describe the role of Virgin Mary Brother in education in West Kalimantan in 1921-2001, and (3) describe the impact of Virgin Mary Brothers’ role in West Kalimantan in 1921-2001.

This research uses a history method, which consists of heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The approaches are social, cultural, and religious approaches. The data were achieved from written sources through literary work, congregation’s files, congregation and foundation’s documents that were relevant with the problems, and oral sources from interview.

The M.T.B. Brothers’ Congregation was founded by Mgr. Johanes van Hooydonk in a small town at Huijbergen, Dutch on September 25th 1854. Since it has been founded, this congregation aims to serve God through people who are poor, weak, suffered, and less considered by following the life of Mother Mary, Saint Fransiscus, and Mgr. Johanes van Hooydonk, Simpliciter Et Confindenter (Confidence and Simplicity). Since the beginning, the brothers’ service has focused on the children assistance in orphanages and schools. In 1920, Mgr. Pasificus Bos, O.F.M. Cap. sent a letter to head of M.T.B. Brother to ask for brothers’ willingness to work in West Kalimantan. On March 11, 1921, five brothers came to West Kalimantan, mainly Singkawang, to handle HCS.

(11)

x

 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan cintaNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi program sarjana pada Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak. Drs. B. Musidi, M.Pd., sebagai pembimbing I yang dengan sabar dan setia membimbing, mengarahkan, memberi masukan dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

5. Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., sebagai pembimbing II yang telah mendampingi dan mengarahkan hingga skripsi ini selesai.

(12)

xi

 

7. Seluruh dosen dan sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

8. Bruder Gabriel, M.T.B., Propinsial Bruder M.T.B. Indonesia yang telah mendukung dan memberi semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Bruder Bram, M.T.B., Br. Ewald Merk, M.T.B., Br. Berardus Duwin, M.T.B.,

yang telah rela diwawancarai untuk mendapatkan data-data dalam penelitian skripsi ini.

10. Para Bruder Komunitas Kotabaru, Novisiat, Pontianak dan Singkawang yang telah memberi dukungan dalam skripsi ini hingga selesai.

11. Staf perpustakaan Propinsialat M.T.B. Pontianak dan staf perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan dalam peminjaman buku-buku yang diperlukan.

12. Orangtua, adik-adik, dan sanak saudara penulis yang selalu memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis sehingga penulis tetap bersemangat menjalankan perutusan studi terlebih dalam menyelesaikan skripsi ini

13. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah angkatan 2007 ( Henni, Dessi, Suryo, Damas, Nita, Nelson, Budi, Andrie, Jaka, Dian, Rudi, Lusia, Dika, Windi, Vianni, Vida, Vina, Theo, Ita, Wawa, Kristina, Fanni ) dan 2006 ( Paulina, Dwiastuti, Merita, Sr. Desi, O.S.A., Desna, Natalia ) yang memberi dukungan dan perhatian baik secara langsung maupun tidak langsung. 14. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu

(13)

xii

 

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kongregasi khususnya dalam bidang karya pendidikan YAYASAN PENDIDIKAN SEKOLAH BRUDER (YPSB).

Yogyakarta, 11 Juli 2011

Penulis

(14)

xiii

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PESETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB II LATAR BELAKANG KARYA KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (M.T.B.) DI KALIMANTAN BARAT 24 A. Sejarah Berdirinya Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) ... 23

B. Spritualitas Kongregasi Bruder M.T.B. ... 30

C. Kondisi Daerah dan Pendidikan Di Kalimantan Barat Sebelum Tahun 1921 ... 35

(15)

xiv

 

Sebelum Tahun 1921 ... 38

D. Kedatangan Kongregasi Bruder M.T.B. Di Kalimantan Barat 43

BAB III PERANAN BRUDER MARIA TAK BERNODA (M.T.B.) DALAM PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT ANTARA TAHUN 1921-2001 ... 49

A. Faktor-faktor Pendukung Karya Pendidikan Para Bruder M.T.B. ... 52

1. Pendidikan Merupakan Karya Tradisional Kongregasi Bruder M.T.B. ... 52

2. Pendidikan Di Indonesia ... 53

3. Bergabungnya Pemuda Pribumi menjadi Bruder M.T.B. 55

4. Harapan Masyarakat Pada Pendidikan Yang Dikelola Bruder M.T.B. ... 55

B. Faktor Yang Menghambat Karya Bidang Pendidikan ... 56

1. Tenaga Pendidik ... 56

2. Budaya Masyarakat Setempat ... 57

C. Peranan Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda M.T.B. Dalam Bidang Pendidikan Tahun 1921-2001 ... 57

1. Singkawang 1921 ... 58

BAB IV DAMPAK DARI PERANAN BRUDER MARIA TAK BERNODA (M.T.B.) DALAM PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT ANTARA TAHUN 1921-2001... 92

A. Sekolah Misi Sebagai Tempat Persemaian Iman Katolik ... 98

B. Melahirkan Kader-kader Muda Katolik ... 100

(16)

xv

 

Kehidupan Bangsa ... 106

E. Beasiswa Bagi Siswa Yang Kurang Mampu ... 112

F. Meningkatkan Kesejahteraan Guru Dan Pegawai Yayasan .... 115

BAB V PENUTUP ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 121

GLOSSARY ... 124

DAFTAR INFORMAN ... 125

LAMPIRAN TABEL ... 126

LAMPIRAN GAMBAR ... 133

LAMPIRAN SILABUS ... 137

(17)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di setiap negara masalah pendidikan merupakan hal mendasar yang mutlak harus dilaksanakan. Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Katolik merupakan wujud partisipasi masyarakat Katolik dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Bab XIII, pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Dalam pengajaran setiap warga negara Indonesia diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ikut serta dalam mengupayakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan mampu memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.1 Tujuan pendidikan secara umum adalah untuk menghasilkan manusia yang mampu mandiri secara intelektual.

Pendidikan menjadi hal yang serius ditanggapi oleh Gereja Katolik di Indonesia hingga saat ini. Wujud dari perhatian Gereja itu tampak dengan adanya sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan-yayasan Katolik baik itu oleh para religius maupun oleh kaum awam. Sumbangan Gereja diharapkan mampu mencapai kebahagiaan dan perkembangan peserta didik baik secara rohani maupun jasmani. Sejak awal mula didirikan, penyelengaraan pendidikan dan pengajaran menjadi tugas kongregasi, tradisi ini tetap merupakan milik yang berharga dan harus

      

1

(18)

menjadi dasar perkembangan selanjutnya dengan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh.2

Mgr. Pacificus Bos, O.F.M.Cap., adalah seorang yang sangat peduli akan masalah pendidikan di wilayah keuskupannya. Sejak menjadi misionaris tahun 1905 di Pesisir barat pulau Kalimantan dan tahun 1918 ia diangkat menjadi Vikaris Apostolis pertama dari Kalimantan (-bagian Hindia Belanda). Daerah pesisir dihuni oleh orang-orang Cina yang merupakan emigran dari Cina dan daerah pedalaman dihuni oleh suku-suku Dayak. Di daerah pesisir (Singkawang) telah didirikan sekolah dan asrama yang pengelolaannya dipercayakan kepada Kongregasi Suster S.F.I.C. bagi yang putri sedangkan untuk yang putra kurang diperhatikan karena pastor pembinanya sibuk dengan pastoral ke luar Singkawang. Melihat kenyataan tersebut Mgr. Bos merasa prihatin, karena itu pada tahun 1920, dia mengirim surat kepada pemimpin umum Bruder M.T.B. di Huijbergen. Inti dari surat itu adalah meminta kesediaan para Bruder M.T.B. untuk membantu mengelola karya misi di Kalimantan.

Untuk menjawab bersedia atau tidak, Pemimpin Umum Br. Silvester beserta dewannya memerlukan waktu karena wilayah misi tersebut sangat jauh dan terisolir. Namun permintaan Mgr. Bos akhirnya diterima dengan berbagai pertimbangan yang intinya sudah saatnya untuk berkarya di daerah misi. Pertimbangan itu pula dijiwai oleh semangat misi di mana tahun 1919 Paus Benediktus XV menulis ensiklik “Maksimum Illud” bahwa karya misi bukan hanya “kristenisasi” sebagaimana anggapan yang berkembang hingga saat itu. Karya misi

      

2

(19)

bertujuan membangun kesejahteraan jemaat setempat, oleh karena itu dalam pos misi hendaknya terdiri Gereja, pastoran, sekolah dan klinik3.

Bulan September 1920, Br. Silvester dalam edarannya menyatakan bahwa setiap bruder yang berminat untuk diutus ke daerah misi bebas mencantumkan namanya dalam daftar calon misionaris. Ternyata minat para bruder untuk menjadi misionaris cukup banyak, namun tidak semuanya diberangkatkan ke daerah misi. Lima orang bruder yang dipilih adalah Br. Canisius van de Ven, Br. Seraphinus van Tilborg, Br. Maternus Browers, Br. Longinus van Spreeuwel dan Br. Leo Geers.

Sekolah pertama yang ditangani adalah sekolah dasar St. Dionysius yang didirikan oleh Pastor Jesuit tahun1894, namun tahun 1905 diserahkan kepada Pastor Kapusin. Oleh Pastor Kapusin sekolah itu dikembangkan menjadi Holland Chinese School (HCS). Tanggal 11 Maret 1921 para Bruder M.T.B. mulai berkarya di HCS. Gedung HCS terdiri dari dua lantai, lantai atas digunakan untuk tempat tidur anak asrama sedangkan lantai bawahnya digunakan untuk sekolah. Jumlah siswa HCS adalah 150, sedangkan yang tinggal di asrama berjumlah 70 anak.

Mulai saat itu juga Bruder Canisius menjadi kepala sekolah HCS, Bruder Martenus, Bruder Leo dan Bruder Longinus mengajar di HCS. Bruder Longinus juga menjadi pendamping asrama dan pelatih orkes harmoni. Mengenai biaya hidup anak-anak asrama ada perjanjian antara Pastor paroki dan Bruder M.T.B. yaitu 50% ditanggung oleh Paroki dan 50% menjadi tanggungjawab Bruder M.T.B. Beberapa saat sekolah mendapat subsidi dari pemerintah dan gaji para bruder cukup besar,

      

3

Rob Wolf, Huijbergen dan Ujung-ujung Dunia; Bruder-bruder M.T.B. 1854-2004,

(20)

sehingga dapat meringankan biaya hidup anak asrama. Datangnya para Bruder M.T.B. di Singkawang diharapkan mampu memberi perubahan dalam pendidikan baik mengenai pengetahuan, keterampilan maupun tingkah laku anak-anak didik terlebih bagi mereka yang bersekolah di HCS dan yang tinggal di asrama yang secara langsung dikelola oleh Bruder M.T.B.

Dengan melihat perkembangan HCS di Singkawang yang mulai berkembang, maka tahun 1924 dibuka komunitas baru di Pontianak dengan karya awal mengelola HCS St. Michael dan asrama. Alasan pemilihan Pontianak sebagai komunitas kedua karena pusat pemerintahan daerah dan vikariat Apostolik berada di Pontianak sehingga memudahkan akses dengan komunitas induk di Belanda. Selain itu juga dibuka Sekolah Dagang (Handelsschool) di Pontianak.

Jika di Singkawang dan Pontianak yang menjadi sasaran pelayanan para Bruder M.T.B. adalah anak-anak Tionghoa, maka mulai tahun 1946 para bruder masuk ke wilayah pedalaman Singkawang yaitu di Nyarumkop dengan mengelola OVVO (Opleiding Voor Volks Onderwijjzer) yang kemudian menjadi SGB (Sekolah Guru Bawah), mengelola SMP, menjadi pembina pramuka dan mengelola asrama. Kebanyakan murid yang di Nyarumkop adalah anak-anak suku Dayak dari pedalaman Kalimantan Barat seperti Sanggau, Sintang, Sekadau, Putussibau dan Ketapang.

(21)

tahun (MULO School). Adapun sekolah setingkat SMA yang didirikan oleh para Pastor C.D.D. tidak bisa mengikuti program pemerintah sehingga siswanya tidak dapat menempuh ujian negara. Para lulusan sekolah dagang yang ingin melanjutkan ke SMA terpaksa harus pergi ke pulau Jawa. Pulau Jawa menjadi pilihan karena di Kalimantan Barat belum ada SMA dan di Jawa tersedia SMA yang berkualitas, sedangkan biaya untuk sekolah cukup tinggi termasuk persaingannya cukup ketat. Melihat situasi yang demikian beberapa orang tua murid dan Bruder M.T.B. timbul keinginan untuk mendirikan sebuah SMA yang dapat menyelenggarakan ujian negara. Atas ijin Gubernur dan Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan, bulan Agustus 1952 dibukalah SMA pertama. Tempat yang digunakan adalah ruang kelas SD Bruder, yang menjadi kepala sekolahnya adalah Bruder Libertus, M.T.B.4

Setelah di Nyarumkop tahun 1948 panggilan untuk berkarya di pedalaman berikutnya adalah berkarya di Sanggau tahun 1968, dengan mengelola sekolah dan asrama, kemudian Jemongko, Kuala Dua tahun 1983 juga mengelola sekolah dan asrama. Panggilan untuk mengabdi di pedalaman Kalimantan Barat semakin kuat hal ini didorong oleh semangat pendiri yang bermotokan “kesederhanaan dan kepercayaan”. Motto untuk memberi pelayanan untuk daerah pedalaman ini diwujudkan dengan dibukanya komunitas Sekadau tahun 1994. Di Sekadau Bruder M.T.B. mengelola asrama dan menjadi guru di SMA dan SPP (Sekolah Pertanian Pembangunan). Empat tahun kemudian yaitu tahun 1998 Bruder M.T.B.

      

4

(22)

membuka komunitas di bagian hulu sungai Kapuas yaitu di Putussibau. Di Putussibau para bruder mengelola TK, SD, SMP, SMA dan Asrama.

Sejak awal kedatangan di Singkawang para Bruder M.T.B. telah dipercaya untuk mengelola karya bidang pendidikan khususnya sekolah dan asrama. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan hidup manusia. Melalui pendidikan manusia mampu memaknai dan memahami nilai-nilai moral kehidupan, budayanya, pengetahuannya akan bertambah dan kepribadiannya akan terbentuk. Secara khusus pendidikan yang dikelola oleh Bruder M.T.B. diharapkan tidak hanya memberi tekanan dari pengetahuan saja tetapi yang terpenting adalah nilai-nilai untuk bersikap sehingga mampu memberi keseimbangan antara pengetahuan dan tingkah laku untuk menjadi seorang pribadi yang utuh.

(23)

Pada tahun 1967 dibentuk YAYASAN PENDIDIKAN SEKOLAH BRUDER (YPSB) dengan tujuan untuk mengamankan kelangsungan karya pendidikan dan untuk menyamakan visi-misi sekolah-sekolah yang dikelola oleh Bruder M.T.B. Diharapkan dengan adanya YPSB yang bergerak dalam bidang pendidikan mampu memberi kesaksian hidup kepada masyarakat melalui para guru, karyawan, dan anak didiknya. Kesaksian hidup para Bruder M.T.B. juga memberi peranan penting dalam pelayanan mereka terlebih dalam menghidupi semangat “kepercayaan dan kesederhanaan”. YPSB sendiri mengelola Play Group, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Pendidikan non formal berupa Lembaga Pelatihan Kerja (kursus) dan asrama SD hingga SMA.

Penulis yang notabene adalah anggota dari Kongregasi Bruder M.T.B., ikut terlibat dan merasa bertanggung jawab atas kelangsungan karya kongregasi dalam karya pendidikan baik mengenai kuantitas maupun kulitasnya. Untuk mewujudkan kedekatan emosional dan tanggungjawab tersebut penulis ingin menyumbangkan pikiran dan tenaga dalam bentuk skripsi dengan judul: Peranan Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) Dalam Pendidikan Di Kalimantan Barat Antara Tahun 1921 – 2001.

(24)

Rentang waktu yang dipilih penulis antara tahun 1921 – 2001 dengan alasan bahwa tahun 1921 Kongregasi Bruder M.T.B. mulai berkarya di Kalimantan Barat. Tahun 2001 adalah tahun genap 80 tahun Kongregasi Bruder M.T.B. berkarya di Indonesia khususnya di Kalimantan Barat. Dalam kurun waktu tersebut terdapat perubahan yang begitu signifikan dalam karya pendidikan dan dampaknya bagi masyarakat Kalimantan Barat.

B. Rumusan Masalah

Beradasarkan permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa latar belakang Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) berkarya di Kalimantan Barat?

2. Bagaimana Peranan Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) dalam Pendidikan di Kalimantan Barat antara tahun 1921-2001?

3. Apa dampak dari Peranan Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) dalam Pendidikan di Kalimantan Barat antara tahun 1921-2001?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulisan ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan Latar Belakang Kongregasi Bruder Maria Tak

Bernoda (M.T.B.) berkarya di Kalimantan Barat.

(25)

3. Mendeskripsikan dampak dari Peranan Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) dalam Pendidikan di Kalimantan Barat antara tahun 1921-2001.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah koleksi kepustakaan khususnya, karya ilmiah dan dapat menjadi bahan referensi yang bermanfaat bagi mahasiswa dan meningkatkan mutu pendidikan khususnya bidang studi sejarah. 2. Bagi Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.)

- Menjadi dokumentasi sejarah karya bidang pendidikan Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda.

- Menambah data administrasi Yayasan Pendidikan Sekolah Bruder (YPSB) yang mengelola dunia pendidikan 1921-2001.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis karena akan menambah pengetahuan baru sebagai aplikasi dari teori yang diperoleh selama di bangku kuliah.

E.Tinjauan Pustaka

(26)

otobiografi. Sedangkan sumber sekunder adalah sumber yang disampaikan oleh bukan pelaku dapat berupa buku-buku, analisis berita di surat kabar, biografi, dan lain-lain yang ditulis oleh orang yang tidak mengalami secara langsung5.

Sumber-sumber yang membahas tentang peran pendidikan Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda sangat terbatas. Maka penulis menggunakan dokumen berupa arsip-arsip dan juga menggunakan sumber lisan dengan jalan wawancara. Wawancara dilakukan dengan para Bruder M.T.B. yang terlibat langsung dalam karya pendidikan juga dengan para alumni yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dikelola oleh Bruder M.T.B. Buku-buku yang digunakan antara lain:

Huijbergen Dan Ujung-ujung Dunia, Bruder-bruder M.T.B. 1854-2004

(terjemahan), ditulis oleh Rob Wolf tahun 2004. Buku ini memuat tentang sejarah Bruder M.T.B. yang dimulai dari Huijbergen hingga menyebar ke Indonesia, Brasil dan Afrika.

Anggaran Dasar dan Konstitusi Bruder M.T.B., diterbitkan oleh Kongregasi Bruder M.T.B. tahun 1999. Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu, pertama Anggaran Dasar dan cara Hidup Saudara–saudari Ordo ketiga Regular Santo Fransiskus, yang menjadi patokan dalam hidup dan karya para saudara-saudari ordo ketiga Santo Fransiskus. Bagian kedua adalah konstitusi Bruder M.T.B. yang menguraikan tentang tata cara hidup membiara dan sebagai inspirasi dalam pelayanan serta pengembangan karya kongregasi.

Buku kenangan 70 tahun M.T.B. di Indonesia 1921-1991, terbit tahun 1994. Dalam buku ini diuraikan perjalanan Kongregasi Bruder M.T.B. di Indonesia

      

5

(27)

selama 70 tahun dalam bentuk kronik dan foto-foto. Karya di Hindia Belanda dimulai dari pesisir Pulau Borneo yaitu di Singkawang, yang mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa (Cina).

Buku kenangan 75 tahun Bruder M.T.B. di Indonesia 1921-1996, terbit tahun 1996. Buku ini berupa kronik dan foto-foto masa lalu yang menguraikan perjalanan karya dan refleksi selama 75 Bruder M.T.B. di Indonesia hingga tahun 1996.

Bruder-Bruder dan Karya Mereka: Sejarah lima Kongregasi Bruder dan

kegiatan mereka di bidang pendidikan Katolik 1840-1970. Buku ini ditulis Joos P.A.van Vugt. Dikisahkan tentang lima kongregasi Bruder (F.I.C., M.T.B., C.S.A., B.H.K. dan C.M.M.) yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak Katolik ketika awal hingga usaha mereka memperluas karyanya di wilayah misi.

Kumpulan Arsip/album Kongregasi Bruder M.T.B. tahun 1921-2001. Arsip ini berupa berita kongregasi dan kronik-kronik komunitas Bruder M.T.B. Dalam arsip ini menguraikan karya misi dan kehidupan para Bruder M.T.B. di Indonesia.

(28)

Purwatma, Situasi Gereja Indonesia Pasca-Vatican II Oleh Marccel Beding Dalam Buku Gereja Indonesia Pasca Vatican II. R. Hardawiryana, S.J., 2000.

F. Landasan Teori

Untuk dapat masuk pada pokok permasalahan, maka penulis perlu menjelaskan beberapa konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: konsep peranan, kongregasi, pendidikan, Bruder-bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.). Penjelasan mengenai konsep ini dianggap perlu untuk landasan berfikir dan sebagai pembatasan masalah guna menghindari salah penafsiran.

1. Peranan

Peranan berasal dari kata peran. Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan6. Gereja Katolik memilih karya pendidikan sebagai mediasi perwujudan imannya. Lembaga pendidikan Katolik diharapkan menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan perubahan dalam diri. Oleh karena itu, di samping mengusahakan keunggulan akademik dan kegiatan kurikuler lainnya, lembaga pendidikan Katolik diharapkan berperan dalam perubahan sosial dan menjadi tempat yang baik bagi munculnya pelaku-pelaku perubahan sosial. Pelaku perubahan ini akan mampu memberi warna dalam masyarakatnya, sehingga perubahan yang diharapkan akan berdaya guna.

Kongregasi Bruder M.T.B. sebagai lembaga Gereja ikut berperan dalam pengembangan pendidikan. Lembaga Pendidikan Katolik memiliki kekhasan dalam menyelenggaraan karya kerasulan pendidikan. Kekhasan sekolah Katolik adalah mengusahakan cita-cita budaya dan perkembangan kaum muda secara alamiah

      

6

(29)

sama seperti sekolah lain adalah usahanya mewujudkan suasana kekeluargaan di sekolah yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih injili.

Pendidikan yang dikelola oleh lembaga Katolik diharapkan mampu menanamkan penghargaan terhadap martabat manusia, sikap demokrat, kesadaran akan tanggungjawab dan kesetiakawanan sosial. Letak perbedaan sekolah Katolik dengan lembaga sekolah lain adalah dimensi religiusnya. Dimensi religius itu terdapat dalam kehidupan kaum muda peserta didik, iklim sekolah, kehidupan dan karya sekolah serta seluruh proses pendidikan. Karya pendidikan merupakan bagian integral karya misioner Gereja, demikianlah tampak peran khas para bruder dalam pendidikan. Kehadiran dan keterlibatan Bruder M.T.B. dalam bidang pendidikan amat penting. Peran penting ini bertujuan untuk membebaskan kaum kecil dan tersisih dari kebodohan serta kemiskinan. Dengan kata lain sekolah yang dikelola oleh lembaga Gereja hendaknya mampu menjadi agen perubahan, pencerdasan, dan pembebasan.

2. Kongregasi

Menurut A. Heuken Kongregasi adalah perserikatan keagamaan yang diakui oleh paus atau uskup, yang anggota-anggotanya hidup sesuai dengan aturannya dan mengikrarkan tiga kaul sederhana baik bersifat tetap maupun sementara7.

Menurut Kamus besar bahasa Indonesia Kongregasi adalah perkumpulan para biarawan, biarawati, atau rohaniwan, rohaniwati Katolik dari satu kesatuan

      

7

(30)

khusus8. Tarekat, ordo atau kongregasi, adalah kelompok komunitas sosial khusus dalam Gereja Katolik. Anggota-anggotanya terdiri dari kaum religius yang mengikrarkan kaul: kemiskinan, selibat, dan ketaatan. Mereka hidup dalam komunitas sosial sesuai dengan tata-cara dan konstitusi masing-masing kongregasi, yang telah disetujui oleh otoritas Gereja Katolik9. Sasaran yang ingin dicapai maupun cara-cara untuk mencapainya dari masing-masing kongregasi, dinyatakan dalam peraturan dan konstitusi masing-masing kongregasi yang bersangkutan. Kongregasi Bruder M.T.B. adalah perkumpulan para biarawan Katolik dalam satu kesatuan khusus dan memiliki cita-cita yang sama yaitu mengikuti Yesus Kristus. 3. Pendidikan

Menurut kamus besar bahasa Indonesia pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik10. Pendidikan adalah usaha yang secara sadar dilakukan dengan tujuan mewariskan kepada generasi-generasi yang baru semua pengalaman peradaban yang dikembangkan oleh generasi-generasi yang dahulu11.

Kegiatan mendidik merupakan suatu kegiatan terpadu bagi sekelompok manusia seutuhnya bersama orang lain. Keterpaduan antara orang muda sebagai pelaku utama, subsider adalah orang tua, kemudian guru atau pelaku-pelaku lainnya. Kegiatan mendidik sendiri menyangkut beberapa relasi antara manusia

      

8

Anton Moeliono, op. cit., hlm.455. 

9 http://www.GerejaKatolik.net/info/tarekat.htm  10

Anton Moeliono, op. cit., hlm. 204.  11

(31)

dengan sesamanya, manusia dengan dunia dan manusia dengan Tuhan. Adanya relasi yang baik maka akan menghasilkan tujuan akhir yang baik pula, di mana seseorang akan menjadi pribadi yang bertanggungjawab, baik dengan sesamanya, lingkungannya maupun dengan Tuhannya.

Pendidikan mempunyai makna yang amat penting dalam kehidupan manusia dan pengaruhnya makin besar terhadap perubahan sosial. Pendidikan yang dikembangkan sekolah Katolik adalah mengusahakan tujuan-tujuan budaya dan pendidikan manusiawi angkatan muda dengan tugas khasnya yaitu menciptakan lingkungan paguyuban sekolah yang dijiwai kebebasan dan cinta kasih injili12. Karya pendidikan yang dilakukan oleh Gereja Katolik adalah pilihan yang diambil atas dasar inspirasi iman, sebagai mediasi demi terjadinya transformasi yang membebaskan menuju tata kehidupan bersama yang semakin bersaudara, adil, dan bermartabat13.

Berbagai tantangan di masyarakat sebagai akibat globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi makin terasa dampaknya dan telah menggeser nilai-nilai yang akhirnya menimbulkan berbagai masalah baru. Masalah baru itu antara lain terjadinya ketidakadilan, kekerasan, kemerosotan moral, ketidakjujuran dan persaingan yang mengakibatkan perpecahan. Melihat realitas dunia dewasa ini dalam pendidikan mutlak untuk menyelenggarakan pendidikan nilai-nilai kristiani dalam keluarga dan sekolah. Selain itu angkatan muda juga perlu dibekali wawasan kebangsaan, kemampuan untuk bergaul dan bekerjasama dengan berbagai

      

12 J. Riberu, Dokumen Konsili Vatikan II: Tonggak Sejarah Pedoman Arah

(terjemahan), Jakarta, Obor, 1983, hlm. 226  13

(32)

kelompok yang ada di masyarakat, keahlian dan profesionalisme dalam bidang-bidang yang dianggap strategis di masa yang mendatang.

Paradigma pendidikan Katolik diartikan sebagai kerangka berfikir yang dijadikan dasar, alasan, acuan dan titik tolak dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah Katolik. Iman Kristiani menjadi dasar terselenggaranya sekolah Katolik. Iman Katolik mengandaikan dua dasar dimensi dasar yaitu kesaksian dan pelayanan yang saling bertimbal balik. Ciri khas Kristiani sekolah Katolik tidak terletak pada pada hal-hal yang formal lahiriah saja, melainkan menyangkut hal-hal yang lebih dalam dan bersifat batiniah (nurani). Hal yang bersifat batiniah itu menyangkut kesadaran dan keyakinan rohani yang sungguh-sungguh hidup dan berfungsi secara optimal dalam praktek hidup sehari-hari. Ciri utama iman Kristiani terletak pada kasih, kebenaran, keadilan dan pengharapan. Ciri-ciri itu tercermin dalam seluruh kegiatan yang dilakukan oleh yayasan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, siswa, karyawan sekolah dan orang tua siswa.

4. Bruder-bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.)

Bruder adalah anggota dari kongregasi atau ordo pria, tetapi bukan imam dan tidak mempersiapkan diri untuk menjadi imam14. Menjadi bruder adalah panggilan khusus, sama seperti para suster, para bruder mengamalkan hidup kristiani sekonsekuen mungkin (menjadikan Kristus sebagai pusat eksistensinya) dengan demikian memberi teladan kenabian baik dengan hidup maupun berkarya menurut kharisma masing-masing lembaga. Kerasulan para bruder pertama-tama

      

14

(33)

terletak pada kesaksian hidup mereka yang sudah dibaktikan harus mereka kembangkan dengan doa dan tobat15.

Tugas para bruder dalam kongregasi adalah menangani pendidikan umum, katekese dan pastoral, menangani proyek-proyek pembangunan untuk karya sosial dan ada juga kongregasi bruder yang bergerak dalam bidang kesehatan. Dalam tarekat-tarekat yang diperuntukan bagi karya-karya kerasulan, kegiatan kerasulan itu sendiri termasuk hakikatnya. Karena itu seluruh hidup para anggota tarekat hendaknya diresapi oleh semangat kerasulan, dan seluruh kegiatan kerasulan dijiwai semangat religius. Kegiatan kerasulan hendaknya selalu mengalir dari kesatuan mesra dengan Allah dan meneguhkan serta memupuknya.

Berawal dari keprihatinan terhadap nasib anak-anak terlantar di wilayah keuskupannya, Mgr. Johanes van Hooydonk mendirikan sebuah panti asuhan guna menampung anak-anak yatim piatu akibat perang. Untuk mengasuh anak panti ini Mgr. van Hooydonk pada tahun 1854 mendirikan sebuah kongregasi di Huybergen. Nama kongregasi itu ialah Kongregasi Bruder-bruder Kristiani Santa Maria Perawan Tersuci dan Bunda Allah Yang Dikandung Tanpa Noda Asal, di bawah Perlindungan Santo Fransiskus Assisi. Anggota pertama ada tiga orang dan mereka didampingi oleh Rektor A. Nellen. Sejak awal perhatian difokuskan pada pembinaan dan pendidikan kaum muda yaitu mengurus panti asuhan dan mengajar di sekolah. Semangat yang menjadi pedoman dalam Kongregasi Bruder M.T.B. adalah motto dari Mgr. van Hooydonk sendiri yaitu “Simpliciter et Confidenter”

      

15

(34)

“kesederhanaan dan kepercayaan”, yang dengan kepekaan hati menanggapi situasi zaman.

Melalui keutamaan Santa perawan Maria dan Santo Fransiskus Asisi, Kongregasi Bruder M.T.B. berupaya mewujudkan kemuliaan Allah, khususnya dalam pembinaan kaum muda dan mengutamakan mereka yang miskin dan lemah. Santa Perawan dan Bunda Allah yang dikandung tanpa noda asal adalah pelindung kongregasi. Bruder M.T.B. hendak meneladani Santa perawan Maria yang menyebut dirinya Hamba Tuhan dalam penghayatan ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Sebagai ordo ketiga regular, Kongregasi Bruder M.T.B. mengikuti Yesus dengan berpegang teguh pada teladan Santo Fransiskus Assisi dengan berusaha mewujudkan nilai-nilai pertobatan, kemiskinan, kedinaan dan kontemplasi dalam hidup dan karya mereka16.

Dengan teori yang ada maka penulis menggambarkan kerangka teoritik dalam skripsi ini yang merupakan landasan dalam penulisan.

      

16

Anggaran Dasar Bruder dan Konstitusi M.T.B. op. cit., hlm 43   Karya misi Gereja Katolik

Peranan

Katekumen dan tokoh-tokoh masyarakat

(35)

G. Metode Dan Pendekatan 1. Metode Penelitian

Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menaganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau17. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis yang bersifat deskriptif analitis. Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk merekonstruksi kembali peristiwa dan menjelaskan hubungan sebab akibat fakta-fakta sejarahnya. Langkah-langkah dalam penelitian sejarah itu terdiri dari; pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

a) Pemilihan topik

Topik penelitian adalah objek yang harus dipecahkan melalui penelitian ilmiah. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Peranan Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) Dalam Pendidikan Di Kalimantan Barat 1921-2001”. Judul ini menarik untuk diteliti untuk menunjang karya pendidikan yang dikelola oleh Bruder M.T.B. hingga sekarang di Kalimantan Barat.

b) Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Langkah selanjutnya setelah pemilihan topik adalah pengumpulan sumber. Pengumpulan sumber adalah proses pengumpulan data-data untuk kepentingan subyek yang akan diteliti. Menurut bentuknya sumber sejarah dibagi tiga yaitu: sumber tertulis, sumber benda dan sumber lisan. Sumber-sumber tertulis berupa buku-buku perpustakaan yang menunjang, dokumen-dokumen resmi Kongregasi Bruder M.T.B. maupun yayasan YPSB dan foto-foto.

      

17

(36)

Sumber-sumber tertulis diperoleh dari perpustakaan Propinsialat Bruder M.T.B. di Pontianak, perpustakaan komunitas Bruder M.T.B. Kota baru, Novisiat Bruder M.T.B. Banguntapan, perpustakaan Sanata Dharma. Untuk sumber lisan penulis peroleh dari wawancara dengan para Bruder M.T.B. yang pernah terlibat langsung dalam peristiwa.

c) Kritik Sumber

Tahap selanjutnya adalah kritik sumber atau verifikasi. Kritik sumber dibagi menjadi dua yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah untuk mendapatkan otensitasnya atau keaslian sumber yang diteliti. Dalam kritik ekstern peneliti melakukan pengujian atas asli dan tidaknya sumber berarti menyeleksi segi-segi fisik dari sumber yang ada18. Sedangkan kritik intern adalah untuk menguji kredibilitas atau kebenaran dari sumber apakah bisa dipercaya atau tidak. Kesaksian dalam sejarah merupakan faktor paling menentukan sahih atau tidaknya bukti atau fakta sejarah. Data-data yang ada pertama harus diuji keasliannya setelah diyakini bahwa data itu asli maka tahap selanjutnya adalah menguji kebenarannya apakah bisa dipercaya atau tidak. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan kritik sumber baik itu ekstern maupun intern.

d) Interpretasi

Interpretasi sejarah sering disebut dengan analisis sejarah. Dalam interpretasi ada dua metode yang digunakan yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan sedangkan sintesis berarti menyatukan. Analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari

sumber-      

18

(37)

sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta tersebut dalam suatu interpretasi. Kemampuan untuk melakukan sintesis hanya mungkin kalau peneliti punya konsep yang diperolehnya dari sumber dan karenanya interpretasi atas data yang sama memungkinkan hasil yang beragam, sehingga memungkinkan timbulnya subyektifitas.

Dalam proses interpretasi sejarah, peneliti harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa, kadang pula sejarah mengandung beberapa sebab yang membantu mencapai hasil dalam berbagai bentuknya. Tujuan dari interpretasi adalah mengurangi adanya unsur subyektifitas dalam penulisan sejarah. Interpretasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menganalisis peristiwa dari sumber-sumber yang tersedia, peneliti berusaha menghindari adanya unsur subyektifitas. Dalam menganalisis sumber-sumber, peneliti terlebih dahulu memahami setiap peristiwa yang terjadi, sehingga hasil penelitian sungguh menghasilkan sebuah karya yang obyektif.

e) Historiografi

(38)

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, kultural dan religius. Pendekaan multidimensional ini digunakan untuk menjelaskan latar belakang sosial budaya masyarakat Kalimantan Barat dan latar belakang kedatangan Kongregasi Bruder M.T.B. di Kalimantan Barat serta peranannya dalam bidang pendidikan.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi yang berjudul Peranan Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) Dalam Pendidikan Di Kalimantan Barat Antara Tahun 1921 – 2001 ini terdiri dari lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I Berupa pendahuluan yang berisi Latar belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode dan Pendekatan Penelitian, serta sistematika Penulisan.

BAB II Bab ini menguraikan Latar Belakang Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) Berkarya Di Kalimantan Barat.

BAB III Bab ini menyajikan Peranan Kongregasi Bruder M.T.B. Dalam Pendidikkan Di Kalimantan Barat

BAB IV Bab ini menguraikan Dampak Dari Peranan Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) Dalam Pendidikkan Di Kalimantan Barat.

(39)

23 

 

BAB II

LATAR BELAKANG KARYA KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (M.T.B.) DI KALIMANTAN BARAT

A. Sejarah Berdirinya Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (M.T.B.) Pendiri Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda adalah Mgr. Johanes van Hooydonk19. Ia dilahirkan tahun 1782 dari keluarga yang saleh. Ia termasuk anak yang cerdas dan bertanggungjawab ketika masa mudanya. Setelah menyelesaikan pendidikkan imamatnya, ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1808. Selama menjadi imam perutusannya tertuju pada pendidikan karena bakatnya dan juga kemampuannya memungkinkan untuk membina generasi muda terlebih para calon imam. Pada tahun 1817 ia diangkat menjadi rektor di Seminari tinggi Ypelaar dekat Breda. Perhatiannya yang begitu besar terhadap pendidikan terlebih para calon imam membuatnya akrab bergaul dengan mahasiswanya. Dijiwai oleh semangat pengabdian yang tulus dan pembawaan pribadi yang tenang menjadikannya seorang pribadi yang peka. Pada tanggal 1 Mei 1827 Pastor Johanes van Hooydonk diangkat menjadi pemimpin vikariat Breda, yang selanjutnya diangkat menjadi uskup di Keuskupan Breda.

Dalam wilayah keuskupan Breda ada sebuah kampung yang bernama Huijbergen. Huijbergen adalah sebuah kampung kecil yang terisolasi, jauh dari keramaian dan jarak kota yang terdekat adalah Bergen op Zoom. Daerahnya bagai padang gurun karena berupa padang dengan semak gersang di tanah pasir. Kondisi

      

19

(40)

yang gersang tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian. Itulah gambaran Huijbergen tahun 1854, sehingga tempat itu tidak menarik untuk dihuni dan diolah untuk lahan pertanian. Meski demikian Mgr. Johanes van Hooydonk, melihat bahwa Huijbergen sangat cocok untuk mendirikan panti asuhan.

Ide untuk mendirikan panti asuhan tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya anak-anak yang terlantar akibat orang tua mereka meninggal karena perang dan penyakit menular. Pada waktu itu, anak-anak yatim piatu dari keluarga-keluarga miskin dititipkan di tempat-tempat yang kurang pantas untuk dihuni, sehingga menimbulkan banyak keluhan mengenai pemerasan, pelecehan dan kelalaian. Mgr. van Hooydonk ingin menyehatkan situasi itu dengan membangun lembaga yatim piatu yang akan dikelola dengan baik20. Di Huijbergen terdapat sebuah biara tua yang penghuninya hampir punah, yaitu biara para pertapa dari ordo Wihelmit. Biara itu dimanfaatkan oleh Mgr. van Hooydonk, untuk dijadikan panti asuhan. Mgr. van Hooydonk, meminta kesediaan Bruder C.S.A. dari Oudenbosch untuk menangani panti asuhan yang baru itu, terlebih dalam hal perawatan dan pendidikan anak-anak panti asuhan.

Mulai tahun1849 Bruder-bruder C.S.A. mulai menata biara tua Wihelmit untuk dijadikan panti asuhan. Untuk tahap pertama Bruder C.S.A. mengirim dua orang anggotanya yaitu Br. Yohanes dan Br. Dionisyus ke Huijbergen. Usia biara yang sudah tua, dan tidak terawat membuat para Bruder C.S.A. harus bekerja keras untuk menatanya. Mulai dari penataan bangsal-bangsal untuk tidur dan kasurnya,

      

20

(41)

perabot dapur, hingga membuat sekat-sekat kayu dan terpal untuk menjadikan biara tersebut layak dihuni oleh anak-anak panti asuhan. Setelah persiapan asrama anak yatim piatu selesai, maka pada tanggal 10 Mei 1849, Mgr. van Hooydonk menulis edaran kepada para pastor paroki di keuskupannya dengan pemberitahuan:

Kami telah menyiapkan institut di Huijbergen supaya anak-anak yatim piatu yang terlantar dapat ditampung di situ dan apabila dalam paroki anda terdapat anak-anak yang terlantar dan tidak diurus oleh yayasan papa miskin, anda dapat menghubungi kami atau pimpinan di Huijbergen supaya anak-anak itu dapat diterima di situ”.21

Bulan September 1849 anak-anak mulai berdatangan di panti asuhan. Kondisi anak-anak tersebut sungguh memprihatinkan, mereka adalah anak-anak miskin dan terlantar. Pada permulaan mereka tidak tahu aturan dan hidup mereka liar karena tidak terbiasa hidup dengan aturan. Tugas terberat para Bruder C.S.A. adalah menata pola hidup anak-anak yang masih sangat nakal dengan pendampingan yang intensif agar mampu berfikir lebih maju. Mendampingi anak-anak masa peralihan dari hidup yang liar ke pola yang teratur bukanlah pekerjaan yang mudah.

Bruder C.S.A. harus bekerja keras dalam membentuk pribadi anak-anak panti asuhan, walau berat namun rasa cinta mereka kepada anak-anak tidak perlu diragukan. Dengan tenaga dan sarana yang serba terbatas, para Bruder C.S.A., berusaha memberikan yang terbaik dari mereka untuk anak-anak. Untuk meringankan tugas para bruder maka pada tanggal 21 Desember 1849, pimpinan Bruder C.S.A. di Oudenbosch mengirim Br. Amandus ke Huijbergen. Dengan adanya tambahan tenaga ini para Bruder C.S.A. menjadi lebih bisa terfokus

      

21

(42)

mendampingi anak-anak, sehingga secara bertahap mereka berubah dan menjadi pribadi yang bertanggungjawab.

Panggilan para Bruder C.S.A. untuk melayani dan mendampingi anak-anak panti asuhan di Huijbergen harus berakhir karena ada perbedaan pandangan antara Mgr. van Hooydonk dan Pastor Hellemons pendiri Kongregasi Bruder C.S.A. Perbedaan pandangan itu dipicu oleh keinginan Mgr. van Hooydonk yang menyarankan agar semua kongregasi suster dan bruder yang ada di keuskupannya mengikuti peraturan yang sama yaitu anggaran dasar ordo ketiga Fransiskan. Alasan ini didasarkan pada kecintaan Mgr. van Hooydonk pada anggaran dasar tersebut. Menurutnya anggaran dasar itu sangat cocok untuk wilayah keuskupan Breda waktu itu, karena inti dari anggaran dasar St. Fransiskus adalah hidup miskin dalam pertobatan terus menerus, dengan mengutamakan cinta kasih dalam persaudaraan injili. Namun keinginan Mgr. van Hooydonk tersebut ditolak oleh Pastor Hellemons yang lebih memilih Regula Yesuit untuk para Bruder C.S.A. Akhirnya pada tanggal 21 Juli 1852, Bruder-bruder C.S.A. meninggalkan Huybergen dan kembali ke biara induk di Oudenbosch. Jumlah penghuni panti ketika Bruder-bruder C.S.A. pergi adalah 35 anak.

(43)

kerajaan, pada tanggal 28 November 1840, oleh Raja Willem II. Diputuskan bahwa biara para Pater Redemtoris boleh dibuka kembali. Keputusan tersebut mengakhiri campur tangan pemerintah dalam urusan ordo dan kongregasi22. Maka pada tahun 1840 berdiri Kongregasi Bruder C.S.A. di Oudesbosh dan Bruder F.I.C. (1851) di Maastricht. Saat itu di Belanda menjamur biara-biara baik kongregasi suster maupun kongregasi bruder, akan tetapi wilayah pastoralnya terbatas pada tempat didirikan, belum menyebar. Keinginan Mgr. van Hooydonk mendirikan kongregasi untuk melayani umat di keuskupannya sangat besar, terlebih setelah Bruder C.S.A. menolak untuk mengikuti anggaran dasar ordo ketiga Fransiskan.

Setelah Bruder-bruder C.S.A. pergi anak-anak ini diurus dan dibina oleh tiga orang pemuda yang menyediakan dirinya kepada Mgr. van Hooydonk. Ketiga pemuda tersebut adalah, Petrus Kerremans, Yohanes Broumels, keduanya berasal dari Roosendal dan Henri Claeraen yang berasal dari Limburg. Pada tanggal 28 September 1852, Mgr. van Hooydonk memberi peraturan sementara kepada tiga pemuda tersebut yang merupakan calon brudernya dengan pendamping Romo A. Nellen. Motivasi awal ketiga pemuda itu untuk menjadi calon bruder yaitu mengabdikan diri pada pendidikan anak-anak, khususnya yang miskin dan yatim piatu.

Pada tanggal 25 September 1854, Mgr. van Hooydonk menetapkan anggaran dasar dan konstitusi yang baru bagi calon brudernya. Mulai saat itu berdirilah kongregasi baru yaitu “De Congregatio van De Broeders van De Onbevlekte Onvangenis van De H. Maag Maria, Moeder van God” “Kongregasi

      

22

(44)

Bruder-bruder Kristiani Santa Maria Perawan Tersuci dan Bunda Allah Yang dikandung Tanpa Noda Asal”. Anggaran dasar yang digunakan adalah anggaran dasar Ordo ketiga Reguler Santo Fransiskus. Pada tahun itu juga Paus Pius IX menyatakan Dogma Maria yang di Kandung Tanpa Noda Asal. Dengan berdirinya Kongregasi Bruder M.T.B. maka nama Monasterius Beatae Mariae Virginis yang tua diganti menjadi Institut Sainte Marie dan merupakan komunitas pertama para Bruder M.T.B. dengan anak pantinya. Pada tanggal 10 Desember 1854, Petrus Kerremans, Yohanes Broumels dan Henri Claeren menerima jubah pertobatan, dengan nama biara Petrus Kerremans (Br. Fransiskus), Yohanes Broumels (Br. Antonius), dan Henri Claeren (Br. Bonaventura). Dilihat dari nama-nama yang diambil tampak bahwa nama yang digunakan menggunakan nama-nama yang identik dengan tradisi Fransiskan.

Para bruder pertama aktif di panti asuhan, pertanian, juga di Pensionat Santa Maria yang merupakan pendidikan awal bagi mereka yang ingin melanjutkan ke Seminari. Tahun 1855 Br. Bonaventura mengajar bahasa Perancis, Ingris, Jerman dan sebagai kepala sekolah. Sedangkan Br. Fransiskus mengurus Panti Asuhan dan membantu di asrama Pensionat, Br. Antonius membantu menjadi guru dan bertugas pula di asrama Pensionat.

(45)

dan keheningan para bruder mau menghidupi amanat dalam konstitusi. Karena percaya akan kehendak Allah, mereka yakin bahwa Tuhan dekat dalam situasi hidup sehari-hari, dalam menunaikan tugas dan karya, dalam hubungan dengan sesama manusia, khususnya ketika mereka berdoa, membuka hati bagi sabda Kitab Suci, menerima sakramen-sakramen dan dalam doa pribadi. Cinta kasih kepada sesama manusia adalah perwujudan cinta kasih kepada Allah23.

Tahun 1888 adalah tahun yang cukup bersejarah bagi Kongregasi Bruder M.T.B., sebab sampai tahun itu yang diangkat sebagai pemimpin umum oleh Bapa Uskup sebagai pembesar umum adalah seorang imam. Hal itu tampak dalam kepengurusan dewan umum yang mengangkat Rektor A. Nellen sebagai Pembesar Umum. Rektor Nellen mengangkat Br. Petrus sebagai Wakil Pembesar dan anggota dewan, Br. Antonius Pembimbing Novis dan anggota dewan serta Br. Bonaventura sebagai anggota dewan. Tanggal 30 Januari 1888 Mgr. Leyten memberikan konstitusi baru kepada kongregasi dan kepemimpinan seluruhnya diletakkan ke tangan bruder sendiri namun tetap di bawah kewibawaan keuskupan. Setelah dibina selama 34 tahun, menurut Mgr. Leyten kongregasi telah dianggap mampu untuk berdikari. Dalam konstitusi baru ditekankan pentingnya pendidikan yang baik dan para bruder diharapkan membuka cabang di luar Huybergen.

Pemimpin umum pertama setelah kongregasi mandiri adalah Br. Leonardus Baaijens, ia menjabat mulai 1888-1900. Pada masa kepemimpinan Bruder Leonardus dibuka cabang di Breda tahun 1890, kemudian di Oosterhout tahun 1895 dan Bergen op Zoom tahun 1901. Sesuai dengan amanat konstitusi yang

      

23

(46)

baru yaitu menekankan karya pendidikan, maka di komunitas cabang pun para Bruder M.T.B. membuka sekolah dan asrama. Tahun 1892 dibuka sekolah guru (SPG) di Breda dengan kepala sekolah Br. Daniel Odenwald.

Pada tanggal 22 April 1958 Kongregasi Bruder M.T.B. memperoleh “Decretum Laudis” dan “Pengesahan Kepausan” melalui dekrit tertanggal 5 Desember 1963. Perjuangan Mgr. van Hooydonk untuk melayani sesamanya yang lemah, miskin dan terlantar telah ia wujudkan dalam sebuah kongregasi. Kongregasi Bruder M.T.B. adalah jawaban dari Mgr. van Hooydonk untuk menanggapi kebutuhan zaman itu, guna melayani Kristus yang hadir dalam diri mereka yang kurang beruntung. Karena itu, yang menjadi motto pelayanan para bruder dalam karyanya juga menggunakan motto Mgr. van Hooydonk “Simpliciter et Confindenter” yang dengan kepekaan hati menanggapi situasi zamannya.

B. Spritualitas Kongregasi Bruder M.T.B.

Kongregasi Bruder M.T.B. mempunyai semangat, suasana, mentalitas dan gaya hidup tersendiri. Corak tersebut sangat penting dan istimewa bagi para anggotanya. Sejak awal berdirinya, kongregasi berusaha untuk mewujudkan cita-cita hidup Injili dengan khusus bernaung kepada perlindungan Bunda Maria dan bapa Santo Fransiskus Asisi. Dalam konstitusi Bruder M.T.B. artikel 39 dikatakan bahwa:

(47)

dengan berlaku hati-hati, dengan melakukan mati raga dan penguasaan indera kita, dan bersedia untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan pola hidup ini24.

Sejak awal pendiriannya devosi kepada Bunda Maria telah dihayati oleh para bruder, terlebih dalam penghayatan kaul kemurnian. Agar kuat dalam pengharapan akan kekuatan Allah, para bruder mendekatkan diri kepada Santa Perawan Maria yang Tak Bernoda, yang menjadi pelindung kongregasi. Para Bruder M.T.B. hendak meneladan Santa Perawan Maria yang menyebut dirinya “Hamba Tuhan” dalam penghayatan ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Kesiapsediaan Bunda Maria menanggapi panggilan Tuhan dalam karya keselamatan Tuhan adalah wujud dari kerendahan hatinya. Dalam karya dan pelayanannya para Bruder M.T.B. mau menjadi hamba Tuhan sebagaimana Bunda Maria yang menjadi teladan. Sebagai hamba Tuhan para bruder berusaha untuk melayani sesamanya dengan total dalam arti memberikan dirinya semampunya. Demi tujuan mulia itu para Bruder M.T.B. mendekatkan diri kepada Bunda Maria melalui doa-doa rosario, devosi kepada Bunda Maria, agar dikuatkan dalam karya pelayanan di tengah dunia. Kongregasi Bruder M.T.B. berusaha menghidupi semangat hidup Santo Fransiskus Asisi. Fransiskus dalam hidupnya berusaha menghidupi ketiga nasihat injil yaitu hidup dalam kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, persaudaraan serta hidup dalam pertobatan terus menerus. Pertobatan Santo Fransiskus dimulai ketika ia mencium seorang kusta yang sebelumnya ia hindari dan ia takuti. Pertemuannya dengan orang kusta telah mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Dalam wasiatnya, Santo Fransiskus mengungkapkan, “ketika aku dalam dosa, aku merasa

      

24

(48)

amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri mengantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah menjadi kemanisan jiwa dan badan bagiku”25. Ungkapan ini telah mengubah pola hidup Fransiskus, ia yang dulu anak seorang kaya kini menjadi seorang pengemis yang hidup di jalanan. Hidup sebagai orang miskin tentu dihindari semua orang, terlebih pada masa itu. Akan tetapi Fransiskus melihat hal itu berbeda dengan pandangan banyak orang pada zamannya. Bagi Fransiskus hidup miskin merupakan pilihan karena dengan kemiskinan dapat mengacaubalaukan keserakahan, kekikiran dan urusan duniawi. Kristus yang miskinlah yang diteladani oleh Fransiskus bersama para saudaranya, dalam kemiskinannya ia menemukan kasih Allah yang sempurna. Pola hidup yang ditempuh oleh Fransiskus mengundang banyak perhatian dari masyarakat Asisi waktu itu, sehingga muncullah apa yang disebut dengan persaudaraan dina. Fransiskus sangat mencintai kemiskinan dan persaudaraan serta mengajak para saudaranya (pengikutnya) terus membaharui diri dengan tak henti-hentinya bertobat.

Persaudaraan yang diwujudkan Fransiskus ini telah menyebar ke seluruh dunia dan diikuti oleh banyak kelompok baik para religius maupun awam. Ordo pertama yaitu para imam Fransiskan, sedang ordo kedua yaitu para Suster Claris yang cara hidupnya kontemplatif. Untuk kelompok para biarawan-biarawati yang berspritualitaskan Fransiskan menggunakan anggaran dasar Ordo ketiga Reguler

      

25

(49)

Santo Fransiskus, sedangkan kelompok awam menggunakan anggaran dasar Ordo ketiga Sekuler Santo Fransiskus.

Sebagai anggota ordo ketiga reguler Santo Fransiskus, para bruder mengikuti Yesus dengan berpegang teguh pada teladan Santo Fransiskus Asisi. Kongregasi Bruder M.T.B. berusaha mewujudkan nilai-nilai pertobatan, persaudaraan, kemiskinan, kedinaan dan kontemplasi sebagai: seorang pelayan yang miskin dan sederhana lagi rendah hati;

- Seorang pelayan yang miskin dan sederhana lagi rendah hati;

- Seorang yang mengandalkan kekuatan Allah dan terbuka akan kebaikan Tuhan;

- Seorang yang tabah dan tawakal dalam menghadapi resiko, kesulitan dan kegagalan;

- Seorang yang setia dan tekun melaksanakan kehendak Allah yang ditemukan dalam kesepakatan bersama;

- Seorang yang mempersembahkan diri kepada Allah dalam hidup selibat;

- Seorang yang peka dan solider kepada orang miskin;

- Seorang kontemplatif yang mampu memelihara misteri sabda Allah dalam hatinya26.

Spritualitas Fransiskan yang dihidupi memberi kesempatan yang luas bagi para Bruder M.T.B. untuk terus mencari pembaharuan diri. Pembaruan diri dimaksudkan untuk lebih memperdalam kedekatannya dengan Allah dalam karya pelayanannya kepada sesamanya. Rasa persaudaraan yang jujur memungkinkan bagi setiap anggota untuk saling menerima dan menghargai setiap pribadi. Komunitas menjadi sarana yang tepat untuk menjalin persaudaraan yang sejati. Dalam komunitas dibangun persahabatan yang iklas dan keramahan dengan memupuk suasana hidup yang terbuka, percakapan yang jujur, menciptakan

      

26

(50)

kemungkinan untuk memberi dan menerima ungkapan cinta kasih. Seperti umat Kristen perdana yang sehati sejiwa, demikian pula dalam persaudaraan Kongregasi Bruder M.T.B. adalah himpunan Gereja Kristus yang diutus menjadi satu dalam ikatan persaudaraan.

Kongregasi Bruder M.T.B. mewarisi semangat Mgr. van Hooydonk yaitu

“Simpliciter et Confidenter” yang dengan kepekaan hati menanggapi situasi zamannya. Keprihatinan Mgr. van Hooydonk akan kehidupan umat di vikariatnya menjadikannya tergerak oleh belas kasih yang besar untuk mendirikan asrama dan panti asuhan di tempat yang terisolir, Huijbergen. Kepekaan ini kemudian ditanamkannya pada kongregasi yang didirikannya. Mgr. van Hooydonk semasa hidupnya sederhana, peka akan kebutuhan sesama, dan ia berusaha hidup untuk menjadi saudara bagi umat yang dilayaninya. Kharisma Mgr. van Hooydonk telah menyatu dalam Kongregasi Bruder M.T.B., yang tetap menghidupi semangat hidupnya dalam karya kerasulan para bruder di tengah dunia yang terus berubah ini.

Dari spritualitas di atas maka dalam kapitel istimewa tahun 2002 dirumuskan visi-misi Kongregasi Bruder M.T.B. sebagai berikut27:

Visi Kongregasi Bruder M.T.B.:

Hidup sebagai Hamba Tuhan untuk mewujudkan kemuliaan Allah dalam persaudaraan Injili.

Misi Kongregasi Bruder M.T.B.:

Dijiwai oleh semangat kesederhanaan dan kepercayaan dalam menanggapi situasi zaman, para Bruder M.T.B. mau menjadi saudara bagi yang lain:

- Membangun persaudaraan sejati yang menjunjung tinggi martabat manusia.

- Memberi pelayanan yang memberDayakan mereka yang miskin dan lemah khususnya lewat pembinaan kaum muda.

      

27

(51)

C. Kondisi Daerah dan Pendidikan Kalimantan Barat sebelum tahun 1921 1. Kondisi daerah Kalimantan Barat sebelum Tahun 1921

Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan Pontianak. Pada masa kolonial Kalimantan Barat adalah salah satu dari bagian jajahan Belanda di Hindia Belanda. Pulau Kalimantan sering disebut juga dengan sebutan Pulau Borneo. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat merupakan perairan laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil ( sebagian tidak berpenghuni ) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

(52)

Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu di antaranya adalah Residentie Westerafdeeling van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen28.

Penduduk di Kalimantan Barat terdiri dari suku Dayak, Melayu, Cina dan pendatang dari Madura, Sulawesi dan Sumatera. Masyarakat suku Dayak mayoritas tinggal di pedalaman Kalimantan Barat, suku Melayu tinggal di pantai-pantai atau pinggiran sungai Kapuas dan orang-orang Cina tinggal di pesisiran pantai, bahkan ada juga yang di pedalaman.

Penduduk asli Kalimantan Barat adalah suku Dayak. Budaya asli orang Dayak lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitar seperti hutan belantara, tanah, dan sungai. Tiga elemen tersebut yang menjadikan orang Dayak sebagai manusia alam yang hidup di tengah alam dan memungkinkan mereka sebagai orang Dayak sejati dan merupakan identitasnya. Identitas tersebut unik hingga sekarang yaitu orang Dayak, kebudayaan Dayak, hukum adat Dayak, dan kepercayaan Dayak29. Hal itu yang menjadi salah satu alasan orang Dayak tinggal di daerah pedalaman, karena ada kesatuan antara manusia dan alam. Masuknya agama Hindu lebih mudah diterima sehingga terjadi pencampuran budaya lokal dan budaya Hindu. Unsur-unsur Hindu yang nampak pada orang Dayak yaitu keyakinan yang mereka miliki yaitu mempunyai banyak Dewa dan kesatuan dengan alam.

Tahun 1880 agama Islam datang dan mulai mengubah pola fikir orang Dayak, hal itu tampak dengan ditinggalkanya adat dan tradisi nenek moyangnya.

      

28

Http://wikipediaIndonesia./sejarahkalbar .id/  29

(53)

Orang-orang Dayak banyak yang masuk Islam dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa penutur. Ketika agama Katolik masuk di Kalimantan Barat pendekatan yang digunakan adalah dengan melakukan perpaduan budaya antara budaya lokal dan agama Katolik. Hal itu juga yang menyebabkan hingga saat ini orang-orang Dayak banyak yang menganut agama Katolik. Mengenai inkulturasi Gereja Katolik menerima dan memurnikan nilai-nilai budaya yang ditemuinya dalam berbagai bangsa yang menjadi percaya akan Yesus Kristus. Inkulturasi juga yang membentuk dan memperkaya kekatolikan Gereja30. Di Kalimantan Barat juga, Gereja Katolik terbuka sehingga menghasilkan refleksi iman tentang Yesus Kristus yang sama dan kontekstual. Pendekatan ini dilakukan melalui pendidikan yang diharapkan mampu membuka wawasan berfikir masyarakat. Pendidikan memposisikan manusia yang menciptakan diri dalam proses menjadi dirinya, sebagai pusat dan subyek bagi dirinya sendiri. Dengan merefleksikan misinya, Gereja secara bertahap mengembangkan sarana-sarana pastoralnya untuk makin efektif dalam mewartakan Injil dan meningkatkan pendidikan manusia seutuhnya.

Orang-orang Melayu umumnya menghuni pantai-pantai dan tepi-tepi sungai besar seperti Sungai Landak, Sungai Sambas dan Sungai Kapuas. Orang Melayu termasuk kelompok suku asli yang sudah menganut agama Islam sejak awal masuknya Islam di Kalimantan Barat. Proses Melayunisasi terjadi di daerah hulu-hulu sungai yang dihuni oleh orang-orang Dayak. Orang-orang Dayak yang masuk agama Islam akan menyebut dirinya “Proses masuk Melayu” atau Proses turun Melayu” atau orang “Senganan”. Orang-orang Melayu ini menguasai wilayah,

      

30

(54)

sehingga ada wilayah Kesultanan Sambas, Kesultanan Pontianak, Kesultanan Sintang, Kesultanan Landak dan Kesultanan Sukadana.

Kebanyakan penduduk Cina tinggal di Kabupaten Pontianak dan Singkawang. Imigrasi orang Cina di Kalimantan Barat dimulai tahun 1760 dan bekerja di tambang emas milik kesultanan Sambas31. Wilayah yang menjadi daerah tambang yaitu di Bengkayang, Monterado sehingga tempat tersebut menjadi pusat kegiatan orang-orang Cina dan tergolong maju dalam perekonomiannya. Sementara Pemangkat, Sambas, Singkawang dan Pontianak adalah pusat perekonomian di daerah pesisir.

2. Kondisi Pendidikan Misi di Kalimantan Barat sebelum Tahun 1921

Pusat misi Katolik pertama di antara orang-orang Cina di Indonesia yaitu di Pulau Bangka, kota tambang Sungai Liat. Setelah pulau Bangka maka di Singkawang didirikan stasi permanen oleh misionaris Jesuit pada tahun 1885. Singkawang dihuni oleh penduduk yang mayoritas Cina, dan dari sinilah pendidikan misi dimulai. Misionaris Jesuit yang bertugas di Singkawang adalah Pastor W.J. Staal S.J. Masyarakat Cina ini kebanyakan bekerja sebagai buruh tambang, dan bekerja di perkebunan kelapa. Selain Singkawang misi pastoral Jesuit juga masuk ke hulu sungai Kapuas yaitu di Sejiram antara tahun 1890-1898. Misi di Sejiram adalah untuk memulai misi di antara orang Dayak. Misionaris Jesuit pertama yang tiba di Semitau adalah Pastor Looyman, S.J. Semitau dianggap kurang memungkinkan untuk dijadikan pusat Misi di hulu Sungai Kapuas, maka

      

31

(55)

dipindahkan di Sejiram32. Akses yang sulit, menyebabkan Semitau ditinggalkan sedangkan Sejiram merupakan sebuah kampung yang cukup banyak penduduknya dan letaknya juga mudah dijangkau oleh kampung-kampung lain.

Sesuai dengan metode misi pada waktu itu, pewartaan misi dimulai dengan mendirikan asrama untuk anak laki-laki yang kemudian ditambah dengan sekolah yang sangat sederhana. Di Singkawang, sekolah didirikan tahun 1883 dengan nama sekolah Santo Dionysius. Tujuan utama dari sekolah ini adalah untuk mengajar agama. Agama menjadi pelajaran pokok karena untuk dapat mengembangkan misi maka harus dilahirkan pemimpin lokal untuk menjadi seorang katekis. Setelah lulus, para lulusan ini nantinya akan mengajar anak-anak di tempat lain seperti Monterado, Sambas dan Pemangkat.

Peran seorang katekis sangat besar dalam mempertobatkan orang-orang untuk menjadi Katolik, karena sang katekis adalah contoh yang mau diteladani oleh pengikut barunya ketika hendak memeluk agama baru (Katolik). Inilah bentuk penyebaran agama Katolik yang cukup berhasil, karena jika mengharapkan tenaga pastor sangatlah terbatas. Ketika pastor meninggalkan stasi baru maka perkembangan iman umat dipercayakan kepada katekis setempat. Mgr. Hieronimus Bumbun, O.F.M.Cap. (Uskup Agung Pontianak), menyebut masa ini adalah masa perintis, karena kabar gembira ditabur dalam arti memperkenalkan dari satu tempat

      

32

(56)

ke tempat lain untuk mencari dan meraba-raba di mana kira-kira ada minat orang untuk menerima benih sabda Allah33.

Di Sejiram, didirikan Gereja, sekolah dan asrama untuk anak-anak sekolah. Sekolah berupa wisma sederhana dan di sini anak-anak Dayak dididik untuk menjadi guru agama. Di samping itu juga dilatih untuk menanam kopi, memelihara babi, dan bagi yang perempuan dilatih memasak. Pendidikkan di Sejiram juga terkadang berpindah-pindah dari kampung yang satu ke kampung lain, dan inilah yang menjadi tugas para lulusan dalam membantu karya misi Jesuit.

Luasnya wilayah Misi Serikat Jesuit, tenaga pastoral yang sedikit, ditambah dengan medan yang begitu sulit menjadikan banyak wilayah misi yang tidak dapat dilayani dengan penuh. Pada tahun1905, stasi Singkawang dan wilayah Kalimantan lainnya diserahkan kepada Pastor-pastor dari ordo Fransiskan. Pastor Pacificus Boss, O.F.M.Cap. adalah provinsial ordo Kapusin di Belanda diangkat menjadi Prefek Apostolik Borneo Belanda. Mgr. Bos memilih Singkawang sebagai tempat tinggalnya karena di situ telah ada Gereja, sekolah dan asrama.

Pada tahun 1906 Kongregasi Suster S.F.I.C. mulai berkarya di Singkawang dan menangani karya sosial seperti mengasuh anak yatim-piatu, merawat orang sakit, merawat orang kusta serta membuka sekolah dan asrama. Suster S.F.I.C. hanya menangani sekolah dan asrama putri saja, sehingga perhatian dalam pendidikan terhadap yang putri bisa maksimal. Untuk sekolah dan asrama putra yang didirikan oleh Pastor Staal, S.J. belum tertata dengan baik karena para pastor Kapusin sibuk tourne di kampung-kampung. Adanya pemisahan jenis kelamin

      

33

(57)

dalam hal memperoleh pendidikan menjadikan tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan, hal itu tampak dengan adanya sekolah yang dikhususkan untuk putra dan juga khusus untuk putri.

Tahun 1909 Mgr. Bos pindah ke Pontianak dan membuka stasi dengan pertimbangan karena Pontianak adalah ibu kota Kalimantan Barat sehingga mudah dalam membangun hubungan dengan Batavia dan Belanda. Di Pontianak dibuka karya misi berupa sekolah, klinik dan karya pastoral lain yang dapat menunjang karya misi. Pastor Marcellus membuka sekolah dan asrama di Nyarumkop, awalnya anak-anak Dayak ini tidak tahan duduk di bangku sekolah. Melalui pendekatan yang intensif Pastor Marcellus berusaha membujuk mereka untuk mau datang ke sekolah karena mereka lebih senang kebebasan di kampung dan di hutan34. Tahun 1918 Mgr. Pacificus Boss ditahbiskan menjadi uskup dan menjadi Vikaris Apostolik Borneo Belanda.

Para misionaris mengembangkan karya pastoralnya dengan pengajaran secara pribadi dan berkelompok dan juga melalui pendidikan sekolah. Karya pastoral melalui pendekatan pendidikan ditempuh dengan cara mendirikan pusat-pusat pendidikan formal dan penyediaan asrama bagi para siswa yang dititipkan sebagai anak-anak asuh. Konsep strategi pembinaan umat dan karya seperti inilah yang dikembangkan di daerah Singkawang, Nyarumkop, dan Sejiram. Untuk membangun umat yang mayoritas Suku Dayak, para misionaris membangun pusat-pusat pendidikkan di Nyarumkop dan Sejiram sebagai basis utamanya. Di situ didirikan sekolah dan asrama untuk menampung anak-anak yang dititipkan oleh

      

34

(58)

orang tuanya untuk dididik dan dibimbing. Asrama dan sekolah diharapkan mampu menjadi modal yang kokoh untuk membangun sebuah generasi yang siap untuk membangun generasi selanjutnya. Di Nyarumkop meskipun sebuah kampung di pedalaman, namun fasilitas pendidikan tergolong lengkap bahkan berkembang menjadi desa pelajar untuk seluruh Kalimantan Barat35. Karya misi di kalangan suku Dayak di daerah pedalaman Kalimantan Barat mengalami masa-masa yang tidak menentu. Kondisi ini timbul karena jauhnya jarak tempuh yang harus dilalui dengan transportasi air serta kondisi-kondisi lain yang turut memperparah keadaan dan keterbatasan tenaga imam. Keadaan demikian sangat memungkinkan untuk membangun tempat-tempat sebagai basis bagi karya misi di pedalaman Kalimantan Barat.

Prefek Mgr. Bos menyadari bahwa tenaga imam dan Bruder Kapusin yang mendirikan sekolah dan asrama sekaligus juga menjadi tenaga pengajarnya tidaklah dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif. Pengalaman karya di Singkawang menunjukkan, bahwa kehadiran para Suster S.F.I.C. sangat membantu di bidang pendidikan dan membawa dampak bagi terbukanya peluang yang lebih banyak lagi di dalam karya misi. Untuk alasan inilah Mgr. Bos, mengundang Kongregasi Bruder M.T.B. untuk berkarya di Kalimantan Barat. Mgr. Boss, berpandangan bahwa jika sekolah telah ditangani dengan baik, maka dengan sendirinya karya misi akan dapat berjalan dengan baik. Hal ini pula dilandasi oleh semangat bahwa sekolah Katolik merupakan bagian dari tugas penyelamatan Gereja, khususnya pendidikan iman.

      

35

Referensi

Dokumen terkait