• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PRAKTIK PENGAKUAN NEGARA STATE (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PRAKTIK PENGAKUAN NEGARA STATE (1)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

“ANALISIS PRAKTIK PENGAKUAN NEGARA ( STATE RECOGNITION ) INDONESIA DALAM PRAKTIK HUKUM INTERNASIONAL

( STUDI KASUS PENGAKUAN DAN PENOLAKAN ISRAEL OLEH INDONESIA )”

Untuk memenuhi Tugas Hukum Internasional yang diampu oleh Ridwan Arifin, S.H., Ll.m

DI SUSUN OLEH

ROMBEL : 05

1. VIRDATUL ANIF 8111416316

2. GALUH MUSTIKA DEWI 8111416342

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG FAKULTAS HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya sehingga Tugas Library research yang berjudul “Analisis Praktik Pengakuan Negara ( State Recognition ) Indonesia Dalam Praktik Hukum Internasional ( Studi Kasus Pengakuan Dan Penolakan Israel Oleh Indonesia )” dapat diselesaikan. Penulis mengalami hambatan atau kesulitan dalam penyusunan Library Research ini. Namun, banyak pihak yang membantu sehingga tugas ini dapat selesai tepat pada waktunya. Maka dari itu, penulis mngucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu antara lain.

1. Ridwan Arifin, S.H., L.lm selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penyusunan Library Research.

2. Drs. Herry Subondo, M.Hum selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penyusunan Library Research.

3. Bapak dan Ibu yang telah memberikan motivasi baik material maupun spiritual.

4. Semua pihak yang terkait dalam pembuatan tugas ini.

Penulis berharap Library Research ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun, penulis terima untuk lebih menyempurnakan Library Research ini.

Semarang , 15 oktober 2017

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...1

KATA PENGANTAR...2

DAFTAR ISI...3

DAFTAR TABEL...4

DAFTAR GAMBAR...4

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...5

B. Rumusan Masalah...7

C. Metode Penelitian...8

BAB II PEMBAHASAN A. Pengakuan Palestina oleh Indonesia...8

B. Sikap Indonesia Terhadap Israel...13

C. Peran DK PBB ...16

(4)

GAMBAR

Gambar 1.1 Pusat Israel Sebelah Tepi barat Dan Jalur Gaza 2007………..7

DAFTAR KASUS / PUTUSAN

Tabel 1.1 Konflik yang melanda Israel dan Palestina

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Konvensi Montevideo tahun 1933 yang mengatur tentang hak dan kewajiban negara telah berhasil menetapkan kesepakatan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi negara sebagai subyek hukum internasional. Syarat yarat nya ialah adanya penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah dan kemampuan untuk emngadakan hubungan internasional. 1 Pengakuan negara adalah

pengakuan bahwa suatu kesatuan yang lahir, diakui telah memenuhi persyaratn yang ditentukan hukum internasional sebagai negara sehingga diakui pula sebagai pribadi dalam hukum dan masyarakat internasional. Dalam literatur–literatur hukum internasio-nal terdapat dua teori yang terkenal tentang pe-ngakuan, yaitu : Teori Konstitutif , Dalam teori konstitutif ini dikemukakan bahwa di mata hukum internasional, suatu negara lahir jika negara tersebut telah diakui oleh negara lainnya. Hal ini mengartikan bahwa hanya dengan penga-kuanlah suatu negara baru itu dapat diterima se-bagai anggota masyarakat internasional dan dapat memperoleh status sebagai subjek hukum inter-nasional. Teori Deklaratif , Dalam teori ini pengakuan tidak menciptakan suatu negara karena lahirnya suatu negara, karena suatu negara lahir atau ada berdasarkan situasi – situasi/fakta murni.

(6)
(7)

berdirinya Negara Palestina kedua belah pihak berkonflik maupun dalam forum internasional. Pengakuan secara de facto yang kemudian diikuti dengan pengakuan de jure, semula hanya dilakukan oleh Inggris, Amerika dan Rusia, tidak lama setelah Israel memproklamirkan negaranya. Akan tetapi sejak perjanjian Camp David, yang dibuat antara Israel, Mesir dan Amerika Serikat, tepatnya tanggal 26 Maret 1979, Mesir dapat dimasukkan dalam kelompok Negara-negara yang mengakui Israel secara de facto bahkan de jure. Semula pengakuan tersebut dilakukan secara diam-diam yang diwujudkan dengan kunjungan pertama, presiden Mesir ke Israel, pada tahun 1978 Disusul perjanjian perdamaian Camp David yang kemudian dilanjutkan dengan saling mengirim duta besar.

Konflik antara Palestina dan Israel terjadi setelah Deklarasi Balfour, dimana bangsa Yahudi pun berupaya untuk mendirikan suatu negara dengan melakukan diplomasi pada 2 November 1917 melalui Deklarasi Balfour.2

1.1 Pusat Israel sebelah tepi barat dan jalur Gaza, 2007

Konflik yang terjadi antara Israel-Palestina mempunyai sejarah panjang. Konflik tersebut telah berlangsung sejak puluhan tahun, terutama sejak berdirinya Negara zionis Israel tahun 1948. konflik antara Israel-Palestina pada dasarnya menyangkut dua isu pokok, yaitu masalah hak rakyat Palestina untuk mendirikan Negara di atas tanah airnya sendiri dan hak bangsa Yahudi untuk memilih negaranya sendiri (Israel) dan hidup tentram dan damai dengan tetangga Arabnya.3

2 Deklarasi Balfour adalah surat yang ditulis oleh Menlu Inggris, Arthur James Balfour, kepada pemimpin komunitas yahudi Inggris, Lord Rothschild, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis pada 2 November 1917.

(8)

Setelah perang besar Arab-Israel tahun 1948, perang Enam Hari (Six Days War) tahun 1967, dan perang Yom Kippur tahun 1973, seluruh wilayah Palestina sudah direbut oleh Israel dan mengklaim sebagai wilayah Israel. Wilayah tersebut meliputi Tepi Barat dan daerah Gaza yang direncanakan akan menjadi wilayah Negara Palestina oleh para pemimpin Arab. Konflik terus berkembang karena kedua pihak tetap bersikeras untuk saling mempertahankan wilayah masing-masing. Konflik tersebut diikuti dengan perang-perang kecil yang berbuntut pada konflik antar bangsa, tidak hanya antara bangsa Yahudi dengan bangsa Palestina tetapi secara keseluruhan terjadi perang Arab-Israel. Pada tahun 1948 PBB merumuskan sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina,dengan membuat pembagian wilayah Palestina yang bertujuan untuk memisahkan negara Arab dan Yahudi. Berbagai upaya proses perundingan damai telah dilakukan, yaitu Camp David I (1979), Perjanjian Oslo I (13 September 1993), Perjanjian Kairo (1994), Perjanjian Oslo II (28 September 1995), Kesepakatan Hebron (1997), Wye River Agreement (1998), Sharm el-Sheikh di Mesir (1999), Camp David II (2000), hingga Konsep Peta Jalan Damai (Road Map).

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa Indonesia mengakui Negara Palestina sebagai Negara yang merdeka ?

2. Bagaimana Indonesia menyikapi atas penolakan Negara Israel terhadap Negara Palestina ?

3. Peran apa saja Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi Konflik yang berkepanjangan ?

C. Metode Penulisan

Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip – prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.4 Jenis penelitian yang akan dipakai dalam makalah

ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder baik

hlm. 17

(9)

berupa Peraturan Perundang-undangan maupun buku-buku atau literatur yang relevan untuk diolah dan dianalisis.

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGAKUAN INDONESIA TERHADAP PALESTINA SEBAGAI NEGARA Pengakuan Internasional terhadap Negara Palestina merupakan tujuan organisasi pembebasan palestina ( PLO ) sejak Deklarasi kemerdekaan Palestina memproklamirkan berdirinya negara palestina pada tanggal 15 November 1988 di Aljir, Aljazair dalam sebuah sidang luar biasa Dewan Nasional Palestina dalam pengasingan. Deklarasi itu segera diakui oleh Negara,5 dan pada akhir tahun tersebut negara ini diakui oleh lebih dari 80

Negara. Pada bulan febuari, 1989, di Dewan Keamanan PBB, Perwakilan PLO mengklaim pengakuan oleh 94 negara. Sebagai bagian dari upaya untuk menyelesaikan konflik Israel-palestina sedang berlangsung , kesepakatan oslo ditandatangani antara Israel dan PLO pada bulan September 1993 membentuk otoritas nasional palestian (PNA) sebagai sebuah pemerintahan sementara yang mandiri di wilayah palestina. Israel tidak mengakui palestina sebagai sebuah negara dan mempertahankan penguasaan militer de facto di seluruh wilayah.

Mengenai pengakuan Palestina sebagai Negara, terdapat empat sikap yang berbeda yaitu:

1) Secara tegas menolak: penolakan ini dilakukan oleh 3 negara, Amerika Serikat, Israel, dan Iran. Masing-masing memiliki alasan yang berbeda. Amerika menolak memberikan pengakuan dengan alasan proklamasi pembentukan Negara Palestina tidak sah, dikarenakan sidang Nasional Palestina ke-19 sebagai pembentuk Negara palestina tersebut dianggap sebagai tindakan sepihak. Pihak Israel menolak dengan alasan tidak bersedia meninggalakan jalur Gaza, Tepi Barat, serta Jerusslaem, yang tidak termasuk dalam ketentuan resolusi PBB No 181, yang digunakan oleh Palestina secagai acuan. Adapun Iran menolak, bukan karena tidak menyetujui berdirinya Negara Palestina akan tetapi ia tidak menyetujui resolusi mengenai pembagian wilayah dengan

5 Tessler mark, A history of the Israel – Palestina conflict ( 2nd, illustrated ed), Indiana University

(10)

Isarel dijadikan acuhan Iran semata mata menginginkan Israel meninggalkan Palestina secara total.

2) Negara yang mengakui dan mendukung terdiri dari Negara-negara sosialis, Timur Tengah, serta Negara lain yang semula simpati dengan Palestina, seperti Indonesia

3) Negara-negara blok barat, menyambut baik atas penerimaan Palestina terhadap resolusi tersebut, akan tetapi menolak mengakui Negara Palestina, karena dianggap tidak memenuhi unsur hukum internasional sebagai Negara

4) Menerima putusan sidang Palestina tetapi menunda memberikan pengakuan terhadap Negara Palestina. Negara yang bersikap seperti ini adalah Jepang, Yunani dan Jerman Timur.

Dengan konflik yang terjadi antara kedua Negara tersebut berdampak pada terganggunya perdamaian dan ketertiban internasional, maka dapat dikatakan bahwa Israel dan Palestina telah melanggar ketentuan hukum internasional. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah apakah ketentuan hukum internasional dapat dipaksakan untuk diberlakukan terhadap suatu negara dengan adanya prinsip dalam hukum internasional

Par in Paren Non Habet in Imperium6 yang berarti bahwa suatu negara berdaulat dapat menjalankan hukum nasional negaranya dalam rangka mencapai tujuan negara tersebut tadi yang berarti hukum internasional yang tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya di suatu negara tadi.

Palestina merubah strategi perjuangan kemerdekaannya dengan beralih kejalur diplomasi. Tahun 1993 Palestina secara tidak langsung mengakui keberadaan Israel dengan menerima rancangan solusi dua negara sesuai resolusi PBB No: 181 tahun 1947, yaitu wilayah Palestina dibagi menjadi dua negara untuk Israel dan Palestina sesuai dengan batas-batas dalam resolusi tersebut. Israel kemudian mengakui keberadaan PLO dan menerima upaya perundingan damai, kedua negara saling mengakui eksistensi masing-masing dan menghasilkan Kesepakatan Oslo pada September 1993.

Perundingan damai terus dilakukan Palestina dan Israel dengan dibantu pihak ketiga seperti Amerika Serikat. Upaya ini menghasilkan berbagai perjanjian seperti Kesepakatan oslo II tahun 1995, Way River tahun 1998,

(11)

Camp David II tahun 2000, Arab Initiative Peace dan Road Map. Namun posisi Amerika Serikat dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel cenderung memihak pada Israel.7 Berbagai hasil perundingan dan

kesepakatan yang ada tidak kunjung memberikan kedaulatan penuh bagi Palestina. Pada faktanya Israel masih tetap mengontrol wilayah Palestina, membangun pemukiman Yahudi ilegal di tanah Palestina dan bahkan melakukan agresi militer ke wilayah Palestina dengan dalih memerangi tetoris namun banyak memakan korban sipil.

Palestina kemudian melakukan upaya untuk meningkatkan pengakuan internasional atas kedaulatannya dengan harapan Palestina dapat menguatkan posisi tawarnya dalam perundingan dengan Israel sekaligus pengakuan de jure atas Palestina sebagai negara yang merdeka sesuai batas territorial tahun 1967, Tahun 2011 Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas memasukkan proposal untuk menjadi anggota penuh PBB. Namun pada 11 November 2011 Palestina gagal mendapatkan rekomendasi Dewan Keamanan PBB. Tahun 2012 Palestina melanjutkan upayanya dengan mengajukan resolusi yang akan menjadikan Palestina sebagai negara peninjau (non-member observer state) di PBB melalui Majelis Umum PBB. Draf resolusi dibahas pada 29 November 2012.

Asas hukum yang digunakan Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina adalah resolusi DK 242 (1967) dan 338 (1973) yang menyebutkan pengembalian tanpa syarat seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel dan pengakuan atas hak-hak sah rakyat Palestina untuk menentukannasibnya sendiri, mendirikan negara di atas tanah airnya sendiri dengan al-Quds al-Syarif (Jerussalem Timur) sebagai ibukotanya serta prinsip land for peace .

Peranan nyata Pemerintah RI dalam mengupayakan perdamaian antara Palestina dan Israel dengan berpartisipasi dalam Konferensi Internasional mengenai Proses Perdamaian di Timur Tengah (The International Conference on the Middle East Process) yang diselenggarakan di Annapolis, Maryland tanggal 26-27 November 2007, Indonesia bersama Malaysia dan Turki yang dalam hal ini bukan negara Arab diundang oleh OKI. Delegasi Indonesia terdiri dari Menteri Luar Negeri dan Direktur Timur Tengah Departemen Luar

(12)

Negeri .8 Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi - konferensi yang

membahas penyelesaian konflik Timur Tengah juga termasuk dalam upaya pencapaian tujuan nasional Indonesia yang lebih “subjektif” artinya sejalan dengan kondisi dan situasi politik internasional yang dari waktu ke waktu selalu berubah.

1. Motivasi Dukungan Indonesia 1. Anti kolonoalisme.

2. Islam.

3. Kemanusiaan. 4. Perdamaian Dunia.

5. Stabilitas Politik dalam Negeri. 6. Agenda Utama Politik Luar Negeri. 2. Bentuk Dukungan Indonesia

1. Konferensi Asia Afrika .

2. Asian Games 1962. Tahun 1962 Indonesia menjadi penyelengara Asian Games, Indonesia menunjukkan solidaritasnya dalam mendukung Palestina dengan menolak memberikan visa bagi atlet Israel untuk ikut berpartisipasi.

3. Gerakan Non-Blok (GNB). GNB Pada Maret 2011 Indonesia menjadi penyelenggara Pertemuan Tingkat Menteri Ke-16 GNB di Bali. Indonesia mengusulkan penggalangan suara bagi penerimaan Palestina menjadi anggota penuh PBB. GNB kemudian melakukan penggalangan suara terhadap pengakuan Palestina sebagai anggota PBB dan Palestina memperoleh dukungan dari 112 negara. 4. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Isu Palestina merupakan agenda utama OKI. Pada September 2011 Sidang Majelis Umum PBB ke-66 digelar di New York, yang membahas penyelesaian isu Palestina dan Israel. Disela-sela proses sidang, pertemuan OKI diselenggarakan dan Indonesia mengajak negara-negara OKI dan masyarakat internasional untuk mendukung Palestina masuk sebagai anggota PBB ke-194. Pada 28 September 2012 pertemuan yang sama kembali di gelar di Markas PBB, New York, dan

(13)

Indonesia kembali mengajak anggota OKI untuk serius memperjuangkan peningkatan status Palestina di PBB.

5. DK PBB Tahun 2007-2008. Tahun 2007-2008 Indonesia menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia selalu mendorong agar DK PBB mengeluarkan keputusan terkait masalah Palestina, termasuk dalam bentuk presidential statement (PRST) maupun resolusi.9

6. NAASP. Indonesia tergabung dalam kerja sama regional New Asian African Strategic Partnership (NAASP). Indonesia telah menggagas

NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine, di Jakarta, tanggal 14-15 Juli 2008. Indonesia menyampaikan komitmen untuk mendukung berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, bukan saja secara politis melainkan juga melalui kerja sama teknis berupa pembangunan kapasitas bagi 1000 warga Palestina.10

7. Bantuan Finansial dan Pembangunan Rumah Sakit di Gaza. 8. Kunjungan DPR RI ke Palestina.

Berikut berbagai bentuk dukungan yang dilakukan masyarakat Indonesia untuk Palestina.

a. Terbentuknya berbagai organisasi masyarakat untuk dukung Palestina. Beberapa organisasi ini diantaranya;

1) Komini Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP). KNRP adalah salah satu lembaga kemanusiaan yang peduli terhadap permasalahan masjid Al Aqsha dan isu kemanusiaan di Palestina. dan seni untuk menggalang dana dan opini untuk Palestina.

2) Komite Nasional untuk Solidaritas Palestina (KISPA). Didirikan pada 14 Mei 2002, dalam visi nya tertulis organisasi ini bertujuan untuk membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk peduli terhadap perjuangan bangsa Palestina meraih kemerdekaan, khususnya dalam menjaga kesucian Masjid Al-Aqsha.

b. Yayasan Sahabat Al Aqsa. Aksi solidaritas dukung Palestina

9 http://kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=15&l=id

(14)

c. Kampanye Boikot Produk Yahudi 11

3. Peran Indonesia dalam Mendukung Palestina Menjadi Negara Peninjau di PBB Tahun 2012

a. Partisipasi Aktif Indonesia Dalam Sidang Majelis Umum PBB Ke-67 Sidang Majelis Umum PBB Ke-67 dilaksanakan pada 29 November 2012 di markas besar PBB, New York. Dari 193 yang seharusnya hadir, hanya 188 negara yang hadir dan 5 negara tidak hadir, yakni Equatorial Guinea, Kiribati, Liberia, Madagaskar dan Ukraina. Madagaskar merupakan salah satu negara yang menjadi co sponsor dalam resolusi peningkatan status Palestina untuk menjadi negara peninjau, namun tidak hadir dalam agenda sidang ini. Indonesia hadir dalam agenda sidang ini dengan diwakili langsung oleh Menlu Marty Natalegawa. Dari 188 negara yang mengirimkan delegasinya, hanya tiga negara yang mengirimkan Menlu sebagai perwakilan, yakni Indonesia, Turki dan Kanada.

b. Pernyataan Indonesia di Hadapan Peserta Sidang Majelis Umum PBB.

Selama Sidang Majelis Umum, berlangsung sesi perdebatan dimana beberapa delegasi negara diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidatonya terkait dengan isu yang sedang dibahas, yakni peningkatan status Palestina menjadi negara Peninjau. Negara yang mendukung resolusi ini dan negara-negara yang tidak mendukung memberikan pandangannya sebagai pembuka sebelum pemungutan suara dilakukan. Perwakilan Sudan, Daff-Alla Elhag Ali Osman mempersentasikan rancangan resolusi “status of Palestine in the United Nations” yang bertujuan untuk pemberian status negara peninjau bagi Palestina. Kemudian pidato dilanjutkan oleh Presiden Otoritas Palestina, Muhammad Abbas. Perwakilan Israel memberikan pandangannya, menurutnya tidak satupun dari isi rancangan resolusi tersebut yang mengakomodasi kepentingan vital Israel, sehingga Israel tidak bisa menerimanya.

c. Dukungan Indonesia Terhadap Status Palestina Sebagai Negara Peninjau PBB dalam Pemungutan Suara.

(15)

Setelah penyampaian draf resolusi dan pandangan dari beberapa negara terhadap resolusi tersebut, Presiden Majelis Umum PBB mengakhiri sesi perdebatan dan kemudian pemungutan suara dilakukan. Pada pemungutan suara ini Indonesia memberikan suara setuju pada resolusi tersebut. Hasil dari pemungutan suara ini secara keseluruhan adalah, 138 negara mendukung, 9 negara menentang, 41 negara abstein dan 5 negara absen.

4. Dukungan Rakyat Indonesia

a. Jalur pemerintah, diplomasi melalui jalan perdamaian.

b. Jalur non pemerintah/profesional, atau perdamaian melalui resolusi konflik.

c. Jalur bisnis, atau diplomasi perdamaian melalui perdagangan (Commerce). Jalur warga negara privat, diplomasi perdamaian melalui peran individu.

d. Jalur penelitian, pelatihan, dan pendidikan, diplomasi perdamaian melalui pembelajaran.

e. Jalur aktivisme, atau diplomasi perdamaian melalui advokasi. f. Jalur agama, atau diplomasi perdamaian melalui kepercayaan.

g. Jalur Pendanaan, atau diplomasi perdamaian melalui pemberdayaan sumber daya.

h. Jalur Komunikasi dan media, atau diplomasi perdamaian melalui informasi.

B. SIKAP INDONESIA ATAS PENOLAKAN PENGAKUAN ISRAEL

Pada 14 mei 1948 David Ben mengumumkan secara resmi berdirinya negara Israel dengan berpijak pada resolusi PBB No. 181 ( UN Partitation Plan ) sebagai legitimasinya. Negara Israel sampai sekarang masih tetap tidak diakui oleh negara arab, kecuali dua negara yang telah membuat perjanjian perdamaian dengan negara tersebut yaitu mesir dan yordania. Pada tanggal 11 mei 1949 israel diterima sebagai anggota PBB.

(16)

Palestina. Permasalahannya adalah wilayah Tepi Barat yang belum dikembalikan sebagian sudah dibangun pemukiman Yahudi. Memang, Israel membutuhkan wilayah baru untuk menampung masyarakat Yahudi yang selalu bertambah, akibat imigrasi atau yang lain. Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang menurut resolusi PBB di atas milik Palestina, menjadi wilayah tempat penampungan kaum Yahudi tersebut. Pembangunan pemukiman terus dilakukan oleh Israel, padahal mendapatkan protes dari berbagai pihak. Hal itu juga yang menjadi hambatan perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel.

Secara nomatif Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya selalu berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang mejadi landasan konstitusinya. Terkait dengan ketiadaan hubungan diplomatik

dengan Israel, Indonesia berdasarkan pada isi Pembukaan UUD 1945 pada

alinea pertama Berdasarkan pada penggalan konstitusi yang menjadi dasar segala perundang-undangan di Indonesia tersebut, maka telah cukup jelas sebagai landasan mengapa Indonesia tetap bertahan untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini terkait dengan pendudukan yang dilakukan Israel atas tanah Palestina yang mana hal tersebut dinilai

Indonesia termasuk pada suatu bentuk “penjajahan”. Sehingga kalau

Indonesia membuka hubungan dengan Israel, dianggap sama saja dengan menjustifikasi dan melegitimasi penjajahan Israel terhadap bangsa

Palestina, maka secara otomatis merupakan suatu pelanggaran terhadap

prinsip-prinsip konstitusional.12

Hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia, terkait isu palestina dan konflik Palestian dan Israel dewasa ini, Indonesia sangat memberikan perhatian terhadap upaya untuk mendukung kemerdekaan rakyat palestina. Penolakan Israel mengizinkan delegasi RI memasuki Ramallah yang memperlihatkan terus berlanjutnya arogansi negara Zionis, juga mencerminkan kekhawatirannya pada peningkatan diplomasi RI untuk terus mendukung kemerdekaan berdaulat penuh negara Palestina. Membuat Israel semakin jauh kian menjauh dari Indonesia. Bukan rahasia lagi, Israel sejak waktu lama menginginkan dan berusaha keras agar RI dapat membuka hubungan diplomatik di antara kedua negara. Israel memandang,

(17)

hubungan diplomatik dengan Indonesia—sebagai negara Muslim terbesar— dapat membuka pengakuan lebih luas terhadap Israel di tingkat internasional.

Tetapi Indonesia secara konsisten menolak walau dalam kasus-kasus tertentu terjadi kontak dan hubungan diam-diam melalui orang perorang. Adalah Presiden Soekarno yang memulai penolakan berhubungan dengan Israel. Bung Karno mengeluarkan Israel (dan Taiwan) dari daftar negara yang ikut dalam Asia Games 1962 di Jakarta. Tetapi pada 1993 Presiden Soeharto menerima PM Israel Yitzhak Rabin di kediamannya di Jalan Cendana Jakarta. Pak Harto berhujjah, ia menerima Rabin dalam kaitan dengan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non-Blok dan juga guna menjajaki tindak lanjut Persetujuan Oslo. Inilah satu-satunya pertemuan tingkat tinggi di antara kedua negara.

Selanjutnya pada 1999 Presiden Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid menyatakan keinginannya membuka hubungan dagang langsung dengan Israel. Mendapatkan tantangan dari kebanyakan umat Islam Indonesia, Presiden Gus Dur ‘terpaksa’ mengurungkan niatnya tersebut. Pada perspektif terhadap Israel, Presiden Wahid tidak dapat memungkiri bahwa Israel merupakan bangsa yang benar-benar hebat. Oleh karenanya dapat dikatakan sebagai satu kerugian bagi Indonesia apabila Indonesia tetap menolak berhubungan dengan Israel. Bahwa Indonesia seharusnya tidak hanya mengkritik kejahatan dan kebiadaban kaum zionis Israel terhadap Palestina saja, tetapi juga mencontoh nilai-nilai positif yang dimiliki Israel,

khususnya dalam aspek pendidikan. 13

Presiden SBY membuka sedikit celah bagi Israel dengan menyatakan, hubungan diplomatik antara kedua negara mungkin dapat dibuka setelah Israel memberikan kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya bagi negara Palestina. Peningkatan aksi brutal Israel bersamaan dengan perampasan tanah Palestina untuk pemukiman ilegal Yahudi, meningkatkan kecaman pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap Israel, sehingga kemerdekaan Palestina kian jauh.

Pada pemerintahan Presiden Jokowi, RI membuka Konsultan RI di Ramallah (KJRI), Israel menolak pembukaan KJRI. Karena itulah pemerintah

(18)

RI memutuskan mengangkat Konsul Kehormatan, yang lazimnya adalah dari kalangan tokoh masyarakat lokal. Meski Konsul Kehormatan memiliki wewenang terbatas, dalam konteks Palestina memiliki simbolisme penting. Israel nampaknya melihat Konsul Kehormatan RI itu bagaimanapun mewakili kehadiran Indonesia di bumi Palestina yang masih dikuasai Israel. Melihat sikap Israel seperti itu, bisa dipastikan usaha Indonesia memainkan peran mediasi lebih aktif dalam menciptakan perdamaian dan sekaligus kemerdekaan negara Palestina sangat tidak mudah. Boleh jadi Indonesia akhirnya harus berhadapan langsung dengan Israel.

Memang, pernah ada moratorium pembangunan pemukiman Yahudi pada pertengahan 2009 sampai pertengahan 2010, untuk memberikan peluang adanya negosiasi perdamaian Palestina dan Israel. Tetapi, sejak setahun lalu, pembangunan pemukiman dilanjutkan kembali dan Palestina menarik diri dari perundingan. Pemerintahan Israel tidak dapat lagi menghentikan pembangunan pemukiman, karena mereka adalah pemerintah koalisi yang antara lain didukung oleh kelompok pendukung pembangunan pemukiman. Avigdor Lieberman adalah tokoh keras pro pembangunan pemukiman yang saat ini menjadi Menteri Luar Negeri Israel.

C. PERAN DEWAN KEAMANAN PBB

PBB yang merupakan organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan dunia yang salah satu tujuannya memelihara keamanan dan perdamaian dunia. Konflik antara Palestina-Israel menuntut keterlibatan PBB dalam proses perdamaian kedua negara tersebut. Sejak pertama kali berdiri pada 24 Oktober 1945, PBB 14menjadi tumpuan harapan

bagi seluruh masyarakat dunia. Kehadiran PBB diharapkan dapat menjadi aktor yang mampu memayungi kepentingan negara anggotanya (a reliable International agent). Meski bukan world government (Pemerintah Dunia), PBB diharapkan mampu membawa dunia dari konfrontasi ke arah kooperasi. Hal itulah yang membuat semua negara di dunia turut serta dan secara sukarela menjadi anggota PBB.

Tabel 1.1 Konflik yang melanda Israel dan Palestina

NO TAHUN KASUS

1)1948 - 1967 Perang Arab Israel ( 1948 )

(19)

Persetujuan Genjatan Senjata ( 1949 ) Perang Suez ( 1959)

Perang Enam Hari ( 1967)

Pendudukan Jalur Gaza oleh Mesir

Pendudukan Tepi barat dan Yerusallem oleh Yordan 2. 1967 - 1993 War or Attrition ( 1970 )

Peang Yom Kippur ( 1973 ) Perang Lebanon ( 1982 ) Perang Teluk ( 1990 )

3 1996 - 2008 Kerusuhan Terowongan Al Aqsa ( 2006 ) Israel menyerang Gaza ( 2008 )

1) Implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB no 242

Dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB pada 22 November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatik dalam konflik Arab-Israel. Resolusi itu menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang" dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif perdamaian tanah bagi perdamaian. Sebagai ganti ditariknya pasukan dari wilayah Mesir, Yordania, dan Syria yang direbut dalam perang 1967, Israel diberi janji perdamaian oleh negara-negara Arab. Resolusi itu menjadi landasan bagi penyelenggaraan pembicaraan-pembicaraan damai antara Israel dan negara-negara Arab yang dimulai di Madrid, Spanyol, pada 1991.

2) Implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB No 338

a) Menghimbau pihak-pihak yang terlibat untuk memulai (penghentian tembak-menembak) segera setelah dilaksanakannya resolusi Dewan Keamanan no 242 (1967) tentang gencatan senjata dan semua bagiannya.

b) Memutuskan bahwa segera dan bersamaan dengan gencatan senjata negoisasi-negoisasi akan segera di mulai antara pihak-pihak yang terkait dengan perlindungan yang tepat untuk menegakkan perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah.

3) Implementasi Perjanjian Camp David 1978

(20)

diarahkan dengan gaya NATO yang sangat kuat atau dengan menaruh kekuatan militer di Timur Tengah. Sementara dari pemerintahan Arab Saudi sendiri menganggap bahwa perjanjian tersebut mengkhianati umat muslim Palestina, yang berarti mengakui keberadaan Israel di Palestina, karena seharusnya Israel menarik diri dari Palestina seluruhnya. Sementara raja Husein dari Yordania menanggapi perjanjian tersebut dengan merasa terkhianati oleh AS yang sepertinya telah menyalahi atau menyakiti hati orang Arab.15

Dalam upaya perdamaian konflik Israel-Palestina, PBB menjadi mediator yang berusaha untuk memediasi kepentingan antara Palestina dan Israel. Selain itu, terdapat banyak resolusi yang dikeluarkan oleh PBB yang mempengaruhi konflik antara Israel-Palestina. Mediasi yang dilakukan oleh PBB adalah usaha diplomatik yang ditujukan untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina. Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 242 dan 338, PBB telah terlibat dalam setiap upaya negosiasi Israel-Palestina, secara tidak langsung. Keterlibatan PBB tersebut telah dimulai sejak tahun 1947, yaitu pemisahan Palestina menjadi Negara Yahudi dan Negara Arab melalui Resolusi 181. Resolusi tersebut ditolak secara tegas oleh negara-negara Arab yang mendukung Palestina.

Pasca pecahnya perang awal antara Israel-Arab, kemudian pada 15 juli 1948 melalui Resolusi DK PBB 54 terdapat perintah gencatan senjata untuk semua pihak guna mengakhiri perang, tetapi pada ahkirnya tidak ada yang melakukannya. Israel sendiri menjadi anggota tetap dalam PBB pada tanggal 11 Mei 1949. Palestina sendiri pada saat itu bukan anggota PBB, menganggap bahwa arah resolusi yang dikeluarkan PBB serta negosiasi yang dilakukan lebih menguntungkan Israel.

PBB juga mengambil peranan dalam Six Day War 1967, dimana sebuah proposal mediasi dikeluarkan melalui Resolusi DK PBB 242, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1967. Teks resolusi ini mengacu pada penarikan pasukan militer kedua belah pihak dari wilayah konflik, penghentian semua klaim dan kemerdekaan semua negara yang terlibat. Israel menerima resolusi ini, namun Israel tetap bersikeras bersikap bahwa penarikan pasukan dari Negara yang didudukinya dilakukan melalui negosiasi

(21)

langsung yang mengesampingkan PBB. Negosiasi langsung ini dibuat Israel demi melindungi kepentingan dan haknya sebagai pihak yang memenangkan Six Day War, Israel beranggapan bahwa jika dilakukan negosiasi dalam PBB maka kepentingan dan haknya akan dibatasi serta akan ada faktor eksternal yang akan mempengaruhi proses negosiasi. Pada proses negosiasi langsung inilah Israel menyerukan permintaanya Land for Peace kepada Palestinian Liberation Organization (PLO).

Dari awal konflik hingga sampai saat ini, PBB sering dikesampingkan dalam usaha perdamaian antara Israel-Palestina. DK PBB yang memiliki tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan Piagam PBB, belum mampu untuk mengatasi konflik Israel-Palestina. Beberapa Negara bahkan menggunakan pengaruhnya untuk menjauhkan isu ini dari agenda PBB. Upaya perdamaian konflik Israel-Palestina menjadi lebih sering dilakukan oleh Majelis Umum PBB.

BAB III KESIMPULAN

(22)

keamanan dan perdamaian internasional yang menjadi tujuan didirikannya PBB tidak dapat dicapai DK PBB

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 1993. Aspek – aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Rajawali Pers. Jakarta.

Al Banna, Shofwan . 2006. Palestine, Emang gue Pikirin? . Pro You .Jogyakarta. Effendi, Mahsyur A. 2011. Prinsip Pengakuan dalam Pembentukan Negara

ditinjau dari Hukum Internasional. Lex Jurnalica : Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Vol. 8 No. 3 Agustus 2011.

Ibrahim, Muhammad Hamdani. 2012. Peran KH Abdurrahman Wahid dalam Misi Perdamaian Israel-Palestina (Bagian I.

Islamiyah, Nur. 2016. Aspek Historis Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik Israel Palestina 1967-1995. AVATARA : e-Journal Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabay. Vol. 4, No.3 oktober.

Istanto, Sugeng. 1994. Hukum Internasional. Universitas Atma Jaya. Jogyakarta.

Kusuma, Mochtar Atmadja. 1989. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta. Bandung.

Mauna, Boer. 2003. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. PT Alumni. Bandung.

Mawardin. 2011. Prospek Hubungan Bilateral Indonesia-Israel Dalam Perspektif Ekonomi Politik. Unhas Pers.

Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antar Bangsa. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Shaw, Malcolm N. 1986. ”International law”. Butterworths. London.

Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Tasrif, S. 1996. Pengakuan dalam Teori dan Praktik. Media Raya. Jakarta.

Widyawati , Anis. 2008. Kajian Hukum Imternasional terhadap HAM. Pandecta : Universitas Negeri Semarang. Vol. 2 No. 2.

Referensi

Dokumen terkait