• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Perspektif Realisme dengan Inte

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aplikasi Perspektif Realisme dengan Inte"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI PERSPEKTIF REALISME DENGAN KONSEP INTERNAL BALANCING PADA SENGKETA WILAYAH KASHMIR

ANTARA INDIA DAN PAKISTAN

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Mohtar Mas’oed dan Dra. Siti Daulah K., M.A.

Risalah ini ditulis untuk memenuhi

tugas akhir mata kuliah Teori Hubungan Internasional A

Oleh:

Meilinda Sari Yayusman (11/312161/SP/24501)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

(2)

1

DAFTAR ISI

Halaman Depan

Daftar Isi ... 1

Bab I Pendahuluan ... 2

1.1 Latar Belakang ... 2

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Landasan Konseptual ... 3

1.4 Hipotesis ... 4

Bab II Pembahasan ... 5

2.1 Sengketa Wilayah Kashmir antara India dan Pakistan ... 5

2.2 Upaya Peningkatan Kekuatan India dan Pakistan ... 7

2.2.1 India ... 8

2.2.2 Pakistan ... 10

2.3 Analisis : Internal Balancing sebagai Upaya India dan Pakistan dalam Sengketa Wilayah Kashmir ... 12

Bab III Penutup ... 15

3.1 Kesimpulan ... 15

(3)

2 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sejak terbebas dari kolonialisme Inggris, wilayah India telah disepakati akan dibagi menjadi dua bagian, yakni India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan mayoritas Muslim. Namun, Kashmir, wilayah diantara India dan Pakistan, menjadi rebutan oleh kedua negara tersebut. Pembagian wilayah India pada tahun 1947 pasca penjajahan Inggris ini merupakan awal mula konflik sengketa wilayah yang belum berakhir hingga sekarang.1 Mulanya, The Maharaja of Kashmir, Hari Singh Dogra, memilih untuk tidak bergabung bersama India maupun Pakistan. Akan tetapi, pecahnya beberapa perang besar antar kedua negara membuat wilayah Kashmir menjadi arena militer guna saling menyeimbangkan kekuataan mereka. Terdapat tiga perang besar yang terjadi selama persengketaan terjadi, Perang Indo-Pakistan ditahun 1947-1948 yang berakhir dengan keterlibatan Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengupayakan gencatan senjata dengan memerintah Pakistan menarik pasukan militernya dari wilayah Kashmir pada 31 Desember 1948. Dilanjutkan dengan Perang Indo-Pakistan kedua pada tahun 1965 dengan penempatan-penempatan angkatan militer bersenjata Pakistan dan India. Perang ini harus melibatkan pihak luar, Amerika Serikat dan Uni Soviet, dalam upaya mendamaikan kedua negara dan membentuk Tashkent

Declaration. Terakhir, Perang Indo-Pakistan pada tahun 1971 dengan kekalahan militer

Pakistan yang mengharuskan negara tersebut menandatangani The Silma Agreement dengan menyepakati line-control antara kedua negara.2 Meskipun demikian, setelah ketiga perang ini berlangsung, konflik antar kedua negara tetap berlanjut.

Dalam konflik sengketa wilayah Kashmir antara India dan Pakistan, upaya internal

balancing terlihat pada kedua negara. Baik India maupun Pakistan berlomba-lomba untuk

mempertahankan kekuatannya dengan menggunakan sumber daya negara yang dimiliki dan menggunakan perekonomian mereka seefisien mungkin untuk meningkatkan pertahanan dengan military build-up. Hal ini lebih banyak terlihat dilakukan oleh Pakistan untuk menyeimbangkan kekuatan India yang sejak bangsa Inggris pergi, terjadi partisi wilayah antara India dan Pakistan dengan kekuatan yang dimiliki oleh India jauh lebih besar. Sampai

                                                                                                                         

1

S.P. Cohen, Shooting for A Century: The India-Pakistan Conundrum, Brookings Institute, Washington, 2013, p. 275.

2

(4)

3 tahun 1990-an, defence budget Pakistan untuk meningkatkan kualitas militernya mencapai 6% dari total GNP. Berbeda dengan India, negara ini juga berusaha untuk menggunakan sumber daya negaranya untuk mempertahankan kekuatan negara dalam ancaman konflik Kashmir ini. Namun, military spending yang dilakukan oleh India hanya setengah dari pengeluaran Pakistan. Pada tahun 1990-an, India hanya mengalokasikan 3% dari GNP untuk upaya pertahanan negara. Perimbangan kekuatan internal dengan military build-up ini terus dilakukan oleh kedua negara, kompetisi diantara kedua negara juga berpotensi untuk terjadi di wilayah Kashmir. Mengingat kedua negara masih ingin mempertahankan kedaulatan mereka di wilayah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Risalah ini akan berfokus untuk menjawab sebuah rumusan masalah, yakni “Bagaimana upaya internal balancing yang dilakukan India dan Pakistan dalam menghadapi sengketa

wilayah Kashmir?”

1.3 Landasan Konseptual

Untuk menganalisis lebih dalam upaya perimbangan kekuatan yang dilakukan oleh India dan Pakistan, penulis akan menggunakan konsep Internal Balancing dari perspektif realisme.

Internal Balancing

Menurut Kenneth Waltz, dalam sistem internasional yang anarkis, setiap unit atau negara harus mampu menjaga diri karena tidak ada unit lain yang dapat menjadi tumpuan untuk diandalkan.3 Dengan kata lain, sistem internasional menuntut negara untuk menerapkan self-help guna mempertahankan power negaranya. Internal balancing merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh negara guna menyeimbangkan kekuatan negaranya terhadap negara lain dengan merealokasikan sumber daya untuk keamanan nasional.4 Dalam internal balancing, negara berupaya membangun kekuatan militer suatu negara dengan military build-up sebagai perwujudan self-help. Waltz juga menjelaskan, ‘moves to increase economic capability, to

increase military strength, to develop clever strategies’5 dengan aspek tersebut, kapabilitas

ekonomi dan kekuatan militer menjadi strategi self-help dalam internal balancing. Untuk itu,                                                                                                                          

3

S. Burchill, et.al., Theories of International Relations, 3rd edn, Palgrave Macmillan, New York, 2005, p. 35. 4

S. Burchill, et. al., p. 36. 5

(5)

4

military spending dianggap sebagai salah satu indikator seberapa besar negara melakukan

military build-up. Implikasinya, peningkatan anggaran militer atau military spending untuk

memperkuat keamanan nasional ini dapat berpotensi sebagai dua hal, yakni pertahanan negara atau berakhir pada kompetisi antarnegara dengan menggunakan kekuatan militer.

1.4 Hipotesis

(6)

5 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sengketa Wilayah Kashmir antara India dan Pakistan

Di tahun 1945 sampai dengan 1947, pengaruh Inggris di wilayah India mulai berkurang hingga akhirnya Inggris pergi meninggalkan India. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 membuat banyak perubahan pada bidang militer, politik, dan ekonomi Inggris saat itu. Melemahnya pengaruh Inggris di India karena terfokus pada Perang Dunia yang sebelumnya terjadi, membawa kesempatan bagi India untuk melakukan transformasi politik secara radikal. Para politisi India mulai membicarakan liberalisasi nasional untuk benar-benar terbebas dari pengaruh Inggris. Namun, proses kemerdekaan pun diliputi oleh dinamika yang terjadi di dalam negeri. Sejak tahun 1945, Kongres mulai membicarakan tentang kemerdekaan India sebagai satu kesatuan, sementara Liga Muslim (the Muslim League) justru memprakarsai ‘Pakistan for Independence’.6 Ide kemerdekaan Pakistan ini sebenarnya sudah diinisiasikan sejak tahun 1940, mayoritas Muslim yang berada di wilayah barat-laut dan timur-laut India menginginkan partisi wilayah dengan mayoritas Hindu.

Kesepakatanpun tak kunjung dicapai oleh Kongres dan Liga Muslim. Pada Agustus 1946, Liga Muslim mulai melakukan pergerakan yang dikenal dengan ‘Direct Action’. Pada

Direct Action Day, 16 Agustus 1946, kekerasan banyak terjadi antara orang-orang Hindu

dengan Muslim di Calcutta.7 Tidak berhenti disitu, aksi kekerasan dan pembunuhan terus berlanjut sampai ke Bombay, Bengal Timur, Bihar, Garhmukteshwar, dan Punjab pada Januari 1947.8 Kerusuhan semakin memburuk dengan terjadinya insiden pembunuhan kolektif 90 orang wanita dan anak-anak di Desa Thoa Khalsa.9 Aksi pergerakan yang terus terjadi ini adalah wujud realisasi permintaan warga Muslim di barat-laut dan timur-laut India untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai negara merdeka dengan mayoritas Muslim guna meminimalisir gangguan dari orang-orang Hindu dan menyeimbangi dominasi Hindu.10 Setelah serangkaian dinamika terjadi, pada Agustus 1947, India secara resmi merdeka sebagai negara berdaulat dengan disepakatinya Indian Independence Act dengan kepergian Inggris secara resmi. Kemerdekaan ini juga didorong oleh kesepekatan antara Jinnah dan

                                                                                                                         

6

(7)

6 Jawaharlal Nehru yang sudah mulai menyepakati pembagian wilayah. Pada Desember 1947, pemerintah India mendeklarasikan Pakistan sebagai wilayah asing dengan kata lain, bukan lagi bagian dari India.11

Permasalahan tidak behenti sampai partisi dua wilayah berhasil dilakukan. Munculnya permasalahan sengketa wilayah terjadi juga antara India dan Pakistan. Wilayah Kashmir yang semula berada di bawah otoritas penuh Inggris diserahkan kepada The Maharaja of Kashmir, Hari Singh Dogra.12 Saat itu, Maharaja Hari Singh belum memutuskan Kashmir sebagai wilayah asesi dari India atau Pakistan. Ia menunda pemberian keputusan sampai Inggris benar-benar menarik diri dari India. Sejak Inggris menarik diri dari India pada Agustus 1947, keputusan belum juga dibentuk oleh Maharaja Hari Singh. Mulanya, ia tidak ingin bergabung pada India maupun Pakistan. Namun, kesalahan terjadi ketika Maharaja Hari Singh menandatangani kesepakatan dengan India pada Oktober 1947, yakni menyepakati intervensi militer India di wilayah Kashmir sebagai kelanjutan dari perjanjian yang India ajukan pula pada Pakistan, tetapi tidak berjalan.13 Kesepakatan ini memberikan asumsi bagi India bahwa Maharaja Hari Singh lebih memihak pada India dibandingkan Pakistan, dengan kata lain memberikan legalitas Kashmir sebagai wilayah tambahan India. Sementara menurut pandangan Pakistan, wilayah ini sudah selayaknya menjadi wilayah bagian Pakistan. Hal ini dikarenakan oleh orang-orang Kashmir yang mayoritas merupakan Muslim, dengan kata lain mayoritas Muslim merupakan identitas dari Pakistan.14 Selain itu, orang-orang Pakistan menambahkan bahwa Maharaja Hari Singh tidak mendapatkan dukungan dan legitimasi dari kebanyakan orang Kashmir. Maharaja sesungguhnya mengontrol wilayah Kashmir atas dasar paksaan, yakni pemberian otoritas dari Inggris sebelumnya.

Perdebatan dua pandangan yang berbeda ini membawa pada sengketa yang tidak kunjung berhenti dan menemukan titik temu terhadap wilayah Kashmir. Alhasil, berujung kepada peperangan yang terjadi di wilayah tersebut. Penandatangan the Instrument of

Accession yang dilakukan oleh Maharaja Hari Singh dengan India mengantarkan pada

peperangan antara India dan Pakistan pada tahun 1947. Peperangan yang terjadi sampai tahun 1948 ini akhirnya melibatkan Dewan Keamanan PBB dengan dikeluarkannya resolusi agar Pakistan segera menarik mundur seluruh pasukannya dan India diperbolehkan

                                                                                                                         

11

G. Pandey, p. 42. 12

R. G. Wirsing, India, Pakistan, and the Kashmir Dispute: On Regional Conflict and Its Resolution,

Macmillan Press, London, 1998, p. 2. 13

R. G. Wirsing, p. 10. 14

(8)

7 mempertahankan sebagian kecil pasukannya di wilayah Kashmir.15 Akan tetapi, upaya gencatan senjata ini justru memicu eskalasi konflik yang lebih besar akibat rasa tidak terima Pakistan terhadap keputusan ini. Selanjutnya, perang antar kedua negara terjadi pada tahun 1965, pasukan-pasukan ditempatkan di wilayah Kashmir. Pada peperangan kali ini, kedua negara melibatkan pihak luar, Amerika Serikat dan Uni Soviet, dalam upaya mendamaikan kedua negara dan membentuk Tashkent Declaration pada 4-10 Januari 1966.16 Terakhir, di tahun 1971 peperangan antara India dan Pakistan di wilayah Kashmir kembali terjadi dengan berujung pada penandatanganan The Simla Agreement yang membagi line control antara India, Pakistan, dan Cina yang kala itu juga terlibat dalam sengketa wilayah Kashmir ini, serta menyepakati untuk membicarakan hal-hal terkait sengketa dengan cara damai.17 Namun, perjanjian ini tidak dapat terealisasikan dengan baik.

Persengketaan wilayah Kashmir terus terjadi dengan dinamika konflik yang beragam. Di tahun 1989, tercatat sudah 72.000 orang meninggal dunia dan 8.000 orang hilang di wilayah ini.18 Namun, di tahun 1992, kedua negara sempat melakukan gencatan senjata mengingat posibilitas terjadinya eskalasi konflik yang lebih besar lagi, akan tetapi tetap tidak menemukan penyelesaian masalah di wilayah ini.19 Sampai data terakhir di tahun 2013, Kashmir terbagi menjadi tiga wilayah administrasi. 43% wilayah dikelola oleh India dengan Jammu, Bukit Kashmir, Ladakh, dan Siachen Glacier termasuk di dalamnya. 37% dikontrol oleh Pakistan dengan Azar Kashmir dan wilayah utara Gilgit serta Baltistan termasuk di dalamnya. Sisanya, 20% dikontrol oleh Cina sebagai hasil dari Perang Sino-Indian di tahun 1962, dengan Bukit Shakam termasuk di dalamnya.20

2.2 Upaya Peningkatan Kekuatan India dan Pakistan

Pasca partisi wilayah antara India dan Pakistan, upaya untuk memperkuat kekuatan guna mempertahankan wilayah Kashmir sebagai bagian dari negara mereka terus dilakukan. Terlebih pada usaha kedua negara dengan mengalokasikan anggaran dana negara untuk

                                                                                                                         

15

M. J. K. S. Bajwa, Jammu and Kashmir War (1947-1948): Political and Military Perspective, Har-Anand Publications, New Delhi, 2004, p. 228.

16

K. R. Gupta, India-Pakistan Relations with Special Reference to Kashmir, Atlantic Publishers and Distributors, New Delhi, 2003, pp. 156-157.

17

Z. Mustafa, ‘The Kashmir Dispute and the Simla Agreement’, Pakistan Horizon, vol. 25, no. 3, 1972, p. 38.

18

 Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict (daring), September 2013, <http://www.insightonconflict.org/conflicts/kashmir/conflict-profile/>, diakses pada 2 Januari 2014.  

19

D. Zagoria, ‘India, Pakistan, and the Kashmir Dispute,’ Foreign Affairs, vol. 74, no. 3, May 1995, p. 188.

20

 Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict (daring), September

(9)

8 meningkatkan kapabilitas militer. Baik India maupun Pakistan berupaya menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan kapabilitas internal negara guna menyeimbangi satu sama lain dalam merebutkan wilayah Kashmir. Hal ini lebih terlihat dilakukan oleh Pakistan. Mengingat ketidakseimbangan kekuatan antara India dan Pakistan terlihat begitu jelas.21 India terlihat lebih kuat dibandingkan Pakistan dari semua aspek kekuatan. Dari segi populasi, penduduk di India dapat dikatakan sepuluh kali lebih banyak dari Pakistan. Faktanya, minoritas Muslim di India sama dengan seluruh penduduk Muslim di Pakistan, selain itu ekonomi India pun lebih besar enam kali dibandingkan Pakistan dan yang paling krusial adalah angkatan militer India berjumlah dua kali lebih banyak dibandingkan Pakistan.22 Hal ini didukung oleh pembagian militer Inggris saat partisi ditahun 1947, India mendapatkan dua kali lebih banyak jumlah angkatan militer dibandingkan Pakistan. Beberapa hal mendasar ini yang menyebabkan Pakistan perlu berupaya lebih untuk menyeimbangkan kekuatan dengan India.

2.2.1 India

Dalam rangka memperjuangkan wilayah Kashmir agar menjadi bagian dari India, negara ini turut meningkatkan kekuatan negaranya. Peningkatan ekonomi dianggap sebagai faktor pendukung dalam meningkatkan kapabilitas militer India. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ekonomi India terhitung enam kali lebih besar daripada Pakistan. Ditambah lagi, India lebih terindustrialisasi dibandingkan Pakistan, termasuk di dalamnya industri militer yang dikategorikan sebagai industri terbesar diantara negara-negara berkembang di dunia. Dari segi militer, India memiliki angkatan militer dua kali lebih besar dari Pakistan. Di tahun 1960-an, India menghabiskan 3% dari GNP sebagai anggaran pertahanan negaranya. Meskipun terlihat lebih kecil dalam alokasi anggaran negara untuk pertahanan dan military

spending, namun kenyataannya, alokasi tersebut masih jauh lebih besar enam sampai tujuh

kali dari yang dikeluarkan oleh Pakistan. Hal ini dikarenakan oleh pendapatan India jauh lebih besar dibandingkan dengan Pakistan. Pada tahun 1960-an ini pula, perang antara India dan Cina di wilayah Kashmir terjadi, sehingga peningkatan anggaran militer India pun turut dilakukan namun presentase dari GNP tetap tidak sebesar Pakistan. Di tahun 1970-an, India menghabiskan 2,99% dari GNP sebagai military spending, yang terhitung sebesar $ 2,43

                                                                                                                         

21

K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), International Relations in India: Theorising the Region and Nation, Orient Longman, New Delhi, 2004, pp. 154-155.

22

(10)

9 milyar.23 Selanjutnya, di tahun 1975, India menghabiskan 3,32% dari GNP untuk military

build-up, yang terhitung sebesar $ 3,3 milyar.24 Di tahun 1980, India tetap konsisten pada

angka 3% dari total GNP untuk pengeluaran anggaran pertahanan. Sampai dengan tahun 1990-an, justru anggaran pertahanan dan military build-up India cenderung menurun di bawah 3%.25

Selain itu, di tahun 1970-an, India juga turut mengembangkan persenjataan nuklirnya sebagai realisasi pertahanan negara. Di tahun 1974, India melakukan percobaan nuklir di wilayah Kashmir yang dikenal dengan ‘peaceful nuclear explosion’.26 Selain itu, mengingat eskalasi konflik yang terus terjadi, India berupaya untuk melakukan military build-up dengan meningkatkan kualitas dari para pasukan militer negara. Pelatihan militer secara besar-besaran ini dilakukan oleh India untuk meningkatkan kapabilitas pasukan dengan melibatkan sejumlah infanteri, pelatihan serangan udara, dan melatih 400.000 tentara yang ditempatkan di wilayah 100 mil dari Pakistan.27 Pelatihan militer ini dilakukan pada tahun 1986 dan diesekusi pada tahun 1987 yang dikenal dengan Operasi Brasstacks.28 Pelatihan militer ini ditangani langsung oleh Perdana Menteri India kala itu, Rajiv Gandhi, beserta beberapa penasihat kepercayaannya, termasuk Menteri Pertahanan Negara dan Kepala Staff Angkatan Darat, Jenderal K. Sudarji.29 Selain untuk meningkatkan pertahanan negara, Operasi Brasstacks ini juga dilakukan untuk menentukan strategi nuklir bagi India, mengingat mulai berdatangan ancaman nuklir yang juga dilakukan oleh Pakistan untuk menyeimbangi kekuatan India di wilayah Kashmir.

L. Dittmer (ed.), South Asia’s Nuclear Security Dilemma: India, Pakistan, and China, M.E. Sharpe, Inc., New York, 2005, p. 155.

27

W. E. Burrows and R. Windrem, CriticalMass: The Dangerous Race for Superweapons in a Fragmenting World, Publishers: Simon & Schuster, 1994, p. 77.

28

M. A. K. Niazi, ‘India Toying with Dangerous Cold Start War Doctrin – Analysis,’ Eurasia Review (daring), 29 October 2011, <http://www.eurasiareview.com/29102011-india-toying-with-dangerous-cold-start-war-doctrine-analysis/>, diakses pada 3 Januari 2014.

29

(11)

10 2.2.2 Pakistan

Pakistan terlihat sebagai kekuatan yang jauh lebih lemah dibandingkan India, sehingga negara ini perlu mengeluarkan upaya jauh lebih besar untuk menyeimbangi India. Ketidakseimbangan ini sudah terjadi sejak Inggris pergi meninggalkan wilayah India. Saat partisi, militer Inggris yang ditinggalkan dibagi kepada dua negara ini dengan porsi yang tidak seimbang. Pakistan hanya mendapatkan setengah dari militer peninggalan Inggris. Perangkat militer yang dimiliki Pakistan juga tergolong alat-alat tempur dan pesawat terbang seri lama yang sudah usang. Contohnya adalah tank buatan Cina seri T-59, buatan Amerika Serikat seri M-48/60. Alat-alat militer ini merupakan buatan tahun 1960-an yang masih dipakai oleh Pakistan.30

Menurut sejarawan keturunan Amerika-Pakistan, Alesha Jalal, sejak tahun 1947, Pakistan sudah menyisihkan porsi yang cukup besar dari sumber daya negara untuk menyeimbangi India bahkan dapat dikatakan politik-ekonomi Pakistan lebih berorientasi pada pertahanan daripada pembangunan.31 Upaya paling signifikan Pakistan adalah terkait dana yang dikeluarkan untuk menganggarkan military build-up negaranya. Di tahun 1950-an, Pakistan menghabiskan 4% dari GNP untuk pertahanan. Meskipun di awal tahun 1950 terdapat friksi politik dimana Perdana Menteri Khwaja Nazimuddin menginginkan agar negara menurunkan pengeluaran untuk pertahanan. Namun, penggantinya Mohammed Ali Bogra langsung mengubah kebijakan tersebut dan meninggikan kembali anggaran pertahanan untuk Pakistan. Di tahun 1960-an, pengeluaran Pakistan untuk pertahanan militer negaranya mencapai 6% dari GNP. Di tahun 1970-an, Pakistan menghabiskan 5,75% dari total GNP atau terhitung $ 325 juta untuk pertahanan dan military build-up. Pengeluaran untuk pertahanan negara kembali meningkat di tahun 1975, Pakistan menghabiskan 6,28% dari GNP atau terhitung $ 622 juta. Di tahun 1980-an, anggaran yang dihabiskan untuk pertahanan tetap bertahan, yakni 6% dari GNP. Sampai pada tahun 1990-an dan dekade terakhir, Pakistan tetap mengeluarkan dana sekitar lebih dari 6% untuk terus meningkatkan pertahanan dan military build-up negara.32

(12)

11 konflik dan ketegangan masyarakat Kashmir serta pasukan India diperbatasan. Namun, operasi yang dipimpin oleh Mayor Jendral Akhtar Hussain Malik ini gagal. Pakistan tidak berhasil membuat kecaman bagi India, tetapi memicu eskalasi konflik semakin besar di wilayah Kashmir. Bermula dari inisiasi Operasi Gibraltar inilah pecah perang besar kedua antara India dan Pakistan di tahun 1965 dimana kedua pasukan militer masing-masing negara menempatkan pasukannya di wilayah perbatasan.

Pasca eskalasi konflik ini, pengembangan nuklir mulai begitu populer bagi kedua negara. Nuklir dipercaya sebagai alat untuk mempertahankan keamanan nasional. Bagi Pakistan, inisiasi mengenai senjata nuklir sebenarnya telah dibicarakan sejak tahun 1950.34 Namun, Pakistan sendiri masih menyadari kapabilitas kemampuan negaranya. Sementara India terus melakukan ekspansi militernya akibat perang yang juga terjadi antara India dan Cina pada tahun 1962, senjata nuklir merupakan salah satu alat yang terus dikembangkan oleh negara ini. Sampai dengan implementasi pada tahun 1974, percobaan nuklir di wilayah Kashmir untuk melakukan kecaman pada Pakistan dengan ‘peaceful nuclear explosion’. Isu nuklir yang semula belum dijadikan prioritas, kini menjadi fokus bagi Pakistan sebagai upaya pertahanan negara dalam sengketa wilayah. Pakistan mulai menampakan keseriusannya terhadap urgensi nuklir bagi negara dengan membentuk kebijakan nuklir yakni: senjata nuklir dianggap penting untuk mengimbangi superioritas India, ancaman dipusatkan kepada pusat populasi India, jumlah senjata nuklir relatif sedikit kurang dari 100, perintah dan kontrol senjata nuklir berada ditangan pasukan militer. 35Selain itu, dalam Doktrin Nuklir Pakistan pun dijelaskan tiga poin penting, yakni: pengembangan nuklir Pakistan berpusat pada India, Pakistan tidak dapat menjamin kalau mereka tidak akan menyerang terlebih dahulu, Pakistan akan menjaga kapabilitasnya agar nuklir ini tidak berujung pada perang nuklir.36 Kebijakan-kebijakan ini dibentuk oleh Pakistan untuk mengatur penggunaan senjata nuklir agar tidak menciptakan bahaya bagi negaranya sendiri.

                                                                                                                         

34

 L. Dittmer (ed.), p. 114.  

35

 L. Dittmer (ed.),p. 116.  

36

(13)

12 2.3 Analisis : Internal Balancing sebagai Upaya India dan Pakistan dalam Sengketa Wilayah Kashmir

Sengketa wilayah Kashmir antara India dan Pakistan ini memicu upaya meningkatkan kekuatan masing-masing negara sebagai wujud self-help. Kedua negara yang bersengketa mempercayai bahwa masing-masing dari mereka adalah ancaman bagi satu sama lain, sehingga penting untuk meningkatkan kekuatan dimulai dari ruang lingkup internal. Menganalisis lebih dalam dengan menggunakan konsep internal balancing dari perspektif realisme, upaya mempertahankan kekuatan yang dilakukan oleh India dan Pakistan merupakan realisasi dari internal balancing. Kedua negara berusaha untuk mengalokasikan sumber daya negara guna menyeimbangkan kekuatan satu sama lain. Untuk itu, analisis konsep internal balancing dalam konflik ini dapat dirumuskan menjadi dua fokus.

Pertama, gagasan Kenneth Waltz, yakni ‘moves to increase economic capability, to

increase military strength, to develop clever strategies,’ merupakan representasi yang sesuai

dengan upaya India dan Pakistan dalam military build-up. Kapabilitas ekonomi yang lebih besar akan mempengaruhi kekuatan militer negaranya. Dengan kata lain, kondisi perekonomian negara menentukan signifikansi kontribusi military build-up sebuah negara. Alasan mengapa Pakistan cenderung lebih berusaha mengimbangi India terlihat pada military

spending negara ini untuk pertahanan negaranya. Terlihat bahwa Pakistan selalu

mengeluarkan presentase dua kali lebih besar daripada India dalam military spending. Ditahun 1960-an, Pakistan mengeluarkan 6% dari GNP negara, sedangkan India hanya 3% dari GNP negara. Ditahun 1970, Pakistan mengeluarkan 5,75% dari GNP terhitung $ 325 juta, sedangkan India hanya 2,99% dari GNP, namun terhitung $ 2,43 milyar. Ditahun 1975, Pakistan mengeluarkan 6,28% dari GNP, terhitung $ 622 juta, sedangkan India 3,32% dari GNP, namun terhitung $ 3,3 milyar. Ditahun 1980-an, Pakistan mengeluarkan 6% dari GNP, sedangkan India tetap konsisten 3% dari GNP. Terakhir, ditahun 1990-an, Pakistan semakin meningkatkan pengeluarannya untuk pertahanan dengan lebih dari 6% dari GNP negara, sedangkan India justru kurang dari 3% dari GNP negara. Akan tetapi, anggaran yang dikeluarkan oleh India untuk military build-up ternyata jauh lebih besar daripada Pakistan. Hal ini dikarenakan oleh perekonomian India yang jauh lebih berkembang, sehingga kekuatan India masih lebih besar dan Pakistan terus berusaha untuk melakukan internal

balancing guna menyeimbangi India. Maka, hal ini sesuah dengan gagasan Kenneth Waltz

(14)

13 dilakukan oleh India maupun Pakistan dalam melakukan military build-up meskipun Pakistan masih tertinggal secara ekonomi dari India.

Kedua, upaya military build-up sebagai realisasi internal balancing juga terlihat pada kedua negara yang berusaha melakukan pelatiha-pelatihan militer untuk melakukan Operasi Gibraltar yang dilakukan oleh Pakistan pada tahun 1965 untuk mengecam India dan Operasi Basstracks yang dilakukan oleh India pada tahun 1986-1987 yang juga dilakukan untuk mengecam Pakistan dalam memperebutkan wilayah Kashmir. Disini, kedua negara berusaha melakukan pelatihan-pelatihan bagi tentara negara dan menyediakan alat tempur untuk melakukan serangan melalui darat maupun udara. Setelah Operasi Gibraltar oleh pasukan Pakistan, India pun mulai merasakan adanya ancaman-ancaman berdatangan. Meskipun berselang waktu cukup lama, India berusaha untuk menyiapkan pasukan untuk menyeimbangi kekuatan dengan melakukan pelatihan bagi 400.000 tentara guna menempati wilayah 100 mil dari perbatasan dengan Pakistan. Internal balancing terlihat signifikan dilakukan oleh India pada saat itu. Selain itu, kedua negara juga berusaha melakukan perimbangan kekuatan dengan melakukan pengembangan senjata nuklir. Melihat India begitu gencar dalam melakukan pengembangan nuklir, terutama pada saat India berperang dengan Cina di wilayah Kashmir pada tahun 1962, Pakistan menyadari hal ini juga merupakan ancaman besar bagi negaranya. Oleh karena itu, Pakistan berusaha melakukan pengembangan senjata nuklir, terlebih setelah India melakukan percobaan nuklir di wilayah Kashmir pada tahun 1974 dalam ‘peaceful nuclear explosion’. Pakistan mengimbangi kekuatan dengan mempersiapkan senjata nuklir, akan tetapi juga mempersiapkan kematangan dalam negeri dengan membentuk kebijakan-kebijakan serta Doktrin Nuklir sebagai landasan mereka. Upaya Operasi Gibraltar dan Basstracks serta pengembangan senjata nuklir ini merupakan bagian dari realisasi military build-up kedua negara guna menyeimbangi kekuatan dalam sengketa wilayah Kashmir.

(15)

14 terjadi di tahun 1947. Kedua negara sama-sama tidak terima jika wilayah Kashmir menjadi bagian dari wilayah salah satu dari India maupun Pakistan, sehingga pertempuran terjadi. Dilanjutkan dengan implikasi dari Operasi Gibraltar, peperangan India-Pakistan ditahun 1965 pun terjadi. Bahkan kembali terjadi di tahun 1971. Tidak berakhir pada tiga peperangan besar tersebut, krisis di wilayah Kashmir pun kembali terjadi pada tahun 1986 sampai dengan 1987 akibat Operasi Basstracks oleh India dan di tahun 1990-an akibat pengembangan nuklir yang dilakukan oleh kedua negara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa upaya internal

balancing yang dilakukan baik India maupun Pakistan berujung pada kompetisi di wilayah

(16)

15 BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sengketa wilayah Kashmir yang terjadi sejak tahun 1947, yakni saat India melakukan partisi menjadi dua bagian, wilayah India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan mayoritas Muslim. Perebutan hak wilayah Kashmir terus memicu konflik bagi kedua negara karena keduanya merasa wilayah tersebut adalah bagian dari negara mereka. India berpendapat bahwa sejak Maharaja Hari Singh menandatangani perjanjian the Instrument of

Accession dengan India pada Oktober 1947 dengan memperbolehkan adanya intervensi

militer di wilayah Kashmir oleh India, menandakan bahwa Maharaja telah memberikan wilayah Kashmir kepada India. Namun, Pakistan tidak membenarkan hal itu. Bagi Pakistan, Kashmir merupakan wilayah bermayoritas Muslim, sehingga merupakan bagian dari negaranya karena identitas Muslim adalah milik Pakistan. Ditambah lagi, Pakistan percaya bahwa sebenarnya sebagian besar orang Kashmir tidak mengakui legitimasi dari Maharaja Hari Singh.

(17)

16 DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Bajpai, K. and S. Mallavarapu (ed.), International Relations in India: Theorising the Region

and Nation, Orient Longman, New Delhi, 2004.

Bajwa, M. J. K. S., Jammu and Kashmir War (1947-1948): Political and Military

Perspective, Har-Anand Publications, New Delhi, 2004.

Bandyopadhyaya, J., The Making of India’s Foreign Policy, 3rd edn, Allied Publisher Private Limited, Mumbai, 2003.

Burchill, S., et.al., Theories of International Relations, 3rd edn, Palgrave Macmillan, New York, 2005.

Burrows, W. E. and R. Windrem, Critical Mass: The Dangerous Race for Superweapons in

a Fragmenting World, Publishers: Simon & Schuster, 1994.

Cohen, S.P., Shooting for A Century: The India-Pakistan Conundrum, Brookings Institute, Washington, 2013.

Dittmer, L. (ed.), South Asia’s Nuclear Security Dilemma: India, Pakistan, and China, M.E. Sharpe, Inc., New York, 2005.

Frankel, B., Realism: Restatements and Renewal, Frank Cass and Company, London, 1996. Gupta, K. R., India-Pakistan Relations with Special Reference to Kashmir, Atlantic

Publishers and Distributors, New Delhi, 2003.

Pandey, G., Remembering Partition: Violence, Nationalism, and History in India, Cambridge University Press, Cambridge, 2004.

Wirsing, R.G., India, Pakistan, and the Kashmir Dispute: On Regional Conflict and Its

Resolution, Macmillan Press, London, 1998.

Sumber Jurnal

Mustafa, Z., ‘The Kashmir Dispute and the Simla Agreement,’ Pakistan Horizon, vol. 25, no. 3, 1972, p. 38.

(18)

17 Sumber Online

Niazi, M. A. K., ‘India Toying with Dangerous Cold Start War Doctrin – Analysis,’ Eurasia

Review (daring), 29 October 2011,

<http://www.eurasiareview.com/29102011-india-toying-with-dangerous-cold-start-war-doctrine-analysis/>, diakses pada 3 Januari 2014. Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict

(daring), September 2013,

<http://www.insightonconflict.org/conflicts/kashmir/conflict-profile/>, diakses pada 2 Januari 2014.

Rajagopalan, R., ‘Neo-realist Theory and the India-Pakistan Conflict,’ The Institute for

Defence Studies and Analysis (daring), 2001,

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian ini untuk melihat apakah ter- dapat hubungan jangka panjang antara variabel demografi yang terdiri dari profil demografi antara lain tingkat kelahiran,

kesulitan metakognisi dalam memecahkan masalah sistem pertidaksamaan linear dua variabel. Kemudian metakognisi siswa bertipe kepribadian Artisan dalam memecahkan

Penggunaan diagram sebab-akibat dalam pengendalian kualitas produksi di Indoprint dapat membantu pihak manajemen untuk mencari akar penyebab masalah produksi yang timbul selama

Cakupan data dasar dari hasil SP2010 adalah jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin, berikut parameter- parameter turunannya seperti kepadatan penduduk,

Pada sisi berkaitan dengan penyampaian teknik, yang salah satunya teknik cresendo (suara yang makin mengeras) dengan analogi perumpamaan yang bahkan dapat secara

Dengan hal tersebut di temukan tiga metode yang digunakan subjek F untuk mengatasi masalah yakni metode lain subjek F juga berusaha melatih tangan kirinya agar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh persepsi nilai konsumen yang terdiri dari keterlibatan, loyalitas merek, persepsi harga, persepsi

Mengenai perbarengan tindak pidana, ada suatu Kasus hukum yang dilakukan oleh seseorang dan melanggar beberapa ketentuan pidana yang sampai saat ini masih dalam proses